Cari Kategori

SKRIPSI STUDI KOMPARASI ANTARA GURU YANG BELUM SERTIFIKASI DENGAN GURU SUDAH SERTIFIKASI TERHADAP PROFESIONALISME GURU

(KODE PEND-AIS-0032) : SKRIPSI STUDI KOMPARASI ANTARA GURU YANG BELUM SERTIFIKASI DENGAN GURU SUDAH SERTIFIKASI TERHADAP PROFESIONALISME GURU


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya dalam proses belajar mengajar (PBM) itu terdiri dari tiga komponen, yaitu : pengajar (Dosen, Guru, Instruktur, dan Tutor) siswa yang belajar dan bahan ajar yang di berikan oleh pengajar. Peran pengajar sangat penting karena ia berfungsi sebagai komunikator, begitu pula siswa berperan sebagai komunikan.
Semua orang yakin bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan proses pembelajaran di sekolah, dari tangan guru peserta didik akan dibentuk sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya. Minat bakat kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik digali dan dikembangkan oleh guru, tanpa bantuan guru, minat bakat, kemampuan dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal.2 Dalam hal ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual, karena perbedaan kemampuan dan potensi yang ada pada peserta didik antara satu dan yang lainnya tidak sama. Masing-masing mempunyai kemampuan dan potensi sendiri-sendiri, oleh sebab itu dalam pengembangan potensinya guru harus benar-benar jeli dalam memperhatikannya agar dapat tersalurkan dengan baik.
Sejak orang tua mendaftarkan ke sekolah, pada saat itu pula mereka menaruh harapan besar kepada guru agar dapat mendidik anaknya dengan baik. Harapan dari setiap orang tua pasti menginginkan anaknya dapat berkembang secara optimal, tersalurkan bakat dan kemampuannya dengan baik. Sehingga mereka benar-benar menjadi individu-individu berkualitas yang dapat membanggakan orang tuanya dan semua orang yang ada di sekitarnya.
Dengan diketahuinya potensi yang ada pada diri anak didik, maka ini akan dapat mempermudah guru dalam mengarahkan siswa, agar menjadi siswa yang berprestasi di bidangnya. Akan tetapi untuk dapat mengarahkan anak pada minat, bakat dan kompetensi siswa, bukanlah hal yang mudah. Guru harus pandai-pandai memfasilitasi anak didiknya dengan baik. Untuk itulah mengapa peran guru sangat penting dalam mutu pendidikan, karena mutu pendidikan amat ditentukan oleh mutu gurunya. Menurut Abdul Malik Fajar dengan tegas bahwa "guru adalah yang utama".
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan aspek utama yang ditentukan adalah kualitas guru. Untuk itu upaya awal yang dilakukan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah kualitas guru. Kualifikasi pendidikan guru sesuai dengan persyaratan minimal yang ditentukan oleh syarat-syarat seorang guru yang profesional.
Guru profesional yang dimaksud adalah guru yang berkualitas, berkompetensi, dan guru yang tahu secara dalam tentang apa yang dikerjakannya, cakap dalam cara mengajarkannya secara efektif dan efisien, dan guru tersebut berkepribadian mantap. Menyadari akan penting profesionalisme dalam pendidikan, maka Ahmad Tafsir mendefmisikan profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan hams dilakukan oleh orang yang profesional.
Akan tetapi melihat realitas yang ada, keberadaan guru profesional sangat jauh dari apa yang dicita-citakan. Menjamurnya sekolah-sekolah yang rendah mutunya memberikan suatu isyarat bahwa guru profesional hanyalah sebuah wacana yang belum terealisasi secara merata dalam selumh pendidikan yang ada di Indonesia. Hal itu menimbulkan suatu keprihatinan yang tidak hanya datang dari kalangan akademis, akan tetapi orang awam sekalipun ikut mengomentari ketidak beresan pendidikan dan tenaga pengajar yang ada. Kenyataan tersebut menggugah kalangan akademis, sehingga mereka membuat pemmusan untuk meningkatkan kualifikasi guru melalui pemberdayaan dan peningkatan profesionalisme guru dari pelatihan sampai dengan inkuiri agar guru memiliki kualifikasi pendidikan minimal strata satu (S-l).
Yang menjadi permasalahan bam adalah guru hanya memahami instmksi tersebut sebagai formalitas untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang sifatnya administratif. Sehingga kompetensi guru profesional dalam hal ini tidak menjadi prioritas utama. Dengan pemahaman tersebut, konstribusi untuk siswa menjadi kurang diperhatikan bahkan terabaikan.
Peningkatan mutu guru merupakan upaya yang amat kompleks karena melibatkan banyak komponen yang diawali dari proses pemilihan kualitas calon guru yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), rendahnya SKG amat ditunggu oleh banyak guru dan penyelenggaraan pendidikan di daerah, meskipun SKG ini bukanlah tujuan akhir akan tetapi SKG ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan apakah guru itu dapat disebut berkualitas atau tidak. Dengan SKG ini akan terbuka lebar-lebar kemungkinan untuk mendongkrak mutu guru, selain itu juga dapat memiliki ukuran yang sangat jelas tentang profil guru yang diperlukan serta untuk menentukan guru yang bagaimana yang dapat diberi sertifikat. Sebagai guru kompetensi berdasarkan jenjang pendidikan dan pelatihan tingkat dasar, lanjut, menengah dan tinggi yang telah mereka ikuti.
Bertolak kondisi itulah pemerintah memunculkan program sertifikasi guru, yang tertuang dalam undang-undang No. 14 tentang 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Dimana di dalamnya disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik berhak mendapatkan intensif yang bempa tunjangan profesi.6 Pemberian tunjangan profesi ini tidak hanya guru yang bertugas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tetapi juga guru non PNS. Selama yang bersangkutan memiliki sertifikat pendidik, harapan pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan baik dan sisi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan.
Wujud sertifikasi guru yang menjadi harapan bahwa guru akan menjadi profesional, tetapi khalayak di lapangan terdapat persoalan yang krusial yang mengitarinya di antaranya soal profesionalisme. UUGD, yang dilahirkan dari UU Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 20 tahun 2003, ini memberikan garis tegas bahwa guru yang profesional adalah guru yang memiliki sertifikat pendidik. Sebaliknya akta 4 tidak lagi menjadi standar profesionalisme guru, tapi syarat mengikuti sertifikasi, pendidik, secara prosedural, tidak semua guru dapat mengikuti sertifikasi ini. Pemerintah melalui dinas pendidikan provinsi atau kota, mengadakan seleksi dari tiap komite sekolah untuk menentukan jumlah kuota yang layak mengikuti sertifikasi guru ini tidak mudah di lakukan. Guru di seleksi ketat dengan mempertimbangkan kelayakan mengikuti sertifikasi. Tetapi manipulasi dokumen bisa jadi merupakan jalan pintas untuk ikut merayakan sertifikasi, profesional guru pada peserta didik dan komite sekolah di korbankan.
Masalah lain yang di temukan penulis adalah sebagian kecil, seorang pendidik yang sudah tersertifikasi, memanfaatkan guru honorer untuk memenuhi tugasnya tanggung jawabnya sebagai pendidik atau membagi jam mengajar. Sehingga yang menjadi imbasnya adalah siswa sebagai anak didik tidak mendapatkan hasil pembelajaran yang maksimal. Padahal siswa ini adalah sasaran pendidikan yang dibentuk melalui bimbingan, keteladanan, bantuan, latihan, pengetahuan yang maksimal, kecakapan, ketrampilan, nilai, sikiap yang baik dari seorang guru.
Melihat wacana di atas, sangat terlihat bahwa sertifikasi guru belum tentu bisa menjadi tolak ukur profesionalisme dasar wacana yang ada di kalangan masyarakat mengenai masalah sertifikasi terhadap profesionalisme guru atau sebaliknya, dengan melakukan suatu penelitian.
Berdasarkan dugaan peneliti pada umumnya kondisi yang ada masih terdapat guru yang belum profesional. Kompetensi guru yang ada di sekolah tersebut belum sepenuhnya memenuhi kriteria sebagaimana yang diinginkan oleh persyaratan guru profesional. Oleh karena itu, pemerintah mengadakan program sertifikasi keguruan dengan mensyaratkan memilih kualifikasi pendidikan minimal S-l sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan pembahasannya dalam bentuk skripsi yang berjudul "Studi Komparasi antara Guru yang belum Sertifikasi dengan Guru sudah Sertifikasi terhadap Profesionalisme Guru SMP Negeri X".

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keberadaan sertifikasi guru SMP Negeri X?
2. Bagaimana profesionalisme guru pada di SMP Negeri X?
3. Adakah perbandingan profesionalisme guru yang belum sertifikasi dengan guru sudah sertifikasi di SMP Negeri X?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana keberadaan atau aplikasi sertifikasi guru di SMP Negeri X
2. Untuk mengetahui tingkat profesionalisme guru di SMP Negeri X
3. Untuk mengetahui adakah komparasi antara guru yang belum sertifikasi dengan guru sudah sertifikasi terhadap profesionalisme guru di SMP Negeri X
Adapun manfaat yang hendak dicapai dari hasil penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini berguna bagi kepala sekolah untuk lebih meningkatkan profesionalisme guru baik yang belum sertifikasi dan sudah sertifikasi
2. Melalui penelitian ini diharapkan guru mampu meningkatkan kualitas personal dan profesional sebagai pendidik
3. Penelitian ini akan memberi gambaran dan acuan tentang prosedur, tugas dan hak guru sebagai guru yang profesional, baik yang belum sertifikasi maupun yang sudah sertifikasi.
4. Bagi lembaga (instansi) yang terkait, diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam meningkatkan kaderisasi pendidik baik untuk saat ini maupun yang akan datang
5. Bagi penulis, dapat menambah dan mendapat informasi baru mengenai dan pengetahuan tentang dampak sertifikasi terhadap profesionalisme guru.
Dengan demikian, dapat memberi masukan dan pembekalan untuk proses ke depan.

D. Asumsi Penelitian
Alasan penulis memilih atau mengambil judul ini adalah yang pertama, penulis sangat tertarik dengan pembahasan terkait dengan sertifikasi guru. Yang mana kembali pada diri kita, orientasi ke depan sebagai pendidik atau guru. Kalau kita menanyakan setiap kelompok orang seperti yang dilakukan pada acara di televisi apa istilah yang saat ini (edisi pertengahan 2006 sampai sekarang) paling banyak diperbincangkan, bahkan paling banyak diangkat sebagai topik suatu seminar dari para kalangan guru di Indonesia? Diduga jawabannya akan mengarah pada sertifikasi guru. Yang dilindungi oleh Undang-Undang nomer 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen (UUGD) yang disahkan pada Desember 2005 tahun lalu, guna mensejahterakan guru dan dosen. Kedua, tentang profesionalisme guru, penulis berpendapat bahwa profesionalisme guru dalam pendidikan sangat berpengaruh terhadap proses kegiatan belajar mengajar. Yang mana penulis berpendapat bahwa kegagalan pendidikan di indonesia ini salah satu penyebabnya adalah tingkat profesionalisme guru yang kurang baik.

E. Batasan Masalah
Agar masalah dalam penelitian ini lebih fokus dan tidak menyimpang dari apa yang ingin diteliti maka penulis membatasi penelitian pada pembahasan sebagai berikut:
1. Secara garis besar, permasalahan yang menyangkut dengan sertifikasi guru yang sangat kompleks sekali. Adapun pada skripsi ini, sertifikasi guru yang dimaksud adalah guru yang lulus sertifikasi dan guru yang belum sertifikasi antara tahun 2006 sampai 2009 diperkuat dengan Undang-Undang Guru Dosen (UUGD) dan Peraturan Pemerintah (PP) beserta tolak ukur kelulusan sertifikasi.
2. Sedangkan profesionalisme guru yang dimaksud dalam skripsi ini adalah profesionalisme guru yang mempunyai kompetensi dan berkualitas.
Kompetensi guru yang akan diteliti dalam skripsi ini dibagi dalam empat kategori, yakni: merencanakan program belajar mengajar, menguasai bahan pelajaran, melaksanakan dan memimpin atau mengelola proses belajar mengajar serta menilai kemajuan proses belajar mengajar.

F. Definisi Operasional
Untuk mempermudah dalam memahami pengertian istilah judul skripsi ini dan agar tidak terjadi kesimpangsiuran perlu penulis tegaskan istilah-istilah dalam judul di atas yaitu:
1. Guru : orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesi) mengajar.
Memiliki kompetensi menganalisa dan mengarahkan anak didik, untuk dapat mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik secara optimal, sehingga benar-benar menghasilkan siswa yang berkualitas tidak cukup sampai di situ, proses belajar mengajar yang menyenangkan merupakan hal terpentig dalam pendesainan belajar dengan murid-murid.
2. Sertifikasi : proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen atau bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
3. Profesionalisme : Upaya yang mengarah terhadap pelaksanaan kerja secara profesional.

G. Sistematika Pembahasan
Sistematika penelitian skripsi ini penulis membagi pembahasannya menjadi 6 bab, yaitu :
Bab I : Membahas tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, asumsi penelitian, batasan masalah, definisi operasional dan sistematika
Bab II : Pembahasan ; Membahas tentang kajian teori tentang studi komparasi antara guru yang belum sertifikasi dengan guru sudah sertifikasi terhadap profesionalisme guru di SMP Negeri X yang meliputi :
1. Pembahasan tentang sertifikasi yaitu; pengertian sertifikasi, tujuan dan sasaran sertifikasi, prinsip sertifikasi guru.
2. Pembahasan tentang profesionalisme guru yaitu ; pengertian profesionalisme guru, Aspek guru islam profesional, kriteria guru profesional, kriteria guru profesional, dan indikator guru yang profesional.
Bab III : Metode penelitian meliputi; jenis penelitian, rancangan penelitian, populasi dan sampel, instrumen penelitian, dan analisis data.
Bab IV : Hasil penelitian meliputi; deskripsi data, analisis data dan pengujian Hipotesis.
Bab V : Pembahasan dan diskusi penelitian
Bab VI : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:41:00

SKRIPSI STUDI KORELASIONAL TENTANG KEGIATAN EMPLOYEE RELATIONS DAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN DI PT. X

(KODE ILMU-KOM-0028) : SKRIPSI STUDI KORELASIONAL TENTANG KEGIATAN EMPLOYEE RELATIONS DAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN DI PT. X


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap organisasi, baik organisasi non-profit ataupun organisasi profit tentunya memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tersebut maka dibutuhkan kerjasama yang baik di antara sumber daya yang terdapat dalam organisasi. Salah satu sumber daya yang terdapat dalam organisasi adalah karyawan. Karyawan merupakan salah satu anggota organisasi yang dapat menentukan keberhasilan sebuah organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Tanpa adanya dukungan yang baik dari para karyawan maka organisasi akan sulit dalam mencapai tujuan-tujuannya. Karyawan dapat berkerja dengan baik apabila di dalam organisasinya terdapat bentuk hubungan dan komunikasi yang baik antara perusahaan yang diwakili oleh pihak manajemen dan para karyawan sebagai bawahannya.
Komunikasi memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik secara individu, kelompok, maupun dalam organisasi. Komunikasi dalam organisasi memiliki kompleksitas yang tinggi, yaitu bagaimana menyampaikan informasi dan menerima informasi merupakan hal yang tidak mudah, dan menjadi tantangan dalam proses komunikasinya. Dalam komunikasi organisasi, aliran informasi merupakan proses yang rumit, karena melibatkan seluruh bagian yang ada dalam organisasi. Informasi tidak hanya mengalir dari atas ke bawah, tetapi juga sebaliknya dari bawah ke atas dan juga mengalir diantara sesama karyawan.
Untuk membentuk kerjasama yang baik antara organisasi dan para anggota, maka dibutuhkan bentuk hubungan serta komunikasi yang baik antara para anggota organisasi.
Organisasi tidak mungkin berada tanpa komunikasi. Apabila tidak ada komunikasi, koordinasi kerja tidak mungkin dilakukan. Sehingga dapat menyebabkan kejenuhan bekerja pada diri karyawan. Komunikasi dalam organisasi merupakan bentuk interaksi pertukaran pesan antar anggota organisasi, baik komunikasi secara verbal maupun non verbal. Dalam fungsi public relations terdapat berbagai macam bentuk hubungan yang dapat dilakukan. Diantaranya yang umum dilakukan adalah, community relations, government relations, consumer relations, investor relations, media relations dan employee relations. Semua bentuk hubungan-hubungan tersebut diatur oleh public relations, dengan tujuan untuk mencapai pengertian public {public understanding), kepercayaan publik {public confidence), dukungan public (public support), dan kerjasama publik (public cooperation).
Salah satu bentuk hubungan dalam public relations yang mengatur hubungan antara perusahaan dan para karyawannya adalah employee relations. Employee relations dilakukan antara lain adalah untuk menciptakan bentuk hubungan atau komunikasi dua arah yang baik antara pihak manajemen dengan para karyawannya dalam upaya membina kerjasama dan hubungan yang harmonis di antara keduanya. Sehingga apabila suatu hubungan komunikasi sudah dapat berjalan dengan baik maka diharapkan aka nada peningkatan kerja dalam perusahaan. Dengan kata lain, employee relations bertujuan untuk mencapai saling pengertian (mutual understanding), kerjasama (relationship) serta loyalitas diantara pihak manajemen dengan para karyawannya.
Aktivitas employee relations yang berlangsung dalam organisasi akan berdampak langsung terhadap iklim komunikasi dalam organisasi tersebut. Iklim komunikasi yang di dalamnya terdapat komunikasi yang merupakan hasil dari persepsi karyawan terhadap kegiatan komunikasi yang berlangsung di dalam perusahaan. Dengan demikian apabila karyawan mempersepsikan bahwa aktivitas employee relations yang berlangsung dalam organisasi tidak menciptakan iklim komunikasi dalam kondisi yang baik di dalam organisasi, tentunya hal tersebut dapat memberikan pengaruh negatif terhadap perilaku dan partisipasi karyawan dalam perusahaan. Sehingga hal tersebut mempengaruhi usaha organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Iklim komunikasi tertentu memberi pedoman bagi keputusan dan perilaku individu. Keputusan-keputusan yang diambil oleh karyawan untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, untuk mengikatkan diri mereka dengan organisasi, untuk bersikap jujur dalam berkerja, untuk mendukung para rekan sekerja lainnya untuk melaksanakan tugas secara kreatif, dan untuk menawarkan gagasan-gagasan inovatif organisasi, semua ini dipengaruhi oleh iklim komunikasi.
Kegiatan employee relations bertujuan untuk mencipatakan iklim komunikasi yang dapat membantu mencapai tujuan perusahaan, yaitu iklim komunikasi yang dapat berkembang dengan baik, iklim komunikasi yang dapat meningkatkan saling keterbukaan dan hubungan baik antara pihak manajemen dan setiap karyawan, iklim komunikasi yang berorientasi pada kepentingan karyawan, dan dapat membangkitkan minat dan semangat kerja yang mengarahkan pada produktivitas kerja karyawan.
Pembahasan mengenai iklim komunikasi maka tidak lepas dari kepuasan kerja yang merupakan hasil dari iklim organisasi yang terdapat dalam organisasi. Kepuasan kerja ini cenderung menyoroti tingkat kepuasan individu dalam lingkungan komunikasinya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa iklim komunikasi tertentu memiliki pengaruh terhadap keputusan dan perilaku karyawan di dalam organisasinya. Maka setiap organisasi harus dapat melakukan kegiatan employee relations yang dapat menciptakan kepuasan komunikasi yang kemudian akan menjadikan kepuasan bekerja pada diri karyawan.
Menurut McNamara (1997:107), keterampilan mengelola rapat merupakan perjalanan menuju komunikasi yang efektif yang merupakan salah satu prinsip-prinsip pokok komunikasi informal organisasi. Pertemuan-pertemuan dinas yang melibatkan para staff dan pegawai, baik itu yang diselenggarakan di markas besar maupun di kantor-kantor cabang, dan juga konferensi tingkat nasional, merupakan acara berkumpul yang bermanfaat untuk menggalang kebersamaan dan keakraban, sekaligus untuk menciptakan hubungan yang baik antara pihak manajemen dengan para pegawai. Dalam acara-acara tersebut, berlangsung suatu bentuk komunikasi yang paling efisien, yakni komunikasi tatap muka (Frank Jefkins, 2005: 176-177).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka kegiatan yang dapat mempertemukan antara karyawan dengan atasannya adalah salah satu bentuk aktivitas employee relations yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Salah satu bentuk employee relations adalah pertemuan rutin antara karyawan dengan atasanya seperti regular meeting. Regular meeting merupakan bentuk dari employee relations yang dilakukan perusahaan untuk membentuk iklim komunikasi yang positif dengan memelihara hubungan yang harmonis antara perusahaan atau pihak manajemen dengan para karyawannya.
Dalam penelitian ini penulis memilih PT CIMB NIAGA Tbk cabang X sebagai objek penelitian. Alasan-alasan penulis dalam memilih PT CIMB NIAGA Tbk cabang X sebagai objek penelitian adalah, karena PT CIMB NIAGA Tbk cabang X adalah grup perusahaan PT CIMB Niaga Tbk yang secara rutin melakukan aktivitas employee relations dalam bentuk regular meeting. Kegiatan regular meeting tersebut berlangsung secara rutin, setidaknya satu kali dalam setiap minggu. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian ini.
Menurut pendapat dari beberapa karyawan mengenai kegiatan regular meeting yang selama ini dilakukan, mereka mengatakan bahwa regular meeting yang rutin dilakukan memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan dalam lingkungan pekerjaan mereka. Mereka menilai bahwa regular meeting merupakan media yang baik untuk menjalin hubungan baik antara sesama karyawan, atau atasan dengan bawahannya. Melalui regular meeting karyawan juga mendapatkan informasi-informasi penting mengenai pekerjaan ataupun mengenai kebijakan-kebijakan baru dari perusahaan. Disamping itu ada juga karyawan yang menyatakan, bahwa regular meeting yang dilakukan tidak terlalu memiliki dampak yang positif terhadap kepuasan dalam lingkungan pekerjaan mereka. Karena mereka menilai bahwa semua pesan-pesan yang disampaikan dalam regular meeting dapat disampaikan melalui media penyampaian pesan lainnya seperti papan pengumuman, dan untuk berinteraksi antar sesama karyawan atau antara atasan dengan bawahan, dapat dilakukan setiap saat tanpa melalui kegiatan regular meeting.
Tidak terlepas dari reputasi baik yang dimiliki oleh PT CIMB NIAGA Tbk sebagai suatu organisasi profit atas kualitas produk serta pelayanan jasanya, dan juga berdasarkan fenomena yang telah disebutkan di atas,sehingga penulis merasa perlu melakukan penelitian ini, dan memberikan jawaban atas fenomena tersebut. Adapun hipotesa dalam penelitian ini yaitu, dengan mengetahui apakah terdapat hubungan antar variabel dalam penelitian ini, yaitu employee relations dalam bentuk regular meeting dan kepuasan kerja karyawan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti hubungan kegiatan employee relations dalam bentuk regular meeting terhadap kepuasan kerja karyawan. Selain itu juga karena, hasil penelitian mengenai kepuasan kerja dalam organisasi merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi organisasi.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, "Bagaimanakah hubungan antara kegiatan employee relations dan kepuasan kerja karyawan PT CIMB NIAGA Tbk"

1.3 Pembatasan masalah
Untuk lebih memperjelas ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti agar tidak terlalu luas, maka peneliti membatasi permasalahan sebagai berikut:
a) Penelitian ini hanya terbatas pada employee relations dan kepuasan kerja karyawan PT CIMB NIAGA Tbk
b) Responden penelitian ini adalah para karyawan tetap PT CIMB NIAGA Tbk
c) Penelitian ini merupakan penelitian korelasional, untuk mengetahui hubungan employee relations terhadap kepuasan kerja karyawan PT CIMB NIAGA Tbk

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu, ingin mengetahui hubungan kegiatan employee relations dan kepuasan kerja karyawan di PT CIMB NIAGA Tbk
b. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi akademis dalam ilmu komunikasi bidang studi public relations tentang komunikasi organisasi bagi jurusan Ilmu Komunikasi FISIP.
2. Manfaat Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan wawasan peneliti tentang penelitian.
3. Manfaat Praktis, penelitian ini dapat memberikan gambaran dan juga bahan masukkan bagi perusahaan-perusahaan, terutama bagi yang berminat tentang hubungan Human Employee terhadap kepuasan kerja karyawan.

1.5 Operasional Variabel
Operaisonalisasi adalah upaya membuat konsep-konsep yang telah dikelompokkan ke dalam variable agar dapat diteliti dengan rinci, maka diperlukan suatu operasionalisasi variable-variabel yaitu sebagai berikut:

1.6 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional menurut Singarimbun (1995: 46) adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah :
a. Variabel Bebas (Karakteristik Responden dan Kegiatan employee relations)
- Usia : umur responden ketika mengisi kuesioner
- Jenis kelamin : Jenis kelamin responden
- Status : status responden (sudah menikah atau belum)
- Pendidikan : tingkat pendidikan responden
- Lama bekerja : berapa lama responden telah bekerja di prusahaan tersebut
- Departemen : di bagian apa responden tersebut bekerja
- komunikasi ke atas : komunikasi karyawan terhadap atasan
- komunikasi ke bawah : komunikasi atasan terhadap karyawan
- komunikasi sejajar : komunikasi antar sesama karyawan
b. Variabel Terikat (Kepuasan Kerja)
- alasan bekerja : apa alasan para responden bekerja di perusahaan tersebut
- status karyawan : status karyawan tetap atau outsourcing
- bentuk jaminan sosial : bentuk jaminan yang diterima karyawan
- penghargaan : bentuk penghargaan yang diberikan

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:39:00

SKRIPSI ANALISA SURVIVAL KREDIT PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SEPEDA MOTOR DENGAN MENGGUNAKAN PROPORTIONAL HAZARD MODEL (KASUS PT X)

(KODE EKONMANJ-0049) : SKRIPSI ANALISA SURVIVAL KREDIT PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SEPEDA MOTOR DENGAN MENGGUNAKAN PROPORTIONAL HAZARD MODEL (KASUS PT X)


BAB I
PENDAHULUAN


1.1. LATAR BELAKANG
Industri pembiayaan di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang lagi dalam beberapa tahun belakangan ini, setelah sebelumnya terpuruk akibat krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1999. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah kredit yang diberikan setiap tahunnya. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat suku bunga yang terus menurun, menguatnya perekonomian Indonesia yang dilihat dari peningkatan daya beli masyarakat, dan juga strategi yang ditetapkan oleh perusahaan pembiayaan terutama dalam hal uang muka yang rendah.
Faktor tingkat suku bunga yang cenderung menurun memiliki dampak yang luas terhadap segala bidang, termasuk jenis usaha pembiayaan. Tingkat suku bunga yang rendah mendorong masyarakat untuk melakukan investasi yang dapat menghasilkan return yang lebih besar daripada langkah konservatif yaitu menabung maupun deposito. Tingkat suku bunga SBI yang menjadi tolak ukur return saat ini (Mei 2008) sebesar 8,25% termasuk rendah, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 14%. Hal ini memacu bank untuk mengucurkan kredit kepada perusahaan maupun pengusaha dalam mengembangkan usaha mereka, begitu pula dengan pengusaha yang lebih berani lagi mengambil kredit untuk berinvestasi karena suku bunga yang relatif rendah, yang secara langsung berpengaruh pula pada tingkat pertumbuhan perekonomian Indonesia karena banyaknya kegiatan investasi, banyak tenaga kerja yang terserap, yang pada akhirnya meningkatkan day a beli masyarakat.
Kebijakan uang muka yang rendah yang ditetapkan oleh suatu perusahaan pembiayaan dan produsen dalam menetapkan besarnya uang muka menjadi suatu daya tarik bagi konsumen untuk membeli suatu produk. Produk properti misalnya: rumah, kios, apartemen, kendaraan bermotor, dan bahkan produk-produk elektronik sudah menerapkan uang muka yang rendah untuk penjualan secara kredit. Hal ini perlu dilakukan oleh produsen, distributor, pengembang property, maupun perusahaan pembiayaan sebagai strategi untuk meningkatkan penjualan di tengah situasi yang sulit akibat daya beli masyarakat yang melemah karena tingginya harga BBM saat ini. Sebab dengan adanya uang muka yang rendah, konsumen tidak perlu membayar uang muka yang besar sehingga jumlah penjualan produk pun dapat ditingkatkan. Ditambah lagi dengan melihat kondisi Indonesia pada saat ini dimana harga barang yang terus meningkat akibat melambungnya harga minyak, sehingga melemahkan daya beli masyarakat pada umumnya. Dengan adanya uang muka yang rendah tentu akan meringankan beban konsumen yang ingin membeli barang dengan cara kredit, yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan penjualan produk.
Sebagaimana diketahui, perusahaan pembiayaan bukan merupakan lembaga intermediari yang dapat menghimpun dana dari masyarakat secara langsung, sehingga perusahaan pembiayaan mendapatkan dana sebagai sumber pembiayaannya dari pinjaman bank dan lembaga keuangan, maupun dari penerbitan surat berharga seperti obligasi. Dalam hal pendanaan yang disalurkan kepada konsumen, perusahaan pembiayaan memiliki dua kemungkinan resiko yang timbul dari penyaluran kredit kepada konsumen. Kemungkinan resiko yang paling sering terjadi pada sistem pembelian secara kredit, adalah pelunasan hutang lebih awal (prepayment) atau konsumen gagal bayar (default) .
Kedua hal ini menyebabkan arus kas (cash flow) pengembalian pinjaman tidak sesuai perjanjian. Bila terjadi pelunasan lebih awal (prepayment) maka perusahaan pembiayaan akan menanggung biaya pinjaman (bunga) sementara kredit yang disalurkan dilunasi sebelum jangka waktu kreditnya berakhir, sehingga ada dana yang tidak terpakai (idle) dimana bunga pinjaman kepada pihak lainnya terus berjalan sehingga tidak berdampak baik juga terhadap perusahaan pembiayaan. Hal kedua yang juga tidak berdampak baik kepada perusahaan pembiayaan adalah adanya gagal bay ar (default) , hal yang ini merupakan hal yang paling merugikan bagi perusahaan pembiayaan karena selain tidak dapat membayar pinjaman yang berakibat perusahaan pembiayaan tidak mendapat keuntungan yang seharusnya, produk yang dibeli pun umumnya akan turun harga jual kembali karena sudah menjadi barang bekas, dan seringkali kondisi produknya sudah rusak yang semakin menambah kerugian perusahaan pembiayaan. Kedua hal ini yaitu default dan prepayment merupakan hal yang pasti terjadi pada setiap perusahaan pembiayaan, yang perlu dilakukan adalah mengelola kedua hal ini pada tingkat dimana perusahaan masih dalam kondisi untung. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menganalisa default dan prepayment di dalam konteks mengenalinya sebagai resiko kompetisi, dengan begitu perusahaan pembiayaan dapat menerapkan kebijakan yang tepat untuk usahanya di kemudian hari.
Untuk itu penulis memakai pendekatan model cox proportional hazard model yang dapat menjelaskan pengaruh faktor independent dalam suatu kejadian, dengan begitu akan didapat analisa yang lebih dalam mengenai faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap baik atau tidaknya kredit yang diberikan kepada konsumen, sehingga penganalisaan default dan prepayment dalam perusahaan pembiayaan dapat dilakukan dengan baik.

1.2 PERUMUSAN MASALAH
Ada beberapa teori yang pernah membahas tentang survival analysis atau Proportional hazard model yaitu diantaranya adalah Kaplan-meier dan Cox. Pada mulanya permodelan dari teori ini digunakan pada cabang ilmu kedokteran, dimana mereka menganalisa kematian atau harapan hidup seseorang. Tetapi pada perkembangannya akhir-akhir ini, pendekatan ini juga digunakan pada cabang ilmu yang lainnya termasuk juga ilmu ekonomi. Dari latar belakang masalah yang telah dijelaskan diatas, dengan menggunakan perusahaan pembiayaan xxx yang memberikan kredit kepemilikan kendaraan bermotor (sepeda motor) terhadap konsumen, adapun data yang dianalisa adalah sebesar 2000 konsumen, dengan parameter yang diambil antara lain besarnya uang muka (down payment) , tingkat suku bunga, penghasilan konsumen, wilayah, status pernikahan, jenis kelamin, jangka waktu kredit, usia, dan harga produk maka dapat kita buat beberapa perumusan sebagai berikut :
- Berapa tingkat survival dan hazard dari kredit yang diberikan ke konsumen?
- Variabel yang paling signifikan menyebabkan terjadinya hazard dalam perusahaan pembiayaan?
- Seberapa besar tingkat survival dari masing-masing kelompok di dalam variabel masing-masing dari kredit yang diberikan perusahaan pembiayaan?
- Seberapa besar hazard dari masing-masing kelompok di dalam masing-masing variabel yang ditanggung perusahaan pembiayaan akibat pemberian kredit kepada konsumen?
- Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap macet atau tidaknya pemberian kredit kepada konsumen?

1.3 TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk melihat variabel apa saja yang berpengaruh terhadap Survival dari kredit yang diberikan perusahaan
b. Untuk menganalisa variabel yang paling berpengaruh terhadap Survival variabel-variabel yang ada
c. Untuk menilai hazard dari masing-masing variabel
d. Untuk membandingkan kebijakan penilaian kredit yang dilakukan perusahaan dengan hasil pengujian yang dilakukan
e. Membentuk permodelan yang tepat untuk menghitung tingkat survival, dengan mengunakan model cox proportional hazard model.

1.4 METODOLOGI
Harus diketahui terlebih dahulu bahwa competing risk framework terbagi menjadi 2 yaitu prepayment risk dan default risk. Fungsi ini menjelaskan bahwa prepayment risk mengestimasikan probabilitas hutang dibayar dimuka dalam periode kapan pun, begitu juga dengan default risk yang mengkondisikan probabilitas untuk gagal bayar pada masing-masing periode. Dalam model ini diasumsikan bahwa pembeli dapat melakukan pembayaran dimuka maupun gagal bayar pada kapan pun juga untuk memaksimalkan net wealth. Pada tahap berikutnya akan dilakukan penghitungan dengan mengunakan pendekatan semiparametric estimation approach untuk mengestimasi model dari proportional hazard sesuai dengan jangka waktu, sehingga dapat diketahui tiap pola dari default dan prepayment rate yang menjadi resiko perusahaan dalam jangka waktunya. Adapun data yang diambil untuk dianalisa (populasi sample) sebesar 2000 data konsumen yang dibiayai di wilayah Jabodetabek dalam kurun waktu tertentu.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memberikan gambaran umum yang menjadi dasar dilakukannya penelitian. Bab ini terdiri dari latar belakang penulisan, tujuan, ruang lingkup permasalahan, hipotesis, dan metode penelitian.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini merangkum berbagai teori dari permasalahan yang diteliti, yang akan digunakan sebagai landasan berpikir untuk memecahkan permasalahan. Teori-teori tersebut antara lain mengenai definisi perusahaan pembiayaan, pengertian resiko, dan kerangka dasar statistik permodelan proportional hazard.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini memberikan populasi dan sample data dan yang dibutuhkan, tahapan metode dan pengolahan data proportional hazard model, serta cara pembacaan hasil dari pengolahan model tersebut.
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas hasil analisa dari pengujian yang telah dilakukan dengan berbagai metode pengujian seperti yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya. Dari analisa ini diharapkan dapat ditemukan suatu metode yang optimal. Kemudian menganalisa hazard dan pengaruhnya terhadap lancar ataupun tidaknya kredit yang diberikan kepada konsumen. Hasil yang didapat berdasarkan pengolahan dari data sample yang diambil dari perusahaan tersebut.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini terdiri dari simpulan-simpulan dari pembahasan atas penelitian ini termasuk kesimpulan dan saran yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan di masa yang akan datang.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:37:00

SKRIPSI SUMBER STRES KARYAWAN LINI DEPAN PERBANKAN : STUDI KASUS PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK KANTOR CABANG X

(KODE EKONMANJ-0048) : SKRIPSI SUMBER STRES KARYAWAN LINI DEPAN PERBANKAN : STUDI KASUS PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK KANTOR CABANG X


BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sumber daya manusia memegang peranan penting dalam organisasi. Menurut Dessler (2005), globalisasi meningkatkan persaingan di berbagai industri. Meningkatnya persaingan, meningkat pula tekanan organisasi untuk berkembang (untuk menurunkan biaya, untuk membuat pekerja lebih produktif, dan untuk melakukan segalanya lebih baik dengan biaya yang lebih murah). Bagi banyak employer di seluruh dunia, fungsi sumber daya manusia dalam perusahaan adalah sebagai 'key player' dari upaya pencapaian tujuan-tujuan strategis tersebut.
Menurut Palupiningdyah (2000), sumber daya manusia merupakan otak penggerak organisasi yang berperan penting dalam profitability suatu perusahaan. Namun, pengelolaan sumber daya manusia bukanlah hal yang mudah. Pengelolaannya juga harus memperhatikan aspek psikologis di samping aspek fisiologisnya. Berikut pernyataan selengkapnya yang dikutip dari jurnal penelitian yang ditulis oleh beliau:
"Sumber daya manusia merupakan otak penggerak organisasi yang berperan penting dalam profitability suatu perusahaan. Sumber daya manusia semakin menjadi pusat perhatian manajemen dalam rangka mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh, karena berbeda dengan sifat elemen-elemen lain dalam perusahaan yang relatif terukur dan standar, sumber daya manusia bersifat unik sehingga pengelolaannya juga bersifat unik. Sumber daya manusia bukanlah mesin yang dapat dengan mudah didepresiasikan nilainya untuk mengetahui sejauh mana kontribusinya pada kinerja organisasi untuk kemudian diganti dengan mesin baru yang lebih fresh. Pengelolaan sumberdaya manusia harus memperhatikan aspek psikologis di samping aspek fisiologisnya" (Palupiningdyah, 2000).
Stres pada pekerja merupakan salah satu isu pengelolaan sumber daya manusia yang makin serius diperhatikan oleh organisasi saat ini. Menurut Vokić dan Bogdanić (2007), "Stres, secara umum, dan stres kerja, secara khusus, merupakan fakta dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern saat ini yang sepertinya terus meningkat. Topik ini masih popular walaupun telah menarik perhatian para akademis dan praktisi lebih dari setengah abad yang lalu".
Penelitian mengenai stres dapat dieksplorasi dari beragam perspektif, diantaranya dari perspektif psikologis, sosiologis, dan medis. Dari perspektif bisnis, fokus penelitian dari para peneliti adalah mengenai stres kerja, mengingat biaya yang timbul dari stres bisa sangat besar, baik bagi individu maupun bagi organisasi itu sendiri.
Bagi individu, pada tahap ringan, stres kerja menyebabkan sakit kepala, gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi, mudah marah, sakit perut, merokok berlebihan dan meningkatnya konsumsi alkohol. Jika terus terjadi, stres berpotensi menyebabkan insomnia, penyakit jantung koroner, kecemasan dan depresi, burnout, fatique, ketidakstabilan emosi, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, gangguan makan, atau bahkan bunuh diri (National Institute for Occupational Safety and Health, n.d; Palmer, Cooper, & Thomas, 2004; Teasdale, 2006).
Bagi organisasi (dalam konteks tempat kerja), stres dapat menyebabkan menurunnya produktivitas, meningkatnya jumlah eror (kesalahan kerja), kurangnya kreativitas, buruknya pengambilan keputusan, ketidakpuasan kerja, ketidakloyalan karyawan, peningkatan izin pulang karena sakit, ketidaksiapan, permintaan pensiun lebih awal, absen, kecelakaan, pencurian, organizational breakdown, atau bahkan sabotase (Teasdale, 2006).
Adapun biaya stres secara finansial di Indonesia mungkin belum diperhitungkan. Namun sebagai gambaran, Health and Safety Executive Inggris (2001) menyebutkan bahwa pada tahun 1995/1996 biaya yang ditimbulkan akibat stres diperkirakan berada pada kisaran £370 juta bagi perusahaan dan £3.75 milyar bagi masyarakat secara keseluruhan, setiap tahunnya (Palmer, Cooper, & Thomas, 2004).
Sementara International Labor Organization (ILO) memperkirakan bahwa stres kerja menghabiskan biaya bisnis sebesar lebih dari 200 milyar dolar per tahun (Greenberg, 2002). Biaya-biaya ini termasuk gaji yang tetap dibayarkan saat karyawan sakit, biaya rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit, serta biaya-biaya yang berhubungan dengan penurunan produktivitas. Tidak heran bahwa saat ini, organisasi secara cerdas mulai memperhatikan stres yang dialami pekerja secara serius untuk memelihara kesejahteraan pekerjanya.
Penelitian mengenai stres di tempat kerja memang telah banyak dilakukan pada beragam jenis pekerjaan. Meskipun demikian, penelitian yang mengeksplorasi stres kerja di kalangan karyawan lini depan perbankan masih jarang dilakukan. Padahal, karyawan lini depan bank merupakan pemegang tombak pelayanan yang berusaha disampaikan oleh perusahaan.
Seperti diketahui, dalam lingkungan kompetisi global seperti ini, lembaga keuangan saling berlomba menciptakan dan mempertahankan kolam pelanggan yang loyal dan menguntungkan. Di tambah lagi, persaingan kini bukan saja berasal dari sesama bank tapi juga datang dari berbagai lembaga keuangan lain yang bukan bank, yang juga menawarkan beberapa jasa keuangan yang disediakan bank, seperti dituliskan berikut ini:
"..., banking is rapidly globalizing and facing intense competition in marketplace after marketplace around the planet, not only from other banks, but also from security dealers, insurance companies, credit unions, finance companies, and thousands of other financial-service competitors. These financial heavyweights are all converging toward each other, offering parallel services and slugging it out for the public's attention. " (Rose dan Hudgins, 2005, p. 4).
Konsekuensinya, beragam cara dilakukan bank untuk memenangkan, atau setidaknya mempertahankan diri agar tidak runtuh dihantam persaingan.
Ekstensifikasi produk jasa dilakukan; teknologi canggih diadopsi; tingkat suku bunga ditetapkan sekompetitif mungkin. Semuanya ditawarkan untuk meningkatkan pelayanan dan memberikan kemudahan transaksi bagi nasabahnya.
Perubahan-perubahan ini di sisi lain menyebabkan perubahan pola kerja karyawan bank, terutama karyawan lini depan, dimana mereka berada pada posisi perantara (boundary spanning) perusahaan dengan nasabahnya. Mereka dituntut untuk mampu bekerja lebih cepat, dinamis, dan responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan nasabah. Mereka dituntut untuk proaktif menawarkan dan mengedukasi nasabah atas jasa-jasa yang dimiliki bank. Mereka juga dituntut untuk dapat beradaptasi dengan cara/teknik kerja mereka yang baru, hasil dari inovasi-inovasi teknologi yang semakin pesat.
Walaupun semua ini dilakukan demi pencapaian 'high performance', perubahan ini menurut Sauter et al. (2002) juga dapat meningkatkan tekanan yang dapat berujung pada stres yang dialami pekerja. Di tengah berbagai perubahan yang terjadi, bagaimana sebenarnya stres kerja yang dialami oleh para karyawan lini depan bank saat ini?
Efek psikologis yang paling sederhana dan jelas dari stres kerja adalah menurunnya tingkat kepuasan kerja (Yulianti, 2001). Dalam konteks karyawan lini depan, kepuasan kerja mereka berhubungan erat dengan kepuasan konsumen, dimana karyawan yang puas mampu meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan (Robbins, 2003). Oleh karena itu, mengidentifikasi stres kerja di kalangan karyawan lini depan adalah penting agar kepuasan kerja mereka dapat tetap terjaga.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, adalah bank yang hingga saat ini kepemilikannya masih 100% di tangan pemerintah. Bank ini telah berdiri sejak lebih dari satu abad yang lalu, tepatnya berdiri pada tanggal 16 Desember 1895. Walaupun terus mengalami perubahan seiring dengan perubahan peraturan/undang-undang pemerintah, sejak berdirinya hingga kini Bank BRI terus konsisten melayani masyarakat kecil, yaitu dengan fokus pemberian fasilitas kredit kepada golongan pengusaha kecil. Dengan fokusnya kepada kredit usaha mikro yang dibangun oleh pengusaha-pengusaha kecil, menurut peneliti, Bank BRI adalah salah satu aset paling berharga yang dimiliki pemerintah sekaligus rakyatnya.
Adapun visi dari Bank BRI adalah "Menjadi bank komersial terkemuka yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah". Melihat hal ini, pelayanan prima adalah kunci pencapaian visi Bank BRI. Dan kepuasan karyawan lini depan, berada pada tingkat kepentingan utama dalam pencapaian pelayanan prima, di luar faktor produk dan jasa Bank BRI sendiri. Untuk menjaga kepuasan kerja karyawan lini depan, adalah krusial bagi Bank BRI untuk memonitor stres kerja yang dialami para karyawan lini depannya tersebut.
Bagaimana sebenarnya stres yang dialami karyawan lini depan Bank BRI saat ini? Faktor-faktor apa saja yang menimbulkan stres pada diri mereka? Sumber-sumber stres utama apa yang mereka hadapi? Bila hal tersebut telah teridentifikasi, maka perusahaan dapat melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk mencegah sumber stres tersebut berkembang menjadi ancaman yang mengganggu kinerja organisasi dalam menyampaikan pelayanan prima kepada nasabahnya.

1.2 Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijabarkan, secara spesifik dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
1. Apa sajakah aspek-aspek sumber stres yang dihadapi oleh karyawan lini depan Bank BRI saat ini?
2. Bagaimanakah tingkat stres yang mereka alami?
3. Secara umum, hal-hal atau kondisi apa sajakah yang menjadi sumber stres utama mereka?
4. Apakah terdapat perbedaan antara masing-masing jabatan lini depan yang ada di Bank BRI dalam hubungannya dengan stres yang mereka hadapi?
5. Apakah terdapat perbedaan karakteristik individu (seperti jenis kelamin, status pernikahan, usia, pengalaman kerja, dll.) dalam hubungannya dengan stres yang mereka alami?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah-masalah yang telah dijabarkan, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui aspek-aspek sumber stres yang dihadapi oleh karyawan lini depan Bank BRI saat ini.
2. Mengetahui tingkat stres di kalangan karyawan lini depan Bank BRI saat ini.
3. Mengidentifikasi sumber stres utama yang dihadapi karyawan lini depan Bank BRI saat ini.
4. Mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kelompok-kelompok jabatan lini depan yang ada di Bank BRI dalam hubungannya dengan stres yang mereka hadapi.
5. Mengetahui apakah terdapat perbedaan karakteristik individu (seperti jenis kelamin, status pernikahan, usia, pengalaman kerja, dll.) dalam hubungannya dengan stres yang mereka hadapi.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini bagi beberapa pihak adalah sebagai berikut:
1. Bagi Bank BRI, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi utama dalam mengidentifikasi stres yang dihadapi karyawan lini depannya. Dengan demikian, diharapkan perusahaan dapat melakukan manajemen stres yang efektif untuk membantu karyawan menangani stres tersebut, sekaligus melakukan upaya preventif agar stres yang ada tidak mempengaruhi karyawan maupun kinerja organisasi secara negatif.
2. Bagi dunia akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya riset mengenai stres yang dialami karyawan di industri perbankan.
3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai stres yang dialami karyawan sekaligus memenuhi sebagian dari persyaratan kelulusan studi yang diperlukan untuk menjadi Sarjana Ekonomi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian
1.5.1 Pembatasan Masalah
Penelitian ini berusaha mengeksplorasi dinamika stres yang dihadapi karyawan lini depan perbankan. Namun, dalam penelitian ini, stres hanya akan dieksplorasi dari segi stimulusnya, yaitu sumber stres (stressor). Stressor adalah sesuatu yang memiliki potensi untuk menyebabkan reaksi stres (Greenberg, 2002). Terlepas dari kerumitan pendefinisian dan luasnya konsep dari stres itu sendiri, stres kerja pada penelitian ini dioperasionalisasikan sebagai 'total skor dari sumber stres yang dihadapi individu'.
Sumber stres dikelompokkan sebagai sumber stres dari faktor lingkungan, organisasional, dan individu. Faktor lingkungan dan faktor individu, menurut Robbins (2003) merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari stres yang dialami karena tidak hilang begitu saja saat individu memasuki tempat kerja. Adapun karyawan lini depan yang akan diteliti dalam penelitian ini terdiri dari customer service, teller, dan security.
1.5.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang (Kanca) X dan Kanca X, pada bulan Mei sampai dengan Juni 2009. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja mengingat Bank BRI adalah salah satu aset negara yang sangat berharga di bidang perbankan yang telah dikenal luas di kalangan perbankan Internasional atas keberhasilan micro banking-nya.
Dalam upaya pencapaian visi Bank BRI, yaitu untuk "Menjadi bank komersial terkemuka yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah", identifikasi terhadap stres kerja yang dialami karyawan lini depan Bank BRI adalah sangat penting untuk dianalisis agar perusahaan dapat mendeteksi sumber stres yang dialami karyawan lini depannya sehingga kepuasan kerja mereka yang diketahui berhubungan erat dengan kepuasan pelanggan dapat terjaga.
Adapun kantor BRI yang akan diteliti juga mencakup Kantor Cabang Pembantu (KCP) dan Kantor Unit BRI yang berada di bawah naungan BRI Kanca X dan Kanca X. Pemilihan wilayah ini sebagai lokasi penelitian dilakukan atas dasar kemiripan wilayah, dan letaknya yang berdekatan. Peneliti menyadari bahwa cakupan wilayah penelitian seharusnya bisa diperbesar. Namun karena keterbatasan biaya dan waktu yang dimiliki peneliti dalam melakukan penelitian ini, maka lingkup penelitian hanya akan dilakukan pada wilayah kedua Kanca tersebut.

1.6 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan laporan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan.
Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka.
Bab ini menjelaskan berbagai teori yang berhubungan dengan stres pada umumnya, dan sumber stres pada khususnya, termasuk sumber stres yang berasal dari luar organisasi yang juga berpotensi menjadi sumber stres pekerja.
Bab III : Metodologi Penelitian.
Bab ini berisi desain penelitian, variabel penelitian, metode pengambilan sampel, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, serta metode analisis data yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Bab IV : Analisis Data dan Pembahasan.
Bab ini berisi gambaran umum objek penelitian, pengolahan data, dan interpretasi hasil analisis data.
Bab V : Kesimpulan dan Saran.
Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian, dan saran yang dapat direkomendasikan, yaitu bagi perusahaan dan bagi penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:35:00

SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN X

(KODE KEPRAWTN-0001) : SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN X

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau yang biasa disebut Demam Berdarah Dengue (DBD), sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1968 sampai dengan sekarang, seringkali menyebabkan kematian dan menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia (Effendi, 1995). Di Indonesia, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat, baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit secara sporadic dan selalu terjadi kejadian luar biasa (KLB) pada setiap tahunnya.(Effendi, 1992 dalam Riswanto,2003).
KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Insidence Rate (IR) = 35.19 Per 100.000 dan CFR = 2 %. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10.17 %, namun pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat hingga mencapai 15.99 % pada tahun 2000, 21.66 % pada tahun 2001, 19.24 % pada tahun 2002, dan 23.87 % pada tahun 2003 (Depkes, 2004). Sedangkan data pada tahun 2008 menunjukkan 28.244 kejadian dengan jumlah kematian 348 orang (Waspada, 2008). Dari jumlah populasi masyarakat di Kecamatan X sebanyak 1020 jiwa terdapat 380 orang yang terinfeksi Demam Berdarah Dengue (DBD) dan diantaranya terdapat 45 orang yang meninggal dunia (Dinas Kesehatan X).
Penyakit DBD belum ditemukan vaksinnya, sehingga tindakan yang paling efektif untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk ini adalah dengan program pemberantasan sarang nyamuk (Hadinegoro, 1997 dalam Nanda Febriansyah, 2008). Dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah dalam rangka pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) melalui upaya-upaya pencegahan yang dilakukan secara berkelanjutan, namun hasilnya belum optimal bahkan masih dijumpai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menelan korban jiwa. Hal ini tentu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan Demam Berdarah Dengue/DBD. (http://www.Pengetahuans DBD.com dalam Nanda , 2008).
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti pengendalian lingkungan, pengendalian biologis dan pengendalian kimiawi. (Depkes, 1991 dalam Soetopo, 2007).
Meskipun telah banyak penyuluhan yang dilakukan, target Pemerintah untuk menurunkan angka kejadian DBD menjadi 20 per 100.000 penduduk di daerah endemis masih tetap sulit dicapai pada 2009 karena pada akhir 2008 saja jumlah kasus DBD masih tetap tinggi. Target 20 per 100.000 saat ini terlalu tinggi karena kasus yang terjadi sekarang ini belum memperlihatkan kecenderungan menurun yang signifikan. Secara Nasional angka kejadian DBD saat ini 48 per 100.000 dengan angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) saat ini adalah 1.8 %, tidak jauh berbeda dengan angka kejadian DBD tahun 2008 sebanyak 50 per 100.000 penduduk dengan angka kematian sebesar 1 %. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan DBD. (Kandun, 2009 dalam http://www.Pemberantasan DBD.com).
Sujono (1991) dalam Kajian Utama Untuk Memberantas DBD mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat di Indonesia pada umumnya relatif masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan sosialisasi berulang mengenai pencegahan DBD. Menurut Ajeng, (1996) dalam Sosialisasi Pencegahan DBD, penyuluhan tentang pencegahan DBD hams sering dilakukan agar masyarakat termotivasi untuk ikut berperan serta dalam upaya-upaya tersebut.
Umumnya masyarakat di Kabupaten X memiliki penghasilan terbesar dari perkebunan dan perikanan, sehingga daerah tersebut memiliki masalah lingkungan yang beresiko menyebabkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat Kecamatan X tentang bahaya Demam Berdarah Dengue (DBD). Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa orang warga diketahui bahwa lebih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang bagaimana cara pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang telah di sosialisasikan oleh Pemerintah.
Atas dasar tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian tentang tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan X.

1.2 Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat Kecamatan X tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah Demam Berdarah Dengue (DBD).

1.4 Manfaat Penelitian
a. Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan dalam pembelajaran mengenai tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan DBD.
b. Pelayanan Keperawatan Komunitas
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber acuan dalam meningkatkan pelayanan Keperawatan Komunitas terutama dalam menangani masalah tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan DBD.
c. Penelitian Selanjutnya
Hasil Penelitian ini juga dapat digunakan peneliti selanjutnya sebagai bahan perbandingan dan referensi tambahan terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:34:00

TESIS ANALISIS PENGARUH PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN, SERTA KOMPENSASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA PT. X

(KODE : PASCSARJ-0062) : TESIS ANALISIS PENGARUH PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN, SERTA KOMPENSASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA PT. X (PRODI : ILMU MANAJEMEN)


BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh suatu perusahaan tentu membutuhkan berbagai sumber daya, seperti modal, material, dan mesin. Sumber daya yang ada tidak akan berarti apabila tidak dikelola dengan baik. Untuk mengelolanya dibutuhkan sumber daya lain, yakni sumber daya manusia. Sumber daya manusia mempunyai peranan penting bagi perusahaan, karena memiliki bakat, tenaga dan kreativitas yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan perusahaan.
Perlu disadari bahwa pegawai merupakan sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam menjalankan kegiatan perusahaan. Oleh sebab itu perusahaan harus memberikan perhatian secara maksimal pada pegawainya, baik perhatian dari segi kualitas pengetahuan dan keterampilan, maupun tingkat kesejahteraannya, sehingga pegawai yang bersangkutan dapat terdorong untuk memberikan segala kemampuan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Peningkatan kemampuan, pengetahuan dan keterampilan pegawai dapat dilakukan melalui program pelatihan dan pengembangan , terutama untuk menghadapi perkembangan teknologi yang demikian pesat. PT. X senatiasa mengadaptasi program dan teknologi yang baru untuk mendukung kinerja perusahaan secara keseluruhan. Akan tetapi penggunaan program dan teknologi yang baru ini tidak bermanfaat apabila tidak disertai dengan pemberian pelatihan yang berhubungan dengan pengoperasiannya. Permasalahan seperti ini akan menghambat kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Pelatihan dan pengembangan merupakan usaha untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan antara hasil pekerjaan dari kemampuan pegawai dengan hasil pekerjaan yang dikehendaki oleh perusahaan. Usaha meningkatkan kemampuan kerja pegawai dapat dilakukan dengan menambah pengetahuan, keterampilan dan mengubah sikap, sehingga dapat menjadi kekayaan perusahaan yang paling berharga. Dengan segala potensi yang dimilikinya, pegawai dapat terus dilatih dan dikembangkan, sehingga dapat lebih berdaya guna, dan berprestasi optimal guna mencapai tujuan perusahaan.
Beberapa program pelatihan dan pengembangan telah dilaksanakan oleh PT. X sesuai dengan ketetapan pemerintah melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Adapun program-program pelatihan dan pengembangan yang telah diberikan pada pegawai diantaranya adalah Effective Time Management, How To Be General Affairs Professional, Bimbingan Teknis Nasional Kepabeanan, Program "Microsoft Office", dan program pelatihan dan pengembangan lain yang memiliki hubungan dengan pekerjaan pegawai yang bersangkutan.
Menurut salah seorang staf dari departemen yang berhubungan dengan pelatihan dan pengembangan pegawai, jumlah pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan memiliki kecenderungan yang menurun. Adapun faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah pemberlakuan kebijakan-kebijakan baru sebagai dampak dari beralihnya kepemilikan PT. X ke salah satu perusahaan ternama di Indonesia. Selain itu, kondisi perekonomian yang sedang mengalami krisis keuangan global, mengharuskan sebagian besar perusahaan di Indonesia merubah kebijaksanaannya dalam pencapaian tujuan perusahaan, terutama berkaitan dengan efisiensi perusahaan, dan tindakan ini juga dilakukan oleh PT. X.
Departemen yang bertanggung jawab untuk menangani pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan dituntut untuk lebih selektif dalam memberikan pelatihan dan pengembangan pada para pegawai. Perusahaan menghendaki para pegawai yang diberikan pelatihan dan pengembangan berdasarkan atas skala prioritas, dimana pelatihan yang diberikan benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat untuk pelaksanaan pekerjaan pegawai yang bersangkutan pada saat ini.
Selain pemberian pelatihan dan pengembangan, pegawai juga mempunyai berbagai macam kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan inilah yang dipandang sebagai salah satu pendorong atau penggerak bagi seseorang untuk melakukan sesuatu, termasuk melakukan pekerjaan atau bekerja.
Bagi sebagian pegawai, harapan untuk mendapatkan uang adalah satu-satunya alasan untuk bekerja, namun yang lain berpendapat bahwa uang hanyalah salah satu dari banyak kebutuhan yang terpenuhi melalui kerja. Seseorang yang bekerja akan merasa lebih dihargai oleh masyarakat di sekitarnya, dibandingkan yang tidak bekerja. Mereka akan merasa lebih dihargai lagi apabila menerima berbagai fasilitas dan simbol-simbol status lainnya dari perusahaan dimana mereka bekerja. Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa kesediaan pegawai untuk mencurahkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, tenaga, dan waktunya, sebenarnya mengharapkan adanya kompensasi dari pihak perusahaan yang dapat memuaskan kebutuhan pegawai.
Kompensasi merupakan segala sesuatu yang diterima pegawai sebagai pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan. Pemberian kompensasi merupakan salah satu pelaksanaan fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) yang berhubungan dengan semua jenis pemberian penghargaan individual sebagai pertukaran dalam melakukan tugas keorganisasian. Pemberian kompensasi kepada pegawai harus mempunyai dasar yang logis dan rasional.
Kompensasi sangat penting bagi pegawai itu sendiri sebagai individu, karena besarnya kompensasi merupakan pencerminan atau ukuran nilai pekerjaan pegawai itu sendiri. Sebaliknya, besar kecilnya kompensasi dapat mempengaruhi prestasi kerja, motivasi dan kepuasan kerja karyawan. Apabila kompensasi diberikan secara tepat dan benar maka para pegawai akan memperoleh kepuasan kerja dan terdorong untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan. Apabila kompensasi itu diberikan tidak memadai atau kurang tepat maka prestasi dan kepuasan kerja pegawai akan menurun.
Kompensasi bukan hanya penting untuk para pegawai saja, melainkan juga penting bagi perusahaan itu sendiri , karena program-program kompensasi merupakan pencerminan upaya perusahaan untuk mempertahankan sumber daya manusia.
Beberapa bulan terakhir ini PT. X juga telah mengeluarkan peraturan baru yang berkaitan dengan salah satu bentuk kompensasi.
Perusahaan menetapkan adanya pembatasan terhadap waktu tambahan bekerja di luar jam kerja yang telah ditetapkan atau lembur (overtime). Peraturan ini diterapkan dalam rangka mengantisipasi krisis ekonomi dimana perusahaan harus melakukan efisiensi di berbagai sektor.
PT. X berharap dengan adanya peraturan ini, para pegawainya tidak menyalahgunakan waktu lembur dan dapat memanfaatkan waktu seefisien mungkin dalam mengerjakan tugas-tugas yang telah diberikan.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Sejauhmana pengaruh pelatihan dan pengembangan, serta kompensasi terhadap kinerja pegawai pada PT. X.
2. Sejauhmana pengaruh keadilan dan kelayakan terhadap pemberian kompensasi pada PT. X.

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pelatihan dan pengembangan, serta kompensasi terhadap kinerja pegawai pada PT. X.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh keadilan dan kelayakan terhadap pemberian kompensasi pada PT. X.

1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai sumbangan pemikiran dan masukan pada PT. X dalam upaya peningkatan kinerja pegawai pada masa yang akan datang.
2. Sebagai bahan studi kepustakaan dan memperkaya penelitian ilmiah di Sekolah Pascasarjana X, khususnya di program studi Magister Ilmu Manajemen.
3. Sebagai bahan pengetahuan untuk memperluas wawasan peneliti dalam bidang ilmu manajemen sumber daya manusia, khususnya mengenai kinerja pegawai pada PT. X.
4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dan informasi bagi pihak yang berkepentingan untuk mangkaji masalah yang sama di masa mendatang.

1.5. Kerangka Berpikir
Perkembangan perusahaan dari waktu ke waktu, baik dilihat dari sudut beban tugas, perkembangan teknologi, dan metode kerja yang baru, perlu mendapat perhatian dan respon dari perusahaan. Oleh sebab itu pemberdayaan pegawai yang akan diberi wewenang dan tanggung jawab, perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Pembekalan itu dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan dan pengembangan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab yang akan diberikan kepada mereka.
Mathis and Jackson (2003) menyatakan bahwa: "The three major factors that effect how a given individual performs, the factors are: (1) individual ability to do the work, (2) effort level expended, and (3) organizational support. Individual performance is enhanced to the degree that all three components are present with an individual employee. However, performance is diminished if any of these factors is reduced or absent".
(Tiga faktor utama yang memengaruhi bagaimana individu yang ada bekerja, faktor-faktor tersebut adalah: (1) kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut, (2) tingkat usaha yang dicurahkan, dan (3) dukungan organisasi. Kinerja individual ditingkatkan sampai tingkat di mana ketiga komponen tersebut ada dalam diri karyawan. Akan tetapi, kinerja berkurang apabila salah satu faktor ini dikurangi atau tidak ada).
Pelatihan dan pengembangan merupakan proses untuk meningkatkan kompetensi pegawai yang dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, baik untuk pegawai baru maupun pegawai lama. Hal ini senantiasa dilakukan perusahaan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan para pegawainya secara terus-menerus.
Di samping itu, pelatihan dan pengembangan juga dimaksudkan untuk membantu pegawai dalam memahami suatu pengetahuan praktis yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas, terutama tugas-tugas yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan baru sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus dikuasai oleh pegawai.
Simamora (1997) menyatakan bahwa, "Sebagai salah satu elemen penting untuk meningkatkan kinerja pegawai, pelatihan merupakan sarana untuk menciptakan suatu lingkungan dimana para pegawai dapat memperoleh atau mempelajari sikap, kemampuan serta keahlian pengetahuan dan perilaku spesifik yang berkaitan dengan pekerjaannya. Pelatihan yang efektif secara signifikan sangat berpengaruh terhadap peningkatan proses kerja, hal ini disebabkan karena kesalahan atau kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan di masa silam, dapat dikoreksi. Untuk memperbaiki kemampuan kinerja pegawai dan mengoreksi kekurangan kinerjanya di masa silam, dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan operasional dalam melaksanalan suatu pekerjaan."
Tujuan pelatihan dan pengembangan harus dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh perusahaan serta dapat membentuk tingkah laku yang diharapkan serta kondisi-kondisi bagaimana hal tersebut dapat dicapai. Tujuan yang dinyatakan ini kemudian menjadi standar terhadap kinerja individu dan program yang dapat diukur.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui keikutsertaan pegawai dalam program pelatihan dan pengembangan diharapkan dapat memberikan semangat baru dalam bekerja. Semangat kerja yang baik dan dengan dukungan pengetahuan yang baik pula perusahaan mengharapkan adanya peningkatan kinerja para pegawai, yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi yang positif kepada perusahaan.
Selain program pelatihan dan pengembangan, program pemberian kompensasi juga merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya kinerja para pegawai. Program kompensasi penting bagi suatu perusahaan karena mencerminkan upaya perusahaan untuk mempertahankan sumber daya manusia sebagai komponen utama, dan juga wujud perhatian dari perusahaan terhadap prestasi yang telah diberikan pegawai kepada perusahaan.
Menurut Sirait (2006), "Pengelolaan kompensasi merupakan kegiatan yang amat penting dalam membuat pegawai cukup puas dalam pekerjaannya. Dengan kompensasi perusahaan bisa memperoleh/menciptakan, memelihara, dan mempertahankan produktivitas".
Jika karyawan merasa kompensasi yang diberikan perusahaan kepadanya cukup memadai untuk menghidupi diri dan keluarganya, maka ia akan tetap bekerja di perusahaan tersebut. Tetapi manakala kompensasi yang mereka terima dari perusahaannya tidak memadai guna menghidupi diri dan keluarganya, maka mereka akan berpikir untuk keluar atau eksodus ke perusahaan lain yang sistem kompensasinya lebih baik dari perusahaan asal ia bekerja. Kalaupun mereka tetap bekerja pada perusahaan tersebut, maka mereka akan bekerja seadanya dan tidak bergairah dalam bekerja sehingga produktifitas kerjanyapun rendah.
Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa, "Pemberian kompensasi yang adil dan layak melalui sistem pengupahan akan mendorong setiap pekerja meningkatkan kinerjanya".
Secara garis besar, pengaruh pelatihan dan pengembangan, serta kompensasi terhadap kinerja pegawai dapat digambarkan dalam diagram berikut ini:
Perusahaan perlu memberlakukan sistem kompensasi yang adil dan layak karena sangat penting untuk memperoleh dan mempertahankan karyawan yang potensial atau berkualitas. Kompensasi yang adil maksudnya adalah segala pengorbanan yang dilakukan oleh karyawan seimbang dengan imbalan yang mereka terima. Dengan kata lain ada keseimbangan antara produktifitas atau prestasi kerja karyawan dengan upah atau gaji yang diterimanya. Sedangkan kompensasi yang layak adalah besarnya upah lebih banyak dikaitkan dengan standar hidup dan peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Seperti kebutuhan fisik minimum dan upah minimum regional.
Program pemberian kompensasi harus ditetapkan atas asas adil dan layak serta dengan memperhatikan undang-undang perburuhan yang berlaku. Asas adil berarti besarnya upah dan gaji yang dibayarkan kepada setiap karyawan harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, resiko pekerjaan, tanggung jawab, jabatan pekerja, dan memenuhi persyaratan internal konsistensi. Sedangkan layak berarti upah dan gaji yang diterima karyawan dapat memenuhi kebutuhannya pada tingkat normatif yang ideal. Tolok ukur layak adalah relatif, penetapan besarnya upah dan gaji didasarkan atas batas upah minimal pemerintah dan eksternal konsistensi yang berlaku (Rivai, 2004).
Pemberian kompensasi berdasarkan teori keadilan (equity theory) adalah membandingkan antara prestasi yang dicapai dengan kompensasi atau penghargaan yang diberikan oleh perusahaan. Apabila prestasi pegawai sebanding dengan penghargaan yang diberikan oleh perusahaan, maka dorongan pegawai untuk meningkatkan kinerjanya dapat dioptimalkan. Jadi dengan kata lain, bila kompensasi yang diberikan sesuai dengan keadilan dan harapan pegawai, maka pegawai akan merasa puas dan termotivasi untuk terus meningkatkan kinerjanya. Sedangkan makna dari kelayakan adalah besarnya kompensasi yang memungkinkan karyawan hidup secara manusiawi sesuai dengan harkat, martabat dan tingkatan masing-masing (Muljani, 2002).
Secara garis besar, pengaruh keadilan dan kelayakan terhadap pemberian kompensasi dapat digambarkan dalam diagram berikut ini:

1.6. Hipotesis
1. Pelatihan dan pengembangan, serta kompensasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada PT. X.
2. Keadilan dan kelayakan berpengaruh terhadap pemberian kompensasi pada PT. X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:28:00

TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP LOYALITAS PENGGUNA JASA ANGKUTAN PT. X

(KODE : PASCSARJ-0061) : TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP LOYALITAS PENGGUNA JASA ANGKUTAN PT. X (PRODI : ILMU MANAJEMEN)


BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi membutuhkan jasa angkutan yang cukup memadai. Tanpa adanya transportasi sebagai sarana penunjang tidak dapat diharapkan tercapainya hasil yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi dari suatu negara. Dalam kehidupan modern khususnya pada bidang ekonomi, transportasi merupakan urat nadi perekonomian bagi sebuah negara. Oleh karena itu, sedemikian strategisnya fungsi transportasi maka diperlukan manajemen yang profesional dalam menanganinya. Fungsi transportasi akan menjadi lebih penting lagi karena semakin meningkatnya perkembangan penduduk.
Jika dilihat dari beragam bentuk sarana transportasi yang ada maka tidak dapat dipungkiri kalau masyarakat pengguna atau konsumen sarana transportasi dihadapkan pada berbagai pilihan yang ada, seperti transportasi darat dengan menggunakan bus, transportasi laut dengan menggunakan kapal laut, dan trasportasi udara dengan menggunakan pesawat. Ada banyak pertimbangan yang menjadi perhatian pengguna jasa dalam memilih sarana transpotasi yang akan dipergunakan dalam perjalanannya, misalnya jarak dan waktu yang akan ditempuh dalam perjalanan, resiko yang akan dihadapi serta bentuk pelayanan yang diberikan oleh penyedia jasa transportasi.
Penyedia jasa-jasa transportasi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat ada kaitannya dengan permintaan akan jasa transportasi secara menyeluruh. Setiap modal transportasi mempunyai sifat, karakteristik dan aspek teknis yang berbeda, hal mana akan mempengaruhi terhadap jasa-jasa angkutan yang ditawarkan oleh penyedia jasa transportasi.
Salah satu perusahaan yang menyediakan jasa transportasi darat untuk mengangkut penumpang antar kota antar propinsi adalah PT. X, yang didirikan pada tanggal 29 September 1966. PT. X dalam memenuhi dan memuaskan keinginan konsumennya telah berupaya menyediakan armada/bus-bus sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen.
PT. X berupaya memberikan pelayanan yang terbaik kepada para penumpangnya. Persaingan yang semangkin ketat dalam jasa transportasi, menuntut PT. X untuk meningkatkan kualitas dan nilai pelayanan yang diberikan kepada penumpang agar dapat mempertahankan eksitensinya sebagai jasa angkutan yang memiliki aset cukup besar dibandingkan dengan jasa angkutan lainnya yang dapat memberikan kepuasan optimal kepada penumpang yang menggunakan jasa angkutan.
Perusahaan angkutan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa angkutan, agar memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pengguna jasa. Bagi pemakai jasa yang diutamakan dalam soal pengakutan adalah aman, tertib, teratur, memuaskan, cepat, serta menyenangkan. Tinggi rendahnya pendapatan (income) suatu perusahaan angkutan tergantung pada pelayanan yang diberikan pada masyarakat sebagai pengguna jasa angkutan.
Namun mengingat begitu tingginya persaingan yang terjadi antar perusahaan-perusahaan bus dan perang tarif tiket penerbangan menyebabkan jumlah penumpang yang menggunakan jasa angkutan PT. X mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan dari semakin berkurangnya jumlah armada/bus yang diberangkatkan untuk tujuan X - Jakarta. Setiap harinya PT. X hanya memberangkatkan masing-masing satu bus untuk economic class (non AC), satu bus executive class (AC non Toilet), dan empat bus executive class (AC + Toilet). Sedangkan jumlah bus yang tidak berangkat (off) untuk tujuan X - Jakarta sebagai akibat terjadinya penurunan permintaan konsumen masing-masing sebanyak 2 unit untuk bus economis class dan executive class (AC non toilet), 8 unit bus untuk executive class (AC + Toilet).

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Sejauhmana pengaruh kualitas pelayanan yang terdiri dari; reliability, responsiveness, assurance, empathy, dan tangible terhadap kepuasan pengguna jasa angkutan PT. X?
2. Sejauhmana hubungan kepuasan dengan loyalitas pengguna jasa angkutan PT. X?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan yang terdiri dari; reliability, responsiveness, assurance, empathy, dan tangible terhadap kepuasan pengguna jasa angkutan PT. X.
2. Untuk mengetahui variabel yang paling dominan mempengaruhi kualitas pelayanan pengguna jasa angkutan PT. X.
3. Untuk mengetahui dan manganalisis hubungan kepuasan dengan loyalitas pengguna jasa angkutan PT. X.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah
1. Sebagai sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi PT.X untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan dimasa yang akan datang dalam hal memuaskan dan mempertahankan loyalitas pengguna jasa angkutan PT. X.
2. Sebagai menambah khasanah dan memperkaya penelitian ilmiah di Sekolah Pascasarjana Universitas X, khususnya di Program Studi Magister Ilmu Manajemen.
3. Sebagai menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti, khususnya mengenai pengaruh kualitas pelayanan terhadap loyalitas pengguna jasa angkutan dan menerapkan teori-teori yang diperoleh selama perkuliahan serta melatih kemampuan berfikir secara sistematis.
4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji masalah yang sama di masa mendatang.

1.5. Kerangka Berpikir
Salah satu cara untuk mendiferensiasikan suatu perusahaan adalah memberikan pelayanan yang lebih berkualitas dibandingkan dengan pesaing secara konsisten. Menurut Wyckof (dalam Lovelock, 2002), kualitas pelayanan merupakan sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.
Menurut Parasuraman, et al. dalam Tjiptono (2006) terdapat lima dimensi utama kualitas pelayanan, yaitu :
1. Reliabilitas (reliability), yakni kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
2. Daya tanggap (responsiveness), yakni keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap.
3. Jaminan (assurance), yakni mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf; bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
4. Empati (empathy), meliputi kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan pemahaman atas kebutuhan individual para pelanggan.
5. Bukti fisik (tangible), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.
Simamora (2001) menyatakan bahwa "Ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas layanan, yaitu expected service dan perceived service. Apabila layanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas layanan dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika layanan yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas layanan yang ideal. Sebaliknya bila layanan yang diterima lebih rendah daripada harapan pelanggan, maka kualitas layanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas layanan tergantung pada kemampuan penyedia layanan dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten".
Kualitas layanan yang baik sebagai salah satu faktor yang sangat penting dalam keberhasilan suatu bisnis, maka tentu saja kualitas layanan dapat memberikan beberapa manfaat dan salah satunya adalah menciptakan loyalitas pelanggan.
Oliver (1997) menyatakan bahwa " loyalitas adalah komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk/jasa terpilih secara konsisten di masa yang akan datang, meskipun situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku".
Beberapa konsumen benar-benar loyal terhadap satu macam produk (hardcore loyals). Kelompok lainnya agak loyal, mereka loyal terhadap dua produk atau menyukai suatu produk tetapi kadang-kadang menggunakan produk lain (soft-core loyals). Kelompok terakhir tidak menunjukkan loyalitas terhadap merek apapun, mereka menyukai sesuatu yang baru muncul (switchers).
McDougall dan Levesque (2000) menyatakan bahwa " Perusahaan dapat meningkatkan profitabilitasnya dengan memuaskan konsumen sehingga memenuhi kepuasan konsumen menjadi tujuan utama bagi kebanyakan perusahaan. Namun perusahaan tidak merasa cukup dengan adanya kepuasan konsumen, karena konsumen yang puas tidak menjamin adanya pembelian ulang. Jaminan untuk mendapatkan pembelian ulang dari konsumen dapat diperoleh melalui loyalitas konsumen".

1.6. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir, maka dihipotesiskan sebagai berikut :
1. Kualitas pelayanan yang terdiri dari ; reliability, responsiveness, assurance, empathy, dan tangible berpengaruh terhadap kepuasan pengguna jasa angkutan PT. X.
2. Kepuasan memiliki hubungan dengan loyalitas pengguna jasa angkutan PT. X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:25:00