Cari Kategori

Skripsi Pengaruh Penggunaan Media Buku Cerita Terhadap Kemampuan Membaca Anak Tunagrahita Kelas D 6 Di SLB X

(Kode PEND-PLB-0013) : Skripsi Pengaruh Penggunaan Media Buku Cerita Terhadap Kemampuan Membaca Anak Tunagrahita Kelas D 6 Di SLB X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan pembangunan yang dicapai bangsa Indonesia khususnya pembangunan di bidang pendidikan akan mendorong tercapainya tujuan pembangunan nasional, maka sangat penting adanya perhatian pemerintah terhadap pendidikan terutama wajib belajar sembilan tahun yang telah lama dicanangkan.
Pendidikan diperuntukkan bagi setiap warga negara tanpa kecuali, tidak memandang kaya miskin, atau normal maupun anak berkelainan. Pada peraturan pemerintah No. 72 tahun 1991 pemerintah telah mengatur khusus tentang Pendidikan Luar Biasa. Dalam Pendidikan Luar Biasa pelayanan dan penanganannya disesuaikan dengan kelainan yang disandang peserta didik sehingga pelayanan dapat sessuai dengan kebutuhan anak.
Tujuan Pendidikan Luar Biasa adalah : membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan sikap dan ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dasar dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. (Peraturan Pemerintah RI, 1997:205-206).
Berdasarkan uraian di atas jelas sekali bahwa untuk Anak Luar Biasa dalam penanganannya perlu penyesuaian-penyesuaian yang didasarkan dengan jenis dan tingkat kecacatannya, terutama dalam hal pembelajaran membaca dan menulis.
Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika pada masa sekolah tidak segera memiliki kemampuan untuk membaca, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas yang lebih tinggi.
Kemampuan anak tunagrahita ringan dalam membaca relatif rendah bila dibandingkan dengan anak normal. Sulit sekali bagi anak tunagrahita untuk bisa membaca dengan benar, kalaupun bisa membaca dengan benar tetapi anak sering sekali tidak mempunyai pengertian dari isi bacaan tersebut.
Dengan kemampuan anak tuna grahita ringan yang terbatas dalam belajar khususnya mengalami kesulitan belajar membaca , maka perlu sekali kreatifitas guru dalam mengajar agar anak tidak mengalami kejenuhan dalam belajar. Kreatifitas guru dalam mengajar salah satunya berupa metode mengajar dan penggunaan media pembelajaran. Karena bagaimanapun juga pada masa sekarang ini dalam sebuah sistem pendidikan modern fungsi guru sebagai penyampai pesan pendidikan tampaknya memang sangat perlu dibantu dengan media pembelajaran, agar proses belajar mengajar pada khususnya dan proses pendidikan pada umumnya dapat berlangsung secara efektif. Hal tersebut disebabkan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keadaan atau situasi yang dihadapi di dalam kelas.
Media pengajaran adalah “media yang digunakan dan diintegrasikan dengan tujuan dan isi instruksional yang biasanya sudah dituangkan dalam Garis Besar Pedoman Instruksional (GBPP) dan dimaksudkan untuk mempertinggi mutu kegiatan belajar mengajar” (Rohani,1997:3).
Menurut Assosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/NEA) yang dimaksud dengan media pembelajaran adalah “bentuk-bentuk komunikasi baik cetak maupun audio visual serta peralatannya yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar dan dibaca” (Azhar Arsyad, 2003:4).
Menurut Blake dan Horalsen media adalah “saluran komunikasi atau medium yang digunakan untuk membawa atau menyampaikan suatu pesan , dimana medium merupakan alat untuk lalu lintas antara komunikator dengan komunikan” (Rohani, 1997:2).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dari media pembelajaran adalah sarana atau perantara yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan meteri pelajaran kepada siswa yang disesuaikan dengan tujuan instruksional/pembelajaran supaya dapat membantu kelancaran dalam proses belajar mengajar sehingga tujuan instruksional/pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
Seperti yang telah dijelaskan di atas mengingat anak tunagrahita yang mempunyai permasalahan yang kompleks dalam mengikuti proses belajar mengajar khususnya dalam mata pelajaran membaca perlu menggunakan media pembelajaran, salah satunya adalah media buku cerita. Penggunaan metode ini adalah dengan cara, dalam belajar anak dibacakan oleh guru sebuah buku cerita dan menceritakannya dengan sangat menarik sehingga anak tertarik terhadap isi dari buku cerita tersebut.
Selanjutnya guru bisa membagikan buku cerita pada anak didik agar anak membaca sendiri buku cerita tersebut dan disuruh menceritakan semampunya. Dengan begitu anak secara sukarela dan senang hati telah melakukan latihan membaca.
Mengingat membaca merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan dasar untuk mengetahui/belajar terhadap bidang-bidang keilmuan yang lain, maka penulis ingin mengadakan penelitian untuk mengetahui seberapa besar efektifitas penggunaan media buku cerita terhadap kemampuan membaca Anak tunagrahita di SLB-C X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ada pengaruh penggunaan media buku cerita terhadap kemampuan membaca Anak tunagrahita kelas D 6 di SLB-C X ?”.


C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mendapatkan data kongkrit tentang pengaruh penggunaan media buku cerita terhadap anak tunagrahita.
2. Untuk memperoleh data yang tentang kemampuan membaca pada anak tunagrahita.
3. Untuk membuktikan ada tidaknya pengaruh penggunaan media buku cerita terhadap kemampuan membaca anak tunagrahita.

D. Pentingnya Masalah Untuk Diteliti
1. Ditinjau dari kelembagaan
Hasil penelitian ini dapat untuk meningkatkan mutu pembelajaran bagi anak tunagrahita.
2. Ditinjau dari peneliti
Mendapat pengalaman praktis dalam bidang pengajaran membaca dengan menggunakan media buku cerita.
3. Ditinjau dari sekolah yang menjadi obyek penelitian
Hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan terhadap anak tunagrahita.

E. Definisi, Asumsi dan Keterbatasan
1. Definisi
Agar tidak terjadi salah persepsi dan pengertian tentang judul penelitian, maka perlu didefinisikan sebagai berikut :
a. Media buku cerita adalah alat bantu yang digunakan untuk proses belajar mengajar yang berupa buku yang berisikan berbagai cerita yang menarik. (Rohani, Ahmad. 1997)
Menurut Brigg, media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang merangsang yang sesuai untuk belajar.
b. Kemampuan membaca adalah kemampuan yang dimiliki anak untuk mengucapkan, melafalkan, membaca dan memahami apa yang dibaca.
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata / bahasa tulis. (Tarigan, Henri Guntur. 1986)
c. Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai keterbatasan intelegensi, sehingga dalam mengikuti pembelajaran memerlukan program khusus.
Menurut Amin (1995 : 11) : “Anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya dibawah rata-rata, disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak.’
2. Asumsi
Asumsi atau anggapan dasar adalah suatu titik tolak pemikiran yang kebenarannya dapat diterima oleh peneliti.
Adapun asumsi peneliti berdasarkan judul adalah :
a. Media buku cerita bisa dijadikan metode atau media untuk meningkatkan kemampuan membaca anak tunagrahita.
b. Kemampuan membaca yang dimiliki anak tunagrahita yang kurang sehingga dalam mengikuti pembelajaran mengalami kesulitan.
c. Anak tunagrahita yang mempunyai keterbatasan inteligensi sehingga untuk meningkatkan kemampuan membaca diperlukan kata-kata yang sederhana dan kongkrit.
3. Keterbatasan
Agar pembahasan tidak keluar dari lingkup permasalahan yang dimaksud, maka peneliti memberi batasan sebagai berikut :
a. Media buku cerita yang dimaksud adalah alat berupa buku yang berisi tentang cerita-cerita yang menarik.
b. Kemampuan membaca yang dimaksud adalah dapat membaca kalimat dengan lancar, baik dan benar.
c. Anak tunagrahita kelas D-6 di SLB C X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:06:00

Skripsi Peningkatan Prestasi Belajar Membaca Permulaan Dengan Media Pembelajaran Kartu Kata Untuk Anak Tunagrahita Ringan Kelas II SLB Negeri X

(Kode PEND-PLB-0012) : Skripsi Peningkatan Prestasi Belajar Membaca Permulaan Dengan Media Pembelajaran Kartu Kata Untuk Anak Tunagrahita Ringan Kelas II SLB Negeri X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan untuk anak dengan berkebutuhan khusus membutuhkan suatu pola layanan tersendiri khususnya bagi anak-anak tunagrahita sesuai dengan tingkat kemampuan intelektualnya di bawah rerata. Kelainan khusus terhadap fisik atau mental pada anak tunagrahita menghendaki layanan pendidikan khusus sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 dalam pasal 32 ayat (2). dinyatakan bahwa “Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai hendaya perkembangan atau “Tunagrahita”.
Menurut H.T. Sutjihati Somantri, (1996: 86), ”klasifikasi anak Tunagrahita pada umumnya didasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri dari (1). tunagrahita ringan, (2). tungrahita sedang, dan (3) tunagrahita berat”. Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak tunagrahita ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik karena mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya
Pembelajaran membaca permulaan erat hubungannya dengan pembelajaran menulis permulaan karena sebelum mengajarkan menulis, guru harus terlebih dahulu mengenalkan bunyi suatu tulisan beserta bunyi melalui pembelajaran membaca permulaan. Pembelajaran membaca permulaan merupakan pembelajaran membaca tahap awal dan kemampuan yang diperoleh siswa akan menjadi dasar pembelajaran membaca lanjut yang dilaksanakan di kelas-kelas yang lebih tinggi. Membaca permulaan diberikan secara bertahap, yakni pra membaca, dan membaca. Pada tahap pra membaca, kepada siswa diajarkan (1) sikap duduk yang baik pada waktu membaca, (2) cara meletakkan buku di atas meja, (3) cara memegang buku,(4) cara membuka dan membalik halaman buku, dan (5) melihat dan memperhatikan tulisan. Pembelajaran membaca permulaan dititikberatkan pada aspek-aspek yang bersifat teknis seperti ketepatan menyuarakan tulisan, lafal dan intonasi yang wajar, kelancaran dan kejelasan suara. Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Sebagai kemampuan yang mendasari kemampuan berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru, sebab jika dasar itu tidak kuat maka pada tahap membaca lanjut siswa akan mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang memadai seperti yang diharapkan oleh kita semua.
Ilmu yang paling penting pada tahap awal pendidikan formal ada tiga yaitu : membaca, menulis dan berhitung. Keberhasilan dari pembelajaran tersebut sangatlah ditentukan oleh guru, sebab guru yang baik adalah guru yang mempunyai kemampuan, baik kemampuan dalam memahami teori dan kemampuan dalam menyampaikan pembelajaran maupun kemampuan dalam memilih media pembelajaran yang tepat.
Dalam proses pembelajaran, baik bagi peserta didik pada Sekolah Dasar umum maupun pada Sekolah Khusus tidak dapat dihindari penggunaan media pembelajaran sebagai bagian yang integral. Salah satu media pembelajaran adalah buku ajar sebagai media konvensional yang sampai saat ini masih dipergunakan, namun penyajian yang ditulis dalam buku ajar ini umumnya berisi materi yang membutuhkan pemahaman yang tinggi karena bentuknya yang baku dan ilmiah, sehingga diperlukan media pembelajaran alternatif yang dapat membantu dalam mencapai tujuan pembelajaran di kelas. Anjuran agar menggunakan media dalam pembelajaran terkadang sulit dilaksanakan, disebabkan dana yang terbatas untuk membelinya. Menyadari hal itu, disarankan agar tidak memaksakan diri untuk membelinya, tetapi cukup membuat media pembelajaran yang sederhana selama menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Untuk tercapainya tujuan pembelajaran tidak mesti dilihat dari kemahalan suatu media, yang sederhana juga bisa mencapainya, asalkan guru pandai menggunakannya serta mampu memanipulasi media sebagai sumber belajar dan sebagai penyalur informasi dari bahan yang disampaikan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran.
Media pembelajaran kartu atau Flash Cards merupakan salah satu media pembelajaran visual yang sederhana untuk mempermudah cara belajar peserta didik, media ini dibuat dengan biaya yang relatif murah, mudah dipahami dan dimengerti, namun sangat diperlukan sebagai alat bantu yang dapat merangsang motivasi belajar dalam membaca permulaan. Menurut Basuki Wibawa dan Farida Mukti (2001 :30) ”media kartu atau flash cards biasanya berisi kata-kata, gambar atau kombinasi dan dapat digunakan mengembangkan perbendaharaan kata-kata dalam mata pelajaran bahasa pada umumnya dan pada bahasa asing pada khususnya”.
Kenyataan di lapangan pada beberapa Sekolah Luar Biasa, masih banyak ditemukan siswa-siswa baik yang masih sekolah maupun yang telah lulus, namun tetap belum dapat membaca dengan baik dan benar, meskipun hanya membaca kata-kata sederhana. Hal tersebut juga menjadi permasalahan serius di SLB Negeri X Kabupaten X. Dan apabila hal ini dibiarkan, maka tujuan institusional sekolah luar biasa akan semakin jauh dari kenyataan Dengan melihat pentingnya kemampuan membaca, khususnya membaca permulaan, inilah siswa kelas II Tunagrahita Ringan SLB Negeri X Kabupaten X mengalami permasalahan, hal ini dapat kita lihat pada nilai raport semester 1 tahun pelajaran XXXX/XXXX pada tabel berikut ini :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Apakah penggunaan media pembelajaran kartu kata dapat meningkatkan prestasi belajar membaca permulaan anak tunagrahita ringan kelas II SLB Negeri X Kabupaten X?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan media pembelajaran kartu kata dalam meningkatkan prestasi belajar membaca permulaan anak tunagrahita ringan kelas II SLB Negeri X Kabupaten X

D. Manfaat Penelitian
Ada beberapa hal yang dapat diambil manfaat dari penelitian ini, adalah :
1. Manfaat Teoritis.
Hasil dari penelitian tindakan kelas ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber acuan dan referensi bagi penelitian tindakan kelas lain atau berikutnya.
2. Manfaat Praktis.
a. Bagi anak
Dengan penggunaan media pembelajaran kartu kata diharapkan dapat mengatasi permasalahan anak tunagrahita ringan dalam pembelajaran membaca permulaan.
b. Bagi Guru.
Kegiatan penelitian tindakan kelas ini akan melatih penulis sekaligus guru kelas dalam memecahkan permasalahan dan meningkatkan pembelajaran serta mencari strategi pembelajaran membaca permulaan yang tepat.
c. Bagi Sekolah
Hasil dari penelitian tindakan kelas ini dapat dikembangkan dan menjadi pedoman bagi pihak sekolah dalam menyusun strategi pembelajaran yang lainnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:05:00

Skripsi Pengaruh Media Mahir Math SD 05 Terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Anak Tunarungu Kelas D5 SLB X

(Kode PEND-PLB-0009) : Skripsi Pengaruh Media Mahir Math SD 05 Terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Anak Tunarungu Kelas D5 SLB X Tahun Ajaran XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.
”Istilah tunarungu diambil dari kata ’Tuna’ dan ’Rungu’. Tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara ”(Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1995: 26).
”Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Sedangkan orang yang kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengarannya” (Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1996:26).
”Pada umumnya anak tunarungu memiliki inteligensi normal atau ratarata, akan tetapi karena perkembangan inteligensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, maka anak tunarungu akan menampakkan inteligensi yang rendah disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Anak tunarungu akan mempunyai prestasi lebih rendah jika dibandingkan dengan anak normal atau mendengar untuk materi pelajaran yang diverbalisasikan” (Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1996:35).
“Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang penting sebagai pengantar ilmuilmu pengetahuan yang lain dan banyak digunakan dalam kehidupan seharihari”. Pengajaran matematika tidak hanya ditekankan pada kemampuan berhitung, tetapi pada konsepkonsep matematika yang berkenaan dengan ide-ide yang bersifat abstrak (http://elearning.unej.ac..id).
Parwoto (2007:175) mengemukakan bahwa ”penelaahan bentukbentuk dalam matematika membawa matematika itu kedalam struktur-struktur yang abstrak. Jadi matematika dapat dikatakan ilmu tentang struktur-struktur yang abstrak”. Pengetahuan matematika merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak bagi muridmurid dan hal ini akan menimbulkan berbagai kesukaran mereka berkomunikasi. Abstraksi menurut Skemp (dalam Tombokan Runtukahu 1996: 64) adalah proses dimana murid (1) menyadari aturanaturan matematika dari pengalamannya, (2) mengenal aturanaturan itu pada kejadian-kejadian mendatang. Abstraksi berhubungan erat dengan pembentukan konsep. Pembentukan konsep harus terjadi dalam diri murid dan guru tidak membentuk konsep pada murid. Sedangkan anak tunarungu sering dikatakan kurang daya abstraksinya jika dibandingkan dengan anak mendengar. Tetapi harus dipertanyakan, daya abstraksi manakah yang kurang pada anak tunarungu?.
Berdasarkan berbagai penelitian, Myklebust dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996:13) berpendapat bahwa ”daya abstraksi yang kurang pada beberapa tugas hanya akibat dari terbatasnya kemampuan berbahasa anak, bukan suatu keadaan mental retardation/terbelakang mental”. ”Siswa Sekolah Dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak dalam fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidahkaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret” (Heruman, 2007: 1). Dari usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu yang berupa media dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa. Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkrit, semi konkret, semi abstrak, dan selanjutnya abstrak (Heruman, 2007: 12).
Anak SD, pada usia itu masih berada pada tingkat operasional konkret. Ini berarti bahwa anak pada usia SD masih belum dapat berfikir secara abstrak. Oleh karena itu dalam mengajarkan bilangan misalnya, guru harus menggunakan bendabenda konkret. Sebagai contoh untuk mengajarkan 4 + 1, dapat dilakukan dengan menggunakan media kelereng atau media lainnya yang dapat diamati secara langsung. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk mengajarkan halhal yang bersifat abstrak kepada anak SD diperlukan adanya media pembelajaran yang kongkrit sementara anak masih belum mampu berfikir abstrak (http://sdn3bojonglopang.wordpers.com). Hal serupa juga diungkapkan oleh Agustin (Tintin) selaku kepala MagicMathic’s School. dalam situs www.alatperaga. com yang mengatakan bahwa “Matematika merupakan pelajaran yang abstrak, sedangkan fase berfikir anak usia SD masih pada tahap berpikir konkret. Alat peraga adalah sebuah media konkret yang sangat membantu dan mempermudah pemahaman anak”.
Dalam mendukung proses belajar mengajar yang lebih maksimal, ketersediaan buku pelajaran pokok atau bahan ajar, buku bacaan, alat peraga, media pembelajaran dan sumber belajar, sarana dan prasarana seperti perpustakaan, laboratorium, ruang serba guna, alat peraga IPA dan matematika serta alat pendidikan jasmani dan kesehatan yang mendukung peningkatan mutu pendidikan perlu diupayakan. Dikarenakan media pendidikan memiliki peranan yang penting dalam rangka meningkatkan hasil belajar, dan hasil belajar yang dicapai kemungkinan besar kurang maksimal jika kita tidak atau kurang menggunakan media/multipendidikan yang diperlukan. Hal ini selaras dengan Gene.L.Wilkinson (1984:58) bahwa ”media merupakan alat mengajar dan belajar. Peralatan ini harus tersedia ketika dan dimana ia dibutuhkan untuk memenuhi keperluan siswa dan guru yang harus menggunakannya”. Guru membutuhkan suatu media/perantara/alat bantu dalam proses pendidikan/proses belajar mengajar agar informasi yang disampaikan cepat sampai dan mudah diterima oleh para siswa. Dalam proses belajar mengajar, matematika merupakan salah satu pengajaran yang memerlukan media pembelajaran dalam penyampaiannya.
“Hakekatnya untuk mencapai tujuan pembelajaran harus ada materi yang diajarkan, metode, media dan evaluasi. Salah satu komponen ini tidak ada, maka kita tidak bisa mencapai tujuan pembelajaran. Jadi media matematika sangat penting” (www.tutorialmagicmathics.com) Media ’Mahir Math SD 05’ mungkin dapat membantu anak tunarungu terhadap peningkatkan prestasi belajar matematika karena media ini disajikan dengan perpaduan antara beberapa media yang memungkinkan dapat memaksimalkan anak dalam mengikuti proses belajar mengajar. Selain itu, media ini juga berisi grafik dan gambar yang menarik yang mungkin dapat membuat anak lebih tertarik terhadap mata pelajaran yang sedang diajarkan, sehingga anak akan merasa lebih termotivasi dan tidak mudah bosan dalam mengikuti proses belajar mengajar. Kekurangan dari media ini adalah penyajiannya yang memerlukan beberapa media sekaligus terkadang membuat guru merasa kerepotan. Mulyanti Sumantri dan Johar Permana (2001:153) mengemukakan bahwa, “media pengajaran adalah segala alat pengajaran yang digunakan guru sebagai perantara untuk menyampaikan bahanbahan instruksional dalam proses belajar mengajar sehingga memudahkan pencapaian tujuan pengajaran tersebut”. Dalam suatu proses belajar mengajar, pesan yang disalurkan media dari sumber pesan ke penerima pesan itu adalah pelajaran.
Dengan kata lain, pesan itu adalah isi pelajaran yang berasal dari kurikulum yang disampaikan oleh guru kepada siswa. Media ’Mahir Math SD 05’ adalah sebuah software matematika yang dibuat khusus untuk mengajarkan mata pelajaran matematika untuk anak kelas 5 Sekolah Dasar (SD). ’Mahir Math SD 05’ adalah sebuah alat pengajaran yang termasuk dalam media audio visual yang berupa software matematika yang berisi gambar, grafik dan warna yang menarik, yang dibuat secara khusus untuk membantu proses pembelajaran matematika. Sedangkan untuk penyajian materi digunakan beberapa media sekaligus yang dikendalikan komputer (media terpadu), yaitu dengan menggunakan komputer, LCD dan sofware matematika. Media ini dipergunakan dalam pembelajaran matematika dengan tujuan agar mampu membantu anak dalam menangkap pelajaran matematika yang bersifat abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa anak tunarungu mengalami gangguan dalam menerima pelajaran, khususnya mata pelajaran matematika disebabkan karena pendengaran mereka kurang atau bahkan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga anak kurang maksimal dalam menerima pelajaran yang disampaikan secara verbal. Hal tersebut juga berdampak pada daya abstraksi anak tunarungu. Padahal matematika adalah salah satu pelajaran yang bersifat abstrak. Dengan adanya media ’Mahir Math SD 05’ mungkin dapat memaksimalkan anak dalam menerima pelajaran. Dengan demikian, kami mengangkat penelitian yang berjudul “ Pengaruh Media ’Mahir Math SD 05’ untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Anak Tunarungu SLBB X Tahun Ajaran XXXX/XXXX”

B. Identifikasi Masalah.
Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan sebagian atau seluruh pendengarannya, sehingga mengakibatkan mereka kurang mampu menerima pelajaran dengan maksimal seperti halnya pada anak normal.
2. Prestasi belajar matematika anak tunarungu cenderung rendah. Padahal anak tunarungu memiliki tingkat kecerdasan ratarata. Hal ini disebabkan karena kurangnya daya abstraksi anak tunarungu, yang mampu menghambat anak dalam memahami pelajaran yang disampaikan oleh guru, terutama pada mata pelajaran matematika.
3. Dalam penyampaian pelajaran matematika, diperlukan media pendidikan ’Mahir Math SD 05’ yang berupa software matematika yang diharapkan mampu meningkatkan prestasi belajar siswa.

C. Pembatasan Masalah.
Agar suatu masalah dapat dikaji secara mendalam, maka perlu pembatasan masalah. Hal ini penting agar masalah yang dikaji menjadi jelas dan dapat mengarahkan perhatian dengan tepat, karena apabila masalah terlalu luas, maka akan menyulitkan untuk dikaji dan diteliti secara mendalam. Dalam penelitian ini, permasalahan yang akan diteliti adalah pada masalah pengaruh media ‘Mahir Math SD 05’ untuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunarungu kelas D5 SLBB X tahun ajaran XXXX/XXXX

D. Prestasi balajar matematika
Dalam penelitian ini prestasi belajar matematika yang dibahas yaitu prestasi belajar dalam memahami materi pengukuran dan geometri, yang meliputi sifatsifat bangun datar, sifatsifat bangun ruang, dan jaringjaring bangun ruang.

E. Anak tunarungu.
Anak tunarungu yang kami teliti adalah anak yang mangalami gangguan pendengaran sehingga mereka kurang atau bahkan tidak mendengar, sehingga mengakibatkan terganggunya kemampuan berbahasa dan kurang daya abstraksi.
Upaya peningkatan prestasi belajar matematika anak tunarungu. Salah satu upaya peningkatan perstasi belajar matematika anak tunarungu adalah dengan media ’Mahir Math SD 05’ yang berupa software matematika.

F. Perumusan Masalah.
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, dapat penulis rumuskan “Apakah ada pengaruh penggunaan media ‘Mahir Math SD 05’ terhadap peningkatan prestasi belajar anak tunarungu kelas D5 SLBB X tahun ajaran XXXX/XXXX”.

G. Tujuan Penelitian.
Tujan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh penggunaan media ‘Mahir Math SD 05’ terhadap peningkatan prestasi belajar anak tunarungu kelas D5 SLBB X tahun ajaran XXXX/XXXX”.
2. Untuk mengetahui perbedaan nilai ratarata prestasi belajar matematika anak tunarungu kelas D5 SLBB X antara sebelum dan sesudah mendapat perlakuan.

H. Manfaat Penelitian.
Dengan mengadakan penelitian pengaruh media ‘Mahir Math SD 05’ terhadap peningkatan prestasi belajar matematika ini, diharapkan penelitian ini mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
- Dapat memperkaya pengetahuan mengenai media pendidikan, khususnya media “Mahir Math SD 05”.
- Dalam memberikan alternatif pemilihan media serta cara menggunakannya sesuai dengan kondisi anak didik.
2. Manfaat praktis
a. Dapat merangsang guru untuk membuat media pembelajaran yang sejenis dengan media ’Mahir Math SD 05’ yang lebih menarik dan efektif.
b. Dengan media ’Mahir Math SD 05’ siswa menjadi lebih bersemangat belajar, karena pelajaran yang disampaikan tidak monoton dan lebih menarik perhatian.
c. Dapat memberikan alternatif peningkatan prestasi belajar matematika yang disebabkan oleh media “Mahir Math SD 05”.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:04:00

Skripsi Upaya Peningkatan Kreativitas Anak Tunarungu Dalam Memasak Melalui Variasi Olahan Keripik Pisang Bagi Anak Kelas XB SMALB Negeri X

(Kode PEND-PLB-0010) : Skripsi Upaya Peningkatan Kreativitas Anak Tunarungu Dalam Memasak Melalui Variasi Olahan Keripik Pisang Bagi Anak Kelas XB SMALB Negeri X Tahun XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai mahkluk Tuhan diciptakan dengan ciri dan kondisi masingmasing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan oleh karena itu patut dikembangkan sesuai dengan kondisi serta kebutuhan masing-masing. Demikian pula halnya dengan para penyandang tunarungu karena mereka merupakan bagian dari keanekaragaman tersebut. Tunarungu memiliki kebutuhan dan hak yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang lain atau bahkan dengan anak normal dalam hal pendidikan. Akan tetapi, dengan keterbatasan yang dimilki oleh mereka baik secara fisik, mental, sosial maupun intelektual maka mereka memerlukan pemenuhan kebutuhan yang berbeda sesuai dengan kondisi mereka. Tujuan dari upaya pendidikan yang diusahakan bagi para penyandang tunarungu khususnya dan anak-anak berkebutuhan khusus pada umumnya adalah agar mereka dapat mengembangkan diri semaksimal mungkin sesuai kondisi mereka agar tidak menjadi beban dalam keluarga dan lingkungannya, sebagaimana tertuang dalam Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) yang dikembangakan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan, yaitu : “ pendidikan menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan : meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri.......” (Depdiknas, 2006: 67).
Dari waktu ke waktu keberadaan anak tunarungu sebagai salah satu dari bagian “Anak Luar Biasa “ semakin meningkat, salah satunya diindikasikan dengan terus bertambahnya jumlah anak tunarungu yang masuk Sekolah Luar Biasa. Dengan demikian pendidikan yang diberikan pada anak tunarungu terutama pada sekolah formal, memiliki peran penting berupa layanan yang mendasar sebagai tumpuan dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus yaitu melalui pendidikan khusus pula.
Kecakapan hidup yang meliputi kacakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan ataupun kecakapan vokasional merupakan tujuan penting dari pendidikan bagi anak tunarungu khususnya dan bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, pelajaran tataboga/memasak sabagai salah satu pelajaran vokasional yang dipilih dengan menitikberatkan pada penanaman ketrampilan untuk hidup mandiri. Oleh karena itu peneliti berupaya menjadikan mata pelajaran tata boga/memasak ini bisa lebih diminati siswa dan sebagai salah satu langkah untuk menumbuhkan kreativitas serta diharapakan dapat memacu kreativitas mereka dalam hal atau kegiatan lainya.
Keterbatasan anak tunarungu yang meliputi keterbatasan bahasa dan keterbatasan komunikasi menuntut guru untuk selalu bereksplorasi dan memberikan apa yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi masing-masing siswa. Agar pembelajaran yang diberikan dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan sehingga menarik siswa untuk senantiasa aktif dalam pembelajaran, serta mampu memberikan pengalaman belajar yang efektif guna menanamkan konsep yang lebih kuat dan tahan lama dalam memori intelegensi anak.
Pada dasarnya anak tunarungu di kelas XB SMALB Negeri X memiliki intelegensi yang sama dengan anak normal. Tetapi, karena keterbatasan bahasa dan keterbatasan komunikasi yang dimilikinya, mereka mengalamani hambatan pada aspek intelegensi yang bersifat verbal, sedang intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motoriknya normal bahkan dapat berkembang lebih cepat. Di SMALB Negeri X tempat peneliti bertugas, anak tunarungu yang memiliki intelegensi yang cukup untuk berkreativitas dalam pelajaran memasak pada khususnya dan pelajaran lain pada umumnya, masih belum dapat memaksimalkan kreativitasnya, hal ini diindikasikan dengan cara mereka belajar atau belajar bekerja yang masih menerima apa yang di instruksikan guru tanpa adanya pengembangan dari para siswa tersebut, kalaupun ada tingkat kreativitasnya masih sangat sedikit.
Menghasilkan masakan dengan cita rasa yang baik dan sesuai dengan selera merupakan tujuan utama dari pelajaran tata boga atau memasak disamping mendidik para siswa untuk memasak sesuai dengan cara atau teori yang benar. Tetapi penyajian dan penataan masakan yang menarik yang dapat mengundang selera memerlukan seni tersendiri. Untuk itu diperlukan kreativitas yang tinggi dari pemasak untuk menghasilkan masakan yang baik untuk menggugah selera.
Mengingat pentingnya kreativitas dalam kehidupan sehari-hari, semua orang pada umumnya, dan terlebih lagi bagi anak tunarungu pada khususnya, sudah sewajarnya bila pembinaan anak-anak di SMALB Negeri X perlu ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) ketrampilan vokasional SMALB bagian B (Tunarungu) terutama Teknologi Pengolahan yang salah satunya berbunyi sebagai berikut : “Mengapresiasi dan menerapkan teknologi pengolahan produk makanan dengan teknik daur ulang dan teknik pengolahan satu bahan menjadi berbagai produk makanan” (Depdiknas, 2006 : 150).
Kondisi kreativitas siswa di kelas X B SMALB Negeri X menunjukan bahwa dari 5 anak tunarungu yang ada hanya satu yang sudah menunjukan kreativitasnya dalam belajar dan itu pun belum secara maksimal. Hal ini disebabkan salah satunya oleh belum maksimalnya peneliti sabagi guru dalam mengembangkan kreativitas anak-anak didik di SMALB Negeri X. Oleh karena itu, dalam penelitian kali ini peneliti mencoba untuk melakukan upaya peningkatan kreativitas melalui perbaikan pembalajaran dalam penelitian tindakan kelas.

B. Rumusan Masalah
Atas dasar pemahaman terhadap latar belakang masalah tersebut diatas penelitian diharapkan dapat menjelaskan hal berikut : “Apakah melaui variasi hasil olahan keripik pisang dapat meningkatkan kretivitas siswa tunarungu dalam pelajaran memasak?”

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, peneliti membatasi penelitian yakni pada masalah : “Kreativitas siswa Tunarungu kelas X B SMALB Negeri X dalam memasak melalui variasi hasil olahan keripik pisang”.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian, dan pembatasan masalah, akhirnya dapat peneliti simpulkan bahwa rumusan masalah sebagai hal yang perlu dipahami dan dikaji lebih mendalam dalam penelitian ini.
Adapun penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut : ”Ingin mengetahui peningkatan kreativitas anak Tunarungu kelas XB SMALB Negeri X dalam memasak melalui variasi olahan keripik pisang”.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pembinaan kreativitas siswa kelas XB SMALB Negeri X pada khususnya dan bagi pengembangan kreatifitas siswa tunarungu pada umumnya. Secara sederhana dapat dipetik manfaat penelitian sebaagai berikut :
1. Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah dapat dijadikan bahan referensi ilmu pendidikan pada umumnya dan bagi pendidikan luar biasa pada khususnya.
2. Secara Praktis
Sedangkan dalam praktiknya hasil penelitian ini bermanfaat sebagai berikut :
a. Bagi Siswa
Memberi gambaran dan motivasi untuk meningkatkan kreatifitas dalam memasak baik di sekolah maupun di rumah atau dikeluarga.
b. Bagi Peneliti
Sebagai acuan pada penelitian selanjutnya untuk senantiasa mengembangkan pembelajaran yang maksimal, selalu menghasilkan pemikiran yang inovatif, lebih jeli, dan kreatif guna menciptakan pembelajaran yang kondusif bagi anak tunarungu.
c. Bagi Teman Sejawat
Memotifasi teman sejawat untuk senantiasa berkompetitif dalam menciptakan atau mencari pembelajaran yang lebih baik sehingga tercipta kondisi belajar yang kondusif di SMALB Negeri X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:04:00

Skripsi Hubungan Pembelajaran Ketrampilan Terhadap Motivasi Berwiraswasta Di SLB-B X

(Kode PEND-PLB-0008) : Skripsi Hubungan Pembelajaran Ketrampilan Terhadap Motivasi Berwiraswasta Di SLB-B X Tahun Ajaran XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan anak berkebutuhan khusus atau defabel, khususnya anak tuna rungu sangatlah kompleks dan menarik untuk dibicarakan. Salah satunya yaitu dalam dunia pekerjaan dimana setelah mereka lulus dari jenjang pendidikan formal maupun non formal nanti, mereka akan sulit mencari pekerjaan. Apalagi pada situasi sulit seperti sekarang ini, jumlah pencari kerja yang sangat besar tetapi lapangan pekerjaan yang tersedia juga terbatas serta masih rendahnya mutu ketrampilan yang dimiliki oleh para lulusan pendidikan formal maupun non formal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang di ungkapkan oleh Munawir Yusuf (1997: 3) tentang masalah tenaga kerja yaitu :
Tidak hanya masalah ledakan jumlah pencari kerja tetapi rendahnya mutu dan ketrampilan yang dimiliki oleh sebagian tenaga kerja yang ada sehingga kesempatan kerja yang ada sering tidak dapat di isi karena ketrampilan dan persyaratan yang dimiliki tenaga kerja tidak sesuai.
Permasalahan lain yang timbul yaitu mereka harus dihadapkan pada kenyataan bahwa masyarakat (perusahaan) memang belum bisa meneriam sepenuhnya atau enggan menerima mereka untuk bekerja, karena masyarakat mempunyai asumsi bahwa penyandang cacat tidak memiliki skill atau kemampuan seperti orang normal. Untuk bekerja penyandang cacat dianggap kurang potensial dan efektif. Kalau hal tersebut terjadi secara terus menerus, maka akan terjadi persaingan yang tidak seimbang yang mana keadaan penyandang cacat akan semakin sulit.
Akibatnya sebagian besar penyandang cacat akan menjadi pengangguran dan hidup mereka akan tergantung pada orang lain. Kalau keadaan tersebut terus dibiarkan sementara laju pertumbuhan penduduk tetap tinggi, maka akan berakibat jumlah pengangguran bertambah banyak. Sehingga akan berakibat timbulnya berbagai masalah social seperti kemiskinan dan kriminalitas. Untuk itu harus ada suatu upaya agar permasalahan diatas dapat ditanggulangi. Seperti hal nya meningkatkan kualitas pendidikan, mendirikan balai latihan kerja dsb. Dengan demikian maka defabel harus diberikan pendidikan atau latihan agar menjadi tenaga kerja yang mandiri dan berdaya saing, terlebih mengingat kondisi mereka dalam meraih kesempatan kerja selalu mendapat tantangan yang lebih besar seperti persaingan yang tidak seimbang, asumsi masyarakat yang negatif bahwa defabel kurang potensial dan efektif dalam bekerja sehingga perusahaan pun enggan memperkerjakan mereka kalaupun ada hanya sebagian kecil perusahaan yang mau atau bersedia menerima mereka untuk bekerja.
Dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 pasal 27 ayat 2 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan”. Dari pasal tersebut saja dapat disimpulkan bahwa semua warga negara termasuk penyandang cacat berhak memperoleh proporsi atau kesempatan kerja yang sama dengan orang normal. Salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut adalah membuka lapangan usaha untuk sendiri dan orang lain. Membuka usaha atau wiraswasta tentu tidaklah mudah, para penyandang cacat harus memiliki bekal atau kemampuan salah satunya kemampuan dalam ketrampilan atau karya, karena ketrampilan dapat dijadikan salah satu modal untuk berwiraswasta. Sepertinya pada saat ini sudah banyak sekolah sekolah khususnya sekolah yang menangani defabel yang memberikan pendidikan ketrampilan karena selain pendidikan formal yang wajib diberikan disekolah, pendidikan ketrampilan juga dirasa sangat penting. yang mana nanti defabel akan dilatih untuk bisa menguasai jenis ketrampilan tetentu.
Sehingga ketika mereka lulus nanti, defabel sudah memiliki bekal sendiri. Mereka akan mau dan mampu berwiraswasta atau wirausaha sendiri ketika perusahaan tidak dapat menampung mereka untuk bekerja. Seperti pernyataan yang diungkapkan oleh Wasty Sumanto (1996:137) “Sekarang sekolah-sekolah kita dihadapkan pada suatu tantangan dan tuntutan jaman, dimana sekolah harus mulai berusaha mewujudkan manusia wiraswasta dilingkungan sekolah”. Dalam pelaksanaan Pembelajaran ketrampilan disekolah tidak terlepas dengan adanya kurikulum yang mengaturnya. Dalam melaksanakan pembelajaran ketrampilan ada dua hal yang harus mendapat perhatian yaitu proses dan hasil karya. Kegiatan proses membawa siswa kedalam penjelajahan dan pengalaman mengenai penemuan-penemuan baru yang tak habis-habisnya dengan dirinya, masyarakat serta ketrampilan dan hasil akhir dari kegiatan berkarya yang akan menghasilkan sesuatu yang akan memuaskan dirinya. Dalam hal ini siswa juga harus benar benar mengusai ketrampilan yang diajarkan secara baik, karena penguasaan ketrampilan sangat berhubungan terhadap pembentukan sikap siswa yang mana akan termotivasi dan terbentuk sikap mental yang baik dalam berwiraswasta. Ketika motivasi telah dimiliki oleh para siswa penyandang cacat maka niscaya kemandirian mentalitas akan terbentuk. Pendidikan ketrampilan merupakan salah satu bidang study yang mempunyai kekhususan yaitu disamping para siswa memperoleh pengetahuan ilmu siswa juga mendapat ketrampilan berbuat yang diakhiri dengan terwujudnya suatu karya. Jadi pendidikan ketrampilan merupakan salah satu usaha dan upaya untuk menimbulkan motivasi berkarya pada diri anak yang akhirnya anak sanggup menciptakan sesuatu yang bermanfaat atau berguna untuk dirinya dan orang lain. Dengan diberikannya pendidikan ketrampilan kepada anak menjadi dasar pengembangan bakat dan kemampuan diri sendiri dan dijadikan sarana untuk mencari nafkah yaitu dengan berwiraswasta. Oleh karena itulah penulis merasa perlu mengadakan penelitian mengenai HUBUNGAN PEMBELAJARAN KETRAMPILAN TERHADAP MOTIVASI BERWIRASWASTA DI SLB-B X.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Permasalahan penyandang cacat khususnya anak tuna rungu sangat kompleks, salah satunya yaitu sulitnya mencari pekerjaan setelah mereka lulus pendidikan formal nanti hal ini disebabkan adanya persaingan yang tidak seimbang antara tenaga kerja cacat dengan tenaga kerja normal. Salah satu faktor pendorong yaitu asumsi masyarakat yang negatif bahwa penyandang cacat tidak mempunyai skill, kurang efektif dan efisien seperti orang normal sehingga perusahaan belum bisa sepenuhnya menerima tenaga kerja cacat.
2. Dengan penyelenggaraan rehabilitasi karya yang berbentuk pengajaran atau pelatihan ketrampilan disekolah yang mana penyandang cacat akan dilatih agar bisa menguasai beberapa jenis ketrampilan tertentu, sehingga ketika penyandang cacat lulus dari sekolah, mereka sudah mempunyai bekal karena mampu berwiraswasta sebagai alternatif ketika mereka tidak diterima bekerja.
3. Pembelajaran yang maksimal dan penguasaan ketrampilan pada diri siswa harus benar-benar dimiliki.karena sangat berhubungan pada pembentukan sikap siswa yang mana siswa akan menjadi termotivasi dan terbentuk sikap mental wiraswasta yang baik pula.

C. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan dalam pelaksanaan penelitian serta dapat menjawab permasalahan secara fokus dan mendalam. Maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi. Adapun pembatasan masalah yang diajukan penulis adalah sebagai berikut :
1. Objek penelitian meliputi : Pembelajaran ketrampilan, dan motivasi berwiraswasta
2. Pembelajaran ketrampilan adalah suatu proses pembelajaran dengan memperkenalkan anak didik kepada dunia karya yang akan berguna dimasa yang akan datang.
3. Motivasi berwiraswasta adalah suatu dorongan yang berhubungan dengan upaya seseorang untuk mencapai suatu tujuan agar dapat menjadi insan mandiri, produktif dan tidak bergantung pada orang lain yang mana terwujud dalam suatu wadah yaitu wiraswasta dengan bekal kemampuan yang telah dimiliki.

D. Perumusan Masalah
Agar masalah dalam penelitian dapat terjawab dengan baik, maka masalah harus dirumuskan dengan jelas dan bertitik tolak dari latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ada hubungan positif Pembelajaran Ketrampilan terhadap Motivasi Berwiraswasta di SLB B X tahun ajaran XXXX/XXXX?

E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan tersebut diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan positif pembelajaran ketrampilan terhadap motivasi berwiraswasta di SLB-B X Tahun Ajaran XXXX/XXXX.

F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian hubungan antara pembelajaran ketrampilan terhadap motivasi berwiraswasta diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis :
a) Untuk menambah khasanah pustaka khususnya yang menyangkut bidang pembelajaran ketrampilan dan motivasi berwiraswasta.
b) Untuk memberikan gambaran akan arti pentingnya pembelajaran ketrampilan terhadap motivasi berwiraswasta.
2. Kegunaan Praktis :
a) Sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pengarahan kerja bagi penyandang cacat agar sesuai bakat dan ketrampilan yang dimilikinya.
b) Penelitian ini bisa dijadikan masukan SLB-B X untuk meningkatkan pendidikan ketrampilan yang sudah ada.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:03:00

Skripsi Media Pembelajaran Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Bagi Anak Tuna Grahita Kelas D1/C SLB X

(Kode PEND-PLB-0006) : Skripsi Media Pembelajaran Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Bagi Anak Tuna Grahita Kelas D1/C SLB X Tahun Ajaran XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak Tunagrahita merupakan salah satu golongan anak berkelainan mental yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan memiliki keterbatasan dalam hal berpikir, kemampuan berpikirnya rendah, perhatiannya dan daya ingatannya lemah, sukar berpikir abstrak, serta kurang mampu berpikir logis, ini senada dengan pendapat Moh. Amin (1995 : 11), mengemukakan bahwa :
Anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah rata rata. Disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit dan yng berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti : mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan symbol-symbol, berhitung dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang atau terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Kemampuan intelektual anak tunagrahita yang berada di bawah rata-rata ini mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalan menerima pelajaran, khususnya pelajaran matematika. Di samping itu, mereka juga mengalami keterbatasan dalam hal berpikir abstrak, sulit dan berbelitbelit sehingga prestasi belajar matematika nyapun rendah.
Mengajarkan matematika pada anak tunagrahita agar lebih berhasil hendaknya disampaikan menggunakan sesuatu yang konkret, mudah dipahami, menggunakan contohcontoh yang sederhana, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, dilakukan dalam situasi yang menarik dan meyenangkan, supaya anak tunagrahita tidak lekas jenuh serta termotivasi untuk belajar. Berdasarkan pernyataan di atas, jelas bahwa anak tunagrahita membutuhkan penanganan khusus dalam mengajarkan pelajaran matematika.
Penanganan khusus tersebut dapat direalisasikan dengan menggunakan media yang bersifat sederhana, konkrit, mudah digunakan dan mudah didapat, serta ekonomis. Media yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi anak dan sekolah yang ada. Salah satu media yang sesuai untuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunagrahita adalah dengan media kartu.
” Media kartu di dalam pengajaran matematika merupakan suatu media yang memuat instruksi-instruksi yang berupa pertanyaan dan latihan yang digunakan untuk mempelajari ide mereka dalam bentuk kartu angka”. (Herman Hudojo (1988 : 136)). Media kartu yang digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunagrahita dalam penelitian ini dikemas dalam bentuk permainan, sebab permainan dapat membuat suasana lingkungan belajar menjadi senang, bahagia, santai namun tetap memiliki suasana yang kondusif. Melalui permainan siswa juga dilatih untuk bekerja sendiri, tabah, percaya diri tidak mudah putus asa dan pantang menyerah.
Menurut Jean Piaget dalam John D. Latuheru, (1988 : 109), yang menyatakan bahwa : Salah satu dasar proses-proses mental menuju kepada intelektual adalah melalui permainan, sebab anak-anak tidak akan terasa menghadapi kesukaran apabila dijaring dalam bentuk permainan, karena permainan memiliki beberapa kelebihan diantaranya permainan dirancang untuk bisa menjadikan konsep-konsep yang abstrak menjadi konsep konkret, dapat dimengerti dan menyenangkan, membantu ingatan anak terhadap pelajaran yang diberikan, permainan merupakan suatu selingan pemberian media atau alat peraga yang secara rutin berlangsung di kelas dari hari ke hari.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indianto dan kawankawan {2003 : 46} yang menunjukkan bahwa metode pembelajaran permainan dapat menumbuhkan rasa senang terhadap pelajaran matematika..Permainan matematika apabila digunakan secara berencana dengan tujuan instruksional, jelas, tepat, penggunaanya serta sesuai dengan waktunya dapat menjadi metode yang efektif untuk meningkatkan prestasi belajar matematika. Permainan kartu untuk mengajarkan matematika dalam penelitian ini digunakan untuk menerangkan penjumlahan dan pengurangan dari bilangan 1 10 dengan cara memberikan kartu kepada anak tunagrahita. Permainan kartu ini digunakan sebagai salah satu metode pembelajaran supaya anak tunagrahita termotivasi untuk terlibat secara aktif dalam proses kegiatam belajar matematika.
Permainan kartu ini dibuat sesuai kemampuan dan kondisi anak tunagrahita sehingga mempermudah untuk memahami pelajaran matematika. Pengetahuan dan pemahaman konsep metematika yang diperoleh dari permainan kartu ini diharapkan memberikan bantuan motivasi untuk belajar sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar matematika anak tuna grahita.

B. Perumusan masalah
Adapun perumusan masalah yang penulis harapkan adalah sebagai berikut : ” Apakah dengan media pembelajaran permainan kartu ada peningkatan prestasi belajar matematika bagi anak tuna grahita kelas DI/C SLB/BC X Tahun Ajaran XXXX/XXXX ?”

C. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian yang penulis harapkan adalah dengan media pembelajaran permainan kartu dapat meningkatkan prestasi belajar matematika bagi anak tunagrahita kelas DI/C SLB/B-C X Tahun Ajaran XXXX/XXXX.

D. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Untuk membuktikan kebenaran hipotesis tindakan yang telah diajukan dalam penelitian ini dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
Mencari solusi untuk menangani masalah anak tuna grahita di kelas D1/C SLB/BC X tahun ajaran XXXX/XXXX.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:02:00

Skripsi Penggunaan Metode Maternal Reflektif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Bicara Pada Anak Tunarungu Kelas Persiapan Sekolah Luar Biasa Negeri X

(Kode PEND-PLB-0007) : Skripsi Penggunaan Metode Maternal Reflektif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Bicara Pada Anak Tunarungu Kelas Persiapan Sekolah Luar Biasa Negeri X Tahun XXXX

BAB I.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1yang berbunyi bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Hal ini sesuai dengan Undang Undang Sisdiknas tahun 2003 bab IV pasal 1 dinyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” dan pasal 2 yang berbunyi “Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak tunarungu berhak memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan.
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.
Menurut Mufti Salim (1984: 8) menyimpulkan bahwa Anak tunarungu ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.
Karena kelainannya itu anak tunarungu mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara serta mengalami kesulitan berkomunikasi dengan sesamanya. Kenyataan bahwa anak tunarungu tidak dapat mendengar membuatnya tidak mungkin mengerti bahasa yang diucapkan orang lain dan karena tidak mengerti bahasa yang diucapkan orang lain dan dia tidak dapat bicara jika tidak dilatih bicara. Ketidakmampuan bicara anak adalah karakteristik yang membuatnya berbeda dengan anak lain. Manusia sebagaimana adanya adalah makhluk individu dan makhluk sosial yang akan senantiasa mengadakan interaksi dengan orang lain dan dalam pelaksanaannya dibutuhkan alat komunikasi dalam bentuk bahasa bicara. Sebagai akibat ketunarunguannya, anak tunarungu kurang atau tidak mampu menerima dan menyampaikan pesan-pesan dari dan kepada sesamanya melalui bicara secara memadai. Mereka hanya mengandalkan ketajaman penglihatan dan menggunakan sisa pendengaran untuk menangkap kejadian- kejadian dalam berkomunikasi.
Pakar pendidikan anak tunarungu Daniel Ling (1976) dalam Edja Sadjaah (2003: 2) mengemukakan bahwa “Ketunarunguan memberikan dampak inti yang diderita oleh yang bersangkutan yaitu gangguan/hambatan perkembangan bahasa”. Hambatan perkembangan bahasa memunculkan dampakdampak lain yang sangat komplek lainnya seperti aspek pendidikan, hambatan emosi sosial, hambatan perkembangan intelegensi dan akhirnya hambatan dalam aspek kepribadian. Artinya dampak inti yang diderita menimbulkan atau mengait pada dampak lain yang mengganggu kehidupannya. Beliau menguatkan pandangannya dengan mengutip pernyataan Katryn Miadows (1980) bahwa “kemiskinan yang dialami seseorang yang tuli sejak lahir adalah bukan kemiskinan atau kehilangan akan rangsangan bunyi melainkan kemiskinan dalam berbahasa”.
Juga dikuatkan oleh pendapat Van Uden (1971) dalam Lani Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati (2000) bahwa “sebagai akibatnya anak tidak saja tunarungu melainkan tunabahasa”.
Selanjutnya Greg Leigh (1994) dalam Edja Sadjaah (2003: 2) mengemukakan bahwa “anak tuli pada umumnya menderita ketidakmampuan berkomunikasi lisan (bicara) akan membawa dampak utama yaitu terhambatnya perkembangan kemampuan berbahasa”.
Para ahli berpendapat bahwa sebagai akibat kehilangan pendengaran sedemikian rupa anak menjadi tunarungu atau menderita ketulian yang akhirnya membawa akibat pada kehidupan dirinya. Akibatnya adalah selain sukar berbahasa dan berbicara untuk kepentingan kehidupan dan juga terhadap perolehan pengetahuan yang lebih luas.
Anak yang normal mendengar bahasa yang diucapkan berbulan-bulan sebelum dia mulai berbicara. Orang normalpun memerlukan waktu untuk dapat mengerti bicara orang lain, apalagi anak tunarungu, karena itu mereka harus diberi kesempatan yang sama dengan anak lainnya untuk belajar berbahasa bicara.
Mengapa bahasa bicara ditulis bersama-sama, hal ini menunjukkan bahwa kegiatan bicara melibatkan atau memfungsikan bahasa. Dalam berbicara, bahasa diwujudkan secara lisan. Kemampuan berbahasa lisan membutuhkan perbendaharaan bahasa yang banyak dan memahami arti bahasa bicara yang dimaksud.
Mata anak tunarungu harus dipakai sendirian yang bagi anak normal pekerjaan tersebut dipikul bersama dengan pendengaran. Dengan alasan ini anak tunarungu lebih banyak membutuhkan waktu untuk dapat berbicara dan tentu saja lingkungan di sekitar anak yang juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berbahasa bicara anak tunarungu tersebut.
Tingkat belajar siswa tunarungu khususnya kelas persiapan masih rendah utamanya belajar berbahasa bicara. Maka kita perlu mencari penyebabnya, mungkin cara belajar siswa, mungkin dari pihak guru dalam penyampaiannya. Inilah yang menjadi pangkal tolak mengapa guru perlu menggunakan beberapa metode dalam melakukan proses belajar mengajar. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan yang akan saling melengkapi. Metode yang dipilih hendaknya metode yang dapat mendorong siswa aktif. Metode yang dianggap baik bagi guru belum tentu mudah diterima oleh anak. Agar kemampuan berbahasa-bicara anak tunarungu dapat maksimal diperlukan perencanaan yang matang termasuk perencanaan penggunaan metode dan yang tidak kalah penting adalah media/alat peraga benda asli/tiruan, gambar dan kartu kata untuk mengkonkritkan sesuatu yang verbal. Pakar pendidikan anak gangguan pendengaran Vreede Varkamp (1985:sb) dalam Edja Sadjaah (2003: 17) menegaskan bahwa “mengajar mereka dalam berbahasa, media (alat bantu belajar) harus selalu menyertai kegiatan belajar itu. Tak ada artinya pembelajaran berbahasa kepada anak tuli tanpa disertai alat bantu (media), minimal gambar atau tiruannya/miniaturnya”.
Keterbatasan anak gangguan pendengaran dalam mengindera bunyi bahasa melalui pendengarannya menjadikan mereka memiliki keterbatasan dalam mengolah informasi. Dengan demikian pemanfaatan alat bantu/media dalam proses belajar, dapat membantu anak dalam mempertahankan daya ingat atas pengalaman yang dialaminya.
Melalui media pendidikan yang menarik perhatian, dapat mengurangi hambatan salah pengertian siswa. Untuk itu media penting dalam memusatkan perhatian dan memotivasi siswa dalam belajar.
Kemampuan berbahasa bicara siswa tunarungu khususnya kelas Persiapan di SLB Negeri Xtahun XXXX rendah utamanya pelajaran Bahasa Indonesia dalam aspek berbahasa bicara ini bisa dilihat pada tabel sebagai berikut:
Kondisi awal sebelum tindakan dapat penulis sampaikan melalui tes lisan dan perbuatan. Adapun hasil tes melalui analisis pada kemampuan berbahasa bicara disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Perolehan Skor Rerata Kemampuan Berbahasa Bicara Kondisi Awal :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Dengan melihat latar belakang tersebut, maka penulis mengadakan Penelitian Tindakan Kelas, yaitu “Penggunaan Metode Maternal Reflektif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Bicara Pada Anak Tunarungu Kelas Persiapan Sekolah Luar Biasa Negeri X Tahun XXXX”.

B. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka muncul permasalahan yang dapat didefinisikan sebagai berikut : Apakah Metode Maternal Reflektif dapat meningkatkan kemampuan berbahasa bicara pada anak tunarungu kelas Persiapan di SLB Negeri X tahun XXXX?.


C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh Metode Maternal Reflektif terhadap peningkatan kemampuan berbahasa bicara pada anak tunarungu kelas Persiapan di SLB Negeri X tahun XXXX.

D. Manfaat penelitian
Penelitian terhadap masalah ini sangat penting menurut penulis, penggunaan Metode Maternal Reflektif sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa-bicara anak tunarungu. Dengan demikian diharapkan pula dapat menemukan jalan untuk meningkatkan pendidikan luar biasa khususnya anak tunarungu, lebih jelas lagi penulis uraikan manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Secara teoritis:
a.Menambah khasanah ilmu tentang penggunaan Metode Maternal Reflektif dapat meningkatkan kemampuan berbahasa bicara anak tunarungu.
b.Pijakan untuk penelitian selanjutnya.
2.Secara praktis:
a. Bagi siswa:
Dapat meningkatkan kemampuan siswa tunarungu dalam berbahasa bicara.
b. Bagi guru:
i. Guru terbiasa mengembangkan keterampilan dalam mengajar secara profesional melalui penelitian tindakan kelas.
ii. Guru lebih memahami bahwa anak merupakan pribadi yang unik dan berbeda satu sama lainnya.
b. Bagi Sekolah:
Bahwa Metode Maternal Reflektif tidak hanya digunakan dalam pembelajaran berbahasa-bicara tetapi dapat juga dapat digunakan untuk pelajaran yang lain.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:02:00