Cari Kategori

TESIS KEJAHATAN PERDAGANGAN ANAK SEBAGAI PREDICATE CRIME DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(KODE : PASCSARJ-0028) : TESIS KEJAHATAN PERDAGANGAN ANAK SEBAGAI PREDICATE CRIME DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (PRODI : ILMU HUKUM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan masalah yang cukup kompleks, baik di tingkat nasional maupun internasional. Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah terjadinya praktek perdagangan manusia. Secara normatif, aturan hukum telah diciptakan guna mencegah dan mengatasi perdagangan manusia. Akan tetapi perdagangan manusia masih tetap berlangsung khususnya yang berkaitan dengan anak-anak. Permasalahan yang berkaitan dengan anak tidak lepas dari perhatian masyarakat internasional. Isu-isu seperti tenaga kerja anak, perdagangan anak, dan pornografi anak, merupakan masalah yang dikategorikan sebagai eksploitasi. Convention on the Rights of the Child (CRC) adalah merupakan salah satu konvensi yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Article 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan child adalah every human being below the age of eighteen years unless under the law applicable to the child, majority is attained earlier. Berdasarkan ketentuan ini selanjutnya ditentukan bahwa adanya keharusan bagi negara untuk memperhatikan segala bentuk kekerasan terhadap anak.
Sedangkan khusus untuk perdagangan anak terdapat di dalam Article 35 yang menyatakan states parties shall take all appropriate national, bilateral and multilateral measures to prevent the abduction of the sale of or traffic in children for
any aspects of the child's welfare?2 Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.33
Pemberitaan tentang perdagangan manusia khususnya anak, di Indonesia kian marak baik dalam lingkup domestik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kejahatan yang dilakukan oleh orang perorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain yang semakin meningkat. Kejahatan tersebut juga termasuk antara lain berupa penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan imigran, perdagangan budak, wanita dan anak.
Salah satu persoalan serius dan sangat meresahkan adalah dampak yang ditimbulkan dan berhubungan langsung terhadap nasib anak, yaitu berkaitan dengan perdagangan anak (child trafficking). Perdagangan anak yang terjadi di Indonesia telah mengancam eksistensi dan martabat kemanusiaan yang membahayakan masa depan anak. Sisi global, perdagangan anak merupakan suatu kejahatan terorganisasi yang melampaui batas-batas negara, sehingga dikenal sebagai kejahatan transnasional. Indonesia tercatat dan dinyatakan sebagai salah satu negara sumber dan transit perdagangan anak internasional, khususnya untuk tujuan seks komersial dan buruh anak di dunia.
Komitmen penghapusan perdagangan anak ini dikenal sebagai Kesepakatan Palermo Italia tahun 2001. Kesepakatan penghapusan perdagangan anak sebagai isu global, sejalan dengan lingkup kesepakatan menghapus terorisme, penyeludupan senjata (arm smugling), peredaran gelap narkotika dan psikotropika, pencucian uang (money laundry), penyeludupan orang (people smugling) dan perdagangan orang termasuk anak (child trafficking). Indonesia telah meratifikasi dan mengundangkan protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penghapusan kejahatan transnasional tersebut. Saat ini sedang dalam proses ratifikasi protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghapus dan mencegah perdagangan orang termasuk anak.
Penguatan komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam penghapusan perdagangan orang tercermin dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88
Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) dan adanya Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
Program Legislasi Nasional 2005-2009 menegaskan RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang berada diurutan 22 dari 55 prioritas RUU yang akan dibahas pada tahun 2005. Penindakan hukum kepada pelaku (trafficker) digiatkan melalui peningkatan kapasitas penegak hukum serta peningkatan kerjasama dengan pemangku kepentingan yang lain dan pihak penegak hukum negara sahabat sehingga Kepolisian Republik Indonesia berhasil memproses 23 kasus dari 43 kasus yang terungkap. Pada tahun 2004-2005 (Maret), sebanyak 53 terdakwa telah mendapat vonis Pengadilan dengan putusan: bebas, dan hukuman penjara 6 bulan sampai yang terberat 13 tahun penjara atau rata-rata hukuman 3 tahun 3 bulan. Sosialisasi dan advokasi dari berbagai pihak kepada aparat penegak hukum telah membuahkan dijatuhkannya vonis hukuman yang cukup berat kepada trafficker.
Peningkatan perlindungan kepada korban perdagangan orang dilaksanakan dengan meningkatkan aksesibilitas layanan melalui pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit Umum milik Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat dan Rumah Sakit Bhayangkara di daerah. Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian yang dikelola oleh Polisi Wanita semakin ditambah yang kini jumlahnya mencapai 226 unit di 26 Kepolisian Daerah (Propinsi) dan masih akan terus diperluas ke Kepolisian Daerah yang lain dan
Kepolisian Resort (Kabupaten/Kota) seluruh Indonesia. Di samping itu juga semakin banyak Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi masyarakat yang mendirikan women's crisis centre, Drop In Center, atau shelter yang kini jumlahnya 23 unit yang tersebar di 15 propinsi. Di samping itu, untuk pengungsi di X telah didirikan sedikitnya 20 unit Children Center bekerjasama dengan UNICEF dan Departemen Sosial. Beberapa pihak berpendapat bahwa para TKI tersebut banyak di antaranya yang terjebak dalam praktek-praktek perdagangan orang. Mereka dikirim ke Malaysia menggunakan paspor dan visa kunjungan atau wisata untuk bekerja di sana.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adanya peningkatan jumlah korban perdagangan anak di Indonesia, telah menempatkan Indonesia ke dalam kelompok negara yang dikategorikan tidak berbuat maksimal. Menyadari hal ini, Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 telah menetapkan suatu kebijakan yang bersifat akseleratif tentang penghapusan perdagangan anak. Berdasarkan Keputusan
Presiden tersebut, maka penghapusan perdagangan anak dilakukan secara terorganisir, komprehensif, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan prinsip utama, anak adalah korban.
Untuk menterjemahkan formulasi tersebut dalam bentuk implementasi, maka dikembangkan jejaring kelembagaan peduli anak. Demikian pula secara yuridis dimunculkan norma hukuman berat terhadap pelaku perdagangan anak. Adapun materi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 antara lain, berisi:
1) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disebut dengan RAN-P3A sebagai aspek konseptual atau formulasi.
2) Pembentukan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disebut dengan GT-P3A pada lingkup nasional, propinsi, dan kabupaten/kota, sebagai aspek operasional atau implementasi.
RAN-P3A bertujuan untuk menghapus segala bentuk perdagangan anak melalui pencapaian 4 (empat) tujuan khusus yaitu:
1) Penetapan norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan anak.
2) Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial korban perdagangan anak.
3) Terlaksananya pencegahan perdagangan anak di keluarga dan masyarakat.
4) Terciptanya kerjasama dan koordinasi penghapusan perdagangan anak lingkup internasional, regional, nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Office of The High Commisioner of Human Rights telah mengeluarkan Fact Sheet No. 14 dengan judul Contemporary
Forms of Slavery. Perilaku yang termasuk dalam kategori bentuk-bentuk perbudakan kontemporer (contemporary forms of slavery) adalah:
1) Perdagangan anak.
2) Prostitusi anak.
3) Pornografi anak.
4) Eksploitasi pekerja anak.
5) Mutilasi seksual terhadap anak perempuan.
6) Pelibatan anak dalam konflik bersenjata.
7) Penghambaan.
8) Perdagangan manusia.
9) Perdagangan organ tubuh manusia.
10) Eksploitasi untuk pelacuran, dan
11) Sejumlah kegiatan di bawah rezim apartheid dan penjajahan.
Berdasarkan informasi yang diterbitkan oleh United States Departement of Justice, diperoleh data yang berkenaan dengan perdagangan manusia, antara lain:
1) 700 ribu (tujuh ratus ribu) sampai dengan 4.000.000 (empat juta) orang setiap tahun diperjualbelikan (dijual, dikirim, dipaksa, dan bekerja di luar kemauan) di seluruh dunia;
2) Sebagian besar manusia yang diperdagangkan berasal dari negara-negara berkembang yang rendah tingkat ekonominya, untuk dibawa ke negara-negara maju;
3) Sebagian besar dari korban tersebut adalah perempuan dan anak-anak;
4) Para korban pada umumnya dijanjikan kehidupan yang lebih baik, pekerjaan dengan imbalan yang menarik, oleh sang pedagang;
5) Umumnya mereka dipaksa bekerja sebagai pelacur, pekerja paksa, pembantu rumah tangga, bahkan pengemis;
6) Untuk mengendalikan mereka biasanya dipakai upaya kekerasan atau ancaman kekerasan;
7) Lebih dari dua juta perempuan bekerja di industri seks di luar keinginan mereka, dan diperkirakan sekitar 40% (empat puluh persen) adalah anak di bawah umur.
Akan tetapi dalam banyak hal, kerap kali terdapat perbedaan dalam menentukan batasan, pengertian, dan sumber dapat mengakibatkan perbedaan hasil yang menimbulkan tafsiran serta implikasi yang berbeda. Dalam situasi yang demikian, maka isu undocument migrant workers (pekerja pembantu rumah tangga anak) apabila ditafsirkan dengan tanpa batasan dapat mengakibatkan perbedaan persepsi tentang perdagangan anak.
Untuk memberikan batasan yang pasti, maka dapat mengacu kepada Protocol to Prevent, Suppres and Punish Trafficking in Person Especially Women and Children. Protokol ini telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia. Di luar dari batasan dari protokol itu, pengertian perdagangan anak masih beragam. Hingga saat ini belum ada kesatuan yang bisa menggambarkan kejahatan perdagangan anak. Hal ini disebabkan semakin meluasnya dimensi kriminal dari perdagangan manusia sehingga batasan tradisional perdagangan manusia menjadi usang.
Helge Konrad mengemukan bahwa human trafficking merupakan suatu masalah yang disebabkan adanya beberapa dorongan. Ia menyatakan:
The cause of trafficking are complex. While there are numerous contributing factors, which have to be analysed and taken into account in political decision making-the unequal economic development of different countries, mass unemployment in many countries of origin, but also inequality, discrimination and gender-based violence in our societies, the prevailing market mechanisms; the patriarchal structures in the source and destination countries; the demand side including the promotion of sex tourism in many countries of the world, the mindsets of men, etc.- the primary root cause is poverty, most particularly among women.
Indonesia dikategorikan sebagai negara yang tidak memenuhi standar dalam upaya memerangi kejahatan terorganisir sebagai upaya penghapusan perdagangan manusia secara serius, bahkan data akurat mengenai kejahatan ini sulit diperoleh. Hal ini terkait dengan beberapa hal yaitu berupa defenisi perdagangan manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbatas pada perdagangan perempuan dan anak; dan berbagai perbuatan yang dapat dimasukkan ke dalam perdagangan manusia ditangani oleh berbagai instansi yang berbeda sehingga menyulitkan dalam pertanggungjawaban.
Sebagai contohnya masalah pengiriman buruh migran secara ilegal pada umumnya ditangani oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang melibatkan Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ke luar negeri, sedangkan perdagangan anak ditangani oleh Dinas Sosial. Faktor lainnya berupa lingkup wilayah Indonesia yang amat luas dan terbuka yang memungkinkan perdagangan manusia terjadi di beberapa tempat namun sulit dipantau.
Keterkaitan kejahatan perdagangan anak dengan tindak pidana pencucian uang adalah bahwa kejahatan anak predicate crimes yaitu kejahatan yang merupakan kejahatan transnasional. Salah satu predicate crime dari tindak pidana money laundering adalah trafficking.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 mendefinisikan pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi harta kekayaan yang sah. Pendefmisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1) Pelaku
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003, digunakan kata "setiap orang", di mana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2) Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Istilah transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal pada sisi hukum perdata, sehingga Undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hukum pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK.
3) Merupakan hasil tindak pidana
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, di mana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut pembuktian
di sini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang berbunyi: 1) Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a) korupsi;
b) penyuapan;
c) penyeludupan barang;
d) penyeludupan tenaga kerja;
e) penyeludupan imigran;
f) di bidang perbankan;
g) di bidang pasar modal;
h) di bidang asuransi;
i) narkotika;
j) psikotropika;
k) perdagangan manusia;
l) perdagangan senjata gelap;
m) penculikan;
n) terorisme;
o) pencurian;
p) penggelapan;
q) penipuan;
r) pemalsuan uang;
s) perjudian;
t) prostitusi;
u) di bidang perpajakan;
v) di bidang kehutanan;
w) di bidang lingkungan hidup;
x) di bidang kelautan; atau
2) Tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
3) Harta kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Istilah tindak pidana pencucian uang mulai terkenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu tindak pidana ini dilakukan oleh organisasi mafia melalui pembelian perusahaan pencucian pakaian (laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat pencucian uang yang dihasilkan dari bisnis ilegal seperti perjudian, pelacuran, dan perdagangan minuman keras. Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut bernama Henry Every dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian di mana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat.
Berdasarkan hasil konvensi, artikel, kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah bahwa aktivitas pencucian uang dapat menimbulkan dampak-dampak yang negatif, seperti yang disampaikan oleh Departement of Justice Canada dalam makalahnya yang berjudul Electronic Money Laundering: An Enviromental Scan Money Laundering, yaitu:
Pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyeludup dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya pengobatan dan perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para korban atau para pecandu narkoba.
Di Amerika Serikat, sebelum lahirnya United Nations Convention on Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 (Vienna Drug Convension 1988) 47, telah diatur beberapa ketentuan anti pencucian uang, seperti The Bank Secrecy Act 1970 dan Money Laundering Central Act 1986. Kemudian setelah tahun 1988, diterbitkan The Annunzio Wylie Act dan Money Laundering Suppression Act 1994. Tahun 2001 terbit lagi suatu aturan hukum anti pencucian uang di Amerika Serikat yang disebut USA Patriot Act 2001.48
Sebagaimana halnya dengan negara-negara lain, Indonesia juga memberi perhatian terhadap tindak pidana lintas negara yang terorganisir (transnational organized crime) seperti pencucian uang (money laundering). Pada tingkat internasional, upaya melawan kejahatan pencucian uang dilakukan dengan adanya pembentukan Financial Action Task Force (FATF) On Money Laundering oleh G-7 dalam salahsatu konferensi bulan Mi 1989 di Paris, di mana peran penting dari FAFT adalah menetapkan kebijakan dan langkah yang diperlukan dalam bentuk rekomendasi untuk mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang dengan mengeluarkan 40 (empat puluh) rekomendasi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang serta 8 (delapan) rekomendasi khusus untuk memberantas pendanaan terorisme.
Oleh karena itu, dalam seminar internasional tentang pencucian uang di Jakarta pada tanggal 13 September 2000, pemerintah Indonesia mengumumkan adanya konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Pencucian Uang, yang secara resmi disampaikan pada Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 18 Juni 2001 sehingga disahkan sebagai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Menurut Guy Stessen terdapat beberapa alasan pencucian uang harus diberantas dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu:
Pengaruh pencucian uang pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Sebagai contoh banyak dana yang bersumber dari kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat kurang dimanfaatkan secara optimal. Contoh: dengan membelanjakan uang tersebut dalam bentuk property mewah atau perhiasan yang mahal. Pencucian uang juga dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional karena dampak dari pencucian uang tersebut dapat mengurangi kepercayaan publik.
Pengertian lebih terperinci mengenai pencucian uang ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yaitu:
Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mengandung beberapa pembaharuan yang merupakan kerangka hukum baru (a new legal framework) untuk mengatasi sifat khusus kejahatan pencucian uang, diantaranya adalah:
Kejahatan ini merupakan proses lanjutan dari kejahatan lain (dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, korupsi, penyuapan, penyeludupan, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak wanita dan anak, perjudian, dan terorisme.52
Cara menyembunyikan atau menyamarkan dana tersebut akan menyangkut bank dan lembaga keuangan non bank serta akan mempergunakan internet yang merupakan jaringan informasi yang melewati batas-batas negara (the global connection of interconnected computer network spanning state and national
borders); Hal ini mengakibatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 disahkan sebagai syarat agar investasi luar negeri masuk ke Indonesia.
Implikasi negatif lainnya dari adanya pencucian uang, yaitu:
Membiarkan masyarakat menikmati uang haram, berarti mengizinkan organized crime membangun pondasi usaha yang ilegal dan membiarkan mereke menikmati hasil aktivitasnya. Praktek ini menciptakan kondisi persaingan tidak jujur. Dengan perlakuan yang permisif terhadap pencucian uang, bukankah berarti turut membangun etos persaingan tidak jujur pula? moral bisnis menurun, wibawa hukum merosot drastis. Orientasi materialistik menguat, dan lain sebagainya. Perkembangan praktek ini akan melemahkan kekuatan finansial masyarakat pada umumnya. Angka-angka yang mencerminkan indikator ekonomi makro masyarakat menjadi turun tingkat keterandalannya mengingat semakin banyaknya uang yang berjalan di luar kendali sistem perekonomian pada umumnya.
Permasalahan terletak pada pembuktian unsur keempat dari Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, yaitu unsur" yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kejahatan". Hakim berpendapat bahwa untuk membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang harus terlebih dahulu membuktikan unsur keempat termasuk tindak pidana asalnya (predicate crime) dengan disertai 2 (dua) alat bukti karena tidak mungkin mengetahui terjadinya tindak pidana pencucian uang tanpa mengetahui asal-usul uang sebagai suatu hasil kejahatan. Akan tetapi penyidik berpendapat bahwa unsur keempat mengenai tindak pidana asalnya (predicate crime) tidak perlu dibuktikan, cukup hanya membuktikan bahwa uang seseorang tersebut tidak jelas asal-usulnya dan patut diduga hasil kejahatan sehingga tidak diperlukan 2 (dua) alat bukti untuk membuktikannya.
Permasalahan tersebut di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang "Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah pengaturan praktek kejahatan perdagangan anak sebagai Predicate Crime dalam TPPU?
2. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan perdagangan anak?
3. Bagaimanakah bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan peneliti dalam penelitian tesis ini adalah:
1. Mengetahui pengaturan praktek kejahatan perdagangan anak sebagai predicate crime dalam TPPU.
2. Mengetahui penanggulangan kejahatan perdagangan anak.
3. Mengetahui bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak.

D. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian tesis dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi dalam upaya menambah
wawasan ilmu pengetahuan kebijakan kriminal dalam menanggulangi
kejahatan perdagangan anak.
b. Sebagai bahan masukan bagi peradilan jika menghadapi kasus perdagangan
anak di Indonesia, khususnya di X.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian tesis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan
dalam menanggulangi kejahatan perdagangan anak.
b. Penelitian tesis ini diharapkan memberikan masukan bagi penyempumaan
perangkat peraturan yang berkaitan dengan perdagangan anak di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini tentang perdagangan anak dan pencucian uanng adalah suatu topik yang relatif berkembang untuk dibahas oleh peneliti.55 Agar tidak terjadi pengulangan suatu penelitian terhadap masalah yang sama, peneliti biasanya akan mengumpulkan data tentang masalah tersebut sebelum melakukan kegiatan ilmiah tersebut.
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) terdapat beberapa penelitian khususnya di lingkungan Universitas X X yang membahas tentang tindak pidana pencucian uang, yaitu:
1. Pertanggungjawaban Bank pada Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Transaksi
Mencurigakan.
2. Analisis Yuridis Peran Criminal Justice System terhadap Penanggulangan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
3. Peran POLRI Sebagai Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang.
4. Kegagalan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) di Indonesia Ditinjau dari Sistem Pembuktian.
5. Pengaturan Rahasia Bank dalam Penanganan Kejahatan Money Laundering (Pencucian Uang) di Indonesia.
6. Kebijakan Kriminal terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Proteksi Peredaran Rupiah dari dalam/Ke Luar Daerah Pabean Republik Indonesia.
Akan tetapi judul tesis berupa "Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang" dengan permasalahannya belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya. Dengan demikian penelitian ini dapat dijamin keasliannya serta dapat dipertanggungj awabkan secara ilmiah.

F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi dan Sifat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan.
Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan data-data mengenai praktek kejahatan perdagangan anak, proses terjadinya kejahatan tindak pidana pencucian uang berdasarkan kejahatan asalnya atau predicate crimes, dan pencegahan tindak pidana pencucian uang, kemudian melakukan penyusunan, pengolahan dan penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.
Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, literatur, karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya.
2. Metode Pengumpulan Data
Pengambilan data skunder dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research).
Adapun data sekunder mencakup:
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, KUHP, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya.
b) Bahan hukum skunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku teks, hasil-hasil penelitian dan sebagainya.
c) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya: kamus, ensiklopedi dan sebagainya.
Sedangkan pengambilan data primer oleh peneliti berupa:
a) Wawancara dengan narasumber, yaitu Staff Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Kajian Perlindungan Anak Kota X.
b) Observasi lapangan.
3. Analisis Data
Salah satu ciri dari penelitian hukum normatif adalah menganalisis data secara kualitatif Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder, kemudian data dikelompokkan sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:19:00

TESIS ANALISIS MASALAH KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL DI DESA X

(KODE : PASCSARJ-0027) : TESIS ANALISIS MASALAH KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL DI DESA X (PRODI : PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PEDESAAN)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan suatu proses yang terus-menerus dilaksanakan melaui suatu perencanaan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek. Dengan kata lain pembangunan merupakan suatu upaya perbaikan yang dilakukan secara terus-menerus dari kondisi yang sebelumnya tidak baik menjadi lebih baik.
Berbicara masalah pembangunan, fokus perhatian kita selama ini selalu ditujukan kepada ukuran-ukuran kuantitatif seperti pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), investasi, dan peningkatan pendapatan perkapita. Keberhasilan suatu proses pembangunan pun sering diasumsikan sebagai meningkatnya dan terjadinya redistribusi fisik dari membaiknya indikator-indikator perekonomian di atas.
Pembangunan seharusnya merupakan arena untuk perluasan kebebasan subtantif (subtantive freedom) bagi setiap orang. Artinya pembangunan mengharuskan berbagai sumber non-kebebasan (non freedom sources) sudah seharusnya disingkirkan, yakni kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi dan kemiskinan sosial sistematis, penelataran sarana umum dan intoleransi serta campur tangan rezim refresif yang berlebihan (Sen dalam Teddy, XXXX: 1).
Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa tantangan pembangunan adalah memperbaiki kualitas kehidupan. Terutama di negara-negara yang paling miskin. Kualitas hidup yang baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang lebih tinggi, namun yang dibutuhkan bukan hanya itu. Pendapatan yang lebih tinggi itu hanya merupakan salah satu dari kesekian banyak syarat yang harus dipenuhi. Banyak hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya yang juga harus diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya (Bank Dunia dalam Tadaro, 2000: 19).
Pembangunan yang kita lakukan sejak orde baru hingga menjelang krisis yang menerpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 yang lalu telah menunjukkan hasil yang sangat signifikan dengan tujuan pembangunan, di mana Indonesia dapat dikatakan tergolong ke dalam negara yang berhasil dalam pembangunan. Selama lebih dari tiga dekade, Indonesia telah mencatat prestasi yang mengesankan dalam pembangunan manusia. Kemampuan dicapai di berbagai bidang, mulai dari pengurangan kemiskinan, kesenjangan pendapatan hingga peningkatan harapan hidup dan kemampuan membaca dan menulis. Angka kematian bayi misalnya, menurun tajam sejalan dengan peningkatan akses terhadap sarana kesehatan dan sanitasi. Pada periode yang sama juga terjadi peningkatan peranan perempuan, perbedaan rasio pria dengan wanita di berbagai tingkat pendidikan semakin mengecil dan kontribusi wanita dalam pendapatan keluarga juga semakin membesar.
Akan tetapi keberhasilan pembangunan itu hanya berlangsung pada tiga dekade itu saja. Keberhasilan pembangunan mulai kembali tidak dapat dirasakan oleh segenap bangsa Indonesia, yaitu pada tahun 1997. Di mana pada tahun itu pula telah terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan bangsa Indonesia kembali terperangkap ke dalam kungkungan kemiskinan dan ketertinggalan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.
Krisis ekonomi tersebut telah meningkatkan kembali jumlah penduduk miskin di Indonesia secara drastis. Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari seluruh penduduk. Dan pada tahun XXXX jumlah penduduk miskin di Indonesia masih mencapai 36,2 juta jiwa atau sekitar 16,7 persen dari seluruh penduduk (Kuncoro, XXXX: 117).
Selanjutnya pada tahun XXXX-XXXX, angka penduduk miskin di Indonesia adalah: tahun XXXX sebesar 35,1 juta jiwa atau 15,97 persen. Kondisi ini memburuk di tahun XXXX jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 39,3 juta jiwa atau 17,75 persen, yang disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi dan kenaikan harga BBM. Namun berangsur-angsur kondisi ini terus membaik. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret XXXX sebesar 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen. jumlah penduduk miskin sudah berkurang sebesar 2,21 juta jiwa dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret XXXX, yang berjumlah 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen (Sensenas, XXXX).
Salah satu komunitas bangsa Indonesia yang teridentifikasi sebagai golongan miskin saat ini adalah nelayan, di mana sedikitnya 14,58 juta jiwa atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan (Martadiningrat dalam Antara, XXXX: 1). Padahal negara Indonesia adalah negara bahari yang pulau-pulaunya di kelilingi oleh lautan yang di dalamnya mengandung berbagai potensi ekonomi khususnya di bidang perikanan, namun sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam jurang kemiskinan.
Di sisi lain nelayan mempunyai peran yang sangat substansial dalam modernisasi kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling reaktif terhadap lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk menerima perkembangan peradaban yang lebih modern (Sudrajad, XXXX: 2). Namun dalam perkembangannya, justru nelayan belum menunjukkan kemajuan yang berarti sebagaimana kelompok masyarakat yang lain. Keberadaan mereka sebagai agent of development ternyata tidak ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Malah nelayan menjadi persoalan sosial yang paling dominan dihadapi di daerah pesisir oleh kemiskinannya.
Sejak krisis moneter mulai merambah ke berbagai pelosok wilayah di Indonesia, salah satu golongan nelayan yang menerima efek langsung oleh krisis tersebut adalah nelayan tradisional boleh dikatakan adalah kelompok masyarakat pesisir yang paling menderita dan merupakan korban pertama dari perubahan situasi sosial ekonomi yang datangnya tiba-tiba dan berkepanjangan (Sudarso, XXXX: 1). Sedangkan bila dilihat dari tempat tinggalnya, pada umumnya nelayan tradisional berada dalam lingkungan sumberdaya laut yang kaya raya, namun mereka miskin. Sehingga Sudjatmoko (1995: 47) menyatakan kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional adalah kemiskinan struktural.
Kusnadi (XXXX: 19) menyatakan kemiskinan yang diderita oleh masyarakat nelayan bersumber dari faktor-faktor sebagai berikut:
Pertama; faktor alamiah, yakni yang berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Kedua; faktor non-alamiah, yakni berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya lembaga koperasi nelayan yang ada serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abat terakhir.
Selanjutnya Kusnadi (XXXX: 2) menyatakan kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:
Faktor internal, yakni; 1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia;
2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan;
3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang
menguntungkan buruh; 4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha
penangkapan; 5) ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut;
dan 6) gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke
masa depan.
Faktor eksternal, 1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi kepada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; 2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; 3) kerusakan akan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konservasi hutan bakau di kawasan pesisir; 4) penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan; 5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan; 6) terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen;7) terbatasnya peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa nelayan; 8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan 9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia.
Kehidupan mereka sungguh memprihatinkan karena sebagai nelayan tradisional yang tergolong ke dalam kelompok masyarakat miskin mereka seringkali dijadikan objek ekploitatif oleh para pemilik modal. Harga ikan sebagai sumber pendapatannya dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak, sehingga distribusi pendapatan menjadi tidak merata. Gejala modernisasi perikanan tidak banyak membantu bahkan membuat nelayan tradisional terpinggirkan, seperti munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan teknologi moderen. Mereka mampu menangkap ikan lebih banyak dibandingkan nelayan tradisional yang hanya menggunakan teknologi tradisional.
Kehadiran lembaga ekonomi seperti koperasi belum sepenuhnya dapat membantu peningkatan taraf hidup nelayan tradisional. Hal ini ditandai dengan tidak adanya akses nelayan tradisional terhadap lembaga tersebut dalam memperoleh modal usaha. Ditambah lagi dengan pendapatan mereka yang tidak menentu membuat nelayan tergatung kepada pemilik modal yang tidak hanya sebatas kebutuhan modal usaha dan alat produksi, malah sampai kepada biaya kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
Di Propinsi X pada tahun 2000 penduduk miskin berjumlah 1.101.368 jiwa atau 26,5 persen dari jumlah penduduk. Kemudian kemiskinan di X sedikit meningkat pasca terjadinya bencana alam tsunami, yakni dari 28,4 persen pada tahun XXXX mencapai 32,6 persen pada tahun XXXX. Selanjutnya tingkat kemiskinan kembali menurun pada tahun XXXX hingga mencapai 26,5 persen, lebih rendah dari tingkat kemiskinan sebelum tsunami, hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas rekonstruksi yang dilakukan oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) X-Nias, NGO dan lembaga sosial internasional lainnya. Walaupun demikian, kemiskinan di X tetap jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kemiskinan tingkat kabupaten menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang tingkat kemiskinannya tinggi merupakan daerah yang berada di pedalaman pedesaan dan kabupaten-kabupaten yang lebih terpencil, sementara wilayah-wilayah sekitar X memiliki tingkat kemiskinan paling rendah (Amsberg, XXXX: 8).
Kabupaten X sebagai salah satu kabupaten di Propinsi X, pada tahun XXXX mempunyai penduduk miskin berjumlah 30.919 jiwa atau 23 persen dari jumlah penduduk (Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, XXXX). Persentase angka kemiskinan ini lumayan tinggi bila dibandingkan dengan persentase angka rata-rata penduduk miskin di Indonesia pada tahun XXXX yang berjumlah 15,42 persen.
Salah satu kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk miskin tertinggi di Kabupaten X adalah Kecamatan X. Menurut Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten X (XXXX), penduduk miskin di Kecamatan X pada tahun XXXX berjumlah 6.450 jiwa atau 37,11 persen dari jumlah penduduk. Untuk memberikan informasi yang lebih jelas tentang angka-angka jumlah penduduk miskin di masing-masing kecamatan dalam Kabupaten X, maka data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini:

* TABEL SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN *

Desa X merupakan salah satu desa dalam Kecamatan X Kabupaten X dengan jumlah penduduk 718 jiwa, yang terdiri dari 167 kepala keluarga. Dari 167 kepala keluarga terdapat 86 kepala keluarga tergolong sebagai masyarakat miskin, dan dari 86 kepala keluarga tersebut di dalamnya terdapat 51 kepala keluarga nelayan tradisional (Propil Desa).

1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan pada nelayan tradisional di Desa X?
2. Apa bentuk kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional di Desa X ?

1.3. Tujuan Penelitian
Dengan memperhatikan permasalahan dan latar belakang di atas, kemudian dirumuskan beberapa tujuan penelitian seperti di bawah ini:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan tradisional di Desa X.
2. Untuk mengetahui bentuk kemiskinan nelayan tradisional di Desa X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penyempurnaan kebijakan lanjutan di wilayah tersebut dan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan sejenis di wilayah lain.
2. Bagi akademisi dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan nelayan tradisional.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:18:00

TESIS ANALISIS DAMPAK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI KABUPATEN X

(KODE : PASCSARJ-0026) : TESIS ANALISIS DAMPAK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI KABUPATEN X (PRODI : EKONOMI PEMBANGUNAN)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomena sepanjang sejarah Indonesia. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit (Sahdan, 2004).
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat
untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik (Sahdan, 2004).
Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan (Sahdan, 2004).
Indonesia sedang berada di ambang era yang baru. Sesudah mengalami krisis multi-dimensi (ekonomi, sosial, dan politik) pada akhir tahun 1990-an, Indonesia sudah kembali bangkit. Secara garis besar, negeri ini telah pulih dari krisis ekonomi yang menjerumuskan kembali jutaan warganya ke dalam kemiskinan pada tahun 1998 dan telah menurunkan posisi Indonesia menjadi salah satu negara berpenghasilan rendah. Belum lama ini Indonesia telah berhasil kembali menjadi salah satu negara berkembang berpenghasilan menengah. Angka kemiskinan yang meningkat lebih dari sepertiga kali selama masa krisis telah kembali pada kondisi sebelum krisis. Sementara itu, Indonesia telah mengalami transformasi besar di bidang sosial dan politik, berkembang dengan demokrasi yang penuh semangat dengan adanya desentralisasi pemerintahan, serta keterbukaan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan masa lalu (Steer, 2006).
Penyebab kemiskinan dapat dikelompokkan atas dua hal, yaitu (1) faktor alamiah: kondisi lingkungan yang miskin, ilmu pengetahuan yang tidak memadai, adanya bencana alam dan lain lain yang bermakna bahwa mereka miskin karena memang miskin, dan (2) faktor non alamiah:akibat kesalahan kebijakan ekonomi, korupsi, kondisi politik yang tidak stabil, kesalahan pengelolaan sumber daya alam. Jadi untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, langkah yang dilakukan tidak lain daripada mempertimbangkan kedua faktor tersebut, yaitu mengubah kondisi lingkungannya menjadi lebih baik, meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, dan melakukan perbaikan terhadap sistem yang ada melalui pemberantasan korupsi dan menetapkan pengelola yang kompeten baik dari kemampuan, integritas, maupun moral (Lubis, 2006).
Penanganan kemiskinan tentunya harus dilakukan secara menyeluruh dan kontekstual. Menyeluruh berarti menyangkut seluruh penyebab kemiskinan, sedangkan kontekstual mencakup faktor lingkungan si miskin. Beberapa di antaranya yang menjadi bagian dari penanggulangan kemiskinan tersebut yang perlu tetap ditindaklanjuti dan disempurnakan implementasinya adalah perluasan akses kredit pada masyarakat miskin, peningkatan pendidikan masyarakat, perluasan lapangan kerja dan pembudayaan entrepeneurship (Hureirah, 2005).
Selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu, tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri (Hureirah, 2005).
Pemerintah menargetkan penurunan tingkat kemiskinan dari 16% di tahun 2005 menjadi 8,2% terhadap jumlah penduduk di tahun 2009. Selain itu, menurunkan tingkat pengangguran dari 10,4 % tahun 2006 menjadi 5,1% terhadap 106,3 juta orang jumlah angkatan kerja tiga tahun 2007 (Bappenas, 2004).
Dalam rangka mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia, Presiden Republik Indonesia pada tanggal 10 September 2005 melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2005 membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang merupakan penyempurnaan dan kelanjutan dari Keppres No. 124 Tahun 2001 jo. Keppres No. 8 tahun 2002 jo. Keppres No. 34 Tahun 2002 mengenai Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK). Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) ini merupakan forum lintaspelaku - forum nasional, forum regional dan/atau forum nasional-regional - yang terdiri dari semua unsur, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga keuangan dan perbankan, usaha nasional, kelompok swadaya masyarakat, akademisi, dan unsur masyarakat lainnya, untuk menggalang kontribusi gagasan dan saran implementasi yang konstruktif dan maju, bagi peningkatan keberhasilan penanggulangan kemiskinan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan investasi Pemerintah RI dalam bentuk aset, sistem pembangunan partisipatif dan kelembagaan. Program ini bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di perdesaan melalui peningkatan pendapatan masyarakat, penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah, serta perwujudan prinsip-prinsip good governance. Melalui program ini diharapkan terwujud sistem pengaturan dan pengurusan (governance system) segala bentuk sumberdaya secara sehat, dimana semua pelakunya bersikap saling memberdayakan, memperkuat dan melindungi (Indroyono, 2003).
Selama tiga tahun pertama disebut sebagai fase I PPK, dan pada masa yang akan datang sebagai fase II, maka persoalan pada fase II perlu ditekankan pada masalah-masalah pelembagaan dari tiga lembaga yang ditangani dalam program PPK, yaitu: Musyawarah Antar Desa (forum UDKP), UPK (Unit Pengelola Keuangan) di tingkat kecamatan, dan kelompok-kelompok masyarakat (target group). Dari sisi kelembagaan, menurut moderator, perlu diperkuat keberadaan lembaga-lembaga yang telah diberdayakan selama fase pertama (institutional strenghtening). Di samping itu, saat ini muncul pemikiran tentang masa depan bentuk UPK (yang sekarang berubah dari Unit Pengelola Keuangan menjadi Unit Pengelola Kegiatan) yang telah bertugas melayani masyarakat selama 3-4 tahun terakhir. Terdapat 3 pilihan yang berkembang diantara para pelaksana program PPK, yakni: berbadan usaha bank, koperasi, atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) (Indroyono, 2003).
Keberhasilan program PPK dapat dilihat dari hasil penelitian Fajar (2006), menyimpulkan Prasarana transportasi jalan mempunyai peran yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat kawasan perdesaan,hal ini disebabkan dengan prasarana transportasi jalan yang baik mobilitas angkutan komoditi dari lokasi produksi ke pusat perdagangan berjalan lancar. Proporsi volume produksi terhadap volume perdagangan lebih unggul pada kawasan perdesaan dengan prasarana transportasi memadai atau setiap komoditi yang dihasilkan lebih berpeluang untuk dapat dipasarkan dibandingkan pada kawasan perdesaan yang mempunyai prasarana transportasi jalan kurang memadai. Pada desa yang memiliki prasarana transportasi jalan memadai, mempunyai pertumbuhan ekonomi masyarakat yang lebih tinggi,hal ini nampak dari tingginya proporsi persentase volume produksi terhadap volume perdagangan dari semua komoditi andalan yang dihasilkan, yaitu setiap pertumbuhan volume produksi sebesar 1,06%,akan mempunyai peluang untuk dapat diperdagangkan sekitar 3,33%, dimana laju pertumbuhan perdagangan adalah gambaran jumlah komoditi yang dapat dinilai dengan penerimaan, sehingga peningkatan ekonomi masyarakat juga lebih baik. Sedangkan pada desa yang memiliki prasarana transportasi jalan kurang memadai, mempunyai pertumbuhan ekonomi masyarakat lebih lambat, hal ini nampak dari rendahnya proporsi persentase pertumbuhan volume produksi terhadap volume perdagangan dari semua komoditi andalan yang dihasilkan yaitu dari setiap pertumbuhan volume produksi sebesar 1,46%, akan mempunyai peluang untuk dapat diperdagangkan sebesar 2,67%, dimana peluang terjualnya suatu komoditi merupakan gambaran penerimaan masyarakat Nampak bahwa terjadi perbedaan pertumbuhan ekonomi di kedua kawasan perdesaan yang disebabkan oleh perbedaan peluang perdagangan sebagai akibat dari keadaan kondisi prasarana transportasi jalan.
Hasil survei pendahuluan di Kecamatan X dan X Kabupaten X sebagai lokasi pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan untuk menggerakkan perekonomian di kedua kecamatan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan penduduk.
Kecamatan X mempunyai penduduk dengan mata pencaharian terbesar adalah petani dan nelayan, sehingga dana bantuan melalui progam PKK digunakan untuk menunjang peningkatan kegiatan ekonomi para nelayan seperti: peningkatan sarana dan prasarana irigasi dan peralatan penangkap ikan, sedangkan di Kecamatan X sebagian masyarakat mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian dan buruh, sehingga dana yang bersumber dari program PPK dikembangkan untuk menunjang peningkatan kegiatan ekonomi pertanian dan buruh.

1.2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak latar belakang diatas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Berapa besar dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana sosial dasar terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
2. Berapa besar dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
3. Berapa besar dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan lapangan kerja terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini:
1. Untuk mengetahui dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana sosial dasar terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan lapangan kerja terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai :
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam evaluasi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kabupaten X.
2. Bahan perbandingan bagi peneliti lain.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:17:00

TESIS KESIAPAN GURU MATEMATIKA SMP DALAM MELAKSANAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI KOTA X

(KODE : PASCSARJ-0025) : TESIS KESIAPAN GURU MATEMATIKA SMP DALAM MELAKSANAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI KOTA X (PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Seiring waktu perubahan kurikulum ke arah yang lebih sempurna terus dilakukan oleh pemerintah. Kurikulum terbaru yang dikeluarkan pemerintah adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan ini sebenarnya adalah penyempurnaan dari Kurikulum 2004. KTSP harus dilaksanakan mulai tahun 2007 sebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) telah menyelesaikan Standar Isi dan Standar Kelulusan kemudian dikukuhkan menjadi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaannya.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kelanjutan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi yang dikeluarkan pemerintah tahun 2004. Namun pelaksanaan kurikulum 2004 sendiri masih belum seperti yang diharapkan. Menurut Sugiyem (2006 : 76-77) kendala dari pelaksanaan kurikulum 2004 untuk mata pelajaran Matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Gunungkidul di antaranya adalah masih rendahnya motivasi di kalangan guru Matematika untuk melaksanakan kurikulum Matematika secara benar. Pada umumnya guru terlanjur menyukai rutinitas dan tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan perkembangan meskipun secara teori seharusnya mereka mampu untuk melakukan perubahan.
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) harus dilaksanakan mulai tahun 2007 yang telah ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005. Jadi mau tidak mau, siap tidak siap pada tahun 2007 semua komponen pendidikan harus menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pertanyaan yang muncul adalah apabila kurikulum terdahulu saja belum terlaksana dengan benar bagiamana kesiapan guru Matematika dalam melaksanakan kurikulum terkini ?
Tentunya dalam awal pelaksanaan KTSP sendiri menghadapi berbagai masalah dan kendala di lapangan. Namun perubahan ini harus dipahami dan dilaksanakan oleh berbagai pihak karena kurikulum memiliki kedudukan yang strategis dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran yang menentukan proses dan hasil pendidikan.
Menurut Indri Yuli Widya Rulanti (2008 : 78) kendala dari pelaksanaan KTSP untuk mata pelajaran Matematika di SMK jurusan Bisnis Manajemen di Kabupaten Magetan adalah siswa belum siap belajar dengan tuntutan KTSP yang menekankan kepada keaktifan siswa pada proses pembelajaran dan guru kesulitan dalam mencari materi bahan ajar karena terbatasnya materi bahan ajar untuk SMK jurusan Bisnis Manajemen serta minimnya literature terkini yang dapat digunakan guru untuk memperluas wawasan pembelajaran.
Matematika merupakan salah satu bagian dari kurikulum. Sehingga kurikulum matematika sendiri harus menyesuaikan dengan perubahan kurikulum yang ada saat ini. Dengan adanya perubahan kurikulum Matematika maka semua unsur pelaksana kurikulum tentunya harus mempunyai kesiapan dalam pelaksanaannya. Guru sebagai tokoh utama dalam pelaksanaan kurikulum harus mampu menyesuaikan dengan perubahan yang ada. Seperti halnya manusia lain guru juga tidak mudah berubah, karena telah terbiasa dengan cara-cara yang lama. Guru cenderung bersifat konsrvatif. Untuk menyesikaikan diri dengan perubahan maka perlu timbul kebutuhan dan motivasi untuk menerima perubahan yang dapat memberi perbaikan. Setiap guru mempunyai reaksi individual terhadap perubahan kurikulum. Pada umumnya guru akan bersikap kritis dan menilai apakah perubahan itu hanya bersifat teori, apakah dapat dilakukan dalam kelasnya, atau menganggap cara yang lama lebih bermanfaat dari yang baru atau terlampau banyak menuntut waktu dan tenaga.
Dalam perubahan kurikulum hendaknya diselidiki sikap dan reaksi guru terhadap perubahan. Perubahan hendaknya diterima dengan rasa komotmen agar berhasil baik. Guru memiliki pandangan sendiri tentang kurikulum dan keberhasilan perubahan tergantung pada kesesuaian dan nilai-nilai guru serta taraf partisipasinya dalam perubahan tersebut.
Dalam perubahan kurikulum maupun dalam pembinaan kurikulum hendaknya bekerja dalam pola yang terdiri atas komponen-komponen kurikulum. Setiap kurikulum memuat empat komponen, yaitu; 1) Tujuan, 2) Kegiatan atau pengalaman belajar untuk mencapai tujuan, 3) Pengetahuan, yaitu isi atau bahan pelajaran yang diperoleh dan digunakan dalam proses belajar, 4) Penilaian atau evaluasi hasil belajar.
Kesiapan guru matematika SMP dalam melaksanakan KTSP dapat dilihat dari pengelolaan pembelajaran yang terdiri atas : (a) menyusun rencana pembelajaran yang meliputi : mampu membuat silabus, program tahunan, program semester, rencana pembelajaran dan perangkat pembelajaran lain yang dibutuhkan, (b) pelaksanaan interaksi belajar terdiri dari : memahami materi pelajaran, memilih alat peraga yang tepat dan memilih metode mengajar yang sesuai dengan masing-masing pokok bahasan, (c) penilaian prestasi belajar peserta didik dalam arti mampu melakukan evaluasi baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil pembelajaran, (d) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik (Depdiknas, 2007 : 18-19).

B. Identifikasi Masalah
Penelitian ini dilakukan dalam rangka melihat kesiapan guru matematika dalam peaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Adapun masalah yang dapat diidentifikasikan dalam penelitian ini adalah :
1. Tidak semua guru matematika memahami Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
2. Adanya perbedaan pemahaman tentang profesi guru Matematika.
3. Masih banyak guru Matematika yang tidak menyiapkan perangkat mengajar secara lengkap.
4. Adanya kekhawatiran guru Matematika dalam pengembangan Silabus (Analisis Materi Pengajaran) pada KTSP.
5. Masih banyak guru yang belum siap melaksanakan KTSP.

C. Pembatasan Masalah
Penelitian dengan judul guru matematika SMP di Kota X dalam pelaksanaan KTSP dibatasi pada bagaimana kesiapan guru dalam:
1. Menyusun rencana pembelajaran yang meliputi : a) membuat silabus, b) program tahunan, c) program semester, dan d) rencana pelaksanaan pembelajaran.
2. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang terdiri dari : a) memahami materi pelajaran, b) memilih media pembelajaran yang tepat, dan c) memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar.
3. Penilaian prestasi belajar peserta didik yang meliputi : a) evaluasi proses, dan b) evaluasi hasil pembelajaran.
4. Pelaksanaan tindak lanjut penilaian prestasi belajar peserta didik yang meliputi: a) perbaikan hasil penilaian prestasi belajar, dan b) pengayaan bagi peserta didik yang telah tuntas belajar.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kesiapan guru dalam menyusun rencana pembelajaran?
2. Bagaimana kesiapan guru dalam kegiatan pembelajaran?
3. Bagaimana kesiapan guru dalam pelaksanaan penilaian prestasi belajar peserta didik?
4. Bagaimana kesiapan guru dalam pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana :
1. Kesiapan guru matematika SMP di Kota X dalam menyusun rencana pembelajaran
2. Kesiapan guru matematika SMP di Kota X dalam kegiatan pembelajaran
3. Kesiapan guru matematika SMP di Kota X dalam pelaksanaan penilaian prestasi belajar peserta didik
4. Kesiapan guru matematika SMP di Kota X dalam pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar

F. Manfaat Penelitian
1. Bagi dinas pendidikan pemuda dan olah raga kota X, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru yang berprofesi sebagai guru matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP), sehingga dapat memberikan solusi terbaik dalam peningkatan kualitas guru Matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota X.
2. Bagi pengawas, penelitian ini diharapkan dapat memerikan masukan tentang pelaksanaan pembelajaran matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP) sehingga pelaksanaan pembelajaran matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP) sehingga pelaksanaan pembelajaran berikutnya menjadi lebih baik.
3. Bagi kepala sekolah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang apa yang sudah dilaksanakan oleh guru dalam rangka menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk mata pelajaran matematika.
4. Bagi guru, sebagai tenaga terampil yang berhubungan langsung dengan peserta didik, penelitian ini bermanfaat sebagai alat evaluasi proses pembelajaran yang telah dilaksanakan dan sebagai alat evaluasi proses pembelajaran yang telah dilaksanakan dan sebagai informasi untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
5. Bagi siswa, penelitian ini bermanfaat memberikan tambahan pengetahuan tentang kurikulum yang baru saja diperoleh terutama untuk pelajaran matematika sekaligus sebagai sarana bagi mereka untuk dapat memberikan penilaian bagi guru matematika di sekolah mereka.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:47:00

TESIS KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE (TTW) DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS XI

(KODE : PASCSARJ-0024) : TESIS KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE (TTW) DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS XI (PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya alam yang banyak dan melimpah pada suatu negara belum merupakan jaminan bahwa negara tersebut akan makmur, jika pendidikan sumber daya manusianya terabaikan. Suatu negara yang memiliki sumber daya alam yang banyak jika tidak ditangani oleh manusia yang berkualitas maka pada suatu saat akan mengalami kekecewaan.
Upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia merupakan tugas besar dan memerlukan waktu yang panjang. Meningkatkan sumber daya manusia tidak lain harus melalui proses pendidikan yang baik dan terarah. Masa depan suatu negara sangat ditentukan oleh bagaimana negara tersebut memperlakukan pendidikan.
Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan, pendidikan merupakan aspek yang sangat penting karena dengan pendidikan diharapkan mampu membentuk sumber daya manusia yang terampil, kreatif dan inovatif. Untuk membentuk sumber daya manusia sesuai dengan perkembangan jaman diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan menekankan pada proses belajar yang bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri manusia baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Pendidikan formal yang dilakukan di sekolah-sekolah sampai sekarang tetap merupakan lembaga pendidikan utama yang merupakan pusat pengembangan sumber daya manusia dengan didukung oleh pendidikan dalam keluarga dan masyarakat.
Pada kenyataannya mutu pendidikan kita saat ini masih rendah. Jika hal ini dibiarkan dan berlanjut terus maka lulusan kita sebagai generasi penerus bangsa akan sulit bersaing dengan lulusan dari negara lain. Lulusan yang dibutuhkan tidak sekedar mampu mengingat dan memahami informasi saja tetapi harus dapat menerapkan secara kontekstual melalui beragam kompetisi. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dilakukan perubahan paradigma dalam pembelajaran, yaitu dari teacher centered learning beralih ke student centered learning.
Matematika sebagai salah satu sarana berpikir ilmiah adalah sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis, sistematis, dan kritis dalam diri peserta didik. Demikian pula matematika merupakan pengetahuan dasar yang diperlukan oleh peserta didik untuk menunjang keberhasilan belajarnya dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan matematika diperlukan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari. Karena itulah, peserta didik perlu memiliki pengetahuan matematika yang cukup untuk menghadapi masa depan.
Menyadari akan pentingnya peranan matematika, baik dalam penataan nalar dan pembentukan sikap maupun dalam penggunaan matematika, maka peningkatan prestasi belajar matematika di setiap jenjang pendidikan perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Oleh karena di dalam memasuki era globalisasi dan tinggal landas pembangunan nasional, semakin terasa adanya tuntutan yang tinggi akan kualitas manusia Indonesia.
Pada saat ini masih banyak dijumpai prestasi matematika di sekolah-sekolah mulai tingkat SD, SLTP, SMA maupun SMK yang masih rendah. Padahal nilai matematika memegang peranan penting dalam menentukan syarat kelulusan siswa karena matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang di ujikan pada ujian nasional. Rendahnya nilai matematika siswa disebabkan oleh sebagian besar siswa menganggap bahwa pelajaran matematika adalah pelajaran yang sulit dan kurang diminati karena banyak memuat konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sukar dipelajari. Juga memuat banyak rumus-rumus dan hitungan-hitungan dalam pemecahan masalah yang rumit.
Dengan mengetahui masalah seperti tersebut di atas maka sebagai guru matematika perlu memahami dan mengembangkan berbagai metode pembelajaran dalam proses belajar mengajar matematika. Guru hendaknya dapat menyusun program pengajaran yang dapat membangkitkan motivasi belajar siswa sehingga siswa terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian penghayatan terhadap matematika akan lebih mantap dan dapat menghilangkan anggapan siswa bahwa pelajaran matematika adalah pelajaran yang sulit.
Salah satu penyebab prestasi matematika siswa masih rendah adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang terdapat dalam matematika dan masih sulitnya siswa berkomunikasi secara matematik. Hal ini dikarenakan guru pada waktu mengajar belum menggunakan metode pembelajaran yang dapat mendorong siswa berpikir dan melibatkan siswa secara aktif. Masih banyak guru dalam mengajar menggunakan metode pembelajaran secara konvensional, yaitu suatu metode pembelajaran yang berpusat pada guru.
Guru dalam mengajar untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa secara lisan atau ceramah, diselingi dengan tanya jawab dan pemberian tugas atau pekerjaan rumah. Dalam metode ini lebih banyak menuntut keaktifan guru dari pada siswa sebagai peserta didik sehingga siswa kurang aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa hanya mendengarkan, memperhatikan dan mencatat apa yang diterangkan oleh guru, sehingga siswa tidak terlatih untuk berpikir mengembangkan ide untuk lebih memantapkan pemahaman tentang suatu konsep. Kenyataan lainnya adalah sering dijumpai sehari-hari di kelas pada saat proses belajar mengajar berlangsung banyak siswa yang belum belajar tentang materi yang akan diajarkan oleh guru.
Masih ada guru yang terpaku pada satu metode pembelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar secara terus menerus tanpa pernah memodifikasinya atau menggantikannya dengan metode lain walaupun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai berbeda. Hal ini dapat mengakibatkan pencapaian tujuan pembelajaran oleh para siswa tidak optimal. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan pembelajaran tersebut, dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, guru hendaknya memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik maupun sosial. Pada pembelajarn matematika hendaknya disesuaikan dengan kekhasan pokok bahasan/subpokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa.
Salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mendorong siswa berpikir dan meningkatkan pemahaman siswa akan pelajaran matematika adalah metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW). Metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) adalah metode pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematika siswa. Pada metode pembelajaran TTW ini siswa terdorong untuk berpikir dan terlibat secara langsung dalam proses belajar mengajar. Siswa didorong untuk berpikir dengan cara menyuruh siswa membaca teks materi pelajaran, kemudian membuat catatan tentang ide yang diperoleh dari proses membaca. Tahap ini merupakan aktivitas siswa pada think. Catatan yang telah dibuat nantinya akan dibawa ke forum diskusi kelompok untuk dibacakan, dijelaskan dan dibagikan idenya kepada teman kelompoknya. Tahap ini merupakan cara komunikasi siswa dalam matematika dan merupakan aktivitas siswa pada talk. Kemudian setelah diskusi selesai setiap siswa mengungkapkan hasil diskusinya melalui tulisan. Berdasarkan tulisan yang telah dibuat siswa dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa tentang materi yang telah dipelajari. Tahap ini merupakan aktivitas siswa pada write.
Selain metode pembelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar, terdapat faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa. Salah satu faktor lain tersebut adalah motivasi belajar siswa. Motivasi merupakan faktor internal yang dimiliki oleh setiap siswa dan sangat mempengaruhi dalam mencapai prestasi belajar. Motivasi belajar adalah dorongan dari dalam diri siswa agar berperilaku mau mengikuti pembelajaran untuk mencapai tujuan seperti apa yang kita kehendaki atau dapat diartikan sebagai usaha memberikan dorongan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya dengan tujuan agar mereka mau belajar dengan rasa penuh kesadaran, semangat tinggi, keikhlasan untuk mencapai tujuan organisasi sekolahan.
Penggunaan metode pembelajaran yang tepat dapat membuat siswa lebih kreatif. Dengan demikian akan tercipta pembelajaran yang lebih menekankan pada pemberdayaan siswa secara aktif. Pembelajaran tidak hanya sekedar menekankan pada penguasaan pengetahuan (logos), tetapi terlebih pada penekanan internalisasi tentang apa yang dipelajari, sehingga terbentuk dan terfungsikan sebagai milik nurani siswa yang berguna dalam kehidupannya (etos). Motivasi belajar seperti ini akan tercipta jika guru mengkondisikan situasi pembelajaran yang tidak membosankan. Melalui motivasi belajarnya, guru dan siswa mengkondisikan pembelajaran di kelas menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan. Jadi motivasi belajar yang efektif dan efisien adalah memotivasikan para siswa untuk belajar giat berdasarkan kebutuhan ilmu mereka masing-masing secara memuaskan, yakni kebutuhan akan pengetahuan yang cukup bagi keperluan siswa, kebahagiaan hidup, kemajuan diri dan sebagainya.
Berdasarkan latar belakang seperti yang dikemukakan di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) dalam pembelajaran matematika berdasarkan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika.

B. Identifikasi Masalah
1. Masih rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang terdapat pada pelajaran matematika sehingga siswa kesulitan dalam belajar matematika dan berakibat prestasi matematika siswa menjadi rendah.
2. Masih banyak siswa yang kurang aktif dalam proses belajar mengajar matematika sehingga diperlukan metode pembelajaran yang dapat mendorong siswa berpikir dan terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan pemahaman matematika. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep matematika adalah metode Think-Talk-Write.
3. Masih rendahnya prestasi belajar matematika siswa mungkin disebabkan oleh kurangnya motivasi belajar matematika siswa.
4. Pada penerapan metode pembelajaran matematika dengan metode TTW diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga prestasi belajar matematika siswa juga akan meningkat.

C. Pembatasan Masalah
1. Metode pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) untuk kelompok eksperimen dan metode pembelajaran konvensional untuk kelompok kontrol.
2. Motivasi belajar siswa adalah petunjuk pada tingkah laku belajar yang menggerakkan aktivitas belajar pada siswa. Motivasi belajar siswa dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu tinggi, sedang dan rendah.
3. Prestasi belajar matematika siswa yang dimaksud adalah hasil belajar siswa pada pokok bahasan Persamaan dan Pertidaksamaan yang telah dicapai pada akhir penelitian ini.
4. Pada penelitian ini metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) dan Konvensional diberikan pada siswa SMK dengan jurusan Mesin, Listrik, Elektro dan Bangunan.

D. Perumusan Masalah
1. Apakah prestasi belajar matematika pada siswa yang mendapatkan metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada siswa yang mendapatkan dengan metode pembelajaran Konvensional?
2. Apakah prestasi belajar matematika pada siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi lebih baik daripada siswa yang mempunyai motivasi sedang dan rendah serta siswa yang mempunyai motivasi belajar sedang lebih baik daripada siswa yang mempunyai rendah? 3. Apakah terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika?

E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perbedaan prestasi matematika bagi siswa yang menggunakan metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) dengan metode pembelajaran Konvensional.
2. Mengetahui perbedaan prestasi matematika bagi siswa yang mempunyai tingkat motivasi belajar yang berbeda.
3. Mengetahui interaksi antara metode pembelajaran dengan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika.

F. Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan pada guru atau calon guru matematika dalam menentukan strategi mengajar yang sesuai dengan materi ajar, sebagai alternatif untuk memberi variasi dalam pembelajaran.
2. Bahan pertimbangan dalam perbaikan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru matematika.
3. Bahan masukan bagi guru dan siswa bahwa motivasi belajar siswa memberi pengaruh pada prestasi belajar siswa.
4. Sebagai bahan pertimbangan dan bahan masukan serta tambahan referensi bagi guru matematika dan guru mata pelajaran lainnya guna memperluas wawasan pembelajarannya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:46:00

TESIS HUBUNGAN MINAT MEMBACA DAN PENGUASAAN KOSAKATA DENGAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS VI SDN X

(KODE : PASCSARJ-0021) : TESIS HUBUNGAN MINAT MEMBACA DAN PENGUASAAN KOSAKATA DENGAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS VI SDN X (PRODI : BAHASA INDONESIA)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP (2007 : 73) di Sekolah Dasar, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan Bangsa Indonesia.
Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (SD) mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek : mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Kemampuan atau keterampilan berbicara merupakan bagian dari pengajaran bahasa Indonesia Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar (2007 : 74) dijelaskan bahwa tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia adalah agar siswa memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tulis, menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
Esensi bahasa adalah berbicara (berkomunikasi). Bahasa saat ini merupakan sesuatu yang dianggap penting akan keberadaannya dan peranannya. Bahasa merupakan alat komunikasi yang bisa dinikmati oleh semua makhluk di belahan bumi ini, karena dengan bahasa, kita akan mengetahui berbagai macam informasi.
Bloomfield (1977 : 42) mengatakan bahwa semua aktivitas manusia yang terencana didasarkan pada bahasa. Bahasa sendiri mempunyai bentuk dasar berupa ucapan atau lisan. Jadi jelas bahwa belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi, dan komunikasi itu adalah berbicara.
Hal senada disampaikan oleh Bygate (1987 : 26) bahwa dalam berbicara sesorang harus mempunyai pengetahuan keterampilan perspektif motorik, dan keterampilan interaktif. Maka, agar dapat bercerita dengan baik seseorang harus mempunyai kompetensi kebahasaan yang memadai serta unsur-unsur yang menjadi syarat agar proses berbicaranya dapat lancar, baik dan benar. Unsur-unsur tersebut adalah lafal, intonasi, ejaan, kosakata dan sebagainya.
Sementara itu kemampuan atau keterampilan berbicara, dianggap sebagai salah satu kemampuan berbahasa yang dijadikan tolok ukur dalam menentukan kualitas kemampuan berpikir seseorang. Berbicara merupakan ekspresi dari gagasan-gagasan seseorang yang menekankan komunikasi yang bersifat dua arah, yaitu memberi dan menerima.
Apabila dicermati dalam keseharian, tidak semua siswa dalam berbicara memiliki kemampuan yang baik dalam menyampaikan isi pesannya kepada orang lain. Kemampuan itu adalah kemampuan dalam menyelaraskan atau menyesuaikan dengan tepat antara apa yang ada dalam pikiran atau perasaannya dengan apa yang diucapkannya, sehingga orang lain yang mendengarkannya dapat memiliki pengertian dan pemahaman yang sama atau pas dengan keinginan si pembaca.
Pada hakikatnya, siswa telah menyadari bahwa kemampuan berbicara merupakan sarana untuk berkomunikasi, atau bekal melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Namun perlu diketahui bahwa setiap mendapat tugas berbicara siswa seringkali mengalami kesulitan. Kesulitan tersebut dapat berupa kesulitan dalam pemilihan kosakata yang tepat, kurang lancar berbicara, maupun kurang jelas dalam mengungkapkan gagasannya.
Kosakata sebagai salah satu unsur bahasa memegang peranan penting dalam kegiatan berbicara. Melalui kata-kata, kita dapat mengekspresikan pikiran, gagasan, serta perasaan terhadap orang lain.
Keluhan tentang rendahnya keterampilan berbicara siswa, juga sering dilontarkan oleh beberapa guru Sekolah Dasar (SD). Padahal di jenjang Sekolah Dasar inilah merupakan awal dan dasar dalam pembinaannya. Namun, di sisi lain berdasarkan kondisi objektif yang ada harus diakui bahwa guru atau pengajar kurang intensif terhadap penanganan pembelajaran berbicara. Pemilihan metode yang kurang tepat, pengelolaan pembelajaran yang kurang optimal, rendahnya kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk berlatih dalam mengutarakan pendapatnya merupakan penyebab lain dari kegagalan siswa dalam berbicara.
Apabila dicermati lebih mendalam, faktor dalam diri siswa sebagai faktor dominan dalam pembelajaran berbicara. Faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya keterampilan berbicara adalah rendahnya pengetahuan tentang kaidah bahasa yang berlaku, minimnya penguasaan kosakata siswa, dan terbatasnya pengetahuan atau pengalaman yang akan disampaikan kepada lawan bicara atau pendengar. Selaras dengan hal tersebut, Henry Guntur Tarigan (1993 : 2) mengatakan bahwa kualitas keterampilan berbahasa seseorang jelas bergantung kepada kuantitas dan kualitas kosakata yang dimilikinya.
Faktor lain yang diduga mempengaruhi keterampilan berbicara adalah minat membaca. Minat membaca yang tinggi, siswa akan senang membaca dan pada gilirannya siswa memperoleh sejumlah konsep, pengetahuan, maupun teknologi. Dengan perolehan seperti itu akan mendukung siswa untuk terampil berbicara.
Satu di antara beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terwujudnya minat membaca yang tinggi adalah peranan perpustakaan sekolah. Perpustakaan sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan harus benar-benar dapat memainkan peranannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perpustakaan merupakan jantung sekolah. Sekolah yang perpustakaannya hidup akan berkembang pesat dan lebih maju, sebaliknya sekolah yang perpustakaannya mati, pengembangan ilmu pengetahuan dari sekolah tersebut juga akan terhambat. Seiring dengan keberadaan perpustakaan sekolah, pemerintah menaruh perhatian terhadap perkembangannya. Oleh karena itu digalakkan lomba perpustakaan sekolah. Semua itu untuk mendukung terciptanya pembelajar yang cerdas, terampil dan berkualitas.
Kegiatan membaca dapat bermakna dan berkualitas apabila didorong oleh minat membaca yang tinggi. Sayangnya, tidak semua siswa mempunyai minat membaca yang tinggi. Minat membaca yang rendah diduga sebagai pemicu rendahnya penguasaan kosakata. Dengan demikian siswa yang minat bacanya rendah akan rendah pula penguasaan kosakatanya. Hal itu akan berlanjut pada kegiatan berbahasa yang lain yang berbentuk berbicara.
Henry Guntur Tarigan (1984 : 53), menyatakan bahwa tanpa kemampuan berbicara yang memadai, siswa tidak dapat mengekspresikan, menyatakan, dan menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan dengan baik. Keterampilan berbicara siswa tidak dapat dimiliki dengan tiba-tiba, tetapi harus melalui latihan yang teratur.
Mengacu beberapa perkiraan-perkiraan jawaban di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian guna menguji ada tidaknya hubungan signifikan antara minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berbicara.
Untuk itu, penelitian ini bertolak dari anggapan bahwa minat membaca berpengaruh terhadap keterampilan berbicara. Keduanya diduga mempunyai hubungan yang sangat erat. Selain itu penguasaan kosakata seseorang juga dianggap berpengaruh terhadap keterampilan berbicara sehingga antara minat membaca, penguasaan kosakata, dan keterampilan berbicara saling berhubungan dan mempengaruhi.

B. Identifikasi Masalah
Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang sangat penting dimiliki oleh siswa. Namun demikian masih banyak keluhan tentang ketidakmampuan siswa berkomunikasi dengan lancar dan baik.
Berdasar latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi keterampilan berbicara siswa ?
Apakah pengajaran bahasa Indonesia di sekolah benar-benar sudah mencakup beberapa keterampilan berbahasa ?
Apakah minat membaca dan penguasaan kosakata siswa berpengaruh terhadap keterampilan berbicara ?
Adakah faktor-faktor lain mempengaruhi keterampilan berbicara siswa ?
Apakah setiap siswa dalam berinteraksi menyebabkan rendahnya nilai berbicara ?
Apakah faktor lingkungan keluarga dan masyarakat sudah mendukung kegiatan berbicara siswa ?
Sejauh mana peranan perpustakaan sekolah dalam membangkitkan motivasi membaca siswa ?

C. Pembatasan Masalah
Berhubung banyak masalah yang timbul, maka dalam penelitian ini perlu dibatasi. Hal ini dimaksudkan agar lebih tajam dan mendalam dalam pembahasannya. Adapun masalah dalam penelitian ini dibatasai pada : Keterampilan berbicara khusunya berpidato dan kaitannya dengan minat membaca dan penguasaan kosakata.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Adakah hubungan antara minat membaca dengan keterampilan berbicara ?
2. Adakah hubungan antara penguasaan kosakata dengan keterampilan berbicara ?
3. Adakah hubungan antara minat membaca dan penguasaan kosakata secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara ?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi ada tidaknya hubungan antara minat membaca dan penguasaan kosakata secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara siswa kelas VI Sekolah Dasar Negeri 2 X di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya :
a. hubungan antara minat membaca dengan keterampilan berbicara siswa kelas VI SDN X;
b. hubungan antara penguasaan kosakata dengan keterampilan berbicara siswa kelas VI SDN X;
c. hubungan antara minat membaca dan penguasaan kosakata secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara siswa kelas VI SDN X.

F. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis kepada guru khusunya guru mata pelajaran bahasa Indonesia dan kepada siswa SDN X, Kecamatan X, Kabupaten X serta para pembaca pada umumnya.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
a. memberikan informasi tentang ada tidaknya hubungan signifikan antara minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berbicara baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
b. memberikan masukan tentang sejauh mana hubungan antara minat membaca dan penguasaan kosakata secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara.
c. memberikan sumbangan kepada teori pembelajaran tentang berbicara serta variabel-variabel yang mendukung keterampilan berbicara.
d. menambah wawasan ilmu khususnya bidang pembelajaran bahasa Indonesia sehingga mendorong peneliti lain untuk melaksanakan penelitian sejenis yang lebih luas dan mendalam.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada :
a. Siswa
Manfaat penelitian ini bagi siswa adalah untuk mengetahui kemampuannya dalam hal keterampilan berbicara, minat membaca dan penguasaan kosakata sehingga mereka dapat mengukur kemampuannya.
b. Guru
Sebagai bahan pertimbangan tentang arti penting minat membaca dan penguasaan kosakata siswa bagi pengembangan keterampilan berbicara, sehingga mendorong para guru untuk mengajarkan empat keterampilan berbahasa secara merata.
Memberi masukan kepada guru bahasa Indonesia tentang komponen-komponen bahasa dan komponen lainnya yang mendukung keterampilan berbicara bahasa Indonesia.
Memberikan masukan kepada guru bahasa Indonesia dalam menentukan strategi pembelajaran berbicara yang tepat sehingga tujuan pembelajaran keterampilan berbicara dapat tercapai.
c. Kepala Sekolah
Manfaat penelitian ini bagi kepala sekolah adalah untuk memberikan dorongan kepada guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran agar menerapkan pembelajaran yang integral.
d. Pengelola Pendidikan
Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi faktual pembelajaran keterampilan berbicara di SD, khususnya di SDN X Kecamatan X Kabupaten X. Untuk pengembangannya, tambahan buku bacaan baru sangat diperlukan guna membangkitkan motivasi siswa dalam membaca.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:43:00

TESIS HUBUNGAN ANTARA KESEHATAN MENTAL DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS XI SMA NEGERI X

(KODE : PASCSARJ-0020) : TESIS HUBUNGAN ANTARA KESEHATAN MENTAL DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS XI SMA NEGERI X (PRODI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan manusia begitu kompleks, selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia dituntut untuk mengikuti perkembangan tersebut. Hal ini erat hubungannya dengan masalah pendidikan dan pengajaran. Dalam mencapai tujuan pendidikan atau pembelajaran harus memperhatikan prinsip-prinsip dalam pembelajaran, yang salah satunya, tujuan pembelajaran akan dapat tercapai apabila si pebelajar memiliki motivasi belajar yang tinggi.
Kehidupan manusia adalah dinamis, setiap orang dalam hidupnya selalu didorong oleh keinginan-keinginan yang harus dipuaskan. Dalam hidupnya ia selalu berjuang untuk memperoleh makanan, kehangatan, afeksi, kepuasan seks, keamanan ekonomi dan emosional, penghargaan dsb. Hal ini seperti dikemukakan oleh Maslow, sebagai aktualisasi diri.
Di sisi lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan orang lain. Sehingga dalam menjalin hubungan sosial manusia harus dapat saling memberi dan menerima satu dengan yang lain. Dalam interaksi sosial juga diperlukan toleransi antar sesama agar tidak terjadi hal yang merugikan atau menyakitkan pihak lain. Untuk itu perlu adanya penyesuaian diri dengan orang lain ataupun lingkungan. Sebagian orang memiliki ketahanan psikis yang berbeda-beda, kebiasaan yang berbeda dan latar belakang sosial yang berbeda pula. Ini akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Sunarto dan Ny. B Agung Hartono (2006 : 221) menyebutkan salah satu ciri pokok dari kepribadian yang sehat mentalnya ialah memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuaian diri secara harmonis baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya.
Untuk mencapai tujuan pada umumnya, tujuan pendidikan pada khususnya diperlukan sikap disiplin. Kedisiplinan seseorang terkadang dirasakan sebagai sesuatu yang membelenggu diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Disamping disiplin sangat bermanfaat bagi diri seseorang juga memberikan kontribusi dalam pergaulan dengan orang lain. Karena biasanya seseorang akan merasa kecewa terhadap perilaku yang tidak disiplin dari orang lain.
Kedisiplinan di kalangan pelajar pada sebagian pelajar cenderung kurang. Hal ini dapat kita lihat adanya siswa yang datang terlambat di sekolah, tidak masuk tanpa ijin, membolos dari sekolah, tidak mengerjakan tugas sekolah dsb. Timbul pertanyaan dalam benak kita, bagaimana motivasi belajar bagi siswa-siswa yang melakukan tindak indisipliner tersebut ?.
Tertarik pada permasalahan tersebut dan sesuai dengan bidang tugas penulis sebagai Guru Pembimbing ( konselor ) penulis memberanikan diri untuk mencoba mengadakan penelitian dengan tema kedisiplinan. Adapun judul yang penulis pilih adalah :
“HUBUNGAN ANTARA KESEHATAN MENTAL DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS XI SMA NEGERI DI KECAMATAN X KABUPATEN X TAHUN PELAJARAN XXXX/XXXX”

B. Identifikasi Masalah
Dari uraian pada latar belakang masalah di depan, dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
Kesehatan mental adalah kondisi jiwa dimana seseorang dapat menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan dengan lingkungan dimana ia berada. Perilaku orang yang sehat mentalnya ; ceria, percaya diri, humoris, bahagia, memiliki keseimbangan emosi dsb. Dalam kaitannya dengan kedisiplinan siswa yang sehat mentalnya akan mampu menyesuaikan diri terhadap diri sendiri, orang lain dan dengan aturan yang ada di sekolah. Senantiasa ada kepatuhan dalam dirinya terhadap praturan yang ada dan dimanifestasikan dalam bentuk sikap dalam pergaulan.
Motivasi belajar adalah dorongan untuk melakukan aktivitas belajar untuk berprestasi atau mencapai kompetensi. Dorongan itu dapat bersumber murni dari siswa yang disebut instrinsik, atau karena rangsangan dari luar diri siswa yang disebut ekstrinsik.
Motivasi merupakan proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. ( Wahjosumidjo, 1984 : 174 ).
a. Sebagai proses psikologis dalam bentuk sikap, kedisiplinan akan ikut mewarnai bentuk sikap tesebut. Apakah ia suka gerak cepat atau perlahan-lahan asal sampai, suka ketertiban atau masa bodoh, dsb.
b. Sebagai proses psikologis dalam bentuk sikap, kesehatan mental juga ikut mempengaruhi bentuk sikap yang ditampilkan. Apakah ia minder, tegar, emosional, merasa bahagia, dapat bertanggung jawab, dsb.
3. Kedisiplinan adalah sikap mematuhi peraturan yang ada dan melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam konteks kedisiplinan siswa, adalah kepatuhan terhadap aturan yang ada di sekolah, meliputi :
a. Kepatuhan terhadap tata tertib sekolah untuk tidak melakukan kegiatan yang dilarang oleh sekolah.
b. Kepatuhan melaksanakan kegiatan-kegiatan di sekolah ; hadir di sekolah tepat waktu, mengikuti kegiatan - kegiatan sekolah ( upacara, SKJ, ekstra kurikuler, dsb.) dan mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Dalam kaitannya dengan motivasi belajar, siswa yang berdisiplin tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh sekolah, karena hal itu akan menyurutkan motivasi belajarnya. Disamping hal tersebut ia akan melakukan tugas-tugasnya sesuai dengan ketentuan sekolah ; ia tidak menunda-nunda pekerjaan/tugas yang diberikan oleh sekolah, ia berani bersaing secara positif dalam meraih prestasi. Keberhasilannya akan menimbulkan kepuasan sehingga lebih mendorong penyelesaian tugas-tugas berikutnya. Dari uraian identifikasi masalah di atas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah siswa yang sehat mentalnya akan memiliki kedisiplinan yang tinggi ?
2. Apakah siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi juga memiliki kedisiplinan yang tinggi ?
3. Apakah siswa yang memiliki kesehatan mental dan motivasi belajar yang tinggi akan memiliki kedisiplinan yang tinggi ?

C. Pembatasan Masalah
Agar tidak terjadi kesesatan dalam pemahaman terhadap hasil penelitian, penulis membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini terbatas pada :
1. Variabel penelitian :
Banyak aspek yang berhubungan dengan kedisiplinan, namun penulis batasi pada :
a. Variabel kesehatan mental
b. Variabel motivasi belajar
c. Variabel kedisiplinan
2. Waktu penelitian
Penelitian ini terbatas pada tahun pelajaran XXXX/XXXX
3. Tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMA Kecamatan X yang terdiri dari SMA Negeri 1 X dan SMA Negeri 2 X. Sasaran penelitian siswa kelas XI.

D. Perumusan Masalah
Dari beberapa pertanyaan dalam identifikasi masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara kesehatan mental dengan kedisiplinan siswa ?
2. Apakah ada hubungan yang signifikan antara motivasi belajar siswa dengan kedisiplinan siswa?
3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara kesehatan mental dan motivasi belajar siswa secara bersama-sama dengan kedisiplinan siswa ?

E. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah tersebut maka dalam penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara kesehatan mental dengan kedisiplinan siswa.
2. Untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara motivasi belajar siswa dengan kedisiplinan siswa
3. Untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara kesehatan mental dan motivasi belajar siswa secara bersama-sama dengan kedisiplinan siswa.

F. Manfaat Penelitian.
Temuan-temuan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat teoritis :
a. Apabila ditemukan hubungan yang signifikan antara kesehatan mental dan motivasi belajar siswa dengan kedisiplinan, akan merupakan temuan untuk menambah khasanah dunia ilmu.
b. Merupakan langkah awal untuk penelitian selanjutnya tentang aspek psikologis meliputi variabel kesehatan mental, motivasi belajar dan kedisiplinan.
2. Manfaat praktis :
a. Bagi guru
Khususnya guru BK dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa dengan cara menjaga dan mengembangkan kesehatan mental dan kedisiplinan siswa.
b. Bagi siswa
Menyadari betapa pentingnya kesehatan mental dan motivasi belajar untuk mengembangkan kedisiplinan.
c. Bagi Sekolah
Dapat merekomendasikan dan memfasilitasi tentang pentingnya kesehatan mental, motivasi belajar siswa dan kedisiplinan.
d. Bagi orang tua/wali siswa
Dapat membantu putra-putrinya menciptakan kondisi yang kondusif tentang kesehatan mental, kedisiplinan dan motivasi belajar putra-putrinya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:41:00