Cari Kategori

TESIS DUNIA USAHA DAN PELAYANAN PUBLIK (STUDI TENTANG MINAT USAHA KECIL DALAM MENGURUS PERIZINAN DI KANTOR PELAYANAN TERPADU (KPT) X

(KODE : PASCSARJ-0086) : TESIS DUNIA USAHA DAN PELAYANAN PUBLIK (STUDI TENTANG MINAT USAHA KECIL DALAM MENGURUS PERIZINAN DI KANTOR PELAYANAN TERPADU (KPT) X (PRODI : ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN PUBLIK)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Penelitian tentang dunia usaha dan pelayanan publik dengan fokus belum optimalnya minat usaha kecil dalam mengurus perijinan di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten X, Provinsi X, dalam bab pendahuluan ini akan di jelaskan tentang latar belakang masalah pentingnya masalah ini untuk diangkat sebagai fokus penelitian. Bab pendahuluan ini juga berturut-turut menggambarkan perumusan masalah yang dianggap penting untuk dijawab, tujuan dan signifikansi penelitian serta sistematika penulisan.
Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (selanjutnya di tulis KPT saja) di Kabupaten X, Provinsi X telah berdiri sejak tahun 2006 tepatnya tanggal 1 September 2006. KPT Kabupaten X di dirikan berdasarkan peraturan Bupati X Nomor 10 tahun 2006 tentang pembentukan unit pelayanan perijinan terpadu satu pintu. KPT Kabupaten X untuk pertama sekali melayani sebanyak 8 (delapan) jenis perijinan yang terdiri dari: ijin gangguan (HO), ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin usaha jasa konstruksi (IUJK), ijin usaha perdagangan (IUP), ijin usaha industri (IUI), ijin usaha gudang, ijin usaha penggilingan padi, huler dan penyosohan beras, dan tanda daftar perusahaan (TDP).
Penerapan KPT untuk 8 (delapan) unsur perijinan di Kabupaten X merupakan upaya mewujudkan deregulasi dan debirokratisasi Pemerintah Kabupaten X dalam memberikan pelayanan perijinan kepada masyarakat. Deregulasi maksudnya menyangkut pengaturan kembali/penghapusan berbagai aturan yang pernah dilakukan dalam penyelenggaraan pelayanan umum, sedangkan debirokratisasi bermakna penyederhanaan prosedur untuk mempermudah hirarki, guna peningkatan kecepatan pelayanan kepada masyarakat (Buku Panduan, 2006:4).
Dalam mengurus perijinan, masyarakat tidak perlu lagi datang ke semua dinas terkait seperti dulu lagi, tetapi saat ini cukup dengan mendatangi satu kantor saja dan semua urusan perijinan tersebut diselesaikan melalui satu kantor saja. KPT sederhananya adalah sebuah kantor yang mengkoordinasi dan mengkonsolidasi penerbitan ijin, penyederhanaan proses perijinan, serta mengurangi jumlah meja yang harus dilalui oleh pelaku usaha. Satu pintu juga berarti bahwa masyarakat yang hendak mengurus ijin usahanya, hanya mendatangi satu pintu (loket) saja, setelah itu seluruh proses akan dikerjakan oleh kantor KPT dan diselesaikan sesuai tenggat waktu yang telah dijanjikan.
Kebijakan pelayanan perijinan satu pintu sesungguhnya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah secara nasional. Kebijakan menyangkut pelayanan perijinan terpadu di tegaskan melalui Peraturan Menteri Pendayagunan Aparatur Negara (Permen-PAN) Nomor Per/20/M.PAN/04/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Kebijakan tersebut berlaku secara nasional dan bertujuan mendorong seluruh Kabupaten dan Kota serta Propinsi untuk segera mengimplementasikan kebijakan pelayanan perijinan terpadu satu pintu di daerahnya masing-masing tidak terkecuali Kabupaten X (Ratminto & Winarsih, 2006:13).
Pelayanan perijinan terpadu memang di dirikan untuk masyarakat utamanya masyarakat pengusaha dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan, menciptakan transparansi, meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah, dan memberikan jaminan kepastian hukum. Pelayanan perijinan terpadu, dengan begitu akan merangsang pengusaha (usaha besar, menengah maupun kecil) untuk mengurus ijin usahanya sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi dan memberi peluang berinvestasi dalam rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat daerah. Bersamaan dengan tujuan tersebut, KPT Kabupaten X dalam buku panduan Persyaratan dan Proses Perijinan, UPPTSP Kabupaten X (2006:5) juga menegaskan bahwa tujuan KPT adalah agar masyarakat menerima pelayanan yang sederhana, jelas, pasti, aman, transparan, efisien, ekonomis, adil dan merata serta tepat waktu.
Salah satu sektor yang sangat besar pengaruhnya dalam memajukan perekonomian nasional adalah keberadaan dunia usaha terutama usaha kecil (mikro). Di Indonesia, usaha kecil mulai mendapat perhatian besar ketika usaha kecil mampu bertahan bahkan berperan sebagai "katup pengaman" ketika terjadi krisis ekonomi. Perhatian dari berbagai pihak ini diantaranya terlihat dari meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan kepada usaha kecil dari tahun ke tahun (Abdullah, 2005:1). Peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia pada dasarnya sudah besar sejak dulu. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, peranan UKM meningkat dengan tajam. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa persentase jumlah UKM dibandingkan total perusahaan pada tahun 2001 adalah sebesar 99,9%.
Pada tahun yang sama, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai 99,4% dari total tenaga kerja. Demikian juga sumbangannya pada Produk Domestik Bruto (PDB) juga besar, lebih dari separuh ekonomi Indonesia didukung oleh produksi dari UKM (59,3%). Besarnya sumbangan usaha kecil dan menengah (UKM) menunjukkan bahwa peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan output (Adiningsih, 2006:3). Menurut Suhardjo (2006:49), pemerintah daerah saat ini berada pada posisi yang strategis dalam mempengaruhi peningkatan investasi di daerahnya masing-masing, terutama investasi di usaha-usaha kecil. Hal ini karena perusahaan-perusahaan kecil lebih sensitif terhadap rangsangan atau kebijakan yang bersifat kedaerahan jika dibandingkan dengan kebijakan skala nasional yang lebih berpengaruh pada perusahaan besar.
Sangat beralasan jika usaha kecil menjadi fokus bagi pemerintah daerah untuk di lakukan pembinaan dan membantu pengembangannya terutama dalam hal perijinan. Potensi lain dari usaha kecil adalah karakter usahanya yang benar-benar serba 'kecil'. Selain bermodal kecil, juga hanya dijalankan oleh pemiliknya sendiri dan tidak memerlukan tempat yang besar meskipun untungnya juga kecil. Karakter usaha kecil memang cocok berada pada segmen rakyat kecil sebagai basis konsumen. Jumlah usaha kecil yang banyak dan tersebar luas ditopang dengan konsumen rakyat kebanyakan, menjadikan usaha kecil hidup dan lebih bertahan. Jumlahnya yang banyak juga memastikan bahwa bisnis kecil seperti ini mampu memutar uang juga dalam jumlah yang besar pula sehingga roda ekonomi masyarakat bawah bergerak (Abdullah, 2005:2).
Disamping sebagai sentral ekonomi yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, usaha kecil juga memiliki berbagai kendala dalam perkembangannya. Beberapa kelemahan usaha kecil yang yang sering tergambar diantaranya adalah dalam organisasi, manajemen, modal, sulitnya perijinan, maupun penguasaan teknologi juga perlu dibenahi. Masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh UKM membuat kemampuan UKM berkiprah dalam perekonomian nasional tidak dapat maksimal (Adiningsih, 2006:4).
Beberapa daerah Kabupaten/Kota di Indonesia yang menerapkan pelayanan perijinan satu pintu sebetulnya telah memfokuskan perhatiannya terhadap usaha kecil, dengan tujuan agar usaha kecil terdorong untuk mengurus perijinan usahanya, sehingga surat ijin itu dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan modal, utamanya ke perbankan. Pelayanan perijinan di Kabupaten Sragen terbukti telah meningkatkan pertumbuhan usaha kecil untuk mengurus perijinan ke KPT Sragen (Prasojo, Kurniawan & Solihin, 2007: 78) Berdasarkan sensus ekonomi tahun 2006 (Sensus Ekonomi, 2006:17), Kabupaten X memiliki potensi usaha kecil yang besar. Jumlah usaha kecil maupun besar ada sebanyak 46.030 unit usaha yang tersebar di 17 Kecamatan (BPS SE, 2006). Jumlah tersebut 80% terdiri dari usaha kecil dan menengah, dengan usaha terbesar. Jika dikategorikan berturut-turut adalah sebagai berikut: perdagangan eceran (21.745), akomodasi/penyedia makan minum (7.261), dan industri pengolahan (6.475).
Selain potensi usaha kecil, potensi Kabupaten X yang mendukung adalah dekat dengan Medan, dan berhadapan dengan Selat Melaka, X juga merupakan pelintasan jalan propinsi yang menghubungkan propinsi Aceh dengan propinsi Riau dan juga dengan Sumatera Barat. Daerah pelintasan tersebut berdampak pada volume lalu lintas kendaraan yang lewat sangat tinggi. Sehingga X merupakan Kabupaten yang penting. Potensi lain yang menonjol adalah bahan baku (perkebunan kelapa sawit, kelapa, laut, coklat, ubi, dan lainnya) disamping tradisi-tradisi makanan lama (dodol) yang masih bertahan sampai sekarang juga menjadi daya tarik pengembangan usaha, terutama pengusaha kecil di Kabupaten X.
Sejak diberlakukannya KPT memang terlihat terjadi peningkatan pengusaha yang mengurus perijinan di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten X. Karakter pelayanan perijinan terpadu (KPT) yang mudah karena hanya melewati satu pintu saja, transparan, ada kepastian waktu dlama pengurusannya, juga biaya yang disebutkan secara terbuka, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pengusaha untuk mengurus perijinannya di KPT.
Tentang kemudahan pelayanan perijinan di KPT ini, juga ditegaskan dalam Kajian Asia Foundation yang menyimpulkan bahwa kantor pelayanan terpadu mempermudah pelaku usaha dalam mengurus ijin. Rata-rata waktu pengurusan ijin untuk 4 ijin umum menjadi 60% lebih cepat, dan rata-rata biaya pengurusan berkurang hingga 30%. Jumlah pendaftaran usaha juga meningkat setiap tahunnya setelah terbentuknya layanan terpadu. Perbaikan sektor pelayanan setidaknya telah mencerminkan kewenangan yang lebih besar dan perbaikan standar pelayanan pada instansi pelayanan terpadu (Asia Foundation: 2007:1).
Di satu sisi, data-data yang ada memang menunjukkan terjadinya peningkatan pengusaha yang mendaftar ke KPT X, tetapi disisi yang lain masih banyak pengusaha kecil yang belum mengurus ijinnya ke KPT X meskipun pelayanan perijinan saat ini telah berubah. Fenomena ini penting untuk ditelusuri sehingga berbagai latar belakang yang mendasari belum tumbuhnya minat usaha kecil mendaftarkan usahanya dapat terbuka dan terjelaskan.
Pengertian usaha kecil (mikro) sendiri menurut lembaga-lembaga internasional adalah usaha non pertanian dengan jumlah pekerja maksimal 10 orang (termasuk wirausaha/pedagang, pekerja magang, pekerja upahan dan pekerja yang tidak dibayar karena termasuk anggota keluarga), menggunakan teknologi sederhana atau tradisional, memiliki keterbatasan akses terhadap kredit, mempunyai kemampuan managerial rendah dan cenderung beroperasi di sektor informal (Abdullah, 2005: 4). Sekalipun dalam pelayanan perijinan terpadu satu pintu yang di terapkan di beberapa Kabupaten memiliki tujuan yang sama seperti di Kabupaten Sragen maupun di Kabupten X, tetapi penerimaan pengusaha kecil terhadap KPT dapat saja berbeda. Belum signifikannya jumlah usaha kecil yang mendaftar di KPT Kabupaten X tentu menjadi permasalahan tersendiri sesuai dengan karakter yang ada di KPT Kabupaten X. Dalam kajian Asia Foundation juga disebutkan bahwa, sebagian besar Pusat Pelayanan Perijinan Terpadu di kota/kabupaten belum mencapai potensi maksimal. Studi yang dilakukan The Asia Foundation menunjukkan bahwa banyak dari pusat pelayanan terpadu tersebut sejauh ini belum memangkas waktu maupun mengurangi persyaratan-persyaratan perijinan. Namun terdapat cakupan kinerja yang sangat luas, di mana pusat-pusat pelayanan terpadu terbaik menunjukkan peningkatan yang besar dalam pemberian layanan mereka.
Secara konsepsional pelayanan perijinan satu pintu sebetulnya mengacu pada pelayanan terpusat. Selama ini konsep pelayanan lebih di dasarkan pada pelayanan yang terpisah, dimana setiap instansi (dinas) memegang pelayanan perijinan sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Dampak pelayanan yang terpisah menyebabkan masyarakat membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus perijinan usaha.
Ibenk (HTTP://IBENKDA.BLOGSPOT.COM) mengatakan bahwa saat ini di kalangan Pemerintahan dikenal adanya dua pola pelayanan, yaitu pola distributif dan pola sentralistis. Pola distribusi merupakan pola yang paling banyak digunakan oleh Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah, dimana pelayanan umum dikelola secara sektoral pada berbagai instansi. Proses birokrasi pelayanan umum yang memerlukan koordinasi lintas instansi dilakukan juga dengan dua pola, yaitu pertama, pelanggan/masyarakat yang harus berjalan dari satu meja pada satu instansi ke meja lain pada instansi yang lain. Pola kedua, dokumen persyaratan milik pelanggan dimasukkan ke salah satu instansi, selanjutnya birokrasi yang menyalurkan dari satu meja pada satu instansi ke meja lain pada instansi yang lain pula melalui kordinasi lintas instansi. Artinya, proses legalisasi hingga diterbitkannya sebuah dokumen publik merupakan wewenang masing-masing instansi.
Pola distribusi sebenarnya merupakan pola klasik dan cenderung tertutup, sehingga masyarakat kurang memperoleh informasi jelas terhadap proses kemajuan pengajuan dokumen publiknya. Meskipun ditetapkan nilai rupiah secara pasti sebagai biaya yang diperlukan, pada prakteknya biaya akan melebihi dari ketentuan yang berlaku. Standarisasi waktu pelayanan birokrasi biasanya juga kurang bisa dimonitor oleh pelanggan/masyarakat, sehingga cepat lambatnya proses birokrasi menjadi sangat relatif, tergantung dari ini dan itu dalam birokrasi. Pola ini yang mendorong masyarakat dan birokrat untuk menyepakati "uang pelicin".
Pola kedua adalah pola sentralistik. Pola sentralistik mulai diterapkan di beberapa daerah. Secara umum pola ini diimplementasikan melalui pembentukan Unit Palayanan Satu Atap atau juga disebut Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) sebagai satu unit mandiri dengan mencabut proses pelayanan umum dari instansi sektoralnya, dari mulai pengadaan blangko dokumen publik hingga perlengkapannya. Sebagian besar kegiatan administrasi dan tehnis dilakukan oleh Unit Pelayanan Satu Atap, sedangkan instansi sektoral lebih banyak hanya menangani laporan administratif saja.
Menurut Sitorus (2007:12) dalam pengertian sempit, pelayanan perijinan satu pintu dapat berarti sebagai satu agen pemerintah yang memiliki semua otoritas yang diperlukan untuk memberi berbagai perijinan (licenses, permits, approvals dan clearances). Tanpa otoritas yang mampu menangani semua urusan tersebut, agen pemerintah tidak dapat mengatur berbagai pengaturan selama proses. Oleh sebab itu, dalam hal ini agen tersebut tidak dapat menyediakan semua bentuk perijinan yang diperlukan dalam berbagai tingkat administrasi, sehingga harus bergantung pada otoritas lain.
Beberapa contoh yang luar biasa dan terkenal adalah kantor pelayanan investasi yang bekerja dengan sukses seperti Economic Development Board (EDB) di Singapore, Malaysian Industrial Development Authority (MIDA) dan Industrial Development Authority (IDA) di Irlandia. Pada ketiga kasus ini, investor dapat bergantung pada agen pemerintah untuk menyediakan hampir semua perijinan yang diperlukan. EDB dan IDA pada dasarnya mampu mengatur secara langsung berbagai prosedur perijinan sehingga investor hanya perlu berhadapan dengan jumlah otoritas yang sedikit, bahkan dalam kasus-kasus tersebut, kedua agen cenderung sangat efektif dalam memastikan kerjasama.
Malaysian Industrial Development Authority (MIDA) dalam hal lain, mulai sebagai mekanisme koordinasi yang murni dan mengalami masalah-masalah untuk memulai sebagai kantor pelayanan terpadu. Namun dengan dukungan yang kuat dari perdana menteri secara langsung, keterlibatan MIDA sebagai wakil investor dapat menjamin secara efektif perijinannya tanpa kesulitan. (Sitorus, 2007:13)
Pada masa lalu, kondisi pelayanan perijinan yang tidak kondusif, membawa imbas kepada masyarakat dimana masyarakat menjadi apatis terhadap aparat pelayanan publik. Apalagi 'pungli' menjadi sesuatu yang wajar sehingga mengakibatkan image pemerintah daerah menjadi buruk. Dampak yang sangat kentara, terjadi di sektor perekonomian dimana iklim investasi dan usaha baik di tingkat nasional maupun daerah menjadi tidak sehat sehingga gerak roda ekonomi daerah menjadi lambat. Pengalaman Kabupaten Solok sebelum ada penataan pelayanan juga membuktikan hal tersebut, selain perijinan yang di tangani instansi berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat, juga seringkali perijinan tersebut menyulitkan para calon investor asing yang justru telah siap berinvestasi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dihambat oleh suatu birokrasi perijinan yang kompleks, mahal, dan korup. Alat ukur kinerja Pelayanan Perijinan Terpadu dapat membantu pemerintah pusat, provinsi, dan kota/kabupaten untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi layanan perijinan usaha," ungkap Neil McCulloch Dalam tahun-tahun terakhir ini, perbaikan kebijakan-kebijakan perijinan usaha di Indonesia tampaknya menjadi perhatian penting bagi pemerintah pusat maupun daerah. Sejak akhir tahun 1990-an, pusat-pusat layanan yang pembentukannya diprakarsai pemerintah ini telah berdiri di sekitar 30% dari keseluruhan 467 kota dan kabupaten, sementara Peraturan Menteri Dalam Negeri 24/2006 mengumumkan upaya untuk mengembangkan Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu di seluruh dari 467 kabupaten/kota di Indonesia untuk menyederhanakan prosedur-prosedur, mengurangi biaya, dan menggabungkan persyaratan-persyaratan perijinan usaha. Kementerian-kementerian di tingkat pusat berupaya memberikan arahan yang lebih jelas mengenai pelaksanaan kebijakan perijinan untuk membantu memperkokoh iklim investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. (Asia Foundation, 2007:3)
Kondisi buruk di sektor perijinan tidak jarang membawa kekecewaan pada para investor. Perilaku buruk pelayanan tentu berakibat pada roda ekonomi daerah menjadi tidak berjalan dan pembangunan di berbagai sektor berjalan ditempat. Bahakan kompas mencatat tidak sedikit investor yang sudah berniat menanamkan modalnya ke Indonesia kemudian mengurungkan niatnya dan pindah ke negara lain hanya persoalan ketidak nyamanan dan ketidak jelasan pelayanan di Indonesia (Kompas, 14 Juli 2007). Minimnya investasi yang masuk seterusnya berakibat pada tidak adanya pembangunan, yang pada gilirannya tentu saja membuat tidak adanya peluang kerja bagi masyarakat sehingga penyerapan tenaga kerja minim, kecil dan terbatas.
Pelayanan perijinan sendiri sesungguhnya bagian dari pelayanan publik yang merupakan kewajiban pemerintah daerah (Kurniawan, Puspitosari, 2007:7-8). Kondisi buruk pelayanan perijinan yang diterima oleh masyarakat hari ini sudah seharusnya menjadi masukan bagi pemerintah untuk segera melakukan perbaikan. Menurut Denhardt dalam Kurniawan (2007:161) ada beberapa hal yang harus dilakukan sebagai upaya perbaikan pelayanan dan memberikan kepuasan pelayanan kepada masyarakat, yaitu: pertama, diperlukan regulasi yang berpihak kepada rakyat. Kedua, dibuatnya kesepakatan antara pemberi layanan dan pengguna layanan (citizen's charter). Ketiga, pengendalian birokrasi. Keempat, pelayanan yang berbasis teknologi. Kelima, untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelayanan sebisa mungkin setiap pelayanan publik melakukan survei tentang kepuasan konsumen.
Berlakunya kebijakan otonomi daerah saat ini, salah satunya memang untuk mendorong pelayanan publik yang prima di Indonesia sehingga masyarakat dapat menerima manfaat yang optimal menuju kesejahteraan. Intinya, otonomi daerah adalah jalan untuk melayani masyarakat semakin baik, karena sebahagian besar kewenangan untuk mengatur dan mengurus kebutuhan masyarakat sudah diserahkan pemerintah pusat kepada daerah (Hoessein 2002, 3).
Bahkan tidak hanya kewenangan mengatur dan mengurus urusan masyarakat, bersamaan dengan itu juga diserahkan kewenangan untuk mengisi keuangan daerah dengan dilakukannya desentralisasi fiskal yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 (UU 33/2004) tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Adanya pelimpahan tersebut, hanya akan berjalan maksimal jika daerah memang memiliki birokrasi yang efektif. Praktek-praktek birokrasi yang lamban, korup, 'bertele-tele' sudah saatnya ditinggalkan sehingga tidak lagi mengulang kegagalan memfungsikan birokrasi sebagai 'abdi rakyat', tetapi juga dapat memfungsikan birokrasi sekaligus juga 'abdi negara'.
Jiwa birokrasi yang buruk di masa lalu sesungguhnya telah tertanam lama di Bumi Nusantara, dan cenderung menjadi sesuatu yang 'lumrah' bahkan dikatakan oleh banyak pakar telah membudaya (Prasojo, 2005:53). Dampaknya sangat jelas terlihat pada pola-pola pelayanan birokrasi di Indonesia yang berkarakter kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Tumbuhnya karakter kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), secara diametral menegasikan peran birokrat sebagai abdi negara sehingga pencitraan birokrasi menjadi buruk di tengah masyarakat.
Dalam penerapan otonomi daerah, pemerintah daerah menjadi aktor terpenting dalam pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Nurcholis (2007:14) menyatakan bahwa pelayanan pemerintah daerah merupakan tugas dan fungsi utama pemerintah daerah yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat mewujudkan tujuan negara yaitu kesejahteraan sosial. Meskipun pihak swasta dapat menyediakan pelayanan publik tetapi posisi pemerintah daerah dalam pelayanan publik tetap merupakan yang utama. Pentingnya posisi pemerintah daerah sebagai aktor dalam pelaksanaan pelayanan publik, ditegaskan oleh Wilson dalam Nurcholish (2007:15) dimana pelayanan publik dikatakan masuk dalam kategori sektor publik, bukan sektor swasta (privat).
Pelayanan publik sendiri dalam prakteknya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (Nurcholis, 2007:17). Ketiga komponen yang menangani sektor publik itu yang kemudian menyediakan pelayanan publik seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban, penyediaan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, bantuan sosial dan penyiaran. Karena itu, pelayanan publik memberi pengertian sebagai pelayanan yang diberikan oleh pemerintah beserta perusahaan milik negara kepada masyarakat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, menuju kesejahteraan.
Namun essensi kebijakan desentralisasi bukanlah desentralisasi itu sendiri, melainkan pencapaian pelayanan publik yang pada akhirnya akan mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah (Hoessein 2002, 3). Logikanya, pemerintah daerah yang telah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri itu, tentu akan lebih efektif dalam melayani masyarakat di daerahnya. Kebijakan desentralisasi memang telah merubah cara pandang pemerintah dalam melakukan pelayanan public. Paradigma pelayanan publik yang tidak pro-publik pada masa lalu telah digeser untuk mewujudkan pelayanan yang sesuai dengan kondisi masyarakat.
Mengenai buruknya kinerja pelayanan publik, terdapat beberapa sebab baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Sinambela (2007: 7) menjelaskan bahwa pelayanan yang diberikan lebih didasarkan pada peraturan yang sangat kaku, dan tidak fleksible, sehingga aparatur terbelenggu untuk melakukan gaya inovasi dan kreasi dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Kenyataan itu juga ditegaskan dari survey yang dilakukan oleh Centre for Population Policy Studies Universitas Gajah Mada (UGM) terhadap pelayanan publik, hal mendasar yang ditemukan adalah bahwa aparatur terjebak dalam petunjuk pelaksana (juklak) sehingga masyarakat merasa tidak puas atas kerja aparat (Sinambela, 2006:8 ).
Pelayanan publik itu sendiri terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Penyelenggara pelayanan publik dalam hal ini pemerintah daerah Kabupaten maupun Kota adalah ujung tombak dalam melakukan fungsi pelayanan kepada masayarakat, sehingga keberadaan aparat birokrasi menjadi penting. Sebagaimana yang dikemukakan Thoha dalam Napitupulu (2006:27) bahwa peran birokrasi sangat penting dalam pelayanan publik oleh karena aparat birokrasi adalah kelompok yang bertindak sebagai pelaksana kebijakan (policy implementation) yang kewenangannya telah di delegasikan oleh para penguasa politik (policy making).
Di sisi yang lain, peran birokrasi juga lebih dominan karena birokrat memiliki ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan tugasnya. Mengenai posisi dominan ini juga ditegaskan oleh Dwiyanto (2006:31) bahwa masa Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, birokrasi telah diposisikan sebagai kekuatan sentral dalam mengatur dan melayani kehidupan masyarakat. Bahakln samapi sekarangpun masyarakat masih ada yang 'takut' dengan birokrasi.
Jika dibandingkan dengan kebijakan masa lalu (Undang Undang Nomor 5 tahun 1974), merujuk pendapat Hoessein (2002, 2), bahwa terdapat sejumlah perubahan model dan paradigma pemerintahan. Sedikitnya ada tiga perubahan yang terjadi yaitu : pertama, 'structural efficency model' yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal, ditinggalkan dan dianut 'local democracy model' yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kedua, distribusi urusan pemerintahan kepada daerah juga berubah, yang semula menganut 'ultra vires doctrine' dengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti dengan 'general competence' atau 'open end arrangement' yang merinci fungsi pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah Provinsi. Ketiga, pengawasan Pemerintah terhadap daerah otonom yang semula koersif juga bergeser ke arah persuasif.
Keempat, keuangan daerah juga bergeser yang semula 'spesific grant' menjadi 'block grant'. Dengan begitu sesungguhnya terdapat kondisi yang lebih terbuka bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan sendiri.
Dalam penelitian ini konsep pelayanan publik yang menjadi fokus perhatian adalah konsep pelayanan perijinan terpadu. Pelayanan perijinan terpadu saat ini gencar diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Pelayanan perijinan terpadu juga diberlakukan di Kabupaten X, Propinsi X.
Sebagai Kabupaten yang baru mekar yang di dasari oleh kebijakan densentralisasi saat ini, Kabupaten X telah menjadi kabupaten percontohan bagi kabupaten lainnya di X dalam pelayanan perijinan terpadu. Propinsi X sendiri terdiri dari 26 kabupaten dan kota dimana, pemerintah kabupaten dan kota yang mau membuat terobosan dengan memberlakukan Pelayanan Terpadu, hanya Kabupaten X. Kabupaten X sendiri adalah kabupaten yang masih 'muda usianya'.
Namun, penerapan pelayanan perijinan terpadu di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten X bukan tanpa masalah. Meskipun sejumlah kemudahan dalam pelayanan perijinan telah diberlakukan saat ini, tetapi masih banyak pengusaha khususnya kalangan usaha kecil, yang belum tertarik untuk mengurus perijinan usahanya ke Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPT) Kabupaten X. Penomena yang kontradiktif ini menjadi menarik untuk diteliti. Penelusuran secara mendalam diharapkan mampu mengungkap dibalik penomena yang terjadi di KPT Kabupaten X.

B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa usaha kecil belum optimal mendaftarkan usahanya ke KPT Kabupaten X ?
2. Bagaimana tanggapan pengusaha usaha kecil terhadap keberadaan Pelayanan Perizinan Terpadu (one stop service) di Kabupten X yang saat ini sedang berjalan ?
3. Apa sesungguhnya problem usaha kecil ?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Menganalisis alasan-alasan yang ada di kalangan pengusaha kecil dan menengah terhadap belum optimalnya minat usaha kecil dalam mendaftarkan usahanya ke KPT Kabupaten Srdang Bedagai.
b. Menganalisis tanggapan kalangan pengusaha kecil dan menengah (UKM), terhadap penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (one stop service) di Kabupaten X.
c. Menjelaskan lebih jauh, mengenai problem usaha kecil dalam mengembangkan usahahnya.
2. Signifikansi Penelitian
Mengingat bahwa saat ini pemerintah daerah (PEMDA) di Indonesia sedang giat untuk melaksanakan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (one stop service), melakukan reformasi birokrasi, dan mewujudkan kondisi yang kondusif bagi iklim usaha di daerahnya masing-masing, maka penelitian ini nantinya akan bermanfaat dalam dua hal :
a. Signifikansi Akademis.
Signifikansi akademis penelitian ini adalah diharapkan penelitian ini menjadi salah satu sumbangan pemikiran terhadap kajian Pelayanan Publik khususnya dalam fokus Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (one stop service) dan Pengaruhnya terhadap iklim investasi di daerah. Kajian ini selain juga menjadi literatur tambahan seputar pelayanan perijinan terpadu (one stop service) juga bermanfaat menjadi pemicu bagi penelitian-penelitian selanjutnya di di bidang pelayanan publik.
b. Signifikansi Praktis
Signifikansi praktis penelitian ini adalah diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Indonesia maupun secara khusus kepada Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten X. Siginifikansi praktis ini terkait dengan penilaian maupun evaluasi kebijakan tentang pelayanan perijinan terpadu (KPT) yang saat ini sedang berjalan sehingga menjadi masukan bagi perbaikan kebijakan dimasa yang akan datang.

D. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari 5 bab dan masing-masing bab kemudian dirinci ke dalam beberapa sub-bab.
Bab 1, tentang Pendahuluan, berisi di dalamnya uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada Bab 2, yaitu tentang Tinjauan Literatur dan Metodologi Penelitian yang berisi uraian tentang, pertama, teori pelayanan publik, pelayanan publik dan birokrasi, pelayanan perijinan, pelayanan perijinan satu pintu (one stop service), iklim usaha, dan hubungan pelayanan perijinan satu pintu dengan meningkatkan iklim usaha dan investasi. Kedua, menguraikan tentang pendekatan penelitian, jenis/tipe penelitian, tekhnik pengumpulan data, teknik analisa data, alasan penentuan lokasi serta keterbatasan penelitian.
Pada Bab 3, yaitu tentang gambaran umum objek penelitian, yang berisi tentang kebijakan pelayanan perijinan satu pintu, model pelayanan perijinan di Kabupaten Sragen serta gambaran tentang objek penelitian Kantor Pelayanan Perijinan (KPT) Kabupaten X, Propinsi X.
Pada Bab 4, yaitu berisi tentang pembahasan hasil penelitian, yang menguraikan tentang pembahasan analisa data Strategi analisa data dalam penelitian ini mencakup langkah-langkah berikut, pengumpulan data mentah, transkrip data, koding, kategorisasi data, penyimpulan sementara, triangulasi dan penyimpulan akhir. Analisis data sendiri dalam penelitian ini berlangsung secara terus menerus dari awal sampai akhir penelitian dengan membuat tafsiran sehingga teori yang ada dapat dikembangkan sesuai dengan data lapangan.
Pada Bab 5, yaitu tentang kesimpulan dan saran, yang menguraikan tentang kesimpulan penelitian dan saran-saran dari peneliti menyangkut hasil penelitian yang telah dilakukan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:15:00

TESIS PRAKTIK PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT YANG BERKELANJUTAN DI KALANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) SEBAGAI BENTUK TANGGUNGJAWAB SOSIAL KORPORASI DI INDONESIA

(KODE : PASCSARJ-0085) : TESIS PRAKTIK PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT YANG BERKELANJUTAN DI KALANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) SEBAGAI BENTUK TANGGUNGJAWAB SOSIAL KORPORASI DI INDONESIA (PRODI : SOSIOLOGI)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Globalisasi yang berkembang pesat dalam dua dasawarsa terakhir ini, terjadi dalam berbagai bidang, baik ekonomi, politik maupun sosial-budaya. Hal ini mempengaruhi cara berpikir korporasi dalam memandang strategi bisnisnya. Korporasi tidak lagi memandang bisnisnya terpisah dari masyarakat, namun merupakan salah satu komunitas dari beberapa komunitas lainnya dari masyarakat. Dalam pandangan ini, korporasi sebagai bagian dari masyarakat senantiasa akan berpengaruh secara resiprokal. Apapun yang terjadi dengan masyarakat akan mempengaruhi korporasi, begitupun sebaliknya.
Namun pemikiran dan pemahaman ini disikapi dan diimplementasikan secara beragam oleh korporasi. Keberagaman itu tidak hanya karena jenisnya, seperti ekstraktif, manufaktur dan jasa publik, akan tetapi tergantung juga pada bentuk lingkungannnya baik alam, masyarakat maupun kepentingan stakeholder yang ada. Pemikiran dan pemahaman ini, biasa disebut corporate social responsibility (tanggungjawab sosial korporasi).
Di Indonesia, hubungan korporasi dengan masyarakat lokal seringkali tidak harmonis. Korporasi sebagai komunitas baru, tidak memahami posisinya sebagai 'pendatang'. Sedangkan masyarakat merasa tidak diperlakukan secara 'fair' sebagai stakeholder yang paling rentan terkena dampak beroperasinya korporasi. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi suatu perbedaan yang berujung pada konflik diantara keduanya. Masyarakat memandang, korporasi sebagai pihak yang mendatangkan 'kerugian', karena apapun yang terjadi, seperti hilangnya sumber daya alam dan pencemaran lingkungan akan menimbulkan banyak masalah pada masyarakat lokal. Sebaliknya, masyarakat lokal juga dipandang sebagai pihak yang 'memeras' korporasi karena besarnya sumber ekonomi di dalamnya, seperti memaksa korporasi untuk menyerap tenaga kerja lokal dan menerima pasokan material (yang mungkin tidak memenuhi kriteria korporasi) dari masyarakat lokal.
Dilihat dari karakteristik sebab, beberapa kasus konflik yang terjadi antara korporasi (pertambangan dan minyak) dan komunitas, diantaranya adalah:
Pertama, sebab yang berdimensi ekonomi dapat dikategorikan sebagai sebab utama terjadinya konflik dan berperan sangat kuat. Selain itu, dimensi ini sangat rentan timbul, karena adanya kemiskinan dan ketimpangan pada wilayah operasi tambang yang umumnya pada wilayah terpencil. Implikasi yang berkait dengan dimensi ini tentunya kesejahteraan, equality dalam peluang ekonomi, dan akan lebih kuat lagi jika disertai dengan equity bagi komunitas lokal.
Kedua, sebab yang berdimensi sosial-budaya, berfungsi sebagai causa sekaligus akselerator yang mempercepat atau memperkuat terjadinya konflik. Kerentanan munculnya sebab dalam dimensi ini tidak terlalu tinggi, namun biasanya ada dalam setiap industri tambang dan minyak. Implikasi yang perlu diperhatikan adalah menghilangkan segregasi melalui pembauran, penataan pemukiman, penyediaan fasilitas dan kegiatan publik yang menyatukan batasan sosial berkait dengan korporasi.
Ketiga, sebab yang berdimensi politik dapat berfungsi sebagai causa berkait dengan stakeholder yang tidak terdistribusi secara proporsional, dan sekaligus sebagai medium konflik karena dimensi ini menyediakan teknologi dalam praktek konflik. Kerentanan dimensi ini sangat tinggi pada periode transisi politik, terutama saat legitimasi otoritas publik (pemerintah) melemah terhadap komunitas. Implikasi yang perlu diperhatikan adalah perlunya pemahaman peta sosial komunitas serta manajemen relasi terhadap stakeholder secara proporsional.
Melihat sebab terjadinya konflik antara korporasi dengan masyarakat (komunitas) lokal dan bentuk penanganan di atas, nampak bahwa penanganan konflik yang dilakukan korporasi sekedar untuk merespon tuntutan yang terjadi, tidak melihat masalah secara integratif dan komprehensif. Padahal konflik yang terjadi merupakan masalah kompleks yang berkait antara satu dengan lainnya. Meskipun faktor yang dominan adalah ekonomi, namun hal tersebut berkait pula dengan politik dan budaya lokal. Oleh karena itu, membutuhkan penanganan yang juga komprehensif, yang dapat menjawab permasalahan yang mendasar, yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat lokal.
Selain itu, beberapa kasus di atas juga mengindikasikan bahwa tanggungjawab sosial korporasi terhadap masyarakat lokal masih rendah, penanganan yang dilakukan masih sebatas untuk meredam konflik, sesaat dan 'dangkal'. Sehingga kalaupun program itu diterapkan atau dilakukan, hanyalah untuk kepentingan korporasi semata. Mereka tidak berpikir untuk lebih jauh, misalnya menyelesaikan masalah yang mendasar dari masyarakat lokal dengan merancang, merencanakan dan melaksanakan program yang berkelanjutan, sehingga masyarakat lokal dapat merasakan pengaruh positif dan manfaat dari kehadiran korporasi, terutama berkait dengan peningkatan kualitas hidupnya.
Rendahnya kesadaran ini, ternyata tidak saja pada industri pertambangan dan minyak, namun juga pada jenis industri lainnya, baik manufaktur maupun jasa publik. Seperti terungkap dalam Penelitian Chambers (2003:91) seperti dikutip Tanaya, yang menunjukkan bahwa hanya 24% dari 50 korporasi teratas di Indonesia yang memiliki laporan atas program CSR dalam website mereka, sekaligus yang terendah bila dibandingkan dengan enam negara lainnya di Asia. Selanjutnya dari 24% tersebut hanya 18% yang memberikan laporan secara ekstensif, dan 72% melaporkan secara minimal (1-2 halaman). Hal ini menunjukkan masih sedikitnya korporasi yang menjalankan praktik ini dengan serius, termasuk pelaporannya kepada publik.
Padahal tanggungjawab ini bukan tanpa dampak yang menguntungkan, karena ketika korporasi memperlihatkan tanggungjawab sosialnya, pada hakikatnya mereka sedang mengamankan dan membentuk citra di mata masyarakat, baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional. Selain itu, program ini juga dapat mendorong pada keuntungan bisnis dan meningkatkan kinerja penjualan produk. Seperti diungkapkan Business and Society, bahwa apabila korporasi dapat melaksanakan program CSR, maka dampak bisnis yang jelas akan menunjukkan manfaat sebagai berikut:
- Reputasi-yang dipengaruhi oleh biaya dan keuntungan dari barang dan jasa korporasi, bagaimana memperlakukan karyawan dan lingkungannya, catatannya mengenai HAM, investasinya dalam masyarakat lokal, dan bahkan bukti pembayarannya.
- Daya saing-keuntungan dari hubungan baik antara pelanggan dan penyalur, keseimbangan dalam keaneka-ragaman pekerja, seperti halnya efisiensi manajemen mengenai isu lingkungan;
- Manajemen risiko-pengendalian risiko yang lebih baik-keuangan, peraturan, lingkungan, atau sikap konsumen.
Sejalan dengan itu, Omar Al Qurashi, Communications Manager Shell, mengungkapkan, "Penelitian membuktikan bahwa 94% dari eksekutif korporasi yakin, bahwa pengembangan CSR dapat mengantarkan atau mendorong pada keuntungan bisnis yang nyata, sementara satu dari tiga eksekutif internasional berpikir bahwa inisiatif tanggungjawab social meningkatkan kinerja penjualan. Selanjutnya, 71% dari CEO berpendapat, bahwa mereka bersedia menyisihkan keuntungan jangka pendek untuk nilai saham jangka panjang ketika mengimplementasikan program-program (CSR) yang berkelanjutan".
Oleh karena itu, selain mencari keuntungan finansial sebagaimana 'naluri' dan 'niat awalnya', penting bagi korporasi untuk menjalankan komitmen dan tanggungjawab sosialnya. Sebagaimana diungkapkan Clement K. Sankat (2002) yang dikutip Budimanta (2004), bahwa "tanggung jawab sosial korporasi merupakan komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara luas".
Program tanggungjawab sosial korporasi ini, tidak hanya dilakukan oleh korporasi multinasional seperti, Freeport, ExxonMobile, Unocal, Newmont Pasific, dan Nike, namun juga dilakukan oleh seluruh korporasi milik negara atau BUMN, diantaranya PT. Pertamina, PT. Telkom dan PT. Krakatau Steel, PT. Angkasa Pura II, yang diimplementasikan dengan sebutan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil (PK) dan Program Bina Lingkungan (BL) disingkat PKBL.
Implementasi dari Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan ini menjadi menarik dan strategis disebabkan beberapa hal. Pertama, statusnya sebagai korporasi milik negara, terdapat "kewajiban" melalui kebijakan pemerintah-Salinan Peraturan Meneg BUMN Nomor PER-05/MBU/2007, tanggal 27 April 2007, yang menggantikan aturan yang sebelumnya ada, yaitu Keputusan Menteri BUMN Nomor : Kep-236/MBU//2003, tanggal 17 Juni 2003, yang menyatakan bahwa, setiap korporasi di lingkungan BUMN harus menjalankan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Kedua, adanya petunjuk pelaksanaan yang bersifat 'generik' sesuai dengan Surat Edaran Nomor: SE-433/MBU/2003, tanggal 16 September 2003 mengenai petunjuk Pelaksanaan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, terutama Bab I, Pasal 1, Ayat 6 dan 7, menyatakan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Selanjutnya, hal tersebut ditegaskan dalam Visi dan Misi Kementerian Negara BUMN, "Meningkatkan peran BUMN dalam kepedulian terhadap lingkungan (community development) dan pembinaan koperasi, usaha kecil dan menengah dalam program kemitraan". Dengan demikian, mengacu pada visi dan misi di atas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan program community development di kalangan BUMN lebih ditekankan atau mengarah kepada Program Bina Lingkungan, sementara untuk pembinaan koperasi, usaha kecil dan menengah dikategorikan dalam Program Kemitraan dengan Usaha Kecil, sebagai suatu bentuk implementasi dari tanggungjawab sosial korporasi milik negara. Meskipun demikian, kedua hal ini bisa juga diterjemahkan sebagai community development dengan penekanan yang berbeda, antara Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dengan Program Bina Lingkungan.
Sebagai salah satu pilar penggerak dan penyeimbang perekonomian nasional, sekaligus 'representatif’ pemerintah, BUMN diharapkan dapat melakukan peran dan tanggungjawab sosialnya secara optimal. Dengan peraturannya yang 'generik', membuka kemungkinan setiap BUMN melakukannya secara berbeda. Dengan kata lain, dimungkinkan korporasi di lingkungan BUMN mempunyai kebebasan dalam mengembangkan program sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Kemungkinan lain adalah potensi rata-rata alokasi finansial korporasi-korporasi milik negara (BUMN) lebih besar dibanding korporasi swasta nasional lainnya. Seperti yang diungkapkan Saidi dari PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Centre) dalam penelitiannya tentang sumbangan dari berbagai korporasi menunjukkan, bahwa rata-rata sumbangan per tahun korporasi multinasional sebesar Rp. 236 juta, sedang korporasi swasta nasional hanya Rp. 45 juta dan korporasi lokal Rp. 16 juta. Hal ini berbeda jauh bila dibandingan dengan temuan Nursahid dalam tesisnya, seperti tertuang pada tabel 2 di bawah ini.

** tabel sengaja tidak ditampilkan **

1.2 Perumusan Masalah
Dengan adanya Program Bina Lingkungan diharapkan konflik yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat lokal dapat diatasi, atau setidaknya dieliminir. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan konflik masih saja terjadi, bahan masih dengan issu dan tuntutan yang relatif sama. Hal ini mengindikasikan bahwa implementasi Program Bina Lingkungan tidak dilakukan dengan mengikuti aspek-aspek pengembangan masyarakat sebagaimana mestinya. Sebagian korporasi masih menganggap bahwa Program Bina Lingkungan adalah program "charity" atau pemberian gratis korporasi kepada masyarakat lokal, dan itu terjadi hanya pada waktu-waktu tertentu.
Mencermati situasi dan kondisi hubungan yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat lokal tersebut, maka potensi permasalahan yang timbul dan berujung pada konflik bukan tidak mungkin akan terus berlanjut 'tiada ujung'. Hal ini akan mempengaruhi produktivitas korporasi sebagai entitas bisnis, sekaligus mendorong timbulnya komunitas bermental 'pemeras' dengan cara mencari kesalahan korporasi dalam melakukan usahanya, terutama berkait dengan sumber daya lokal.
Bagaimana dengan Badan Usaha Milik Negara? Dengan diterbitkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-236/MBU/2003, yang kemudian direvisi dengan dikeluarkannya Salinan Peraturan Meneg BUMN Nomor PER-05/MBU/2007, tanggal 27 April 2007. Kedua aturan tersebut menyatakan, bahwa setiap korporasi di lingkungan BUMN harus menjalankan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, ditambah dengan adanya Surat Edaran Nomor : SE-433/MBU/2003, mengenai petunjuk pelaksanaannya. Hal ini memperlihatkan, bahwa pemerintah memiliki goodwill melalui korporasi di lingkungan BUMN dalam menyikapi permasalahan sosial yang terjadi selama ini.
Dengan adanya peraturan tersebut, yang menyatakan 'kewajiban' dan bersifat 'generik', mengisyaratkan adanya 'kelonggaran' atau 'kebebasan' dalam mengimplementasikan peraturan. Dengan kata lain, setiap korporasi milik negara dapat menjalankan aturan sebagai sebuah kewajiban, namun korporasi juga diberikan kebebasan secara teknis dalam mengimplementasikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring dan evaluasi, sesuai situasi dan kondisi masyarakat lokal dimana korporasi tersebut beroperasi. Selain itu, dengan adanya anggaran yang tidak sedikit, akan memberikan kesempatan yang besar untuk dilakukannya Program Bina Lingkungan secara optimal. Dengan demikian, program yang diterapkan sekaligus biaya yang dikeluarkan, mempunyai manfaat dan dampak jangka panjang bagi kualitas kehidupan masyarakat, terutama masyarakat lokal.
Kenyataan tersebut memberikan inspirasi kepada peneliti untuk melakukan studi evaluasi mengenai praktik Program Bina Lingkungan yang dilakukan PT. X, salah satu korporasi milik negara (BUMN) yang bergerak pada penyediaan pupuk tingkat nasional. Selanjutnya, penelitian ini ditekankan untuk menjawab pertanyaan utama yaitu : Bagaimana upaya korporasi dalam mempraktikkan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan kepada masyarakat lokal sebagai bagian dari tanggungjawab sosial korporasi?
Selanjutnya, pertanyaan utama penelitian ini diturunkan dalam beberapa pertanyaan khusus yang lebih operasional, yaitu:
1. Bagaimana implementasi Program Bina Lingkungan di PT. X?
2. Bagaimana efektivitas dan keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X?
4. Bagaimana upaya untuk menjamin keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X?

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis upaya PT. X dalam mempraktikkan Program Bina Lingkungan, terutama pada masyarakat lokal secara berkelanjutan sebagai bagian dari tanggungjawab sosial korporasi, dengan menggunakan metode studi evaluasi.
Secara khusus, penelitian ini menjawab rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, yakni :
1. Mengetahui implementasi Program Bina Lingkungan di PT. X.
2. Mengetahui efektivitas dan keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X.
3. Memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dampak dan keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X.
4. Dengan gambaran yang didapat, terutama dalam upaya korporasi dalam mempraktikkan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan, maka peneliti akan merekomendasikan sebagai bentuk kontribusi mengenai strategi pengembangan Program Bina Lingkungan di Indonesia, khususnya di PT. X.

1.4 Signifikansi Penelitian
Secara ilmiah-akademik, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan khususnya mengenai Program Bina Lingkungan sebagai bagian dari pelaksanaan program corporate social responsibility terhadap masyarakat lokal. Seperti yang tercatat dalam Creswell (1994) menekankan elaborasi signifikansi studi dapat ditujukan untuk: (1) kaum peneliti, (2) praktisi atau pelaku, dan (3) pembuat kebijakan.
1.4.1 Pemanfaat Utama
Penelitian mengenai Program Bina Lingkungan di kalangan BUMN belum banyak diteliti, terutama berkait dengan program yang mengarah pada sustainability atau berkelanjutan secara spesifik. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kontribusi dalam mengembangkan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan di PT. X sesuai dengan karakteristik masyarakatnya.
Selain itu, penelitian ini penting dipahami oleh pemerintah pusat dalam mengembangkan kebijakan berkait dengan korporasi terutama di kalangan BUMN, seperti PT. X ini. Begitupun dengan pemerintah lokal, agar kebijakan terutama berkait dengan korporasi dan pengembangan potensi masyarakat lokal, dapat lebih terarah, tepat sasaran dan berkelanjutan.
1.4.2 Pemanfaat Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pendorong sekaligus inspirator bagi LSM, baik lokal maupun nasional termasuk lembaga donor agar dalam mengembangkan program community development, dapat mempertimbangkan kearifan budaya lokal, dalam arti sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi serta kebiasaan masyarakat lokal. Dengan demikian, program yang dikembangkan tidak hanya sekedar memberikan bantuan sesuai kemauan korporasi, namun lebih dari itu, dapat menjawab permasalahan sekaligus kebutuhan masyarakat lokal sehingga program yang diterapkan dapat bermanfaat dan berkelanjutan (sustainability).

1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hasil penelitian ini akan disajikan dalam 5 (lima) bab, dengan susunan sebagai berikut:
Bab pertama, berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kajian teoritik, operasionalisasi konsep dari berbagai teori dan pendapat ahli, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, mengenai gambaran umum subjek penelitian yang mencakup lokasi peneltian, baik korporasi maupun masyarakat lokal, termasuk profil masing-masing institusi tersebut dari sejarah, potensi karakteristik hingga struktur organisasi.
Bab ketiga, menggambarkan pelaksanaan Program Bina Lingkungan sebagai bentuk corporate sosial responsibilty yang dipraktikkan kepada masyarakat lokal.
Bab keempat, merupakan pemaparan dan analisis hasil penelitian. Pada bagian ini akan dibahas mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan politik berkait dengan praktik Program Bina Lingkungan yang dilaksanakan korporasi. Pembahasan diawali dengan proses identifikasi masalah dan kondisi awal dari masyarakat lokal, selanjutnya secara beruntun akan diikuti, sesuai dengan ajian yang ternasuk dalam inputs, output, outcome dan impact. Hal ini secara sistematis menjawab bagaimana efektivitas dan keberlanjutan program bagi stakeholder khususnya masyarakat lokal, seperti yang dipaparkan pada kondisi awal.
Bab kelima, berisi kesimpulan penelitian, dan rekomendasi penelitian, yang didalamnya berisi model pengembangan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan dilihat dari aspek community development, sesuai dengan situasi kondisi korporasi. Rekomendasi ini disusun dengan mengacu pada hasil temuan yang dikaitkan dengan berbagai teori yang digunakan dalam penelitian ini.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:14:00

TESIS PERENCANAAN DAN PERANCANGAN WEB PORTAL IKLAN DAN INFORMASI XXX.COM

This summary is not available. Please click here to view the post.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:12:00

TESIS PERANCANGAN E-BUSINESS APLIKASI WORKFLOW BERBASISKAN WEB PADA PT. X

(KODE : PASCSARJ-0083) : TESIS PERANCANGAN E-BUSINESS APLIKASI WORKFLOW BERBASISKAN WEB PADA PT. X (PRODI : TEKNOLOGI INFORMASI)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi terutama dalam teknologi internet telah menjadi bagian dari masyarakat saat ini, perkembangan ini telah mendorong dunia bisnis untuk beradaptasi mengikuti arus teknologi informasi yang terus berkembang, perkembangan ini membentuk suatu ekosistem dimana perusahaan-perusahaan saling membutuhkan satu sama lain, perusahaan yang dapat bertahan dalam lingkungan tersebut adalah perusahan yang :
- Memiliki model bisnis yang dapat memberikan keuntungan yang berkelanjutan.
- Dapat memperluas jangkauan perusahaan diluar batasan organisasi dan geografis, serta memenuhi pasar lokal dan global.
- Berkompetisi secara aggresif, baik dipasar lokal maupun global, memiliki flexibilitas dan kecepatan dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
- Fokus dalam mendapatkan serta mempertahankan jumlah pelanggan yang besar, dengan menyediakan nilai tambah yang bersaing, layanan personal, dan akses tanpa batas waktu terhadap produk dan jasa.
- Berusaha untuk efesien dengan mengoptimalkan seluruh hubungan pada value chain yang dimiliki.
- Cepat dan tanggap dalam merespon perubahan pasar.
- Menjadi pemimpin dengan mengembangkan pengetahuan industri dan posisi pasar untuk memberikan nilai tambah bagi rekanan value chain.
Kondisi-kondisi di atas akan dapat dicapai dengan baik jika perusahaan- perusahaan mengadopsi sistem informasi berbasis teknologi informasi. Sebab teknologi informasi dapat digunakan untuk untuk meningkatkan keunggulan bersaing dan dianggap sebagai kunci sukses bagi perusahaan-perusahaan di era informasi dan di masa-masa yang akan datang. Perusahaan dapat memberikan nilai tambah pada produk atau jasa dengan cara inovasi, penurunan biaya, penghematan waktu maupun kustomisasi.
Internet merupakan salah satu teknologi informasi yang penggunaannya semakin meningkat oleh komunitas bisnis dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Misalnya dalam hal penggunaan e-mail, surfing/browsing, serta downloading. Secara tidak langsung hal ini dapat menciptakan sebuah lingkup dunia baru yang sering disebut dengan "cyberspace" atau dunia maya. Batas dunia menjadi "hilang" sehingga dapat mengubah cara perusahaan dalam melakukan bisnis dengan konsumen maupun dengan perusahaan lain.
Semakin maraknya dunia bisnis menggunakan internet sebagai media bertransaksi, membuat berkembangnya suatu konsep baru dalam teknologi informasi dan paradigma bisnis baru yang disebut e-business. PT. X Group merupakan perusahaan agrobisnis yang sedang berkembang dan merupakan kumpulan dari beberapa perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam PT. X Group, secara geografis PT. X Group memiliki cabang-cabang yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, dengan Jakarta sebagai pusat proses bisnis.
Ekspansi perusahaan secara besar-besaran tidak diikuti dengan manajemen yang handal, hal ini menimbulkan banyak masalah dalam komunikasi, terutama antar pusat dan daerah, sehingga sering muncul masalah seperti integritas data yang tidak akurat dan kurangnya kontrol terhadap proses bisnis. Hal ini juga di tambah dengan minimnya dukungan sistem terhadap proses bisnis, walupun secara infrastruktur beberapa sistem telah saling terhubung dengan cabang-cabang, namun akibat kurangnya dukungan penuh dari sistem menyebabkan beberapa proses bisnis masih dilakukan secara manual.
Seiring pertumbuhan perusahaan yang semakin besar, besar harapan para pemegang saham agar perusahaan mempunyai sistem manajemen yang baik, mulai dari perencanaan, implementasi, dan control, hal ini menjadi sangat diutamakan karena dengan semakin besarnya perusahaan, kompleksitasnya akan semakin tinggi pula, sehingga hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan harus dibuat sejelas mungkin. Berbagai konteks permasalahan tersebut dapat dilihat pada model konteks permasalahan dengan menggunakan Rich Picture (Sumber : Monk. Andrew, The Rich Picture: The Tool for Reasoning about Work Context) dibawah ini.

** gambar sengaja tidak ditampilkan **

Melihat permasalahan tersebut pada awal tahun XXXX PT. X Group membentuk divisi Informasi Teknolgi (IT), Divisi IT bertugas untuk mendukung perusahaan dalam mengimplementasi strategi perusahaan dari sisi teknologi yang tersedia saat ini. IT memberikan solusi untuk meningkatkan kinerja seluruh unit usaha yang ada, prestasi divisi IT pada tahun XXXX adalah membangun portal perusahaan, seiring dengan kebutuhan perusahaan yang meningkat terhadap proses automatisasi perkerjaan, maka divisi IT ditugaskan untuk mengani masalah yang berada didalam divisi HR, diantaranya adalah masalah data kepegawaian yang tidak terstruktur, selain itu divisi IT diberi tugas untuk melakukan automatisasi sistem workflow perusahaan dan bekerjasama dengan divisi HR, dimana divisi HR akan melakukan standarisasi SOP dan policy perusahaan yang dituangkan melalui perancangan sistem workflow.
Dalam pengembangan aplikasi, divisi IT menerapkan konsep pengembangan aplikasi menggunakan piranti lunak open source, konsep ini dipilih karena merupakan kebijakan dari perusahaan selain dari keungulan-keungulan yang dimiliki oleh piranti lunak open source itu sendiri, dimana dari segi biaya dan ketersediaan sumber daya yang memadai, dukungan pemerintah dengan penerapan IGOS (Indonesia Goes Open Source) semakin memantapkan divisi IT dalam pengembangan aplikasi menggunakan teknologi open source dalam pengambangan aplikasi.

1.2. Lingkup Masalah
Dengan melakukan ekspansi besar-besaran dan restrukturisasi perusahaan pada waktu yang bersamaan, PT. X Group harus bekerja sangat keras untuk mencapai visinya. Kecepatan perluasan areal seringkali tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang dibutuhkan, sehingga banyak sekali hal-hal yang memerlukan perbaikan/perhatian seperti:
- Sistem yang belum baku (Policy, SOP, reports)
Ada dua issue yang perlu mendapat perhatian seperti standard sistem yang belum ada/lengkap, dan penerapan sistem yang tidak sesuai dengan standard
- Perencanaan yang kurang matang
Implementasi yang tidak direncanakan dengan baik akan mempengaruhi tingkat keberhasilan suatu pekerjaan, dengan kata lain, perencanaan yang tidak matang mengakibatkan banyak hambatan pada saat implementasi, sehingga hasil yang ditargetkan akan sulit dicapai.
- Kontrol yang lemah
Dengan tidak adanya alat untuk menjustifikasi kegiatan yang dilakukan, kinerjanya (performance) akan sulit diukur.
- Sumber daya manusia yang masih belum memadai
Dalam hal ini, masalah yang terjadi adalah kurangnya tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diperlukan.
- Situasi sosial masyarakat Indonesia
Kompleksitas masalah ini sangat bervariasi di setiap daerah dan sangat mempengaruhi kegiatan perusahaan di daerah tersebut.
- Issue lingkungan yang mulai menjadi sorotan dunia internasional
Kelestarian lingkungan merupakan issue yang sangat sensitif dan komplek, juga sangat mempengaruhi reputasi perusahaan di mata Publik

1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan proyek akhir ini dimaksudkan untuk:
- Perancangan aplikasi workflow sebagai jawaban kebutuhan manajemen perusahaan sebagai alat untuk membakukan standar si stem perusahaan, diantaranya SOP, policy, dan reports.
- Dengan aplikasi workflow ini diharapkan proses bisnis dapat dipercepat, terkontrol dan terdokumentasi dengan baik, sehingga manajemen dapat membuat perencanaan yang lebih matang dan terstruktur.
- Penerapan piranti lunak open source oleh divisi IT sebagai salah satu solusi dalam pengembangan aplikasi.

1.4. Batasan Masalah
Batasan dalam penulisan proyek akhir ini adalah sebagai berikut:
- Sistem dirancang sesuai proses bisnis PT. X Group, dimana sistem dikembangkan bersama-sama dengan divisi HR PT. X Group, dan digunakan terbatas dalam lingkungan PT. X Group.
- Modul-modul yang dikembangkan antara lain : modul permohonan izin dintaranya : cuti, izin, dan sakit, modul permohonan klaim kesehatan, dan modul permohonan perjalanan dinas, perjalanan dinas sendiri memiliki empat sub modul diantaranya : proposal perjalanan dinas, surat tugas, deklarasi perjalanan dinas, dan laporan perjalanan dinas.
- Dalam pengembangan aplikasi, PT. X Group menerapkan teknologi open source, pemilihan teknologi ini merupakan kebijakan perusahaan, selain itu teknologi open source didukung oleh pemerintah Indonesia melalui program IGOS (Indonesia Goes Open Source).
- Teknologi open source akan digunakan dalam penggunaan development tools dan database platforms.

1.5. Metodologi Pengembangan Sistem
Dalam upaya melakukan pengembangan sistem berbasis e-business, penulis menganalisa dan merancang sistem dengan mempergunakan metodologi Model Driven Development Strategy. Metodologi ini adalah salah satu metode yang tertua dalam pengembangan sistem namun masih merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk analisa dan perancangan sebuah sistem informasi. Pada metode ini, sistem digambarkan dalam system model yang merepresentasikan kenyataan atau kenyataan yang diharapkan. Secara singkat metode ini adalah metode yang menggunakan system model untuk menggambarkan dan menganalisa permasalahan, mendefinisikan kebutuhan bisnis, serta merancang sistem informasi.
System Model sangat berguna dengan kemampuannya dalam memberikan gambaran dan mengkomunikasikan building block tentang knowledge, proses dan antar muka dari sebuah sistem informasi yang diharapkan. Selain itu keuntungan dari cara penggunakan system model adalah dukungannya yang besar dalam memfasilitasi komunikasi yang lebih mendalam dan sistematis antar pihak yang terlibar dalam pengembangan sistem informasi yang akan dibangun.
Adapun pihak yang terlibat dalam pengembangan sistem informasi, antara lain:
1. Pengguna sistem (End User)
2. Analis sistem (System Analyst)
3. Desainer sistem (System Designer)
4. Programmer
Berikut ini adalah diagram keterkaitan antara beberapa fase dalam metodologi pengembangan sistem yang berbasis e-business yang akan dilakukan dalam proyek akhir ini.

** gambar sengaja tidak ditampilkan **

Ada 6 tahapan yang akan ditempuh dalam menjalankan metodologi Model Driven Development Strategy untuk dapat diakomodir pada kegiatan proyek akhir pengembangan sistem ini. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai masing-masing tahapan tersebut.
1. Analisa Permasalahan
Adalah tahap pertama untuk melakukan pengamatan dan evaluasi terhadap sistem lama dan menganalisa hasil temuan secara detail untuk bisa mengungkapkan permasalahan yang menjadi dasar dijalankannya proyek teknologi informasi. Pada tahap ini hal yang terpenting untuk digali lebih dalam adalah masalah pemahaman akan domain permasalahan yang ada dalam sebuah organisasi dan pemahaman yang mendalam atas eksistensi sistem lama organisasi tersebut.
2. Pendefinisian Kebutuhan
Adalah tahap dimana kebutuhan bisnis didefinisikan dan dipetakan berdasarkan skala prioritas yang diinginkan oleh pengguna (stakeholder). Pada tahap ini analis sistem harus mampu menggali sedalam mungkin mengenai apa saja yang dinginkan pengguna untuk ditampilkan pada sistem baru secara detail dengan tidak menggunakan istilah teknis dalam dialog-dialog yang terjadi. Untuk itu dibutuhkan pemahaman atas proses bisnis yang kuat dan kemampuan komunikasi yang baik pada diri analis sistem. Fase ini merupakan tahapan paling penting dalam sebuah pengembangan sistem. Kesalahan dalam penggalian kebutuhan dari pengguna bisa berakibat kekecewaan atas sistem yang sudah jadi pada pengguna. Teknik yang umumnya digunakan pada proses penggalian kebutuhan adalah:
a. Survey/angket
b. Wawancara mendalam
c. Focus Group Discussion
Teknik yang digunakan penulis pada tahap ini adalah teknik survey untuk menggali data primer. Selain itu, ada kemungkinan penulis menggunakan teknik wawancara untuk melakukan penggalian data sekunder.
Pada tahap ini penggalian informasi akan kebutuhan pengguna mencakup beberapa aspek, yaitu:
a. Kebutuhan data bisnis
b. Kebutuhan proses bisnis
c. Kebutuhan antar muka sistem dan bisnis
3. Pendefinisian Ruang Lingkup
Adalah tahap ketiga dari model pengembangan ini. Adapun tujuan dari dilakukannya tahapan ini adalah mendapatkan jawaban dan justifikasi yang kuat atas:
a. Apakah permasalahan layak diangkat dan dibahas.
b. Bila layak, pembatasan apa saja yang harus dilakukan untuk upaya mengatasi permasalahan yang ada dalam proyek? Adapun pemicu dalam tahap ini adalah:
a. Masalah
b. Kesempatan yang ingin diraih
c. Directives
Semua hasil dokumentasi tahap ini dituangkan dalam problem statement. Tujuan dari tahapan ini adalah bukan untuk mencari solusi tapi lebih pada katalogisasi dan kategorisasi ketiga pemicu yang telah disebutkan diatas.
4. Perancangan Arsitektur Konseptual
Pada tahap perancangan ini, akan lebih dibahas mengenai peran-peran dari masing-masing aktor yang terlibat dalam proses bisnis yang ada dalam sistem informasi.
5. Perancangan Arsitektur Logis
Adalah tahap dimana kebutuhan bisnis pengguna dalam organisasi diartikulasikan ke dalam system model yang digunakan untuk memvalidasi kebutuhan akan kelengkapan dan konsistensi sistem. Frasa Arsitektur Logis disini harus diinterpretasikan sebagai konsep yang wajib bebas dari istilah teknologi (istilah teknis Sistem Informasi tidak diakomodasi dalam tahapan ini). Istilah Perancangan Arsitektur Logis sinonim/dikenal juga dengan istilah Logical Design, Conceptual Design, atau Essential Design.
6. Perancangan Arsitektur Fisik
Adalah tahap dimana kebutuhan pengguna diterjemahkan ke dalam system model yang berisikan tentang implementasi teknikan dari kebutuhan bisnis pengguna. Sinonim dari Perancangan Arsitektur Fisik adalah Physical Design, Technical Design, atau Implementation Model. Pada tahap ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan dengan baik:
a. Spesifikasi perancangan basis data fisik
b. Spesifikasi perancangan perangkat lunak dan proses bisnis fisik
c. Spesifikasi antar muka sistem dan pengguna fisik Ada dua filosofi yang cukup ekstrim dalam tahap ini, yaitu:
c.1. Perancangan berdasar spesifikasi
c.2. Perancangan berdasarkan prototyping
Pada tahap ini perancangan harus bisa memberikan perhatian yang sama pada perihal pengintegrasian sistem informasi yang akan dibangun nanti. Integrasi sistem biasanya langsung tergambar pada model Perancangan Arsitektur Fisik dan spesifikasi desain.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:11:00

TESIS HUBUNGAN ANTARA KEPEMILIKAN MANAJERIAL, RETURN ON EQUITY (ROE), NET PROFIT MARGIN (NPM), DAN TOBIN’S Q DENGAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

(KODE : PASCSARJ-0082) : TESIS HUBUNGAN ANTARA KEPEMILIKAN MANAJERIAL, RETURN ON EQUITY (ROE), NET PROFIT MARGIN (NPM), DAN TOBIN’S Q DENGAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (PRODI : MAGISTER MANAJEMEN)




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Laba merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja operasional perusahaan. Informasi tentang laba mengukur keberhasilan atau kegagalan bisnis dalam mencapai tujuan operasi yang ditetapkan (Parawiyati, 1996). Baik kreditur maupun investor, menggunakan laba untuk mengevaluasi kinerja manajemen, memperkirakan earnings power, dan untuk memprediksi laba di masa yang akan datang. Beberapa penelitian mendukung bahwa manipulasi terhadap earning juga sering dilakukan oleh manajemen. Penyusunan earnings dilakukan oleh manajemen yang lebih mengetahui kondisi di dalam perusahaan, kondisi tersebut diprediksi oleh Dechow (1995) dapat menimbulkan masalah karena manajemen sebagai pihak yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan dievaluasi dan dihargai berdasarkan laporan yang dibuatnya sendiri. Laba yang kurang berkualitas bisa terjadi karena dalam menjalankan bisnis perusahaan, manajemen bukan merupakan pemilik perusahaan. Pemisahan kepemilikan ini akan dapat menimbulkan konflik dalam pengendalian dan pelaksanaan pengelolaan perusahaan yang menyebabkan para manajer bertindak tidak sesuai dengan keinginan para pemilik. Konflik yang terjadi akibat pemisahan kepemilikan ini disebut dengan konflik keagenan.
Beberapa mekanisme yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah keagenan tersebut adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial (Jansen dan Meckling, 1976). Bernhart dan Rosenstein (1998) menyatakan beberapa mekanisme corporate governance seperti mekanisme internal, yaitu struktur dewan komisaris, serta mekanisme eksternal seperti pasar untuk kontrol perusahaan diharapkan dapat mengatasai masalah keagenan tersebut. Dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajer, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan para principal karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja. Kemampuan dewan komisaris untuk mengawasi merupakan fungsi yang positif dari independensi komisaris eksternal. Dewan komisaris juga bertanggung jawab atas kualitas laporan yang disajikan. Komite audit yang bertugas membantu Dewan Komisaris, bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian internal juga diharapkan dapat mengurangi sifat opportunistic manajemen yang melakukan manajemen laba (earnings management).
Salah satu tujuan penting pendirian suatu perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pemiliknya atau pemegang saham, atau memaksimalkan kekayaan pemegang saham melalui peningkatkan nilai perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Peningkatan nilai perusahaan tersebut dapat dicapai jika perusahaan mampu beroperasi dengan mencapai laba yang ditargetkan. Melalui laba yang diperoleh tersebut perusahaan akan mampu memberikan dividen kepada pemegang saham, meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Hambatan-hambatan yang dihadapi perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan tersebut pada umumnya berkisar pada hal-hal yang sifatnya fundamental yaitu : (1) Perlunya kemampuan perusahaan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya secara efektif dan efisien, yang mencakup seluruh bidang aktivitas (sumber daya manusia, akuntansi, manajemen, pemasaran dan produksi), (2) Konsistensi terhadap sistem pemisahan antara manajemen dan pemegang saham, sehingga secara praktis perusahaan mampu meminimalkan konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara manajemen dan pemegang saham, dan (3) Perlunya kemampuan perusahaan untuk menciptakan kepercayaan pada penyandang dana ekstern, bahwa dana ekstern tersebut digunakan secara tepat dan seefisien mungkin serta memastikan bahwa manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan perusahaan. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, maka perusahaan perlu memiliki suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, yang mampu memberikan perlindungan efektif kepada para pemegang saham dan pihak kreditur, sehingga mereka dapat meyakinkan dirinya akan peroleh keuntungan investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi, selain itu juga harus dapat menjamin terpenuhinya kepentingan karyawan serta perusahaan itu sendiri.
Bukti empiris yang diperoleh dari hasil riset Zhuang pada tahun 2000 menunjukkan masih lemahnya perusahaan-perusahaan publik di Indonesia dalam mengelola perusahaan dibandingkan negara-negara Asia Tenggara. Hal ini ditunjukkan oleh masih lemahnya standar-standar akuntansi dan regulasi, pertanggungjawaban terhadap para pemegang saham, standar-standar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses kepengurusan perusahaan. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan masih lemahnya perusahaan-perusahaan publik di Indonesia dalam menjalankan manajemen yang baik dalam memenuhi tuntutan stakeholder perusahaan.
Dalam upaya mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, maka para pelaku bisnis di Indonesia menyepakati penerapan good corporate governance (GCG) suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, hal ini sesuai dengan penandatanganan perjanjian Letter of Intent (LOI) dengan IMF tahun 1998, yang salah satu isinya adalah pencantuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan di Indonesia (Sulistyanto, 2003). Melalui penerapan GCG tersebut diharapkan: (1) perusahaan mampu meningkatkan kinerjanya melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta mampu meningkatkan pelayanannya kepada stakeholder, (2) perusahaan lebih mudah memperoleh dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan corporate value, (3) mampu meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan (4) pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen.
Corporate governance lebih menjadi perhatian para investor dan berbagai pihak yang berkepentingan setelah krisis ekonomi tahun 1997 di Asia, yang mengakibatkan kondisi perekonomian di beberapa negara menjadi terpuruk. Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami keterpurukan akibat krisis ekonomi tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh McKinsey and Co (2002) dalam Pakaryaningsih (2006), penelitian Credit Lyonnais Securities Asia (CLSA), dalam Setianto (2002), dan penelitian Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG) memberikan satu indikasi yang menyatakan bahwa penyebab terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 adalah karena buruknya corporate governance. Penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling buruk dalam penerapan corporate governance.
Good Corporate Governance secara definitif merupakan si stem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholders. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya, dan kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholders (Moeljono, 2002). Atau secara singkat, ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep good corporate governance ini, yaitu fairness, transparancy, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut sangatlah penting karena penerapan prinsip good corporate governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan (Beasly et al., 1998). Chtourou et al. (2001) juga mencatat prinsip good corporate governance yang diterapkan dengan konsisten dapat menjadi penghambat (constrain) aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
Beberapa bukti empiris yang menunjukkan bahwa pelaksanaan GCG dapat memperbaiki kinerja perusahaan antara lain: (1) Penelitian yang dilakukan oleh Ashbaugh et al. (XXXX) terhadap 1.500 perusahaan di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang melaksanakan good corporate governance mengalami peningkatan peringkat kredit (firm credit rating) yang signifikan, (2) Penelitian yang dilakukan oleh Alexakis et al. (2006) terhadap perusahaan-perusahaan yang listing di pasar modal Yunani menunjukkan bahwa, perusahaan-perusahaan yang melaksanakan GCG secara baik mengalami peningkatan rata-rata return saham, dan mengalami penurunan risiko yang signifikan, (3) Penelitian yang dilakukan Drobetz et al. (2003) terhadap perusahaan-perusahaan yang listing di pasar modal Jerman menunjukkan bahwa, perusahaan-perusahaan yang melaksanakan GCG mengalami peningkatan expected stock return yang signifikan, (4) Penelitian yang dilakukan oleh Firth et al. (2002) terhadap perusahaan-perusahaan yang listing di pasar modal Hongkong menunjukkan bahwa, perusahaan-perusahaan yang melaksanakan GCG mengalami peningkatan kinerja perusahaan (corporate performance) yang signifikan. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Brown dan Caylor (XXXX) di Georgia, juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang melaksanakan GCG mengalami peningkatan kinerja perusahaan (corporate performance) yang signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Cornett et al. (2005) terhadap perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam S&P 100, juga menunjukkan hasil yang sama dimana perusahaan-perusahaan yang melaksanakan GCG mengalami peningkatan kinerja perusahaan yang signifikan. Brown dan Caylor (XXXX) menunjukkan bahwa penerapan good corporate governance secara signifikan dapat meningkatkan return on equity, net profit margin, dan Tobin's Q. Mengacu pada hasil-hasil penelitian empiris yang telah dilakukan, tampak bahwa bukti empiris tersebut menunjukkan betapa pentingnya penerapan gcg dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan. Dalam kaitan ini maka menarik untuk dilakukan penelitian mengenai "Hubungan Kepemilikan Manajerial, Return on Equity (ROE), Net Profit Margin (NPM), dan Tobin's Q dengan penerapan Good Corporate Governance pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia". Penerapan Good Corporate Governance dalam penelitian ini akan diukur menggunakan Corporate Governance Perception Index (CGPI).

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat hubungan antara kepemilikan manajerial dengan penerapan good corporate governance yang diukur melalui Corporate Governance Perception Index (CGPI)?
2. Apakah terdapat hubungan antara return on equity dengan penerapan good corporate governance yang diukur melalui Corporate Governance Perception Index (CGPI)?
3. Apakah terdapat hubungan antara net profit margin dengan penerapan good corporate governance yang diukur melalui Corporate Governance Perception Index (CGPI)?
4. Apakah terdapat hubungan antara Tobin's Q dengan penerapan good corporate governance yang diukur melalui Corporate Governance Perception Index (CGPI)?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bukti empiris mengenai:
1. Hubungan antara kepemilikan manajerial dengan penerapan good corporate governance yang diukur melalui Corporate Governance Perception Index (CGPI).
2. Hubungan antara return on equity dengan penerapan good corporate governance yang diukur melalui Corporate Governance Perception Index (CGPI).
3. Hubungan antara net profit margin dengan penerapan good corporate governance yang diukur melalui Corporate Governance Perception Index (CGPI).
4. Hubungan antara Tobin's Q dengan penerapan good corporate governance yang diukur melalui Corporate Governance Perception Index (CGPI).

1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan beberapa manfaat, antara lain:
1. Manfaat ilmiah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pengembangan dan pengkajian konsep tentang bagaimana hubungan antara kepemilikan manajerial, return on equity, net profit margin, dan Tobin's Q dengan Good Corporate Governance
2. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi perusahaan dan regulator untuk menerapkan tata kelola perusahaan dengan lebih baik.

1.5 Sistematika Penulisan
Tesis ini menyajikan 5 bab yang saling berkaitan. Dalam bagian ini akan diterangkan secara singkat dari bab 1 sampai dengan bab 5. Adapun masing-masing bab tersebut berisi hal-hal sebagai berikut:
Bab 1. PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka yang mendasari penelitian ini, yang terdiri dari arti investasi, arti pasar modal, kepemilikan manajerial, return on equity, net profit margin, Tobin's Q, Good Corporate Governance, kerangka pemikiran, dan pengembangan hipotesis.
Bab 3. METODE PENELITIAN
Bab ini memaparkan metodologi penelitian yang berisi tentang objek penelitian, metode penelitian, jenis dan metode yang digunakan, pemilihan sampel, definisi operasional variabel, sumber data, pengumpulan data, dan analisis data.
Bab 4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bagian pembahasan yang terdiri dari hasil uji hipotesis dan analisis mengenai hubungan kepemilikan manajerial, return on equity, net profit margin, Tobin's Q dengan Good Corporate Governance.
Bab 5. KESIMPULAN DAN SARAN
Memaparkan kesimpulan hasil penelitian, keterbatasan dan implikasinya serta saran untuk penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:10:00

TESIS ANALISIS TENTANG SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) DAN MANFAATNYA BAGI INDONESIA

(KODE : PASCSARJ-0081) : TESIS ANALISIS TENTANG SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) DAN MANFAATNYA BAGI INDONESIA (PRODI : ILMU HUKUM)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi ekonomi telah menjadi suatu hal yang populer lebih dari satu dekade lamanya. Para politisi, staf-staf pemerintahan, para pelaku bisnis, aktivis lingkungan, ahli ekonom bahkan sampai pengacara semuanya membicarakan tentang globalisasi ekonomi. Adapun konsep mengenai globalisasi dan globalisasi ekonomi secara keseluruhan, telah banyak digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi yang sedang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Joseph Stiglitz seperti yang dikutip oleh Peter van den Bossche mendefinisikan mengenai konsep globalisasi sebagai berikut :
the closer integration of the countries and peoples of the world has been brought about by the enermous redustion of costs of transportation and communication, and the breaking down of artificial barriers to the flow of goods, capital, knowledge and (to a lesser extent) people across border
Berbicara tentang globalisasi ekonomi dan perdagangan internasional yang terkesan tanpa batas, maka hal ini dikaitkan dengan masyarakat internasional sebagai pelaku ekonomi dengan kepentingan ekonominya masing-masing.
Dapat dikatakan bahwa globalisasi yang ada saat ini adalah bentuk lain yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional saat ini. Seperti pada waktu yang lalu, untuk mengatasi krisis, perusahaan multi nasional mencari pasar baru dan memaksimalkan keuntungan dengan mengekspor modal dan reorganisasi struktur produksi.
Pada tahun 1950-an, investasi asing memusatkan kegiatan penggalian sumber alam dan bahan mentah untuk pabrik-pabriknya. Tiga puluh tahun terakhir ini, perusahaan manufaktur menyebar keseluruh dunia. Dengan pembagian daerah operasi melampaui batas-batas negara, perusahaan-perusahaan tidak lagi memproduksi seluruh produk di satu negara saja. Manajemen diberbagai benua, penugasan personel tidak lagi terikat pada bahasa, batas negara dan kewarganegaraan.
Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor dan impor serta penanaman modal. Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati batas-batas negara, meningkatkan intensitas persaingan. Gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi teknologi. Adanya perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing negara dalam rangka pembangunan negaranya masing-masing mengakibatkan adanya beberapa karakteristik negara dalam masyarakat internasional, yaitu negara maju, negara berkembang dan negara terbelakang.
Seperti yang dikatakan di atas, bahwa globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku ekonomi dunia. Kecenderungan manusia untuk tidak dapat lepas dari bantuan dan pertolongan orang lain, dapat dilihat dalam interaksi kehidupan antar negara. Negara maju yang dapat dicirikan sebagai negara yang memiliki modal besar dan menguasai teknologi, tingkat pendidikan penduduknya yang tinggi dan tingkat kesejahteraan yang tinggi. Selain itu, negara berkembang dikategorikan sebagai negara dengan standar hidup yang rendah, ditandai dengan pendapatan nasional per kapita yang rendah, distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tingkat kemiskinan yang
tinggi, angka pendidikan dan kesehatan yang buruk dan saat ini yang menjadi tujuan negara berkembang terutama adalah pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi. Negara berkembang dengan segala keterbatasan yang dimiliki, berusaha dengan sekuat tenaga dalam rangka pembangunan ekonomi negaranya dan mensejajarkan diri dengan negara maju di dunia tidak dapat melepaskan diri dengan bantuan luar negeri. Disisi lain, kepentingan ekonomi negara maju sangat dominan dalam memperoleh pangsa pasar dunia di negara berkembang.
Mengenai keterlibatan negara berkembang dalam dunia perdagangan internasional, Supachai Panitchpakdi, seperti yang dikutip oleh Peter van den Bossche, menyatakan sebagai berikut:
"Enhanced South-South activity offers a potentially great source of expanded trade opprtunities in the coming trade. Between 1990 and 2001, South-South trade grew faster than world trade with the share of intra-developing country trade in world merchandise exports rising from 6,5 % to 10,6 %"
Dengan ketidakseimbangan posisi inilah sehingga mampu membuat negara maju memaksakan kehendaknya kepada negara berkembang dalam bentuk syarat-syarat yang harus dipenuhi bahkan menutup pasar mereka dari negara berkembang jika negara berkembang bermaksud mengadakan perjanjian ekonomi dengan negara maju dan bersaing dengan produk yang mereka hasilkan.
Disini, negara berkembang seperti tidak memiliki posisi tawar yang tinggi sebagai negara berdaulat untuk menolak syarat-syarat yang diajukan jika memang ada dampak negatif yang ditimbulkan. Selain itu, negara berkembang memiliki keterbatasan informasi yang dapat menghambat mereka dalam bernegosiasi dengan negara maju dalam bidang perdagangan. Dengan kondisi demikian, mengakibatkan negara berkembang tidak mendapatkan secara maksimal
keuntungan dari adanya suatu perjanjian internasional dalam rangka tercapainya perdagangan internasional yang adil dan merata. Sehingga wajar saja jika dikemudian hari, banyak sisi-sisi yang dikorbankan termasuk dunia perdagangan.
Mengenai hal ini, Kofi Annan seperti yang dikutip oleh Peter van den Bossche menyatakan sebagai berikut :
"Try to imagine what globalization can possibly mean to the half humanity that has never made of received a telephone call, or to the people of' Sub-Saharan Africa, who have less internet access than the inhabitans of the borough of Manhattan "
Pada sisi yang lain sektor perdagangan menjadi sangat penting peranannya bagi negara berkembang dalam pembinaan perekonomian, baik dalam konteks perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional yang menuju era perdagangan bebas yang semakin kompetitif. Hal ini menjadi sangat penting mengingat bahwa perdagangan yang terjadi tidak hanya dalam satu negara saja, tetapi juga telah melewati batas teritorial antar negara. Sehingga diperlukan suatu sistem perdagangan internasional di bawah suatu organisasi perdagangan internasional.
Saat ini, terdapat satu organisasi perdagangan internasional sebagai salah satu wujud kesepakatan internasional dalam rangka mencapai suatu sistem perdagangan internasional yang adil dan kompetitif yaitu di bawah komando organisasi World Trade Organization (untuk selanjutnya disingkat dengan WTO).
WTO sebagai organisasi Perdagangan Dunia adalah suatu organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan perdagangan dunia melalui pengurangan hambatan tarif dan non tarif serta menerapkan pemberlakukan tarif untuk perdagangan barang. Selain itu juga untuk menata sistem perdagangan dunia agar lebih efisien dan efektif. Organisasi ini juga merupakan suatu forum negosiasi bagi para anggota untuk merundingkan kepentingan nasional masing-masing negara anggota.
WTO merupakan penguatan dari General Agreements on Trade and Tariff (dan untuk selanjutnya disingkat dengan GATT) yang berdiri pada tahun 1947. GATT merupakan suatu perjanjian multilateral dimana tujuan pokoknya adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna tercapainya kesejahteraan umat manusia. GATT sendiri telah menunjukkan eksistensinya sejak setengah abad yang lalu. Selain itu, GATT telah juga memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan internasional dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional yang cukup tinggi. Terlepas dari keberhasilan tersebut, GATT sebagai organisasi dan peraturan-peraturan yang dihasilkan masih bersifat sementara.
Namun demikian dalam perjalanannya, GATT 1947 belum dapat memberikan kepuasan bagi negara-negara anggota karena GATT hanyalah merupakan sekumpulan aturan sehingga bila terjadi sengketa antar anggota tidak dapat diselesaikan karena GATT tidak memiliki badan penyelesaian sengketa.
Adapun yang menjadi keluhan mengenai kelemahan sistem penyelesaian sengketa dalam GATT tersebut antara lain:
1. Prosedur dalam mekanisme penyelesaian sengketa dianggap memakan waktu terlalu banyak. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk menyusun panel. Selain itu, adanya berbagai perjanjian khusus yang walaupun diadministrasikan oleh GATT, akan tetapi merupakan perjanjian tersendiri dengan prosedur penyelesaian sengketa tersendiri.
Kondisi hal tersebut di atas ternyata telah menimbulkan forum shopping dimana negara yang bersengketa dapat memilih untuk mengajukan penyelesaian sengketa pada berbagai forum. Sehingga dengan demikian, proses tersebut menimbulkan waktu yang terbuang untuk memperdebatkan prosedur yang akan digunakan.
2. Adanya perbedaan paham mengenai prosedur penyelesaian sengketa yang menerapkan prosedur yang terdapat dalam GATT atau prosedur yang berlaku dalam perjanjian khusus yang menimbulkan perdebatan mengenai substansi tentang prosedur.
3. Seringkali timbul kesulitan untuk mencari anggota panel yang tepat untuk suatu kasus yang timbul. Hal ini mengingat bahwa belum adanya pemahaman yang merata mengenai isu-isu dalam dunia perdagangan internasional.
4. Lambatnya pemutusan dari laporan panel yang diserahkan kepada council yang bertindak atas nama Contracting Parties.
5. Pihak yang kalah dalam sengketa dapat mencegah diterimanya laporan kepada council karena adanya aturan bahwa keputusan dalam council yang diambil dengan cara konsensus juga melibatkan negara yang bersengketa dalam proses pengambilan keputusan mengenai kasus yang sedang dibahas.
6. Adanya panelis yang dalam laporannya mengemukakan pandangannya secara tidak jelas sehingga menimbulkan keputusan yang tidak berlandaskan pada argumentasi hukum yang kuat.
7. Adanya tekanan yang tidak wajar dari suatu negara terhadap para panelis. Hal ini terjadi mengingat adanya posisi yang tidak seimbang antara negara anggota WTO itu sendiri
Selain itu, kemampuan sistem penyelesaian sengketa berdasarkan GATT dianggap tidak efektif. Hal ini disebabkan karena sistem penyelesaian sengketa berdasarkan GATT lebih menitik beratkan pada proses-proses diplomatik dan prosedur penyelesaian sengketa yang berdasarkan kekuasaan (power based procedur). Selanjutnya dikatakan bahwa peraturan-peraturan yang terdapat dalam GATT membuka kemungkinan bagi pihak yang kalah untuk menolak klaim-klaim yang diajukan tanpa adanya suatu konsekuensi tertentu.
Berikut ini sebagai contoh kasus yang pernah terjadi dimana prosedur penyelesaian sengketa berdasarkan GATT mengandung kelemahan-kelemahan dimana para pihak yang bersengketa selalu dapat menunda-nunda proses pengambilan penyelidikan oleh panel atau pengambilan keputusan oleh contracting parties.
Salah satu contoh yang jelas adalah kasus antara MEE vs Amerika Serikat dalam perkara Domestic International Soles Corporation (DISC) tahun 1973. Sebagai penggugat, Amerika Serikat meminta panel untuk menetapkan bahwa suatu prinsip dalam hukum pajak Eropa memberikan dampak subsidi ekspor sehingga bertentangan dengan pasal XVI GATT. Amerika Serikat mengakui bahwa gugatan yang diajukannya tidak realistik karena tidak semua negara pun akan membiarkan struktur perpajakannya didikte oleh suatu ketentuan dalam perjanjian internasional yang mengatur kebijakan perdagangan. Amerika Serikat mengajukan gugatan tersebut dalam rangka menguatkan pendapatnya dalam menghadapi gugatan sebelumnya yang diajukan MEE. Dalam gugatannya MEE menuduh peraturan DISC Amerika Serikat melanggar ketentuan Pasal XVI GATT. Amerika Serikat sendiri mengakui bahwa DISC, sekali pun merupakan subsidi ekspor terselubung, lebih banyak mencontoh perundang-undangan pajak Eropa yang memberikan dampak subsidi terselubung. Dalam perkara DISC ini Amerika Serikat sengaja menghubungkan satu persoalan dengan persoalan lain karena menyadari bahwa gugatan MEE tidak akan diproses tanpa menyertakan gugat balik dari Amerika Serikat. Putusan Panel baru keluar tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1976 dan isinya mcnyatakan bahwa baik DISC mau pun perundangan-undangan perpajakan Eropa sama-sama melanggar Pasal XVI GATT. Dalam hal ini, MEE tidak bersedia menerima kesimpulan Panel tersebut sehingga akibatnya seluruh temuan Panel harus ditinjau kembali sebelum diterima atau ditindaklanjuti oleh contracting parties. Rekomendasi Panel tersebut terus berada dalam agenda council selama enam pertemuan antara tahun 1976-1978. Council akhimya memutuskan akan menangguhkan persoalan tersebut sampai pertemuan berikutnya. Namun demikian, ternyata rnasalah ini tidak pernah diangkat kembali ke permukaan.
Dari pengalaman tersebut maka pada perundingan akhir Uruguay Round pada tahun 1994, para Menteri Perdagangan anggota GATT bersepakat untuk mendirikan suatu organisasi yang kuat yaitu WTO, yang berdiri secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995. Dengan adanya kesepakatan Uruguay Round tersebut pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko maka dimulailah babak baru dalam hubungan perdagangan internasional, dengan demikian diharapkan agar perdagangan dunia yang bebas, adil dan terbuka dapat tercapai.
Selain itu juga dengan disepakatinya kerjasama WTO dengan organisasi internasional lainnya seperti International Monetary Fund (untuk selanjutnya disingkat dengan IMF) dan World Bank, sistem penyelesaian sengketa secara terpadu dan yang dilakukan secara reguler diharapkan dapat menjadi suatu standar mekanisme sebagai sarana tinjauan kebijaksanaan perdagangan dalam rangka meningkatkan transparansi.
Sehingga dengan demikian, untuk pertama kalinya dalam perkembangan sistem perdagangan multilateral, negara-negara telah berhasil menciptakan satu kesatuan sistem penyelesaian sengketa (overall unified dispute settlement) yang mencakup semua bidang perjanjian WTO. Dengan sistem yang menyatu ini tidak ada lagi sistem penyelesaian sengketa sendiri-sendiri yang diatur oleh masing-masing bidang perjanjian.
Di samping itu terhadap aturan dan prosedur penyelesaian sengketa telah dilakukan penyempurnaan sehingga pelaksanaannya diharapkan dapat lebih efektif dibandingkan dengan sistem dalam GATT 1947. Adanya perubahan sistem ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa terciptanya penyelesaian sengketa yang lebih efektif sangatlah penting bagi berfungsinya sistem perdagangan multilateral secara baik, lancar dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia secara merata.
Hal ini seperti yang diungkapkan dalam pertemuan tingkat menteri perdagangan delapan bulan sebelum berdirinya WTO, bertemu di Marrakesh pada 15 April 1994 dalam rangka mengadopsi Marrakesh Declaration, yaitu :
"salute the historic achievement represented by the conclusion of the [Uruguay] Round, which they believe will strengthen the world economy and lead to more trade, investment, employment and income growth throughout the world".
Disisi lain, WTO sebagai suatu lembaga perdagangan multilateral yang permanen maka peranan WTO akan lebih kuat daripada GATT selama ini. Hal ini tercermin dari struktur organisasi yang melibatkan negara anggotanya sampai pada tingkat Menteri. Adapun struktur organisasi WTO, terdiri dari :
a. Ministerial Conference (Konferensi Tingkat Menteri), yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi. Forum ini secara rutin mengadakan pertemuan setiap dua tahun.
b. General Council (Dewan Umum), badan ini berada di bawah Ministerial Conference yang bertugas sebagai pelaksana harian, terdiri dari para wakil negara anggota dan mengadakan pertemuan sesuai dengan kebutuhan baik untuk kegiatan di bawah Multilateral Trade Agreements maupun Plurilateral Trade Agreements.
c. Council for Trade in Goods (Dewan Perdagangan Barang), badan di bawah General Council yang bertugas memantau pelaksanaan persetujuan yang dicapai di bidang perdagangan barang.
d. Council for Trade in Service (Dewan Perdagangan Jasa), badan di bawah General Council yang bertugas memantau pelaksanaan persetujuan yang dicapai di bidang perdagangan jasa.
e. Council for Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (Dewan untuk Aspek Dagang yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual). Badan yang berada di bawah General Council ini bertugas memantau pelaksanaan persetujuan di bidang perdagangan Hak Atas Kekayaan Intelektual.
f. Dispute Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa), badan ini berada di bawah Ministerial Conference yang menyelenggarakan forum penyelesaian sengketa perdagangan yang timbul diantara negara anggota.
g. Trade Policy Review Body (Badan Peninjau Kebijakan Perdagangan), badan ini berada di bawah Ministerial Conference yang bertugas menyelenggarakan mekanisme pemantauan kebijakan di bidang perdagangan.
Dengan demikian, peranan WTO sebagai suatu organisasi perdagangan multilateral, yaitu :
a. Mengadminsitrasikan berbagai persetujuan yang dihasilkan Uruguay Round di bidang barang dan jasa, baik multilateral maupun plurilateral serta mengawasi pelaksanaan komitmen akses pasar di bidang tarif maupun non tarif.
b. Mengawasi praktek-praktek perdagangan internasional dengan secara reguler meninjau kebijaksanaan perdagangan negara anggotanya dan melalui rosedur notifikasi.
c. Sebagai forum dalam menyelesaian sengketa dan menyediakan mekanisme konsiliasi guna mengatasi sengketa perdagangan yang timbul.
d. Menyediakan bantuan teknis yang diperlukan bagi anggotanya, termasuk bagi negara-negara berkembang dalam melaksanakan Putaran Uruguay.
e. Sebagai forum bagi negara anggotanya untuk terus menerus melakukan perundingan pertukaran konsesi di bidang perdagangan guna mengurangi hambatan perdagangan dunia.
Adapun sistem penyelesaian sengketa yang terdapat di WTO merupakan elemen pokok dalam menjamin keamanan dan kepastian terhadap perdagangan multilateral. Mekanisme penyelesaian persengketaan WTO sangat penting dalam rangka penerapan disiplin dan fungsi WTO secara efektif.
Perkembangan sistem penyelesaian sengketa WTO ini adalah sebuah tuntutan penyesuaian yang cukup luas dari sistem GATT yang memerlukan perubahan yang cukup luas dalam menangani perluasan kegiatan perdagangan dunia. Dalam evolusinya, sistem penyelesaian sengketa yang dikembangkan oleh GATT semakin dipusatkan pada perbaikan-perbaikan konkret yang dapat dilakukan dan dianggap perlu serta dimungkinkan untuk diterapkan. Dengan perbaikan itu maka sistem penyelesaian sengketa menjadi cukup lengkap dari segi prosedural maupun dari segi kelembagaan.
Adapun perkembangan yang menyangkut perbaikan dan penyempurnaan atas sistem penyelesaian sengketa yang terdapat dalam GATT telah semakin meningkat dan menjadi agenda pada Uruguay Round. Pada tahun 1986 yang merupakan salah satu putaran Uruguay Round, tepatnya di Punta del Este, pada pertemuan tingkat menteri telah dideklarasikan dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa, bahwa :
"In order to ensure prompt and effective resolution of disputes to the benefit of all contracting parties, negotiations shall aim to improve and strengthen the rules and the procedures of the disputes settlement process, while recognizing the contribution that would be made by more effective and enforceable GATT rules and disciplines. Negotiations shall include the development of adequate arrangement for overseeing and monitoring of the procedures that would facilitate compliance with adopted recommendations".
Adapun substansi pokok yang menyangkut perbaikan dan penyempurnaan tersebut di atas adalah tersebut di bawah ini:
a. Adanya penggunaan panel untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Hal ini berarti telah terjadi "pengukuhan" prosedur yang sifatnya lebih yuridis dalam sistem penyelesaian sengketa dengan adanya penerapan ketentuan dalam sengketa yang menggunakan third party adjudication dengan menggunakan panels of independent expert. Hal ini berbeda dengan instrumen yang digunakan dalam GATT sebelumnya bahwa proses tersebut lebih mengandung proses politis karena hanya melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan atas sengketa yang terjadi dalam penyelesaian atas tiap sengketa yang ada.
b. Sejak tahun 1962, dengan hasil dari kasus yang diadukan kepada GATT oleh pemerintah Uruguay dengan laporan GATT, yaitu Uruguay's Recourse to Article XXIII, maka GATT semakin mengarahkan perhatiannya kepada masalah violation complaints dan breaches of obligations. Sehingga dengan demikian, adanya pembatasan, secara bertahap, melalui proses penyelesaian sengketa, dari jenis-jenis keluhan dalam bentuk non-violation complaints yang rumusannya terlalu samar-samar dan umum mengenai kerugian atas dampak tindakan subsidi produksi yang diterapkan oleh suatu negara.
c. Peningkatan kadar yuridis dari GATT's diplomat's jurisprudence dan "de-politisasi" dari prosedur panel antara lain dengan menggunakan temuan dari hasil panel sebelumnya, yang semakin mendekati case law dan penggunaan precedence walaupun belum sepenuhnya, dengan pengembangan hak untuk meminta dibentuknya panel, penggunaan metode customary law dalam treaty interpretation, peningkatan penggunaan ahli hukum dalam panel, dari semakin mengembangnya penerimaan adopsi laporan panel secara otomatis.
d. Adanya kejelasan waktu dalam setiap tahap proses penyelesaian sengketa.
e. Adanya kemungkinan untuk dibuatnya appellate review terhadap suatu panel report.
Selain itu, mengingat adanya kelemahan yang terdapat dalam sistem penyelesaian sengketa yang terdapat dalam GATT, WTO berusaha untuk merancang suatu sistem penyelesaian sengketa yang baru. Suatu sistem yang memperkenalkan sistem sanksi atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh tiap negara-negara anggota. Karakteristik lainnya adalah bahwa sistem penyelesaian sengketa WTO berdasarkan atas hukum (rule based system) dan adanya suatu proses yang dilegalisasikan. Oleh karena itu, hal ini dapat dikatakan bahwa sistem penyelesaian sengketa WTO memberikan suatu landasan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem penyelesaian sengketa yang terdapat dalam GATT.
Sehingga dengan demikian, hal-hal tersebut di atas secara progresif merupakan tahap penting dalam memperkuat sistem penyelesaian sengketa seperti yang diterapkan oleh WTO melalui badannya yaitu Disputes Settlement Body (dan untuk selanjutnya disingkat dengan DSB) saat ini. Negara-negara anggota menaruh kepercayaan yang sangat besar pada sistem penyelesaian sengketa WTO terutama negara-negara yang tergolong dengan negara berkembang.
Hal ini terbukti dari perjalanan organisasi ini selama tujuh tahun sejak berdirinya yang telah menerima dan menyelesaikan lebih dari 250 kasus. Sebagian besar kasus yang diajukan dapat diselesaikan tanpa harus menempuh seluruh tahapan proses penyelesaian sengketa. Dalam hampir semua kasus yang diajukan ke DSB, negara responden telah dapat melaksanakan rekomendasi DSB tanpa harus dilakukan tindak lanjut berupa tindakan pemaksaan (enforcement measure).
Keberhasilan untuk menciptakan rezim multilateral di bidang perdagangan dinilai sebagai suatu hasil pencapaian yang besar. Sehingga menjadi suatu kondisi yang wajar apabila negara peserta menaruh harapan yang besar pada sistem yang baru ini. Namun demikian, penerapan sistem ini ternyata menimbulkan keluhan dari berbagai pihak terutama negara berkembang.
Merujuk pada bagian pembukaan dari WTO Agreement, telah ditegaskan bahwa:
" Recognizing that their relations in the field of trade and economic endeavour should be conducted with a view to raising standards of living, ensuring full employment and a large and steadily growing volume of real income and effective demand, and expanding the production of and trade in goods and services, while allowing for the optimal use of the world's resources in accordance with the objective of sustainable development, seeking both to protect and preserve the environment and to enhance the means for doing so in a manner consistent with their respective needs and concerns at different levels of economic development, Recognizing further that there is need for positive efforts designed to ensure that developing countries, and especially the least devel-oped among them, secure a share in the growth in international trade commensurate with the needs of
Berdasarkan hal tersebut di atas telah ditegaskan bahwa yang menjadi tujuan penting keberadaan WTO adalah dalam rangka menciptakan standar hidup yang layak, adanya hasil yang dicapai atas tiap pekerjaan yang dilakukan, adanya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan efektifitas atas permintaan, ekspansi atas hasil-hasil produksi perdagangan, baik perdagangan barang maupun jasa, serta perlindungan atas lingkungan dunia. Selain itu, dalam rangka pengurangan tarif dan hambatan lainnya dalam perdagangan dunia dan untuk mengurangi diskriminasi karena adanya perbedaan kemampuan antara masing-masing negara.
Selain itu juga, telah dijelaskan dalam bagian pembukaan bahwa dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, WTO wajib mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu dalam rangka menjaga suatu kondisi yang baik atas tiap kebutuhan yang diperlukan bagi negara berkembang. Dalam bagian ini sangat ditekankan pentingnya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan terintegrasinya negara berkembang, dan khususnya bagi negara yang dikategorikan sebagai negara terbelakang dalam sistem perdagangan dunia saat ini. Kedua aspek tersebut di atas tidak menjadi suatu hal yang dianggap perlu dalam GATT 1947.
Hal ini telah ditegaskan dalam pernyataan appellate-body dalam kasus US55-Shrimp :
"The language of the Preamble of the WTO Agreement demonstrates recognition by WTO negotiators that optimal use of the world's resources should be made in accordance with the objective of sustainable development. As this preambular language reflects the intentions of negotiators of the WTO Agreement, we believe it must add colour, texture and shading to our interpretation of the agreements annexed to the WTO Agreement, in this case, the GATT 1994. We have already observed that Article XX(g) of the GATT 1994 is appropriately read with the perspective embodied in the above preamble".
Seperti yang telah disebutkan di atas, WTO adalah organisasi penting dalam rangka mengadministrasikan berbagai peraturan dalam bidang perdagangan internasional. WTO juga sebagai badan yang memantau secara langsung perjanjian-perjanjian dalam bidang perdagangan diantara negara-negara anggotanya. Hal ini menjadi penting dalam rangka memastikan bahwa perdagangan internasional berjalan dengan semestinya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati bersama. Selain itu, WTO juga dianggap sebagai forum dalam rangka penyelesaian sengketa perdagangan yang terjadi diantara sesama negara-negara anggotanya.
Dalam rangka untuk menjamin bahwa segala peraturan yang ada dapat berjalan secara efektif, maka keberlangsungan mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO adalah menjadi suatu keharusan tersendiri. Hal ini tidak hanya untuk memberikan jaminan tercapainya penyelesaian sengketa yang efektif, tetapi juga dalam rangka membuktikan kualitas dari adanya suatu perdagangan internasional, dimana setiap negara-negara anggotanya mematuhi dan melaksanakan setiap perjanjian yang disepakati bersama dalam bidang perdagangan internasional. Oleh karena itu, sistem penyelesaian sengketa WTO harus memberikan kedudukan perlindungan yang seimbang untuk semua negara-negara anggotanya.
Selain itu dikatakan bahwa yang menjadi tujuan dari sistem penyelesaian sengketa WTO adalah untuk memastikan bahwa sistem perdagangan multilateral adalah suatu sistem yang diakui dan dapat diprediksi. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai tujuan ini, sistem penyelesaian sengketa harus dapat menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan secara adil dan dilaksanakan tanpa adanya pihak yang diutamakan. Dalam teorinya, sistem penyelesaian sengketa WTO adalah berdasarkan atas hukum, hal ini dapat menjadi suatu jaminan bahwa setiap keputusan yang dihasilkan dapat didasarkan atas hukum dan sesuai dengan klaim yang diajukan, tanpa adanya kepentingan-kepentingan ekonomi dan kekuatan politik yang dapat menekan salah satu pihak yang bersengketa.
Kemudian, hal lain yang menjadi sangat penting adalah bagaimana sistem penyelesaian sengketa WTO dapat berjalan dengan baik sesuai dengan fungsinya, terutama dalam kaitannya dengan kepentingan-kepentingan negara berkembang, khususnya Indonesia. Dalam hal ini berusaha menekankan bahwa sistem penyelesaian sengketa WTO dapat dirasakan kebermanfaatannya tidak hanya bagi negara maju, tetapi juga negara berkembang khususnya Indonesia.

B. Pokok Permasalahan
Adapun dalam penelitian ini, yang akan menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang?
2. Bagaimanakah seharusnya pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO dan manfaatnya bagi kepentingan nasional Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang akan menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang.
2. Untuk mengetahui pengaturan khusus yang seharusnya mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO dan manfaatnya bagi kepentingan nasional Indonesia

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan sangat berguna baik untuk para praktisi maupun akademisi.
1. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pembuat kebijaksanaan atau pembentuk hukum di bidang ekonomi dalam rangka penyempurnaan sistem yang baik dalam sengketa dagang internasional.
2. Kegunaan teoritis
Penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum dan dapat digunakan sebagai data sekunder, khususnya bagi para akademisi yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi yang menyeimbangkan kepentingan negara maju dan negara berkembang.

E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum untuk memahami penerapan norma-norma hukum terhadap fakta-fakta yang tersaji yang dalam hal ini keberadaannya untuk mengubah keadaan dan menawarkan penyelesaian yang berpotensi untuk menyelesaikan setiap masalah kemasyarakatan yang konkret.
Pilihan tersebut di atas penulis pilih dalam rangka memahami penerapan norma-norma hukum yang terdapat di dalam Disputes Settlement Understanding atau konvensi internasional lainnya dalam penyelesaian sengketa melalui forum WTO-DSB. Dalam penelitian ini juga penulis lengkapi dengan analisis terhadap sengketa yang melibatkan Indonesia dalam forum penyelesaian sengketa WTO baik sebagai pihak complainant, respondent maupun third parties.
Adapun penelitian yang dilakukan adalah doktrinal dengan optik preskriptif59 yaitu penelitian untuk menemukan kaedah hukum secara hermeneutis, yaitu suatu kaedah yang akan menentukan apa yang menjadi kewajiban dan hak yuridis subyek hukum dalam situasi kemasyarakatan tertentu berdasarkan kerangka tatanan hukum yang berlaku dengan selalu mengacu kepada positivitas, koherensi, keadilan dan martabat manusia. Dalam istilah yang lain dapat juga dikatakan bahwa penelitian dengan optik preskriptif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. Adapun pemilihan tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaturan yang seharusnya dimiliki dalam DSU yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia.
2. Data Yang Digunakan
Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the books. Dengan demikian, objek yang dianalisis adalah norma hukum, yaitu mengkaji tentang Disputes Settlement Understanding yang mengatur tentang sistem penyelesaian sengketa di WTO. Selain itu, penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang dilakukan dalam rangka memperoleh data sekunder baik yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dalam penelitian ini, maka akan diawali terlebih dahulu dengan melakukan inventarisasi perjanjian-perjanjian internasional dan putusan-putusan Dispute Settlement Body yang berkaitan dengan masalah tersebut di atas.
Setelah dilakukan pengkajian lebih dalam atas peraturan yang terkait tersebut di atas, maka perlu didukung dengan bahan hukum sekunder yang berupa tulisan para ahli dan bahan hukum tersier lainnya.
Data sekunder yang akan diteliti terdiri dari :
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa perjanjian-perjanjian internasional yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan perdagangan internasional termasuk didalamnya WTO Agreement, Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU), GATT, GATS dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum mengenai masalah ekonomi dan perdagangan bebas terkait dengan penyelesaian sengketa dagang internasional.
Dalam mengumpulkan data yang digunakan untuk menyusun penelitian ini, penulis melakukan studi kepustakaan dengan membaca tulisan-tulisan yang berhubungan dengan topik yang dibahas yaitu tentang analisis sistem penyelesaian sengketa dagang internasional yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia yang terdapat dalam buku-buku, tulisan-tulisan dalam jurnal internasional, surat kabar, majalah, makalah hasil seminar, dan artikel ilmiah. Data-data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan maksud memberikan gambaran yang komprehensif mengenai tema penelitian ini.
3. Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dengan pendekatan kualitatif, yaitu berusaha untuk menganalisis suatu data secara mendalam dan menyeluruh. Pilihan atas metode tersebut agar dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh dari fenomena hukum yang dikaji, sehingga gambaran yang dihasilkan tidak bias normatif dan juga tidak bias faktual. Sehingga dengan demikian penelitian ini akan mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

F. Sistematika Laporan Penelitian
Hasil penelitian ini akan disusun mengikuti sistematika sebagai berikut: Bab Kesatu sebagai pendahuluan akan menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, jenis penelitian, data yang digunakan dan metode analisis data, kerangka teori dan definisi operasional serta sistematika laporan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab Kedua akan menjelaskan mengenai pengaturan penyelesaian sengketa WTO yang diatur dalam DSU.
Bab Ketiga akan menjelaskan mengenai mengenai keberadaan WTO secara umum, sejarah dan latar belakangnya, termasuk didalamnya mengenai pengaturan khusus penyelesaian sengketa yang dianut dalam WTO Agreement yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang pada umumnya dan khususnya sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia.
Bab Keempat akan menjelaskan mengenai bagaimana seharusnya pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO yang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia dengan mengambil pelajaran dari sengketa yang menghadapkan Indonesia dalam forum penyelesaian sengketa WTO.
Bab Kelima sebagai bagian penutup berisikan kesimpulan dan saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:08:00