(Kode PSIKOLOG-0001) : SKRIPSI ATTACHMENT STYLES PADA GAY DEWASA MUDA
BAB I
PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran attachment styles yang dialami oleh gay yang berada pada rentang usia dewasa muda. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, dan sistematika penelitian.
I.1. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya jalan hidup setiap manusia berbeda-beda termasuk dalam hal orientasi seksualnya. Secara ekstrim, sebagian besar masyarakat pada umumnya memiliki pola pikir yang dikotomis, seperti hitam-putih, kaya-miskin atau pandai-bodoh. Dalam hal jenis kelamin dan orientasi seksual pun, masyarakat pada umumnya secara jelas dan nyata hanya mengakui jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan orientasi seksualnya hanya terhadap lawan jenis (Emka, 2004). Laki-laki yang menyukai sesama laki-laki, atau dikenal dengan sebutan gay sedangkan perempuan yang juga menyukai sesama perempuan, disebut dengan lesbian, merekalah yang disebut dengan kaum homoseksual (Emka, 2004). Menurut Neale, Davison, & Haaga (1996), ditegaskan bahwa homoseksual adalah hasrat atau aktivitas yang ditujukan terhadap orang yang memiliki jenis kelamin yang sama. Sebutan gay seringkali digunakan untuk menyebut pria yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis (pria homoseksual) (Nevid, Rathus & Rathus, 1995).
Selama berabad-abad, homoseksualitas selalu dipandang sebagai salah satu dari tindakan kriminal. Pada awal abad ke 20, homoseksualitas semakin dipandang sebagai suatu penyakit. Saat itu para ahli kedokteran mengambil alih kasus homoseksualitas yang dinilai negatif sebagai salah satu dari perilaku sosial menyimpang dari segi hukum dan agama dan homoseksualitas tetap dipandang sebagai suatu kondisi patologis yang harus diinvestigasi, diperhatikan, juga disembuhkan (Susan Moore & Doreen Rosenthal, 2006 dan Kelly, 2001). Selain itu homoseksualitas dianggap sebagai dosa, pelanggaran terhadap ajaran agama dan perintah Tuhan. Pada saat itu, homoseksualitas diklasifikasikan ke dalam gangguan jiwa. Pada tahun 1969 terjadi peristiwa Stonewall yang merupakan awal dari pergerakan pembebasan kaum gay di Amerika Utara untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil bagi kaum homoseksual (Susan Moore & Doreen Rosenthal, 2006 dan Kelly, 2001). Kemudian pada tahun 1973, dipengaruhi oleh tekanan politik dari pergerakan kaum gay, American Psychiatric Association (APA) mencabut status homoseksual sebagai gangguan jiwa dari daftar penggolongan dan diagnosis psikopatologi, karena pada kenyataannya kaum homoseksual tetap dapat berfungsi normal di dalam masyarakat dan tidak mengganggu lingkungannya. Sejak itu, homoseksualitas tidak lagi dipandang sebagai suatu penyakit (Susan Moore & Doreen Rosenthal, 2006 dan Kelly, 2001).
Pergerakan kaum gay di luar negeri secara tidak langsung memberi 'angin segar' pada kaum gay di Indonesia untuk mendapat perlakuan yang lebih baik sehingga keberadaan mereka diakui sepenuhnya oleh masyarakat pada umumnya di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta (The Jakarta Post, 2007). Disebutkan bahwa sebanyak 5,7 juta jiwa dari seluruh penduduk Indonesia mengaku dirinya adalah seorang homoseksual dan jumlah tersebut belum termasuk yang sampai saat ini masih menyembunyikan orientasi seksualnya (The Jakarta Post, 2007). Disebutkan pula, fenomena perkembangan homoseksualitas ini tidak dapat diredam lagi dan justru semakin berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari fenomena munculnya beberapa film layar lebar yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar karena dalam ceritanya walaupun sedikit, mengangkat isu homoseksualitas. Film-film tersebut merupakan karya insan perfilman Indonesia, seperti film Arisan, Pesan dari Surga, dan Coklat Stroberi.
Walaupun kaum homoseksual tetap dianggap berbeda karena tertarik dengan sesama jenis (lelaki dengan lelaki dan perempuan dengan perempuan) oleh masyarakat Indonesia, tetapi dengan semakin adanya keterbukaan pandangan masyarakat terhadap hal seksualitas dan homoseksualitas, keberadaan kaum homoseksual di tengah masyarakat tetap ada, semakin menunjukkan identitasnya dan menuntut hak-hak yang sama seperti masyarakat lainnya (Emka, 2004 dan Soffa Ihsan, 2008). Secara perlahan namun pasti pergerakan kaum gay di Indonesia bisa dikatakan sudah meningkat dengan cukup signifikan dan tampil menghiasi wajah sosialita dan memberi warna lain tersendiri dari seksualitas terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung (Emka, 2004 dan Soffa Ihsan, 2008).
Peneliti berasumsi bahwa fenomena homoseksualitas ini tidak hanya menarik untuk diteliti, tetapi sekaligus sebagai salah satu bentuk usaha untuk lebih mengangkat isu homoseksualitas, dalam hal ini gay untuk bisa lebih dikenal dan dihargai sebagai bagian dari masyarakat pada umumnya. Beberapa penelitian tentang homoseksualitas di Indonesia menggunakan fenomena gay sebagai topik utama penelitian mereka dan mengangkat topik-topik seperti proses coming out, self-concept dan hubungan intimasi. Salah satu aspek penting yang berperan dalam perkembangan manusia adalah attachment styles yang dialami. Karena itu, peneliti tertarik untuk melihat gambaran attachment styles pada gay dan bagaimana gambaran hubungan dengan figur attachmentnya.
Bowlby mengemukakan tentang ikatan emosional antara bayi dan significant person/figur attachment. Ikatan emosional antara orang yang mengasuh dan anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak tersebut, terutama dalam menangani emosi anak tersebut dengan orang-orang di luar lingkungan keluarga. Ikatan tersebut dikenal dengan sebutan attachment (Pistole & Arricale, 2003). Attachment adalah kecenderungan makhluk hidup dalam membentuk ikatan afeksi yang kuat dengan orang lain yang dianggap istimewa (Bowlby & Ainsworth, dalam Colin, 1996). Ikatan dengan figur tertentu ini bertahan dalam waktu yang lama, ditandai oleh adanya keinginan untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan figur tersebut, terutama pada saat-saat yang menekan, agar mendapatkan perasaan nyaman dan aman (Bowlby & Ainsworth, dalam Colin, 1996).
Attachment mempunyai berbagai manfaat, yakni menumbuhkan perasaan trust dalam interaksi sosial di masa depan, membantu individu dalam menginterpretasi, memahami, dan mengatasi emosi-emosi negatif selama individu berada dalam situasi yang menekan dan juga menumbuhkan perasaan mampu (Vaughan & Hogg, 2002 ; Blatt, 1996). Menurut Davies (1999), attachment memiliki empat fungsi utama yakni 1) memberikan rasa aman, sehingga ketika individu berada dalam keadaan penuh tekanan, kehadiran figur attachment dapat memulihkan perasaan individu untuk kembali ke perasaan aman; 2) mengatur keadaan perasaan (regulation of affect and arousal), apabila peningkatan arousal tidak diikuti dengan relief (pengurangan rasa takut, cemas atau sakit) maka individu akan menjadi rentan untuk mengalami stres dan kemampuan figur attachment untuk membaca perubahan keadaan individu dapat membantu mengatur arousal dari individu yang bersangkutan; 3) sebagai sarana ekspresi dan komunikasi, attachment yang terjalin antara individu dengan figur attachment-nya dapat berfungsi untuk mengekspresikan diri, berbagi pengalaman dan perasaan yang sedang dialami; 4) sebagai dasar untuk melakukan ekplorasi pada lingkungan sekitar.
Dalam penelitian ini subjek yang akan diteliti yakni gay dewasa muda, dimaksudkan karena pada usia ini pria telah mengalami akil balik, mempunyai kebutuhan afeksi tinggi dan telah mempunyai kesadaran akan orientasi seksualnya (Matlin, 1999). Menurut Erikson (dalam Papalia et.al., 2004), setiap individu akan mengalami delapan krisis dalam kehidupan sosial yang berlangsung di sepanjang kehidupannya. Usia dewasa muda merupakan tahap keenam dari tahapan perkembangan psikososial. Pada saat itu individu diharapkan sudah mencapai tahap yakni intimacy and solidarity vs isolation (Papalia et.al., 2004). Rosenbluth dan Steil (dalam Papalia et.al., 2004), menjelaskan bahwa intimacy adalah pengalaman yang dekat, hangat, serta komunikatif. Apabila seseorang gagal membentuk intimacy dengan orang lain, maka ia akan menuju apa yang dinamakan dengan isolation yaitu terbentuknya hubungan sosial yang hampa (Miller, 1993).
Bowlby menjelaskan bahwa kualitas hubungan pada masa kanak-kanak dengan significant others/figur attachment menghasilkan representasi internal atau working models terhadap diri pribadi dan orang lain yang menyediakan prototipe bagi hubungan sosial selanjutnya (Bowlby, 1978). Pada masa dewasa, attachment styles diklasifikasikan menjadi secure attachment dan insecure attachment (Ainsworth et al., 1978 dalam Dwyer, 2000). Perasaan secure dan insecure yang dimiliki seseorang tergantung dari internal working models of attachment yang dimilikinya ( Bowlby dalam Collins & Feeney, 2004 ). Working models of attachment adalah representasi umum tentang bagaimana orang terdekatnya akan berespon dan memberikan dukungan setiap kali ia membutuhkan mereka dan bahwa dirinya sangat mendapat perhatian dan dukungan. Working models of attachment ini memainkan peran dalam membentuk kognisi, afeksi, dan perilaku seseorang dalam konteks yang berhubungan dengan attachment (Collins & Allard; Collins & Read, dalam Collins & Feeney, 2004).
Working model dibentuk dari pengalaman masa lalu individu dengan figur attachment-nya, apakah figur attachment-nya adalah orang yang sensitif, selalu ada, konsisten, dapat dipercaya dan sebagainya. Pengalaman interaksi awal seseorang akan membentuk dasar kepercayaannya terhadap diri sendiri dan orang lain yang akan mempengaruhi kehidupan psikososialnya dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Attachment styles dapat mempengaruhi kehidupan psikososial individu sepanjang interaksi tersebut relevan dengan masalah interpersonal, seperti interaksi dengan figur attachment/significant others (Pietromonaco & Barrett, 1997 dalam Baron & Byrne, 2000).
Pada orang dewasa, model attachment disebut juga dengan adult attachment styles. Pengertian adult attachment sendiri adalah kecenderungan stabil yang dimiliki individu untuk melaksanakan suatu usaha penting dalam mencari dan mempertahankan kedekatan atau kontak dengan seseorang atau beberapa orang spesifik yang memberikan rasa aman secara fisik maupun psikologis (Sperling & Berman, 1994). Pada orang dewasa, model attachment styles didasari oleh dua dimensi yakni, dimensi anxiety dan avoidance. Pada dimensi pertama, anxiety, perasaan seseorang tentang keberhargaan dirinya (self-worth) berkaitan dengan seberapa tinggi individu merasa khawatir bahwa ia akan ditolak, ditinggalkan, dan tidak dicintai oleh figur attachment/significant others. Adapun dimensi yang kedua, avoidance, berkaitan dengan seberapa jauh individu membatasi intimasi dan ketergantungan pada orang lain (Brennan, Clark & Shaver, Fraley & Waller; Griffin & Bartholomew, dalam Collins & Feeney, 2004). Disimpulkan bahwa kedua dimensi tersebut menjelaskan cara pandang individu terhadap orang lain dan dirinya sendiri. Dalam teori attachment dari Bowlby, dimensi tersebut dikenal dengan istilah working models of self and attachment figures (Colin & Feeney, 2004).
Dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai attachment styles pada gay dewasa muda yang diklasifikasikan ke dalam empat kategori adult attachment styles yakni secure, preoccupied, dismissing-avoidant, dan fearful-avoidant. Individu yang secure percaya bahwa dirinya dicintai dan dihargai oleh orang lain dan mendapat perhatian penuh; menilai figur attachment sebagai responsif, penuh perhatian dan dapat dipercaya; serta merasa nyaman dalam sebuah kedekatan atau keintiman (Collins & Feeney, 2004). Individu yang preoccupied memiliki perasaan tidak berharga dan tidak dicintai. Mereka menginginkan kedekatan dan intimasi dengan orang lain namun kurang yakin bahwa orang lain akan selalu 'ada' untuk dirinya dan berespon terhadap keinginannya, mereka juga memiliki kekhawatiran akan ditolak dan ditinggalkan (Collins & Feeney, 2004 ). Individu yang dismissing-avoidant, cenderung merasa percaya diri dan melihat dirinya sendiri kebal terhadap perasaan negatif. Individu menilai negatif figur attachment yakni sebagai pihak yang secara umum tidak dapat dipercaya serta tidak bertanggung jawab (Erdman & Caffery, 2003). Sedangkan individu yang fearful-avoidant, cenderung merasa tidak percaya pada diri sendiri maupun orang lain, selalu membuat jarak seolah-olah ingin melindungi diri mereka dari ketakutan akan adanya suatu intimasi dan karena mempunyai perasaan akan ditolak yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam intimasi dan menghindari bentuk hubungan yang erat atau intimasi dengan orang lain (Erdman & Caffery, 2003).
Berdasarkan fenomena yang telah disebutkan dia atas, peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran attachment styles yang dialami oleh gay dalam hal ini dikhususkan pada gay yang berada pada tahap dewasa muda. Gay juga mempunyai masa-masa dimana mereka mencapai puncak keinginan untuk hubungan percintaan, afeksi, kematangan fisik dan pikiran (Matlin, 1999). Oleh karena itu, peneliti memfokuskan rentang usia dewasa muda yang akan diteliti yakni yang berada pada usia 20-40 tahun (Papalia et.al, 2004). Untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika attachment yang dialami dengan figur attachment dan gambaran adult attachment styles yang dialami pada masa dewasa ini, untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai hal tersebut yang dialami oleh gay dewasa muda, maka pendekatan yang dianggap tepat yakni pendekatan kualitatif. Dengan melakukan wawancara mendalam kepada subjek, diharapkan dapat memungkinkan munculnya data-data yang sesungguhnya tidak terbayangkan sebelumnya dan memungkinkan bagi responden untuk memberikan jawaban yang bebas dan bermakna baginya (Patton, dalam Poerwandari, 1998). Gay yang menjadi responden dalam penelitian ini khususnya mereka yang tinggal di X.
I.2. Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka permasalahan yang utama dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran attachment styles yang dialami gay dewasa muda ?
2. Secara lebih spesifik, bagaimana gambaran hubungan individu gay dengan figur attachment dari masa kanak-kanak hingga dewasa dan apa bentuk adult attachment styles yang dialami gay dewasa muda dan dikaitkan dengan perkembangan psikososialnya?
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran attachment styles yang dialami pria gay khususnya yang tinggal di X. Secara lebih spesifik, ingin mengetahui apakah ada perubahan figur attachment yang dimiliki dari masa kanak-kanak hingga dewasa dan bentuk adult attachment styles yang dialami oleh gay dewasa muda yang kemudian dikaitkan dengan perkembangan psikososialnya.
I.4. Signifikansi Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat positif bagi kaum gay sendiri maupun bagi masyarakat. Manfaat-manfaat tersebut antara lain :
1. Mengetahui secara lebih spesifik gambaran attachment styles yang dialami oleh gay yang diteliti, sehingga masyarakat umum dapat memahami gay secara objektif saat berinteraksi dengan gay.
2. Menambah wawasan dan masukan bagi keluarga dan masyarakat mengenai kaum gay.
3. Memperdalam pemahaman mengenai kehidupan gay yang memang sampai saat ini masih kurang diteliti secara ilmiah.
4. Menjadi tambahan bahan literatur psikologi yang membahas tentang gay sehingga dapat dijadikan sebagai data eksploratif yang dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.
5. Memberi inspirasi dan masukan untuk para gay lainnya untuk tidak perlu merasa rendah diri dan malu dengan orientasi seksualnya.
I.5. Isu Etis
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana attachment styles pada subjek yang dalam hal ini yakni gay. Penelitian ini sangat berhubungan dengan kehidupan subjek dan merupakan isu yang cukup sensitif dan kontroversial di kalangan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas subjek dengan menyamarkan/menggunakan inisial pada nama subjek. Selain untuk menjaga kerahasiaan, hal ini juga dilakukan agar subjek merasa aman dan nyaman selama proses pengambilan data berlangsung. Peneliti hanya menggunakan data subjek untuk penyusunan skripsi dan tidak digunakan untuk kepentingan lain.
I.6. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi "Attachment Styles pada Gay Dewasa Muda" ini tersusun dalam sistematika sebagai berikut :
BAGIAN I PENDAHULUAN
Menggambarkan secara garis besar mengenai latar belakang masalah penelitian, tujuan dan signifikansi penelitian, isu etis serta sistematika penulisan dari penelitian.
BAGIAN II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi pembahasan mengenai berbagai teori yang berhubungan serta menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan dengan gay, attachment styles dan dewasa muda .
BAGIAN III METODE PENELITIAN
Berisi penjelasan tentang metode yang digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data, partisipan penelitian, prosedur penelitian, prosedur analisis yang digunakan dan instrumen penelitian dalam melaksanakan penelitian.
BAGIAN IV TEMUAN DAN ANALISIS
Menjelaskan mengenai hasil dari proses analisis dan pemberian makna data yang telah didapatkan dari pelaksanaan wawancara.
BAGIAN V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Membahas ringkasan dari hasil penelitian, kelemahan atau kekurangannya dan beberapa saran perbaikan yang perlu dilaksanakan berdasarkan hasil tersebut.
Home » All posts
ATTACHMENT STYLES PADA GAY DEWASA MUDA
TESIS PENGARUH PERSEPSI TENTANG MUTU PELAYANAN SPESIALISTIK EMPAT DASAR TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP
(KODE : PASCSARJ-0033) : TESIS PENGARUH PERSEPSI TENTANG MUTU PELAYANAN SPESIALISTIK EMPAT DASAR TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP (PRODI : KESEHATAN MASYARAKAT)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional untuk tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat menwujudkan derajat kesehatan yang optimal. Selaras dengan tujuan pembangunan kesehatan adalah terdapatnya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional, untuk itu perlu ditingkatkan upaya guna memperluas dan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau (Mulyadi, XXXX)
Rumah Sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan memberikan dua jenis pelayanan kepada masyarakat, yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan dan unit rawat inap. Rumah Sakit merupakan insitusi yang komplek, dinamis dan kompetitif, padat modal, padat karya yang multi disiplin, serta padat teknologi dan dipengaruhi lingkungan yang selalu berubah. Rumah Sakit secara konsisten tetap dituntut untuk menjalankan misinya sebagai institusi pelayanan sosial dengan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat (Muninjaya, XXXX).
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan, maka peningkatan sumber daya manusia menjadi tuntutan masyarakat, sehingga kinerja pelayanan dapat diandalkan, bermutu dan berorentasi kepada pelanggan yang dapat memberikan kepuasan pasien. Tata cara penyelenggaraanya harus juga sesuai dengan standar kode etik yang telah ditetapkan (Azwar, XXXX).
Mutu pelayanan yang diberikan tidak akan pernah sempurna, karena setiap pasien adalah pribadi yang unik, sehingga pelayanan tidak selalu dapat memuaskan, karena mutu pelayanan terhadap kepuasan pasien sangat ditentukan oleh pelaksana pelayanan (Rangkuti, XXXX).
SK Menteri Kesehatan RI No/983/Menkes/SK/X11/1992 menyebutkan bahwa Rumah Sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialis dan subspesialis. Rumah Sakit ini mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat. dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Rumah Sakit biasanya dibagi menurut kapasitas serta jenis pelayanan yang dilakukan. menjadi Rumah Sakit kelas A, B, dan C. Rumah Sakit tipe C merupakan Rumah Sakit yang memberikan pelayanan spesialis empat dasar, seperti kebidanan, penyakit dalam, bedah dan anak. Setiap kabupaten di tanah air pada umumnya mempunyai Rumah Sakit tipe C, sedang Rumah Sakit tipe B mempunyai pelayanan yang lebih lengkap dan Rumah Sakit tipe A merupakan Rumah Sakit yang paling lengkap dengan pelayanan spesialistik dan subspesialistik (Muninjaya, XXXX).
Mutu pelayanan Rumah Sakit dipengaruhi oleh sumber daya manusia, peralatan dan sistem kerjanya. Pelayanan diRumah Sakit salah satunya diberikan oleh dokter. Dalam memberikan pelayanan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dokter ini perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam hal pengetahuan, keterampilan, komunikasi dan perilaku dari dokter tersebut.
Di Indonesia penilaian mutu dan Quality Ansurance(QA) telah mendapat perhatian yang sejak tahun 1978. Rumah Sakit Gatot Subroto adalah yang pertama menerapkan upaya penilaian mutu, yang didasarkan atas derajat kepuasan pasien. Setelah itu beberapa Rumah Sakit juga menerapkan pengembangan kegiatan mutu pelayanan dengan cara yang berbeda. Rumah Sakit Husada Jakarta membuat penilaian mutu atas dasar kepuasan pasien sejak 1984, Rumah Sakit Adi Husada Surabaya membuat penilain mutu atas dasar penilaian perilaku dan pelaksanaan kerja (performan) perawat, serta RS dr. Sutomo Surabaya telah melaksanakan penilaian infeksi nosokomial (Jacobalis, XXXX).
Seiring dengan peningkatan pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka sistem nilai dan orientasi dalam masyarakat mulai berubah. Masyarakat mulai menuntut pelayanan umum yang lebih baik, lebih ramah dan lebih bermutu, termasuk juga pelayanan kesehatan ini. Dengan semakin banyaknya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan, maka fungsi pelayanan kesehatan termasuk pelayanan dalam Rumah Sakit secara bertahap perlu terus ditingkatkan, agar menjadi lebih efektif dan efisien, serta memberi kepuasan terhadap pasien, keluarga maupun masyarakat (Mulyadi, XXXX).
Dokter adalah andalan utama suatu Rumah Sakit, perlu disadari bahwa dokterlah yang dicari oleh pelanggan ekternal untuk kesembuhan dari penyakit yang diderinya. Dokter di Rumah Sakit adalah koordinator pelayanan medis bagi seorang pasien.meskipun dokter tidak dapat bekerja sendiri untuk tugasnya itu, dokter diakui memegang peran sentral dalam memberikan citra dan kinerja di Rumah Sakit (Suroso, XXXX).
Dokter spesialis empat dasar di Rumah Sakit dapat meningkatkan penerimaan rawat inap, terutama dokter bedah dan ahli penyakit dalam. Peningkatan pasien rawat inap pada pelayanan bedah dan penyakit dalam disebabkan kasus bedah memerlukan penanganan di Rumah Sakit, meningkatnya usia harapan hidup di masyarakat Indonesia, akan terjadi peningkatan prevalensi penyakit-penyakit degeneratif, untuk dokter spesialis kebidanan dan kandungan serta spesialis anak, kemungkinan mempunyai praktek pribadi atau klinik diluar Rumah Sakit (Trisnantoro, XXXX).
RSU X berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan No.069.A/Menkes/SK/I/1993 tanggal 9 Januari menjadi Rumah Sakit tipe C. RSU X merupakan Rumah Sakit tipe C dengan kapasitas 126 tempat tidur. RSU X tidak mempunyai pesaing dengan RS Swasta di kota X sehingga masyarakat mendapat pelayanan kesehatan di tingkat RS hanya di RSU X, tetapi banyak masyarakat berobat keluar daerah seperti X, setelah ada bencana gempa bumi dan gelombang Tsunami Desember XXXX, masyarakat banyak menggunakan pelayanan kesehatan ke RSU X, ini merupakan suatu peluang untuk melayani pasien dalam pelayanan kesehatan.
Hasil pengamatan di lapangan RSU X pada tahun XXXX Bed Ocupation Rate (BOR) 48,28% dan XXXX BOR 57,73%, terlihat jelas pada BOR Rumah Sakit masih dibawah 70%. RSU X merupakan tipe C yang memberi pelayanan pada pasien didasarkan pada empat dasar spesialis yaitu pelayanan spesialis penyakit dalam, pelayanan spesialis bedah, pelayanan spesialis kandungan dan pelayanan spesialis anak.
BOR di Rumah Sakit X dalam empat pelayanan dasar spesialistik pada tahun XXXX dan tahun XXXX, menggambarkan secara umum pelayanan spesialistik empat dasar yaitu pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan anak dan pelayanan kebidanan dan kandungan rata-rata BOR dibawah 70%. Dalam hal ini tampak rendah, BOR pelayanan spesilistik empat dasar pada tahun XXXX adalah 48,28% yang terdiri dari pelayanan penyakit dalam 60,2%, pelayanan bedah 40,27%, pelayanan anak 33,05%, dan pelayanan kebidanan 59,59 sedangkan tahun XXXX ada peningkatan BOR menjadi 57,75% tetapi masih tetap rendah yaitu pelayanan penyakit dalam 63,38%, pelayanan bedah 68,32%, pelayanan anak 36,12, dan pelayanan kebidanan 63,18% (BPK RS X).
Pada tahun XXXX terjadi peningkatan sedikit kunjungan pasien ke RSU X, sedangkan tahun XXXX kunjungan rendah. Hal ini disebabkan kondisi keamanan di daerah X khususnya di Kabupaten X tidak aman sehingga masyarakat enggan untuk keluar rumah.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah adalah bagaimana mutu pelayanan spesialistik empat dasar mempengaruhi kepuasan pasien rawat inap di BPK RSU. X.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis pengaruh persepsi tentang mutu pelayanan spesialistik empat dasar terhadap kepuasan pasien rawat inap di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.3.2. Tujuan khusus
1.3.2.1. Untuk menganalisis pengaruh pelayanan spesialistik empat dasar berdasarkan reliability terhadap kepuasan pasien rawat inap di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.3.2.2. Untuk menganalisis pengaruh mutu pelayanan spesialis empat dasar berdasarkan responsivines terhadap kepuasan pasien di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.3.2.3. Untuk menganalisis pengaruh pelayanan pelayanan spesialistik empat dasar berdasarkan tangible terhadap kepuasan pasien rawat inap di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi pimpinan BPK RSU X dapat memberikan masukan tentang mutu pelayanan dokter spesialistik empat dasar.
1.4.2. Bagi dokter spesialistik empat dasar di BPK RSU X dapat mengetahui tentang mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien.
1.4.3 Bagi peneliti berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperoleh ilmu pengetahuan setelah penelitian tentang mutu pelayanan kinerja dokter spesialistik.
TESIS DETERMINAN PARTISIPASI KELUARGA DALAM TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE
(KODE : PASCSARJ-0031) : TESIS DETERMINAN PARTISIPASI KELUARGA DALAM TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (PRODI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Denque Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menyerang penduduk dunia sampai saat ini. Berbagai serotipe virus Dengue endemis di beberapa daerah tropis. Di Asia virus Dengue endemis di daerah China Selatan, Hainan, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Myanmar, India, Pakistan, Sri Langka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura. Negara dengan endemisitas rendah di Papua New Guinea, Bangladesh, Nepal, Taiwan dan sebagian besar negara pasifik (Depkes, XXXX).
Menurut WHO (XXXX) jumlah penduduk dunia yang beresiko terinfeksi DBD lebih dari 2,5 sampai 3 milyar orang terutama penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Diperkirakan setiap tahunnya ada 300 juta kasus di Indonesia, dan 500.000 kasus DBD yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan minimal 12.000 diantaranya meninggal dunia, terutama anak-anak (Depkes RI, XXXX).
Di Indonesia, penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi (Hindra, XXXX). Penyakit DBD bahkan endemis hampir di seluruh propinsi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) (Depkes, XXXX).
Sejak pertama kali ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, tercatat 54 kasus dengan 24 kematian (CFR 41,5%). Sejak itu penyakit DBD tersebar di berbagai daerah, dan angka kejadian penyakit DBD meningkat. Pada tahun 1972 ditemukan DBD di luar Jawa yaitu X, X, dan X. Kejadian Luar Biasa penyakit DBD terjadi di sebagian besar daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan, di mana sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah perdesaan. Sampai dengan bulan November XXXX, kasus DBD di Indonesia telah mencapai 124,811 (IR: 57,51/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR: 1,02%) (Depkes, XXXX).
Secara teoritis peningkatan jumlah penderita DBD dipengaruhi oleh adanya mobilitas penduduk dan arus urbanisasi yang tidak terkendali, kurangnya jumlah dan kualitas SDM pengelola program DBD di setiap jenjang administrasi, kurangnya kerjasama serta komitmen lintas program dan lintas sektor dalam pengendalian DBD, sistim pelaporan dan penanggulangan DBD yang terlambat dan tidak sesuai dengan standar, perubahan iklim yang cenderung menambah jumlah habitat vektor DBD, infrastruktur penyediaan air bersih yang tidak memadai, serta letak geografis Indonesia di daerah tropik mendukung perkembangbiakan vector dan pertumbuhan virus serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan DBD (Depkes RI, XXXX).
Berdasarkan kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian DBD, maka Departemen Kesehatan telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam pengendalian penyakit DBD, yaitu menemukan kasus secepatnya dan mengobati sesuai prosedur tetap, memutuskan mata rantai penularan dengan pemberantasan vektor (nyamuk dewasa dan jentik-jentiknya), kemitraan dengan wadah Kelompok Kerja Operasional DBD (POKJANAL DBD), pemberdayaan masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan peningkatan profesionalisme pelaksana program (Depkes XXXX).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya peningkatan kasus, salah satu diantaranya adalah dengan memberdayakan masyarakat dalam kegiatan PSN melalui gerakan 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur). Kegiatan ini telah diintensifkan sejak tahun 1992 dan pada tahun XXXX dikembangkan menjadi 3M plus, yaitu dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan, abatisasi, menggunakan kelambu dan menggunakan penolak nyamuk. Sampai saat ini upaya tersebut belum menampakkan hasil yang diinginkan, karena setiap tahun masih terjadi peningkatan angka kematian (Depkes, XXXXb).
Hal ini disebabkan oleh upaya peningkatan peran serta masyarakat yang belum optimal. Meskipun telah disadari bahwa peran serta masyarakat sangat berperan besar dalam penanggulangan penyakit DBD, namun masyarakat masih sering dijadikan objek yang akan diintervensi, bukan sebagai subjek yang mampu untuk melakukan intervensi untuk dirinya sendiri. Tingkat partisipasi yang dapat diterjemahkan sebagai kemauan dan kemampuan belum sepenuhnya dioptimalkan. Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, adanya perbedaan status dan lain-lain (Siswono, XXXX).
Untuk meningkatkan daya dan hasil guna upaya pemberantasan penyakit DBD di tingkat desa/kelurahan dibentuk Kelompok Kerja Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (POKJA DBD) melalui Surat Keputusan Lurah/Kepala Desa dan Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL DBD) pada tingkat yang lebih tinggi. Ini merupakan forum koordinasi kegiataan pemberantasan DBD dalam wadah LKMD dan tujuan program adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata.
Pengumpulan data program P2 DBD untuk memperoleh gambaran tentang besarnya permasalahan DBD dan besarnya masalah diketahui dari jumlah desa/ endemis dan sporadis, jumlah penderita dan kematian penyakit DBD. Upaya penanggulangannya diketahui dari jumlah desa/kelurahan yang dilakukan tindakan pengasapan/fogging, abatisasi serta keberadaan Pokja DBD yang mengorganisasikan penggerakan masyarakat dalam PSN (Depkes RI, XXXX).
Di Provinsi X jumlah penderita penyakit DBD sudah melebihi indikator nasional sebesar 5 per 100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD pada tahun XXXX dilaporkan sebanyak 795 kasus dengan angka kesakitan/Incidence Rate (IR = 18,5 per 100.000 penduduk) dan kematian sebanyak 13 orang (CFR = 1,7%) (Profil Dinas Kesehatan Provinsi X, XXXX).
Kota X terdiri dari 12 kecamatan dan 58 kelurahan, salah satu kecamatan adalah X. Pada tahun XXXX di Kecamatan X terjadi KLB DBD dengan kasus 138 orang dan 2 kematian (CFR = 1,51%). Pada tahun XXXX jumlah penderita DBD sebesar 52 orang dan pada tahun XXXX di Kecamatan X jumlah kasus DBD sebanyak 57 orang. CFR di Kecamatan X adalah 2,35% dan IR = 87,66 sedangkan Kecamatan Sukajadi IR = 47,61, Senapelan IR = 24,09, X Kota IR = 31,78, Rumbai Pesisir IR = 29,78, Rumbai IR = 31,03, Sail IR = 73,68, Limapuluh IR = 45,34, Tenayan IR = 40,38, X IR = 87,66, Marpoyan Damai IR = 35,62, Tampan IR = 55,70, Payung Sekaki IR = 50,31 (IR per 100.000 penduduk) (Profil Dinas Kesehatan Kota X, XXXX)
Upaya penanggulangan yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota X berupa abatisasi dan pengasapan untuk memutuskan rantai penyebaran dan perkembangbiakan vektor. Namun karena tingginya biaya dan keterbatasan anggaran maka upaya tersebut kurang berkesinambungan. Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam upaya penanggulangan DBD tanpa biaya mahal adalah dengan PSN antara lain gerakan 3 M (menguras, menutup dan mengubur) yang berupa pengurasan dan penutupan tempat-tempat penampungan air, dan menimbun barang-barang tempat perkembangbiakan vektor di mana kegiatan ini merupakan tindakan yang praktis, murah, dan dapat dilakukan oleh siapapun dan di manapun (Depkes RI, XXXX).
Upaya meningkatkan peran serta masyarakat agar ikut berpartisipasi merupakan upaya pemberdayaan masyarakat khususnya keluarga. Partisipasi masyarakat menjadi faktor yang menentukan dalam pemberantasan DBD. Keberhasilan ini ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat, baik dalam menyumbangkan masukan (input) maupun dalam menikmati hasilnya.
Kenyataan di lapangan, program pemberantasan DBD kurang memperoleh parti sipasi masyarakat khususnya keluarga karena kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat. Di lain pihak juga dirasakan kurangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat mengenai kapan, dan dalam bentuk apa mereka dapat untuk berpartisipasi dalam pemberantasan DBD (Depkes, XXXX).
Dengan demikian diperlukan upaya pencegahan DBD melibatkan partisipasi keluarga. Keluarga adalah satu kesatuan unit terkecil dari masyarakat sehingga dengan tingginya kesehatan keluarga maka semakin baik kesehatan keluarga. Selain itu keluarga sebagai suatu kelompok dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah-masalah dalam kelompoknya. Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan. Dalam kehidupan sosial keluarga merupakan cara hidup yang didukung oleh masyarakat, jadi pembentukan keluarga tidak terlepas dari kondisi dan lingkungan yang terdapat di sekitarnya. Keluarga mempunyai fungsi di mana individu-individu itu pada dasarnya dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidupnya (Friedman, 1998).
Dari uraian di atas, maka dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimana determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, DBD merupakan masalah kesehatan yang masih memerlukan perhatian dan penanganan khususnya Kecamatan X di Kota X mengingat daerah ini merupakan daerah endemis, maka dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.
1.4. Hipotesis Penelitian
Ada determinan partisipasi keluarga (kesempatan, kemampuan dan kemauan berpartisipasi) dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota X sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan penyusunan program pengendalian DBD.
2. Bagi Puskesmas dan lintas sektor di Kecamatan X sebagai bahan pertimbangan untuk kebutuhan masyarakat setempat.
TESIS ANALISIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DALAM KAITANNYA DENGAN LOYALITAS PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT X
(KODE : PASCSARJ-0030) : TESIS ANALISIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DALAM KAITANNYA DENGAN LOYALITAS PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT X (PRODI : ILMU MANAJEMEN)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu upaya dalam mewujudkan Indonesia Sehat 2010, adalah meningkatkan kualitas pelayanan oleh pelaksana pelayanan kesehatan, seperti Puskesmas dan Rumah Sakit. Rumah Sakit sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan, hendaknya dikelola dengan baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan jumlah pasien.
Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin membaik sehingga menimbulkan kecederungan untuk menuntut pelayanan umum yang lebih baik dan lebih cepat. Keberadaan Rumah Sakit baik swasta maupun milik pemerintah serta munculnya klinik-klinik kesehatan di kota besar menyebabkan terjadi persaingan yang ketat dalam menyediakan jasa pelayanan kesehatan. Salah satu strategi yang digunakan oleh pengelola Rumah Sakit pada umumnya adalah dengan memberikan pelayanan yang berkualitas.
Kondisi sosial masyarakat yang semakin meningkat meyebabkan masyarakat semakin sadar akan kualitas. Peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kesehatan yang lebih berorientasi pada kepuasan pasien. Di dalam mencapai tujuan yang berorientasi pada kepuasan pasien yang meliputi aspek fasilitas rumah sakit, peranan dokter, perawat dan staf non medis Rumah Sakit menjadi sangat penting karena kinerja mereka akan menentukan persepsi pasien terhadap pelayanan yang diberikan.
Rumah Sakit (RS) X, merupakan Rumah Sakit yang memiliki VISI "Meningkatkan Mutu Pelayanan Rumah Sakit X yang unggul dan bernuansa Islami". Pada awalnya sistem nilai Rumah Sakit terutama berfungsi sosial, kemudian terjadi perubahan nilai-nilai tersebut dari fungsi sosial menjadi usaha bisnis yang surplus, "profit making" sehingga dari operasionalnya dapat dilakukan renovasi, reinvestasi, pengadaan peralatan modern, pengembangan sumber daya manusia secara berkesinambungan.
Rumah Sakit X adalah salah satu karya monumental masyarakat di X yang sangat bernilai dari segi material dan moral. Rumah Sakit X merupakan sebuah lembaga bisnis yang bergerak dibidang jasa pelayanan kesehatan dengan kriteria rumah sakit tipe C, berlokasi di Jalan Diponegoro No 4 X yang merupakan lokasi yang cukup strategis, dan dekat dengan daerah perkantoran dan pertokoan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PERMENKES) No. 262 tahun 1979 dengan standard rumah sakit tipe C sebagai berikut : tenaga medis sebanyak 20 orang, tenaga para medis perawatan sebanyak 95 orang, tenaga para medis non perawatan sebanyak 96 orang, tenaga non medis 140 orang. Berikut ini adalah perbandingan total tenaga pada rumah sakit tipe C :
- Tenaga medis dengan perbandingan 9: 1,
- Tenaga para medis perawatan dengan perbandingan 1: 1
- Tenaga para medis non perawatan dengan perbandingan 5: 1
- Tenaga non medis dengan perbandingan 4:3
Rumah Sakit ini mempekerjakan 145 karyawan tetap dengan rincian sebagai berikut: tenaga medis sebanyak 10 orang, tenaga para medis perawatan sebanyak 83 orang, tenaga para medis non perawatan sebanyak 11 orang, dan tenaga non medis sebanyak 54 orang. Berarti kriteria tenaga medis dan non medis masih belum memenuhi standar sebagai Rumah Sakit tipe C. Fasilitas pelayanan yang disediakan antara lain dokter Spesialis, Instalasi Gawat Darurat (IGD) 24 jam, Poli umum, Instalasi Rawat Inap, Rawat Inap Khusus (ICU), Persalinan 24 jam, KIA/KB, Laboratorium, Tindakan Medis Operatif, Radiologi, Elektro Medis, Rawat Jalan, Ambulance, Haemodialise (HD), Apotik.
Sarana dan prasarana Rumah Sakit X saat ini dari berbagai informasi masih dinilai sederhana dan pelayanannya sering terganggu karena pemeliharaan sarana yang kurang memadai, proporsi antara tenaga dan peralatan masih kurang seimbang, begitu juga dengan penempatan tenaga yang kurang sesuai. Catatan rekam medik pasien rawat inap masih sederhana.
Data pasien Rawat Inap yaitu BOR (Bed Occupancy Rate) tahun XXXX (39,50%), tahun XXXX (48,2 %), dan tahun XXXX (39,60%), ini menunjukkan bahwa jumlah setiap bulannya mengalami fluktuasi, kadang-kadang naik atau sebaliknya. Berdasarkan data tersebut di duga bahwa fluktuasinya BOR dari tahun ke tahun disebabkan oleh permasalahan adanya kemungkinan ketidakpuasan pasien dengan pelayanan yang diberikan.
Data pasien yang Rawat Inap di Rumah Sakit X menunjukkan masih kurangnya loyalitas pasien terhadap penampilan Rumah Sakit X secara keseluruhan. Mengembangkan loyalitas pasien Rawat Inap membutuhkan tantangan yang tidak terbatas, apalagi saat ini pasien dan keluarga pasien sudah lebih kritis dalam memilih Rumah Sakit sebagai fasilitas berobat, antara lain dapat membandingkan pelayanan Rumah Sakit satu dengan yang lainnya terutama dalam kualitas pelayanan.
Dalam kualitas pelayanan di Rumah Sakit X, diperoleh informasi dari beberapa pasien, bahwa Rumah Sakit X pelayanan yang diberikan masih kurang memuaskan dalam bidang pelayanan medis, para medis, kelengkapan peralatan dan kebersihannya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
a. Sejauhmana pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
b. Sejauhmana hubungan kepuasan pasien terhadap loyalitas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
b. Untuk menganalisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
c. Untuk mengetahui hubungan kepuasan pasien dengan loyalitas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
a. Bagi Sekolah Pascasarjana X, sebagai informasi dan menambah khasanah keilmuan untuk lembaga akademis sehingga dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
b. Yayasan Rumah Sakit X, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan mengenai pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit X sehingga kepuasan pelanggan tercapai.
c. Peneliti, sebagai pengembangan pengetahuan yang diperoleh penulis selama dibangku perkuliahan khususnya dibidang pemasaran.
d. Sebagai referensi bagi peneliti berikutnya dalam meneliti dan mengkaji masalah yang sejenis.
1.5 Kerangka Pemikiran
Menjadi organisasi yang fokus pada konsumen adalah pilihan strategis bagi industri Rumah Sakit dan dunia usaha umumnya agar mampu bertahan ditengah situasi lingkungan ekonomi yang memperlihatkan kecenderungan fluktuasi dan semakin meningkatnya kualitas hidup. Salah satu cara adalah dengan menciptakan kepuasan pelanggan melalui peningkatan kualitas, karena pelanggan adalah fokus utama.
Kualitas pelayanan yang prima akan memberikan dampak terhadap kepuasan pelanggan yang dapat menguntungkan perusahaan dan dapat membentuk hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan dan pelanggan
Menurut Lupiyoadi (XXXX) dalam menentukan tingkat kepuasan, seorang pelanggan seringkali melihat dari nilai lebih suatu produk maupun kinerja pelayanan yang diterima dari suatu proses pembelian produk atau jasa. Pencarian nilai oleh pelanggan terhadap produk (jasa) perusahaan, kemudian menimbulkan teori yang disebut dengan customer delivered value (nilai yang diterima oleh pelanggan) yaitu besarnya selisih nilai yang diberikan oleh pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan yang ditawarkan kepadanya dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelanggan untuk memperoleh produk tersebut.
Sedangkan menurut Groonroos dalam Ratminto dan Winarsih (XXXX) pelayanan adalah aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan, atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan konsumen/ pelanggan.
Pengukuran terhadap produk jasa yang sifatnya intangible. Menurut para peneliti, didapati bahwasanya para konsumen memiliki beberapa kriteria yang digunakan sebagai tolok ukurnya pengevaluasian dan pengukuran produk jasa tersebut, yaitu :
Bukti Langsung (tangibles) yang meliputi fasilitas fisik sarana prasarana, perlengkapan utama dan pendukung, pegawai internal (kantor) dan eksternal (dilapangan) serta sarana komunikasi.
Kehandalan (reliability) yang memberikan jasa pelayanan serta informasi seakurat dan sesegera mungkin dengan tingkat hasil memuaskan,
Daya Tanggap/Daya Serap (responsiveness) yang secara tanggap dan cepat memberikan pelayanan kepada pelanggannya serta dengan tingkat serap yang baik atas informasi yang diberikan,
Jaminan (assurance) yang mencakup lingkup dasar pengetahuan, kemampuan, kesopanan serta sifat pegawai/staf yang dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan dalam melaksanakan tugas serta tanggungjawab tanpa dengan adanya pengawasan yang sangat ketat, tetapi berdasarkan sadar disiplin,
Empati (emphaty) yang meliputi karakter personal yang dapat memudahkan melakukan hubungan atau komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan.
Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan, dan keperluan pelanggan dipenuhi, suatu pelayanan dinilai memuaskan bila ia dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelangganya. Ada beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan dalam menilai suatu pelayanan, yaitu : ketepatan waktu, dapat dipercaya, kemampuan teknis, diharapkan berkualitas dan harga yang sepadan (Sugito, XXXX).
Menurut Kotler (XXXX) bahwa orang yang sangat puas dan senang akan memiliki ikatan emosional dengan mereknya, bukan hanya preferensi rasional dan hal ini menyebabkan loyalitas pelanggan. Loyalitas memiliki dimensi yang berbeda dengan kepuasan. Kepuasan menunjukkan bagaimana suatu produk memenuhi tujuan pelanggan (Oliver, 1999). Kepuasan pelanggan senantiasa merupakan penyebab utama timbulnya loyalitas.
Loyalitas adalah respon perilaku/pembelian yang yang bersifat bias dan terungkap secara terus menerus oleh pengambil keputusan dengan memperhatikan satu atau lebih merek alternatif dari sejumlah merek sejenis dan merupakan fungsi proses psikologis. Orientasi perusahaan masa depan mengalami pergeseran dari pendekatan konvensional ke arah pendekatan kontemporer (Bhote,1996).
Menurut Schnaars dalam Tjiptono (XXXX), ada empat macam kemungkinan hubungan antara kepuasan pelanggan dengan loyalitas pelanggan : failures, forced loyalty, defectors, dan successes, sehingga kepuasan tidak lagi menjadi variabel intervening terhadap loyalitas pelanggan.
Untuk memperjelas teori dan dimensi yang dikemukakan diatas maka dibuat kerangka pikir sebagai berikut:
** GRAFIK SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **
1.6 Hipotesis
- Semakin baik kualitas pelayanan di Rumah Sakit X maka akan semakin puas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
- Semakin puas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X maka pasien akan semakin loyal.
SKRIPSI PROFESIONALITAS GURU MA X PASCA UJI SERTIFIKASI GURU
(Kode PEND-AIS-0031) : SKRIPSI PROFESIONALITAS GURU MA X PASCA UJI SERTIFIKASI GURU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan ditetapkannya guru sebagai jabatan professional maka guru dituntut memiliki kompetensi tertentu, yang terukur dan teruji melalui prosedur tertentu. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 dinyatakan bahwa sebagai pendidikan profesional guru mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sementara itu profesional dimaknai sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Guru sebagai suatu jabatan profesional yang ikut membentuk pribadi manusia dalam proses pertumbuhannya yang sangat penting itu, merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan 9 (sembilan) prinsip sebagai berikut :
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme.
Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.
3. Memiliki kualifikasi akademis dan latar belakang sesuai dengan bidang tungasnya.
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
5. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
7. Memiliki kesempatan untuk megembangkan keprofesionalan tugas secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Prinsip-prinsip profesionalitas tersebut menunjukkan bahwa guru sebagai jabatan profesional hanya bisa dimasuki atau dilaksanakan dengan baik oleh orang yang memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu. Dari sisi yang lain bagi siapapun termasuk para guru itu sendiri, apabila ingin menjadi guru yang profesional dituntut untuk meningkatkan kualifikasi (misalnya jenjang pendidikan formalnya) dan kompetensinya agar bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Adapun indikator dari profesionalitas guru adalah :
1. Guru menguasai bahan ajar.
2. Guru mempunyai kreativitas dalam pembelajaran
3. Guru mampu menggunakan media dan sumber belajar.
4. Guru melaksanakan evaluasi pembelajaran
5. Guru mampu melakukan penelitian kelas.
6. Guru mampu melaksanakan pembelajaran yang efektif.
Peningkatan karier seorang guru yang profesional ditentukan atau sangat berkaitan dengan kompetensi dan prestasi kerjanya. Dengan demikian maka kenaikan jenjang jabatan dan pangkat merupakan buah dari bertambahnya kompetensi dam prestasi kerja yang ditunjukkan dalam suatu kurun atau periode tertentu.
Pemerintah dan DPR telah mengesahkan dan memberlakukan UU No.20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Empat tahun sudah UU tersebut berlaku. Tidak lama kemudian pemerintah dan DPR mengesahkan dan memberlakukan UU tentang guru dan dosen, termasuk didalamnya tentang sertifikasi yang dijelaskan dalam PERMENDIKNAS No 18 Tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan
Dengan lahirnya UU tersebut, maka pemerintah dalam hal ini Depdiknas mulai menyusun strategi untuk melakukan sertifikasi profesi bagi para guru diseluruh Indonesia. Tidak lupa juga lembaga-lembaga pendidikan yang berhak melakukan uji sertifikasi bagi para guru. Tujuan dan latar belakang dari sertifikasi bagi guru ini sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan profesionalitas para guru, yang pada akhirnya nanti meningkatkan pula kualitas pendidikan di Indonesia. Sekolah tidak hanya meluluskan anak didiknya yang kemudian menjadi beban masyarakat, karena masih belum bekerja. Tetapi para lulusan yang mampu mandiri, mampu menciptakan lapangan kerja dan mampu pula untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang tinggi, serta mampu bersaing di era globalisasi.
Berdasarkan pagu yang ditetapkan oleh pemerintah ada isu bahwa tidak semua guru dengan serta merta mengikuti sertifikasi. Dengan kata lain bahwa sertifikasi guru akan dilakukan cara bertahap tergantung pada institusi yang bersangkutan tetapi yang jelas pendataan terhadap guru telah dilakukan oleh institusi pendidikan semisal Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional maupun departemen lain yang menaungi lembaga pendidikan dibawahnya.
Ada alasan logis mengapa sertifikasi perlu dilakukan pada profesi guru. Pertama, Meningkatkan kualitas dan kompetensi guru; Kedua, Meningkatkan kesejahteraan dan jaminan financial secara layak sebagai profesi. Adapun muara akhir yang menjadi targetnya adalah terciptanya kualitas pendidikan.
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional merupakan bagian dari pembaharuan system pendidikan nasional yang pelaksanaannya memperhatikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pendidikan, kepegawaian, ketenagakerjaan, keuangan dan pemerintah daerah.
Sehubungan dengan itu diperlukan pengaturan tentang kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dalam suatu undang-undang.
Untuk meningkatkan penghargaan terhadap tugas guru, maka perlu dikukuhkan dengan pemberian sertifikat pendidik. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan atas kedudukannya guru dalam melaksanakan tugas, guru harus memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya.
Demikian besar peranan seorang guru dalam menunjang keberhasilan pendidikan sehingga perlu kiranya mendapatkan perhatian yang cukup serius. Terutama dari pemerintah, sebagaimana guru akan bertanggung jawab kepadanya. Dengan adanya perhatian yang serius pada guru, akan menimbulkan sebuah ikatan emosional yang bisa meningkatkan kinerja sehingga juga akan meningkatkan produktifitas guru. Dengan kondisi yang demikian, maka tujuan dari pendidikan akan mudah untuk dicapai. Begitu pula sebaliknya, kinerja yang rendah akan menurunkan produktifitas guru yang akan bisa menghambat pencapaian tujuan pendidikan.
Madrasah Aliyah (MA) X merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan DEPAG memandang perlu adanya profesionalitas guru dengan makna sebagai proses pemenuhan standart mutu pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan.
Untuk memperoleh profesionalitas guru tersebut. Madrasah Aliyah X mengikut sertakan para guru untuk mengikuti uji sertifikasi guru. Yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan profesionalitas gur
Dari berbagai uraian diatas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian, untuk mengetahui bagaimana profesionalitas guru setelah mengikuti uji sertifikasi guru, khusunya pada proses kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu dalam ini penulis, ingin mengadakan penelitian di MA X. Dan hal ini menjadikan penulis untuk mengangkat judul "Profesionalitas Guru MA X pasca Uji Sertifikasi Guru".
B. Rumusan Masalah
" Bagaimana profesionalitas guru MA X pasca uji sertifikasi guru? "
Dari arti kata profesionalitas diatas sangatlah luas, maka dari itu penulis memberi batasan dalam penelitian ini. Khususnya dalam proses pembelajaran yaitu dalam hal :
1. Perencanaan pembelajaran.
2. Kemampuan melaksanakan pengajaran.
3. Kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi.
C. Tujuan Penelitian
" Untuk mengetahui profesionalitas guru MA X pasca uji sertifikasi guru. "
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana profesionalitas guru pasca uji sertifikasi MA X. Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Institut Agama Islam Negeri, khususnya program Sarjana, Fakultas Tarbiyah Jurusan Kependidikan Islam, Konsentrasi Manajemen Pendidikan sebagai wujud pelaksanaan dari salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam.
2. Sebagai langkah terapan dari ilmu yang diperoleh peneliti dari bangku kuliah, untuk dijadikan masukan dalam menyelesaikan skripsi.
3. Pemerintah, hasil penelitian ini akan memberikan masukan pada pemerintah untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan kualitas kebijakannya.
4. Hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan, sehingga dapat membantu guru dalam melangsungkan pelaksanaan kebijakan sertifikasi.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kemungkinan adanya salah tafsir atau salah persepsi dalam memahami judul skripsi ini, maka perlu penulis definisikan sebagai berikut : "Profesionalitas Guru MA X Setelah Mengikuti Uji Sertifikasi"
1. Profesionalitas Guru : Kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain, guru professional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas fangungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal atau orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya.
Dari uraian di atas, arti dari professionalitas sangatlah luas, maka dari itu disini penulis memberi batasan dalam penelitian ini. Khususnya dalam proses pembelajaran, yaitu dalam hal :
a. Perencanaan pengajaran
b. Kemampuan melaksanakan pengajaran
c. Kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi.
2. Sertifikasi guru : Surat keterangan (sertifikat) dari lembaga berwenang yang diberikan kepada jenis profesi dan sekaligus pernyataan terhadap kelayakan profesi untuk melaksanakan tugas.
Sebagaimana yang ada di Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi guru, tahap awal yang dilakukan dengan "portofolio", yaitu para gum rams melengkapi semua dokumen yang dimiliki mulai dari pertama (SK pertama) sampai dengan saat dilakukan uji sertifikasi. Bagi yang lolos dan lulus tahap pemberkasan, maka berhak mengikuti tahap selanjutnya. Sebagai pendorong ataupun motivator bagi para guru yang mengikuti uji sertifikasi maka pemerintah memberikan janji akan memberikan gaji sertifikasi sebesar satu bulan gaji bagi para guru yang lolos dan lulus sampai tahap akhir.
Jadi dapat disimpulkan judul skripsi Profesionalitas pasca Uji Sertifikasi Guru adalah kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan yang meliputi perencanaan pengajaran, kemampuan melaksanakan pengajaran kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi. Sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian tentang profesionalitas guru yang telah mengikuti uji sertifikasi, sedangkan pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan melakukan analisa yang bersifat kualitatif. Adapun makna dari metode deskriptif adalah metode penelitian yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesa atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian.
Sedangkan menurut Arif Furchan dalam bukunya "Pengantar Penelitian Pendidikan" penelitian deskriptif adalah penelitian yang melukiskan dan menafsirkan keadaan yang ada sekarang. Penelitian ini berkenaan dengan kondisi atau hubungan yang ada : praktek-praktek yang sedang berlaku, keyakinan, sudut pandang atau sikap yang dimiliki, proses-proses yang berlangsung, pengaruh-pengaruh yang sedang dirasakaan, atau kecenderungan-kecenderungan yang sedang berkembang.
1. Jenis Data dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu data yang tidak bisa diukur secara langsung atau data yang tidak berbentuk angka. Adapun yang dimaksud dalam jenis data dalam penelitian ini data tentang jumlah guru yang mengikuti uji sertifikasi guru dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.
b. Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah keseluruhan obyek penelitian yang dijadikan sasaran penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder.
1) Sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan yaitu melalui wawancara langsung dengan nara sumber, dalam hal ini yang dijadikan nara sumber adalah guru yang telah mengikuti uji sertifikasi guru.
2) Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data-data lain, misalnya :
a. Sumber Data Place yaitu sumber data yang bisa memberikan data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam dan bergerak. Dalam penelitian ini yang merupakan sumber data berupa place adalah lokasi penelitian
b. Sumber Data Paper yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, atau simbol-simbol lain yang cocok untuk penggunaan metode dokumentasi. Adapun yang maksud data paper seperti : gambaran obyek penelitian, keadaan guru.
2. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, prosedur yang digunakan adalah : a. Observasi
Yakni teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau tidak langsung terhadap gejala-gejala yang sedang berlangsung. Teknik ini, penulis gunakan untuk memperoleh gambaran secara umum tentang keadaan lingkungan sekolah MA X, misalnya : Mengenai letak sekolah, keadaan kelas, struktur organisasi, kondisi siswa, mengenai perencanaan pengajaran, proses pelaksanaan pengajaran, kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi guru bagi guru-guru yang sudah mengikuti uji sertifikasi guru,
b. Wawancara
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data denga jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data, komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog (tanya jawab) secara lisan baik langsung atau tidak langsung. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model wawancara bebas terpimpin yaitu gabungan dari wawancara bebas dan terpimpin. Wawancara bebas adalah proses wawancara dimana interview tidak secara sengaja mengarahkan tanya jawab pada pokok-pokok masalah yang akan diteliti.
Jadi wawancara hanya membuat pokok-pokok masalah yang akan diteliti. Selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi dan kondisi maka pewawancara harus pandai mengarahkan yang diwawancarai, apabila ternyata ia menyimpang. Pedoman interview berfungsi sebagai pengendali, jangan sampai proses wawancara kehilangan arah.
Teknik ini, penulis gunakan untuk memperoleh data mengenai pelaksanaan profesionalitas guru MA X pasca uji sertifikasi guru. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang :
1. Sejarah berdirinya MA X
2. Perencanaan pengajaran
3. Kemampuan melaksanakan pengajaran
4. Kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi
c. Dokumentasi
Tidak kalah penting dari teknik-teknik pengumpulan data yang lainnya, adalah dokumentasi. Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku-buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya.
Adapun teknik ini penulis gunakan untuk mendapatkan data tentang judul penelitian seperti : gambaran obyek penelitian dan menenai perencanaan pembelajaran, kemampuan melaksanakan pengajaran, kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi guru MA X yang telah mengikuti sertifikasi guru.
d. Analisa Data
Analisa data merupakan upaya untuk menelaah atau sistematika yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Kemudian data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan kerangka penelitian kualitatif deskriptif yang berupaya menggambarkan kondisi, latar penelitian secara menyeluruh dan sejarah data tersebut ditarik suatu temuan penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti memberikan gambaran secara menyeluruh tentang "Profesionalitas guru MA X pasca uji sertifikasi". Adapun gambaran hasil penelitian tersebut kemudian ditelaah, dikaji dan disimpulkan sesuai dengan tujuan dan kegunaan penelitian. Dalam memperoleh kecermatan, ketelitian dan kebenaran maka peneliti menggunakan pendekatan induktif.
Maksud umum dari pendekatan induktif yaitu memungkinkan temuan-temuan penelitian muncul dari "keadaan umum", tema-tema dominan dan signifikan yang ada dalam data, tanpa mengabaikan hal-hal yang muncul oleh struktur metodologisnya. Pendekatan induktif dimaksudkan untuk membantu pemahaman tentang pemaknaan dalam data yang rumit melalui pengembangan tema-tema yang diiktisarkan dari data kasar, pendekatan ini jelas digunakan dalam analisis data kualitatif.
Analisis data secara induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama, proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak seperti dalam data. Kedua, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjai eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel. Ketiga, analisis induktif lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima, analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.
Dengan langkah penelitian ini untuk mencari suatu kebenaran yang bersifat dari data yang diperoleh dilapangan dan kasus-kasus yang bersifat umum berdasarkan pengalaman nyata yang kemudian dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, preposisi, atau definisi yang bersifat khusus.
Adapun analisa data penelitian dilakukan dengan dua tahap yaitu pertama analisis data selama di lapangan dan analisis data setelah terkumpul. Analisis data selama dilapangan dalam penelitian ini tidak dikerjakan setelah pengumpulan data selesai melainkan selama pengumpulan data berlangsung dan dikerjakan terus-menerus hingga penyusunan laporan penelitian selesai. Sebagai langkah awal, data yang merupakan hasil wawancara bebas dengan key person, dipilah-pilah dan diberi kode berdasarkan kesamaan isu, tema dan masalah yang terkandung didalamnya. Bersamaan dengan pemilihan data tersebut, peneliti memburu data baru.
G. Sistematika Pembahasan
Di dalam sistematika pembahasan skripsi ini terdapat empat bagian (empat bab), pada masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun tujuan dan sistematika pembahasan ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam memahami skripsi, diantaranya yaitu :
BAB I PENDAHULUAN : Dalam pendahuluan dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II LANDASAN TEORI : Landasan teori, dalam hal ini Pertama membahas tentang profesionalitas guru, yang terdiri dari : Pengertian guru, pengertian profesionalitas, dan bentuk profesionalitas guru. Yang Kedua membahas tentang sertifikasi guru, yang terdiri dari : Pengertian sertifikasi guru, tujuan dan manfaat sertifikasi guru, prosedur dan mekanisme sertifikasi, pelaksanaan sertifikasi dan evaluasinya. Dan yang selanjutnya (Ketiga) membahas tentang Uji sertifikasi guru dalam meningkatkan profesionalitas guru.
BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN : Menyajikan tentang laporan hasil penelitian yang menjelaskan tentang gambaran umum obyek penelitian, penyajian data serta analisa data.
BAB IV PENUTUP : Bab empat ini merupakan bab akhir dari pembahasan skripsi yang berisi tentang kesimpulan laporan hasil penelitian, saran-saran yang merupakan hal-hal yang perlu ditindak lanjuti berdasarkan temuan di lapangan.
TESIS KEWENANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA
(KODE : PASCSARJ-0029) : TESIS KEWENANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA (PRODI : ILMU HUKUM)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntutan tertinggi di bidang hukum mempunyai peran utama dalam penegakan supremasi hukum dan mewujudkan keadilan bagi seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dan sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, peran kejaksaan sebagai gardu depan penegakan hukum demikian penting dan strategis.
Sebagai institusi peradilan, kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum, peran kejaksaan diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Sistem peradilan pidana terpadu adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem penegakan hukum. Dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat empat sub-sistem yakni: (1) Kepolisian; (2) Kejaksaan; (3) Pengadilan (4) Lembaga Pemasyarakatan.
Kejaksaan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana memiliki kewenangan di bidang penuntutan dan memegang peranan yang sangat krusial dalam proses penegakan hukum. Sebagai institusi peradilan, maka kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu peran Kejaksaan sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat yaitu dalam hal ini melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuaatan hukum tetap agar korban yang diwakili oleh jaksa itu mendapat keadilan dari suatu hukum tersebut.
Pengaturan mengenai tugas dan wewenang kejaksaan Republik Indonesia secara normtif dapat dilihat dari beberapa kententuan Undang-undang mengenai kejaksaan sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 30 UU No 16 Tahun 2004 Pasal 30 yaitu:
1. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. melakukan penuntutan.
b. melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat.
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang.
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan dengan penyidik.
2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum
c. Pengamanan peredaran barang cetakan.
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.
Pasal 31 UU No 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Dan juga kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi lainnya.
Disamping tugas dan wewenang Kekejaksaan RI tersebut Jaksa Agung juga memiliki tugas dan wewenang yaitu:
1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan
2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-undang.
3. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
4. Mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara
Upaya hukum yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Dalam kitab Undang-undang hukum acara pidana diatur dalam Bab XVII yaitu upaya hukum biasa dan Bab XVIII upaya hukum luar biasa yang pada waktu berlakunya HIR diatur di luar HIR. Tentang upaya hukum biasa diatur Bab XVII dimana bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat banding, bagian kedua mengenai pemeriksaan tingkat kasasi. Dalam Bab XVII upaya hukum luar biasa meliputi bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum. Bagian kedua yaitu mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum luar biasa mengenai peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP ini yaitu. Bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan. peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dengan memperhatikan pasal 263 ayat 1 KUHAP
Kemajuan zaman sekarang ini yang berkembang dengan pesat dan mengakibatkan berbagai macam perilaku manusia sehingga diperlukan satu perangkat hukum yang dapat mengatur dan dapat mencegah tindak kejahatan dan pelanggaran Pidana, yang oleh karenanya harus ada kepastian hukum agar tercipta keadilan di bidang hukum bagi semua masyarakat.
Salah satu masalah hukum yang akhir - akhir ini dipermasalahkan adalah masalah upaya hukum Peninjauan Kembali yang sampai sekarang ini dinilai oleh berbagai kalangan masih belum memiliki kepastian dalam praktek nya sehingga menimbulkan kebingungan di dalam ber praktek Hukum Acara Pidana. Berbagai contoh ketidak pastian Upaya Hukum Peninjauan Kembali yakni Kasus Muchtar Pakpahan yang peninjauan kembali nya diajukan oleh Jaksa, yang jelas - jelas dalam UU No.8 Tahun 1981 Pasal 263 ayat (1) yang berbunyi : Bahwa terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan Hukum Tetap, kecuali Putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Kasus Muchtar Pakpahan inilah yang membuat Upaya Hukum Peninjauan Kembali menjadi Kontroversi dikalangan penegak hukum, pakar hukum maupun masyarakat di Indonesia.
Kasus Muchtar Pakpahan yang dihukum Pengadilan Negeri Medan dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan karena menghasut para buruh yang kemudian dibebaskan ditingkat kasasi berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 29 September 1995 No 395/K/Pid/1995. Terhadap putusan bebas Mahkamah Agung tersebut jaksa penuntut umum mengajukan peninjauan kembali dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No. 55/PK/Pid/1996, mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali jaksa penuntut umum dan menjatuhkan pidana selama 4 tahun penjara.
Alasan dari jaksa mengajukan PK dalam kasus ini yaitu adanya kekhilafan Majelis Hakim Agung. Dan alasan dari jaksa penuntut umum mengenai segi formalnya dapat mengajukan Peninjauan Kembali yaitu Hak Jaksa Penuntut Umum/Kejaksaan dalam mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu kapasitasnya sebagai penuntut umum yang mewakili negara dan kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian permintaan peninjauan kembali ini bukan karena kepentingan pribadi jaksa penuntut umum atau lembaga kejaksaan tetapi untuk kepentingan umum/negara. Dan yang dimaksud kepentingan umum menurut penjelasan pasal 49 UU No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu: kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat bersama dan atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Belum adanya pengaturan yang tegas dalam KUHAP mengenai hak jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Perlu adanya suatu tindakan hukum untuk memperjelas hak jaksa penuntut umum/ kejaksaan mengajukan Peninjauan kembali. Dasar dari jaksa dalam mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu:
1. Pasal 23 Undang-undang No 14 Tahun 1970.
Pasal 23 ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 ini dikatakan dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap perkara pidana atau perdata oleh pihak yang berkepentingan. Pihak yang berkepentingan disini dalam perkara pidana yaitu tiada lain adalah Jaksa Penuntut Umum disatu pihak dan terpidana dipihak lain.
2. Pasal 263 ayat 1 KUHAP.
Yaitu tidak secara tegas menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum/Kejaksaan berhak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas pasal ini tidak melarang Jaksa Penuntut Umum/ Kejaksaan untuk melaksanakan hal tersebut. Dan wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan karena putusan tersebut sudah menguntungkan bagi terpidana. Maka demi tegaknya hukum dan keadilan terhadap putusan Pengadilan yang dikecualikan tersebut (putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum tersebut ) adalah menjadi hak Jaksa Penuntut Umum/Kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai pihak yang berkepentingan sepanjang terdapat alasan yang cukup sebagaimana diatur 263 ayat 2 KUHAP.
3. Pasal 263 ayat 3 KUHAP menyatakan:
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada pasal 263 ayat 3 KUHAP terdapat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Maka berdasarkan hal tersebut tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya menggunakan pasal 263 ayat 3 KUHAP ini sebagai dasar untuk mengajukan peninjauan kembali dikarenakan tidak akan menguntungkan bagi dirinya siterpidana sendiri. Dengan demikian pertanyaan mengapa ketentuan pasal ini diatur dalam ayat tersendiri dan untuk siapa pasal ini dimuat dan pengaturannya maka jawaban yang paling tepat tiada yang lain kecuali untuk Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berkepentingan diluar terpidana atau ahli warisnya. Kesimpulan ini diperkuat oleh pendapat A.Hamzah dalam bukunya Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana yang mengatakan kurang adil apabila dalam keputusan itu Jaksa Penuntut Umum tidak diberikan hak dan wewenang mengajukan permintaan peninjauan kembali. Lagi pula dalam peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum KUHAP) yaitu dalam Reglement Op de straf vordering dan Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 tahun 1980 terdapat ketentuan bahwa yang harus mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah Jaksa Agung terpidana atau pihak yang berkepentingan. Pemikiran yang terkandung dalam perundang-undangan yang lama tersebut tetap menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan ketentuan-ketentuan KUHAP sehingga seyogyanya apabila permintaan peninjauan kembali dapat pula diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Terhadap kasus Gandhi Memorial School alasan Jaksa mengajukan Peninjauan kembali yaitu dikarenakan kehilafan hakim dimana majelis hakim agung menyatakan bahwa terdakwa Ram Guluma Als Vram tidak terbukti perbuatan sebagaimana yang didakwakan jaksa yaitu Dakwaan Kesatu pasal 266 ayat 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana, Subsidair pasal 266 (2) jo pasal 64(1) KUHPidana, Lebih Subsider Pasal 263 (2) jo 64 (1) KUHPidana, Dakwaan Kedua yaitu Primair pasal 374 jo 64 (1) jo 22(1) ke 1 KUHPidana, Subsidair pasal 263 (2) jo 64(1)jo 55 (1) ke 1 KUHPidana. Kekhilafan hakim disini yaitu mengatakan bahwa Surat Kuasa Palsu yang dibuat oleh terdakwa untuk untuk mendirikan yayasan The Gandhi Memorial Fundation (GMF) melalui akta notaris disini tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim .
Kasus dr Eddy Linus Waworuntu dan Handaya surya wibawa dan Ire man Adi wibowo yaitu alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali dalam kasus ini yaitu bahwa adanya bukti baru yang sangat menentukan yaitu adanya putusan Mahkamah Agung RI No 871 K/PDT/2003 antara Handaya Surya wibawa, Ir Email Adi Wibawa Lawan Prof Dr Singgih Dirga Gunarsa dan Putusan Mahkamah Agung RI No 870 K/PDT/2003 tanggal 3 Februari 2004 antar dr Eddy Linus Waworuntu lawan Prof Dr Singgih Dirga Gunarsa.
Alasan jaksa melakukan peninjauan kembali dalam kasus dr Eddy Linus waworuntu ini adalah adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam putusannya yang pertimbangannya yang menyatakan bahwa terdakwa tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya yang dilakuknya secara pidana dengan mengatakan bahwa akte No 18 Tahun 2001 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap padahal didalam akte tersebut pada tanggal 7 Juli 2001 dihadiri oleh terdakwa saja bukan yang lain sehingga kalau ada penyerahan/pembagian tanggung jawab antara penerima kuasa adalah mereka para terdakwa sendiri pelakunya yang menunjukan adanya kesepakatan jahat diantara para terdakwa yang seolah-olah rapat tersebut dihadiri oleh 17 orang peserta rapat dan selanjutnya mereka menghadap ke Notaris Iwan Halimiy, SH sehingga melahirkan akte no 18 Tahun 2001.
Alasan jaksa melakukan peninjauan kembali pada kasus Polly carpus Budihari priyatno adalah karena adanya kekeliruan yang nyata dalam hal kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim kasasi dalam hal hukum pembuktian dan fakta kejadian. Dimana majelis hakim kasasi melakukan penilaian terhadap pembuktian yang mana seharusnya itu wewenang Judex Factie bukan Judex Juridis sebagaimana adanya Jurisprudensi Mahkamah Agung No 14 PK/Pid/1997 yang menegaskan"keberatan pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan karena merupakan penggulangan fakta dari yang telah diterangkan dalm persidangan tingkat pengadilan negri dan pengadilan tinggi berupa penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargan tentang suatu kenyatan yang tidak dapat dipertimbangkan dalam tingkat kasasi dan pemeriksaan mengenai fakta-fakta hukum berakhir pada tingkat banding sehingga pemeriksaan kasasi bukan memeriksa mengenai peristiwa dan pembuktiannya.
Hal ini terlihat dalam pertimbangan Mahkamah Agung yang jelas memperlihatkan kekeliruan yang nyata dari judex juris yang melakukan penilaian pembuktian sehingga judex juris berkesimpulan menyebut kemungkinan ada tidaknya arsen masuk dalam tubuh munir sebelum penerbangan dari jakarta ke singapura dan dalam penerbangan jakarta ke singapura dan sesudah penerbangan jakarta-singapura. Maka pendapat majelis hakim tersebut memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata karena judex juris telah melakukan penilaian penilian terhadap pembuktian yang merupakan kewenangan judex factie.
Alasan jaksa melakukan peninjuan kembali dalam kasus Polly carpus Budihari priyatno yaitu karena adanya keadaan baru (novum). Sesuai dengan pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP, salah satu alasan diajukan peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, maka hasilnya akan menjadi putusan yang berbeda. Novum tersebut tersebut dikaitkan dengan fakta-fakta yang dipersidangan yaitu adanya keterangan ahli Dr Rer Nat I Made agung yang mengatakan kematian munir diperkirakan antara delapan sampai sembilan jam setelah keracunan, dan menurut keterangan saksi dr Tarmizi yang mengatakan bahwa korban munir meninggal 3 jam sebelum mendarat.
Saksi Raymond J.Lautihamalo Als Ongen mengatakan bahwa ia diperkenalkan oleh Josep Ririmase dengan Asrini Utami Putri di waiting room gate D42, Bandara Changi singapura ketika itu ongen masuk kedalam Coffe Bean dan melihat pollycarpus berjalan dari counter pemesanan minuman dan membawa 2 gelas minuman. Dan ongen juga memesan minuman dan duduk berjarak sekitar 2 meter dari tempat duduk munir dan Pollycarpus dan ongen melihat munir dan pollycarpus duduk sambil minum
Uraian fakta tersebut diatas mendorong penulis untuk meneliti dan menganalisisnya tentang peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa dimana ini tidak diatur dalam KUHAP namun dalam prakteknya Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh jaksa tersebut. Penulis mengangkatnya melalui penulisan tesis dengan judul Kewenangan Jaksa Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No 109 PK/PID/2007 Poly carpus Budihari Priyanto).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah Jaksa Penuntut Umum berwenang untuk melakukan permohonan Peninjauan Kembali menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Bagaimana dengan Praktek Peradilan Indonesia apakah memebenarkan Jaksa Penuntut Umum Untuk Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap?
3. Alasan-alasan apakah yang digunakan oleh penuntut umum Untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Dalam Praktek Peradilan.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan Peninjauan Kembali dalam peraturan perundang-undangan di indonesia.
2. Untuk mengetahui apakah peradilan Indonesia membenarkan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
3. Untuk mengetahui alasan yang dilakukan oleh penuntut umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali dalam praktek peradilan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pemikiran teoritis mapun kegunaan praktis.
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana khususnya mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali dalam Hukum Acara Pidana Indonesia.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi konkrit bagi usaha pembaharuan hukum pidana khususnya bagi Jaksa Penuntut Umum ketika mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian yang dilakukan penulis, penelitian yang berjudul " Kewenangan Jaksa Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana" khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas X program Studi Ilmu hukum, belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun terkait dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
TESIS KEJAHATAN PERDAGANGAN ANAK SEBAGAI PREDICATE CRIME DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
(KODE : PASCSARJ-0028) : TESIS KEJAHATAN PERDAGANGAN ANAK SEBAGAI PREDICATE CRIME DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (PRODI : ILMU HUKUM)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan masalah yang cukup kompleks, baik di tingkat nasional maupun internasional. Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah terjadinya praktek perdagangan manusia. Secara normatif, aturan hukum telah diciptakan guna mencegah dan mengatasi perdagangan manusia. Akan tetapi perdagangan manusia masih tetap berlangsung khususnya yang berkaitan dengan anak-anak. Permasalahan yang berkaitan dengan anak tidak lepas dari perhatian masyarakat internasional. Isu-isu seperti tenaga kerja anak, perdagangan anak, dan pornografi anak, merupakan masalah yang dikategorikan sebagai eksploitasi. Convention on the Rights of the Child (CRC) adalah merupakan salah satu konvensi yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Article 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan child adalah every human being below the age of eighteen years unless under the law applicable to the child, majority is attained earlier. Berdasarkan ketentuan ini selanjutnya ditentukan bahwa adanya keharusan bagi negara untuk memperhatikan segala bentuk kekerasan terhadap anak.
Sedangkan khusus untuk perdagangan anak terdapat di dalam Article 35 yang menyatakan states parties shall take all appropriate national, bilateral and multilateral measures to prevent the abduction of the sale of or traffic in children for
any aspects of the child's welfare?2 Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.33
Pemberitaan tentang perdagangan manusia khususnya anak, di Indonesia kian marak baik dalam lingkup domestik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kejahatan yang dilakukan oleh orang perorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain yang semakin meningkat. Kejahatan tersebut juga termasuk antara lain berupa penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan imigran, perdagangan budak, wanita dan anak.
Salah satu persoalan serius dan sangat meresahkan adalah dampak yang ditimbulkan dan berhubungan langsung terhadap nasib anak, yaitu berkaitan dengan perdagangan anak (child trafficking). Perdagangan anak yang terjadi di Indonesia telah mengancam eksistensi dan martabat kemanusiaan yang membahayakan masa depan anak. Sisi global, perdagangan anak merupakan suatu kejahatan terorganisasi yang melampaui batas-batas negara, sehingga dikenal sebagai kejahatan transnasional. Indonesia tercatat dan dinyatakan sebagai salah satu negara sumber dan transit perdagangan anak internasional, khususnya untuk tujuan seks komersial dan buruh anak di dunia.
Komitmen penghapusan perdagangan anak ini dikenal sebagai Kesepakatan Palermo Italia tahun 2001. Kesepakatan penghapusan perdagangan anak sebagai isu global, sejalan dengan lingkup kesepakatan menghapus terorisme, penyeludupan senjata (arm smugling), peredaran gelap narkotika dan psikotropika, pencucian uang (money laundry), penyeludupan orang (people smugling) dan perdagangan orang termasuk anak (child trafficking). Indonesia telah meratifikasi dan mengundangkan protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penghapusan kejahatan transnasional tersebut. Saat ini sedang dalam proses ratifikasi protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghapus dan mencegah perdagangan orang termasuk anak.
Penguatan komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam penghapusan perdagangan orang tercermin dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88
Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) dan adanya Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
Program Legislasi Nasional 2005-2009 menegaskan RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang berada diurutan 22 dari 55 prioritas RUU yang akan dibahas pada tahun 2005. Penindakan hukum kepada pelaku (trafficker) digiatkan melalui peningkatan kapasitas penegak hukum serta peningkatan kerjasama dengan pemangku kepentingan yang lain dan pihak penegak hukum negara sahabat sehingga Kepolisian Republik Indonesia berhasil memproses 23 kasus dari 43 kasus yang terungkap. Pada tahun 2004-2005 (Maret), sebanyak 53 terdakwa telah mendapat vonis Pengadilan dengan putusan: bebas, dan hukuman penjara 6 bulan sampai yang terberat 13 tahun penjara atau rata-rata hukuman 3 tahun 3 bulan. Sosialisasi dan advokasi dari berbagai pihak kepada aparat penegak hukum telah membuahkan dijatuhkannya vonis hukuman yang cukup berat kepada trafficker.
Peningkatan perlindungan kepada korban perdagangan orang dilaksanakan dengan meningkatkan aksesibilitas layanan melalui pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit Umum milik Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat dan Rumah Sakit Bhayangkara di daerah. Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian yang dikelola oleh Polisi Wanita semakin ditambah yang kini jumlahnya mencapai 226 unit di 26 Kepolisian Daerah (Propinsi) dan masih akan terus diperluas ke Kepolisian Daerah yang lain dan
Kepolisian Resort (Kabupaten/Kota) seluruh Indonesia. Di samping itu juga semakin banyak Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi masyarakat yang mendirikan women's crisis centre, Drop In Center, atau shelter yang kini jumlahnya 23 unit yang tersebar di 15 propinsi. Di samping itu, untuk pengungsi di X telah didirikan sedikitnya 20 unit Children Center bekerjasama dengan UNICEF dan Departemen Sosial. Beberapa pihak berpendapat bahwa para TKI tersebut banyak di antaranya yang terjebak dalam praktek-praktek perdagangan orang. Mereka dikirim ke Malaysia menggunakan paspor dan visa kunjungan atau wisata untuk bekerja di sana.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adanya peningkatan jumlah korban perdagangan anak di Indonesia, telah menempatkan Indonesia ke dalam kelompok negara yang dikategorikan tidak berbuat maksimal. Menyadari hal ini, Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 telah menetapkan suatu kebijakan yang bersifat akseleratif tentang penghapusan perdagangan anak. Berdasarkan Keputusan
Presiden tersebut, maka penghapusan perdagangan anak dilakukan secara terorganisir, komprehensif, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan prinsip utama, anak adalah korban.
Untuk menterjemahkan formulasi tersebut dalam bentuk implementasi, maka dikembangkan jejaring kelembagaan peduli anak. Demikian pula secara yuridis dimunculkan norma hukuman berat terhadap pelaku perdagangan anak. Adapun materi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 antara lain, berisi:
1) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disebut dengan RAN-P3A sebagai aspek konseptual atau formulasi.
2) Pembentukan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disebut dengan GT-P3A pada lingkup nasional, propinsi, dan kabupaten/kota, sebagai aspek operasional atau implementasi.
RAN-P3A bertujuan untuk menghapus segala bentuk perdagangan anak melalui pencapaian 4 (empat) tujuan khusus yaitu:
1) Penetapan norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan anak.
2) Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial korban perdagangan anak.
3) Terlaksananya pencegahan perdagangan anak di keluarga dan masyarakat.
4) Terciptanya kerjasama dan koordinasi penghapusan perdagangan anak lingkup internasional, regional, nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Office of The High Commisioner of Human Rights telah mengeluarkan Fact Sheet No. 14 dengan judul Contemporary
Forms of Slavery. Perilaku yang termasuk dalam kategori bentuk-bentuk perbudakan kontemporer (contemporary forms of slavery) adalah:
1) Perdagangan anak.
2) Prostitusi anak.
3) Pornografi anak.
4) Eksploitasi pekerja anak.
5) Mutilasi seksual terhadap anak perempuan.
6) Pelibatan anak dalam konflik bersenjata.
7) Penghambaan.
8) Perdagangan manusia.
9) Perdagangan organ tubuh manusia.
10) Eksploitasi untuk pelacuran, dan
11) Sejumlah kegiatan di bawah rezim apartheid dan penjajahan.
Berdasarkan informasi yang diterbitkan oleh United States Departement of Justice, diperoleh data yang berkenaan dengan perdagangan manusia, antara lain:
1) 700 ribu (tujuh ratus ribu) sampai dengan 4.000.000 (empat juta) orang setiap tahun diperjualbelikan (dijual, dikirim, dipaksa, dan bekerja di luar kemauan) di seluruh dunia;
2) Sebagian besar manusia yang diperdagangkan berasal dari negara-negara berkembang yang rendah tingkat ekonominya, untuk dibawa ke negara-negara maju;
3) Sebagian besar dari korban tersebut adalah perempuan dan anak-anak;
4) Para korban pada umumnya dijanjikan kehidupan yang lebih baik, pekerjaan dengan imbalan yang menarik, oleh sang pedagang;
5) Umumnya mereka dipaksa bekerja sebagai pelacur, pekerja paksa, pembantu rumah tangga, bahkan pengemis;
6) Untuk mengendalikan mereka biasanya dipakai upaya kekerasan atau ancaman kekerasan;
7) Lebih dari dua juta perempuan bekerja di industri seks di luar keinginan mereka, dan diperkirakan sekitar 40% (empat puluh persen) adalah anak di bawah umur.
Akan tetapi dalam banyak hal, kerap kali terdapat perbedaan dalam menentukan batasan, pengertian, dan sumber dapat mengakibatkan perbedaan hasil yang menimbulkan tafsiran serta implikasi yang berbeda. Dalam situasi yang demikian, maka isu undocument migrant workers (pekerja pembantu rumah tangga anak) apabila ditafsirkan dengan tanpa batasan dapat mengakibatkan perbedaan persepsi tentang perdagangan anak.
Untuk memberikan batasan yang pasti, maka dapat mengacu kepada Protocol to Prevent, Suppres and Punish Trafficking in Person Especially Women and Children. Protokol ini telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia. Di luar dari batasan dari protokol itu, pengertian perdagangan anak masih beragam. Hingga saat ini belum ada kesatuan yang bisa menggambarkan kejahatan perdagangan anak. Hal ini disebabkan semakin meluasnya dimensi kriminal dari perdagangan manusia sehingga batasan tradisional perdagangan manusia menjadi usang.
Helge Konrad mengemukan bahwa human trafficking merupakan suatu masalah yang disebabkan adanya beberapa dorongan. Ia menyatakan:
The cause of trafficking are complex. While there are numerous contributing factors, which have to be analysed and taken into account in political decision making-the unequal economic development of different countries, mass unemployment in many countries of origin, but also inequality, discrimination and gender-based violence in our societies, the prevailing market mechanisms; the patriarchal structures in the source and destination countries; the demand side including the promotion of sex tourism in many countries of the world, the mindsets of men, etc.- the primary root cause is poverty, most particularly among women.
Indonesia dikategorikan sebagai negara yang tidak memenuhi standar dalam upaya memerangi kejahatan terorganisir sebagai upaya penghapusan perdagangan manusia secara serius, bahkan data akurat mengenai kejahatan ini sulit diperoleh. Hal ini terkait dengan beberapa hal yaitu berupa defenisi perdagangan manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbatas pada perdagangan perempuan dan anak; dan berbagai perbuatan yang dapat dimasukkan ke dalam perdagangan manusia ditangani oleh berbagai instansi yang berbeda sehingga menyulitkan dalam pertanggungjawaban.
Sebagai contohnya masalah pengiriman buruh migran secara ilegal pada umumnya ditangani oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang melibatkan Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ke luar negeri, sedangkan perdagangan anak ditangani oleh Dinas Sosial. Faktor lainnya berupa lingkup wilayah Indonesia yang amat luas dan terbuka yang memungkinkan perdagangan manusia terjadi di beberapa tempat namun sulit dipantau.
Keterkaitan kejahatan perdagangan anak dengan tindak pidana pencucian uang adalah bahwa kejahatan anak predicate crimes yaitu kejahatan yang merupakan kejahatan transnasional. Salah satu predicate crime dari tindak pidana money laundering adalah trafficking.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 mendefinisikan pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi harta kekayaan yang sah. Pendefmisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1) Pelaku
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003, digunakan kata "setiap orang", di mana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2) Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Istilah transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal pada sisi hukum perdata, sehingga Undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hukum pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK.
3) Merupakan hasil tindak pidana
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, di mana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut pembuktian
di sini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang berbunyi: 1) Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a) korupsi;
b) penyuapan;
c) penyeludupan barang;
d) penyeludupan tenaga kerja;
e) penyeludupan imigran;
f) di bidang perbankan;
g) di bidang pasar modal;
h) di bidang asuransi;
i) narkotika;
j) psikotropika;
k) perdagangan manusia;
l) perdagangan senjata gelap;
m) penculikan;
n) terorisme;
o) pencurian;
p) penggelapan;
q) penipuan;
r) pemalsuan uang;
s) perjudian;
t) prostitusi;
u) di bidang perpajakan;
v) di bidang kehutanan;
w) di bidang lingkungan hidup;
x) di bidang kelautan; atau
2) Tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
3) Harta kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Istilah tindak pidana pencucian uang mulai terkenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu tindak pidana ini dilakukan oleh organisasi mafia melalui pembelian perusahaan pencucian pakaian (laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat pencucian uang yang dihasilkan dari bisnis ilegal seperti perjudian, pelacuran, dan perdagangan minuman keras. Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut bernama Henry Every dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian di mana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat.
Berdasarkan hasil konvensi, artikel, kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah bahwa aktivitas pencucian uang dapat menimbulkan dampak-dampak yang negatif, seperti yang disampaikan oleh Departement of Justice Canada dalam makalahnya yang berjudul Electronic Money Laundering: An Enviromental Scan Money Laundering, yaitu:
Pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyeludup dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya pengobatan dan perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para korban atau para pecandu narkoba.
Di Amerika Serikat, sebelum lahirnya United Nations Convention on Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 (Vienna Drug Convension 1988) 47, telah diatur beberapa ketentuan anti pencucian uang, seperti The Bank Secrecy Act 1970 dan Money Laundering Central Act 1986. Kemudian setelah tahun 1988, diterbitkan The Annunzio Wylie Act dan Money Laundering Suppression Act 1994. Tahun 2001 terbit lagi suatu aturan hukum anti pencucian uang di Amerika Serikat yang disebut USA Patriot Act 2001.48
Sebagaimana halnya dengan negara-negara lain, Indonesia juga memberi perhatian terhadap tindak pidana lintas negara yang terorganisir (transnational organized crime) seperti pencucian uang (money laundering). Pada tingkat internasional, upaya melawan kejahatan pencucian uang dilakukan dengan adanya pembentukan Financial Action Task Force (FATF) On Money Laundering oleh G-7 dalam salahsatu konferensi bulan Mi 1989 di Paris, di mana peran penting dari FAFT adalah menetapkan kebijakan dan langkah yang diperlukan dalam bentuk rekomendasi untuk mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang dengan mengeluarkan 40 (empat puluh) rekomendasi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang serta 8 (delapan) rekomendasi khusus untuk memberantas pendanaan terorisme.
Oleh karena itu, dalam seminar internasional tentang pencucian uang di Jakarta pada tanggal 13 September 2000, pemerintah Indonesia mengumumkan adanya konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Pencucian Uang, yang secara resmi disampaikan pada Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 18 Juni 2001 sehingga disahkan sebagai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Menurut Guy Stessen terdapat beberapa alasan pencucian uang harus diberantas dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu:
Pengaruh pencucian uang pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Sebagai contoh banyak dana yang bersumber dari kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat kurang dimanfaatkan secara optimal. Contoh: dengan membelanjakan uang tersebut dalam bentuk property mewah atau perhiasan yang mahal. Pencucian uang juga dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional karena dampak dari pencucian uang tersebut dapat mengurangi kepercayaan publik.
Pengertian lebih terperinci mengenai pencucian uang ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yaitu:
Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mengandung beberapa pembaharuan yang merupakan kerangka hukum baru (a new legal framework) untuk mengatasi sifat khusus kejahatan pencucian uang, diantaranya adalah:
Kejahatan ini merupakan proses lanjutan dari kejahatan lain (dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, korupsi, penyuapan, penyeludupan, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak wanita dan anak, perjudian, dan terorisme.52
Cara menyembunyikan atau menyamarkan dana tersebut akan menyangkut bank dan lembaga keuangan non bank serta akan mempergunakan internet yang merupakan jaringan informasi yang melewati batas-batas negara (the global connection of interconnected computer network spanning state and national
borders); Hal ini mengakibatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 disahkan sebagai syarat agar investasi luar negeri masuk ke Indonesia.
Implikasi negatif lainnya dari adanya pencucian uang, yaitu:
Membiarkan masyarakat menikmati uang haram, berarti mengizinkan organized crime membangun pondasi usaha yang ilegal dan membiarkan mereke menikmati hasil aktivitasnya. Praktek ini menciptakan kondisi persaingan tidak jujur. Dengan perlakuan yang permisif terhadap pencucian uang, bukankah berarti turut membangun etos persaingan tidak jujur pula? moral bisnis menurun, wibawa hukum merosot drastis. Orientasi materialistik menguat, dan lain sebagainya. Perkembangan praktek ini akan melemahkan kekuatan finansial masyarakat pada umumnya. Angka-angka yang mencerminkan indikator ekonomi makro masyarakat menjadi turun tingkat keterandalannya mengingat semakin banyaknya uang yang berjalan di luar kendali sistem perekonomian pada umumnya.
Permasalahan terletak pada pembuktian unsur keempat dari Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, yaitu unsur" yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kejahatan". Hakim berpendapat bahwa untuk membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang harus terlebih dahulu membuktikan unsur keempat termasuk tindak pidana asalnya (predicate crime) dengan disertai 2 (dua) alat bukti karena tidak mungkin mengetahui terjadinya tindak pidana pencucian uang tanpa mengetahui asal-usul uang sebagai suatu hasil kejahatan. Akan tetapi penyidik berpendapat bahwa unsur keempat mengenai tindak pidana asalnya (predicate crime) tidak perlu dibuktikan, cukup hanya membuktikan bahwa uang seseorang tersebut tidak jelas asal-usulnya dan patut diduga hasil kejahatan sehingga tidak diperlukan 2 (dua) alat bukti untuk membuktikannya.
Permasalahan tersebut di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang "Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang".
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah pengaturan praktek kejahatan perdagangan anak sebagai Predicate Crime dalam TPPU?
2. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan perdagangan anak?
3. Bagaimanakah bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan peneliti dalam penelitian tesis ini adalah:
1. Mengetahui pengaturan praktek kejahatan perdagangan anak sebagai predicate crime dalam TPPU.
2. Mengetahui penanggulangan kejahatan perdagangan anak.
3. Mengetahui bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak.
D. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian tesis dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi dalam upaya menambah
wawasan ilmu pengetahuan kebijakan kriminal dalam menanggulangi
kejahatan perdagangan anak.
b. Sebagai bahan masukan bagi peradilan jika menghadapi kasus perdagangan
anak di Indonesia, khususnya di X.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian tesis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan
dalam menanggulangi kejahatan perdagangan anak.
b. Penelitian tesis ini diharapkan memberikan masukan bagi penyempumaan
perangkat peraturan yang berkaitan dengan perdagangan anak di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini tentang perdagangan anak dan pencucian uanng adalah suatu topik yang relatif berkembang untuk dibahas oleh peneliti.55 Agar tidak terjadi pengulangan suatu penelitian terhadap masalah yang sama, peneliti biasanya akan mengumpulkan data tentang masalah tersebut sebelum melakukan kegiatan ilmiah tersebut.
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) terdapat beberapa penelitian khususnya di lingkungan Universitas X X yang membahas tentang tindak pidana pencucian uang, yaitu:
1. Pertanggungjawaban Bank pada Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Transaksi
Mencurigakan.
2. Analisis Yuridis Peran Criminal Justice System terhadap Penanggulangan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
3. Peran POLRI Sebagai Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang.
4. Kegagalan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) di Indonesia Ditinjau dari Sistem Pembuktian.
5. Pengaturan Rahasia Bank dalam Penanganan Kejahatan Money Laundering (Pencucian Uang) di Indonesia.
6. Kebijakan Kriminal terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Proteksi Peredaran Rupiah dari dalam/Ke Luar Daerah Pabean Republik Indonesia.
Akan tetapi judul tesis berupa "Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang" dengan permasalahannya belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya. Dengan demikian penelitian ini dapat dijamin keasliannya serta dapat dipertanggungj awabkan secara ilmiah.
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi dan Sifat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan.
Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan data-data mengenai praktek kejahatan perdagangan anak, proses terjadinya kejahatan tindak pidana pencucian uang berdasarkan kejahatan asalnya atau predicate crimes, dan pencegahan tindak pidana pencucian uang, kemudian melakukan penyusunan, pengolahan dan penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.
Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, literatur, karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya.
2. Metode Pengumpulan Data
Pengambilan data skunder dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research).
Adapun data sekunder mencakup:
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, KUHP, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya.
b) Bahan hukum skunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku teks, hasil-hasil penelitian dan sebagainya.
c) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya: kamus, ensiklopedi dan sebagainya.
Sedangkan pengambilan data primer oleh peneliti berupa:
a) Wawancara dengan narasumber, yaitu Staff Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Kajian Perlindungan Anak Kota X.
b) Observasi lapangan.
3. Analisis Data
Salah satu ciri dari penelitian hukum normatif adalah menganalisis data secara kualitatif Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder, kemudian data dikelompokkan sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan.