BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu kunci kemajuan, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu bangsa, maka akan diikuti dengan semakin baiknya kualitas bangsa tersebut. Di Indonesia pendidikan sangat diutamakan, karena pendidikan memiliki peranan yang sangat penting terhadap terwujudnya peradaban bangsa yang bermartabat. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga tujuan pendidikan telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yakni Nomor 20 tahun 2003 pasal 3;
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartarbat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1
Berdiskusi tentang tujuan pendidikan nasional dan fenomena saat ini di Indonesia, maka yang patut digaris bawahi adalah "manusia yang berakhlak mulia". Mengapa demikian? karena sudah menjadi rahasia umum jika akhir-akhir ini banyak peristiwa yang memalukan dan memilukan, yang mana peristiwa tersebut sangat berkaitan dengan "kemerosotan akhlak". Betapa tidak, hampir setiap hari layar kaca kita dihiasi dengan berita-berita yang tragis yang dihadirkan dari seluruh pelosok tanah air, seperti: pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, korupsi, dan masih banyak lagi lainnya. Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa moral/akhlak anak bangsa kita cukup memperihatinkan.
Terkait dengan fenomena tersebut di atas, penulis berasumsi bahwa moral/akhlak sebagaian anak bangsa di negeri ini berada di titik yang sangat rendah, dan oleh karenanya harus segera dicari solusinya agar tidak berlarut-larut yang pada akhirnya dikuatirkan menganggu stabilitas nasional.
Salah satu wahana perubahan tingkah laku manusia adalah "pendidikan", baik formal, nonformal, maupun informal. Jika tujuan pendidikan nasional ingin dicapai dengan maksimal, maka seluruh lembaga pendidikan yang ada harus dapat mengoptimalkan fungsi mereka sebagai agen of change sekaligus pembimbing2 bagi pendidikan moral peserta didiknya.
Di dalam agama Islam, "akhlak" merupakan hal yang sangat penting3, karena muara dari diciptakannya ruh dan jasad adalah "perbuatan"4, dan perbuatan yang bagaimana yang dikehendaki oleh Allah? Sebagaimana tersebut di bawah ini:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran".6
Pendidikan akhlak adalah termasuk rumpun dari Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Urgensi Pendidikan Agama Islam tidak terlepas dari tujuan pendidikan itu sendiri. Secara umum, Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk "meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara". Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu :
1. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
2. Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual)
3. Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan Ajaran Islam.
4. Dimensi pengamalanya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta mengaktualisasikan dan merealisasikanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berbicara tentang pendidikan Agama Islam, di X, terdapat sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan menggunakan pendekatan yang cukup menarik.7 Sekolah tersebut adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) X Sekolah tersebut menganggap bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang fokus pada kualitas proses pembelajaran, bukan pada seleksi kualitas calon siswanya. Adapun sistem pembelajaran yang digunakannya adalah Multiple Intellegences System. Sebuah konsep yang meyakini bahwa setiap anak pasti memiliki minimal satu kelebihan. Apabila kelebihan tersebut dapat dideteksi dari awal, otomatis kelebihan itu adalah potensi kepandaian sang anak.
Lebih lanjut, konsep Multiple Intellegences, kiranya sangat bersinggungan dengan UU RI. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tercantum pada Bab I pasal 1 ayat 1, yang berbunyi:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.8
Dalam UU RI. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tercantum pada Bab I pasal 1 telah disebutkan dengan jelas, bahwa Pendidikan Nasional adalah terbentuknya suasana pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi peserta didik. Sedangkan Multiple Intellegences System adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang sangat menghargai setiap potensi yang dimiliki oleh anak didik.
Pada dasarnya, konsep yang dikemukakan oleh Dr. Howard Gardner, yakni Multiple Intellegences ini adalah sebuah perubahan konsep tentang makna kecerdasan secara mendasar yang berbeda sama sekali dengan konsep-konsep sebelumnya. Setidaknya ada tiga paradigma mendasar yang menjadikan teorinya, Multiple Intellegences, mendapat banyak perhatian dunia psikologi dan pendidikan, yaitu:
Pertama, bahwa kecerdasan tidak dibatasi tes formal. Kecerdasan seseorang tidak mungkin dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam achievement test (test formal). Sebab setelah diteliti, ternyata kecerdasan seseorang itu selalu berkembang (dinamis), tidak statis. Tes yang dilakukan untuk menilai seseorang, praktis hanya menilai kecerdasan pada saat itu, tidak untuk satu bulan lagi, apalagi sepuluh tahun lagi. Menurut Gardner, kecerdasan dapat dilihat dari kebiasaan seseorang9. Padahal, kebiasaan adalah perilaku yang diulang-ulang.
Kedua, kecerdasan seseorang dapat dilihat dari banyak dimensi, tidak hanya kecerdasan verbal (berbahasa) atau kecerdasan logika. Gardner dengan cerdas memberi label "multiple" (jamak atau majemuk) pada luasnya makna kecerdasan. Gardner sepertinya sengaja tidak memberikan lebel tertentu pada makna kecerdasan seperti yang dilakukan oleh para penemu teori kecerdasan lain, misalnya Alfred Binet dengan IQ, Emotional Quotien oleh Daniel Goleman, dan Adversity Quotient oleh Paul Scholtz. Namun Gardner menggunakan istilah "multiple" sehingga memungkinkan ranah kecerdasan tersebut terus berkembang.10
Ketiga, bahwa kecerdasan merupakan proses discovering ability, yaitu proses menemukan kemampuan seseorang. Gardner meyakini bahwa setiap orang pasti memiliki kecenderungan jenis kecerdasan tertentu. Kecenderungan tersebut harus ditemukan melalui pencarian kecerdasan. Tentu, dalam menemukan kecerdasannya, seorang anak harus dibantu oleh lingkungannya, baik orang tua, guru, sekolah, maupun sistem pendidikan yang diimplementasikan di suatu negara.11
Menurut Limas Susanto, seorang psikiater dan konsultan psikoterapi, pendidikan kita belum mencerdaskan, terlalu bertitik berat pada pendayagunaan kecerdasan linguistik dan kecerdasan logik-matematik. Itu pun banyak dilakukan dengan cara tidak benar. Akibatnya, insan dan bangsa Indonesia tidak mampu menjalani kehidupan dengan kecerdasan yang menyeluruh.12
Frase "mencerdaskan kehidupan bangsa" dalam tujuan pendidikan kita, tentu tidak bisa dipahami dalam satu atau dua dimensi kecerdasan saja. Sebagaimana lazim terjadi di negeri ini, ukuran kecerdasan seseorang adalah seberapa besar nilai IQ-nya. Padahal nilai IQ tidak mencerminkan seluruh kecerdasan manusia, melainkan hanya satu atau dua aspek saja, yaitu aspek kecerdasan logika-matematika.dan bahasa.
Kecerdasan intelektual tidak hanya mencakup dua parameter tersebut di atas tetapi juga harus dilihat dari aspek kinestetis, musical, visual-spasial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Jenis-jenis kecerdasan intelektual tersebut dikenal dengan sebutan kecerdasan jamak (Multiple Intelligences) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner pada tahun 1983.
Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orang-orang yang memang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kita harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orang-orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain. Sangat disayangkan bahwa saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang "Learning Disabled" atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa.13
Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.
Menurut Munif Chatib, sumber kecerdasan seseorang adalah kebiasaannya untuk membuat produk-produk baru yang punya nilai budaya (kreativitas) dan kebiasaannya menyelesaikan masalah-masalah secara mandiri (problem solving).14
Senada dengan itu, Charlotte Priatna mengajukan konsep tentang kecerdasan sebagai berikut:
a. Kecerdasan bukanlah sesuatu yang bersifat tetap;
b. Ia bagaikan kumpulan kemampuan atau ketrampilan yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan;
c. Kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan suatu masalah; kemampuan untuk menciptakan masalah baru untuk dipecahkan; kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu pelayanan yang berharga dalam suatu kebudayaan masyarakat.15
Multiple Intelligences yang mencakup delapan kecerdasan itu pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal memasuki sekolah (7-8 tahun).16
Thomas Armstrong, seorang pakar dan praktisi Multiple Intellegences, menyebutkan dalam situsnya, delapan jenis kecerdasan yang dintrodusir Gardner,
yaitu: Linguistic intelligence (word smart); Logical-mathematical intelligence (number/reasoning smart); Spatial intelligence (picture smart); Bodily-Kinesthetic intelligence (body smart) Musical intelligence (music smart)' Interpersonal intelligence (people smart); Intrapersonal intelligence (self smart); dan Naturalist intelligence (nature smart).17
Teori Multiple Intelligences menyarankan beberapa cara yang memungkinkan materi pelajaran dapat disampaikan dalam proses belajar yang lebih efektif, seperti:18
a. Angka atau logika (Logical -Mathematical Intelligence)
b. Kata-kata (Linguistic Intelligence)
c. Gambar (Visual -Spatial Intelligence)
d. Musik (Musical Intelligence)
e. Pengalaman fisik (Bodily-Kinesthetic Intelligence)
f. Pengalaman sosial (Interpersonal Intelligence)
g. Refleksi diri (Intrapersonal Intelligence)
h. Pengalaman di lapangan (Naturalist Intelligence)
Sebagai contoh, jika kita mengajarkan tentang zakat, maka siswa diharapkan membaca materi yang akan disampaikan (Linguistic), mempelajari formula matematika untuk mengetahui perhitungan tentang jumlah uang atau beras yang harus dibayar (Logical-Mathematical), membuat grafik yang mengilustrasikan dinamika pembeyaran zakat pada daerah dan waktu tertentu (Visual-Spatial), mengamati/mengobservasi secara langsung di daerah yang dijadikan sampel (Naturalist), mengamati sistem pembayaran zakat yang dilakukan oleh orang-orang pada daerah yang dijadikan sampel (Interpersonal).
Dengan menggunakan metode yang demikian, maka diharapkan siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan yang berbeda-beda bisa mendapatkan akomodasi yang sama.
Sehubungan dengan pemikiran di atas, penulis berkeinginan untuk meneliti pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diselenggarakan oleh Sekolah Menengah Pertama X, untuk selanjutnya penulis abadikan dalam sebuah bingkai tesis dengan judul Implementasi Multiple Intellegences System Pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Di SMP X".
B. Fokus Penelitian
Pada dasarnya yang menjadi pokok permasalahan pada penelitian ini adalah "pembelajaran". Mengingat begitu luasnya komponen yang ada dalam sebuah pembelajaran, kiranya penulis perlu memberi batasan/menetapkan fokus terhadap masalah yang akan diteliti.
Pembatasan dalam penelitian kualitatif didasarkan pada tingkat kepentingan, urgensi dan fleksibelitas masalah yang akan dipecahkan, selain juga faktor keterbatasan tenaga, dana dan waktu.19 Begitu juga dalam penelitian ini, peneliti
mencoba mencari domain yang sesuai dengan urgensi penelitian20. Adapun fokus dalam penelitian ini adalah: (1) pengembangan Lesson Plan, (2) Pengelolaan pembelajaran, meliputi: pengelolaan materi, media/metode, pengelolaan guru, pengelolaan evaluasi, dan pengelolaan proses pembelajaran, (3) kelebihan dan kekurangan penerapan MIS.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (meliputi: materi, metode/media, guru, evaluasi, proses pembelajaran) berbasis Multiple Intellegenes System di SMP X?
2. Apa kelebihan dan kekurangan penerapan Multiple Intellegences System pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP X?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui sekaligus menganalisis pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (materi, metode/media, guru, evaluasi, proses pembelajaran) berbasis Multiple Intellegenes System di SMP X.
2. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan penerapan Multiple Intellegences System pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP X.
E. Kegunaan penelitian
Penelitian ini diharapkan setidaknya memiliki dua manfaat, yakni :
1. Manfaat teoritis
a. Memperkaya khazanah keilmuan terkait dengan system pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
b. Untuk memenuhi salah satu persyaratan kelulusan.
2. Manfaat praktis
a. Sebagai informasi berharga bagi para praktisi pendidikan, baik lembaga yang diteliti maupun pemerintah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
b. Sebagai referensi baru dalam penerapan system pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang lebih baik sehingga dapat mengoptimalkan segenap potensi dan instrument pendidikan yang ada.
F. Kerangka Teori
Multiple Intelligences adalah sebuah teori kecerdasan yang memandang bahwa setiap manusia memiliki berbagai jenis kecerdasan, dan setiap orang dimungkinkan memiliki lebih dari satu kecerdasan. Gardner mengatakan bahwa manusia lebih rumit daripada apa yang dijelaskan dari tes IQ atau tes sejenisnya21. Menurut Gardner, kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau menciptakan sesuatu yang bernilai dalam suatu budaya/masyarakat22.
Adapun Multiple Intelligences System (MIS), adalah pedoman atau sistem untuk menerapkan Multiple Intelligences di sekolah-sekolah di Indonesia, dimulai dari INPUT, PROSES, dan OUTPUT23. Adapun maca-macam dari kecerdasan yang dimaksud oleh Gardner adalah:
a. Kecerdasan verbal (Bahasa)
b. Kecerdasan logika/matematika
c. Kecerdasan spasial/visual
d. Kecerdasan kinestetis-jasmani
e. Kecerdasan musik
f. Kecerdasan interpersonal
g. Kecerdasan intrapersonal
h. Kecerdasan naturalis.
Dalam dunia pendidikan, teori Multiple Intellegences memberikan pendekatan pragmatis pada bagaimana kita mendefinisikan kecerdasan dan mengajari kita memanfaatkan kelebihan siswa untuk membantu mereka belajar.
Pendidikan Agama Islam adalah sebuah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.25
I. Sistematika pembahasan
Agar pembahasan dalam penelitian ini sistematis, maka pembahasannya diatur dalam beberapa bab, sebagaimana berikut:
Bab I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, uji keabsahan data, dan sistematika pembahasan.
Bab II : LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang: pertama: konsep Multiple Intellegences, meliputi: pengertian Multiple Intelligences, pengertian Multiple Intellegences System, Multiple Intellegences dan perkembangan kepribadian, Multiple Intellegences dan pengembangan kurikulum, Multiple Intellegences dan dengan strategi pengajaran, Multiple Intellegences dan manajemen kelas, Multiple Intellegences dan komunitas pembelajar, Multiple Intellegences dan penilaian, kedua: Pembelajaran PAI, meliputi: pengertian pendidikan Pendidikan Agama Islam (PAI), tujuan, fungsi, pendekatan, ruang lingkup, standart kompetensi, dan penilaian.
Bab III : PENYAJIAN DATA
Pada bab ini akan diuraiakan tentang hasil penelitian yang terdiri dari dua sub bab: (1) Gambaran umum obyek penelitian meliputi: Identitas Sekolah Menengah Pertama X, Strategi Edukasi, Prestasi, visi dan misi, struktur organisasi, jumlah guru dan staf, jumlah siswa dan klasifikasi kelas, kegiatan ekstra, jumlah sarana dan prasarana, waktu pembelajaran (2) Data tentang pembelajaran PAI di SMP X, yakni: pengelolaan pembelajaran PAI (meliputi: penyusunan Lesson Plan, materi, metode/media, guru, penilaian, proses pembelajaran), dan kelebihan dan kekurangan penerapan MIS pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP X .
Bab IV : ANALISA DATA
Berisi tentang analisa data yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
Bab V : PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran