Cari Kategori

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN

(KODE PTK-0005) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, artinya suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menyampaikan gagasan, pikiran atau perasaan sehingga gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran pembicara dapat dipahami orang lain. Berbicara berarti mengemukakan ide atau pesan lisan secara aktif melalui lambang-lambang bunyi agar terjadi kegiatan komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Memang setiap orang dikodratkan untuk bisa berbicara atau berkomunikasi secara lisan, tetapi tidak semua memiliki keterampilan untuk berbicara secara baik dan benar. Oleh karena itu, pelajaran berbicara seharusnya mendapat perhatian dalam pengajaran keterampilan berbahasa di sekolah dasar.
Seperti yang diungkapkan Galda (dalam Supriyadi, 2005: 178) keterampilan berbicara di SD merupakan inti dari proses pembelajaran bahasa di sekolah, karena dengan pembelajaran berbicara siswa dapat berkomunikasi di dalam maupun di luar kelas sesuai dengan perkembangan jiwanya. Pendapat tersebut juga didukung oleh Farris (dalam Supriyadi, 2005: 179) yang menyatakan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara penting diajarkan karena dengan keterampilan itu seorang siswa akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir, membaca, menulis, dan menyimak. Kemampuan berpikir tersebut akan terlatih ketika mereka mengorganisasikan, mengonsepkan, dan menyederhanakan pikiran, perasaan, dan ide kepada orang lain secara lisan.
Dengan kata lain, dalam kehidupan sehari-hari siswa selalu melakukan dan dihadapkan pada kegiatan berbicara. Namun pada kenyataannya pembelajaran berbicara di sekolah-sekolah belum bisa dikatakan maksimal, sehingga keterampilan siswa dalam berbicara pun masih rendah. Permasalahan dalam kemampuan berbicara juga terjadi pada siswa kelas V SD Negeri X. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas yang menyatakan bahwa rendahnya keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X, tampak dari dua kali tugas berbicara siswa pada semester 1. Dari data yang ada menunjukkan bahwa pada tes tersebut hanya sebagian kecil siswa (11 siswa) atau sekitar 46% yang mendapat nilai 60 ke atas (batas ketuntasan dari guru), sedangkan sisanya (54%) atau sebanyak 13 siswa mendapat nilai di bawah 60. Selain itu, dari tugas pertama dan kedua tidak menampakkan adanya peningkatan kemampuan berbicara siswa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas dan hasil observasi awal, dapat diidentifikasi penyebab rendahnya kemampuan berbicara siswa, yakni sebagai berikut: (1) Sikap dan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara rendah. Pada umumnya siswa merasa takut dan malu saat ditugasi untuk tampil berbicara di depan teman-temannya. (2) Siswa kurang terampil sebagai akibat dari kurangnya latihan berbicara. Menurut guru, kegiatan berbicara selama ini masih kurang mendapat perhatian. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya waktu pembelajaran Bahasa Indonesia jika digunakan untuk melakukan praktik berbicara siswa yang pada umumnya dipraktikkan secara individu. (3) Pembelajaran berbicara yang dilakukan guru dapat dikatakan masih sederhana atau konvensional karena masih bertumpu pada buku pelajaran. Ketergantungan pada buku pelajaran tersebut menyebabkan guru enggan untuk mengubah metode pembelajaran. Metode pembelajaran berbicara yang sering digunakan guru adalah metode penugasan secara individu sehingga banyak menyita waktu pembelajaran Bahasa Indonesia yang hanya 5 jam pelajaran dalam satu minggu.
Untuk mengoptimalkan hasil belajar, terutama keterampilan berbicara, diperlukan metode pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas belajar aktif dan kreativitas para siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini diperkuat oleh pendapat Nurhatim (2009) yang mengatakan bahwa penggunaan suatu metode memiliki arti penting sebagai variasi pembelajaran dengan tujuan siswa dapat mengikuti aktivitas pembelajaran di kelas yang menyenangkan dan tidak membosankan. Untuk itu guru perlu mengubah metode mengajar konvensional dengan penerapan metode bermain peran. Bermain peran merupakan teknik bermain peran secara sederhana. Dalam bermain peran, siswa dibagi untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu sesuai dengan tema pelajaran saat itu.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menerapkan metode bermain peran dalam bentuk penelitian tindakan kelas. Adapun alasan pemilihan metode tersebut adalah dengan pertimbangan bahwa metode ini dirasa lebih efektif dan lebih efisien untuk diterapkan dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Dikatakan efektif karena penerapan metode bermain peran akan lebih menghemat waktu, hal ini disebabkan karena siswa dapat tampil praktik berbicara secara berkelompok. Selain itu siswa dapat menghilangkan perasaan takut dan malu karena mereka dapat tampil dan bekerja sama dengan anggota kelompoknya. Sedangkan dikatakan efisien, dimungkinkan karena proses belajar di SD lebih banyak dilakukan dengan bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain. Permainan adalah hal paling menarik untuk anak-anak usia sekolah dasar.

B. Rumusan Masalah
Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai arah penelitian, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X tahun ajaran XXXX/XXXX?
b. Apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X tahun ajaran XXXX/XXXX?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X tahun ajaran XXXX/XXXX.
b. Mengetahui apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X tahun ajaran XXXX/XXXX.

D. Manfaat Hasil Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Mengetahui peningkatan keterampilan berbicara siswa dengan penerapan metode bermain peran.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Bagi siswa:
Penerapan metode bermain peran dalam pengajaran keterampilan berbicara dapat meningkatkan minat dan keaktifan siswa sehingga kemampuan berbicaranya dapat meningkat.
b. Bagi guru/kolaborator:
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman langsung pada guru-guru untuk dapat mengembangkan pembelajaran dengan metode yang lebih inovatif dan lebih berorientasi pada proses sehingga kualitas pembelajarannya dapat meningkat.
c. Bagi sekolah:
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam upaya pengadaan inovasi pembelajaran bagi guru-guru lain dan juga memotivasi mereka untuk selalu melakukan inovasi untuk menemukan metode pembelajaran yang paling tepat dan efektif.
d. Bagi peneliti:
Dengan melakukan penelitian ini, peneliti memperoleh wawasan dan pengalaman mengenai penerapan metode pembelajaran yang inovatif.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:02:00

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS NARASI DENGAN TEKNIK PARAFRASE WACANA DIALOG

(KODE PTK-0004) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS NARASI DENGAN TEKNIK PARAFRASE WACANA DIALOG (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Menulis merupakan aspek berbahasa yang tidak dapat dipisahkan dari aspek lain dalam proses belajar yang dialami siswa selama menuntut ilmu di sekolah. Dalam kegiatan ini, seorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata. Dari pernyataan itu, dapat diketahui bahwa menulis merupakan suatu kemampuan berbahasa yang melibatkan berbagai keterampilan. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena menulis memerlukan keterampilan yang memerlukan latihan-latihan yang berkelanjutan dan terus menerus (Nurchasanah, 1997: 68).
Keterampilan menulis juga digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan dari semua itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar yang mampu menyusun dan merangkai jalan pikiran dan mengemukakannya secara tertulis dengan jelas, lancar, dan komunikatif (Syarkawi, 2008: 2). Keterampilan ini meliputi keterampilan menyusun pikiran tentang gagasan atau ide yang akan disampaikan kepada pembaca dengan menggunakan kata-kata dalam susunan yang tepat berdasarkan pikiran, organisasi, pemakaian kata, pemilihan kata, dan struktur kalimat. Di samping itu, diperlukan juga keterampilan menyusun kalimat yang merupakan prasyarat untuk membentuk kesatuan isi dalam paragraf. Paragraf yang baik bukan hanya ditentukan oleh kaidah-kaidah sintaksis, kosa kata, dan penguasaan diksi yang tepat, melainkan juga bagaimana cara seseorang dalam menuliskan kalimat yang saling bertalian atau tersusun dengan baik sebagai ungkapan gagasan atau ide yang mereka ciptakan secara unik yang mewakili daya kreasi dan imajinasi orang tersebut.
Tujuan yang diharapkan dari kegiatan menulis adalah agar siswa mampu mengungkapkan ide atau gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara tertulis serta mempunyai hobi menulis. Melalui keterampilan menulis yang dimiliki, siswa dapat mengembangkan kreativitas dan dapat mempergunakan bahasa sebagai sarana komunikasi. Akan tetapi, tidak semua orang mampu melaksanakan tugas menulis dengan baik. Itu bukan pekerjaan yang mudah karena merupakan kemampuan yang kompleks, yang menuntut sejumlah pengetahuan dan keterampilan.
Pembelajaran keterampilan menulis pada jenjang sekolah dasar merupakan langkah awal menuju tingkat lanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kemampuan menulis ini diajarkan di SD kelas I sampai dengan kelas VI. Kemampuan menulis yang diajarkan di kelas I dan kelas II merupakan kemampuan tahap permulaan, sedangkan yang diajarkan di kelas III, IV, V, dan VI disebut tahap lanjut (Darmiyati Zuchdi dan Budiasih, 2001: 71). Melalui latihan menulis secara bertahap, siswa diharapkan mampu membangun keterampilan menulis lebih meningkat lagi. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan menulis siswa masih rendah bila dibandingkan dengan kegiatan berbahasa lainnya.
Fenomena rendahnya pembelajaran kemampuan menulis terutama pembelajaran menulis narasi juga terjadi di kelas V SD Negeri X. Hal ini dapat dilihat dari data pendukung yang diperoleh pada saat guru memberikan tugas mengarang pada awal semester. Rata-rata siswa mendapat nilai yang kurang menggembirakan, yakni memperoleh nilai 60, bahkan nilai terendah yang diperoleh siswa adalah nilai 40.
Melihat kondisi demikian, kemudian peneliti melakukan wawancara terhadap guru kelas V SD Negeri X (Sri Sulastri, S. Pd) pada tanggal 8 September 2008. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa kegiatan pembelajaran menulis yang terjadi di SD Negeri X selama ini kurang berjalan dengan lancar dan menemui berbagai hambatan. Secara umum hal ini disebabkan aktivitas menulis merupakan suatu bentuk manifestasi kemampuan dan keterampilan berbahasa yang paling akhir dikuasai setelah kemampuan mendengarkan, berbicara, dan membaca. Selanjutnya, guru yang bersangkutan bersama peneliti kemudian mengidentifikasi penyebab kegagalan siswa dalam kegiatan menulis.
Untuk identifikasi lebih lanjut, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa siswa SD tersebut mengenai pembelajaran menulis yang diajarkan guru selama ini. Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa para siswa kurang termotivasi mengikuti pembelajaran menulis karena pembelajaran yang diberikan guru selama ini masih bersifat konvensional (hanya berkutat pada teori) dan berjalan secara monoton tanpa ada variasi metode atau teknik pembelajaran yang diberikan. Menurut mereka, metode atau teknik pembelajaran yang dilakukan guru selama ini kurang inovatif karena dalam kegiatan pembelajaran menulis di kelas, siswa hanya dijejali dengan materi melalui ceramah saja kemudian siswa diminta mengerjakan latihan menulis yang terdapat dalam buku teks yang dimiliki guru atau lembar kerja siswa (LKS). Oleh sebab itulah, pembelajaran menulis di kelas selama ini dirasakan membosankan/menjenuhkan.
Dalam pelaksanaan pengajaran menulis, umumnya guru hanya menyampaikan teori menulis dan kurang memberi kesempatan siswa berlatih menulis. Fenomena tersebut menjadikan siswa kurang berminat dan termotivasi untuk menulis. Kurangnya minat dan motivasi siswa dalam kegiatan menulis menjadi salah satu alasan rendahnya kemampuan menulis. Akibatnya, siswa pun mengalami kesulitan dalam mengolah kosa kata dan menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan yang utuh.
Sebagian besar siswa mengaku masih belum terbiasa memanfaatkan media tulis sebagai ruang untuk mengungkapkan ide atau gagasan mereka. Dengan kata lain, kurangnya latihan menulis serta tidak optimalnya aktivitas siswa dalam menulis itu mengakibatkan siswa kurang terbiasa dalam menyusun kata-kata menjadi kalimat-kalimat atau paragraf-paragraf sehingga kemampuan menulisnya pun tidak memadai.
Guna memastikan kebenaran informasi yang diberikan guru dan siswa saat prasurvei sebelumnya (tanggal 8 September 2008), peneliti melakukan observasi atau pengamatan terhadap pembelajaran menulis yang dilakukan guru tanggal 20 Oktober 2008 dengan mengikuti jalannya proses kegiatan belajar-mengajar. Prosedur atau langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan guru pada saat itu meliputi: (1) guru memberikan apersepsi pada siswa terkait materi yang disampaikan; (2) siswa disuruh membaca sekilas tentang contoh karangan dalam buku lembar kerja siswa (LKS); (3) guru menyampaikan materi pelajaran tentang menulis; (4) guru menugaskan kepada siswa untuk menghasilkan sebuah tulisan dengan tema yang telah ditentukan oleh guru; (5) guru mengulas pokok-pokok materi pelajaran yang telah disampaikan kemudian dilanjutkan dengan penyampaian kesimpulan.
Dari hasil pretes dapat diketahui bahwa siswa yang mendapat nilai 65 ke atas hanya berjumlah 5 orang, sedangkan sisanya sebanyak 14 siswa mendapat nilai 50 ke bawah. Nilai terendah yang diperoleh siswa pada pretes tersebut adalah nilai 30. Berdasarkan pretes ini dapat diketahui bahwa siswa yang telah mencapai ketuntasan belajar hanya lima siswa sedangkan yang lain (sebanyak 14 siswa) belum mencapai ketuntasan belajar. Dari hasil pretes yang telah dilakukan, maka memperkuat bukti bahwa kemampuan menulis narasi para siswa masih rendah.
Dari observasi atau pengamatan yang telah dilakukan, peneliti dapat mengidentifikasi faktor penyebab atau permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran menulis di SD Negeri X. Pada umumnya rendahnya kualitas pembelajaran kemampuan menulis narasi di kelas tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) siswa kesulitan dalam menemukan ide atau gagasan, (2) kurangnya kemampuan siswa dalam menentukan topik tulisan narasi, (3) siswa belum mampu mengembangkan paragraf dengan baik, (4) siswa belum mampu menceritakan rangkaian peristiwa yang terjadi secara runtut dalam bentuk bahasa tulis, (5) guru kesulitan membuat siswa aktif di kelas, (6) guru kesulitan menemukan metode atau teknik pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan materi menulis narasi.
Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah diungkapkan di atas terkait dengan rendahnya kemampuan menulis siswa, peneliti bersama guru mendiskusikan strategi untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran menulis narasi pada siswa kelas V SD Negeri X. Dari diskusi tersebut dihasilkan solusi yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pembelajaran menulis, yakni guru harus menerapkan teknik pembelajaran yang berbeda dari teknik sebelumnya. Faktor metode/teknik yang digunakan dalam pembelajaran merupakan faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan pembelajaran menulis, khususnya di sekolah dasar (Suhartono, 2007: 148). Teknik pembelajaran yang dimaksud adalah teknik yang mampu menjadikan siswa aktif dan antusias di dalam kelas. Akhmad Sudrajat (2008: 2) menyatakan bahwa guru seharusnya dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama. Diterapkannya teknik yang berpengaruh di kelas tersebut membantu guru dalam mencapai tujuan yang dapat membantu siswa berkonsentrasi pada apa yang diajarkan melalui kegiatan yang dapat dilakukan dengan cara sederhana dan mudah (Baeulieu, 2008: 13).
Lebih lanjut, guru dan peneliti menemukan satu tindakan dari penjabaran teknik pembelajaran yang sebelumnya telah dibicarakan. Penerapan tindakan ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pembelajaran menulis, khususnya menulis narasi. Tindakan yang dimaksud adalah dengan penerapan teknik parafrase wacana dialog. Dengan teknik parafrase wacana dialog ini diharapkan dapat membantu siswa dalam mengembangkan dan mengurutkan ide secara runtut, logis, dan sesuai dengan logika bahasa sehingga alur pemikiran siswa tidak melompat-lompat lagi. Selain itu, guru diharapkan mampu memotivasi dan membangkitkan minat siswa agar mereka aktif selama proses pembelajaran dan pada akhirnya mampu menulis narasi dengan baik. Dengan demikian, teknik pembelajaran ini dapat digunakan sebagai alternatif guna meningkatkan kemampuan menulis narasi, khususnya pada siswa kelas V SD Negeri X.
Pemilihan tindakan ini atas dasar bahwa dengan teknik parafrase wacana dialog, seseorang bisa tepat mengatakan maksud atas tuturan tertentu dengan bahasanya sendiri dalam bentuk bahasa yang lebih sederhana, bebas, dan prosais (Situmorang, 1983: 34). Dengan kata lain, parafrase adalah mengulang apa yang dikatakan orang lain menggunakan kata-kata sendiri. Parafrase ini selalu diikuti dengan penafsiran. Karena tanpa adanya penafsiran dan parafrase, seseorang merasa sukar untuk mengerti maksud tuturan tertentu. Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dengan teknik parafrase wacana dialog dapat meningkatkan kemampuan menulis narasi para siswa.
Sabarti Akhadiah, Maidar G. Arsjad, dan Sakura H. Ridwan (1996: 66) mengemukakan bahwa parafrase yaitu ungkapan kembali maksud atau isi tulisan dengan menggunakan kata-kata sendiri. Dalam penulisan, parafrase ini sering kali disebut kutipan tidak langsung. Lebih lanjut, diungkapkan bahwa parafrase merupakan ungkapan gagasan yang ditulis orang lain dengan bahasa kita sendiri. Dalam hal ini seseorang membaca atau menyimak ucapan kemudian kita mengungkapkan gagasan tersebut dengan kata-kata/kalimat kita sendiri.
Lebih jelas, pemilihan tindakan guna meningkatkan kemampuan menulis narasi ini juga mengacu pada pendapat Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, dan Sekar Ayu Aryani (2007: 195) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan dari pembelajaran dengan parafrase terarah adalah mengembangkan kecakapan menulis. Berdasarkan tujuan inilah, akhirnya peneliti dan guru memutuskan untuk menerapkan teknik parafrase wacana dialog guna meningkatkan kemampuan menulis narasi siswa kelas V SD Negeri X.
Dalam penelitian ini, yang menjadi objek parafrase adalah wacana dialog. Wacana dialog menjadi media yang tepat digunakan untuk menerapkan teknik parafrase yang dapat membantu siswa dalam mengatasi kesulitan memunculkan ide tulisan. Gambaran nyata tentang wacana dialog adalah wacana yang berbentuk percakapan, biasanya melibatkan pembicara dan pendengar dan mereka berbicara secara bergantian.
Dengan memparafrasekan wacana dialog dalam bentuk sajian yang sederhana, yakni berupa rekaman percakapan sehari-hari diharapkan dapat menarik antusiasme dan membuat siswa aktif dalam pembelajaran, serta membangkitkan motivasi mereka dalam kegiatan pembelajaran menulis narasi. Dalam hal ini, siswa diharapkan lebih terpacu dalam mengikuti proses kegiatan belajar menulis narasi dan keaktifan siswa selama proses pembelajaran pun selalu bertambah. Selain itu, dengan adanya penerapan teknik parafrase wacana dialog dalam proses kegiatan belajar-mengajar ini juga diharapkan siswa mampu memunculkan ide yang sebelumnya dibuat dalam kerangka karangan dan mampu mengembangkannya ke dalam bentuk tulisan narasi utuh. Hal tersebut dilakukan guna meningkatkan kemampuan menulis narasi para siswa agar mereka memperoleh hasil yang lebih baik.
Pembelajaran menggunakan teks wacana dialog ini pun telah diterapkan oleh Asep Aminuddin (2006: 1) pada siswa kelas VII MTs PUI Kancana Kabupaten Majalengka. Dalam hal ini, teks wacana dialog digunakan sebagai media untuk membantu penjelasan materi tentang menulis narasi. Melalui pemanfatan media teks wacana dialog, terbukti bahwa kekurangan dan kesalahan siswa dapat dikurangi serta mampu membuat siswa menjadi lebih mudah dalam mengembangkan karangan. Dalam penelitian tentang pembelajaran menulis narasi di kelas V SDN X ini, wacana dialog bukan digunakan sebagai media pembelajaran melainkan sebagai sumber pembelajaran yang digunakan untuk menerapkan teknik parafrase yang dapat membantu siswa memunculkan ide dalam bentuk kerangka karangan dan mengembangkannya menjadi bentuk karangan narasi utuh.
Secara umum alasan pemilihan penerapan teknik parafrase wacana dialog tersebut adalah sebagai respon awal agar siswa mempunyai skemata cerita yang nanti akan mereka tuangkan ke dalam tulisan narasi. Adapun secara rinci, alasan pemilihan penerapan teknik ini adalah sebagai berikut. Pertama, teknik ini dirasa mampu menumbuhkan minat dan motivasi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, karena cerita dalam wacana dialog diperdengarkan dalam bentuk rekaman. Kedua, wacana dialog ini digunakan sebagai rangsangan awal pada siswa agar mampu menulis narasi dengan baik dan runtut sesuai dengan logika bahasa yang logis. Ketiga, kegiatan pembelajaran menulis terkesan tidak monoton lagi karena para siswa diperdengarkan rekaman wacana dialog sehingga mereka merasa antusias dan tidak cepat merasa bosan. Keempat, jalan cerita dalam wacana dialog yang diperdengarkan melalui rekaman akan menumbuhkan keaktifan, keantusiasan, dan motivasi siswa terhadap kegiatan menulis cerita, khususnya menulis narasi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti uraian sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
a. Apakah penerapan teknik parafrase wacana dialog dalam pembelajaran menulis narasi dapat meningkatkan keaktifan siswa kelas V SD Negeri X?
b. Apakah penerapan teknik parafrase wacana dialog dalam pembelajaran menulis narasi dapat meningkatkan kemampuan menulis narasi siswa kelas V SD Negeri X?
Menulis narasi di sekolah dasar merupakan bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, khususnya aspek keterampilan berbahasa (aspek menulis) yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan minat, motivasi, keaktifan siswa selama proses pembelajaran, dan meningkatkan kemampuan menulis pada siswa. Dalam menulis narasi ini diperlukan pengembangan ide dalam bentuk kerangka karangan berdasarkan kronologis peristiwa dan waktu serta penguasaan kosa kata yang memadai.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah:
a. untuk meningkatkan keaktifan siswa kelas V SD Negeri X dalam pembelajaran menulis narasi dengan penerapan teknik parafrase wacana dialog.
b. untuk meningkatkan kemampuan menulis narasi siswa kelas V SD Negeri X dalam pembelajaran menulis narasi dengan penerapan teknik parafrase wacana dialog.

D. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
a. memperluas wawasan dalam khasanah keilmuan pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya pembelajaran menulis narasi;
b. sebagai acuan pembelajaran menulis dengan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif,dan menyenangkan (PAIKEM);
c. sebagai acuan pembelajaran menulis dengan penggunaan teknik parafrase wacana dialog.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
1. memberikan kemudahan siswa dalam menemukan ide tulisan;
2. meningkatnya kemampuan menulis narasi siswa;
3. menjadikan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga siswa termotivasi dan merasa antusias dalam mengikuti pembelajaran.
b. Bagi guru
1. meningkatnya kemampuan guru dalam mengatasi kendala pembelajaran menulis narasi dan mengelola kelas;
2. dapat mengembangkan pembelajaran menulis dengan penggunaan teknik pembelajaran yang inovatif.
c. Bagi sekolah
1. hasil penelitian dapat dijadikan acuan dalam upaya pengadaan inovasi pembelajaran bagi para guru lain dalam mengajarkan materi menulis;
2. kualitas hasil pembelajaran meningkat, terutama hasil pembelajaran menulis narasi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:01:00

SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN MENULIS NARASI

(KODE PTK-0003) : SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN MENULIS NARASI (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan salah satu hasil kebudayaan yang harus dipelajari dan diajarkan. Dengan bahasa kebudayaan suatu bangsa dapat dibentuk, dibina, dan dikembangkan serta dapat diturunkan kepada generasi-generasi mendatang. Bahasa memungkinkan manusia dapat memikirkan suatu masalah secara teratur, terus-menerus, dan berkelanjutan. Sebaliknya, tanpa bahasa peradaban manusia tidak mungkin dapat berkembang baik. Pengajaran bahasa Indonesia pada hakikatnya merupakan salah satu sarana mengupayakan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia secara terarah. Maka dari itu melalui proses pengajaran bahasa Indonesia diharapkan siswa mempunyai kemampuan yang memadai untuk dapat menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Dalam pengajaran atau proses belajar-mengajar guru memegang peran sebagai sutradara sekaligus aktor. Artinya, guru memegang tugas dan tanggung jawab merencanakan dan melaksanakan pengajaran di sekolah. Guru sebagai tenaga profesional harus memiliki sejumlah kemampuan mengaplikasikan berbagai teori belajar dalam berbagai pengajaran, kemampuan memilih dan menerapkan metode pengajaran yang efektif dan efisien, kemampuan melibatkan siswa berpartisipasi aktif, dan kemampuan membuat suasana belajar yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Hal tersebut tidak menjadi pengecualian bagi guru bahasa Indonesia karena tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Indonesia merupakan salah satu pelajaran yang mempunyai peran yang penting dalam dunia pendidikan. Secara umum fungsi dan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah sebagai sarana: (1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa; (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya; (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam rangka meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah; dan (5) sarana pengembangan penalaran (Depdiknas, 2004: 10).
Pada hakikatnya bahasa adalah alat yang berfungsi untuk berkomunikasi, dengan bahasa manusia dapat menyampaikan pesan, pikiran, perasaan, dan pengalamannya kepada orang lain. Keterampilan berbahasa mencakup empat aspek, yaitu: menyimak (mendengarkan), berbicara, membaca, dan menulis, (Sarwiji Suwandi, 2004:1). Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, baik itu di SD, SMP maupun SMA pada dasarnya mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu mengembangkan keempat aspek keterampilan berbahasa tersebut.
Pada setiap keterampilan berbahasa mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lain. Dalam memperoleh keterampilan berbahasa biasanya melalui suatu hubungan yang berurutan dan teratur, mula-mula dengan belajar menyimak atau mendengarkan bahasa, kemudian berbicara, sesudah itu belajar membaca dan menulis. Menyimak dan berbicara biasanya dipelajari sebelum memasuki bangku sekolah, sedangkan membaca dan menulis dipelajari setelah memasuki bangku sekolah. Keempat keterampilan tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan atau merupakan catur tunggal, Dawson, dkk. (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:1).
Kaitannya dengan pembelajaran di sekolah dasar, pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia meliputi aspek kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra. Aspek kemampuan berbahasa meliputi keterampilan mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis yang berkaitan dengan ragam bahasa non sastra. Sedangkan aspek kemampuan bersastra meliputi keterampilan mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis yang berkaitan dengan ragam sastra.
Membicarakan pengajaran bahasa Indonesia tidak akan lepas dari kegiatan menulis. Menulis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam seluruh proses belajar yang dialami siswa selama menuntut ilmu di sekolah. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Kemampuan menulis seperti halnya dengan kemampuan berbahasa yang lain, yaitu tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktek yang banyak dan teratur (Henry Guntur Tarigan, 1993: 3).
Menulis merupakan salah satu kemampuan yang perlu dimiliki dan dikuasai oleh siswa sekolah dasar. Kemampuan menulis di sekolah dasar sangat penting karena merupakan penanaman dasar menulis ke jenjang yang lebih tinggi. Berbeda dengan kemampuan yang lain, kemampuan berbahasa, khususnya kemampuan menulis, sudah menuntut siswa untuk membangun pemahaman tentang tata cara menulis. Artinya, siswa sekolah dasar sudah dituntut mampu menggunakan ejaan, kosakata, dan mampu membuat kalimat dan menghubung-hubungkan kalimat dalam satu paragraf sesuai dengan tingkat kemampuan siswa SD. Meski demikian, selama ini pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah cenderung konvensional, bersifat hafalan, penuh jejalan teori-teori linguistik yang rumit. Serta tidak ramah terhadap upaya mengembangkan kemampuan berbahasa siswa. Hal ini khususnya dalam kemampuan membaca dan menulis (Helpian Purnama: 2007).
Pembelajaran menulis di SD antara lain mempelajari tentang pengenalan huruf, ejaan, pengembangan ide atau gagasan, membuat surat pribadi, dan dilanjutkan dengan pengembangan menyusun karangan. Demikian halnya dengan siswa kelas V SD, pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mereka mendapatkan materi tentang menulis. Adapun pembelajaran menulis pada siswa kelas V SD salah satunya membahas tentang menulis karangan berdasarkan pengalaman (menulis narasi). Sebagai salah satu materi pembelajaran, maka pembelajaran menulis tersebut perlu disampaikan dengan metode yang tepat sehingga mencapai standar kompetensi yang diharapkan yaitu siswa mampu mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan pengalaman secara tertulis dalam bentuk karangan.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kompetensi pembelajaran menulis narasi siswa kelas V SD Negeri X tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal itu dibuktikan dengan siswa masih mengalami kesulitan menuangkan idenya ke dalam bentuk tulisan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan pemilihan kata atau diksi yang kurang tepat, misalnya dapat dilihat dari tugas karangan siswa. Pada umumnya siswa belum maksimal menuangkan gagasan mereka secara kronologis.
Secara umum memang siswa mampu menulis, namun mereka kurang memiliki ekspresi gagasan yang berkesinambungan dan belum mempunyai urutan logis dengan menggunakan kosa kata dan tata bahasa atau kaidah bahasa yang digunakan. Akibatnya nilai keterampilan menulis narasi siswa SD Negeri X Kelas V masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kelas untuk mata pelajaran menulis narasi (mengarang) yang hanya mencapai angka 6,0 (standar ketuntasan belajar minimal untuk Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD Negeri X adalah 6,9).
Menurut hasil pengamatan peneliti, rendahnya kualitas pembelajaran menulis narasi di kelas V SD Negeri X tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) siswa kesulitan dalam menuangkan idenya kedalam bentuk tulisan yang utuh, (2) kurangnya kemampuan siswa dalam menentukan topik menulis narasi, (3) kurangnya kemampuan siswa dalam mengembangkan paragraf, (4) guru kesulitan dalam membangkitkan minat belajar siswa, (5) guru belum menemukan metode atau cara yang tepat untuk menyampaikan materi menulis.
Berdasarkan paparan di atas, masalah yang ada membutuhkan adanya perbaikan dalam pembelajaran menulis narasi. Hal ini dilakukan agar mendorong siswa secara keseluruhan terlibat aktif dalam mengikuti pembelajaran menulis. Untuk itu peneliti bersama guru kelas V SD Negeri X melakukan sharing ideas untuk mencari solusi yang tepat dalam mengatasi kesulitan siswa dalam menuangkan idenya dalam bentuk tulisan narasi sehingga kemampuan dan motivasi siswa untuk menulis meningkat.
Guru bersama peneliti menyadari bahwa kemampuan setiap anak tidak sama, melainkan memiliki tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Selain itu melihat pembelajaran yang selama ini diterapkan lebih didominasi oleh guru, sehingga siswa mendapat porsi yang sedikit dalam mengekspresikan ide dan gagasan mereka. Padahal, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya bukan mengetahuinya (Mohammad Ali Mochtar: 2003). Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Untuk itu peneliti bersama guru memberikan alternatif penerapan pendekatan kontekstual untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran menulis tersebut.
Pendekatan Kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada prospek keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Wina Sanjaya, 2006: 253). Adapun komponen-komponen yang terdapat dalam CTL, yaitu (1) konstruktivisme, (2) questioning, (3) inquiry, (4) learning community, (5) modelling, (6) refleksi, dan (7) authentic assessment.
Alasan dipilihnya pendekatan kontekstual ini adalah, bahwa melalui pendekatan kontekstual: (1) situasi pembelajaran lebih kondusif, karena siswa dilibatkan secara penuh dalam pembelajaran dan posisi guru lebih berpindah-pindah (depan, tengah, dan belakang), (2) Guru tidak lagi menggunakan metode konvensional, sehingga pembelajaran lebih berpusat pada siswa, sehingga siswa menjadi aktif, dan (3) guru akan termotivasi untuk mencari media pembelajaran baru (modelling) dari berbagai sumber, karena pendekatan kontekstual mengarahkan guru untuk menggunakan media pembelajaran yang lebih bervariasi guna membangkitkan minat siswa dalam pembelajaran.
Selain itu, dengan menerapkan ketujuh komponen tersebut siswa diajak untuk terlibat langsung mulai dari pemahaman materi, diskusi, pembentukan kelompok belajar, sampai kegiatan refleksi. Melalui pendekatan kontekstual ini diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas dan antusias siswa dalam menulis narasi. Berdasarkan uraian di atas dan kaitannya dengan penelitian ini adalah bahwa pendekatan kontekstual perlu dioptimalkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis narasi siswa kelas V SD Negeri X berbentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di depan, maka peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Seberapa jauh penerapan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan proses keterampilan menulis narasi pada siswa kelas V SD Negeri X?
2. Seberapa jauh penerapan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil keterampilan menulis narasi pada siswa kelas V SD Negeri X?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah peneliti paparkan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah.
1. Meningkatkan kualitas proses pembelajaran keterampilan menulis narasi pada siswa kelas V SD Negeri X.
2. Meningkatkan kualitas hasil pembelajaran keterampilan menulis narasi pada siswa kelas V SD Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat peneliti sampaikan terbagi dalam manfaat praktis dan teoretis.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan kebahasaan, terutama dalam kegiatan menulis.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
Memudahkan siswa dalam berlatih dan belajar keterampilan menulis, khususnya menulis narasi dengan pendekatan kontekstual.
b. Bagi Guru
1) Menawarkan inovasi cara pembelajaran menulis narasi.
2) Memotivasi siswa dalam kegiatan menulis.
3) Meningkatkan kualitas mata pelajaran Bahasa Indonesia.
c. Bagi Sekolah
Meningkatkan kualitas pembelajaran menulis baik proses ataupun hasil sehingga menghasilkan kualitas siswa yang baik pula di sekolah tersebut.
d. Bagi Peneliti
Dengan melakukan penelitian di sekolah secara langsung, peneliti memperoleh pengalaman dan wawasan pembelajaran menulis di sekolah. Dari hasil pengamatan dan pengalaman langsung tersebut, peneliti dapat melakukan kajian-kajian lebih lanjut untuk menyusun suatu rancangan pembelajaran menulis narasi dengan pendekatan kontekstual.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:59:00

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE KOOPERATIF TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERCERITA

(KODE PTK-0002) : SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE KOOPERATIF TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERCERITA (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Ada beberapa aspek keterampilan berbahasa yang harus terus dibina untuk meningkatkan mutu pembelajaran bahasa sekarang ini. Kita mengenal ada berbagai macam atau beberapa macam cabang dari keterampilan berbahasa, mulai dari tingkat paling sederhana yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan berbahasa tidak dapat diperoleh melalui kegiatan menghafalkan, melainkan diperoleh dari latihan menggunakan bahasa secara terus-menerus, tetapi hal itu belum mencukupi untuk menjadikan seorang terampil berbahasa. Selain latihan, siswa perlu dibawa ke pengalaman melakukan kegiatan berbahasa dalam konteks yang sesungguhnya.
Kegiatan bercerita sebagai bagian dari keterampilan berbahasa sangat penting, baik di dalam pengajaran bahasa maupun kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penguasaan keterampilan berbicara harus dimiliki oleh setiap orang. Berkomunikasi secara lisan dengan teman, mengikuti pelajaran, kuliah, diskusi, seminar, menuntut kemahiran seseorang untuk berbicara (Henry Guntur Tarigan, 1986: 21). Disadari atau tidak, kegiatan berbahasa kedua yang dilakukan manusia adalah kegiatan bercerita.
Sehubungan dengan pernyataan di atas, di dalam kegiatan belajar dan mengajar di sekolah dasar keterampilan bercerita menjadi salah satu bagian keterampilan berbahasa yang harus diajarkan kepada siswa dan dikuasai oleh siswa. Keterampilan bercerita memiliki beberapa manfaat bagi siswa (khususnya siswa SD) yaitu untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam berkomunikasi dengan baik, membentuk karakter siswa, memberikan sentuhan manusiawi, dan mengembangkan keterampilan siswa dalam berbahasa.
Namun, berdasarkan dari hasil survei awal yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran bercerita dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas III SD Negeri X masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata siswa kelas III dalam tes mata pelajaran bahasa Indonesia pada semester 1 yang hanya mencapai nilai 55 (standar ketuntasan belajar minimal untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah 60).
Berdasarkan hasil wawancara dan sharing ideas dengan ibu Lasmiyati A.Ma., guru kelas III SD Negeri X, rendahnya keterampilan berbicara khususnya bercerita siswa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) siswa kurang berminat pada pembelajaran keterampilan bercerita. Sebagian besar siswa menyatakan bahwa pembelajaran bercerita merupakan materi yang tidak menyenangkan. Menurut mereka, cara mengajar guru dalam pembelajaran berbicara kurang menarik; (2) guru mengalami kesulitan untuk membangkitkan minat siswa dalam pembelajaran keterampilan bercerita. Guru mengeluhkan bahwa konsentrasi sebagian besar siswa pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung tidak terfokus pada pelajaran. Pada umumnya, hanya siswa yang duduk di tempat duduk deretan depan yang dengan seksama memperhatikan penjelasan guru, sementara itu siswa yang duduk di tempat duduk di tempat duduk deretan tengah dan belakang lebih banyak melakukan aktivitas lain selain memperhatikan materi yang disampaikan guru seperti berbicara dengan teman sebangku atau saling melempar kertas dan alat tulis dengan teman yang lain; (3) sebagian besar siswa mengalami kesulitan dan tampak takut untuk mengungkapkan pendapat dengan bahasa yang baik dan benar ketika guru memberi pertanyaan atau meminta siswa untuk tampil di depan kelas, serta siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung; (4) guru mengalami kesulitan untuk menemukan alternatif metode dan media pembelajaran yang tepat untuk mengajarkan keterampilan bercerita kepada siswa selain buku teks Bahasa Indonesia yang biasa dipergunakannya.
Merefleksi fenomena di atas peneliti menetapkan untuk menerapkan metode kooperatif tipe jigsaw pada kegiatan pengajaran keterampilan bercerita dalam bentuk penelitian tindakan kelas. Adapun alasan pemilihan strategi tersebut sebagai berikut, metode jigsaw merupakan salah satu unit dari metode cooperative learning. Sifat belajar cooperative learning tidak sama dengan belajar kelompok atau belajar bekerja sama biasa. Dalam kerja kelompok guru biasanya memberi kelompok lalu memberikan tugas kelompok tanpa rancangan tertentu yang dapat membuat setiap siswa menjadi aktif. Akibatnya, siswa ada yang bekerja aktif tetapi ada juga yang pasif, ataupun bahkan ada yang main-main atau ngobrol.
Dalam pembelajaran cooperative learning, setiap siswa dituntut untuk bekerja dalam kelompok melalui rancangan-rancangan tertentu yang sudah dipersiapkan oleh guru sehingga seluruh siswa harus bekerja aktif. Salah satu alasan penting mengapa pembelajaran kooperatif peneliti pilih bahwa para guru pada umumnya menggunakan metode persaingan yang sering digunakan di dalam kelas, hal ini berdampak negatif bagi para siswa. Pada kenyataannya jika diatur dengan baik, persaingan di antara para pesaing yang sesuai dapat menjadi sarana yang efektif dan memotivasi siswa melakukan yang terbaik.
Langkah tersebut diambil karena dengan menggunakan metode belajar kooperatif, siswa akan termotivasi untuk dapat mengungkapkan ide di dalam wadah kelompok. Dengan kata lain mereka memiliki tempat untuk curah pendapat dengan teman mereka, selain itu tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi dimana satu-satunya cara anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka bisa sukses dapat mendorong mereka untuk melakukan usaha maksimal. Pada akhirnya, dengan menerapkan metode jigsaw di dalam proses pembelajaran keterampilan bercerita, konsentrasi siswa menjadi lebih terfokus terhadap proses pembelajaran, motivasi dan minat siswa terhadap pembelajaran berbicara dapat lebih ditingkatkan, mendorong peningkatan kualitas proses pembelajaran keterampilan bercerita, serta kualitas hasil pembelajaran keterampilan bercerita semakin meningkat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merasa perlu untuk meneliti penerapan metode kooperatrif tipe jigsaw sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan keterampilan bercerita. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengkaji tentang peningkatan keterampilan bercerita dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan metode kooperatif tipe jigsaw.

B. Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah metode kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran keterampilan bercerita pada siswa kelas III SD Negeri X?
2. Apakah metode kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran keterampilan bercerita pada siswa kelas III SD Negeri X?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan membuktikan.
1. Peningkatan kualitas proses pembelajaran keterampilan bercerita pada siswa kelas III SD Negeri X dengan metode kooperatif tipe jigsaw.
2. Peningkatan kualitas hasil pembelajaran keterampilan bercerita pada siswa kelas III SD Negeri X dengan metode kooperatif tipe jigsaw.

D. Indikator Ketercapaian Tujuan
Untuk mengetahui ketercapaian tujuan penelitian di atas, dapat dilihat dari indikator keberhasilan penelitian sebagai berikut:

** TABEL SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat dipakai untuk.
a. Memperluas wawasan dalam khasanah keilmuan pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya pembelajaran keterampilan bercerita;
b. Sebagai acuan pembelajaran keterampilan bercerita dengan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif,dan menyenangkan (PAIKEM);
c. Sebagai acuan pembelajaran keterampilan bercerita dengan penerapan metode kooperatif tipe jigsaw.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1). Memberikan kemudahan siswa dalam mengemukakan ide yang mereka punya dalam kelompok jigsaw;
2). Meningkatnya keterampilan bercerita siswa;
3). Menjadikan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga siswa termotivasi dan merasa antusias dalam mengikuti pembelajaran.
b. Bagi guru
1). Meningkatnya kemampuan guru dalam mengatasi kendala pembelajaran keterampilan bercerita dan mengelola kelas;
2). Dapat mengembangkan pembelajaran keterampilan bercerita dengan penggunaan metode pembelajaran yang inovatif.
c. Bagi sekolah
1). Hasil penelitian dapat dijadikan acuan dalam upaya pengadaan inovasi pembelajaran bagi para guru lain dalam mengajarkan materi menulis;
2). kualitas hasil pembelajaran meningkat, terutama hasil pembelajaran menulis narasi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:58:00

SKRIPSI PTK APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN BERMAIN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN GERAK DASAR

(KODE PTK-0001) : SKRIPSI PTK APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN BERMAIN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN GERAK DASAR (MATA PELAJARAN : PENDIDIKAN JASMANI)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan jasmani (Penjas) merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani dan direncanakan secara sistematik bertujuan untuk meningkatkan individu secara organik, neuromuskular, perseptual, kognitif, sosial dan emosional. Dua diantara tujuan-tujuan Penjas menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) 2006 adalah: (1) Mengembangkan ketrampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup melalui berbagai aktivitas jasmani, (2) Mengembangkan kemampuan gerak dan ketrampilan berbagai macam permainan dan olahraga.
Salah satu penekanan pada standar isi Penjas yang terangkum dalam BSNP 2006 di Sekolah Dasar (SD) adalah menstimulasi kemampuan gerak dasar peserta didik seperti:
(1) Lokomotor (berjalan, berlari, melompat, dan lain-lain),
(2) Non-lokomotor (memutar, meliuk, membungkuk, menengadah, dan lain-lain),
(3) Manipulatif (melempar, menangkap, menggulirkan, dan lain-lain).
Salah satu masalah utama dalam Penjas di Indonesia dewasa ini ialah belum efektifnya pengajaran Penjas di sekolah-sekolah. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya terbatasnya sarana dan prasarana yang digunakan untuk mendukung proses pembelajaran Penjas dan terbatasnya kemampuan guru Penjas untuk melakukan pembelajaran Penjas. Salah satu keterbatasan guru Penjas dalam mengajar adalah dalam hal menciptakan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa. Akibatnya guru belum berhasil melaksanakan tanggung jawab untuk mendidik siswa secara sistematik melalui gerakan Penjas yang mengembangkan kemampuan ketrampilan anak secara menyeluruh baik fisik, mental maupun intelektual (Kantor Menpora, 1983).
Fenomena itulah yang saat ini terjadi di SD Negeri X Hasil survei yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa kemampuan gerak dasar di kelas II SD Negeri X masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kelas untuk materi gerak dasar masih rendah yang hanya mencapai angka 57 (standar ketuntasan belajar minimal untuk mata pelajaran Pendidikan Jasmani di SD Negeri X adalah 65). Menurut hasil pengamatan peneliti, rendahnya kemampuan gerak dasar di kelas II SD Negeri X tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu: (1) Siswa terlihat kurang memperhatikan saat pelajaran Penjas. (2) Terbatasnya sarana dan prasarana Penjas. (3) Guru kurang kreatif menciptakan modivikasi alat-alat untuk pembelajaran Penjas. (4) Guru kesulitan dalam menemukan model pembelajaran bermain yang tepat untuk meningkatkan kemampuan gerak dasar siswa.
Menurut Agus Mahendra (2006) indikator keberhasilan Penjas ditandai oleh meningkatnya: (1) Kebugaran jasmani, (2) Kemampuan fisik dan motorik, (3) Pemahaman konsep dan prinsip gerak, (4) Kemampuan berfikir, (5) Kecakapan rasa dan sosial.
Agar pembelajaran Penjas khususnya materi gerak dasar dapat berhasil, maka harus diciptakan lingkungan yang kondusif diantaranya dengan cara memodifikasi alat dan menciptakan model-model pembelajaran. Model-model pembelajaran diciptakan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, lima diantaranya yaitu: (1) Kegiatan pembelajaran diarahkan pada pencapaian tujuan belajar. (2) Karakteristik mata pelajaran. (3) Kemampuan guru. (4) Fasilitas/media pembelajaran masih sangat terbatas. (5) Kemampuan siswa.
Dilihat dari karakteristik anak, dunia anak adalah dunia bermain. Siswa SD yang masih tergolong anak-anak bentuk aktivitasnya cenderung berupa permainan. Seperti pada saat jam istirahat mereka sangat antusias untuk melakukan bermacam-macam bentuk permainan. Tanpa disadari mereka sering bermain dengan melakukan gerakan-gerakan dasar dalam cabang olahraga.
Agar tujuan Penjas dapat dicapai maka penyampaian materi pembelajaran Penjas pada anak SD harus disampaikan dalam situasi bermain. Penelitian tentang aplikasi model pembelajaran bermain kaitannya dengan hasil pembelajaran Penjas dan peningkatan kualitas fisik sudah banyak dilakukan. Penelitian Saharuddin Ita (2001: V) menyimpulkan bahwa kesegaran jasmani anak SD dapat ditingkatkan melalui permainan tradisional. Tetty Nur Dianasari (2005: V) membandingkan metode latihan dan metode bermain terhadap hasil pempelajaran lompat jauh gaya jongkok, ternyata dengan metode bermain hasilnya lebih baik. Menurut Bowo Santoso jenis permainan perorangan lebih baik dalam meningkatkan kesegaran jasmani siswa jika dibandingkan dengan permainan beregu (2005 :V). Permainan perorangan juga lebih baik dalam meningkatkan kemampuan motorik siswa (Anita Pramintyastuti, 2005 :V). Penelitian di atas diterapkan pada anak SD kelas 4, 5 dan 6 tetapi belum ada penelitian yang serupa yang dikenakan pada anak kelas 2.
Pada anak SD kelas 2 perlu pengembangan secara menyeluruh (Multilateral atau Versatik Development). Pengembangan menyeluruh maksudnya menekankan pada pengembangan yang menyeluruh pada anak, baik dalam aspek biomotorik, mental-emosional, maupun aspek sosialnya. Dengan demikian jika anak pada usia dini banyak dilibatkan dalam berbagai kegiatan fisik (banyak olahraga) maka ia akan dapat berkembang secara menyeluruh.
Bompa (1990: 31) mengemukakan bahwa dasar pengembangan fisik multirateral yang luas, khususnya persiapan fisik umum, merupakan salah satu persyaratan dasar yang diperlukan untuk mencapai tingkat persiapan fisik yang dispesialisasi dengan penguasaan teknik. Pada kenyataannya kemampuan gerak dasar anak SD masih belum optimal ditunjukkan oleh Yunita (2005 :V) bahwa kemampuan gerak dasar siswa SD masih rendah salah satunya disebabkan kurangnya sarana dan prasarana.
Agar nanti dapat menerapkan gerak dasar dalam teknik dasar olahraga yang benar, maka kemampuan gerak dasar di SD perlu dioptimalkan. Supaya optimalisasi kemampuan gerak dasar dapat efektif upaya yang dipilih sesuai karakteristik anak SD. Dalam hal ini dipilih aplikasi model pembelajaran bermain untuk meningkatkan kemampuan gerak dasar pada siswa kelas II SD Negeri X berbentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakakan di atas, maka masalah yang timbul dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Salah satu penekanan pada standar isi Penjas yang terangkum dalam BSNP 2006 di Sekolah Dasar di SD Negeri X adalah menstimulasi gerak dasar siswa. Kenyataannya, tujuan ini belum tercapai, hal ini dapat dilihat pada gerak dasar siswa yang sangat rendah.
Ada beberapa hal yang menyebabkan tujuan penjas di SD Negeri X belum tercapai diantaranya: (1) Siswa terlihat kurang memperhatikan saat pelajaran Penjas. (2) Terbatasnya sarana dan prasarana Penjas. (3) Guru kurang kreatif menciptakan modivikasi alat-alat untuk pembelajaran Penjas. (4) Guru kesulitan dalam menemukan model pembelajaran bermain yang tepat untuk meningkatkan kemampuan gerak dasar siswa.
Hasil pembelajaran Penjas dan peningkatan kualitas fisik (termasuk didalamnya, kemampuan gerak dasar) dapat diupayakan salah satunya dengan model pembelajaran bermain. Model ini belum pernah dikenakan pada siswa SD kelas II, sehingga belum diketahui seberapa besar aplikasi model pembelajaran bermain dapat meningkatan kemampuan gerak dasar pada siswa kelas II SD Negeri X.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka penelitian ini dibatasi pada peningkatan kemampuan gerak dasar pada siswa kelas II SD Negeri X dengan model pembelajaran bermain.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah, masalah dalam penelitian ini dirumuskan: "Apakah aplikasi model pembelajaran bermain dapat meningkatkan kemampuan gerak dasar pada siswa kelas II SD Negeri X ?"

E. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk meningkatkan kemampuan gerak dasar pada siswa kelas II SD Negeri X melalui aplikasi model pembelajaran bermain.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Siswa
Dengan diterapkannya aplikasi model pembelajaran bermain dalam pembelajaran pendidikan jasmani khususnya pembelajaran gerak dasar, siswa menjadi lebih antusias dalam mengikuti proses pembelajaran gerak dasar dan siswa lebih mudah mengikuti proses pembelajaran gerak dasar
b. Bagi Guru
Memberikan wawasan dan menumbuhkan kreativitas guru SD dalam hal meningkatkan kemampuan gerak dasar anak SD.
c. Bagi Peneliti
Peneliti mendapatkan fakta bahwa dengan aplikasi model pembelajaran bermain dapat meningkatan kemampuan gerak dasar.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk referensi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan hal yang sama.
b. Dapat dipergunakan sebagai media alternatif bagi guru di sekolah lain dalam mengajarkan materi gerak dasar yang lebih menyenangkan bagi siswa.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:57:00

SKRIPSI ANALISIS ANGGARAN BIAYA SEBAGAI ALAT PENGENDALIAN MANAJEMEN PADA KANTOR WILAYAH PERUM PEGADAIAN X

(KODE EKONAKUN-0066) : SKRIPSI ANALISIS ANGGARAN BIAYA SEBAGAI ALAT PENGENDALIAN MANAJEMEN PADA KANTOR WILAYAH PERUM PEGADAIAN X


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Sistem Pengendalian Manajemen adalah suatu sistem yang digunakan oleh manajer untuk mempengaruhi anggota organisasi yang lain guna melaksanakan strategi perusahaan secara efektif dan efisien. Struktur sistem pengendalian manajemen meliputi pusat pertanggungjawaban dan ukuran prestasinya. Proses sistem pengendalian manajemen meliputi penyusunan program, anggaran, pelaksanaan dan pengukuran serta pelaporan dan analisis (Mulyadi, 1990: 26).
PERUM Pegadaian Kantor Wilayah X merupakan pusat biaya (cost center) yang prestasi manajernya diukur berdasar efisiensi antara anggaran yang diusulkan dengan realisasi anggaran. Menurut Anthony, Dearden, dan Bedford, cost center adalah pusat pertanggungjawaban yang masukan atau biayanya diukur dalam satuan uang tetapi keluaranya tidak diukur dalam satuan uang. Secara umum ada dua macam cost center yaitu pusat biaya yang besarnya terukur (engineered expense centers) dan pusat biaya yang kurang dapat diukur (discresioner expense centers).
Penetapan biaya terukur dan tidak terukur dilakukan dengan menyusun anggaran dan rencana kerja yang digunakan untuk periode satu tahun ke depan atau jangka panjang. Rencana kerja yang disusun harus dapat mencerminkan langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan perusahaan.
Rencana kerja dan anggaran perusahaan merupakan arah dan pedoman kerja sekaligus sebagai alat pengendalian atau pengawasan kegiatan yang dijalankan. Sebagai pedoman dan alat pengendalian maka rencana kerja dan anggaran perusahaan harus disusun dengan melibatkan seluruh bidang dan fungsi yang ada dalam perusahaan. Perusahaan dalam menyusun rencana kerja dan anggaran hal pertama yang dilakukan adalah penyusunan rencana kerja, sedangkan anggaran perusahaan hanya merupakan rencana kerja yang dituangkan dalam bentuk angka dan uang.
Keputusan yang harus diambil oleh manajemen dalam rangka penyusunan anggaran biaya terukur berbeda dengan keputusan yang diambil apabila menyusun biaya tidak terukur. Manajemen harus memutuskan apakah anggaran operasional yang diusulkan dapat menggambarkan pelaksanaan tugas yang efisien dan memadai untuk periode yang akan datang.
Anggaran yang disusun atau dibuat sebaiknya tidak terlalu optimis ataupun terlalu pesimis. Anggaran yang dibuat terlalu optimis membuat manajemen terlalu berat untuk mencapainya sehingga manajemen yang menjalankan anggaran tersebut merasa frustasi. Sebaliknya anggaran yang dibuat terlalu pesimis berdampak pada pelaksana anggaran merasa malas menjalankan anggaran yang disusun karena anggaran yang disusun terlalu mudah dicapai.
Manajemen dalam mempersiapkan rencana anggaran sebaiknya berhati-hati supaya tidak menyertakan data yang tidak relevan yang justru akan mengaburkan informasi penting yang dibutuhkan oleh manajemen untuk mengambil keputusan.
Manajemen dapat memperoleh data yang relevan dengan cara melakukan analisis data yang telah diperoleh terlebih dahulu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara anggaran dengan kinerja manajerial adalah motivasi, target anggaran, kepuasan terhadap target anggaran, komitmen terhadap perusahaan, informasi, sikap manajer, umpan balik laporan realisasi anggaran, balas jasa, gaya kepemimpinan dan budaya. Anggaran disusun untuk jangka waktu lebih pendek dengan maksud lebih mudah dalam pengendaliannya. Di samping itu fungsi anggaran dapat terlaksana dengan benar apabila syarat-syarat tercapainya anggaran yang baik telah terpenuhi.
PERUM Pegadaian merupakan Badan Usaha Milik Negara yang berkantor pusat di Jakarta, memiliki empat belas kantor wilayah dan 711 kantor cabang yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Setiap kantor wilayah memiliki beberapa kantor cabang tersebar di wilayahnya masing-masing.
Kantor pusat dalam melakukan kegiatan usaha melimpahkan wewenang kepada kantor daerah guna mengelola perusahaan yang ada di wilayahnya masing-masing. Kantor wilayah tidak melakukan kegiatan operasional tetapi kegiatan operasional dilakukan oleh kantor cabang. Kantor cabang merupakan ujung tombak perusahaan karena kantor cabang menjalankan kegiatan usaha untuk mendapatkan pendapatan dengan melakukan gadai.
Salah satu kantor wilayah yang dimiliki oleh PERUM Pegadaian adalah Kantor Wilayah X yang memiliki 53 cabang dan 1 anak cabang yang tersebar di wilayah X. Kantor wilayah tidak melakukan kegiatan operasional sehingga prestasi kerja kantor wilayah tidak dapat diukur dari pendapatan atau masukan yang dihasilkan, tetapi berdasarkan biaya atau keluaran yang dilakukan.
Setiap tahun kantor wilayah diberi wewenang menyusun rencana kerja dan anggaran untuk dikirim ke kantor pusat. Kantor pusat kemudian membahas usulan anggaran tersebut dalam Rakernas bersama-sama dengan pemimpin wilayah untuk melakukan negosiasi anggaran yang diusulkan. Hasil negosiasi antara pemimpin wilayah dan jajaran direksi adalah otorisasi anggaran yang dikelola kantor wilayah. Setiap bulannya kantor wilayah mengirimkan realisasi anggaran sebagai bentuk pertanggungjawabkan ke kantor pusat. Realisasi anggaran selama satu tahun yang terjadi akan diketahui apakah anggaran yang diusulkan kantor wilayah dengan realisasinya menyimpang jauh atau tidak.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Apakah anggaran dan realisasinya dapat dijadikan alat yang efektif sebagai penilaian prestasi kantor wilayah?
2. Apakah kantor wilayah telah diberikan kewenangan penuh untuk mengelola anggaran yang telah ditetapkan dalam pembentukan pusat biaya?
3. Apakah dalam pelaksanaan anggaran sudah memenuhi syarat-syarat terciptannya anggaran yang baik?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Guna mendalami teori tentang syarat-syarat terciptanya anggaran yang baik sebagai alat pengendalian manajemen dan membandingkannya dengan praktek yang berlaku pada Kantor Wilayah PERUM Pegadaian X.
2. Melihat sejauh mana pelaksanaan analisis anggaran dibandingkan dengan realisasinya di kantor wilayah telah dievaluasi dengan baik.
3. Manfaat penelitian bagi penulis adalah untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna mencapai gelar sarjana ekonomi jurusan akuntansi pada Fakultas Ekonomi X.

D. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sebagai berikut.
1. Jenis penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Studi kasus adalah suatu pendekatan penelitian dengan mengambil suatu obyek tertentu untuk dianalisis secara mendalam dengan memfokuskan pada suatu masalah berdasarkan data primer untuk kemudian berusaha mencarikan alternatif penyelesaian masalah tersebut. Studi kasus dilakukan di PERUM Pegadaian Kantor Wilayah X.
2. Teknik pengumpulan data
a. Wawancara
Pengumpulan data dengan melakukan wawancara dengan pejabat terkait dan karyawan sehubungan dengan pembahasan serta dokumen yang diperlukan.
b. Observasi
Memperoleh data dengan pengamatan langsung pada sistem anggaran di Kantor Wilayah PERUM Pegadaian X.
3. Sumber data
Sumber data yang menjadi bahan penelitian adalah data primer.
4. Jenis data
Data yang diperlukan untuk penelitian adalah seperti berikut ini.
a. Informasi umum perusahaan.
b. Struktur organisasi.
c. Sistem akuntansi.
d. Pengukuran prestasi manajemen.
e. Proses penyusunan anggaran.
5. Analisis data
Analisis data dilakukan berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat terciptanya anggaran yang baik menurut Mulyadi dan Supriyono (2001: 95) sebagai berikut.
a. Adanya organisasi perusahaan yang sehat.
b. Adanya sistem akuntansi yang memadai.
c. Adanya penelitian dan analisis.
d. Adanya dukungan pelaksana.

E. Kerangka Pemikiran
Pusat biaya adalah pusat pertanggungjawaban yang masukan atau biayanya diukur dalam satuan uang tetapi keluarannya tidak diukur dalam satuan uang, yang terbagi dalam dua macam pusat biaya yaitu pusat biaya yang besarnya terukur dan pusat biaya yang nilai pengeluarannya kurang dapat diukur (Anthony et al., 1992: 206).
Anggaran adalah rencana manajemen dengan asumsi bahwa langkah positif akan diambil oleh pelaksana anggaran. PERUM Pegadaian Kantor Wialayah X dalam penyusunan anggaran sistematikanya dapat diuraikan sebagai berikut: kantor wilayah menyusun Rencana Kerja Anggaran Perusahaan untuk dikirimkan ke kantor pusat dengan terlebih dahulu mengadakan Rakerda untuk membahas usulan anggaran tersebut, kemudian kantor pusat dalam hal ini jajaran direksi dengan pemimpin wilayah masing-masing daerah melakukan negosiasi berdasar usulan anggaran, setelah dicapai kata sepakat kantor pusat mengirimkan otorisasi anggaran ke kantor wilayah untuk melaksanakan otorisasi anggaran tersebut, kemudian setiap bulan kantor wilayah mengirimkan realisasi anggaran yang menjadi tanggungjawabnya.

F. Sistematika Penulisan Skripsi
Gambaran secara ringkas mengenai sistematika penulisan skripsi sebagai berikut ini.
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, kerangka pemikiran, serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi uraian tentang pengertian pengendalian manajemen, sistem pengendalian manajemen, dan anggaran.
BAB III : GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
Bab ini berisi tentang gambaran umum perusahaan yang meliputi sejarah perusahaan, struktur organisasi perusahaan dan perkembangan perusahaan serta cara penyusunan anggaran.
BAB IV : ANALISIS ANGGARAN BIAYA SEBAGAI ALAT PENGENDALIAN MANAJEMEN
Bab ini berisi tentang analisis anggaran biaya sebagai alat pengendalian manajemen.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran yang seharusnya dilakukan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:23:00

SKRIPSI PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT

(KODE EKONAKUN-0065) : SKRIPSI PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT


BAB I
PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang Masalah
Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Dari profesi akuntan publik, masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan (Mulyadi dan Puradiredja, 1998:3). Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan, sehingga masyarakat memperoleh informasi keuangan yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan.
Guna menunjang profesionalismenya sebagai akuntan publik maka auditor dalam melaksanakan tugas auditnya harus berpedoman pada standar audit yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yakni standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Dimana standar umum merupakan cerminan kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang auditor yang mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup dalam melaksanakan prosedur audit. Sedangkan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan mengatur auditor dalam hal pengumpulan data dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan selama melakukan audit serta mewajibkan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan keuangan yang diauditnya secara keseluruhan.
Namun selain standar audit, akuntan publik juga harus mematuhi kode etik profesi yang mengatur perilaku akuntan publik dalam menjalankan praktik profesinya baik dengan sesama anggota maupun dengan masyarakat umum. Kode etik ini mengatur tentang tanggung jawab profesi, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional serta standar teknis bagi seorang auditor dalam menjalankan profesinya.
Akuntan publik atau auditor independen dalam tugasnya mengaudit perusahaan klien memiliki posisi yang strategis sebagai pihak ketiga dalam lingkungan perusahaan klien yakni ketika akuntan publik mengemban tugas dan tanggung jawab dari manajemen (Agen) untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan yang dikelolanya. Dalam hal ini manajemen ingin supaya kinerjanya terlihat selalu baik dimata pihak eksternal perusahaan terutama pemilik (prinsipal). Akan tetapi disisi lain, pemilik (prinsipal) menginginkan supaya auditor melaporkan dengan sejujurnya keadaan yang ada pada perusahaan yang telah dibiayainya. Dari uraian di atas terlihat adanya suatu kepentingan yang berbeda antara manajemen dan pemakai laporan keuangan.
Kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keuangan auditan dan jasa lainnya yang diberikan oleh akuntan publik inilah yang akhirnya mengharuskan akuntan publik memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya. Adapun pertanyaan dari masyarakat tentang kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik semakin besar setelah terjadi banyak skandal yang melibatkan akuntan publik baik diluar negeri maupun didalam negeri. Skandal didalam negeri terlihat dari akan diambilnya tindakan oleh Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) terhadap 10 Kantor Akuntan Publik yang diindikasikan melakukan pelanggaran berat saat mengaudit bank-bank yang dilikuidasi pada tahun 1998. Selain itu terdapat kasus keuangan dan manajerial perusahaan publik yang tidak bisa terdeteksi oleh akuntan publik yang menyebabkan perusahaan didenda oleh Bapepam (Winarto, 2002 dalam Christiawan 2003:82).
Selain fenomena di atas, kualitas audit yang dihasilkan akuntan publik juga tengah mendapat sorotan dari masyarakat banyak yakni seperti kasus yang menimpa akuntan publik Justinus Aditya Sidharta yang diindikasi melakukan kesalahan dalam mengaudit laporan keuangan PT. Great River Internasional,Tbk. Kasus tersebut muncul setelah adanya temuan auditor investigasi dari Bapepam yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar rupiah pada laporan keuangan Great River yang mengakibatkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan arus kas dan gagal dalam membayar utang. Sehingga berdasarkan investigasi tersebut Bapepam menyatakan bahwa akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan Great River ikut menjadi tersangka. Oleh karenanya Menteri Keuangan RI terhitung sejak tanggal 28 November 2006 telah membekukan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama dua tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Great River tahun 2003.
Dalam konteks skandal keuangan di atas, memunculkan pertanyaan apakah trik-trik rekayasa tersebut mampu terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan tersebut atau sebenarnya telah terdeteksi namun auditor justru ikut mengamankan praktik kejahatan tersebut. Tentu saja jika yang terjadi adalah auditor tidak mampu mendeteksi trik rekayasa laporan keuangan, maka yang menjadi inti permasalahannya adalah kompetensi atau keahlian auditor tersebut. Namun jika yang terjadi justru akuntan publik ikut mengamankan praktik rekayasa tersebut, seperti yang terungkap juga pada skandal yang menimpa Enron, Andersen, Xerox, WorldCom, Tyco, Global Crossing, Adelphia dan Walt Disney (Sunarsip 2002 dalam Christiawan 2003:83) maka inti permasalahannya adalah independensi auditor tersebut. Terkait dengan konteks inilah, muncul pertanyaan seberapa tinggi tingkat kompetensi dan independensi auditor saat ini dan apakah kompetensi dan independensi auditor tersebut berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik.
Kualitas audit ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan. Selain itu adanya kekhwatiran akan merebaknya skandal keuangan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan keuangan auditan dan profesi akuntan publik.
De Angelo dalam Kusharyanti (2003:25) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor. Sementara itu AAA Financial Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2002:83) menyatakan bahwa "Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit.
Berkenaan dengan hal tersebut, Trotter(1986) dalam Saifuddin (2004:23) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan. Senada dengan pendapat Trotter, selanjutnya Bedard (1986) dalam Sri Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit.
Adapun Kusharyanti (2003:3) mengatakan bahwa untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus), pengetahuan mengenai bidang auditing dan akuntansi serta memahami industri klien.
Dalam melaksanakan audit, auditor harus bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya melalui pengalaman dan praktek audit (SPAP, 2001). Selain itu auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti (2003:26) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari si stem akuntansi yang mendasari. Kemudian Tubbs (1990) dalam artikel yang sama berhasil menunjukkan bahwa semakin berpengalamannya auditor, mereka semakin peka dengan kesalahan penyajian laporan keuangan dan semakin memahami hal-hal yang terkait dengan kesalahan yang ditemukan tersebut.
Sehingga berdasarkan uraian di atas dan dari penelitian yang terdahulu dapat disimpulkan bahwa kompetensi auditor dapat dibentuk diantaranya melalui pengetahuan dan pengalaman.
Namun sesuai dengan tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan suatu perusahaan maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki kompetensi atau keahlian saja tetapi juga harus independen dalam pengauditan. Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil auditan dari auditor sehingga masyarakat tidak akan meminta jasa pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, keberadaan auditor ditentukan oleh independensinya (Supriyono, 1988).
Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa "Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor". Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan.
Hal inilah yang menarik untuk diperhatikan bahwa profesi akuntan publik ibarat pedang bermata dua. Disatu sisi auditor harus memperhatikan kredibilitas dan etika profesi, namun disisi lain auditor juga harus menghadapi tekanan dari klien dalam berbagai pengambilan keputusan. Jika auditor tidak mampu menolak tekanan dari klien seperti tekanan personal, emosional atau keuangan maka independensi auditor telah berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit. Salah satu faktor lain yang mempengaruhi independensi tersebut adalah jangka waktu dimana auditor memberikan jasa kepada klien (auditor tenure).
Selain itu untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap independensi auditor maka pekerjaan akuntan dan operasi Kantor Akuntan Publik (KAP) perlu dimonitor dan di "audit" oleh sesama auditor (peer review) guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit. Selain itu peer review dirasakan memberi manfaat baik bagi klien, kantor akuntan publik maupun akuntan yang terlibat dalam peer review. Manfaat tersebut antara lain mengurangi risiko litigation (tuntutan), memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan (Harjanti, 2002:59)
Ada beberapa penelitian tentang kualitas audit yang telah dilakukan baik dari segi topik maupun metode penelitian (Kusharyanti, 2003). Dari segi topik antara lain: Besaran KAP (De Angelo,1981; Palmrose, 1986 ;Deis dan Giroux, 1992), audit tenure (Aldhizer dan Lampe, 1997), audit fee (Jansen dan Payne, 2003), jasa non audit (Standards dan Poor, 2000 ; Wooten, 2003).
Sedangkan dari segi metode penelitian, saat ini masih sedikit penelitian yang difokuskan pada pengembangan rerangka konseptual yang bisa menangkap konstruk kualitas audit. Pengembangan model yang komprehensip mengenai kualitas audit perlu dilakukan sehingga model tersebut dapat menangkap kompleksitas yang ditemukan dalam penelitian kualitas audit. Salah satu model kualitas audit yang dikembangkan adalah model De Angelo (1981). Dimana fokusnya ada pada dua dimensi kualitas audit yaitu kompetensi dan independensi. Selanjutnya, kompetensi diproksikan dengan pengalaman dan pengetahuan. Sedangkan independensi diproksikan dengan lama hubungan dengan klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review) dan jasa non audit. Adapun model kualitas audit lain yang dikembangkan adalah model kualitas audit menurut Catanach dan Walker (1999), dimana mereka memfokuskan pada dimensi kemampuan auditor, professional conduct, dampak insentif ekonomi dan struktur pasar.
Namun dalam penelitian ini akan menggunakan model De Angelo. Hal ini berkaitan dengan adanya penelitian-penelitian terdahulu yang ternyata belum menemukan kesepakatan sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu, lingkungan audit yang juga berubah terus memicu penelitian dari lingkup yang lebih luas. Dari segi metoda penelitian, pengembangan model kualitas audit yang dapat menangkap kompleksitas kualitas audit masih sedikit sehingga perlu digali lagi. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan menguji kembali model De Angelo dengan menggunakan dimensi kompetensi yang diproksikan menjadi dua sub variabel yakni pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan dimensi independensi dikembangkan proksi antara lain lama hubungan dengan klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review), dan jasa non audit.
Penelitian mengenai kualitas audit penting bagi KAP dan auditor agar mereka dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit dan selanjutnya dapat meningkatkannya kualitas audit yang dihasilkannya. Bagi pemakai jasa audit, penelitian ini penting yakni untuk menilai sejauh mana akuntan publik dapat konsisten dalam menjaga kualitas jasa audit yang diberikannya.
Atas dasar latar belakang di atas, maka peneliti mengangkat judul "Pengaruh kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas audit (Studi empiris pada Kantor Akuntan Publik di X)"

I.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :
1. Apakah kompetensi dan independensi auditor secara simultan berpengaruh terhadap kualitas audit ?
2. Apakah kompetensi dan independensi auditor secara parsial berpengaruh terhadap kualitas audit ?

I.3 Penegasan Istilah
Untuk menghindari salah pengertian dalam penelitian ini maka perlu diberikan penjelasan terhadap istilah-istilah berikut ini :
I.3.1 Kompetensi
Bedard (1986) dalam Sri Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit.
Dalam standar pengauditan, khususnya standar umum disebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor serta dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. De Angelo(1981) dalam Kartika Widhi (2005:7) memproksikan kompetensi kedalam 2 (dua) komponen yaitu pengetahuan dan pengalaman.
I.3.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam, selain itu auditor akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard et.al, 1987 dalam Harhinto, 2004:35).
Untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus) dan pengetahuan mengenai bidang pengauditan, akuntansi dan industri klien. Secara umum ada lima jenis pengetahuan yang harus dimiliki auditor yaitu (1.) pengetahuan umum, (2.) area fungsional, (3.) isu akuntansi, (4.) industri khusus, dan (5.) pengetahuan bisnis umum serta penyelesaian masalah.
I.3.1.2 Pengalaman
Menurut Loeher (2002) Pengalaman merupakan akumulasi gabungan dari semua yang diperoleh melalui berhadapan dan berinteraksi secara berulang-ulang dengan sesama benda alam, keadaan, gagasan, dan penginderaan.
I.3.2 Independensi
Kode Etik Akuntan Publik menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Penelitian mengenai independensi sudah cukup banyak dilakukan baik itu dalam negeri maupun luar negeri dengan menggunakan berbagai ukuran. Namun dalam penelitian ini independensi auditor diukur melalui : Lama hubungan dengan klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review), dan jasa non audit.
I.3.2.1 Lama hubungan dengan klien (audit tenure).
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan publik, membatasi masa kerja auditor paling lama 3 tahun untuk klien yang sama, sementara untuk Kantor Akuntan Publik (KAP) boleh sampai 5 tahun.
Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntansi.
I..3.2.2 Tekanan dari klien.
Tekanan dari klien dapat timbul pada situasi konflik antara auditor dengan klien. Situasi konflik terjadi ketika antara auditor dengan manajemen atau klien tidak sependapat dengan beberapa aspek hasil pelaksanaan pengujian laporan keuangan (atestasi).
Tekanan dari klien seperti tekanan personal, emosional atau keuangan dapat mengakibatkan independensi auditor berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit (Kusharyanti 2002:29). Dengan menerima fee audit yang besar dan pemberian fasilitas dari klien, auditor dapat mengalami tekanan dari klien.Tekanan dari klien tersebut dapat berupa tekanan untuk memberikan pernyataan wajar tanpa pengecualian pada laporan audit atas laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen.
I.3.2.3 Telaah dari rekan auditor (peer review).
Telaah dari rekan auditor (peer review) merupakan mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit (Harjanti, 2002:59)
I.3.2.4 Jasa non audit.
Jasa yang diberikan oleh KAP bukan hanya jasa atestasi melainkan juga jasa non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa akuntansi seperti jasa penyusunan laporan keuangan.(Kusharyanti, 2002:29)
I.3.3 Kualitas Audit
De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2003:25) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor. Kualitas audit ini sangat penting karena kualitas audit yang tinggi akan menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan.

I.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.4.1 Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui secara empiris pengaruh kompetensi dan independensi secara simultan terhadap kualitas audit.
2. Untuk mengetahui secara empiris pengaruh kompetensi dan independensi secara parsial terhadap kualitas audit.
1.4.2 Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Kegunaan Teoritis
a. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba memberikan bukti empiris tentang pengaruh kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan memberikan sumbangan konseptual bagi peneliti sejenis maupun civitas akademika lainnya dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan untuk perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan.
2. Kegunaan Praktis
a. Dapat digunakan sebagai masukan bagi pimpinan Kantor Akuntan Publik dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas kerjanya.
b. Sebagai bahan evaluasi bagi para auditor sehingga dapat meningkatkan kualitas auditnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:22:00