Cari Kategori

TESIS ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN MEMBELI MOBIL TOYOTA AVANZA DAN DAIHATSU XENIA

(KODE : PASCSARJ-0057) : TESIS ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN MEMBELI MOBIL TOYOTA AVANZA DAN DAIHATSU XENIA (PRODI : ILMU MANAJEMEN)


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Penjualan mobil nasional diperkirakan akan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008. Hingga Mei 2008, jumlah penjualan mobil telah mencapai 237.941 unit mobil (www.cetak.pajar.co.id). Jumlah penjualan mobil diperkirakan akan menyentuh level penjualan 500.000 unit. Walaupun harga bahan bakar minyak (BBM) mengalami peningkatan dan menyebabkan kenaikan harga barang lain, namun tidak mempengaruhi penjualan mobil nasional (www.detik finance.com).

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Sejak pertama kali diluncurkan tahun 2004, Toyota Avanza menunjukkan dominasinya dalam peningkatan penjualan mobil nasional tersebut. Penjualan Toyota Avanza terus mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga mencapai posisi teratas di tahun 2006 dan 2007. Berbeda dengan yang dialami oleh Daihatsu Xenia, penjualan Daihatsu Xenia tidak mampu menandingi penjualan Toyota Avanza walaupun sama-sama menduduki Top Ten mobil terlaris di Indonesia. Keunggulan penjualan Toyota Avanza dibandingkan Daihatsu Xenia juga terjadi di Kota X, dimana hingga tahun 2007 jumlah total penjualan Toyota Avanza mencapai 9.424 unit, sedangan penjualan Daihatsu Xenia hanya mencapai 3.570 unit. Padahal kedua mobil tersebut merupakan produk kaleborasi (kerjasama) dan diproduksi di bawah naungan perusahaan yang sama yakni Toyota Motor Corportion (TMC).

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Menurut Senior Managing Director TMC, selera konsumen telah mengalami perubahan demikian juga dengan kebutuhan konsumen. Kebutuhan konsumen mengarah pada kendaraan yang kompak, memiliki performa dan kualitas tinggi, serta dengan harga terjangkau. Agar mereknya tetap eksis di pasar, TMC berupaya menciptakan kategori baru, dan masuki segmen baru untuk merevitalisasi merek yang sudah ada. Upaya tersebut diwujudkan melalui kerja sama dengan Daihatsu Motor Co. Ltd., dimana 51 persen sahamnya dimiliki oleh TMC. Setelah melakukan riset selama dua tahun, akhirnya TMC dan Daihatsu Motor memproduksi mobil dengan kategori Multy Purpose Vehicle (MPV) yang dinamakan Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia. Di Indonesia, PT Astra Daihatsu Motor (ADM) dipercaya memproduksi mobil kedua mobil tersebut. Selama ini, mobil dengan kategori MPV dikuasi oleh Toyota kijang dengan sasaran pasar kalangan menengah ke atas. Diluncurkannya Avanza dan Xenia diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan mobil keluarga dengan harga yang terjangkau (www.vibiznews.com).

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Avanza dan Xenia, sepintas memiliki penampilan yang tidak berbeda. Kedua mobil tersebut menampilkan eksterior yang stylish dan interior yang nyaman serta canggih. Dimensinya yang memiliki panjang badan 4 meter, memuat tiga barisan kursi (six seater) berkapasitas tujuh penumpang dengan ruang yang cukup lebar. Perbedaan terletak pada grill atau logo dan mesin mobil. Daihatsu Xenia hadir dengan kapasitas mesin 1.0 liter dan 1.3 liter, sedangkan Avanza 1.3 liter dan 1.5 liter. Avanza memiliki model yang sporty, trendy dan sangat kompak. Sedangkan Xenia, di samping modelnya yang kompak, memiliki harga murah dan konsumsi bahan bakar yang irit. Walaupun Xenia dijual dengan harga yang lebih murah dan irit bahan bakar, namun konsumen lebih memilih untuk membeli Avanza.
Kendaraan dengan kategori MPV menguasai hampir 60 persen pangsa pasar otomotif nasional. Menurut Head Domestic Marketing, PT Astra Daihatsu Motor (ADM), tingginya minat masyarakat terhadap kotegori MPV karena karakter masyarakat Indonesia berbeda dengan karakter masyarakat Eropa. Masyarakat Indonesia sangat kekeluargaan. Mereka lebih menyukai bepergian dengan orang banyak, dengan keluarga, saudara ataupun teman. Sementara, masyarakat Eropa lebih mengutamakan individualistiknya. Dengan sifat family minded seperti ini, masyarakat sangat memperhatikan kapasitas kendaraan yang mampu membawa seluruh keluarga. (www.republika.co.id).
Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Marketing Communications PT Toyota Astra Motor (TAM). Menurutnya pada kondisi ekonomi makro Indonesia yang belum stabil ini, masyarakat yang berminat untuk membeli kendaraan akan memfokuskan pada kegunaan (fungsi) kendaraan bersangkutan dan harganya terjangkau. Itu sebabnya kendaraan yang irit dan mampu menampung seluruh anggota keluarga, akan menjadi pilihan masyarakat (www.republika.co.id).

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Sejauhmana pengaruh strategi bauran pemasaran yang terdiri dari: produk dan harga, terhadap minat konsumen membeli mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X?
2. Sejauhmana pengaruh lingkungan sosial konsumen yang terdiri dari: keluarga dan kelompok rujukan, terhadap keputusan konsumen membeli mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X?
3. Sejauhmana perbedaan minat konsumen untuk membeli mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X?
4. Sejauhmana perbedaan keputusan pembelian konsumen atas mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X?

1.3 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh strategi bauran pemasaran yang terdiri dari: produk dan harga, terhadap minat konsumen membeli mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh lingkungan sosial konsumen yang terdiri dari: keluarga dan kelompok rujukan, terhadap keputusan konsumen membeli mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan pengaruh strategi bauran pemasaran yang terdiri dari: produk dan harga terhadap minat konsumen membeli mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan pengaruh lingkungan sosial konsumen yang terdiri dari: keluarga dan kelompok rujukan terhadap keputusan konsumen membeli mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian adalah:
1. Sebagai bahan masukan bagi Toyota Astra Motor dan Daihatsu Astra Motor dalam menentukan kebijakan dan pengembangan strategi pemasaran yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
2. Sebagai penambah khasanah penelitian bagi Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas X yang dapat dipergunakan dan dikembangkan.
3. Sebagai penambah dan memperluas pengetahuan bagi peneliti dalam bidang pemasaran khususnya perilaku konsumen yang berkaitan dengan pengambilan keputusan pembelian.
4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian pemasaran di masa yang akan datang.

1.5 Kerangka Berpikir
Persaingan antara industri semakin tajam dalam meraih pangsa pasar dengan semakin banyak bermunculannya berbagai produk baru yang dapat menjadi pilihan konsumen. Konsumen bebas memilih produk yang akan dibelinya di antara berbagai merek yang ditawarkan produsen dengan menetapkan kriteria tertentu yang sesuai dengan kebutuhan, selera, dan daya belinya. Agar dapat meraih pangsa pasar para produsen harus memahami perilaku konsumen dalam hal apa yang dibutuhkan, selera, dan bagaimana mereka mengambil keputusan. Pemahaman terhadap perilaku konsumen ini memungkinkan pemasar dapat mempengaruhi keputusan konsumen sehingga mau membeli apa yang ditawarkan oleh pemasar.
Schiffman dan Kanuk (1994) menyatakan bahwa perilaku konsumen sebagai "the term consumer behavior refers to the behavior that consumers display in searching for, purchasing, using, evaluating, and disposing of products and services that they expect will satisfy their needs," yakni sebagai perilaku yang menggambarkan konsumen, dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka.
Setiap konsumen dalam membeli produk mempunyai perilaku yang berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut meliputi 6 hal (Mangkunegara, 2001), yakni: apa yang dibeli (object), mengapa membeli (objective), siapa yang membeli (occupant), kapan membelinya (occasion), bagaimana membelinya (operation), dan siapa yang terlibat dalam pembelian itu (organization). Mengapa terjadi perbedaan diantara konsumen tersebut disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam membuat keputusan pembelian.
Menurut Kotler (2003), ada dua faktor dasar yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi: keluarga, kelas sosial, kebudayaan, dan kelompok referensi. Wilkie (1995) berpendapat bahwa perilaku konsumen itu dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Yang disebut faktor eksternal antara lain: budaya, keluarga, kelompok acuan, kondisi lingkungan, kegiatan pemasaran perusahaan, dan situasi.
Pendapat lain dikemukakan oleh Howard dan Sheth (Sumarwan, 2002), dalam bukunya "The Theory of Buyer Behaviour" menyatakan bahwa keputusan konsumen dalam membeli atau mengkonsumsi produk dan jasa dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu (a) kegiatan pemasaran yg dilakukan oleh produsen dan lembaga lainnya, (b) faktor perbedaan individu konsumen, dan (c) faktor lingkungan konsumen.
Proses terjadinya pengambilan keputusan oleh pelanggan untuk membeli, diawali dari rangsangan pemasaran. Setiap perusahaan harus melakukan kegiatan pemasaran dalam rangka mewujudkan keberhasilan penjualan produknya. Kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh produsen antara lain dalam bentuk strategi bauran pemasaran. Engel et. al (2001), bauran pemasaran adalah suatu program yang dirancang sedemikian rupa oleh perusahaan untuk memperoleh respon yang diinginkan dari pasar. Strategi pemasaran diarahkan untuk meningkatkan kemungkinan atau frekuensi perilaku konsumen, seperti pembelian produk tertentu. Hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan dan menyajikan bauran pemasaran yang diarahkan pada pasar sasaran yang dipilih. Suatu bauran pemasaran terdiri dari elemen produk, harga, tempat/distribusi, dan promosi.
Wilkie (1995), mengemukakan pendapatnya yakni:
"Marketing is another signifikan sources of influences. Here we find numerous effort by marketers to reach and influence our decisions. These efforts include attractively designing the product and services characteristics offered for sale, advertising, display, salesperson, special price, store location, and the internal environment of the store it self. All these factors are often successful in influencing our specific consumer behaviors ".
Dengan kata lain bauran pemasaran adalah suatu rencana yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempengaruhi keputusan konsumen dengan cara menciptakan produk atau jasa yang menarik, memberi harga spesial, kegiatan promosi melalui periklanan dan display, serta lokasi penjualan. Selain mempengaruhi keputusan konsumen, bauran pemasaran juga mengubah apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh konsumen tentang diri mereka sendiri, tentang berbagai macam tawaran pasar, serta tentang situasi yang tepat untuk pembelian dan penggunaan produk.
Dalam strategi produk, ditawarkan unsur-unsur produk yang dipandang penting oleh konsumen dan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan pembelian. Unsur produk tersebut meliputi atribut, merek, kemasan, label, dan jasa pendukung lainnya. Tjiptono (2002), menambahkan unsur jaminan atau garansi sebagai unsur terakhir yang dianggap oleh konsumen. Di sisi lain, tingkat harga yang ditetapkan pada suatu produk akan mempengaruhi permintaan dan kuantitas yang terjual (Stanton, 1996). Dari sudut pandang konsumen, harga seringkali digunakan sebagai indikator nilai bilamana harga tersebut dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu barang atau jasa. Dengan demikian strategi penetapan harga memegang peranan penting dalam setiap perusahaan.
Sebelumnya sudah dikemukakan bahwa bauran bauran pemasaran mengubah apa yang dipikirkan dan dirasakan konsumen tentang berbagai macam tawaran pasar. Hal ini akan menimbulkan kebutuhan dan minat untuk melakukan pembelian. Durianto, dkk (2003) berpendapat bahwa niat untuk membeli atau minat beli adalah sesuatu yang berhubungan dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu, serta berapa banyak unit yang dibutuhkan pada periode tertentu. Menurut Kotler (2000), minat ini timbul sebagai reaksi dari stimuli pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan dalam bentuk bauran pemasaran. Logikanya, sebelum konsumen membeli produk, konsumen harus mengenal produk terlebih dahulu melalui stimuli pemasaran. Kemudian muncul minat untuk membeli yang diikuti oleh keputusan pembelian.
Harus disadari bahwa konsumen adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya setiap hari. Lingkungan sosial konsumen juga mempengaruhi perilaku pembelian seorang konsumen. Pengaruh yang muncul dari lingkungan sosial konsumen tersebut antara lain dalam bentuk budaya, kelas sosial, keluarga dan kelompok acuan, dan situasi konsumen.
Anggota keluarga menurut Mowen dan Minor (2002), merupakan pemberi pengaruh yang paling kuat terhadap persepsi dan perilaku pembelian seseorang. Berbagai macam produk dan jasa dibeli oleh konsumen yang mengatasnamakan sebuah keluarga. Beberapa macam produk dibeli oleh sebuah keluarga kemudian dipakai secara bersama-sama oleh semua anggota keluarga. Dengan demikian pembelian suatu produk seringkali diputuskan bersama oleh suami dan istri, dengan melibatkan anak-anak atau anggota keluarga lainnya.
Selain sebagai bagian dari keluarga, seorang konsumen mungkin akan terlibat atau menjadi bagian dari satu atau lebih kelompok. Menurut Setiadi (2003), kelompok ini mempengaruhi proses pembelian yang dibuat oleh seorang konsumen. Kelompok dijadikan acuan oleh konsumen sebagai dasar untuk perbandingan atau referensi dalam memberikan standar dan nilai yang akan mempengaruhi perilakunya. Anjuran yang bersifat pribadi dalam suatu kelompok rujukan, jauh lebih efektif sebagai penentu perilaku dibandingkan iklan di media massa.
Keluarga dan kelompok rujukan tersebut mempengaruhi penambilan keputusan pembelian seorang konsumen akan suatu produk. Schiffman dan Kanuk (1994) mendefinisikan suatu keputusan sebagai pemilihan suatu tindakan dari dua atau lebih pilihan alternatif. Hal senada juga diungkapkan oleh Peter dan Olson (2002) yang berpandangan bahwa perilaku konsumen adalah soal keputusan untuk memilih antara dua atau lebih alternatif tindakan atau perilaku.

1.6 Hipotesis
1. Strategi bauran pemasaran yang terdiri dari: produk dan harga memiliki pengaruh terhadap minat konsumen membeli mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X.
2. Lingkungan sosial konsumen yang terdiri dari: keluarga dan kelompok rujukan memiliki pengaruh terhadap keputusan konsumen membeli mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X.
3. Terdapat perbedaan minat konsumen dalam membeli mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X.
4. Terdapat perbedaan keputusan pembelian konsumen atas mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia di kota X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:19:00

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN TUGAS PEMERINTAHAN DESA

(KODE : PASCSARJ-0056) : TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN TUGAS PEMERINTAHAN DESA (PRODI : ILMU MANAJEMEN)


BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka pembangunan yang dilaksanakan dengan menggunakan paradigma pemberdayaan sangat diperlukan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan di desa, kelurahan, dan kecamatan.
Untuk mewujudkan pemberdayaan, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat perlu didukung oleh pengelolaan pembangunan yang partisipatif. Pada tatanan pemerintahan diperlukan perilaku pemerintahan yang jujur, terbuka, bertanggung jawab dan demokrasi, sedangkan pada tatanan masyarakat perlu dikembangkan mekanisme yang memberikan peluang peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bagi kepentingan bersama.
Pembangunan wilayah pedesaan tidak terlepas dari peran serta dari seluruh masyarakat pedesaan, sehingga kinerja seorang kepala desa sebagai kepala pemerintahan desa harus dapat menjalankan tugas pokok memimpin dan mengkoordinasikan pemerintah desa dalam melaksanakan sebagian urusan rumah tangga desa, melakukan pembinaan dan pembangunan masyarakat, dan membina perekonomian desa. Namun dalam kenyataannya menunjukkan bahwa penilaian kinerja kepala desa oleh masyarakat dalam memberikan pelayanan serba lamban, lambat, dan berbelit-belit serta formalitas.
Masyarakat yang dinamis telah berkembang dalam berbagai kegiatan yang semakin membutuhkan aparatur pemerintah yang profesional. Seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangannya, kebutuhan akan pelayanan yang semakin kompleks serta pelayanan yang semakin baik, cepat, dan tepat. Aparatur pemerintah yang berada ditengah-tengah masyarakat dinamis tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus mampu memberikan berbagai pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Terjadinya pemekaran wilayah di Indonesia, khususnya di beberapa kabupaten, menyebabkan terjadinya perubahan sistem dan struktur kepemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Untuk menghadapi perubahan tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten X berkewajiban meningkatkan kemampuan aparatur pemerintahannya di berbagai bidang, antara lain peningkatan kemampuan SDM seperti keahlian, pengetahuan dan ketrampilan dengan melalui pendidikan, pelatihan, kursus, magang, seminar/diskusi dan lain-lain.
Pemerintahan Kabupaten X dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas SDM, sudah melaksanakan pelatihan penjenjangan dan pelatihan teknis Pemerintahan Desa sebagai aplikasi dari Peraturan Pemerintah No. 100 Tahun 2001 tentang peningkatan aparatur pemerintahan dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang pemerintahan desa, yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan aparatur pemerintahan desa. Pelatihan tersebut dilakukan secara bertahap baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat kecamatan. Harapan dari terlaksananya program pendidikan dan pelatihan tersebut adalah dapat meningkatkan kinerja kepala desa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparatur pemerintah di desa.
Salah satu upaya yang telah dilakukan Pemerintahan Kabupaten X pada tahun 2006 yang lalu adalah menyerahkan sepeda motor dinas kepada 34 (tiga puluh empat) kepala desa dan 11 (sebelas) staf kecamatan. Tujuan diberikannya sepeda motor dinas kepada para kepala desa tersebut sebagai upaya meningkatkan motivasi, kinerja dan pelayanan kepada masyarakat dengan tujuan diharapkan dapat mendukung dan membantu Pemerintahan Kabupaten X dalam mempercepat proses pembangunan. Dengan pemberian sepeda motor dinas ini, hendaknya dibarengi dengan peningkatan kinerja, misalnya pemungutan pajak bumi dan bangunan dari masyarakat menjadi lebih proaktif.
Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para pimpinan atau manajer sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah. Terlalu sering para pimpinan atau manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot sehingga organisasi/instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan-kesan buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan tanda-tanda peringatan adanya kinerja yang merosot.
Pada dasarnya kinerja kepala desa tidak cukup hanya dengan peningkatan pendidikan dan pelatihan saja, tetapi bisa juga dilakukan melalui peningkatan motivasi kepada mereka. Timbulnya motivasi pada diri seseorang tentu oleh adanya suatu kebutuhan hidupnya baik itu kebutuhan primer maupun kebutuhan sekundernya. Jika kebutuhan tersebut dapat terpenuhi, maka seseorang akan giat bekerja sehingga kinerja dapat meningkat.
Kinerja kepala desa sebagai aparatur pemerintahan desa khususnya yang ada di Kabupaten X tentu dipengaruhi oleh kebutuhan seperti yang dimaksud di atas, dan mereka akan bekerja keras jika pekerjaannya itu dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Disamping faktor motivasi juga faktor pengalaman kerja sebagai kepala desa akan ikut mempengaruhi prestasi kerja (kinerja) dalam pelaksanaan tugas kepemerintahan desanya. Seorang kepala desa yang sudah lama bekerja sebagai kepala desa akan lebih berpengalaman dibandingkan dengan yang baru bekerja sebagai kepala desa, dan dengan pengalaman tersebut ia akan mudah melaksanakan tugas kesehariannya sebagai aparatur pemerintahan desa.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut :
a. Sejauhmana faktor pendidikan, pelatihan, motivasi, dan pengalaman kerja berpengaruh terhadap kinerja kepala desa dalam pelaksanaan tugas pemerintahan desa di Kabupaten X Provinsi X?
b. Bagaimana kinerja kepala desa sebelum dan sesudah terjadinya pemekaran wilayah di Kabupaten X Provinsi X?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor pendidikan, pelatihan, motivasi, dan pengalaman kerja terhadap kinerja kepala desa dalam pelaksanaan tugas pemerintahan desa di Kabupaten X Provinsi X.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis kinerja kepala desa sebelum dan sesudah terjadinya pemekaran wilayah di Kabupaten X Provinsi X.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Sebagai sumbangan pemikiran dan masukan bagi pemerintah daerah di Kabupaten X Provinsi X dalam upaya peningkatan kinerja kepala desa dalam pelaksanaan tugas pemerintahan desa di masa mendatang.
b. Sebagai menambah khasanah dan memperkaya penelitian ilmiah di Sekolah Pascasarjana Universitas X, khususnya di Program Studi Magister Ilmu Manajemen.
c. Sebagai menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dalam bidang ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia, khususnya mengenai kinerja kepala desa sebagai aparatur pemerintahan desa.
d. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji masalah yang sama di masa mendatang.

1.5. Kerangka Berpikir
Keberhasilan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak terlepas dari peran seorang kepala desa. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kepala desa yang memiliki kinerja yang handal agar mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan kepada mereka.
Rivai (2005) menyatakan bahwa "Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral dan etika".
Selanjutnya Mangkunegara (2007) menyatakan bahwa "Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya".
Kinerja sumber daya manusia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain adalah pendidikan, pelatihan, motivasi, dan pengalaman kerja yang selama ini dimilikinya. Oleh karena itu, evaluasi kinerja sangat perlu dilakukan terhadap hasil kerja individu karena dapat dipergunakan untuk menilai kemampuan pegawai, peringkat kerja, penggajian, kompensasi, promosi, dan penentuan dalam jabatan (Wibobo, 2007).
Dalam melakukan penilaian terhadap pelaksanaan pekerjaan atau kinerja seorang pegawai harus memiliki pedoman dan dasar-dasar penilaian. Pedoman dan dasar-dasar penilaian tersebut dapat dibedakan dalam aspek-aspek penilaian. Aspek-aspek yang perlu dinilai untuk level pimpinan/manajer dalam suatu organisasi adalah: 1) tanggung jawab, 2) ketaatan, 3) kejujuran, 4) kerja sama, 5) prakarsa/inisiatif, dan 6) kepemimpinan (Soeprihanto, 2001).
Menurut Ivancevich dalam Ruky (2003) bahwa "Pelatihan merupakan usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam pekerjaannya sekarang atau dalam pekerjaan lain yang akan dijabatnya segera. Sebaliknya pendidikan lebih menekankan pada pemberian pengetahuan (knowledges) yaitu yang seseorang harus tahu, baik yang baru atau dalam usaha memperkaya perbendaharaan pengetahuan dan wawasannya".
Perbedaan antara pelatihan dan pendidikan diwujudkan dalam metode dan teknik instruksional/pengajaran yang digunakan oleh masing-masing program. Sebuah program pelatihan lebih menekankan kepada latihan (train), praktek (practice), dan melakukan (do) tersebut dan bukan untuk mendengarkan kuliah atau ceramah. Sedangkan program pendidikan biasanya melakukan hal yang sebaliknya dari pelatihan.
Menurut Mangkunegara (2007) bahwa "Motivasi merupakan suatu sikap (attitude) pimpinan atau pegawai terhadap sutuasi kerja (situation) di lingkungan organisasinya. Pegawai yang bersikap positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika pegawai tersebut bersikap negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja, dan kondisi kerja".
Pengalaman kerja juga menjadi salah satu faktor dalam mendukung kinerja seseorang pegawai. Menurut Wibowo (2007), seorang pemimpin harus memiliki pengalaman mengorganisasi orang, komunikasi di hadapan kelompok, menyelesaikan masalah, dan sebagainya. Pengalaman yang dimiliki seseorang dari waktu ke waktu terus berubah sejalan dengan perjalanan waktu dan perubahan lingkungan.

1.6. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir, maka dihipotesiskan sebagai berikut :
a. Faktor pendidikan, pelatihan, motivasi, dan pengalaman kerja berpengaruh terhadap kinerja kepala desa dalam pelaksanaan tugas pemerintahan desa di Kabupaten X Provinsi X.
b. Kinerja kepala desa berbeda sebelum dan sesudah terjadinya pemekaran wilayah di Kabupaten X Provinsi X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:17:00

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN TERHADAP KEPUTUSAN MEMBELI MINYAK GORENG

(KODE : PASCSARJ-0054) : TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN TERHADAP KEPUTUSAN MEMBELI MINYAK GORENG (PRODI : ILMU MANAJEMEN)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan pangan di Indonesia, sehingga minyak goreng tidak dapat diabaikan keberadaannya. Minyak goreng merek X di produksi oleh PT. X yang berlokasi di X. Walaupun pusat industrinya berada di X, namun pemasaran lebih besar di X dibandingkan X dan wilayah lainnya. Dengan peluang pasar yang sangat besar, PT. X secara nasional hanya menguasai tak lebih dari 1% pangsa pasar minyak goreng kemasan bermerek (www.majalahtrust.com).
PT. X merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha produksi minyak goreng. PT. X merupakan salah satu perusahaan pelopor dalam industri minyak goreng yang telah berdiri sejak tahun 1989. Perusahaan ini memproduksi minyak goreng dengan tiga nama yaitu merek X, Cap Sendok, Lazizah. Minyak goreng merek X dan Cap Sendok dipasarkan di Indonesia dan minyak goreng merek Lazizah dipasarkan ke luar negeri.
Minyak goreng termasuk jenis barang konsumsi harian dan dipergunakan oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian permintaan yang tinggi terhadap minyak goreng dapat dipengaruhi oleh faktor budaya, pribadi, sosial dan psikologi. Kebudayaan tercermin dari cara hidup, kebiasaan dan tradisi dalam usaha pemenuhan kebutuhan konsumen.
PT. X telah melakukan sejumlah kegiatan pemasaran untuk meningkatkan penjualan minyak goreng merek X dan terus menerus memperluas jalur distribusi. Tetapi kestabilan volume penjualan masih belum tercapai. Sejak tahun 2004 hingga 2007, volume penjualan minyak goreng mengalami fluktuasi penjualan yang tidak stabil. Hal ini dapat dilihat dari laporan volume penjualan minyak goreng X di kota X dalam 4 (empat) tahun terakhir pada Tabel I.
Perkembangan teknologi dan industri membawa dampak bagi kehidupan manusia terutama dunia usaha pada saat ini. Di samping itu banyaknya usaha yang bermunculan baik perusahaan kecil maupun besar berdampak pada persaingan yang ketat antara perusahaan yang sejenis dan yang tidak sejenis. Oleh karena itu strategi pemasaran merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menghadapi persaingan, pengembangan usaha dan untuk mendapatkan laba, sehingga perusahaan dapat mengembangkan produknya, menetapkan harga, mengadakan promosi dan mendistribusikan barang dengan efektif.
PT. X perlu memiliki suatu strategi pemasaran yang sesuai dengan sasaran konsumen yang dituju dalam memasarkan produknya, strategi pemasaran merupakan alat fundamental yang dapat direncanakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan mengembangkan keunggulan bersaing yang digunakan untuk melayani pasar sasaran. Salah satu bentuk strategi pemasaran yang dapat mendukung dalam memasarkan minyak goreng adalah penggunaan stimulasi perusahaan yang terdiri dari; produk, harga, distribusi dan promosi.
Bagaimana cara konsumen mengambil keputusan pembelian sangat penting bagi perusahaan, karena keberhasilan produk yang ditawarkan sangat tergantung pada persepsi yang dimiliki konsumen terhadap produk tersebut.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah penelitian adalah :
1. Sejauh mana pengaruh faktor internal yang terdiri dari; budaya, sosial, pribadi dan psikologis terhadap persepsi internal konsumen atas minyak goreng merek X?
2. Sejauh mana pengaruh faktor stimulus pemasaran yang terdiri dari; produk, harga, distribusi dan promosi terhadap persepsi stimulus pemasaran atas minyak goreng merek X?
3. Sejauhmana pengaruh persepsi internal dan stimulus pemasaran terhadap keputusan pembelian atas minyak goreng merek X oleh konsumen rumah tangga di kota X?

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor internal yang terdiri dari; budaya, sosial, pribadi, psikologi terhadap persepsi konsumen atas minyak goreng merek X.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor stimulus pemasaran yang terdiri dari; pruduk, harga, distribusi dan promosi terhadap persepsi konsumen atas minyak goreng merek X.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh persepsi internal konsumen dan stimulus pemasaran terhadap keputusan pembelian atas minyak goreng merek X oleh konsumen rumah tangga di kota X.

1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi PT. X dalam menentukan kebijakan dan pengembangan strategi pemasaran yang sesuai kebutuhan pasar.
2. Sebagai masukan bagi Sekolah Pascasarjana Universitas X dalam mengembangkan studi kepustakaan mengenai pengaruh perilaku konsumen terhadap keputusan pembelian.
3. Sebagai menambah dan memperluas pengetahuan bagi peneliti dalam bidang pemasaran khususnya mengenai perilaku konsumen yang berkaitan dengan pengambilan keputusan pembelian.
4. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya yang berminat melakukan penelitian dibidang yang sama pada masa akan datang.

1.5 Kerangka Berpikir
Setiap perusahaan memiliki tujuan pemasaran agar dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Oleh karena itu, para pemasar seharusnya senantiasa mempelajari perilaku konsumen dalam membeli kebutuhan mereka sebagai pelanggan sasaran mereka. Pemahaman pengambilan keputusan konsumen sangat penting bagi suatu organisasi, karena berhasil atau tidaknya produk tergantung pada persepsi konsumen terhadap produk tersebut. Memahami tingkat keterlibatan konsumen terhadap produk berarti berusaha mengidentifikasikan hal- hal yang menyebabkan seseorang terlibat dalam pembelian.
Budaya merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pengambilan keputusan dan perilaku pembelian (Nugroho, 2003). Selain itu, menurut Stanton (1996) perilaku konsumen juga dapat dipengaruhi oleh kelas sosial di mana konsumen berada di dalamnya, atau kelas sosial yang didambakan oleh konsumen.
Perilaku seseorang dipicu oleh satu atau beberapa motif dari dalam dirinya yang diharapkan dapat membawa pada kepuasan. Motif-motif ini disebut juga dorongan psikologis. Faktor psikologis ini mempunyai andil dalam pembentukan gaya hidup dan nilai-nilai seseorang (Stanton, 1996).
Dalam kaitannya dengan perilaku konsumen, memahami karakteristik kepribadian konsumen akan sangat bernilai bagi pemasar, bila seorang pemasar mengetahui perilaku konsumen yang bersifat lebih permanen sehingga hal tersebut dapat menjadi peluang bisnis, karena karakteristik kepribadian dapat dijadikan dasar untuk memposisikan produknya di pasar (Nugroho, 2003).
Engel, et al., (1994) menyatakan bahwa; "perilaku konsumen menggambarkan bagaimana konsumen membuat keputusan-keputusan pembelian dan bagaimana mereka menggunakan dan mengatur pembelian barang atau jasa. Keputusan ini didasarkan atas persepsi mereka yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, kelas sosial, keluarga, pengaruh pribadi dan situasi."
Menurut Kotler dan Amstrong (2001), Persepsi adalah proses dimana induvidu memilih, merumuskan, dan menafsirkan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti mengenai dunia. Sedangkan dalam Nugroho (2005) Persepsi adalah proses bagaimana stimuli-stimuli itu diseleksi, diorganisasikan dan diinterprestasikan. Persepsi dibentuk oleh tiga pasang pengaruh yaitu Karakteristik dari stimuli, hubungan stimuli dengan sekelilingnya dan kondisi-kondisi didalam diri kita sendiri.
Kotler (2000), menyatakan bahwa stimuli adalah faktor eksternal. Yaitu bauran pemasaran (produk, harga, tempat, dan promosi) dan faktor lingkungan (ekonomi, politik, teknologi, dan sosial budaya). Perusahaan yang benar-benar memahami bagaimana tanggapan konsumen atas sifat-sifat produk, harga dan pendekatan iklan yang berbeda memiliki keunggulan yang besar atas persaingannya, titik awalnya adalah model rangsangan tanggapan dari perilaku pembeli". Rangsangan pemasaran dan rangsangan lainnya akan menghasilkan rangsangan tanggapan. Rangsangan tanggapan terdiri dari; produk, harga, distribusi, promosi. Ransangan lainnya mencakup kekuatan yang besar dalam lingkungan pembeli seperti ekonomi, budaya, sosial dan tehnologi sedangkan menurut Mowen dan Minor (2002) "tingkat keterlibatan konsumen dalam suatu pembelian dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan dan ditimbulkan oleh stimulus, produk, harga, promosi, lokasi".
Faktor stimulasi perusahaan berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen. Hal ini sependapat dengan Kotler (2000), bahwa rangsangan pemasaran (marketing stimuli) yang terdiri atas produk, harga, tempat, dan promosi masuk ke dalam kesadaran pembeli dan akan mempengaruhi pengambilan keputusan pembelian. Menurut Kotler dan Armstrong (2001) faktor eksternal ini berupa stimuli pemasaran. Namun keputusan konsumen tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi juga faktor-faktor internal, yakni; budaya, sosial, pribadi, psikologi.
Proses pengambilan keputusan konsumen tidak dapat terjadi dengan sendirinya, banyak faktor yang mempengaruhinya. Lamb, et al. (2001) dan Kotler (2005), meyatakan bahwa keputusan konsumen dipengaruhi oleh; budaya konsumen, sosial, pribadi, dan psikologi. Selanjutnya Engel, et al (1994) menyatakan bahwa; budaya, kelas sosial, keluarga, pengaruh pribadi dan situasi mempengaruhi keputusan konsumen.
Schiffman dan Kanuk (1994) menyatakan bahwa; suatu keputusan sebagai pemilihan suatu tindakan dari dua atau lebih pemilihan alternatif. Dengan demikian, konsumen harus mengambil keputusan merek apa saja yang dibelinya, atau dia harus memilih satu dan beberapa pilihan merek. Sedangkan menurut Gueltien dan Paul dalam Simamora (2003) konsumen akan memilih produk yang paling sesuai (best fit) bagi mereka.
Berdasarkan latar belakang masalah maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan pada Gambar 1.1 berikut :

1.6 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Faktor internal yang terdiri dari; budaya, sosial, pribadi dan psikologi berpengaruh terhadap persepsi internal konsumen atas minyak goreng merek X.
2. Stimulus pemasaran yang terdiri dari; produk, harga, distribusi, promasi berpengaruh terhadap persepsi stimulus pemasaran atas minyak goreng merek X.
3. Persepsi internal konsumen dan persepsi stimulus pemasaran berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen atas minyak goreng merek X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:13:00

TESIS HUKUM TAYAMUM DALAM MASALAH TRANSPORTASI

(KODE : PASCSARJ-0053) : TESIS HUKUM TAYAMUM DALAM MASALAH TRANSPORTASI (PRODI : ILMU KEISLAMAN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah kalam Allah SWT., yang diturunkan kepada hambanya khusus umat Islam, yang di dalamnya terkandung aturan-aturan baik yang berhubungan dengan Allah SWT., yang disebut dengan hablum min Allah dan yang berhubungan dengan sesama makhluk khususnya manusia yang disebut dengan hablum min al-nas, dengan tujuan kemaslahatan manusia dalam menjalani roda kehidupan menuju ke tujuan akhir yang hakiki yaitu akhirat kelak.
Segala sesuatu yang dilakukan manusia di atas dunia ini tergolong pada dua golongan besar ada kalanya bersifat 'ubudiyah dan ghair ubudiyah yaitu muamalah (muamalah ijtimaiyah dan muamalah taaqudiyah). Perbuatan manusia yang bersifat 'ubudiyah semuanya telah dijelaskan dalam al-Quran dan hadith dengan tafsil (gamblang dan terperinci) sehingga kecil kemungkinan terdapat lowongan bagi pemikir hukum Islam untuk berijtihad.
Berbeda dengannya, perbuatan manusia yang bersifat muamalah khususnya ta'aqudiyah aturan-aturannya bersifat ijmali (global), sedang perinciannya diserahkan (tergantung) kepada manusia sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan pada masanya. Sehingga, kaidah usuliyah "al-Hukm yaduru ma'a illatih wujudan wa adaman"1 sangat berperan sekali dalam muaamalah ta 'aqudiyah.
Salat adalah salah satu rukun Islam yang diwajibkan kepada segenap umat Islam di manapun ia berada, kapanpun ia berada dan dalam keadaan apapun aturan yang bersangkutan dengan pelaksanaan salat sudah diatur secara gamblang dalam kitab fiqh berdasarkan dalil al-Quran dan al-Sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh 'ulama' fiqh bahwa salah satu rukun salat adalah salat harus dilakukan dengan berdiri berdasarkan hadith fi'li (perilaku) dan qauli (perkataan) dari Rasul SAW. Akan tetapi, kalau salat tidak bisa dilakukan dengan berdiri bukan berarti kewajiban salat gugur, namun harus dikerjakan dengan cara lain selain berdiri seperti duduk dan kalau tidak bisa dilakukan dengan duduk maka harus dilakukan dengan keadaan berbaring.
Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW:
“Imran bin Husayn RA., terkena penyakit beser kemudian ia bertanya kepada Nabi SAW., tentang salat (cara salat, pen). Nabi SAW., berkata : Salatlah kamu dengan berdiri, kalau tidak bisa dengan duduk, dan kalau (juga) tidak bisa maka dengan berbaring" (HR. al-Bukhari).
Begitu juga telah disepakati oleh 'ulama' fiqh bahwa pelaksanaan salat sebagaimana yang diwajibkan oleh shari' kepada hambanya ada hal-hal yang harus dilaksanakan baik sebelum melaksanakan salat sampai selesai salat dan (maupun) ketika salat berlangsung.3 Di antara hal-hal yang harus dilakukan sebelum salat berlangsung sampai salat selesai adalah suci dari hadath kecil (kencing, keluar angin dan lain-lain) dan hadath besar (jinabah, haid dan nifas).4 Oleh karenanaya, barang siapa yang akan melakukan salat ia harus dalam keadaan suci dari dua hadath.
Alat bersuci dari dua hadath sebagaimana disepakati 'ulama' fiqh adalah air. Sebagai ganti dari air apabila air tidak didapati atau ada air tetapi ada hal-hal yang menyebabkan tidak mungkinnya memakai air sebagai ganti dari air atau memakai air untuk menghilangkan hadath adalah bertayamum dengan debu.5
Al-Baghawi dalam tafsirnya Ma'alim al-Tanzil6 mengatakan bahwa tayamum adalah salah satu khususiyat (spesial) yang diberikan Allah SWT., kepada umat Muhammad SAW., sebagaimana diceritakan oleh Hudhayfah :
"Nabi SAW., bersabda : Saya diberi 3 kelebihan atas manusia lain (pen, para utusan) : Allah menjadikan barisanku (umatku) sebagaimana barisan para Malaikat, dan dijadikan bumi bagiku semuanya masjid, dan tanahnya (bumi) sebagai alat suci ketika tidak ada (ditemukan) air" (HR. Muslim).
Kata tayamum dalam al-Quran penulis temukan terdapat 3 ayat di 3 tempat (surat) yang berbeda, yaitu :
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" al-Qur'an, 2 (al-Baqarah): 267.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); usaplah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun" al-Qur'an, 4 (al-Nisa'): 43.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur" al-Qur'an, 5 (al-Maidah): 6.
Ayat nomor 2 dan nomor 3 menjelaskan kapan (waktu) tayamum boleh dikerjakan berikut tatacara pelaksanaannya dan hikmah dishariatkannya tayamum sebagaimana penjelasan akhir al-Qur'an, 5 (al-Maidah): 6. Sementara ayat yang pertama sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Kathir dalam tafsirnya Tafsir al-Quran al-'Azim bahwa kalimat "wa la tayammamu " dalam ayat tersebut bermakna al-qasd (menyengaja) dan ada yang mengatakan bermakna al-'udul (berpaling). u Jadi ayat pertama itu tidak menjelaskan tayamum menurut istilah sebagaimana ayat kedua dan ketiga.
Al-Qurtubi pengikut al-Malikiyah mengatakan berdasarkan ijma' 'ulama' bahwa tayamum bagi musafir boleh.12 Ibn Rushd pengikut al-Malikiyah mengatakan bahwa orang yang dibolehkan melaksanakan tayamum, menurut kesepakatan 'ulama', adalah orang sakit dan musafir, jika kedua kelompok orang ini tidak mendapatkan air.
Namun, para 'ulama' berbeda pendapat mengenai empat kelompok orang :
1. Orang yang sakit yang mendapatkan air tetapi khawatir terhadap sakitnya jika menggunakan air.
2. Orang muqim (bukan musafir) jika tidak mendapatkan air.
3. Orang sehat yang sedang dalam keadaan musafir dan mendapatkan air, namun karena diliputi perasaan takut ia tidak bisa menggunakan air.
4. Orang yang khawatir menggunakan air lantaran terlalu dingin.13
Al-Nawawi pengikut madhhab al-Shafii dalam kitabnya Minhaj al-Talibin menjelaskan bahwa tayamum boleh dilakukan oleh muhdith (orang yang dalam keadaan hadath) kecil dan besar apabila terdapat padanya sebab-sebab, di antaranya :
1. Tidak ada air di sekitar. Apabila yakin bahwa air tidak ada di sekitar maka seketika itu boleh bertayamum tanpa berusaha dahulu mencari air. Akan tetapi, kalau ragu-ragu akan ada dan tidak adanya air maka harus mencari air dulu di sekitarnya kurang lebih jarak 184 M.
2. Ada air, namun keberadaannya dibutuhkan seperti untuk minum walaupun butuhnya tidak langsung.
3. Ada air, namun untuk memakainya tidak memungkinkan karena sakit dikhawatirkan dengan memakai air tersebut bertambah parah atau lambatnya sembuh.14
Senada dengan al-Nawawi, Sayyid Sabiq tentang sebab-sebab yang memperbolehkan bertayamum, menurutnya sebab-sebab yang memperbolehkan orang melakukan tayamum baik untuk menghilangkan hadath kecil maupun besar ada enam golongan, tiga golongan sebagaimana dijelaskan di atas sedang yang tiga lagi ialah :
1. Apabila air yang ada sangat dingin dan tidak memungkinkan untuk di panaskan, sedang memakainya (air dingin) akan menimbulkan bahaya.
2. Ada air di sekitarnya akan tetapi untuk mengambilnya tidak memungkinkan lantaran akan mengganggu keselamatan jiwa, harga diri atau harta.
3. Ada air namun apabila menggunakan air untuk berwudu' atau mandi besar khawatir waktu salat habis maka dalam hal ini diperbolehkan tayamum dan salat.15
Al-Jaziri mengatakan sebenarnya sebab-sebab yang membolehkan tayamum itu kembali (berpangkal) pada dua perkara :
1. Tidak adanya air, baik tidak ada air sama sekali atau ada akan tetapi tidak cukup digunakan menghilangkan hadath kecil atau besar.
2. Ada air yang mencukupi untuk digunakan menghilangkan hadath akan tetapi untuk memakai air tersebut tidak memungkinkan di karenakan mendatangkan bahaya atau di karenakan dibutuhkan (airnya) untuk keselamatan misalnya minum.16
Pada masa modern jasa transportasi sangat beragam mulai dari yang berjalan di atas darat hingga di lautan bahkan di udara. Pengguna jasapun juga bermacam-macam ada yang hanya menggunakan jasa transportasi tersebut selama 1 jam saja ada pula yang sampai 5 jam bahkan ada yang sampai satu hari satu malam. Fasilitas yang disediakan dalam jasa transportasi juga berbeda dari satu transportasi ke transportasi yang lain. Misalnya, ada sebagian jasa transportasi yang menyediakan full fasilitas seperti kamar kecil dan musalla (tempat salat) dan sebagian lain transportasi hanya menyediakan kamar kecil tanpa tempat salat sebagian lain lagi tidak ditemukan fasilitas kamar kecil dan musalla.
Bagi pengguna jasa transportasi yang full fasilitas baginya perjalanan adalah menyenangkan tidak ada yang menghalangi untuk melakukan rutinitas setiap hari sebagaimana layaknya orang muslim lainnya yaitu melakukan perintah-perintah agama seperti salat dan anjuran agama seperti membaca al-Quran bi al-nazar (melihat). Namun bagi pengguna jasa lainnya yang non fasilitas seperti tidak adanya kamar kecil dan musalla baginya adalah suatu rintangan untuk bisa melakukan rutinitasnya selaku pemeluk Islam karena dia dihadapkan pada masalah yaitu sulitnya untuk bersuci baik dengan air maupun dengan pengganti air yaitu tayamum ditambah lagi tempat salat yang tidak tersediakan dalam tumpangannya.
Dalam keadaan seperti ini ada beberapa pandanagan 'ulama' fiqh berkenaan dengan penafsiran ayat tayamum di atas khususnya mengenai sarana tayamum.
Madhhab al-Shafiiyah mengatakan bahwa tayamum hanya bisa dilakukan dengan menggunakan debu. Senada dengan al-Shafiiyah, imam Ahmad, Ibn al-Mundhir dan Dawud. Berkata al-Azhar dan al-Qadi Abu al-Tib pendapat ini adalah pendapat mayoritas fuqaha' (ahli fiqh).
Abu Hanifah dan Malik tayamum bisa (sah) dilakukan dengan menggunakan sesuatu yang menyambung dengan bumi seperti kayu.17
Ini semua, menurut al-Tabari dalam tafsirnya Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an berakar dari penta'wilan kalimat al-sa'id dalam ayat di atas yang berbeda-beda, misalnya ada yang mengatakan bahwa al-sa'id adalah tanah yang tidak ditumbuhi pepohonan dan tanaman, tanah datar, tanah, dataran bumi dan dataran bumi yang berdebu.18
Al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma'ani mengatakan bahwa al-sa'id menurut kesepakatan ahli bahasa adalah dataran bumi.19

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang singkat di atas penulis akan melakukan rumusan masalah untuk dijadikan pokok bahasan pada tulisan ini, yaitu :
1. Bagaimana hukum bertayamum dengan sesuatu yang ada di sekitar seperti besi, kayu, plastik dan lain lain ?.
2. Bagaimana cara tayamum untuk salat pada transportasi yang tidak terdapat air untuk digunakan sebagai sarana bersuci ?.
3. Bagaimana hukum tayamum dalam transportasi tersebut ?.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui apa yang harus dilakukan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan dengan menggunakan jasa transportasi sedang dalam jasa transportasi tersebut tidak ditemukan sarana untuk menghilangkan hadath seperti air atau debu. Apakah kewajiban salat baginya gugur dan beralih ke salat li hurmat al-waqt (untuk menghormati masuknya waktu salat) dengan mengqada' (mengganti) setelah mendapatkan air atau debu. Atau mungkin (boleh menurut shara') melakukan tayamum dengan menggunakan sesuatu atau barang yang ada di sekitarnya.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis bagi peneliti hukum Islam terkait dengan metode pembahasan permasalahan-permasalahan hukum Islam kontemporer yang belum dibahas secara detail oleh para pakar hukum Islam terdahulu.
Manfaat praktis, penelitian ini memberikan solusi bagaimana seorang muslim yang menggunakan jasa transportasi sedang dalam jasa transportasi yang ditumpanginya tidak terdapat air dan debu.

E. Kerangka Teoritik
Sebagai pisau analisis dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan ilmu ikhtilaf al-Fuqaha' (perbedaan para pakar hukum Islam) dalam dalalah al-Nas. Apakah ayat tayamum yang digunakan sebagai dasar (dalil) alat tayamum oleh para 'ulama' fiqh multi tafsir atau tidak dengan melihat teks al-Quran dari segi bahasanya (kalimat) yang dipakai.
Kalau masih belum memadai adanya pendekatan-pendekatana ilmu tafsir, maka sebagai penunjang dalam memecahkan masalah terkait penulis akan menggunakan kaidah al-fiqhiyah sebagaimana termaktub (tercantum) dalam kitabnya al-Suyuti al-Ashbah wa al-Nazair20:
"Suatu yang mudah tidak (bisa) gugur dengan suatu yang sulit" Kaidah ini lanjut al-Suyuti berdasarkan hadith Nabi SAW.,
"Suatu yang aku perintah maka kerjakanlah selagi mampu (bisa)"

F. Penelitian Terdahulu
Kiranya masalah "Konsep Tayamum Dalam Masalah Kontemporer" ini perlu adanya buku khusus yang membahas dan mengkajinya khususnya menurut 'ulama' fiqh, karena sejauh yang penulis ketahui di perpustakaan X belum penulis jumpai hasil tesis dan disertasi yang membahas tentang "Konsep Tayamum Dalam Masalah Kontemporer".
Keterangan sementara tentang masalah terkait yang telah penulis pelajari adalah keterangan yang terdapat dalam kitab klasik seperti Minhaj al-Talibin karya Abu Zakariya Yahya al-Nawawi seorang tokoh hukum Islam dari madhhab al-Shafii abad VI H., yang dikenal dengan sebutan shaykh al-Madhhab. Al-Nawawi mengatakan bahwa tayamum dilakukan berdasarkan tiga sebab, yaitu : tidak adanya air di sekitar, ada air akan tetapi keberadaan air tersebut dibutuhkan dan yang terakhir sakit, yang apabila memakai air akan bertambah sakit.
Lanjut al-Nawawi, barangsiapa yang terdapat padanya salah satu tiga sebab di atas maka ia diperbolehkan bertayamum dengan menggunakan debu yang suci atau pasir yang berdebu.21
Berbeda dengan madhhab al-Shafiiyah, sebagaimana diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhayli yaitu madhhab al-Malikiyah dan al-Hanafiyah bahwa tayamum bisa dilakukan dengan segala sesuatu yang ada di bumi. Namun lanjut al-Zuhayli dalam madhhab al-Malikiyah mengecualikan emas dan perak baik masih berada di bumi atau sudah dikeluarkan dari bumi, tayamum dengannya tidak sah. 22
Dalam penelitian ini penulis akan mengoreksi tentang konsep tayamum dan argumen yang digunakan oleh ulama' fiqh beserta penafsirannya berikut latar belakang perbedaan penafsiran terhadap argumennya masing-masing.

G. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan bahan-bahan tertulis dalam bentuk buku (kitab), majalah, jurnal, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang relevan dengan pembahasan. Sifat penelitian adalah deskriptif-analitis, yakni penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara utuh dan jelas tentang konsep tayamum dalam pemikiran hukum Islam serta memberikan analisisnya berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi terhadap bahan-bahan pustaka yang sesuai dengan objek penelitian. Sumber data yang dipergunakan dalam hal ini dikategorikan dalam dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berupa buku-buku fiqh al-madhahib al-arba'ah. Adapun sumber data sekunder digunakan untuk menunjang pemahaman terhadap sumber data primer, berupa sumber buku-buku tafsir dan sharh hadith yang membahas tentang konsep tayamum.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan tehnik analisis isi (content analysis)23. Dalam analisis data ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan tentang konsep ikhtilaf al-fuqaha ' dan komparatif. pendekatan konsep ikhtilaf al-fuqaha ' digunakan untuk melihat cara intinbat al-fuqaha ' sehingga terjadi perselisihan hasil istinbat. Sementara pendekatan komparatif digunakan untuk membandingkan pemikiran fuqaha' dengan pemikiran para ahli hukum Islam dalam bidang lain (fiqh).

H. Sistematika Bahasan
Sistematika bahasan dalam tulisan ini penulis susun sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan. Memuat latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika bahasan.
Bab II memuat pengertian tayamum lintas madhhab yang berkaitan dengan definisi, dalil, sebab yang memperbolehkan bertayamum, bahan (sarana), cara, dan batalnya tayamum. Juga, memuat tentang sebab khilafiyah di kalangan 'ulama' fiqh dalam hal ini al-madhahib al-arba'ah (al-Hanafiyah, al-Malikiyah, al-Shafiiyah dan Hanabilah).
Bab III Memuat masalah yang menggambarkan kondisi masa kini misalnya musafir dengan menggunakan jasa transportasi pesawat, kereta api, bus dan kapal api yang tidak dijumpai di dalam jasa transportasi tersebut air dan debu untuk menghilangkan hadath (kecil dan besar) sedang pengguna jasa akan melakukan aktifitasnya sebagai layaknya orang muslim yaitu salat lima waktu dan barangkali akan membaca al-Quran bi al-nazar (melihat) dalam keadaan seperti itu apa yang harus dilakukan bagi pengguna jasa itu.
Bab IV Analisis. Memuat analisis terhadap pendapat 'ulama' madhhab khususnya permasalahan yang jadi fokus pembahasan di penelitian ini tentang sarana tayamum pada masa kini :
1. Bagaimana hukum bertayamum dengan sesuatu yang ada di sekitar seperti besi, kayu, plastik dan lain lain ?.
2. Bagaimana cara tayamum untuk salat pada transportasi yang tidak terdapat air untuk digunakan sebagai sarana bersuci?.
3. Bagaimana hukum tayamum dalam transportasi tersebut ?.
Bab V Penutup. Yang berisi tentang kesimpulan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya dan saran penulis
Bab VI Daftar Pustaka. Memuat daftar kitab, buku dan lainnya yang penulis nuqil (ambil) keterangannya untuk dijadikan bahan penelitian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:53:00

TESIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DI SMP X

(KODE : PASCSARJ-0052) : TESIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DI SMP X (PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kualitas suatu masyarakat atau bangsa tidak hanya ditentukan oleh derajat kompetensinya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tetapi juga oleh keyakinan dan sikap hidup yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan moral. Nilai-nilai keagamaan dan moralitas suatu bangsa menjadi tolok ukkur apakah bangsa itu beradab dan berbudaya tinggi atau tidak.
Memang benar bahwa masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupannya. Keberhasilan modernisasi telah menunjukkan eksistensi yang sangat menjanjikan dan membanggakan. Terbukti, apa yang dulu belum dikenal manusia, sekarang sudah tidak asing lagi. Kesulitan dan bahaya alamiah yang dahulu menghambat perhubungan sekarang bukan masalah lagi. Bahaya penyakit menular yang dahulu ditakuti, sekarang sudah dapat ditangani dengan usaha-usaha medis.
Namun di sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang serba canggih tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas yang mulia (al-Akhla’q al- Kari’mah). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) seharusnya membawa kebahagiaan dan kemaslahatan yang lebih banyak kepada manusia dalam kehidupannya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan, bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh. Meskipun kemakmuran tampak terlihat namun hidup terasa semakin sulit secara material disebabkan oleh sifat konsumerisme yang diakibatkan oleh maraknya iklan di media cetak maupun elektronik. Kesulitan material kemudian berganti dengan kesukaran mental-spiritual. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga menguangi kebahagiaan.
Suatu realita dalam dunia moderen dewasa ini adalah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Hal ini disebabkan ketidak-singkronan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) atau pembangunan fisik-jasmaniah dengan kebutuhan spiritual-rohaniah (transendental).
Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang serba canggih tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas yang mulia (al-Akhla’q al- Kari’mah). Akhir-akhir ini terdapat fakta banyaknya peristiwa biadab di tanah air kita seerti peristiwa Ambon (Maluku), Sampit (Kalimantan), pemerkosaan, pembunuhan dengan mutilasi, dan teror bom. Hampir semua pihak sepakat bahwa krisis multidimensional di Indonesia saat ini sesungguhnya berpangkal dari krisis moral-keagamaan.
Namun demikian ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) perlu secara terus menerus dikembangkan karena mempunyai manfaat sebagai penunjang kehidupan manusia. Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak segi kehidupan menjadi lebih mudah. Penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah mengantarkan manusia menemukan bentuknya, terutama memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) itu sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) perlu diimbangi dengan penguatan benteng moralitas-keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
Sebagai agama, Islam memiliki ajaran yang diakui -minimal oleh pemeluknya- lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna, ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia. Untuk mewariskan nilai-nilai keagamaan ini, di antaranya adalah melalui proses pendidikan.
Pendidikan (termasuk pendidikan agama Islam) merupakan topik yang selalu aktual untuk dibicarakan dan diperdebatkan dari zaman ke zaman. Namun demikian perbincangan dan perdebatan tentang pendidikan tidak pernah selesai, dan tidak akan pernah selesai dibicarakan. Minimal ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan mengapa hal ini terjadi.
Pertama, fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik, termasuk dalam masalah pendidikan. Kedua, teori pendidikan -dan teori pada umumnya-selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat. Sebab pada umumnya, teori pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Karena waktu berubah dan tempat selalu berubah, kebutuhan masyarakat juga berubah. Bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan itu, masyarakat merasa tidak puas dengan teori pendidikan yang ada.
Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup. Pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya. Suatu ketika ia terpengaruh oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula pendapatnya tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya.
Sebagai agama yang paripurna, Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan. Para peneliti sudah membuktikan bahwa al-Qur'an sebagai sumber utama agama Islam menaruh perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Hal ini terbukti bahwa wahyu yang pertama turun adalah perintah untuk membaca yang mana membaca merupakan salah satu proses utama untuk mendapat ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman:
Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Demikian pula dengan al-H{adi’th, sumber kedua ajaran Islam, diakui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program wajib belajar kepada umatnya. Nabi SAW bersabda:
Artinya:
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SA W bersabda: "mencari ilmu wajib bagi setiap muslim ". (HR. Ibnu Majah)
Dari uraian di atas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al-Qur'a’n dan al-Hadi’th sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al-Qur'a’n ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini diakui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Arah pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang mempunyai kemampuan kognitif intelektual dan cerdas. Dengan kecerdasannya ia dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup bersama. Hidup bersama dalam artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan serta menghargainya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan dasar untuk memecah belah kehidupan.3 Kemampuan lain yang dikembangkan dalam pendidikan Islam adalah afeksi dan psikomotor.
Di antara ke tiga ranah tersebut, yang mendapatkan prioritas utama adalah pengembangan aspek afeksi. Bahkan misi utama beliau adalah menyempurnakan aspek afeksi (akhlak) umat manusia. Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia".
Pendidikan Islam berfungsi mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap (sesuai tuntunan ajaran Islam). Potensi yang dikembangkan meliputi potensi beragama, intelek, sosial, ekonomi, seni, persamaan, keadilan, pengembangan, harga diri, cinta tanah air dan sebagainya. Tujuan pengembangannya ada yang bersifat individual, yaitu berkaitan dengan individu-individu yang menyangkut tingkah laku, aktivitas dan kehidupannya di dunian dan akhirat. Ada yang bersifat sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diinginkan, dan ada pula yang bersifat profesional untuk memperoleh ilmu, seni, profesi, dan suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.5
Ironisnya, di tengah gencarnya usaha perbaikan di dunia pendidikan (termasuk pendidikan Islam), suatu realita yang tidak dapat dipungkiri dalam dunia global ini adalah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan manusia dalam hidup. Kerusakan moral di kalangan remaja, angka krimilalitas yang tinggi, peyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para elit politik dan tokoh-tokoh agama.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama (Islam) yang selama ini diusahakan di berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal belum berhasil dengan baik. Masyarakat kemudian bertanya, "mengapa pendidikan moral-keagamaan belum berhasil", "apa yang salah di dunia pendidikan kita". Pertanyaan ini sangat wajar sebab masyarakat sudah mempercayakan pendidikan anak-anaknya di lembaga pendidikan yang ada. Tapi ironisnya dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut banyak lahir para koruptor, manipulator dan manusia-manusia yang berperilaku kotor.
Hal ini merupakan bukti empiris kegagalan pendidikan agama Islam di oleh lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Salah satu penyebabnya adalah strategi dan pengelolaan pembelajaran yang cenderung tradisional normatif dan dengan metode yang kurang senada dengan keinginan peserta didik.
Pembelajaran pendidikan Agama Islam pada umumnya lebih menekankan pengetahuan tentang sikap yang terkesan normatif, kaku, dan kurang menarik. Pengajar sering menempatkan diri sebagai pendakwah dengan memberi petunjuk, perintah, dan aturan yang membuat peserta didik jenuh dan bosan. Pengajar juga jarang memberikan keteladanan dengan sikap dan perilaku.
Diantara upaya untuk mengatasinya adalah dengan perbaikan pengelolaan pembelajaran dengan memanfaatkan hasil temuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), salah satunya adalah internet. Ada beberapa pertimbangan berkaitan penggunaan internet dalam pengelolaan pembelajaran pendidikan agama Islam. Pertama, internet merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang saat ini sedang menjadi tren dan disukai oleh peserta didik. Kedua, internet menyediakan informasi yang nyaris tanpa batas, termasuk yang berkaitan ajaran agama Islam. Ketiga, peserta didik menjadi trampil menggali informasi berkaitan dengan agama Islam, sehingga pemahaman yang diperoleh relatif komprehensif.
Salah satu sekolah yang menggunakan internet sebagai basis pengelolaan pembelajarannya adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) X (selanjutnya disebut SMP X). SMP X merupakan salah satu lembaga pendidikan yang mendapat pengakuan oleh pakar pendidikan nasional maupun internasional. Untuk itu Penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian berkaitan pemanfaatan internet dalam pengelolaan pembelajaran pendidikan agama Islam di lembaga tersebut. Penelitian ini diberi judul "Pengelolaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Teknologi Informasi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) X"

B. Identifikasi Masalah
Pengelolaan Pembelajaran merupakan proses untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pembelajaran diperlukan proses panjang yang dimulai dengan perencanaan, pengorganisasian dan penilaian. Perencanaan meliputi kegiatan menetapkan apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapai, waktu dan personel yang diperlukan. Sedang pengorganisasian merupakan pembagian tugas kepada personel yang terlibat dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran, pengkoordinasian, pengarahan dan pemantauan. Evaluasi sebagai proses dilaksanakan untuk mengetahui ketercapaian tujuan yang telah dicanangkan, faktor pendukung dan penghambatnya.6
Untuk mencapai tujuan pembelajaran banyak ragam Teknologi Informasi yang dapat digunakan. Teknologi Informasi sebagai media pendidikan dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dan lain sebagainya. Teknologi Informasi yang digunakan dalam dunia pendidikan Namun secara garis besar dapat dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
1. Audio : Radio, telepon, pager dan lain-lain.
2. Visual : Slide, koran, majalah dan lain-lain.
3. Audio visual : televisi, komputer, internet dan lain-lain
Dari beragam Teknologi Informasi tersebut ada yang tergolong media interaktif dan non-interaktif. Slide, koran, majalah, televisi dan yang semisal masuk dalam kategori media non-interaktif. Sebab pengguna tidak dapat mengubah isi dan penyajian, variasi hanya terjadi pada kualitas produksi. Sedang komputer dan internet masuk dalam kategori media interaktif. Subyek didik memiliki kesempatan untuk berinteraksi dalam bentuk mempengaruhi atau mengubah urutan yang disajikan.7
Dengan internet, guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan subyek didik. Demikian pula subyek didik dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut "cyber teaching" atau
pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin poluper saat ini ialah e-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet.
Saat ini e-learning telah berkembang dalam berbagai model pembelajaran yang berbasis Teknologi Informasi seperti: CBT (Computer Based Training), CBI (Computer Based Instruction), Distance Learning, Distance Education, CLE (Cybernetic Learning Environment), Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning Syatem), LCC (Learner-Centered Classroom), Teleconferencing, WBT (Web-Based Training), dan lain-lain.8

C. Batasan Masalah
Cakupan judul ini begitu luas sedang waktu dan kemampuan penulis begitu terbatas. Oleh sebab itu agar penelitian ini fokus maka diperlukan diperlukan pembatasan masalah. Adapun masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah: Perencanaan, pengorganisasian, dan evaluasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi (dalam hal ini internet), faktor pendukung dan penghambat serta langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi hambatan.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah tersebut, penulis menyusun Rumusan Masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengelola Sekolah merencanakan dan mengorganisasikan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi?
2. Bagaimana Pengelola Sekolah mengevaluasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi?
3. Faktor apa yang mendukung dan menghambat serta bagaimana Pengelola Sekolah mengatasi hambatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi?

E. Penjelasan Judul
Judul penelitian ini mengandung beberapa istilah yang masing-masing banyak dibahas dan menjadi perdebatan para ahli. Oleh karena itu agar ada kesamaan persepsi, istilah-istilah yang ada pada judul penelitian ini perlu didefinisikan satu-persatu:
1. Pengelolaan
Pengelolaan adalah proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi. Selain itu Pengelolaan juga berarti proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain.9 Dalam pengelolaan tercakup -minimal- 3 hal, yakni perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi.
2. Pembelajaran
Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata instruction yang diartikan sebagai suatu upaya untuk membelajarkan subyek didik.10 Pembelajaran merupakan proses mengatur lingkungan agar subyek didik belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang didimilikinya.11 Aspek terpenting dari pembelajaran adalah membelajarkan siswa. Bukan memberikan pelajaran kepada siswa. Pembelajaran adalah proses pembelajaran antara guru dan murid. Kegiatan ini di dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah PBM (Proses Belajar Mengajar). Di dalam PBM terkandung dua hal pokok yaitu kegiatan guru dalam mengajar -dalam arti membelajrakan siswa- dan kegiatan siswa dalam belajar.12
3. Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pendidikan adalah proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien yang di dalamnya tercakup transfer ilmu, transformasi nilai dan pembentukan kepribadian.13 Kata "Pendidikan" di sini dirangkai dengan kata "Agama Islam", sehingga Pendidikan Agama Islam berarti pendidikan mengenai seluruh aspek Agama Islam secara luas.
Ada beberapa definisi Pendidikan Agama Islam yang dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya adalah:
a. Usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran Agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life).14
b. Usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu subyek didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.15
Dari definisi di atas diketahui bahwa pembelajaran Pendidikan Agama Islam merupakan suatu proses menanamkan nilai-nilai agama Islam kepada peserta didik dan membantu mereka untuk menginternalisasikannya sebagai pandangan hidup dan mengimplementasikannya dalam sikap dan perilaku.
Namun yang dimaksud Pendidikan Agama Islam dalam konteks pendidikan menengah formal di Indonesia adalah al-Qur'a’n-Hadith, Aqidah, Akhlak, Fiqih dan Tarikh Peradapan Islam sebagaimana termaktub dalam Peraturan Mendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan Peraturan Mendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
4. Teknologi Informasi (TI)
Teknologi Informasi dilihat dari kata penyusunnya adalah teknologi dan informasi. Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup
manusia.16 Sedang informasi adalah pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu.17 Jadi Teknologi Informasi adalah peralatan yang digunakan menyampaikan pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu.
Secara mudahnya teknologi informasi adalah hasil rekayasa manusia terhadap proses penyampaian informasi dari bagian pengirim ke penerima sehingga pengiriman informasi tersebut akan:
a. lebih cepat
b. lebih luas sebarannya, dan
c. lebih lama penyimpanannya.18
5. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Alternatif
Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan jenjang pendidikan sebagai kelanjutan dari jenjang Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Diniyah Ula (MDU) atau Pesantren Dasar (PD). Di belakang akronim SMP ditambah kata alternatif karena lembaga pendidikan ini didirikan sebagai salah satu pilihan pendidikan formal yang berbeda dengan lembaga pendidikan formal yang lain.19

F. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Bagaimana Pengelola Sekolah merencanakan dan mengorganisasikan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi.
2. Bagaimana Pengelola Sekolah mengevaluasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi
3. Faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat serta langkah yang ditempuh oleh Pengelola Sekolah untuk mengatasi hambatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)berbasis Teknologi Informasi.

G. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini merupakan sumbangan pemikiran dan masukan dalam upaya pengembangan Ilmu Pendidikan, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
Sedang secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait:
1. Bagi Institut X, hasil penelitian ini merupakan sumber kajian bagi mahasiswa baik sebagai pengayaan maupun untuk penelitian
2. Bagi Perpustakaan, hasil penelitian ini merupakan input untuk menambah koleksi khazanah kepustakaan.
3. Bagi Lembaga Pendidikan yang diteliti, hasil penelitian ini merupakan potret diri sebagai bahan refleksi untuk peningkatan kualitas pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
4. Bagi Peneliti, penelitian ini merupakan pengalaman yang berharga untuk memperluas cakrawala pemikiran dan memperluas wawasan.
5. Bagi Masyarakat luas, hasil penelitian ini merupakan salah satu alternatif pengelolaan pembelajaran, yakni pembelajaran dengan Teknologi Informasi yang diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dalam memecahkan problem pendidikan.

H. Kajian Pustaka
Setelah diadakan penelusuran kepustakaan, Penulis menemukan beberapa buku yang mengupas beberapa hal mengenai SMP X, di antaranya adalah "Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah". Buku ini mengupas beberapa kontroversi dalam kebijakan pendidikan di Indonesia dan menegaskan bahwa potensi masyarakat yang sudah mandiri untuk mencerdaskan anak bangsa.
Ada dua hal menarik yang diungkapkan buku ini tentang SMP X. Pertama, lembaga pendidikan ini menekankan goal setting pada basis potensi anak. Kedua, pemberdayaan dengan prinsip menciptakan sekolah murah dan bermutu.
Sementara itu Sujono Samba dalam bukunya yang berjudul "Lebih Baik Tidak Sekolah" mengangkat fakta yang menarik tentang lahirnya pendidikan alternatif berbasis komunitas yang didirikan oleh penduduk X. Pendidikan yang didirikan sebagai wujud keprihatinan atas problem pendidikan di Indonesia ini diberi nama SMP X. Untuk menghasilkan alumni yang tangguh dalam mengelola sumber daya berdasarkan prinsip kesetaraan, keadilan dan keseimbangan alam, lembaga ini mengenbangkan tradisi, kurikulum, prinsip serta model pembelajaran yang berbeda dengan mainstream pada umumnya.
Buku lainnya "Kurukulum yang Mencerdaskan; visi 2030 dan pendidikan alternatif" mengupas di antaranya adalah- konsep pembelajaran di SMP X. Di SMP ini tidak ada Konsep Belajar Mengajar (KBM), yang ada adalah belajar bersama. Persyaratan utama yang harus dimiliki seorang guru adalah kemauan belajar dan memiliki pengalaman yang lebih dalam hal strategi belajar dan bukan metode mengajar. Guru yang memiliki beberapa "kelebihan" dalam penguasaan suatu materi lebih memosisikan diri sebagai salah satu resource dari beberapa resource yang bisa diakses siswa seperti kebun, buku, penjelajahan internet dan lain-lain.
Dari beberapa sumber pustaka yang berhasil dilacak penulis belum ada yang menjelaskan secara rinci mengenai pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan memanfaatkan Teknologi Informasi.

I. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian dan pendekatan
Penelitian yang akan diadakan ini termasuk penelitian kasus (Case Studies) yaitu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam terhadap suatu organisme, lembaga atau gejala tertentu.20
2. Teknik pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data digunakan beberapa teknik, yaitu:
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengamati gejala-gejala atau peristiwa yang terjadi pada obyek penelitian.21 Dengan metode ini Penulis akan melihat obyek penelitian secara langsung dengan mengamati, menggambarkan dan memberikan contoh terhadap obyek penelitian agar mampu memberikan konsep yang sesuai dengan lokasi.
b. Interview
Interview atau yang biasa dikenal dengan wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis berdasarkan pada tujuan penelitian.22
Data yang diharapkan diperoleh dari metode ini adalah aplikasi pembelajaran PAI berbasis TI, dampak positif dan negatifnya serta bagaimana Penyelenggara mengatasi dampak negatifnya.
Data yang telah diperoleh dari suatu subyek, setelah diinterpretasi kemudian di-cross check (dieperiksakan kembali) kepada subyek lain sampai diyakini data yang diperoleh sesuai keadaan sebenarnya.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik penggalian data dengan cara mengumpulkan data dokumenter. Data Dokumenter23 adalah laporan tertulis dari penjelasan dan pemikiran terhadap peristiwa itu, serta ditulis dengan sengaja untuk menyiapkan atau meneruskan keterangan menjadi peristiwa tersebut.
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dari dokumen tertulis yang dimiliki oleh lembaga. Dokumen dimaksud dapat berbentuk catatan hasil rapat, hasil seminar, program kerja, gambar ( denah,foto dan data statistik) dan buku.
3. Analisis data
Data yang telah terkumpul diklasifikasikan menjadi dua, yakni data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif yakni data yang berbentuk kata-kata dipisah-pisahkan menurut kategori untuk diambil kesimpulan. Sedang data kuantitatif, yakni data yang berupa angka hasil dari penghitungan atau pengukuran diproses dengan cara dijumlahkan, diklasifikasikan sehingga
merupakan suatu susunan urut data (array) untuk kemudian diproses menjadi perhitungan pengambilan kesimpulan.24
Langkah-langkah analisis data dilakukan dengan mengikuti cara yang disarankan oleh Miles dan Huberman sebagai berikut:25
a. Reduksi data
Pada tahap pertama, data-data yang terkumpul di lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan terinci. Mengingat banyaknya data yang masuk, maka agar tidak menyulitkan kemudian data-data tersebut direduksi dan dirangkum dengan memilih hal-hal pokok serta disusun secara sistematis.
Dengan adanya proses reduksi data ini akan mempermudah memberikan kode-kode pada aspek tertentu agar mudah dicari kembali jika diperlukan. Selain itu data yang sudah direduksi ini dapat memberikan gambaran yang lebih tajam berkaitan dengan oyek penelitian.
b. Display data
Display Data merupakan proses pengorganisasian data sehingga mudah dianalisis. Proses ini dilakukan dengan visuslisasi data dalam bentuk tabel, matrik, diagram, atau grafik. Dengan langkah ini data akan lebih mudah dianalisis.
c. Mengambil kesimpulan dan verifikasi
Langkah ini merupakan langkah ketiga dari langkah-langkah analisis data. Langkah ini dimulai dengan mencari pola, tema, hubungan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan lain sebagainya yang mengarah pada konsep pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi (TI) dan diakhiri dengan pengambilan kesimpulan.
4. Pengecekan kesahihan temuan
Temuan yang berupa kesimpulan pada awalnya masih diragukan, kabur, dan tentatif. Dengan bertambahnya data dan proses verifikasi terus menerus hingga kesimpulan akhir setelah data terkait didapatkan dan dianalisis.
Untuk menghilangkan bias pemahaman peneliti dengan pelaku, diadakan pengecekan data dengan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.26

J. Sitematika Pembahasan
Agar diperoleh gambaran yang utuh mengenai penelitian ini perlu dikemukakan sistematika pembahasan. Adapun sistematika pembahasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab Satu, memuat dasar pemikiran yang memunculkan ide untuk mengadakan penelitian ini. Dilanjutkan dengan identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan masalah, penjelasan judul, tujuan penelitian, manfaat Penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab Dua, berisi gambaran obyek penelitian secara umum berkaitan dengan nama lembaga, letak geografis, sejarah berdiri dan perkembangannya dan data lengkap kondisi siswa dan guru.
Bab Tiga, pembahasan mengenai perencanaan dan pengorganisasian pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi yang mencakup penyajian data hasil penelitian lapangan, rujukan teoritis dan analisis.
Bab Empat, berisi evaluasi pembelajaran dan solusi atas masalah-masalah yang terjadi dalam pembelajaran. Pembahasan diawali penyajian data hasil penelitian lapangan dilanjutkan dengan rujukan dan diakhiri dengan analisi.
Bab Lima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:52:00

TESIS TRADISIONALISASI DAN MODERNISASI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

(KODE : PASCSARJ-0049) : TESIS TRADISIONALISASI DAN MODERNISASI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN (PRODI : MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Disadari maupun tidak di kalangan masyarakat Indonesia muncul adanya dualisme pendidikan: Pendidikan Umum dan Pendidikan Keagamaan. Salah satu jenis pendidikan keagamaan (dalam hal ini Islam) adalah "Pondok Pesantren".
Menurut Fuad Jabali dan Jamhari, pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan keagamaan memiliki akar sejarah yang panjang. Jauh sebelum merdeka, di kalangan masyarakat telah berdiri ke dua lembaga ini. Setelah melalui interaksi dengan sistem1 pendidikan modern yang disosialisasikan oleh pemerintah penjajah Belanda, maka pesantren dan madrasah akhirnya muncul sebagai lembaga pendidikan modern.2
Kemunculan sistem dan lembaga pendidikan yang berada di pesantren dan madrasah, bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan Islam itu sendiri yang secara tradisional merupakan kelembagaan pendidikan Islam indigenous yang dimodernisasi3 Disadari bahwa eksistensi lembaga pendidikan modern ini, tidak bersumber dari kelangan kaum muslimin sendiri, tetapi bersumber dari pemerintah kolonial Belanda yang bermula dengan perluasan kesempatan bagi pribumi dalam paro kedua abad 19 untuk mendapatkan pendidikan.4
Sikap rakyat Indonesia dalam merespon sistem pendidikan kolonial Belanda, pada awalnya tidak semuanya menerima secara terbuka. Hal ini terbukti bahwa pemrakarsa pertama gerakan modernisasi pendidikan adalah organisasi-organisasi modernis Islam.
Guna menyesuaikan dengan kemajuan ilmu dan teknologi, yang menjadi motor penggerak modernisasi dewasa ini, serta keserasian dalam masyarakat (social equilibbrium) terhadap perubahan dan kemajuan,6 modernisasi pesantren dipandang sangat perlu terutama oleh para pengelola lembaga pesantren (pada umumnya menjadi Kyai di pondok pesantren tradisional)7 dengan tanpa menafikan pola-pola tradisional yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut cukup beralasan, karena kebanyakan orang tua saat ini lebih suka memasukkan anaknya ke kelas lembaga pendidikan umum di banding kelas pesantren, meningkat relevansinya dengan lapangan kerja di kemudian hari.8
Alasan yang lain cukup membuktikan bahwa pada tahun 1905 an banyak pesantren besar dapat bertahan hanya setelah memasukkan lembaga-lembaga pendidikan umum.9 Disamping itu, para pengelola lembaga pesantren semakin menyadari bahwa tidak semua alumni pesantren ingin menjadi ulama, ustadh ataupun da'i. Kebanyakan dari mereka justru menjadi warga biasa yang tidak terlepas dari kebutuhan mencari pekerjaan yang tentu saja memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tertentu.10 Bahkan Wahid Hasyim dalam hal ini pernah mengatakan sejak pesantren pelajaran Agama, santri akan mengalami kesulitan untuk bersaing dengan siswa yang mendapat pendidikan Barat.11
Walaupun ada anggapan bahwa pembaharuan yang dilakukan oleh pondok pesantren tradisional sekedar suatu masalah penyesuaian diri dengan tuntutan zaman. Para Kyai di jawa sekedar tukang tadah atau perantara budaya yang mewakili kebudayaan Timur Tengah atau kebudayaan metropolitan dari kota-kota besar di Indonesia.12 Untuk menyikapi kondisi tersebut, akhirnya sekarang ini, banyak pondok pesantren tradisional yang memodernisasi pendidikan di pesantrennya di satu sisi dan di sisi lain masih tetap mempertahankan pola-pola tradisionalitasnya karena dipandang masih sangat relevan dengan kondisi ekonomi kebutuhan masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal ini Suprayitno mempertegas dengan berpendapat bahwa adanya tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan di pesantren disebabkan karena tanggap dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan masyarakat di samping bertujuan untuk memenuhi tuntutan terciptanya harmoni antara kebutuhan spiritualisme dan kebutuhan materialisme.13
Dapat dikatakan bahwa keberadaan pesantren yang sekarang ini banyak yang memodernisasikan sistem pendidikannya memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tertentu.14 Walaupun ada anggapan bahwa pembaharuan yang dilakukan pondok pesantren tradisional sekedar suatu masalah penyesuai diri dengan tuntutan zaman,15 berkaitan dengan pendapat tersebut Suprayitno mempertegas dengan pendapatnya bahwa adanya tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan pondok pesantren disebabkan karena tanggap dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan masyarakat di samping bertujuan untuk memenuhi tuntutan terciptanya harmoni antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan material.16
Pondok pesantren X merupakan pondok pesantren yang saat sekarang tetap hidup dan diminati oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan berbagai daerah di X bahkan di seluruh Indonesia. Pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim pada tahun 1956 ini masih mempertahankan tradisi lama di antaranya sistem sorogan dan wetonan, sistem ini Kyai dapat mengetahui langsung kemampuan para muridnya apa ia bisa membaca kitab kuning atau tidak, di sisi lain sistem ini juga bisa diikuti oleh warga masyarakat sekitar, sehingga dimungkinkan adanya hubungan yang baik antara pesantren dengan masyarakat sekitar, dengan demikian ajaran agama tidak saja diajarkan di pesantren akan tetapi juga di luar pesantren.
Di samping masih mempertahankan tradisi lama secara "tradisional" pondok pesantren X ini juga menyerap berbagai pola pendidikan baru yang sekarang berkembang, hal ini dilakukan agar Islam maupun lulusan pesantren masih tetap diterima masyarakat dengan tidak mengurangi sedikitpun nilai-nilai ajaran Islam.
Hal ini dilakukan karena kalangan pesantren memandang bahwasannya seiring dengan perkembangan zaman diperlukan keilmuan ganda baik ilmu formal maupun informal (keagamaan), serta ketrampilan tertentu. Sehingga dengan cara mendirikan Madrasah Ibtida’iyah, Madrasah Tsa’nawiyah, Madrasah A’liyah dan Perguruan Tinggi, serta program lainnya, Pondok Pesantren X ini tetap diterima oleh masyarakat, bahkan berkembang sangat pesat.
Dari paparan inilah penulis tertarik lebih jauh untuk meneliti secara konkrit tentang bentuk-bentuk tradisionalisasi yang masih terpelihara oleh pesantren serta bentuk-bentuk modernisasi yang di serap oleh Pesantren X di X.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk tradisionalisasi dan modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren X?
2. Kenapa tradisionalisasi pendidikan tetap dipertahankan di samping ada upaya memodernisasi pendidikan di Pondok Pesantren X tersebut?

C. Batasan Masalah
Agar penelitian ini terfokus pada inti dan tidak menimbulkan bias dengan rumusan masalah di atas, begitu juga sesuai dengan kemampuan peneliti baik dari segi waktu, tenaga dan finansial, maka penelitian ini hanya meneliti bentuk tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan yang terdapat pada lembaga pendidikan formal keagamaan dengan menerapkan kurikulum nasional, seperti MI, MTs, MA dan PT. Agama Islam dan lembaga pendidikan formal keagamaan seperti pengajian kitab, yang berada di bawah tanggung jawab pondok pesantren X. Serta komponen lainnya yang dilakukan dalam proses pendidikan di pondok tersebut seperti; (1) jenjang pendidikan, (2) guru/tenaga pendidik, (3) kurikulum, (4) metode pembelajaran (5) sistem penerimaan santri, (6) sistem ujian dan sarana pendidikan. Dan perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini, Peneliti tidak mendeskripsikan tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan dari sisi historis secara menyeluruh akan tetapi kalaupun ada dari sis historis, hal itu hanya sebagai pengantar dan pelengkap saja.

D. Penegasan Judul
Untuk menghindari munculnya salah pengertian terhadap judul penelitian di atas, berikut ini dijelaskan beberapa kata kunci yang terdapat dalam judul tersebut.
Tradisionalisasi berasal dari kata "tradisional" yang artinya menurut adat, turun temurun,17 kemudian mendapat tambahan "isasi". Maka pengertiannya dapat dirumuskan sebagai kecenderungan atau sikap untuk selalu mempertahankan tradisi warisan masa lalu.18
Modernisasi berasal dari kata "Modern" (kata sifat) yang artinya baru kemudian mendapat tambahan "isasi" (menjadi kata benda) artinya secara etimologis memperbaharui (Tajdi’d),19 menginovasi.20 Adapun pengertiannya secara istilah dapat dirumuskan pikiran, gerakan, aliran dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi modern.21
Berangkat dari pengertian secara etimologi dan terminologi dapat digarisbawahi bahwa keduanya mempunyai persamaan yakni proses menuju hal yang baru. Sedangkan berpijak pada pengertian secara terminologi pengertiannya lebih bersifat melanjutkan dari sistem atau pola yang sudah ada menuju kontekstualisasi sistem itu sendiri.
Pendidikan maksudnya adalah sistem22 pendidikan yang meliputi komponen-komponen terkait seperti, pendidik, siswa, kurikulum, jenjang pendidikan, dan sumber daya pendidikan.23 Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia24 dan merupakan bentuk kebudayaan asli (indigenous culture) Indonesia.25
Jadi maksud dari judul penelitian tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan di pondok pesantren X, yang berpijak pada istilah-istilah di atas dengan melihat gejala yang terjadi di pesantren tersebut, dalam tulisan ini adalah mempertahankan dan melestarikan faham-faham adat istiadat, institusi-institusi lama dalam sistem pendidikan pesantren yang sudah ada sebelumnya dan berupaya memperbaharui atau mengenalkan sistem baru dalam pendidikan,26 untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi modern di pesantren tersebut.

E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bentuk tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan pondok pesantren X.
2. Mengetahui alasan tradisionalisasi pendidikan yang tetap dipertahankan di samping ada upaya memodernisasi pendidikan di Pondok Pesantren X tersebut.

F. Manfaat Penelitian
1. Memberikan kontribusi pemikiran pendidikan bagi perkembangan dunia pendidikan pondok pesantren pada umumnya.
2. Menjadi masukan bagi para pengelola dunia pendidikan pondok pesantren dalam mengambil kebijakan pendidikan di pesantren.
3. Memberikan contoh bagi dunia pendidikan untuk diteladani.

G. Kajian Kepustakaan
Sepanjang pengetahuan Peneliti, kajian dan penelitian tentang tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan pesantren memang sudah ada beberapa penulis yang mengkaji dan menelitinya.
Beberapa kajian dan penelitian tersebut misalnya, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam oleh Imam Bawani, Modernisasi Pondok Pesantren Dalam Pandangan K.H. Imam Zarkasi oleh M. Munir Mansur27 dan Pendidikan Islam: tradisi dan modernisasi menuju Millinium Baru oleh Azyumardi Azra,28 dari sejumlah tulisan yang ada, terutama sekali, tulisan tentang Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam oleh Imam Bawani, mengapresiasikan dengan cukup jelas tentang bentuk pendidikan tradisional, karena dalam tulisan tersebut mendiskripsikan tentang bentuk studi kasus pendidikan tradisional pada sebuah lembaga pesantren tradisional yang bernama "Mamba'ul Hikam" di Mantenan, Udanawu, Blitar, Jawa Timur.29
Demikian halnya kajian tentang modernisasi pendidikan sudah pernah dikaji oleh beberapa orang akan tetapi secara praktis modernisasi pendidikan pada masing-masing pondok pesantren mempunyai bentuk yang berbeda walaupun secara historis mempunyai akar sejarah yang sama yaitu pengaruh model pendidikan Hindia Belanda.
Seperti tesis yang ditulis oleh M. Munir Mansur tentang Modernisasi Pesantren dalam Pandangan K.H. Imam Zarkasi. Sedangkan Azra juga telah banyak menyoroti sisi modernisasi pendidikan dan sisi tradisionalisasinya,
walaupun secara praktis masih bersifat umum (kurang memberikan contoh bentuk-bentuk pendidikan modern pada suatu pondok tertentu).
Dari beberapa tulisan tentang tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan yang telah ada, peneliti mengakui akan kesempurnaan karya-karya tersebut, baik dari sisi materi, metodologi dan sejarahnya sehingga karya yang telah ditulis oleh beberapa Penulis tersebut cukup membantu Peneliti dalam membuat tesis ini.
Masih dalam kerangka kontek bentuk-bentuk tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan pesantren, Peneliti mempunyai asumsi tentang perlunya meneliti bentuk-bentuk pendidikan tradisional dan modern yang ada di pondok Pesantren X. Walaupun penelitian di pondok X ini sudah pernah ada (sebagaimana pondok pesantren lainnya seperti, Pondok Tebuireng dan Pondok Darul Ulum Peterongan Rejoso, Bahkan kedua pondok tersebut datanya sudah banyak terdapat di buku-buku yang telah terbit, terutama buku tentang kepesantrenan (Tradisi Kyai oleh Zamaksari Dhofer) oleh saudara Khoirul Zuhdi dengan judul tesis "Profesionalisme Kyai".30 Diperkirakan bentuk pendidikan tradisional dan pendidikan modern seperti yang ada di Pondok X ini jauh lebih dulu dipraktikkan oleh pondok-pondok lain seperti pondok Tebuireng, Darul Ulum dan lain-lain.

H. Metodologi Penelitian
1. Pemilihan Lokasi Penelitian
Tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan di pesantren sangat mungkin tidak hanya terjadi di Pondok Pesantren X saja, namun dimungkinkan kasus ini juga dapat ditemukan di pondok pesantren yang lain. Untuk itulah karena keterbatasan Penulis dari segi waktu, pikiran, biaya dan tenaga, maka penelitian ini dibuat dalam bentuk studi kasus pada lembaga pendidikan Pondok Pesantren X di X.
Adapun alasannya adalah sebagai berikut: Pondok Pesantren X sebagai salah satu pondok terbesar di Indonesia; merupakan Pondok Pusat yang mempunyai pondok cabang di daerah-daerah dan masih tetap mempertahankan sistem pendidikan tradisionalnya dengan kitab-kitab klasik sebagai materi-materi pokoknya.
Pada awal berdirinya Pondok Pesantren X merupakan pondok pesantren tradisional, namun dalam perkembangan berikutnya pondok ini memodernisasi sistem pendidikannya dengan pendidikan lembaga-lembaga pendidikan formal dengan tetap melestarikan sistem pendidikan tradisionalnya. Dengan landasan al-Muha’fadah ala qadi’mi al-sa’lih wa al-akhdhu bi al-jadi’d al-aslah. Kemudian, secara kualitas jumlah santri yang peduli dengan pendidikan formal semakin banyak dengan tanpa meninggalkan pendidikan salafnya. Jadi ada semacam keseimbangan antara pendidikan tradisional dan pendidikan modern di kalangan kaum santri.
Secara pribadi Penulis sudah pernah belajar di pondok modern. Untuk itu, penulis ingin mengenal lebih dekat bagaimana bentuk tradisionalisasi dan modernisasi di pondok tersebut.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian tentang tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan Pondok Pesantren X menggunakan metode kualitatif. Karena riset ini bersifat deskriptif, data digambarkan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya31 dan data yang dikumpulkan berbentuk kata atau gambar dari pada angka.32 Walaupun dalam beberapa hal Peneliti juga menggunakan data kuantitatif, tetapi hal itu dimaksudkan untuk pelengkap saja, bukan sebagai cara untuk menguji sebuah hipotesis sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.
Di samping itu penggunaan data kuantitatif dalam penelitian ini untuk menggambarkan kondisi pondok dan segala apa yang ada di dalamnya. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan etnografis, yaitu sebuah pendekatan yang berusaha menggambarkan dan membangun struktur social dan budaya suatu masyarakat dari sudut pandang masyarakat itu sendiri.33 Adapun tujuan utama etnografi ini adalah memahami suatu cara hidup dari pandangan orang-orang yang terlibat di dalamnya.34
Dalam pendekatan ini peneliti bertindak selaku seorang etnografer dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas dalam kurun waktu tertentu untuk mendapatkan tiga aspek pengalaman manusia yaitu apa yang
dikerjakan, apa yang diketahui, dan benda-benda apa yang dibuat dan dipergunakan sesuai dengan pokok permasalahan dan tujuan.35
3. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data. Pertama, sumber non-manusia termasuk buku-buku primer ataupun sekunder, majalah, diktat dan sumber data lain yang dikategorikan non-manusia. Kedua, sumber data yang berasal dari manusia, yaitu kyai, kepala sekolah, praktisi pendidikan serta santri/siswa/siswi pondok pesantren X.
4. Teknik Penggalian Data
Dalam pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung di lapangan (observasi partisipan), wawancara, dan metode dokumenter. Dalam wawancara dilengkapi dengan daftar pertanyaan dan alat perekam data yang berupa tape recorder dan alat tulis lainnya.
1. Observasi partisipan, artinya peneliti terlibat langsung keseluruh kegiatan yang ada di pondok pesantren X.
2. Wawancara yaitu tanya jawab yang diajukan kepada sumber data manusia.
3. Dokumentasi yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui sumber non-manusia.
5. Analisis data
Adalah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik, transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan semuanya kepada orang lain.36
Dalam penelitian kualitatif ini menggunakan dua corak analisis yaitu, analisa data selama pengumpulan data dan analisa data setelah pengumpulan data. Pada analisis corak pertama peneliti mondar-mandir antara berpikir tentang data yang ada dan mengembangkan strategi untuk mengumpulkan data baru (yang biasanya berkualitas lebih baik): melakukan koreksi terhadap informasi yang kurang jelas; dan mengarahkan analisis yang sedang berjalan berkaitan dengan dampak pembangkitan kerja lapangan.
Beberapa langkah yang ditempuh selama pengumpulan data adalah penyusunan lembar rangkuman kontak (contact summary sheet), pembuatan kode-kode, pengkodean pola (pattern codding), dan pemberian memo.37
Pada analisis corak kedua peneliti banyak terlibat dalam kegiatan penyajian atau penampilan (display) dari data yang dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya, mengingat bahwa peneliti kualitatif banyak menyusun teks naratif.
6. Langkah-Langkah Penelitian
Berikut ini dikemukakan langkah-langkah penelitian yang telah dilakukan, meliputi delapan tahap dari pra surve dengan sampai tahap pengujian validitas data hasil penelitian.
1. Pra survey (studi pendahuluan)
2. Izin Penelitian
3. Wawancara dan Observasi
4. Triangulasi
5. Studi Dokumentasi
6. Member Chek
7. Pengolahan Data
8. Penulisan Laporan

I. Sistematika Pembahasan
Bab I. Pada bab ini terdiri dari; Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Kepustakaan, Batasan Masalah, Penegasan Judul, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Sistematika Pembahasan.
Bab II. Berisi Tradisionalisasi dan Modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren, yang berisi tentang; Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan, Tradisionalisasi dan Modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren
Bab III. Gambaran Umum Pondok Pesantren X yang memuat tentang, Nama dan Letak Geografis, Visi dan Misi Pondok Pesantren, Struktur Organisasi, Historisitas Pesantren
Bab IV. Penyajian dan Analisis, yang memuat tentang; Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren X, serta Analisis terhadap Bentuk Tradisionalisasi dan Modernisasi Pendidikan di Pondok Pesantren X.
Bab V. Merupakan penutup dari penulisan tesis ini yang berisi Kesimpulan dan Saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:49:00