Cari Kategori

SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)

(KODE ILMU-HKM-0054) : SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Semakin berkembangnya zaman dan teknologi, memunculkan kejahatan yang semakin kompleks, yang lebih sistematis dan berjejaring termasuk salah satunya adalah kejahatan perdagangan orang yang lebih dikenal dengan trafficking. Perdagangan orang yang terjadi merupakan suatu hal yang sebenarnya telah ada pada masa dulu namun merupakan bentuk perbudakan yang baru dengan modus yang berbeda-beda pula. Kejahatan trafficking tersebut melintasi batas-batas geografis tidak hanya antar wilayah satu negara tetapi juga antar negara sehingga menimbulkan permasalahan internasional. Hal semacam ini membuat sulitnya penanganan atau pemberantasan terhadap kejahatan trafficking. Perkembangan ini harus diperhatikan oleh bangsa-bangsa agar dapat terus mengikuti dan mencegah serta menangani masalah perbudakan modern ini.
Perdagangan orang (trafficking) sebenarnya mempunyai makna lebih luas yang tidak hanya terbatas pada perempuan dan anak-anak saja. Trafficking dapat menimpa semua orang yang tidak dibatasi oleh jenis kelamin maupun usia. Namun ada perhatian yang lebih dikhususkan pada perempuan dan anak sebagai kelompok rentan dalam pembicaraan trafficking. Isu trafficking merupakan isu yang sensitif yang secara tidak langsung berhadapan dengan nilai-nilai budaya setempat serta isu diskriminasi yang sudah berakar cukup kuat sejak berabad-abad. Namun dalam penulisan ini lebih memfokuskan kepada women trafficking (perdagangan perempuan), yaitu perempuan dewasa. Faktor budaya patrilinial yang kemudian mengkondisikan perempuan dalam ketidakadilan gender baik itu bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotipe dan kekerasan (Erna Dyah Kusumawati, 2005:1459-1460).
Selain itu sebagai korban women trafficking, perempuan dewasa terkadang mempunyai andil terjadinya kejahatan tersebut, karena ada persetujuan dari korban itu sendiri dengan berbagai alasan salah satunya karena faktor ekonomi, tingginya angka kemiskinan membuat seseorang cepat tergiur akan suatu tawaran pekerjaan tanpa mempedulikan kebenaran dan akibatnya setelah itu.
Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), antara dua dan empat juta perempuan dan anak-anak diperdagangkan setiap tahun. Pada tahun 2000, di seluruh dunia diperkirakan antara 700.000 (tujuh ratus ribu) sampai 2 juta kaum perempuan dan anak-anak merupakan korban trafficking. Dari jumlah tersebut sebanyak 200.000 (dua ratus ribu) sampai 225.000 (dua ratus dua puluh lima ribu) diantaranya terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Pada tahun 2003, jumlah ini mengalami peningkatan seperti yang dilaporkan oleh Bureau of Public Affairs, US Departement of SATE yaitu bahwa tiap tahun sebanyak 800.000 (delapan ratus ribu) sampai 900.000 (Sembilan ratus ribu) manusia telah diperdagangkan dengan mengabaikan batas-batas internasional untuk tujuan memasok pasar perdagangan seks internasional dan buruh. Sangat sulit untuk mendapatkan angka jumlah korban secara pasti dalam hal ini (http://forum, hukum-umm. info/index. php?topic=1 90.0).
Kaum perempuan merupakan korban yang terbesar dari perdagangan haram ini. Pergerakan manusia menjangkau perbatasan secara ilegal dan tersembunyi ialah fenomena global yang serius. Perdagangan orang bukan hanya kejahatan transnasional, tetapi juga pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan perbudakan bentuk baru (http: //forum.hukum-umm.info/index.php?topic=190.0). Perdagangan orang secara ilegal terutama para perempuan ini berkembang menjadi persoalan kemanusiaan yang memprihatinkan. Di negara-negara Asia Tenggara para perempuan diperlakukan sewenang-wenang tanpa mempedulikan faktor manusiawi yang bersentuhan dengan harkat dan martabatnya. Para perempuan dibujuk, dipaksa dan diperdagangkan untuk industri seks dan dunia hiburan lainnya, terdapat juga yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga atau pabrik dengan jam kerja tak terbatas dan upah minimum. Praktek-praktek semacam ini tergolong pelanggaran terhadap pemajuan, pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan manusia dan hukum (http: //forum.hukum-umm.info/index.php?topic=190.0).
Walaupun tidak tersedia data statistik yang canggih tentang kasus-kasus perdagangan perempuan yang terjadi secara nasional, kejahatan ini telah menimpa banyak perempuan Indonesia, khususnya mereka yang sedang mencari kerja. Sebagai gambaran, Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur Malaysia melaporkan telah menerima pengaduan 2.451 kasus pada tahun 2001, 2.155 kasus pada tahun 2002, 2.112 kasus pada tahun 2003, dan 2.158 kasus pada tahun 2004. Mayoritas besar korban dalam kasus ini adalah perempuan Indonesia (baik dewasa maupun anak-anak). Indonesia memiliki sekitar 200 ribu pekerja seks, satu juta pekerja rumah tangga, dan satu juta orang TKW (Rosenberg dalam Anis Hamim dan Fatimana Agustinanto, 2006:261).
Persoalan women trafficking kadang masih dipandang sebelah mata oleh aparat penegak hukum, aparat pemerintah dan anggota masyarakata hal tersebut tercermin dari penggunaan standar moralitas yang biasa memandang kasus women trafficking. Implikasi dari kondisi tersebut mengerucut pada ketidakadilan dan pengabaian hak-hak korban women trafficking selain itu juga berimplikasi terjadinya kriminalisasi terhadap korban, sehingga kondisi yang dialami korban adalah menjadi "pelaku" atas penderitaan yang dialaminya. Untuk menjamin kedudukan korban maka diabaikannya unsur persetujuan/conset dari korban women trafficking (R.Valentina Sagala, 2006:294).
Angka persentase yang sangat berarti telah dimunculkan melalui berbagai survei, sebagaimana dibahas dan diketahui bahwa masalah trafficking merupakan suatu isu internasional yang telah menyita perhatian publik baik domestik maupun internasional, karena korban kejahatan ini telah banyak yang diketahui berjatuhan, dan dari waktu ke waktu cenderung mengalami peningkatan. Pada konteks nasional, persoalan trafficking di Indonesia sudah sampai pada taraf yang sangat memprihatinkan (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18122/3/Chapter%20II.pdf).
Salah satu upaya untuk mengakomodasi perlindungan terhadap korban women trafficking adalah perlu dibuatnya aturan hukum untuk menjamin kedudukan korban sebagai pihak yang paling dirugikan dalam hal ini. Sebagai kejahatan transnasional maka dibutuhkan aturan yang berskala internasional maupun nasional yang dapat mengatur mengenai kejahatan women trafficking ini. Di Indonesia sendiri pengaturan yang mengacu mengenai korban women trafficking dapat ditemui beberapa aturan hukum, dari aturan hukum yang bersifat umum sampai aturan yang bersifat khusus yang lebih spesifik mengatur mengenai women trafficking yaitu Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak.
Berbicara mengenai suatu kejahatan maka tidak terlepas dari korban, dimana korban merupakan pihak yang paling menderita suatu kerugian akibat terjadinya kejahatan. Konsep keadilan yang sekarang berkembang lebih mengacu kepada keadilan restoratif lebih mengutamakan pemulihan terhadap kondisi korban, yang sesuai dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, "Daad-Dader Strafrecht” kepada paradigma baru, " Daad-Dader-Victim Strafrecht ”.
Berdasarkan hal tersebut, maka Penulis tertarik untuk mengambil judul "KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)".

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia?
2. Bagaimanakah kelemahan dan kelebihan dari pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh Penulis agar dapat menyajikan data yang akurat sehingga dapat memberi manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia.
b. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia .
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk dapat meraih gelar Kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas X.
b. Untuk memperluas wawasan dan memperdalam pengetahuan Penulis di bidang Hukum Pidana khususnya terkait perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).

D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian akan sangat berguna bila hasilnya memberikan manfaat, tidak hanya bagi Penulis, tetapi juga bermanfaat bagi setiap orang yang menggunakannya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya, terutama dalam bagian Hukum Pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum pidana tentang perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan, pedoman, atau landasan teori hukum terhadap penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir sistemis dan dinamis, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan Penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh dalam bangku kuliah.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum bagi setiap pihak yang terkait seperti pemerintah, praktisi hukum, dan akademisi.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan maupun pola pikir kritis dan dinamis bagi Penulis serta semua pihak yang menggunakannya dalam penerapan ilmu hukum dalam kehidupan.

E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:41).
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dam aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006: 28).
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan judul dan rumusan masalah, penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim, 2006:44).
Penelitian normatif mencakup:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum,
b. Penelitian terhadap sistematika hukum,
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum.
d. Penelitian sejrah hukum,
e. Penelitian perbandingan hukum (Soerjono Soekanto, 2006:51).
Dalam penelitian hukum normatif ini penulis cenderung kepada penelitian terhadap asas-asas hukum yaitu penelitian untuk menemukan asas-asas hukum yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis (balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitian-hukum/). Dimana hukum positif tertulisnya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan korban perdagangan perempuan.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif atau terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 22)
Oleh sebab itu, dalam laporan penelitian ini Penulis memberikan gambaran atau pemaparan tentang perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach), pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan perbandingan (Comparative Approach), dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93). Pendekatan yang dilakukan Penulis adalah pendekatan perundang-undangan, yaitu melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Dalam hal ini menggunakan pendekatan terhadap aturan hukum meliputi Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
4. Jenis Data
Jenis data yang Penulis pergunakan dalam penulisan hukum ini berupa data sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam penulisan hukum ini yang meliputi:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan;
2) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM);
3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
4) Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
b. Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literature-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan data sekunder. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai data penunjang di dalam penelitian ini (Johnny Ibrahim, 2006: 393).
Setelah isu hukum ditetapkan, Penulis melakukan penelusuran mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang dihadapi. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu aturan hukum di Indonesia yang meliputi Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Serta Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
6. Pengolahan Hasil dan Analisis Data
Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393). Setelah diperoleh data yang akan diteliti, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data dilakukan dengan mengelompokkan dan mengkategorisasikan, kemudian proses pengorganisasian dan pengelompokkan data (Lexi J.Moleong, 2009:280-281). Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking di Indonesia serta kelemahan dan kelebihan pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking tersebut.

F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum dalam penelitian ini meliputi :
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai tinjauan tentang korban dan perdagangan orang atau trafficking.
BAB III : Pembahasan Dan Hasil Penelitian
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking di Indonesia dan kelemahan dan kelebihan pengaturan women trafficking di Indonesia.
BAB IV : Penutup
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat Penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
Daftar Pustaka

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:08:00

SKRIPSI EKSISTENSI PERADILAN IN ABSENTIA DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN RELEVANSINYA DENGAN HAK TERDAKWA UNTUK MELAKUKAN PEMBELAAN

(KODE ILMU-HKM-0053) : SKRIPSI EKSISTENSI PERADILAN IN ABSENTIA DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN RELEVANSINYA DENGAN HAK TERDAKWA UNTUK MELAKUKAN PEMBELAAN




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah dicapai atas berkat rahmat dan ridho dari Tuhan Yang Maha Esa dan melalui perjuangan seluruh rakyat Indonesia harus diisi dengan usaha-usaha pembangunan disegala bidang baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan di bidang hukum. Pembangunan nasional disini tidak hanya mengejar kebutuhan lahiriah ataupun kepuasan batiniah saja, tetapi juga diperlukan keseimbangan dan keselarasan antar keduanya sehingga tercapai masyarakat adil dan makmur seperti yang dicita-citakan bangsa Indonesia.
Pembangunan di bidang hukum sendiri tak dapat dipisahkan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam pelaksanaannya hukum berfungsi sebagai social control dan social engineering. Sebagai sarana social control, fungsi hukum adalah untuk menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur. Jadi di sini hukum berfungsi sebagai sarana pengadilan tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum menjaga jangan sampai suatu tingkah laku menganggu ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan bersama. Sebagai sarana social engineering, fungsi hukum dalam suasana dimana hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat guna mencapai social planning yang dicita-citakan dalam kehidupan bersama. Social planning tersebut telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur material dan spiritual dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Harun M. Husein, 1994 : 1).
Dalam membicarakan pembangunan hukum, termasuk di dalamnya adalah penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana (Integrated Criminal Justice System). Untuk itu perlu semakin dimantapkan peran dan kedudukan penegakan hukum supaya terwujud peningkatan kemampuan dan kewibawaannya. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan pencegahan maupun usaha pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum.
Peningkatan kemampuan penegak hukum ini penting karena kebanyakan para penegak hukum Indonesia sudah dibiasakan dididik sebagai calon penerap hukum bukan sebagai calon ahli hukum yang dapat memperbaruhi hukum. Seringkali dijumpai berbagai produk hukum seperti undang-undang yang gagal dalam menjerat pelaku kejahatan karena sifatnya yang memiliki celah dan ini merupakan tantangan bagi penegak hukum untuk terus meningkatkan moral dan kredibilitasnya, mengabdi pada hukum sehingga keadilan dapat terwujud.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala hak warga yang sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menutut Undang-Undang Dasar". Oleh karena itu, peranan setiap warga negara sangat berpengaruh dan diperlukan dalam penegakan hukum.
Berkaitan dengan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dapat diartikan bahwa dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 melalui beberapa pasal yang mengatur tentang HAM, salah satunya adalah Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Dalam pasal ini terkandung Azas Persamaan Kedudukan di Dalam Hukum. Pasal 27 ayat (1) ini diimplementasikan dalam proses peradilan pidana sebagai Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) diatur bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan atau di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Tujuan dari azas ini adalah untuk memberi batasan seseorang baik tersangka atau terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Tindakan sewenang-wenang ini berupa upaya paksa dari penegak hukum yang dalam hal ini memungkinkan melanggar HAM tersangka atau terdakwa, dilakukan dengan kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture).
Pembangunan di bidang hukum di Indonesia selalu mendapat perhatian yang cukup serius mengingat bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat) dan bukan merupakan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Maka sebagai konsekuensi logis dari ketentuan yang dimaksud, akan terlihat bahwa asas kesadaran hukum merupakan salah satu asas yang perlu diprioritaskan dalam pembangunan nasional baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Tertib hukum adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan hukum yang sesuai dengan falsafah negara Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 1945. Hukum dengan tegas telah mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah, dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan para warga masyarakat. Dengan demikian hukum mempunyai sifat memaksa dan mengikat, walaupun unsur paksaan bukanlah merupakan unsur yang terpenting dalam hukum, sebab tidak semua perbuatan atau larangan dapat dipaksakan. Dalam hal ini, memaksakan diartikan sebagai suatu perintah yang ada sanksinya apabila tidak ditaati, dan sanksi tersebut berwujud sebagai suatu penderitaan yang dapat memberikan penjeraan bagi si pelanggar hukum.
Asas kesadaran hukum berarti menyadarkan setiap warga negara untuk selalu taat pada aturan hukum, di samping itu diwajibkan pula bagi negara beserta aparatnya untuk selalu menegakkan dan menjamin jalannya maupun proses kepastian hukum. Segala perbuatan yang dilakukan baik oleh negara, pemerintah, maupun masyarakat harus berpedoman pada peraturan yang mengaturnya atau sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Peranan aparat pemerintah terutama instansi yang menangani langsung tentang masalah hukum perlu ditingkatkan pola kerjanya secara terus menerus, sehingga akan mendapatkan hasil guna dengan tingkat yang maksimal. Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, pembangunan di bidang hukum pada dasarnya mewujudkan keadilan bagi masyarakat yang mencakup segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum merupakan suatu norma/kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya hukum dimaksudkan untuk menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Memelihara keselarasan hidup di dalam masyarakat memerlukan berbagai macam aturan sebagai pedoman hubungan kepentingan perorangan maupun kepentingan dalam masyarakat. Akan tetapi tidak sedikit hubungan kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang berhubungan atau dalam lingkup hukum pidana. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum acara pidana yang menjadi saluran untuk menyelesaikan kepentingan apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana (Bambang Poernomo, 1988: 1-3). Negara Indonesia, dalam menjalankan kehidupan bernegara, memerlukan adanya hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat, sehingga segala bentuk kejahatan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dengan adanya hukum dapat menghindarkan pelanggaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun penegak hukum itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum yang dapat dipergunakan oleh negara Indonesia dalam mengatur tatanan kehidupan dalam masyarakat.
Kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Negara Indonesia salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ruang lingkup berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981), terdapat dalam Pasal 2 KUHAP, yang berbunyi : "Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan".
Hukum Acara Pidana merupakan hukum yang memuat peraturan-peraturan untuk melaksanakan hukum pidana, karena hukum acara pidana mempunyai fungsi sebagai alat untuk menyelesaikan segala kepentingan yang berhubungan dengan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut dapat dipersalahkan.
Seberat apapun pelanggaran yang dilakukannya, seorang terdakwa adalah seorang manusia yang tetap harus dihargai hak-haknya, sehingga sudah seharusnya ia dilindungi dari perlakuan sewenang-wenang yang mengatasnamakan penegakan hukum. Aparat penegak hukum tidak diperbolehkan melakukan pelanggaran hak secara sewenang-wenang. Aparat penegak hukum harus menjalankan penegakan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tetap menghargai hak asasi tersangka atau terdakwa. Aparat penegak hukum adalah salah satu organ Negara yang juga mempunyai kewajiban untuk melindungi hak warga negara.
Hukum yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaaan mencerminkan norma-norma yang menghormati martabat manusia dan mengakui hak asasi manusia. Norma-norma yang mengandung nilai luhur menjunjung tinggi martabat manusia dan menjadi hak asasi manusia berkembang terus sesuai dengan tuntunan hati nurani manusia yang terhimpun dalam ikatan perkumpulan masyarakat yang bertindak berdasarkan kepentingan sosial bersifat dualistis (Bambang Purnomo, 1988: 61).
Negara juga telah menjamin hal tersebut dalam undang-undang. Dalam UUD 1945 Pasal 27 dinyatakan bahwa warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Jaminan perlindungan dan pemerintahan ini dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan di dalam KUHAP, khususnya Pasal 54 sampai Pasal 57 yang mengatur tentang Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa untuk mendapatkan Penasehat Hukum. Bantuan hukum yang diberikan pada terdakwa atau tersangka pada hakekatnya adalah membela peraturan hukum dan juga perlindungan yang diberikan agar terdakwa atau tersangka terlindungi haknya. Bantuan hukum bagi terdakwa atau tersangka bukanlah semata-mata membela kepentingan terdakwa atau tersangka untuk bebas dari segala tuntutan.
Tujuan pembelaan dalam perkara pidana pada hakekatnya adalah membela peraturan hukum, jangan sampai peraturan hukum tersebut salah atau tidak adil diterapkan dalam suatu perkara. Dengan demikian tujuan pembelaan dalam perkara pidana di setiap tingkatan proses beracara mengandung makna sebagai pemberian bantuan hukum kepada aparat pelaksana atau penegak hukum dalam membuat atau memutuskan suatu keputusan yang adil dan benar menurut peraturan hukum yang berlaku. Jadi, tugas pembela bukan membabi buta mati-matian membela kesalahan tersangka atau terdakwa, akan tetapi adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dalam masyarakat (Riduan Syahrani, 1983:26).
Peradilan In Absentia adalah contoh praktek hukum yang potensial melahirkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Meski bukan pelanggaran atas Non Derogable Right, praktek In Absentia akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Hak-hak tersangka atau terdakwa menjadi terhempas dan hilang. Dan semuanya itu merupakan hilangnya indepedensi penegak hukum dan adanya kelompok kepentingan yang mengintervensi kekuasaan yudikatif. Di sinilah muncul dilema untuk memilih praktek In Absentia yang menghilangkan hak-hak tersangka atau terdakwa, atau untuk melindungi hak-hak asasi tersangka atau terdakwa.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul
"EKSISTENSI PERADILAN IN ABSENTIA DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN RELEVANSINYA DENGAN HAK TERDAKWA UNTUK MELAKUKAN PEMBELAAN".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia ?
2. Bagaimanakah relevansi peradilan In Absentia dalam proses pemeriksaan perkara pidana dengan hak terdakwa untuk melakukan pembelaan ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a) Untuk mengetahui eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia.
b) Memaparkan mengenai peradilan In Absentia dalam proses pemeriksaan perkara pidana berkaitan dengan hak-hak terdakwa untuk melakukan pembelaan.
2. Tujuan Subjektif
a) Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum sebagai persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
b) Memperluas pengetahuan dan pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek, terutama di bidang hukum acara pidana dan hukum pidana berkaitan dengan eksistensi dan pelaksanaan peradilan In Absentia.

D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a) Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
b) Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
c) Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum X serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a) Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Pendekatan
Menurut Peter Mahmud Marzuki, ada beberapa jenis pendekatan, yaitu pendekatan Undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93). Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan Undang-undang (statute approach).
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1982:10). Di dalam penelitian deskriptif, kegiatan tidak hanya terbatas pada pengumpulan data dan penggunannya, tetapi yang lebih penting adalah analisis dan interprestasi atas data yang telah didapat agar diketahui maksudnya.
Tujuan penulis menggunakan sifat deskriptif yaitu untuk memberikan gambaran secara sistematis hal-hal faktual yang terjadi secara akurat mengenai eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia
4. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas. Data Sekunder dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan yang mengikat, seperti peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. (Peter Mahmud Marzuki, 2008:146). Dalam penelitian hukum ini, bahan hukum primernya terdiri dari :
1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
4) Undang-Undang No 1 Tahun 2002 tentang Terorisme
5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
b. Bahan Hukum Sekunder yang utama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum selain kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang terkait dengan topik penelitian hukum ini. Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti semacam petunjuk ke arah manapeneliti melangkah. (Peter Mahmud Marzuki, 2008:155).
c. Bahan Hukum Tersier atau bahan-bahan hukum non hukum atau penunjang yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya : bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini dan Kamus Hukum.
5. Sumber Hukum
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian dapat diperoleh. Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik atau catatan-catatan resmi, yaitu dokumen peraturan perundang-undangan serta peraturan pelaksanaan yang memuat tentang pengaturan peradilan In Absentia.
6. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif, maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan "content analysis" (Soerjono Soekanto, 1986: 21). Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah content analysis atau kajian isi.
Pengertian kajian isi menurut Weber adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220). Pengertian kajian isi menurut Krippendroff adalah teknik penelitian yang diamanfaatkan untuk menarik kesimpulan yang replikatif dan sahih dari data atas dasar konteksnya (Krippendroff dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220). Ciri-ciri content analysis atau kajian isi menurut Guba dan Lincoln yaitu proses mengikuti aturan, proses sistematis, kajian isi merupakan proses yang diarahkan untuk menggeneralisasikan, kajian isi mempersoalkan isi yang termanifestasikan, kajian isi menekankan analisis secara kuantitatif, namun hal itu dapat pula dilakukan bersama analisis kualitatif (Guba dan Lincoln dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220).

F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatau uraian mengenai susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan terperinci disusun dalam pembaban, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas tentang apa yang ditulis. Tiap-tiap bab mempunyai hubungan satu sama lain yang tidak dapat terpisahkan.
Dalam kerangka ini, penulis akan memberikan uraian tentang hal-hal pokok yang ada dalam penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian, perumusan masalah merupakan inti permasalahan yang akan diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian, manfaat penelitian merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, metode penelitian berupa jenis penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data selanjutnya adalah sistematika penulisan hukum yang merupakan kerangka atau susunan isi penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini yaitu : mengenai tinjauan umum tentang hukum acara pidana, tinjauan umum peradilan In Absentia, dan tinjauan umum tentang hak terdakwa melakukan pembelaan
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan mengenai eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan kesesuaian peradilan In Absentia dalam proses pemeriksaan perkara pidana dengan perlindungan hak-hak terdakwa untuk melakukan pembelaan
BAB IV: PENUTUP
Bab ini dikemukakan tentang simpulan dari hasil penelitian dan juga saran yang relevan dari peneliti.
DAFTAR PUSTAKA

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:06:00

SKRIPSI ANALISIS YURIDIS HUBUNGAN DIPLOMATIK ORGANISASI INTERNASIONAL DAN NEGARA MENURUT SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

(KODE ILMU-HKM-0052) : SKRIPSI ANALISIS YURIDIS HUBUNGAN DIPLOMATIK ORGANISASI INTERNASIONAL DAN NEGARA MENURUT SUMBER HUKUM INTERNASIONAL




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan hidup di dunia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang memberikan pengertian bahwa manusia memang tidak dapat hidup sendiri. Walaupun manusia sebenarnya dilahirkan seorang diri tetapi dalam kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain. Dalam suatu komunitas kelompok manusia, dibutuhkan interaksi sesama manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Interaksi manusia pada masa kini semakin berkembang dengan adanya wadah yang pasti untuk interaksi tersebut. Manusia telah mengelompokkan diri mereka masing masing sesuai dengan kriteria yang dirasa relevan. Seperti yang dapat dilihat dalam bentuk dasar, dengan adanya kesamaan mengenai tempat dan wilayah, manusia mengelompokkan diri mereka kedalam kesatuan yang berbentuk sebuah negara. Selain itu masih banyak lagi pengelompokan individu yang cakupannya bisa lebih luas maupun lebih sempit dari negara.
Untuk membuat hubungan yang baik di antara sesama negara, dalam hukum internasional, negara mulai mengadakan hubungan kerjasama dengan negara lain. Dari pengalaman dan sejarah di dunia, sifat dari hubungan antar subyek dari hukum internasional yang tidak hanya mencakup ruang lingkup negara saja selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan. Fluktuasi hubungan itu dapat dijaga dan dipelihara sampai saat ini melalui diplomasi (Edi Suryono & Moenir Arisoendha, 1996 : 13) .
Sebelum hukum internasional modern dicetuskan, wakil dari berbagai negara yang biasa disebut sebagai para diplomat dianggap sebagai orang suci yang tidak dapat diganggu gugat. Hal ini diatur dalam aturan agama dan bukan aturan hukum. Suatu negara dapat saling mengirimkan utusan diplomatiknya pada negara lain dalam naungan aturan agama.
Sebelum abad ke 17, utusan diplomatik masih bersifat sementara, jadi utusan tersebut dikirim apabila ada perundingan, dan setelah perundingan itu selesai maka utusan tersebut dipulangkan kembali ke negaranya (Edi Suryono, 1992 : 10) .Sejak abad ke 16 dan 17 masyarakat telah mengenal misi diplomatik dalam arti yang sangat umum. Tetapi setelah abad ke 17, misi diplomatik yang dikenal sekarang yang disebut misi diplomatik temporer baru mulai muncul. Hak, kewajiban dan keistimewaan dari misi diplomatik mulai berkembang di abad ke 18 dan pada awal abad ke 19 baru tercapai kesepakatan bersama mengenai hubungan diplomatik. Hal ini ditandai dengan berlangsungnya konferensi Vienna tahun 1815 yang menyebabkan perlunya kodifikasi baru yang lebih luas dan perumusan mengenai hukum mengenai utusan diplomatik (J. G. Starke, 2004 : 564) .
Sementara itu, semakin berkembangnya hubungan interaksi manusia telah melahirkan perkembangan baru dibidang hubungan internasional. Negara yang telah ada menggabungkan diri mereka melalui penggolongan klasifikasi tertentu dalam wadah suatu organisasi internasional. Dalam organisasi internasional, dikenal beberapa macam penggolongan kesamaan yang mendasarinya seperti organisasi internasional publik yang didasarkan hubungan negara yang disebut organisasi internasional publik, organisasi internasional privat maupun universal. Ada juga organisasi internasional yang berdasarkan prinsip regional dan sub-regional (Sumaryo Suryokusumo, 1997 : 37) .
Perkembangan sekarang menyebutkan bahwa perwakilan diplomatik di tunjuk dan dilakukan atas nama kepala negara untuk mewakili negaranya di negara lain (Boer Mauna, 2003 : 482) . Hal tersebut sama juga seperti dalam prakteknya di Indonesia seperti yang termuat di dalam pasal 13 ayat (1) amandemen undang-undang dasar 1945. Pasal tersebut menunjukkan bahwa kewenangan menunjuk perwakilan diplomatik ada di tangan kepala negara dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada kenyataannya sekarang, organisasi internasional telah diakui sebagai subyek hukum internasional yang setara dengan subyek hukum internasional yang lainnya di mata hukum internasional.
Yang dimaksud dengan subyek hukum internasional adalah semua yang menurut ketentuan hukum diakui mempunyai kemampuan untuk bertindak. Hukum internasional mengenal subyek seperti negara, organisasi internasional dan kesatuan-kesatuan lainnya. Karena itu kemampuan untuk bertindak pada hakekatnya merupakan personalitas dari subjek hukum internasional tersebut. Tiap organisasi internasional memiliki personalitas hukum sendiri dalam hukum internasional. Hal tersebut menyangkut hak dan kewajiban organisasi internasional di mata hukum internasional. Dengan demikian subjek hukum yang ada dibawah sistem hukum internasional merupakan personalitas hukum yang mampu melaksanakan hak dan kewajiban tersebut (Sumaryo Suryokusumo, 1997 : 45) .
Pengakuan organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional sudah banyak diterima oleh wewenang hukum di dunia antara lain oleh International Court of Justice yang biasa dikenal di Indonesia dengan istilah Mahkamah Internasional. International Court of Justice yang di pelopori oleh kasus Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations Case (ICJ Reports, 1949 : 178-179) . Dalam kasus ini International Court of Justice telah menyatakan bahwa United Nations (Perserikatan Bangsa Bangsa) merupakan subyek internasional dan mampu untuk melaksanakan hak dan kewajiban internasional dan karena itu badan tersebut mempunyai kapasitas untuk mempertahankan haknya dalam rangka mengajukan tuntutan internasional (Sumaryo Suryokusumo, 1997 : 46) .
International Court of Justice juga menekankan lagi anggapan organisasi internasional sebagai subyek hukum dengan International Court of Justice Advisory Opinion in Interpretation of the Agreement of 25 March 1951 Between WHO and Egypt. Anggapan ini dikeluarkan oleh International Court of Justice pada tahun 1980. Dalam kasus itu International Court of Justice menyatakan bahwa organisasi internasional adalah subjek hukum internasional yang dengan sendirinya terikat oleh kewajiban-kewajiban yang terletak padanya dibawah aturan-aturan hukum internasional, konstitusinya maupun persetujuan internasional dimana organisasi tersebut sebagai pihak.
Dalam hal hubungannya dengan negara, organisasi internasional dapat memberikan juga perwakilan sebagai representasinya di sebuah negara. Hubungan itu ditandai dengan adanya perjanjian antara organisasi internasional yang bersangkutan dengan sebuah negara. Perwakilan tersebut dapat juga dikategorikan perwakilan diplomatik oleh hukum internasional dengan ketentuan tertentu yang diatur dengan perjanjian terlebih dahulu.
Semakin banyaknya organisasi internasional yang berkembang di dunia internasional menyebabkan perlunya pengaturan yang baku mengenai hubungannya dengan negara. Hal ini terutama menyangkut hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara. Seperti yang diketahui bahwa hukum internasional telah mengatur mengenai hubungan diplomatik antar negara dalam Vienna Conventions on Diplomatic Relations 1961. Semakin banyaknya permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara seperti kasus yang baru-baru ini terjadi antara European Union dengan Turki juga turut mendasari perlunya aturan yang baku mengenai hubungan tersebut.
Hukum internasional belum mengatur secara tersendiri mengenai hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara. Selama ini hubungan diplomatik antara organisasi internasional diatur secara perjanjian tersendiri oleh organisasi internasional maupun negara yang bersangkutan dan belum ada ketentuan hukum internasional yang mengatur mengenai hubungan diplomatik ini secara umum yang dapat digunakan oleh semua hubungan diplomatik yang menyangkut organisasi internasional dengan negara.
Sebenarnya PBB telah membuat referensi mengenai kekebalan dan keistimewaan dari perwakilan organisasi internasional pada tahun 1945, meskipun demikian, referensi tersebut sampai saat ini belum dibahas untuk dibuat konvensinya. Referensi tersebut dimuat dalam United States International Organizations Immunity Act yang dibuat pada tanggal 29 Desember 1945. (International Organizations Immunity Act : 1945)
Pada masa itu peraturan mengenai hubungan organisasi internasional dengan negara dianggap bukan subyek yang mendesak untuk dibahas. PBB menganggap lebih penting mengenai masalah sosial dan politik internasional seperti masalah humaniter dan kepentingan lainnya. Oleh karena itu sampai sekarangpun belum ada pembahasan yang resmi mengenai masalah ini (www.state.gov : 2007).
Belum adanya pembahasan ini telah disebutkan oleh PBB melalui International Law Commision of United Nations (ILC). Dalam daftar pembahasan mengenai peraturan-peraturan hukum internasional, International Law Commision menyebutkan bahwa belum ada pembahasan mengenai status, privileges and immunities of international organizations, their offcials and experts. Pembahasan yang sedang dilakukan saat ini hanya meliputi :
1. Responsibility of international organizations
2. Expulsion of aliens
3. Shared natural resources
4. Obligations to extradite or prosecute
5. Reservation to treaties
6. Effects of armed conflict on treaties
Belum adanya pembahasan mengenai aturan hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara karena masih adanya pertentangan di kalangan PBB khususnya di International Law Commision mengenai definisi serta immunities and previleges yang harus diberikan pada perwakilan organisasi internasional di sebuah negara (www.untreaty.un.org : 2007). Sementara itu permasalahan mengenai diplomatic relations between states and international organizations semakin mencuat seiring perkembangan organisasi internasional yang pesat.
Berdasarkan paparan di atas, melalui serangkaian pencarian data dan penelitian, penulis akan mencoba untuk melakukan studi tinjauan yuridis mengenai hubungan diplomatik antara organisasi internasional yang ditinjau dari sumber hukum internasional yang relevan dengan hal tersebut. Penulis mencari sumber hukum internasional yang paling kuat yang dapat digunakan untuk mendasari hubungan internasional antara organisasi internasional dengan negara. Oleh karena itu peneliti telah mengambil judul penelitian guna penulisan hukum yang berjudul : ANALISIS YURIDIS HUBUNGAN DIPLOMATIK ORGANISASI INTERNASIONAL DAN NEGARA MENURUT SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil yang diharapkan.
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah disebutkan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah sumber hukum internasional mengatur mengenai hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara?
2. Bagaimanakah perbandingan hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik organisasi internasional dan perwakilan diplomatik dari suatu negara ?

C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian bertujuan untuk dapat mengetahui metode dan kombinasi metode penelitian yang paling baik, mengetahui dan dapat digunakan dalam masing-masing penelitian (Sunarjati Hartono, 1994 : 11). Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan diadakan penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui peraturan hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antara organisasi internasional dan negara yang relevan dan digunakan oleh organisasi internasional.
b. Untuk mengetahui bagaimana hukum internasional mengatur kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik organisasi internasional pada sebuah negara apabila dibandingkan dengan perwakilan diplomatik negara.
2. Tujuan Subyektif
a. Menambah wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis terhadap masalah hubungan diplomatik organisasi internasional dan negara.
b. Melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan hukum internasional pada umumnya serta khususnya dalam ilmu hukum diplomatik yang terkait dengan hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan Negara. Selain itu, juga dapat menambah kepustakaan dan bahan-bahan informasi ilmiah mengingat semakin pesatnya perkembangan organisasi internasional dalam hukum internasional terutama mengenai hubungannya dengan Negara.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk lebih mengembangkan daya pikir dan analisis yang akam membentuk daya pikir dinamis, sekaligus untuk mengukur sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan membari masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.
c. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan yang timbul dari hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara.

E. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data yang lengkap sehingga dapat menunjang penulisan hukum yang sesuai dengan judul diatas, maka penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian yang dilakukan ini termasuk dalam jenis penelitian normatif. Sedangkan apabila ditinjau dari metodenya, penelitian ini termasiuk dalam penelitian kualitatif. Yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan cara pengumpulan data berupa kata-kata, gambar-gambar, serta informasi verbal atau normatif verbal atau normatif dan bukan bentuk angka-angka (Soerjono Soekanto, 1994 : 10).
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini dipilih penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1994 : 10). Maksud dari pengertian tersebut adalah bahwa penulis ingin menemukan dan memahami gejala-gejala yang diteliti dengan cara penggambaran yang seteliti-telitinya untuk mendekati obyek penelitian maupun permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya untuk selanjutnya dilakukan analisis mengenai obyek tersebut dan juga bermaksud mempertegas hipotesis-hipotesis agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama maupun di dalam menyusun teori-teori baru.
3. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan Penulis dalam penelitian ini adalah mengutamakan jenis data sekunder, Data sekunder diperoleh dari bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan oleh penulis adalah sumber data sekunder yang meliputi :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu norma ataupun kaidah dasar dan peraruran perundang-undangan serta konvensi-konvensi internasional yang memiliki kekuatan mengikat secara yuridis seperti Vienna Convention on The Law of Treaties, Vienna Convention on Diplomatic Relations, the Charter of United Nations dan lain sebagainya.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang meliputi hasil karya dari kalangan hukum, artikel-artikel, hasil hasil penelitian yang terkait, laporan laporan yang berkaitan dengan pemasalahan yang akan dikaji oleh peneliti.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhaap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris, ensiklopedia dan lain sebagainya.
5. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka (Library Research). Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara membaca, mengkaji, dan membuat catatan dari buku-buku, peraturan Perundang-Undangan, dokumen serta tulisan-tulisan yang berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis logis, sistematis, dan yuridis. Adapun yang dimaksud dengan analisis logis, sistematis dan yuridis adalah sebagai berikut :
a. Logis
Yang dimaksud dengan logis adalah merupakan perwujudan dari pemikiran yang rasional (deduktif dan induktif) terhadap hasil penelitian yang diperoleh termasuk didalamnya menggunakan interpretasi terhadap hukum-hukum yang mengatur mengenai hubungan diplomatik organisasi internasional dengan negara.
b. Sistematis
Yang dimaksud dengan sistematis adalah bahwa rangkaian penelitian ini merupakan rangkaian hal-hal yang tidak terlepas dalam hubungannnya dengan suatu sistem, yaitu dengan adanyan bagian yang saling berhubungan dan bergantung untuk mencapai tujuan tertentu.
c. Yuridis
Yang dimaksud dengan yuridis adalah bahwa penulis ingin menyajikan dan mengkaitkan seta menganalisis hasil penelitian yang berupa aturan-aturan hukum internasional dalam hal ini adalah yang berhubungan dengan hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara.
7. Sistematika
Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah dengan membagi menjadi bab-bab, yaitu sebagai berikut :
Halaman Judul
Halaman Pengesahan
Halaman Motto dan Persembahan
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang permasalahan dan perumusan masalah. Bab ini juga membahas mengenai tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan tinjauan mengenai hukum diplomatik yang meliputi pengertian dan perkembangan hukum diplomatik, tinjauan mengenai organisasi internasional yang meliputi pengertian, klasifikasi dan unsur penting dari organisasi internasional serta tinjauan mengenai sumber hukum internasional. Dalam bab ini juga dipaparkan kerangka pemikiran dari permasalahan yang dibahas.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan pemaparan hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yaitu mengenai Analisis Yuridis Hubungan Diplomatik Organisasi Internasional Dengan Negara Menurut Sumber Hukum Internasional
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bab akhir dari penelitian dan pembahasan yang terbagi dalam dua bagian yaitu kesimpulan dan saran yang dilatarbelakangi oleh hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:04:00

SKRIPSI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN HUKUM PIDANA FORMIL DALAM UU NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG BERSIFAT PENYIMPANGAN DARI KETENTUAN KUHAP

(KODE ILMU-HKM-0051) : SKRIPSI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN HUKUM PIDANA FORMIL DALAM UU NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG BERSIFAT PENYIMPANGAN DARI KETENTUAN KUHAP




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi sebagai suatu proses memang mengalami akselerasi sejak beberapa dekade terakhir, dimana di dalam proses tersebut dunia telah dimampatkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Keadaan yang demikian telah mengisyaratkan bahwa relasi antar kekuatan bangsa-bangsa di dunia akan sangat mewarnai permasalahan sosial, ekonomi, dan hukum dari masing-masing negara. Meskipun permasalahan yang demikian pada mulanya tampak domestik, akan tetapi lambat laun menyikapkan adanya kekuatan antar bangsa. Dari titik ini permasalahannya menjadi kian rumit dan kalangan intelektual berusaha untuk mendeskripsikan fenomena tersebut. Yang pada awalnya memiliki arah domestik, bersifat lokal, dan serta telah masuk kedalam tataran global. Disamping itu, hal tersebut juga muncul bersmaan dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara luas. Maka implikasi dari kehidupan dunia yang bersatu inilah yang disebut sebagai era globalisasi, dimana hal tersebut selalu diidentikkan dengan adanya gejala trasnformasi, atau melampaui batas-batas transnasional (Roland Robertson : 1990).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, serta globalisasi keuangan terutama telah mengakibatkan semakin mendunianya perdagangan barang dan jasa. Kemajuan tersebut tidak selamanya menimbulkan dampak positif bagi negara dan masyarakat. Kemajuan dalam berbagai bidang justru terkadang menjadi sarana yang subur bagi perkembangan kejahatan (Adrianus Meliala, 1995). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat pesat itu, disatu sisi berkembang pula metode-metode kejahatan yang memang dilakukan dengan kejahatan kerah putih (white collar crime).
Dewasa ini kejahatan kerah putih sudah dalam taraf transnasional yang tidak lagi mengenal batas-batas negara. Bentuk kejahatannya telah dirasakan semakin canggih serta sangat terorganisasi dengan sangat terselubung dan rapi, sehingga bentuk kejahatan tersebut seolah tidak bias diraba dengan pasti, hal itu akan menjadi sangat sulit dideteksi oleh aparat penegak hukum. Sebagai suatu contoh adalah dalam dunia ekonomi, yang memang telah jauh memasuki taraf transnasional, perkembangan sektor perbankan sangat menguntungkan bagi masyarakat maupun suatu negara, akan tetapi sarana perbankan banyak pula yang justru digunakan sebagai tempat pelarian harta-harta hasil dari kejahatan yang sengaja ditujukan untuk menghilangkan asal-usul bahwa harta tersebut berasal dari cara-cara yang illegal. Disini pelaku kejahatan akan selalu berusaha menyelamatkan uang hasil kejahatannya melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan metode pencucian uang (money laundering).
Dengan adanya kemajuan di bidang teknologi ataupun globalisasi di sektor keuangan, khususnya di perbankan secara implisit sudah tergambarkan bahwa pelaku tindak pidana pencucian uang adalah pelaku kejahatan yang memiliki keahlian di bidang teknologi, terutama yang memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan segala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau bahkan orang-orang yang memiliki kekuasaan secara politis. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaku kejahatan atau tindak pencucian uang adalah orang yang mempunyai kekuasaan, baik berwujud intelektual, ataupun keahlian yang tinggi. Hal ini pula yang membedakan antara pelaku tindak pidana pencucian uang sebagai penjahat berkerah putih dengan pelaku kejahatn jalanan atau berkerah dekil. Dengan metode pencucian uang tersebut, pelaku kejahatn berusaha mengubah sesuatu yang didapat secara illegal menjadi legal.
Organisasi yang pertama kali menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah pencucian uang adalah The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), yang pendiriannya bertujuan untuk mengupayakan berbagai cara dan tindakan untuk memberantas praktik kejahatan pencucian uang. Badan tersebut berhasil membuat rekomendasi yang sangat berguna dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Kemudian sebenarnya yang perlu dipikirkan adalah bahwa bangsa Indonesia sampai saat ini masih dikategorikan sebagai negara yang rawan praktik pencucian uang. Sebenarnya proses legislasi yang menyangkut ketentuan tentang pencucian uang sudah mengalami banyak kemajuan.
Selain membuat Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), bahkan beberapa waktu yang lalu telah dilakukan amandemen terhadap beberapa pasal dalam undang-undang tersebut, kemudian berubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 sebagai hasil amandemen, pemerintah juga telah membemtuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yakni sebuah lembaga yang memantau arus peredaran uang haram di Indonesia. Akan tetapi dalam hal pencucian uang, Indonesia masih dikategorikan sebagai negara yang sangat rawan, atau dikatakan sebagai surga bagi praktik ilegal pencucian uang, akibat lemahnya kontrol keuangan terhadap system perbankan nasional. Sehingga sangatlah maklum apabila dalam penanganan pencucian uang Indonesia memang masih sangat tertinggal. Meskipun belum termasuk dalam kategori atau tingkatan yang dikenai sanksi atau peringatan.
Sebenarnya terdapat beberapa alasan yang dijadikan sebagai dasar memasukkan Indonesia ke dalam major laundering countries, pertama adalah selama ini pihak Penyedia Jasa Keuanagan, dalam hal ini bank tidak pernah menanyakan asal usul dari mana sumber uang yang disimpan oleh setiap nasabahnya. Kemudian yang kedua, Indonesia menganut sistem devisa bebas dengan sistem perekonomian yang terbuka, siapa saja menurut sistem ini boleh memiliki devisa, menggunakannya untuk kepentingan apa saja dan tidak ada kewajiban untuk menjualnya kepada negara atau bank sentral. Ketiga, ketentuan rahasia bank di Indonesia cukup ketat dengan kondisi di Indonesia, dimana terdapat saving investment gap, yang mengakibatkan Indonesia memerlukan banyak pinjaman dana dari luar negeri. Kelima, kemungkinan besar banyaknya pelarian-pelarian pelaku tindak pidana pencucian uang, dalam hal ini peredaran uang hasil kejahatan yang berasal dari negara-negara lain yang sangat keras dalam hal penekanan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hal itulah yang akan menjadikan Indonesia sebagai sarang atau penyimpangan uang hasil kejahatan tersebut.
Selain beberapa alasan diatas, untuk memerangi tindak pidana pencucian uang adalah permasalahan yang berkaitan dengan kerangka hukum yang belum memadai dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan tersebut. Oleh karena itu secara umum terdapat beberapa alasan yang mendasari bahwa tindak pidana pencucian uang harus diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu (Guy Stessen, 2000) :
1. Pengaruh tindak pidana pencucian uang terhadap uang sistem keuangan dan perekonomian sangat diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Dimana uang hasil tindak pidana tersebut cenderung diinvestasikan, yang selanjutnya dapat dialihkan dari suatu negara ke negara lain, yakni dengan hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional maupun internasional, yang pada akhirnya akan menyebabkan fluktuasi global.
2. Dengan ditetapkannya pencucian sebagai tindak pidana maka hal itu akanmemudahkan bagi para penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya karena telah memiliki landasan hukum.
3. Dengan dinyatakannya pencucian uang sebagai tindak pidana dengan diikuti adanya kewajiban pelaporan setiap transaksi keuangan dalam jumlah tertentu atau yang bersifat mencurigakan, maka akan memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus tindak pidana pencucian uang sampai pada otak pelaku yang sebenarnya paling menikmati hasil kejahatan tersebut.
4. Bahwa dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana pencucian uang tersebut terbukti sanagt besar bagi masyarakat, dimana implikasi negatif dari praktik pencucian uang (yang pada dasarnya sudah negatif) juga tidak terbayangkan implikasi negatifnya, antara lain bahwa dengan membiarkan masyarakat menikmati uang haram tersebut berarti mengijinkan organized crime membangun fondasi usaha yang ilegal dan membiarkan mereka menikmati hasil aktifitasnya, sehingga underground banking systems banyak bermunculan di mana-mana, kemudian praktik pencucian uang juga menciptakan kondisi persaingan persaingan tidak jujur, bahwa dengan perlakuan yang permisif terhadap pencucian uang maka hal itu berarti turut membangun etos persaingan yang tidak jujur dan moral bisnis menurun, wibawa hukum merosot drastis, disamping itu juga perkembangan praktik pencucian uang akan sangat melemahkan kekuatan finansial masyarakat pada umumnya, angka-angka yang mencerminkan indikator ekonomi makro masyarakat menjadi menurun semakin banyaknya uang yang berjalan diluar kendali sistem perekonomian pada umumnya.
Kemudian, sebenarnya yang dapat digunakan sebagai suatu bahan pertimbangan adalah bahwa bangsa Inonesia termasuk dalam major laundering countries, dimana dalam hal ini menjadikan Indonesia termasuk dalm negara yang menjadi salah satu pantauan dunia internasional dalam kasus tindak pidana pencucian uang tersebut.
Selain hal-hal tersebut diatas, permasalahan lain yang ditimbulkan bahwa tindak pidana pencucian uang sangat besar dampaknya bagi masyarakat, sehingga sangat dikhawatirkan akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:
1. Kegiatan pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, penyelundup, ataupun pelaku kejahatan lainnya yang berkaitan akan semakin mudah untuk memperluas kegiatan operasinya.
2. Kegiatan pencucian uang mempuntai potensi yang sangat besar untuk merongrong masyarakat keuangan (financial community) sebagai akibat besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Secara tidak langsung potensi melakukan tindak pidana lain berupa korupsi akan sangat terbuka seiring dengan peredaran jumlah uang haram yang sangat besar.
3. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi, merongrong sektor swasta yang sah (underminting the legitimate private sector), ataupun membahayakan upaya-upaya privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang dilakukan oleh pemerintah (risks to privatization efforts), indikasinya telah terlihat bahwa Indonesia merupakan negara yang sedang bergulat dalam menggejalanya kegiatan pencucian uang dengan maraknya privatisasi perusahaan-perusahaan negara akhir-akhir ini. Sehingga disamping itu maraknya pencucian uang telah benar-benar merusak reputasi negara, baik itu dimata masyarakat ataupun dunia.
Peter J Quirk dalam tulisannya Money Laundering : Muddying the Macroeconomy, 1997, mengatakan bahwa dengan pencucian uang permintaan uang sering berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain, sehingga dapat mengacaukan statistik jumlah mata uang yang dikeluarkan suatu negara, menyebabkan data moneter tidak tepat, dan dapat menimbulkan konsekuensi sebaliknya bagi volatilitas terutama terhadap dollarized economies yang menjadi tidak pasti atas gerakan agregat-agregat moneter. Dampak distribusi pendapatan dari hasil pencucian uang harus dipertimbangkan sampai pada batas tertentu, kegiatan-kegiatan kejahatan mengalihkan pendapatan dari para high saver kepada low saver, dari ivestasi yang sehat kepada investasi yang beresiko dan berkualitas rendah (Remy Sjahdeini, 2001).
Sebenarnya sisi lain yang menyebabkan kegiatan pencucian uang harus segera diberantas adalah karena akan sangat cepat menjalar dalam berbagai sektor, seiring dengan semakin menggejalanya era globalisasi di berbagai bidang, yang mengakibatkan konsekuensi dalam pasar global akibat peredaran uang yang begitu besar serta tidak jelas asal usulnya. Faktor lainnya adalah dengan pesatnya kemajuan teknologi dibidang informasi, yaitu dengan munculnya jenis uang baru yang disebut electric money (E-money), yang berhubungan dengan electric commerce (E-commerce), sehingga disebut sebagai cyberlaundering. Kemudin secara sistematis terdapat beberapa faktor yang menjadikan tindak pidana pencucian uang semakin menjalar di Indonesia, yaitu:
1. Perkembangan pasar modal yang diikuti dengan uang yang begitu besar dengan asal- usul yang tidak jelas. Serta kemajuan teknologi yang sangat cepat menyebabkan perkembangan kejahatan yang semakin canggih pula.
2. Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat di Indonesia, sehingga sangat menghambat para penegak hukum dalam usaha mencegah ataupun memberantas tindak pidana pencucian uang tersebut.
3. Minimnya kesungguhan dari setiap negara yang bersangkutan mendapatkan keuntungan dari penempatan uang-uang haram dalam sistem perbankan yang dimiliki. Uang yang disimpan secara ilegal di bank dibutuhkan untuk menjadi investment capital bagi pembangunan, khususnya negara berkembang seperti halnya Indonesia yang serba kekurangan dana bagi kegiatan pertumbuhan ekonominya.
4. Tidak dikriminalisasikannya pencucian uang di negara yang bersangkutan, bahkan tidak memiliki sistem perundang-undangan yang memadai, padahal kita semua telah mengetahui bahwa sifat kriminalitas dari pencucian uang adalah berkaitan dengan latar belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram atau kotor yang kemudian dikelola dengan aktivitas-aktivitas tertentu.
Bagi negara kita yang dipandang sebagai sasaran empuk tindak pidana pencucian uang, bisa dikatakan bahwa faktor penyebabnya adalah gabungan antara kelemaham sistem sosial, termasuk di dalamnya adalah sistem hukum nasional dengan keterbelakangan sistem keuangan. Proses pemutihan uang haram semakin mudah dilakukan karena kombinasi antara kemajuan teknologi dan deregulasi bidang perekonomian telah mempercepat integrasi perekonomian internasional dengan perekonomian dunia, sehingga akan sangat memudahkan keluar masuknya uang kotor melalui transaksi pasar, yakni transaksi barang dan jasa, faktor produksi modal maupun tenaga kerja antara Indonsia dengan luar negeri (Anwar Nasution, 1998).
Sebenarnya permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam usaha memerangi tindak pidana pencucian uang adalah bukan hanya terletak pada sistem rahasia bank, akan tetapi keberadaan Undang-Undang yang mengatur tidak didukung oleh kemampuan atau bahkan kemauan para penegak hukum di Indonesia yang masih terlalu bersikap kaku terhadap bentuk-bentuk mengandung perbedaan dengan apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Mengenai permasalahan perbedaan atau penyimpangan terhadap hukum positif yang berlaku, dalam hal ini seperti yang terkandung pula dalam UU TPPU, sebenarnya tidak akan menjadi permasalahan yang begitu besar manakala hal tersebut telah diketahui dan memang dalam hal ini yang diperlukan adalah adanya perubahan pola pikir positivisme, dimana hukum akan selalu tampil kaku bahkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Akan tetapi yang masih perlu dipikirkan secara lebih mendalam adlah manakala hal tersebut sudah berjalan, bahwa apakah hal-hal yang bertentangan dengan KUHAP tersebut akan menjadi masalah, sedangkan disisi lain kita mengetahui bahwa untuk memberantas tindak pidana pencucian uang diperlukan terobosan-terobosan baru dalam hukum itu sendiri. Untuk mengkaji masalah tersebut, diperlukan bahan perbandingan yang cukup dari Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan KUHAP. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dalam bentuk Penulisan hukum/Skripsi, dengan judul: "ANALISIS TERHADAP KETENTUAN HUKUM PID ANA FORMIL DALAM UU NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG BERSIFAT PENYIMPANGAN DARI KETENTUAN KUHAP"

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.
Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalah-masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang yang bersifat penyimpangan dari KUHAP
2. Bagaimanakah kelebihan dan kelemahan ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dibandingkan dengan KUHAP

C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan harus memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Suatu penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bentuk ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang yang bersifat penyimpangan dari KUHAP.
b. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dibandingkan dengan KUHAP
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya penyelesaian tindak pidana pencucian uang.
b. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.
c. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
Adanya suatu penelitian selain mempunyai tujuan yang jelas juga diharapkan memberikan manfaat terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.
b. Hasil penelitian ini dapat menambah literatur, referensi dan bahan-bahan informasi ilmiah mengingat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang masih merupakan bahasan yang tergolong baru dalam penerapan hukum di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
b. Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
c. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya memulihkan kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana pencucian uang.

E. Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapai. Akan tetapi denagn mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dana terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud. (Winarno Surakhat, 1982:131). Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 2006: 7). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif, dengan metode pendekatan kualitatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai data utama. Dalam hal ini adalah UU No. 25 Tahun 2003 tentang pencucian uang dan KUHAP.
2. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi: bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.
3. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi: bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum Primer yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Undang-Undang Nomor.8 Tahun 1981 taetang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian. antara lain berupa buku-buku atau literatur yang berkaitan atau membahas tentang tindak pidana pencucian uang.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah penelitian kepustakaan. Yaitu teknik pengumpulan data sekunder berupa buku-buku, dokumen-dokumen resmi, laporan hasil penelitian, literatur, karya ilmiah yang berkaitan dengan materi yang diteliti untuk mendapatkan data-data sekunder.
5. Teknik Analisis Data
Penganalisisan data merupakan tahap yang paling penting dalam penelitian hukum normatif. Di dalam penelitian hukum normatif, maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis. Sistemasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan perundang-undangan mengenai Pencucian Uang sesuai dengan permasalahan yang diteliti.n-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. (Soerjono Soekanto, 2006:251)
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.
Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis interaktif (Interactive Model of Analysis) yaitu proses analisis dengan menggunakan tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data dan kemudian penarikan kesimpulan (verifikasi ). Selain itu dilakukan pula suatu proses antara tahap-tahap tersebut sehingga data yang terkumpul berhubungan satu sama lain secara otomatis. (H.B.Sutopo, 2002: 94-96 ).
Untuk lebih jelas, masing-masing tahap dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut :
a. Pengumpulan data
Merupakan proses pencarian data dari berbagai sumber, yang mana data-data tersebut relevan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, guna memperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungj awabkan.
b. Reduksi Data
Yaitu sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data sudah dimulai sejak peneliti mengambil keputusan tentang kerangka kerja konseptual, tentang pemilihan kasus, pertanyaan yang diajukan dan tentang tata cara pengumpulan data yang dipakai.
c. Penyajian data
Yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
d. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Yaitu mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proposisi. Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya yakni yang merupakan validitasnya (H.B Soetopo, 2002 : 91-95)

F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 4 (empat) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang hukum acara pidana dan tinjauan umum tentang tindak pidana pencucian uang.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu mengenai . bentuk ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang yang bersifat penyimpangan dari KUHAP dan kelebihan dan kelemahan ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dibandingkan dengan KUHAP.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisi simpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:02:00

TESIS PTK PENINGKATAN KETRAMPILAN MENULIS SURAT DINAS MELALUI PENERAPAN PENILAIAN BERBASIS KELAS PADA SISWA KELAS VIII

(KODE PTK-0042X) : TESIS PTK PENINGKATAN KETRAMPILAN MENULIS SURAT DINAS MELALUI PENERAPAN PENILAIAN BERBASIS KELAS PADA SISWA KELAS VIII (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia telah banyak disadari oleh berbagai pihak. Indikator rendahnya mutu pendidikan ini dapat dilihat dari hasil Ujian Nasional maupun peringkat mutu pendidikan negara kita di antara negara-negara lain di dunia serta kualifikasi pendidik pada jenjang pendidikan tertentu.
Hasil survei dari Human Development Index (HDI) menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% guru SMU, dan 34% guru SMK belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka (Toharuddin, Oktober 2005 dalam http://id.edublogs.org/2006/03/07/kbk-antara-harapan-dan-kenyataan/)
Melihat kondisi pendidikan yang demikian memprihatinkan pemerintah tidak tinggal diam. Bersama-sama dengan berbagai pihak pemerintah berupaya meningkatkan mutu pendidikan nasional salah satunya dengan penerapan Kurikulum 2004 yang lebih populer dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Selanjutnya kurikulum 2004 itu disempurnakan lagi menjadi kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan terus bergulir dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana-prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan berdasarkan standar nasional memerlukan langkah dan strategi yang harus dikaji berdasarkan analisis yang cermat dan teliti. Analisis dilakukan terhadap tuntutan kompetensi yang tertuang dalam rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Penjabaran Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) sebagai bagian dari pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dilakukan melalui pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Silabus merupakan penjabaran umum dengan mengembangkan SK-KD menjadi indikator, kegiatan pembelajaran, materi pembelajaran, dan penilaian. Penjabaran lebih lanjut dari silabus dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran.
Penetapan kriteria ketuntasan minimal belajar merupakan tahapan awal pelaksanaan penilaian hasil belajar sebagai bagian dari langkah pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum berbasis kompetensi yang menggunakan acuan kriteria dalam penilaian, mengharuskan pendidik dan satuan pendidikan menetapkan kriteria minimal yang menjadi tolok ukur pencapaian kompetensi.
Standar kompetensi pada mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup empat aspek keterampilan berbahasa. Keempat aspek itu meliputi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek ini memiliki peran yang sama penting bagi peserta didik untuk menguasai keterampilan berbahasa Indonesia. Namun demikian, keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan ekspresif-produktif yang sangat penting untuk dikuasai peserta didik dalam proses komunikasi tulis. Banyak orang yang sukses karena memiliki keterampilan komunikasi tulis yang bagus. Dengan demikian agar peserta didik dapat memiliki keterampilan berbahasa yang baik harus menguasai keterampilan menulis yang baik pula.
Pada kenyataannya keterampilan menulis siswa rata-rata masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan menulis siswa SMPN X khususnya kelas VIII B yang masih jauh dari harapan. Rendahnya kemampuan menulis siswa ini terungkap dari keluhan guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tersebut yang menyatakan bahwa kemampuan menulis siswa masih rendah. Mereka sering kesulitan ketika hendak memulai menulis. Mereka sering kebingungan apa yang harus ditulis dan dari mana memulai menulis. Rendahnya keterampilan menulis ini juga dapat dilihat dari nilai rata-rata menulis mereka yang hanya 62,98. Padahal kriteria ketuntasan minimal untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia ditetapkan 65. Dengan demikian rata-rata nilai menulis surat dinas masih di bawah KKM.
Rendahnya kemampuan menulis surat dinas ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kurangnya pemahaman guru terhadap KTSP, sarana dan prasarana pembelajaran yang kurang memadai, rendahnya minat belajar siswa terhadap aspek keterampilan menulis, latar belakang keluarga dan faktor lain yang belum tergali.
Berdasarkan faktor-faktor penyebab rendahnya keterampilan menulis siswa kelas VII B SMPN X tersebut penelitian ini akan mencoba membuat suatu tindakan melalui penerapan penilaian berbasis kelas untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa khususnya surat dinas. Penelitian tindakan difokuskan pada kompetensi dasar menulis surat dinas. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya Kompetensi Dasar pada aspek menulis serta mengingat pentingnya kompetensi dasar ini dikuasai siswa. Selain itu, efisiensi waktu dan biaya juga menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat di atas masalah yang dirumuskan dalam penelitian tindakan kelas adalah sebagai berikut:
1. Apakah penerapan Penilaian Berbasis Kelas (PBK) dapat meningkatkan keterampilan menulis surat dinas siswa?
2. Apakah Penilaian Berbasis Kelas dapat meningkatkan intensitas pembelajaran menulis surat dinas?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah meningkatkan keterampilan menulis surat dinas siswa melalui penilaian berbasis kelas.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang hendak dicapai sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di depan adalah:
a. Meningkatkan keterampilan menulis surat dinas siswa kelas VIII B SMPN X dengan menerapkan penilaian berbasis kelas.
b. Meningkatkan intensitas proses pembelajaran menulis surat dinas.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan lebih mendalam mengenai teori-teori dan langkah-langkah penerapan penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran menulis meningkatkan intensitas pembelajaran menulis surat dinas. Hambatan-hamabatan atau kelemahan-kelemahan penerapan penilaian berbasis kelas pada pembelajaran lain dapat diantisipasi atau dihindari.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi Siswa
1) Siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran, karena selama pembelajaran berlangsung siswa terlibat secara aktif dalam penilaian, baik menilai hasil karya sendiri maupun menilai hasil kerja teman.
2) Minat menulis siswa meningkat, sehingga siswa dapat lebih mengembangkan keterampilan menulis yang dimilikinya.
3) Siswa makin terampil menulis surat dinas, karena telah banyak berlatih dan menguasai teknik-teknik menulis surat dinas.
4) Hasil belajar lebih bermakna karena siswa lebih banyak melakukan praktik menulis dan menilai kelemahan atas tulisan-tulisannya.
b. Manfaat bagi Guru
1) Guru memperoleh pengetahuan yang nyata mengenai penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran menulis.
2) Guru dapat menerapkan penilaian berbasis kelas dalam pembelajaran khususnya pembelajaran menulis.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 17:00:00

TESIS PTK UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI DAN KETERAMPILAN MENULIS NARASI PADA SISWA KELAS IV SDN X

(KODE PTK-0041X) : TESIS PTK UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI DAN KETERAMPILAN MENULIS NARASI PADA SISWA KELAS IV SDN X (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan dan telah melakukan pembaharuan sistem pendidikan. Usaha tersebut antara lain adalah penyempurnaan kurikulum, perbaikan sarana dan prasarana, serta peningkatan kualitas tenaga pengajar.
Dalam pengajaran atau proses belajar mengajar guru memegang peran sebagai sutradara sekaligus aktor. Guru sebagai tenaga profesional harus memiliki sejumlah kemampuan mengaplikasikan berbagai teori belajar dalam bidang pengajaran, kemampuan memilih dan menerapkan metode pengajaran yang efektif dan efisien, kemampuan melibatkan siswa berpartisipasi aktif, dan kemampuan membuat suasana belajar yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Oleh karena itu, bahasa yang memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP) mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia(Permendiknas No 22 Tahun 2006).
Untuk meningkatkan mutu penggunaan bahasa Indonesia, pengajarannya dilakukan sejak dini, yakni mulai dari sekolah dasar yang nantinya digunakan sebagai landasan untuk jenjang yang lebih lanjut. Pembelajaran bahasa Indonesia ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Penguasaan bahasa Indonesia yang baik dapat diketahui dari standar kompetensi yang meliputi, membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan (menyimak).
Menulis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam seluruh proses belajar yang dialami siswa selama menuntut ilmu di sekolah. Menulis memerlukan keterampilan karena diperlukan latihan-latihan yang berkelanjutan, terus menerus dan sungguh-sungguh (St.Y.Slamet, 2009:98). Pembelajaran keterampilan menulis pada jenjang Sekolah Dasar merupakan landasan untuk jenjang yang lebih tinggi nantinya. Siswa Sekolah Dasar diharapkan dapat menyerap aspek-aspek dasar dari keterampilan menulis guna menjadi bekal ke jenjang lebih tinggi. Pembelajaran ketrampilan menulis di Sekolah Dasar berfungsi sebagai landasan untuk latihan keterampilan menulis ke jenjang pembelajaran sekolah sesudahnya nanti. Dengan banyaknya latihan pembelajaran menulis, diharapkan dapat membangun keterampilan menulis siswa lebih meningkat lagi. Dengan keterampilan menulis yang dimiliki, siswa dapat mengembangkan kreativitas dan dapat mempergunakan bahasa sebagai sarana menyalurkan kreativitasnya dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu pembelajaran keterampilan menulis yang perlu dipelajari siswa adalah ketrampilan menulis narasi. Dalam pembelajaran menulis, diharapkan siswa tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan membuat karangan namun juga diperlukan kecermatan untuk membuat argumen, memiliki kemampuan untuk menuangkan ide atau gagasan dengan cara membuat karangan yang menarik untuk dibaca. Di antaranya mereka harus dapat menyusun dan menghubungkan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain sehingga menjadi karangan yang utuh.
Beberapa keprihatinan akan ketidakmampuan siswa akan keterampilan menulis tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri X. Nilai yang diperoleh siswa pada kompetensi dasar menulis sebagian besar masih jauh dari nilai kriteria ketuntasan minimal(KKM) yang ditargetkan yaitu 65. Dari tes pratindakan yang dilakukan guru mengenai keterampilan menulis narasi baru 27 % siswa yang memenuhi KKM, sedangkan 73% siswa belum memenuhi KKM. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara (Hasil wawancara prapenelitian dengan guru kelas IV Sekolah Dasar Negeri X, 10 Februari 2009) yang telah dilakukan, masih banyak siswa yang masih belum bisa menulis narasi dengan baik. Ada yang masih bingung bagaimana memulai untuk menulis, tata bahasa yang campur, tidak sistematis, dan tidak ada kesesuaian antara ide pokok dan kalimat utama atau pendukungnya.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab dari kesulitan siswa dalam menulis adalah dari siswa sendiri di mana mereka jarang menulis, kurangnya motivasi pada siswa, dan guru kurang memfasilitasi siswa dengan model pembelajarannya. Bagaimanapun, guru sangat berperan penting dalam proses belajar mengajar, memberi motivasi dan membangkitkan motivasi siswa dalam pencapaian keterampilan menulis.
Dengan mempertimbangkan masalah di atas maka penelitian ini menggunakan media gambar berseri untuk meningkatkan keterampilan menulis narasi pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri X Kecamatan X Kabupaten X. Hal ini sesuai dengan pendapat Arif Sadiman (1996:31) yang menyatakan bahwa media gambar sifatnya konkrit dan lebih realistis dalam memunculkan pokok masalah jika dibandingkan dengan bahasa verbal, dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita, memperjelas masalah bidang apa saja, harganya murah dan mudah didapat serta digunakan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dirumuskan dalam perumusan masalah penelitian ini adalah :
1. Apakah penggunaan media gambar berseri dapat meningkatkan motivasi untuk menulis narasi siswa Kelas IV SDN X?
2. Apakah penggunaan media gambar berseri dapat meningkatkan keterampilan menulis narasi siswa Kelas IV SDN X?

C. Tujuan Penelitian
Dengan memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan:
1. motivasi menulis narasi dengan media gambar berseri siswa Kelas IV SDN X.
2. keterampilan menulis narasi dengan media gambar berseri siswa Kelas IV SDN X .

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Secara Teoretis
Dapat dijadikan acuan bagi guru dalam meningkatkan keterampilan menulis siswa yang berkaitan dengan penulisan narasi.
2. Secara Praktis
a. Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan model pembelajaran guna meningkatkan keterampilan berbahasa, khususnya yang berkaitan dengan penulisan narasi.
b. Penulisan ini juga diharapkan dapat dijadikan acuan oleh pengajar keterampilan berbahasa dalam menentukan model pemecahan masalah yang berkaitan dengan pengajaran di kelas, khususnya penulisan narasi.
c. Diharapkan dapat menggugah siswa dalam menulis narasi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:59:00

SKRIPSI PTK UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR PKn MELALUI METODE PEMBELAJARAN THINK-PAIR-SHARE (TPS) BAGI SISWA KELAS VII C SMPN X

(KODE PTK-0040) : SKRIPSI PTK UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR PKn MELALUI METODE PEMBELAJARAN THINK-PAIR-SHARE (TPS) BAGI SISWA KELAS VII C SMPN X (MATA PELAJARAN : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat mengakibatkan perubahan di segala bidang kehidupan. Kemajuan ini tentu memberi dampak pada lembaga pendidikan salah satunya, dimana lembaga pendidikan dituntut untuk dapat menyelenggarakan proses pendidikan secara optimal dan aktif sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan itu sendiri. Peningkatan kualitas dan mutu pendidikan yang baik diharapkan mampu melahirkan lulusan-lulusan yang mempunyai daya saing tinggi untuk menghadapi ketatnya tantangan dan persaingan di dunia kerja. Oleh sebab itu, perbaikan-perbaikan yang membangun di bidang pendidikan harus terus dilaksanakan guna mencapai kualitas dan mutu pendidikan yang sesuai dengan harapan.
Upaya melakukan perbaikan di bidang pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak, salah satunya yaitu guru. Sebagaimana dijelaskan oleh Oemar Hamalik (1991: 44) yang mengatakan bahwa "Guru bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah dalam arti memberikan bimbingan dan pengajaran kepada para siswa". Guru harus dapat melakukan suatu inovasi yang menyangkut tugasnya sebagai pendidik yang berkaitan dengan tugas mengajar siswa. Inovasi-inovasi yang dilakukan guru dalam tugasnya sebagai pendidik diharapkan mampu meningkatkan prestasi belajar siswa. Mengingat bahwa guru juga memberi pengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Sebagaimana dikemukakan oleh Hamzah B. Uno (2008:17) bahwa "Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh peserta didiknya". Oleh karena itu perubahan-perubahan berkaitan dengan tugas mengajar guru harus selalu ditingkatkan.
Salah satu cara yang dapat ditempuh berkaitan dengan inovasi tugas mengajar guru adalah guru hendaknya mempunyai kemampuan dalam mengembangkan metode mengajarnya. Metode mengajar diartikan sebagai suatu cara atau teknik yang dipakai oleh guru dalam menyajikan bahan ajar kepada siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Khususnya dalam hal ini adalah metode untuk menunjang proses belajar mengajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pemilihan metode mengajar ini juga perlu diperhatikan karena tidak semua materi dapat diajarkan dengan hanya satu metode mengajar. Guru hendaknya dapat memilih metode mengajar yang dianggap sesuai dengan materi yang hendak diajarkan. Hal ini dimaksudkan agar pengajaran khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dapat berlangsung secara efektif, efisien dan tidak membosankan.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang diwajibkan untuk kurikulum di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 37. Berdasarkan hal tersebut PKn tidak bisa dianggap remeh karena merupakan mata pelajaran yang diwajibkan, sehingga upaya-upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran PKn di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi harus terus ditingkatkan.
Kenyataan di lapangan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) masih dianggap sebagai pelajaran nomor dua atau dianggap sepele oleh sebagian besar siswa. Kenyataan ini semakin diperburuk dengan metode mengajar yang dipakai oleh sebagian besar guru PKn masih memakai metode konvensional atau tradisional. Metode konvensional merupakan metode dimana guru memegang peranan utama dalam menentukan isi dan langkah-langkah dalam menyampaikan materi kepada siswa. Sehingga keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar dan mengajar berkurang dan hanya bergantung pada guru. Metode ini berkisar pada pemberian ceramah, tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Akibatnya dalam mempelajari materi PKn siswa cenderung kurang semangat dan dianggap sebagai pelajaran yang membosankan. Hal tersebut terjadi pula di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) X.
SMPN X terdiri dari sembilan kelas, meliputi kelas VII A, B, dan C, kelas VIII A, B, dan C, dan kelas IX A, B, dan C. Peneliti memfokuskan perhatian pada kelas VII, yang terdiri dari tiga kelas. Permasalahan yang akan diteliti, peneliti temukan di kelas VII C SMPN X. Kelas tersebut memiliki permasalahan prestasi belajar rata-rata kelas pada mata pelajaran PKn yang rendah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai rata-rata PKn kelas VII C semester gasal yaitu 58,2 dengan batas ketuntasan minimalnya (KKM) yaitu 70. Berdasar data tersebut siswa yang mampu mencapai nilai > 70 hanya 40%, sedangkan sisanya memperoleh nilai di bawah batas ketuntasan minimal tersebut. Data ini peneliti dapatkan setelah melakukan wawancara dengan guru PKn di SMP tersebut. Rendahnya prestasi belajar siswa tersebut antara lain disebabkan oleh kurangnya semangat siswa dalam belajar PKn, tidak semua siswa mempunyai buku pegangan atau buku paket PKn, dan metode mengajar guru yang masih berkisar pada ceramah, tanya jawab serta penugasan.
Berdasarkan sebab-sebab tersebut peneliti memfokuskan pada metode mengajar guru yang masih bersifat konvensional. Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh guru berkaitan dengan pengembangan metode mengajar agar tidak terpaku pada metode mengajar konvensional adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Hamzah B. Uno (2008:17) yaitu dengan "Mengubah dari sekedar metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan tujuan pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalau ada guru". Oleh karena itu metode konvensional dalam pengajaran PKn harus diubah. Hal ini dilakukan supaya siswa tidak lagi merasa bosan dalam mengikuti pelajaran PKn. Sebaliknya dengan metode baru siswa diharapkan lebih aktif tidak lagi hanya sekedar menerima informasi atau diceramahi guru, tetapi bisa memberikan informasi kepada teman-temannya.
Salah satu metode mengajar yang dapat diterapkan oleh guru untuk mengatasi permasalahan di atas dan mampu menciptakan suasana belajar yang aktif dan tidak membosankan adalah model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS). Model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) memberikan kepada siswa waktu untuk berpikir, menjawab, merespon dan membantu satu sama lain. Muslimin dalam Ghiffard (XXXX,http://ghiffard.multiply.com/journal/item/1/skripsi_koe_bab_II) mengatakan bahwa "Langkah-langkah Think-Pair-Share ada tiga yaitu berpikir (thinking), berpasangan (pairing), dan berbagi (sharing)". Melalui metode ini penyajian bahan ajar tidak lagi membosankan karena siswa diberikan waktu untuk berdiskusi menyelesaikan suatu masalah atau soal bersama dengan pasangannya sehingga baik siswa yang pandai maupun siswa yang kurang pandai sama-sama memperoleh manfaat melalui aktivitas belajar ini. Jadi selama proses belajar mengajar diharapkan semua siswa aktif karena pada akhirnya nanti masing-masing siswa secara berpasangan harus membagikan hasil diskusinya di depan kelas kepada teman-teman lainnya. Metode Think-P air-Share (TPS) dikembangkan untuk meningkatkan penguasaan isi akademis siswa terhadap materi yang diajarkan. Hal ini seperti dinyatakan oleh Richard I. Arends (1997:122) bahwa "Think-pair-share and Numbered heads together, described here, are two examples of structures teachers can use to teach academic content or to check on student understanding of particular content ”. Peningkatan penguasaan isi akademis siswa terhadap materi pelajaran dilalui dengan tiga proses tahapan yaitu melalui proses thinking (berpikir) siswa diajak untuk merespon, berpikir dan mencari jawaban atas pertanyaan guru, melalui proses pairing (berpasangan) siswa diajak untuk bekerjasama dan saling membantu dalam kelompok kecil untuk bersama-sama menemukan jawaban yang paling tepat atas pertanyaan guru. Terakhir melalui tahap sharing (berbagi) siswa diajak untuk mampu membagi hasil diskusi kepada teman dalam satu kelas. Jadi melalui metode Think-P air-Share (TPS) ini penguasaan isi akademis siswa terhadap materi pelajaran dapat meningkat dan pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan peneliti dengan mengadakan tes kemampuan awal dan wawancara dengan guru PKn kelas VII, maka penelitian ini akan dilaksanakan di kelas VII C SMPN X.
Oleh karena itu untuk meningkatkan prestasi belajar khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), peneliti bermaksud mencobakan metode Think-Pair-Share (TPS) bagi kelas VII C SMPN X. Metode ini diterapkan agar dapat membantu guru khusunya dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Selain itu agar penyajian bahan ajar PKn tidak lagi terbatas hanya ceramah dan membaca isi buku, sehingga diharapkan siswa tidak lagi merasa bosan dan jenuh dengan materi pelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti terdorong untuk mengadakan penelitian dengan judul "Upaya Peningkatan Prestasi Belajar PKn Melalui Metode Pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) Bagi Siswa Kelas VII C SMPN X Tahun Ajaran XXXX/XXXX".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah dapat di identifikasikan sebagai berikut:
1. Guru masih memakai metode konvensional dalam melaksanakan pembelajaran, padahal ada beberapa kompetensi dasar di mana metode tersebut kurang tepat untuk diterapkan.
2. Siswa kurang aktif mengikuti proses belajar dan hanya mengorganisir sendiri apa yang diperolehnya tanpa mengkomunikasikan dengan siswa lain.
3. Prestasi belajar rata-rata kelas yang rendah.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah serta identifikasi masalah di atas, maka permasalahan difokuskan pada prestasi rata-rata kelas VII C pada mata pelajaran PKn yang rendah, salah satunya disebabkan oleh penggunaan metode pembelajaran yang masih bersifat konvensional. Untuk mengatasinya akan dicobakan metode pembelajaran Think-Pair-Share (TPS).

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
"Apakah melalui metode Think-Pair-Share (TPS), dapat meningkatkan prestasi belajar PKn pada siswa kelas VII C SMPN X tahun ajaran XXXX/XXXX?"

E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: "Untuk mengetahui penggunaan metode pembelajaran Think-P air-Share (TPS) dapat meningkatkan prestasi belajar PKn pada siswa kelas VII C SMPN X tahun ajaran XXXX/XXXX".

F. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi keilmuan yang bermanfaat dalam dunia pendidikan mengenai penerapan metode Think-Pair-Share (TPS) terhadap peningkatan prestasi belajar siswa.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembanding, pertimbangan, dan pengembangan bagi penelitian di masa yang akan datang di bidang dan permasalahan sejenis atau bersangkutan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1) Siswa memperoleh kemudahan dalam mempelajari materi PKn yang sifatnya teoritis.
2) Melalui metode ini siswa tidak lagi merasa bosan dan jenuh dengan pelajaran PKn.
3) Siswa diharapkan mempunyai semangat yang tinggi dalam mempelajari PKn sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa yang bersangkutan.
b. Bagi Guru
1) Sebagai masukan bagi guru di bidang studi PKn dalam menentukan metode mengajar yang tepat sesuai dengan kemampuan tiap kelas, pada mata pelajaran yang bersangkutan, dalam rangka peningkatan prestasi belajar siswanya.
2) Sumbangan dalam rangka perbaikan pembelajaran dan peningkatan mutu proses pembelajaran, khususnya mata pelajaran PKn.
c. Bagi Peneliti
1) Untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama belajar di bangku perkuliahan.
2) Sebagai bekal bagi peneliti kelak ketika menjadi guru supaya memperhatikan metode mengajar yang tepat khususnya metode Think-Pair-Share (TPS).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:57:00