Cari Kategori

SKRIPSI GAMBARAN EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA INSIDENNYA

(KODE KES-MASY-0025) : SKRIPSI GAMBARAN EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA INSIDENNYA




BAB 1
PENDAHULUAN


I. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue atau yang lebih dikenal dengan singkatan DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan merupakan vector borne disease atau ditularkan melalui vektor, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama karena dapat menyerang semua gologngan umur dan menyebabkan kematian khususnya pada anak dan kejadian luar biasa (wabah). Namun dalam dekade terakhir terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa. Gejalanya antara lain demam/panas tinggi mendadak disertai dengan pendarahan, kebocoran plasma dan berisiko menimbulkan syok.
WHO memperkirakan tiap tahunnya sebanyak 500.000 pasien DBD membutuhkan perawatan di rumah sakit dimana sebagian besar pasiennya adalah anak-anak. Sekitar 2,5% diantara pasien anak tersebut diperkirakan meninggal dunia. Tanpa perawatan yang tepat, case fatality rate (CFR) DBD dapat saja melampaui angka 20%. Adanya akses yang lebih baik untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan dan penanganan yang tepat baik sejak gejala awal maupun perawatan lanjutan serta peningkatan pengetahuan tentang DBD dapat menurunkan tingkat kematiannya hingga di bawah 1% (WHO, 2009).
Beberapa dekade terakhir ini, insiden demam dengue menunjukkan peningkatan yang sangat pesat di seluruh penjuru dunia. Sebanyak dua setengah milyar atau dua perlima penduduk dunia berisiko terserang demam dengue. Sebanyak 1,6 milyar (52%) dari penduduk yang berisiko tersebut hidup di wilayah Asia Tenggara. WHO memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap tahunnya. Pada tahun 2007 di Amerika terdapat lebih dari 890.000 kasus dengue yang dilaporkan dimana 26.000 kasus diantaranya tergolong dalam demam berdarah dengue (DBD).
Di Indonesia kasus demam berdarah dilaporkan pertama kali di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968 dengan jumlah kasus sebanyak 58 orang (IR = 0,05 per 100.000) dan 24 orang diantaranya meninggal (CFR = 41,3%). Tahun demi tahun daerah penyebarannya bertambah luas dan angka kasus yang dilaporkan terus meningkat walaupun Case Fatality Rate cenderung menurun. Seluruh wilayah Indonesia memiliki risiko untuk terjangkit penyakit DBD, karena virus penyebab dan vektor penularnya tersebar luas baik di rumah maupun di tempat-tempat umum, kecuali daerah yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (Ditjen P2PL Depkes RI, 1999).
Selama tahun 2003-2007, angka kasus DBD menunjukan kenaikan yang cukup signifikan. Selama tahun 2003 tercatat 51.516 kasus (IR= 23,87; CFR= 1,5); tahun 2004 tercatat 79.462 kasus (IR= 37,11; CFR= 1,2); tahun 2005 tercatat 95.279 kasus (IR= 43,42; CFR= 1,36); tahun 2006 tercatat 114.656 kasus (IR= 52,48; CFR= 1,04); dan tahun 2007 tercatat 158.115 kasus (IR= 71,78; CFR= 1,01) (sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007).
Namun begitu, tingkat kermatian atau CFR yang ditimbulkan oleh DBD cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada awal mula munculnya penyakit ini di Indonesia tahun 1968, CFR mencapai angka 41,3 namun selang waktu berganti CFR mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing bernilai 1,36; 1,04; dan 1,01. Angka ini menunjukkan bahwa CFR semakin mendekati CFR nasional, yakni < 1 (sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007).
Pada tahun 2008, angka kasus DBD di Indonesia tercatat sebanyak 135.871 kasus. Di propinsi Jawa Barat sendiri tercatat sebanyak 23.248 kasus selama tahun 2008. Angka tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2007 dimana angka kasus berjumlah sebesar 31. 836 (sumber: Kompas, 2 Maret 2009). Kota X adalah bagian dari propinsi Jawa Barat, mengalami peningkatan jumlah kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, angka insiden DBD adalah sebesar 61,44 (per 100.000 penduduk). Lalu menurun tajam pada tahun 2002 menjadi 37,44. Tetapi kemudian meningkat kembali pada tahun 2003 dan 2004 sebesar 73,14 dan 78,18 secara berturut-turut. Jumlah kematian yang ditimbulkan juga cukup menyita perhatian, walau tidak sebesar case fatality rate (CFR) di DKI Jakarta. Dalam kurun waktu empat tahun (2001-2004), penyakit DBD di Kota X telah merenggut sebanyak 42 korban jiwa, dengan rata-rata CFR sebesar 1,44% (Agustiena, 2004).
Salah satu kecamatan yang terdapat di wilayah Kota X, yakni kecamatan X dimana memiliki jumlah penduduk sebesar 326.305 jiwa dengan tingkat kepadatan 6.451 jiwa/km2. Dari tahun 2001 sampai tahun 2004, angka insiden di kecamatan tersebut cukup melonjak dengan tajam. Pada tahun 2001 angka insiden sebesar 24,27 (per 100.000 penduduk) lalu merangkak naik ke angka 28,16; 159,34; dan 240,22 pada tiga tahun selanjutnya (Agustiena, 2004).
Tingginya angka kasus maupun kematian yang disebabkan oleh penyakit ini menurut WHO merupakan petunjuk bahwa masalah kesehatan masyarakat masih merupakan beban. Dalam teori Bloom disebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena pengaruh kualitas lingkungan yang merupakan determinan dari status kesehatan. Faktor lainnya yang turut mempengaruhi status kesehatan manusia ialah pelayanan kesehatan, hereditas, dan perilaku manusia itu sendiri.
Determinan penyakit DBD juga mengikuti konsep Bloom di atas. Faktor lingkungan yang berpengaruh tidak hanya lingkungan fisik saja, tetapi juga meliputi lingkungan sosial ekonomi budaya dimana pendidikan, pekerjaan, pemilikan barang, mobilitas, nilai penyakit dan konsep penyakit termasuk di dalamnya. Faktor perilaku masyarakat meliputi pengetahuan dan kebiasaan serta peran dalam PSN dan fogging. Faktor pelayanan kesehatan meliputi upaya penyuluhan dan upaya pencegahan. Sedangkan faktor keturunan adalah kepekaan masyarakat sebagai host dan nyamuk sebagai perantara vektor dari virus dengue (Majalah Kesehatan Masyarakat, 2002).
Upaya pemberantasan penyakit DBD terus dilakukan hingga kini antara lain adalah usaha untuk memutuskan mata rantai penularan dengan memberantas vektor penularnya, yaitu nyamuk Aedes aegypti dengan cara kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Kemudian untuk mendukung kegiatan pemberantasan vektor tersebut dilakukan kegiatan pemeriksaan jentik berkala di rumah-rumah penduduk serta tempat-tempat umum untuk mengetahui angka bebas jentik (ABJ) di wilayah tersebut. Selain gerakan PSN yang digalakan oleh pemerintah, upaya pencegahan dan pemberantasan lainnya yang telah dilakukan antara lain porgram penyelidikan epidemiologi, abatisasi selektif, fogging focus, dan penyuluhan kesehatan masyarakat (Ditjen P2PL DepKes RI, 1992).
Selain faktor pelayanan kesehatan yang telah diuraikan di atas, faktor lingkungan juga berperan penting dalam penyebaran penyakit DBD. Sebuah penelitian di Thailand menyebutkan bahwa suhu dan kelembaban udara serta curah hujan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap angka insiden DBD (Prompou dan Jaroensutasinee, 2005). Dalam sebuah penelitian di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara jumlah hari hujan, suhu dan kelembaban udara berhubungan secara bermakna dengan angka insiden DBD. Sedangkan di Kecamatan Penjaringan, ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kecepatan angin dengan angka insiden DBD (Sungono, 2004).
Tidak hanya faktor lingkungan alamiah seperti yang disebutkan, namun faktor lainnya yang termasuk dalam lingkungan adalah angka bebas jentik (ABJ) dan kepadatan penduduk. ABJ tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan program pemberantasan vektor penular DBD. Angka bebas jentik (ABJ) sebagai tolak ukur upaya pemberantasan vektor melalui gerakan PSN-3M menunjukan tingkat partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD. Rata-rata ABJ yang masih di bawah 95% menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat untuk mencegah penyakit DBD dengan cara 3M di lingkungannya masing-masing belum optimal, sehingga kasus DBD masih sering terjadi (Ditjen P2PL DepkesRI, 2007). Penelitian di Kecamatan Koja dan Cilincing, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara ABJ dengan insiden DBD (Sungono, 2004). Penelitian lain di Jakarta Timur menyebutkan juga terdapat hubungan yang bermakna antara ABJ dengan angka insiden DBD (Asmara, 2008).
Haryadi (2007) menyebutkan bahwa faktor paling dominan mempengaruhi tingginya kejadian DBD adalah kepadatan penduduk dan angka bebas jentik (ABJ) yang rendah. Kepadatan penduduk dapat meningkatkan penularan kasus DBD dimana dengan semakin banyak manusia maka akan semakin besar peluang nyamuk Aedes aegypti menggigit, sehingga penyebaran kasus DBD dapat menyebar dengan cepat dalam suatu wilayah (Yusmariami, 2004).

II. Rumusan Masalah
Dalam beberapa tahun terakhir ini, angka insiden DBD di Kecamatan X dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2001 angka insiden sebesar 24,27 (per 100.000 penduduk) lalu merangkak naik ke angka 28,16; 159,34; dan 240,22 pada tiga tahun selanjutnya. Angka insiden pada tahun 2004 merupakan yang tertinggi jika dibandingkan beberapa kecamatan lain di Kota X. Masih tingginya angka insiden dicurigai dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain faktor pelayanan kesehatan dimana di dalamnya termasuk program pengendalian dan pemberantasan penyakit DBD. Faktor lainnya yang dilansir berpengaruh bagi peningkatan insiden adalah faktor lingkungan. Beberapa penelitian sebelumnya di daerah yang berbeda, menyebutkan adanya hubungan yang bermakna antara angka insiden DBD dengan beberapa faktor lingkungan seperti suhu udara, kelembaban, curah hujan, angka bebas jentik (ABJ), serta kepadatan penduduk. Di wilayah Kecamatan X sendiri dalam beberapa tahun ini belum pernah diadakan penelitan serupa. Berdasarkan masalah tersebut, belum diketahui bagaimana gambaran epidemiologi kasus DBD berdasarkan orang, tempat, waktu serta faktor-faktor yang berpengaruh pada angka insiden DBD di Kecamatan X tahun XXXX-XXXX.

III. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran epidemiologi kasus dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX?

IV. Tujuan Penelitian
A. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran epidemiologi kasus dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX.
B. Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan karakteristik umur penderita di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
2. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan karakteristik jenis kelamin penderita di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
3. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan tempat (kelurahan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
4. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan waktu (bulan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
5. Mengetahui frekuensi angka insiden DBD berdasarkan tempat (kelurahan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
6. Mengetahui frekuensi angka insiden DBD berdasarkan waktu (tahun) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
7. Mengetahui distribusi kepadatan penduduk di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
8. Mengetahui frekuensi pelakasanaan program penyelidikan epidemiologi DBD wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
9. Mengetahui distribusi pelakasanaan program pemantauan jentik berkala (PJB) DBD wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
10. Mengetahui distribusi pelakasanaan program fogging fokus DBD wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
11. Mengetahui frekuensi Angka Bebas Jentik (ABJ) berdasarkan tempat (kelurahan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
12. Mengetahui frekuensi curah hujan di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
13. Mengetahui frekuensi suhu udara di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
14. Mengetahui frekuensi kelembaban udara di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
15. Mengetahui hubungan kepadatan penduduk dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
16. Mengetahui hubungan pelakasanaan program penyelidikan epidemiologi DBD dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
17. Mengetahui hubungan pelakasanaan program pemantauan jentik berkala (PJB) DBD dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
18. Mengetahui hubungan pelakasanaan program fogging fokus DBD dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
19. Mengetahui hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan angka insiden DBD di di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
20. Mengetahui hubungan curah hujan dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
21. Mengetahui hubungan suhu udara dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
22. Mengetahui hubungan kelembaban udara dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX

V. Manfaat Penelitian
A. Bagi Instansi Pemerintah
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk mengevaluasi dan meningkatkan peningkatan pelayanan kesehatan khususnya bagi program pengendalian dan pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Kecamatan X, Kota X.
B. Bagi Akademisi
Penelitian ini sebagai pengalaman dalam praktek belajar lapangan untuk mengaplikasikan ilmu kesehatan masyarakat.

VI. Ruang Lingkup
Pada beberapa tahun terakhir ini, angka insiden DBD di Kecamatan X, Kota X mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Angka insiden pada tahun 2004 mencapai 240,22. Angka tersebut adalah yang tertinggi jika dibandingkan beberapa kecamatan lain di Kota X. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran epidemiologi demam berdarah dengue (DBD) dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka insidennya di Kecamatan X tahun XXXX-XXXX. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2009. Jenis penelitian yang digunakan adalah desain observasional dan studi deskriptif korelasi/ekologi untuk mengetahui kekuatan dan pola hubungan antara variabel indpenden dengan dependen. Selain itu, dilakukan pula analisis serial kasus untuk mengetahui perkembangan kasus dan insiden DBD, pelaksanaan program pengendaliaan dan pemberantasan penyakit tersebut, serta variabilitas iklim dari tahun ke tahun. Variabel independen yang diukur adalah faktor demografi (kepadatan penduduk), pelayanan kesehatan (pelaksanaan program pemberantasan DBD) serta faktor lingkungan (ABJ, temperatur, curah hujan dan kelembaban udara). Sedangkan variabel dependen adalah angka insiden DBD di tingkat kelurahan wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:44:00

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0024) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang dapat berakibat fatal bagi penderitanya, yaitu bisa menyebabkan kematian. Penyakit yang disebabkan oleh mikobakterium ini merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian hampir di sebagian besar negara diseluruh dunia, (Chin, 2002).
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara berkembang dan 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas, (Depkes RI, 2004).
Di kawasan Asia Tenggara, data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40% dari kasus TB di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Di dunia, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Cina untuk jumlah terbanyak kasus TB dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Sedangkan insiden kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk, (Depkes RI, XXXX).
Situasi di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama di negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif). Sehingga pada akhirnya pada tahun 1995 program Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) diberlakukan oleh pemerintah yang direkomendasikan oleh WHO, (Depkes RI, XXXX).
Pada tahun 1998 kesembuhan di Indonesia dilaporkan sudah mencapai 87% namun cakupan penemuan penderita mencapai kurang lebih 10% (kurang dari 70%). Berdasarkan perkiraan WHO, bila cakupan dapat mencapai minimal 70% dengan angka kesembuhan 85% dan dipertahankan hingga tahun 2005 maka dapat menurunkan insiden TB sampai 50%, (Depkes RI, 2000).
Angka kesembuhan dibawah 70% dapat mengakibatkan masalah TB dan reistensi obat akan meningkat. Penderita TB paru BTA positif yang tidak sembuh dapat menimbulkan resisten terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) terutama resistensi sekunder yang dikarenakan pengobatan yang tidak lengkap atau tidak teratur, (Aditama, 2000).
Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada majalah Health Horizon menyajikan hasil studi selama 4 tahun yang dilakukan WHO di 35 negara yang secara umum menyimpulkan bahwa telah ditemukan resistensi terhadap TB di semua daerah yang diteliti. Pada penderita yang telah mendapat pengobatan kurang dari 1 bulan ternyata ditemukan 36% yang telah resisten terhadap sedikitnya 1 macam OAT. Bahkan sekitar 10% penderita yang belum pernah mendapat pengobatan sama sekali ternyata juga telah mempunyai kuman yang resisten terhadap OAT. Oleh karena itu ditakutkan penderita TB paru BTA positif yang resisten akan menularkan kuman yang resisten pula. Sedangkan setiap penderita aktif mampu menularkan 10-15 orang disekitarnya, (Aditama, 2000).
Angka kesembuhan, sebagai salah satu indikator keberhasilan program penanggulangan TB di suatu wilayah, harus mencapai target nasional yaitu sebesar 85%. Berdasarkan laporan tahunan tahun XXXX Suku Dinas Kesehatan Masyarakat X, angka kesembuhan TB Paru BTA positif masih 69,1% yang artinya masih dibawah dari yang ditargetkan oleh pemerintah. Dan di Kecamatan Palmerah, kesembuhan baru mencapai 64,6%.
Menurut Effendy (1998), rendahnya angka kesembuhan berkaitan dengan karakteristik penderita diantaranya umur, jenis kelamin, dan tipe penyakit karena terjadinya perubahan keadaan fisiologis, imunitas, dan perubahan kebiasaan makanan atau perilaku hidup sehat.
Tipe penyakit menentukan kategori obat yang diberikan, semakin lama berobat kecenderungan untuk terjadi kebosanan atau tetidakteraturan berobat semakin tinggi, sehingga mempengaruhi kesembuhan penderita TB BTA positif, (Manaf, 1995). Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) yang dapat bersikap tegas untuk mengawasi penderita dalam meminum obat. Selain itu, ketaatan penderita dalam memeriksakan ulang dahaknya pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan sangat penting dilakukan karena hal tersebut bertujuan untuk menilai hasil pengobatan apakah sembuh atau gagal, (Depkes RI, 2004).

1.2 Perumusan Masalah
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif). Diharapkan dengan strategi DOTS angka kesembuhan dapat ditingkatkan yaitu mencapai target 85%. Pada tahun XXXX, di X angka kesembuhan baru mencapai 69,1% dan di kecamatan Palmerah baru mencapai 64,6%. Masih rendahnya angka kesembuhan tersebut dibandingkan dengan target nasional dan belum diketahuinya gambaran epidemiologi penderita TB paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan Palmerah pada tahun XXXX maka perlu diteliti lebih jauh tentang faktor-faktor penyebab kesembuhan penderita tersebut.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran epidemiologi penderita Tuberkulosis Paru BTA positif tahun XXXX dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhannya di puskesmas wilayah Kecamatan X?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umun
Mengetahui gambaran epidemiologi penderita TB paru BTA positif tahun XXXX dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kesembuhannya di puskesmas wilayah Kecamatan X.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran kasus dan hasil akhir pengobatan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan X.
2. Mengetahui gambaran epidemiologi penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX berdasarkan karakteristik penderita di puskesmas wilayah Kecamatan X.
3. Mengetahui hubungan antara usia penderita dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan X.
4. Mengetahui hubungan antara jenis kelamin penderita dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan X.
5. Mengetahui hubungan antara tipe penderita dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan X.
6. Mengetahui hubungan antara keteraturan berobat penderita dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan X.
7. Mengetahui hubungan antara kepatuhan memeriksa dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan X.
8. Mengetahui hubungan antara keberadaan pengawaas meminum obat (PMO) dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan X.
9. Mengetahui hubungan antara kategori PMO dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan X.
10. Mengetahui hubungan antara jarak tempat tinggal penderita terhadap puskesmas dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan X.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk Dinas Kesehatan X sebagai masukan untuk perbaikan dalam menjalankan program penaggulangan Tuberkulosis dan meningkatkan angka kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif.
1.5.2 Bagi orang lain yang membaca semoga menjadi tambahan pengetahuan tentang faktor yang berhubungan dengan kesembuhan penderita TB paru BTA positif dan dengan informasi ini diharapkan penderita lebih termotivasi untuk sembuh.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diambil dari formulir TB-01 yang ada di unit pelayanan kesehatan yang melaksanakan program DOTS di puskesmas wilayah Kecamatan Palmerah. Karena angka kesembuhan tuberkulosis paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dalam program penanggulangannya dan angka kesembuhan di Kecamatan Palmerah masih jauh dari target, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran epidemiologi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru BTA positif tahun XXXX di puskesmas wilayah Kecamatan X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:16:00

SKRIPSI FAKTOR RISIKO KEJADIAN GEJALA ISPA RINGAN PADA BADUTA

(KODE KES-MASY-0023) : SKRIPSI FAKTOR RISIKO KEJADIAN GEJALA ISPA RINGAN PADA BADUTA




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju. Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia, terutama pada bayi dan balita. Di Amerika pneumonia menempati peringkat ke-6 dari semua penyebab kematian dan peringkat pertama dari seluruh penyakit infeksi. Di Spanyol angka kematian akibat pneumonia mencapai 25%, sedangkan di Inggris dan Amerika sekitar 12% atau 25-30 per 100.000 penduduk (Heriana, et.al, 2005). Sedangkan untuk angka kematian akibat ISPA dan Pneumonia pada tahun 1999 untuk negara Jepang yaitu 10%, Singapura sebesar 10,6%, Thailand sebesar 4,1%, Brunei sebesar 3,2% dan Philipina tahun 1995 sebesar 11,1% (SEAMIC Health Statistics, 2000).
ISPA menyebabkan 40% dari kematian anak usia 1 bulan sampai 4 tahun. Hal ini berarti dari seluruh jumlah anak umur 1 bulan sampai 4 tahun yang meninggal, lebih dari sepertiganya meninggal karena ISPA atau diantara 10 kematian 4 diantaranya meninggal disebabkan oleh ISPA (Depkes, 1985). Sebagian besar hasil penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa 20-35% kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh ISPA. Diperkirakan bahwa 2-5 juta bayi dan balita di berbagai negara setiap tahun mati karena ISPA (WHO, 1986)
Di Indonesia, ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama terutama pada bayi (0-11 bulan) dan balita (1-4 tahun). Diperkirakan kejadian ISPA pada balita di Indonesia yaitu sebesar 10-20%. Berdasarkan hasil SKRT, penyakit ISPA pada tahun 1986 berada di urutan ke-4 (12,4%) sebagai penyebab kematian bayi. Sedangkan pada tahun 1992 dan 1995 menjadi penyebab kematian bayi yang utama yaitu 37,7% dan 33,5% (Depkes RI, 2001). Hasil SKRT pada tahun 1998 juga menunjukkan bahwa penyakit ISPA merupakan penyebab kematian utama pada bayi (36%). Dan hasil SKRT pada tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi tinggi ISPA yaitu sebesar 39% pada bayi dan 42% pada balita (Depkes RI, 2001).
Berdasarkan hasil laporan RISKESDAS pada tahun 2007, prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada baduta (>35%), ISPA cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan tingkat pengeluaran rumah tangga yang rendah. Di Jawa Barat kejadian ISPA berada di angka 24,73%, untuk daerah Jawa Tengah sebesar 29,08.
ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan. Dari angka-angka di rumah sakit Indonesia didapat bahwa 40% sampai 70% anak yang berobat ke rumah sakit adalah penderita ISPA (Depkes, 1985). Sebanyak 40-60% kunjungan pasien ISPA berobat ke puskesmas dan 15-30% kunjungan pasien ISPA berobat ke bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit (Depkes RI, 2000).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Sutrisna (1993) faktor risiko yang menyebabkan ISPA pada balita adalah sosio-ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pengetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara). Sedangkan Depkes (2002) menyebutkan bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah berat badan bayi rendah (BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.
Lingkungan yang berpengaruh dalam proses terjadinya ISPA adalah lingkungan perumahan, dimana kualitas rumah berdampak terhadap kesehatan anggotanya. Kualitas rumah dapat dilihat dari jenis atap, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian dan jenis bahan bakar masak yang dipakai. Faktor-faktor di atas diduga sebagai penyebab terjadinya ISPA (Depkes RI, 2003c).
Penelitian Sumargono (1989) di Jakarta membuktikan bahwa pendidikan ibu, gizi balita, imunisasi, umur balita dan pendapatan keluarga mempengaruhi terhadap terjadinya kejadian ISPA ringan, sedangkan kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya ISPA sedang. Hasil penelitian Riswandri (2002) membuktikan bahwa bapak, kebiasaan membuka jendela rumah, jumlah anggota keluarga dan letak ternak kandang berhubungan dengan kejadian ISPA di Kecamatan Parung-Jawa Barat. Menurut Abdullah (2003), faktor risiko terjadinya ISPA pada bayi umur 0-4 bulan adalah berat badan lahir (BBL), status gizi, pemberian ASI, pendidikan ibu, kepadatan hunian, keadaan ventilasi, asap pembakaran, asap rokok dan letak dapur. Penelitian Riza (2005) membuktikan bahwa jenis lantai rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Kabupaten Bekasi, sedangkan penelitian Desmon (2002) di Sumatera Barat membuktikan bahwa jenis atap dan kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita.
Kejadian ISPA di X pada baduta berada di urutan pertama dibandingkan penyakit lainnya. Hal ini dapat dilihat pada tahun XXXX, kejadian ISPA pada pasien rawat jalan anak usia (29 hari - < 1 tahun) di Puskesmas X sebesar 33,35%, sedangkan untuk pasien rawat jalan anak usia (1-4 tahun) yang menderita ISPA sebesar 40,68%.
Berdasarkan data Profil Puskesmas X, menunjukkan bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyaraat khususnya kelompok bayi dan anak-anak. ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun di Wilayah kerja Puskesmas X dengan persentase sebesar 40,68%. Begitu pula pada kelompok umur 5-44 tahun, penyakit ISPA pun menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit yang diderita yaitu sebesar 28,33%. Berdasarkan data inilah maka penulis melakukan analisis dari data sekunder untuk melihat faktor risiko gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X.

1.2 Rumusan Masalah
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara majutermasuk. Hal ini
disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia, terutama pada bayi dan balita. Kejadian ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain yaitu sosio-ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pengetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara), berat badan bayi rendah (BBLR), imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.
Berdasarkan data Profil Puskesmas X, menunjukkan bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyaraat khususnya kelompok bayi dan anak-anak. ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun di Wilayah kerja Puskesmas X dengan persentase sebesar 40,68%. Begitu pula pada kelompok umur 5-44 tahun, penyakit ISPA pun menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit yang diderita yaitu sebesar 28,33%. Berdasarkan data inilah maka penulis melakukan analisis dari data sekunder untuk melihat faktor risiko gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana gambaran gejala ISPA ringan di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
b. Bagaimana gambaran karakteristik baduta (umur, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan gizi, pola asuh) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
c. Bagaimana gambaran karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
d. Bagaimana gambaran lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
e. Bagaimana hubungan antara karakteristik baduta (umur, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan gizi, pola asuh) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
f. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
g. Bagaimana hubungan antara lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Diketahuinya faktor risiko kejadian gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
2. Diketahuinya gambaran karakteristik baduta (umur, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan gizi, pola asuh) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
3. Diketahuinya gambaran karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
4. Diketahuinya gambaran lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
5. Diketahuinya hubungan antara karakteristik baduta (umur, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan gizi, pola asuh) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
6. Diketahuinya hubungan antara karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
7. Diketahuinya hubungan antara lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan) engan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota
X tahun XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti : Penelitian ini dapat menambah wawasan dan memperluas pengetahuan tentang hubungan asupan gizi dan faktor lainnya dengan gejala ISPA ringan di wilayah kerja Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
2. Penelitian ini dapat berguna dalam penerapan ilmu gizi kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan ISPA pada baduta serta dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.
3. Dapat menjadi masukan kepada pembuat kebijakan dan pelaksana program berkaitan dengan intervensi penyakit ISPA khususnya pada baduta terutama Kelurahan X Kota X.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX. Penelitian ini merupakan hasil penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Data yang digunakan adalah data sekunder hasil laporan Prakesmas tahun XXXX yang merupakan data dasar karakteristik baduta, pengetahuan gizi ibu, pola asuh, sanitasi dan higiene, status gizi dan asupan gizi (energi dan protein).
Populasi penelitian adalah baduta di wilayah kerja Kelurahan X Kota X tahun XXXX. Faktor-faktor yang diteliti adalah karakteristik baduta yang terdiri (umur baduta, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan energi dan protein, pola asuh), karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) serta lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:14:00

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RISIKO KURANG ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DI PROVINSI X

(KODE KES-MASY-0022) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RISIKO KURANG ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DI PROVINSI X




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia. Peran gizi dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia telah dibuktikan dari berbagai penelitian. Gangguan gizi pada awal kehidupan akan mempengaruhi kualitas kehidupan berikutnya (Depkes, 2002).
Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Jika status gizi ibu sebelum dan selama hamil normal maka kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal. Sehingga dapat disimpulkan kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil. Menurut King (1995) seorang wanita dapat mengalami malnutrisi karena beberapa keadaan yang dimulai dari malnutrisi pada masa kanak-kanak hingga kehamilan diusia muda.
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah keadaan bayi lahir dengan berat badan <2500 gram. Keadaan gizi ibu kurang baik sebelum hamil dan pada waktu hamil cenderung melahirkan BBLR, bahkan kemungkinan bayi meninggal dunia sebelum berumur satu tahun 17 kali lebih besar dari bayi yang dilahirkan dengan Berat Badan (BB) normal (Supraptil, 1989). Bila BBLR tersebut dapat hidup, mereka tidak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal sebagai manusia yang berpotensi penuh sebagai sumber daya pembangunan yang tangguh dan berkualitas.
Dari penelitian Puffer (1983) diperoleh gambaran bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) dari BBLR adalah 5 sampai 9 kali lebih besar dibandingkan dengan AKB dari bayi dengan berat lahir 2.500-2.999 gram. Selanjutnya AKB pada BBLR apabila dibandingkan dengan AKB dari bayi dengan berat lahir 3.000-3.499 gram adalah 7-13 kali lebih besar. Untuk menanggulangi serta mengurangi kelahiran bayi dengan BBLR perlu langkah yang lebih dini. Salah satu caranya adalah mendeteksi secara dini wanita usia subur (WUS) dengan risiko Kurang Energi Kronis (KEK) (Depkes, 2003).
Di negara-negara berkembang seperti Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar, Nepal Srilangka dan Thailand, prevalensi wanita yang mengalami KEK adalah 15-47% yaitu dengan BMI <18.5. Adapun negara yang mengalami prevalensi tertinggi adalah Bangladesh yaitu 47%, sedangkan Indonesia menjadi urutan ke empat terbesar setelah India dengan prevalensi 35.5% dan yang paling rendah adalah Thailand dengan prevalensi 15-25%. Hal ini terjadi karena sebagian besar wanita yang mengalami kekurangan energi disebabkan kurangnya asupan makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan mereka (WHO, 1997)
Kekurangan gizi pada masa kehamilan dapat mengganggu pertumbuhan pada janin, misalnya yang terjadi pada saat perang dunia kedua, kekurangan gizi di Belanda berdampak pada status gizi ibu hamil yang mempengaruhi outcome kehamilan (Mangkokbir et al, 1975 dalam Semba, et al 2001). Sebuah penelitian di India yang menghubungkan pengukuran antropometri kehamilan dengan berat badan lahir, menemukan rata-rata ibu dengan pertambahan berat badan selama kehamilan kurang dari 10 kg terjadi pada kelompok sosial ekonomi rendah dan berdampak pada kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (Kapur dan Kolega, 1971 dalam Semba, et al 2001).
Namun para wanita hamil di Colombia dengan sosial ekonomi rendah yang mempunyai resiko kekurangan gizi dengan asupan energi yang kurang energinya berhubungan signifikan dengan berat badan lahir bayi (National Academy Press, 1990)
Dari survey demografi kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1995 menunjukkan bahwa ibu hamil KEK mempunyai kecenderungan untuk melahirkan BBLR. Hasil penelitian Saraswati dan Sumarno di Jawa Barat (1998) menunjukkan bahwa KEK pada batas 23,5 cm belum merupakan risiko untuk melahirkan BBLR walaupun risiko relatifnya cukup tinggi. Ibu hamil dengan KEK pada batas 23 cm mempunyai resiko 2,0087 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai LILA lebih dari 23 cm.
X adalah pusat pemerintahan Indonesia serta terdapatnya berbagai macam fasilitas yang dapat memudahkan semua orang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan serta kebutuhan yang masyarakat inginkan baik pangan maupun non pangan. Namun di lain pihak dari hasil survei pada tahun 2002 didapatkan prevalensi KEK pada WUS di X sebesar 12.94% (Depkes, 2003) dan pada tahun XXXX X merupakan salah satu provinsi yang memiliki risiko KEK yang tinggi dan prevalensinya meningkat menjadi 16.6% pada tahun XXXX (Riskesdas, XXXX).
Berdasarkan hal tersebut maka sangat dibutuhkan suatu penelitian untuk mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko KEK pada ibu hamil di propinsi X. Dalam hal ini penulis melakukan analisis data sekunder terhadap hasil riset kesehatan dasar yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah
KEK merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia yang biasa dialami oleh ibu hamil, ibu hamil dengan keadaan KEK kemungkinan akan melahirkan bayi BBLR. Menurut Sumarno dan Saraswati (1998) dan Worthington, 2000) dampak dari BBLR adalah anak akan mengalami gangguan pertumbuhan, kecerdasan menurun, imunitas yang rendah, meningkatnya morbiditas dan mortalitas serta adanya gangguan metabolik yang dapat meningkatkan risiko penyakit degeratif pada saat dewasa.
Penelitian yang dilakukan Hapni (2004) terhadap ibu hamil di Kepulauan Seribu menemukan sebanyak 17.1% ibu hamil dengan risiko KEK. Kemudian penelitian yang dilakukan di Sukabumi oleh Azma (2003) didapatkan 28.8% ibu hamil yang mengalami risiko KEK. Melihat tingginya angka risiko KEK dari hasil penelitian terdahulu. Kemungkinan ibu hamil di X memiliki prevalensi risiko KEK yang tinggi pula.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (XXXX) didapati angka nasional bahwa X merupakan salah satu propinsi yang memiliki prevalensi risiko KEK pada WUS termasuk ibu hamil yang melebihi angka nasional yaitu 16.6%. Analisis sekunder dari Laporan Riskesdas Indonesia tahun XXXX mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan KEK pada ibu hamil khususnya di X masih terbatas. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai risiko KEK pada ibu hamil. Terjadinya kekurangan energi kronis pada ibu hamil dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor ibu hamil (umur, aktivitas fisik, konsumsi rokok dan penyakit infeksi), sosial ekonomi (pendidikan ibu dan suami, pekerjaan ibu dan suami, jumlah anggota keluarga dan pengeluaran bahan pangan), pemanfaatan pelayanan kesehatan, serta konsumsi energi ibu hamil. Hal tersebut mendorong penulis untuk menganalisis dari hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun XXXX mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil di X tahun XXXX.

1.3 Pertanyaan Penelitian
X merupakan wilayah dengan jumlah penduduk yang cukup besar serta mempunyai mobilitas kerja yang tinggi. Mudahnya semua akses atau pelayanan yang bisa didapatkan oleh semua orang membuat penulis tertarik untuk meneliti KEK di X. Adapun hal lainnya adalah berdasarkan laporan Riskesdas XXXX, didapatkan bahwa X merupakan salah satu provinsi yang memiliki angka risiko KEK yang tinggi yaitu 16.6 % yang melebihi angka nasional (13.6%), namun pada data tersebut belum diketahuinya prevalensi risiko KEK pada ibu hamil di X

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil di X tahun XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran prevalensi risiko KEK pada ibu hamil di X.
2. Diketahuinya gambaran karakteristik ibu hamil (meliputi umur, aktivitas fisik, konsumsi rokok dan penyakit infeksi) pada ibu hamil di X.
3. Diketahuinya gambaran sosial ekonomi (pendidikan ibu dan suami, pekerjaan ibu dan suami, jumlah anggota keluarga dan pengeluaran pangan) pada ibu hamil di X.
4. Diketahuinya gambaran pelayanan kesehatan pada ibu hamil di X.
5. Diketahuinya gambaran konsumsi zat gizi pada ibu hamil di X.
6. Diketahuinya hubungan antara karakteristik ibu hamil (meliputi umur, aktivitas fisik, konsumsi rokok dan penyakit infeksi) terhadap risiko KEK pada ibu hamil di X.
7. Diketahuinya hubungan antara sosial ekonomi (pendidikan ibu dan suami, pekerjaan ibu dan suami, jumlah anggota keluarga dan pengeluaran bahan pangan) terhadap risiko KEK pada ibu hamil di X.
8. Diketahuinya hubungan antara pemanfaatan pelayanan kesehatan terhadap risiko KEK pada ibu hamil di X.
9. Diketahuinya hubungan antara konsumsi energi terhadap risiko KEK pada ibu hamil di X.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Pengelola Program
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi risiko KEK pada ibu hamil di X. Selain itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan penunjang untuk mengavaluasi program yang selama ini telah dilaksanakan oleh pemerintah.
1.5.2 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan dan digunakan untuk mengembangkan keilmuan khususnya sebagai bahan untuk memperluas hasil-hasil penelitian yang telah ada sebelumnya.
1.5.3 Bagi Peneliti Lain
Dapat dijadikan sebagai sumber rujukan bagi mahasiswa lain yang akan melaksanakan penelitian.

1.6 Ruang lingkup
Kejadian KEK pada ibu hamil semakin meningkat, sehingga dapat berisiko melahirkan bayi dengan BBLR. Maka perlu dilakukan strategi untuk mengatasi masalah tersebut, untuk itu diperlukan informasi dari penelitian yang akhirnya dapat menjelaskan faktor-faktor apa saja yang dapat mengakibatkan risiko KEK pada ibu hamil. Penelitian ini termasuk dalam salah satu bidang gizi kesehatan masyarakat khususnya berkaitan dengan status gizi ibu hamil dengan desain cross sectional. Status gizi yang dimaksud adalah berkaitan dengan risiko KEK yaitu dengan pengukuran LILA. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan memanfaatkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun XXXX yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan dengan unit sampel yang telah ditentukan dan terbatas pada variabel-variabel yang telah tersedia.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:13:00

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KURANG ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DI WILAYAH PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0021) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KURANG ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DI WILAYAH PUSKESMAS X




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan Indonesia diselenggarakan dalam upaya mencapai visi "Indonesia Sehat 2010". Tujuan pembangunan kesehatan 2005-2009 diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Sesuai dengan RPJMN tahun 2004 -2009, sasaran pembangunan kesehatan yang ingin dicapai pada akhir tahun 2009 diantaranya adalah menurunnya AKB dari 35 menjadi 26 per 100.000 kelahiran hidup dan menurunnya AKI melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup ( Depkes RI, 2006 ).
Untuk mencapai visi Indonesia Sehat 2010, program perbaikan gizi masyarakat merupakan salah satu program yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Tujuan program perbaikan gizi masyarakat adalah meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, bayi dan balita serta usia produktif (Depkes RI, 2006).
Suksesnya pembangunan kesehatan dan gizi yang dilaksanakan di Indonesia telah mampu menurunkan beberapa masalah kesehatan dan gizi yang dihadapi secara bermakna. Namun dengan adanya krisis pangan yang melanda seluruh dunia yang berakibat pada mahalnya harga pangan menyebabkan daya beli masyarakat menjadi berkurang,sehingga mengakibatkan masyarakat kurang dapat memenuhi biaya pemeliharaan kesehatan serta berkurangnya ketersediaan pangan dalam keluarga. Akibat selanjutnya adalah penyakit infeksi dan kekurangan gizi menjadi meningkat.
Berdasarkan data UNICEF tahun 1997, banyak perempuan hamil (41 %) menderita KEK, yang meningkatkan kemungkinan kesakitan maternal, terutama pada trimester ketiga (bulan 7-9) dan meningkatkan risiko melahirkan BBLR. Selama masa nifas produksi ASI akan terpengaruh dan ibu akan tidak mampu merawat bayi atau dirinya sendiri (Dirjen Kesmas, Depkes 1996). Bayi kemungkinan besar akan mengalami gizi buruk, yang akan memburuk bila kepadanya tidak diberikan zat gizi untuk meningkatkan immunitas, seperti yang terkandung dalam ASI (WHO, 2007).
Menurut hasil Susenas tahun 1998, dari 35 persen wanita usia subur yang KEP ada 14 persen, di antaranya adalah ibu hamil. Sementara data Surkenas 2001 menunjukkan adanya kenaikan ibu hamil kurang gizi menjadi 19,1 persen.
Data SDKI tahun 2002 angka kematian bayi adalah 43.5 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan dari data Susenas pada tahun 1999, ibu hamil yang mengalami risiko KEK adalah 27.6 % (Depkes RI, 2005). Berdasarkan hasil Survei Garam Yodium Rumah Tangga tahun 2003, prevalensi Ibu hamil KEK di Jawa Barat adalah 14,30 %. Angka ini masih diatas prevalensi ibu hamil KEK di DKI Jakarta sekitar 13,91 % (BPS, 2003). Sedangkan berdasarkan hasil Pemetaan Masalah Ibu Hamil KEK dan Anemia di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2002 bekerja sama dengan Puslitbang Gizi Bogor, prevalensi Ibu hamil KEK di Kota X adalah 25,6 %.
Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai risiko kematian ibu mendadak pada masa perinatal atau risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Pada keadaan ini banyak ibu yang meninggal karena perdarahan, sehingga akan meningkatkan angka kematian ibu dan anak.
Berbagai penelitian semakin menunjukkan bahwa status gizi ibu tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap status kesehatan dan resiko kematian dirinya, tetapi juga terhadap kelangsungan hidup dan perkembangan janin yang dikandungnya dan lebih jauh lagi terhadap pertumbuhan janin tersebut sampai usia dewasa.
KEK dan stunting pada wanita di negara berkembang merupakan hasil komulatif dari keadaan kurang gizi sejak masa janin, bayi, dan kanak-kanaknya, dan yang berlanjut hingga masa dewasa.
Ibu kurang gizi juga dikaitkan dengan meningkatnya risiko keguguran, kematian perinatal (kematian janin usia gestasi 22 minggu sampai usia 1 minggu pasca lahir) dan neonatal (bayi usia 0-28 hari). Penyebab utama kematian neonatal tersebut adalah infeksi, asfiksia dan BBLR. Bayi yang lahir dengan BBLR sering kali mengalami kesulitan untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhannya (inadequate catch up growth). Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dikaitkan dengan risiko kematian dan kesakitan yang lebih tinggi. BBLR juga dikaitkan dengan gangguan kognitif pada masa kanak-kanak, tetapi ada penelitian yang menunjukkan bahwa pengaruh negative terhadap fungsi kognitif tersebut tidak menetap sampai masa dewasa (Achadi E.L, 2007).
BBLR adalah salah satu hasil dari ibu hamil yang menderita kurang energi kronis dan akan mempunyai status gizi buruk. BBLR berkaitan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita, juga dapat berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan perkembangan mental anak, serta berpengaruh pada penurunan kecerdasan (IQ). Setiap anak yang berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10-15 poin (BPN & WHO, 2007). Berbagai sumber menunjukkan bahwa proporsi BBLR berkisar 2-17 % selama 1990-2000 (Depkes, 2005). BBLR memiliki risiko kematian 17 kali lebih tinggi sebelum usia satu tahun dibandingkan dengan bayi berat lahir normal (Suprapti Samil, 1989). Data rumah sakit memperlihatkan angka 11 % di Jakarta atau 13 % sebagai rata-rata nasional. (WHO,2007).
Secara umum, kurang gizi pada ibu dikaitkan dengan kemiskinan, ketidakadilan gender, serta hambatan terhadap akses berbagai kesempatan dan pendidikan. Kurang gizi juga banyak dikaitkan dengan kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang adekuat, tingginya fertilitas dan beban kerja yang tinggi (Achadi, E.L, 2007).
Secara spesifik, penyebab KEK adalah akibat dari ketidakseimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi. Yang sering terjadi adalah adanya ketidaktersediaan pangan secara musiman atau secara kronis di tingkat rumah tangga, distribusi di dalam rumah tangga yang tidak proporsional dan beratnya beban kerja ibu hamil. Selain itu, beberapa hal penting yang berkaitan dengan status gizi seorang ibu adalah kehamilan pada ibu berusia muda (kurang dari 20 tahun), kehamilan dengan jarak yang pendek dengan kehamilan sebelumnya (kurang dari 2 tahun), kehamilan yang terlalu sering, serta kehamilan pada usia terlalu tua (lebih dari 35 tahun) (Achadi, E.L, 2007).

1.2. Perumusan Masalah
Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai risiko kematian ibu mendadak pada masa kehamilan atau risiko melahirkan BBLR. Pada keadaan ini banyak ibu yang meninggal karena perdarahan, sehingga akan meningkatkan angka kematian ibu dan anak.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa status gizi ibu tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap status kesehatan dan resiko kematian dirinya, tetapi juga terhadap kelangsungan hidup dan perkembangan janin yang dikandungnya dan lebih jauh lagi terhadap pertumbuhan janin tersebut sampai usia dewasa.
Tingginya angka kematian ibu di Indonesia yaitu sekitar 307 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003) dan ibu hamil yang mengalami risiko KEK sekitar 27.6 % (Susenas, 1999) serta dampak buruk yang ditimbulkan akibat terjadinya kurang gizi pada ibu hamil, maka hal ini merupakan masalah gizi yang perlu kiranya mendapat perhatian yang serius .
Berdasarkan hasil Survei Garam Yodium Rumah Tangga tahun 2003, prevalensi Ibu hamil KEK di Jawa Barat adalah 14,30 %. Angka ini masih diatas prevalensi ibu hamil KEK di DKI Jakarta sekitar 13,91 % (BPS, 2003). Sedangkan berdasarkan hasil Pemetaan Masalah Ibu Hamil KEK dan Anemia di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2002 bekerja sama dengan Puslitbang Gizi Bogor, prevalensi Ibu hamil KEK di Kota X adalah 25,6 %.
Praktikum Kesehatan Masyarakat yang dilakukan FKM khususnya Jurusan Gizi tahun XXXX mengadakan pengumpulan data gizi dan kesehatan di wilayah Kecamatan X. Kecamatan X merupakan kecamatan rawan gizi. Puskesmas X merupakan salah satu puskesmas dari empat puskesmas yang ada di Kecamatan X Jawa Barat. Wilayah kerja Puskesmas X meliputi 4 kelurahan. Puskesmas X merupakan wilayah dengan jumlah penduduk yang besar, yang kemungkinan merupakan daerah yang ikut menyumbangkan prevalensi KEK pada ibu hamil di Kota X. Selain itu tidak terdapatnya data mengenai prevalensi ibu hamil KEK di wilayah Puskesmas X dan belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya memacu penulis untuk mengadakan penelitian guna mengetahui prevalensi ibu hamil risiko KEK dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian KEK pada ibu hamil.

1.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang diajukan penulis untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian KEK pada ibu hamil di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Jawa Barat Tahun XXXX, antara lain :
1. Bagaimanakah gambaran ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Jawa Barat Tahun XXXX ?
2. Bagaimanakah gambaran sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, pengeluaran pangan keluarga), konsumsi makanan (energi dan kontribusi protein,karbohidrat dan lemak terhadap total energi), kesehatan (paritas, jarak kehamilan, frekuensi pemeriksaan kehamilan dan pengetahuan) dan demografi ( usia dan jumlah anggota keluarga ) ibu hamil di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX ?
3. Bagaimanakah hubungan faktor-faktor sosial-ekonomi, konsumsi makanan, kesehatan dan demografi dengan kejadian KEK pada ibu hamil di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX ?

1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor -faktor yang berhubungan dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Jawa Barat Tahun XXXX.
1.4.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Diketahui gambaran ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
2. Diketahui gambaran sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, pengeluaran pangan keluarga) ibu hamil di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
3. Diketahui gambaran konsumsi makanan (energi dan kontribusi protein,karbohidrat dan lemak terhadap total energi) ibu hamil di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
4. Diketahui gambaran kesehatan (paritas, jarak kehamilan, frekuensi pemeriksaan kehamilan dan pengetahuan) ibu hamil di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
5. Diketahui gambaran demografi (usia dan jumlah anggota keluarga) pada ibu hamil di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
6. Diketahui hubungan pendidikan ibu dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
7. Diketahui hubungan pekerjaan ibu dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
8. Diketahui hubungan pengeluaran pangan keluarga dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
9. Diketahui hubungan konsumsi energi dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
10. Diketahui hubungan kontribusi protein, lemak dan karbohidrat terhadap total energi dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
11. Diketahui hubungan paritas dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
12. Diketahui hubungan jarak kehamilan dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
13. Diketahui hubungan frekuensi pemeriksaan kehamilan dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
14. Diketahui hubungan pengetahuan ibu tentang gizi dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
15. Diketahui hubungan usia ibu hamil dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.
16. Diketahui hubungan jumlah anggota keluarga dengan ibu hamil risiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X Tahun XXXX.

1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana baru bagi masyarakat terutama para ibu hamil agar mempunyai gambaran tentang pentingnya memelihara kesehatan dan gizi yang memadai pada saat hamil agar terhindar dari masalah KEK yang akan berdampak buruk pada ibu maupun pada janin.
1.5.2. Bagi Pemerintah
Dengan di ketahuinya prevalensi ibu hamil berisiko KEK di wilayah Puskesmas X Kecamatan X maka pemerintah dapat menggunakan data yang ada untuk skrining yaitu menyaring ibu hamil yang akan mendapat intervensi.
1.5.3. Bagi Penulis
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi penulis guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menganalisis suatu masalah. Selain itu, penulis juga mendapatkan wacana baru tentang gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko Kurang Energi Kronis pada ibu hamil di wilayah Puskesmas X Kecamatan X.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian KEK pada ibu hamil di wilayah Puskesmas X Kecamatan X. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari hasil kegiatan Praktikum Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat tahun XXXX yang dilakukan di wilayah Puskesmas X Kecamatan X. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitik. Kegiatan Praktikum Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian cross sectional digunakan untuk memperkirakan kebutuhan kesehatan atau sikap dan perilaku kesehatan dalam masyarakat, dimana hasil penelitiannya dapat digunakan dalam perencanaan kesehatan. Pengambilan data sekunder pada penelitian ini dilakukan pada bulan April-Mei XXXX. Data yang digunakan adalah data ibu hamil yang didapat dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran antropometri.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:12:00

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEADAAN KURANG ENERGI KRONIS PD IBU HAMIL DI KABUPATEN X

(KODE KES-MASY-0020) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEADAAN KURANG ENERGI KRONIS PD IBU HAMIL DI KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Alasan Pemilihan Judul
Berbagai hasil kajian di Indonesia telah mengakui pentingnya peran seorang ibu dalam membentuk sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Pengaruh ibu terhadap kehidupan seorang anak telah dimulai selama hamil, selama masa bayi, dan berlanjut terus sampai anak memasuki usia sekolah. Pada waktu hamil gizi sangat penting untuk pertumbuhan janin yang dikandung. Gizi ibu hamil yang baik diperlukan agar pertumbuhan janin berjalan pesat dan tidak mengalami hambatan. Menurut Depkes RI (1996) yang dikutip oleh Zulhaida Lubis yang menyatakan bahwa ibu hamil dengan keadaan kurang gizi yang kronis, mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, kematian saat persalinan, perdarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan.
Status gizi ibu hamil merupakan salah satu indikator dalam mengukur status gizi masyarakat (Sjahmien Moehji, 2003: 14). Jika masukan zat gizi untuk ibu hamil dari makanan tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan terjadi defisiensi zat gizi. Kekurangan zat gizi dan rendahnya derajat kesehatan ibu hamil masih sangat rawan, hal ini ditandai masih tingginya angka kematian ibu (AKI) yang disebabkan oleh perdarahan karena anemia gizi dan kekurangan energi kronik (KEK) selama masa kehamilan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII yang berlangsung di Jakarta 17-19 Mei 2004 menyebutkan bahwa salah satu masalah gizi di Indonesia adalah bahwa masih tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) dan balita merupakan akibat masalah gizi kronis (Kesejahteraan Ibu Yang Terlupakan, 20 Desember 2004) .
Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (< 2500 gr) perlu penanganan yang serius, karena pada kondisi tersebut bayi akan menghadapi risiko kematian. Terjadinya BBLR biasanya disebabkan karena lahir premature atau kurang supply gizi waktu dalam kandungan.
Hasil penelitian Ewin Saraswati, dkk di Jawa Barat (1998) menunjukkan bahwa Kurang Energi Kronis (KEK) pada batas 23,5 cm belum merupakan risiko untuk melahirkan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Sedangkan ibu hamil dengan KEK pada batas 23 cm mempunyai risiko 2,0087 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai Lingkar Lengan Atas (LILA) lebih dari 23 cm. Dari penelitian Rosmeri (2000) menunjukkan bahwa ibu dengan status gizi kurang (kurus) sebelum hamil mempunyai risiko 4,27 kali untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai status gizi baik (Zulhaida Lubis, 2003: 6).
Status gizi ibu hamil dipengaruhi oleh berbagai faktor karena pada masa kehamilan banyak terjadi perubahan pada tubuhnya yaitu adanya peningkatan metabolisme energi dan juga berbagai zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin yang ada dalam kandungannya. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah jumlah makanan, beban kerja, pelayanan kesehatan, status kesehatan, absorbsi makanan, paritas dan jarak kelahiran, konsumsi kafein, konsumsi tablet besi (Soetjiningsih, 1995: 103). Apabila dalam masa kehamilan tingkat status gizinya rendah, maka akan mengakibatkan kehamilan yang berisiko, untuk mengurangi risiko tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya status gizi buruk terutama KEK.
Dari hasil observasi yang dilakukan pada bulan September XXXX diperoleh data dimana kejadian status gizi buruk khususnya yang menderita KEK pada ibu hamil sejumlah 452 dari 4.802 ibu atau 9,41%. Yang berarti kejadian ibu hamil KEK di Kabupaten X mengalami peningkatan dari 5,9% (2003) menjadi 9,41% pada tahun XXXX (Dinkes X). Dengan adanya hal tersebut maka mendorong peneliti untuk menggali faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX.

1.2. Permasalahan
1.2.1. Umum
Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.2.2. Khusus
1.2.2.1. Apakah jumlah energi yang dikonsumsi berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.2.2.2. Apakah paritas berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.2.2.3 Apakah jarak kelahiran berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.2.2.4. Apakah usia ibu berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.2.2.5. Apakah penyakit infeksi berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.2.2.6. Apakah beban kerja berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.2.2.7. Apakah pengetahuan ibu hamil tentang gizi ibu hamil berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.2.2.8. Apakah pendapatan keluarga berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.2.2.9. Apakah pantangan terhadap makanan pada ibu hamil berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui hubungan antara jumlah energi yang dikonsumsi dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX.
1.3.2.2 Untuk mengetahui hubungan antara paritas dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX.
1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan antara jarak kelahiran dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX.
1.3.2.4 Untuk mengetahui hubungan antara usia ibu dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX.
1.3.2.5 Untuk mengetahui hubungan antara penyakit infeksi dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX.
1.3.2.6 Untuk mengetahui hubungan antara beban kerja dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.3.2.7 Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu hamil tentang gizi dan kesehatan ibu hamil dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.3.2.8 Untuk mengetahui hubungan antara pendapatan keluarga dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?
1.3.2.9 Untuk mengetahui hubungan antara pantangan terhadap makanan pada ibu hamil dengan keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di Kabupaten X tahun XXXX?

1.4. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah:
** tabel sengaja tidak ditampilkan **

1.5. Kegunaan Hasil Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.5.1 Bagi penulis:
1.5.1.1 Menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat khususnya di bidang kesehatan ibu dan anak
1.5.1.2 Penulis mampu menerapkan teori yang didapat selama kuliah khususnya mata kuliah penilaian status gizi.
1.5.2 Bagi lembaga pendidikan:
Menambah bahan untuk kepustakaan dan menambah informasi mengenai status gizi ibu hamil.
1.5.3 Bagi masyarakat:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi yang dapat memberikan motivasi masyarakat untuk dapat lebih berperan dalam bidang kesehatan khususnya bidang gizi kesehatan masyarakat.
1.5.4 Bagi pemerintah:
1.5.4.1 Memberi masukan kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijaksanaan program-program kegiatan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
1.5.4.2 Memberikan informasi mengenai kesehatan penduduk khususnya status gizi ibu hamil.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:10:00

SKRIPSI PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DALAM KUHP DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(KODE ILMU-HKM-0050) : SKRIPSI PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DALAM KUHP DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pesatnya arus globalisasi, maraknya industrialisasi dan adanya perdagangan bebas membuat banyak perubahan terhadap kondisi umat manusia. Hal ini juga berakibat pada makin marak dan beragamnya tindak-tindak pidana yang terjadi. Tindak pidana tersebut tidak hanya menyentuh ranah publik tetapi juga ranah pribadi individu manusia. Adanya ketidakseimbangan ekonomi yang semakin lebar menjadi salah satu faktor utama penyebab berbagai macam tindak pidana. Salah satu pihak yang paling dirugikan akibat hal tersebut adalah perempuan. Apalagi budaya kita, yang cenderung patriarkis, sering menempatkan perempuan sebagai pihak yang lemah.
Perempuan, sering menjadi korban kekerasan karena seksualitasnya sebagai seorang perempuan. Banyak hasil penelitian dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan bagaimana lemahnya posisi perempuan ketika mengalami kekerasan terhadap dirinya. Perempuan, termasuk juga anak perempuan, sangat rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya, di ruang-ruang publik, tempat bekerja, bahkan dirumahnya sendiri. Dan hal itu akan semakin bertambah bila perempuan berada dalam status sosial dan ekonomi yang rendah, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang tidak memadai, tidak memiliki akses terhadap informasi, atau karena perempuan itu masih berada di bawah umur.
Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat adanya peningkatan hampir dua kali lipat angka kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2004 dibandingkan tahun sebelumnya. Kalau tahun 2003 tercatat yang hanya 7.787 kasus, tahun lalu mencapai 14.020 kasus (Tempo Interaktif, 7 Maret 2005).
Berdasarkan lokasi terjadinya, kekerasan terhadap perempuan dominan terjadi di dalam ru i sebetulnya diharapkan dapat memberikan rasa aman. Data dari Komnas Perempuan, menunjukkan bahwa pada tahun 2004 sebanyak 4.310 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di dalam rumah. Jika diketahui sebagian dari kasus dalam kategori rumah tangga atau komunitas mencakup insiden kekerasan yang terjadi di dalam rumah, maka dapat dikatakan inilah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol secara kuantitatif untuk seluruh tahun 2004. Yang patut disesalkan adalah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan selama ini dianggap sebagai masalah yang wajar dan tidak dianggap sebagai tindak pidana kejahatan, karena terjadinya kekerasan itu sering dianggap sebagai kesalahan perempuan itu sendiri.
Akibat lain dari pesatnya arus globalisasi, industrialisasi dan perdagangan bebas adalah juga membawa serta terjadinya interaksi dan saling mempengaruhi antara hukum internasional, nasional dan lokal (hukum adat, kebiasaan). Tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang menjadi isu global telah diatur pula dalam instrumen-instrumen hukum internasional dan berbagai kebijakan-kebijakan internasional.
Hal ini dapat dilihat secara nyata dari ditetapkannya sejumlah instrumen-instrumen hukum internasional sehubungan dengan fenomena tindak kekerasan terhadap perempuan, antara lain:
a. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979)
b. Vienna Declaration and Programme of Action (1993)
c. Declaration on the Elimination of Violence Against Women (1993)
d. Beijing Declaration and Platform for Action (1995)
Konferensi Dunia tentang Wanita ke-4 di Beijing tahun 1995 menyepakati tentang 12 masalah kritis yang dihadapi dunia wanita, salah satunya adalah masalah tindak kekerasan terhadap wanita. Dalam hal ini ada kebulatan tekad yang disusun dalam bentuk Deklarasi Beijing, dengan salah satu pasal adalah untuk mencegah dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Di dalam Platform for Action yang disepakati pada Konferensi Beijing tersebut direkomendasikan bahwa program untuk menanggulangi kekerasan ini agar dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan strategis:
a. secara integratif melakukan tindakan nyata untuk mencegah dan menghilangkan tindak kekerasan terhadap wanita
b. dilakukan studi penyebab dan konsekuensi tindak kekerasan terhadap wanita serta effectiveness dari tindakan pencegahan yang dilakukan
c. menghilangkan perdagangan wanita (trafficking in women) dan penyiapan dukungan bagi korban kekerasan sebagai akibat pelacuran dan perdagangan wanita (Endang Sumiarni, 2005 : 3)
Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita ke dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Sebagai Negara-Peserta, adalah merupakan kewajiban bagi Indonesia, seperti dalam perspektif hukum internasional, untuk mentaati segala ketentuan dan prosedur yang menjadi ketetapan dalam instrumen tersebut. Sebagai anggota aktif dari PBB, Indonesia mempunyai kewajiban moral untuk melaksanakan ketentuan serta melakukan tindakan yang ditetapkan dalam Deklarasi yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB.
Namun sangat disayangkan bahwa masih banyak ketentuan-ketentuan, prosedur maupun langkah-langkah yang ditetapkan dalam instrumen-instrumen hukum internasional yang diratifikasi oleh Indonesia tidak ditaati atau tidak dilaksanakan di Indonesia. Bahwa disisi lain Indonesia telah mempunyai Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, namun sayangnya pemerintah sepertinya setengah hati dalam mewujudkan undang-undang ini.
Tahun 2004 merupakan tahun terobosan karena pada tanggal 22 September 2004 telah disahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT). Undang-undang ini berdiri diluar KUHP sebagai undang-undang pidana khusus.
Walaupun ada pihak yang kurang setuju dengan pengesahan undang-undang ini karena dianggap menyentuh ranah pribadi individu-individu mengingat hukum pidana sebagai hukum publik, dan bahwa apa yang terdapat dalam KUHP sudah cukup untuk menjerat para pelaku tindak pidana ini, namun tidak sedikit juga yang mendukung pengesahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ini sebagai suatu terobosan. Hal ini karena tidak adanya peraturan perundang-undangan yang khusus memberikan perlindungan kepada mereka yang menjadi korban kekerasan, terutama ketika kita menghadapi kasus-kasus seperti kekerasan domestik (domestic violence) atau kekerasan seksual.
Perbuatan-perbuatan yang termasuk sebagai kekerasan domestik secara khusus memang belum diatur dalam KUHP sehingga kejahatan tersebut juga belum banyak terungkap di pengadilan maupun dalam data statistik kriminal di kepolisian. Meskipun kejahatan ini terjadi di banyak tempat, kejahatan ini masih tersembunyi dalam kehidupan masyarakat dan terlindung dari intervensi dunia luar, karena nilai patriarki yang mewarnai sikap dan kultur kehidupan kebanyakan keluarga di Indonesia (Satjipto Raharjo, 1998).
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan dialami perempuan yang dirasa kurang mendapat perlindungan, dalam proses penyelesaiannya mau tidak mau harus menggunakan hukum positif yang berlaku untuk menuntut para pelaku tindak pidana ini, dalam hal ini KUHP.
Sedikitnya ada tiga masalah utama yang menonjol, yaitu:
1. banyaknya fakta kasus kekerasan dalam rumah tangga yang secara tidak adil dibiarkan berlangsung tanpa ada solusi penyelesaian.
2. bahwa perempuan menjadi korban terbanyak di antara korban kekerasan dalam rumah tangga lainnya.
3. bahwa hukum di Indonesia tidak secara tegas melarang kejahatan dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga, sehingga upaya pencegahan dan penanggulangan masalah ini tidak tampak (Rita Selena Kolibonso, 1999)
Dalam banyak kasus, diketahui bahwa hukum pidana kita tidak dapat sepenuhnya dijadikan acuan bagi pembelaan terhadap perempuan korban kekerasan. Padahal disisi lain penegak hukum sangat terikat pada asas legalitas, sehingga undang-undang dibaca sebagaimana huruf-huruf itu berbunyi, dan sangat sulit memberikan interpretasi yang berbeda bahkan ketika harus berhadapan dengan kasus-kasus yang berkaitan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak jarang, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan terkena imbas dari sistem peradilan yang tidak netral, seperti misalnya terkait persoalan politik dan uang. Oleh karena itu diharapkan dapat muncul pemikiran-pemikiran baru dan terobosan-terobosan yang dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi para pencari keadilan khususnya dalam hal ini, perempuan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: "PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DALAM KUHP DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA."

B. Pembatasan Masalah
Guna memberikan gambaran yang terfokus mengenai obyek bahasan penelitian dalam penulisan hukum ini, dan untuk menghindari terjadinya perluasan dan kekaburan masalah yang diteliti sebagai akibat dari luasnya ruang lingkup penelitian, maka penulis hanya akan membatasi dan mengkaji tentang perlindungan hukum ini ditinjau dari aspek tindak pidana kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan saja.

C. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.
Dalam penelitian ini, perumusan dari masalah-masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan wanita dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
2. Bagaimanakah perbandingan pengaturan perlindungan wanita dalam KUHP dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

D. Tujuan Penelitian
Menyadari bahwa setiap penelitian harus mempunyai tujuan tertentu, demikian pula penelitian ini yang mempunyai tujuan obyektif dan subyektif sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap wanita dalam KUHP dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
b. Untuk mengetahui perbandingan pengaturan perlindungan wanita dalam KUHP dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum pidana khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap wanita yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta terkhusus dalam hukum pidana dalam kaitannya terhadap pemberian perlindungan hukum terhadap wanita dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terutama yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta guna menambah literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah mengingat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih merupakan bahasan yang tergolong baru dalam penerapan hukum di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh b. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti
c. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang diteliti

F. Metode Penelitian
Dalam mencari data mengenai suatu masalah, diperlukan suatu metode yang bersifat ilmiah yaitu metode penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.
Metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu. Sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. (Sutrisno Hadi, 1989: 4)
Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. 1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Senada dengan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup:
a) Penelitian terhadap asas-asas hukum
b) Penelitian terhadap sistematik hukum
c) Perbandingan hukum
d) Sejarah hukum (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 15)
2. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas.
Menurut Soerjono Soekanto, data sekunder di bidang hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier (Soerjono Soekanto, 2001:13)
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti:
a) Hasil karya ilmiah para sarjana
b) Hasil-hasil penelitian
c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif dan sebagainya.
3. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian dapar diperoleh. Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik atau catatan-catatan resmi, yaitu dokumen peraturan perundang-undangan yang dapat memuat tentang perlindungan hukum terhadap perempuan. Dalam hal ini sumber data yang digunakan adalah KUHP dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Selain sumber data yang berupa undang-undang negara maupun peraturan pemerintah, data juga diperoleh dari makalah-makalah, buku-buku referensi dan artikel media massa yang mengulas tentang perlindungan hukum terhadap wanita.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
5. Teknik Analisis Data
Agar data yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan, maka perlu suatu teknik analisis data yang tepat.
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 1993).
Berdasarkan judulnya, maka teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi, berupa teknik yang digunakan dengan cara melengkapi analisis dari suatu data sekunder. Menurut Krippendorf, analisis isi yaitu serangkaian metode untuk menganalisa isi segala bentuk komunikasi dengan mereduksi seluruh isi komunikasi menjadi serangkaian kategori yang mewakili hal-hal yang ingin diteliti.
Analisis isi dalam penelitian ini adalah mengklasifikasikan pasal-pasal dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ke dalam kategori yang telah ditentukan. Setelah itu, hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh.

G. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum ditujukan untuk dapat lebih memberikan gambaran yang lebih jelas, komprehensif dan menyeluruh mengenai bahasan dalam penulisan hukum yang akan disusun. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang hukum pidana pada umumnya, tentang tindak pidana, tinjauan tentang perbandingan hukum, tinjauan umum tentang kekerasan terhadap perempuan dan tinjauan umum tentang kekerasan dalam rumah tangga.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ketiga akan berisi tentang pokok-pokok permasalahan yang ingin diungkap berdasarkan rumusan masalah, yaitu berupa pokok-pokok pengaturan perlindungan hukum terhadap wanita dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan kelemahan-kelemahan kedua undang-undang tersebut.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:30:00