Cari Kategori

Tesis Strategi Program Layanan Bagian Hubungan Masyarakat Pada Kantor Walikota X

(Kode STUDPEMBX0012) : Tesis Strategi Program Layanan Bagian Hubungan Masyarakat Pada Kantor Walikota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan perkembangan sistem pemerintahan yang terjadi di Indonesia sekarang ini, maka dituntut adanya paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu paradigma sistem pemerintahan yang mengarah pada ”Good Governance”.
Merujuk pada perkembangan kebijakan pemerintahan yang tersebut diatas, tampaknya penyelenggaraan pelayanan pemerintahan yang baik, sekarang dituntut untuk mulai mengembangkan dimensi keterbukaan, mudah diakses, accountable dan transparan. Kantor-kantor pemerintah, seperti departemen, atau instansi pemerintah lainnya, mulai menyadari bahwa untuk membangun pemerintahan yang sehat, bersih dan berwibawa, sangatlah diperlukan banyaknya kritikan dan pendapat pihak lain atau pendapat publik. Salah satu bagian atau lembaga yang berada di kantor pemerintah yang bertugas mewujudkan bentuk keterbukaan, transparan dan mudah diakses adalah bidang Hubungan Masyarakat (Humas). Sebagaimana diketahui, Humas di dalam menjalankan fungsinya, mengemban tugas guna melayani kepentingan publik, yang pada akhirnya membangun citra kantor atau organisasi dimana humas itu berada. Mengenai pendekatan fungsi Humas dari Bertrand R. Canfield dalam bukunya ”Public Relations Principles and Problem", yang dikutip oleh Rosady Ruslan (1995:42) mengemukakan unsur-unsur utama dalam fungsi humas adalah mengabdi kepentingan publik, memelihara komunikasi yang baik, dan menitikberatkan moral dan tingkah laku yang baik.
Selain itu, fungsi humas juga bertujuan guna memperoleh kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding) dan citra yang baik (good image) dari masyarakat (public opinion). Sasaran humas adalah menciptakan opini publik yang favorable dan menguntungkan semua pihak. Tugas itu tentu tidaklah semudah seperti membalik telapak tangan. Upaya-upaya yang dilakukan humas, haruslah usaha untuk menciptakan hubungan harmonis antara suatu badan organisasi dengan publiknya dan masyarakat luas melalui suatu proses komunikasi timbal balik atau dua arah (Rahmadi, 1994:22).
Sejauh ini, khusus untuk pekerjaan humas pada berbagai instansi pemerintah, ada suatu hal yang biasa terjadi dan menjadi suatu kebiasaan yang berlaku, bahwa bagian humas baru akan bergerak apabila ada instruksi dari atasan (top down), atau apabila ada suatu kegiatan pemerintahan yang sifatnya rutin dilaksanakan. Jikalaupun ada kegiatan yang mau mendengarkan feed back atau timbal balik dan masukan yang positif, hal itu hanyalah reaktif pada sebatas analisis di media belaka. Jadi dalam hal ini, posisi eksistensi dan peran humas di berbagai instansi pemerintahan baik yang berada di pusat maupun instansi pemerintah yang berada di daerah tidak bisa maksimal, yakni hanyalah sebatas corong, jalur komunikasi atau hanyalah sebagai media bagi para pejabat pemerintah untuk bicara kepada publiknya, tentang hal-hal apa yang akan dilakukan oleh kantor atau organisasi pemerintah tersebut, sebagaimana pernyataan yang disampaikan oleh Drs. H. Muadz, dalam "Two Days Indonesian Public Relation, Seminar and Workshop", di Bandung, 2003. Meskipun pernyataan tersebut tidak bisa digeneralisasikan untuk semua lembaga atau departemen yang ada di pemerintah, tetapi beberapa pembicara dalam seminar dan workshop itu melihat bahwa, secara umum fungsi layanan humas yang ada di lembaga atau departemen di pemerintahan, belum bisa menempatkan posisi humas sebagaimana yang diharapkan publiknya.
Posisi humas yang ada di Kantor Walikota X, haruslah melaksanakan sebahagian tugas pokok Kantor Walikota X, yaitu dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), sebagaimana yang disebutkan pada pembukaan UUD 1945. Untuk mencapai dan mewujudkan cita-cita tersebut, haruslah diterapkan suatu kinerja yang maksimal dengan mengoptimalkan sumber daya yang sudah tersedia.
Penempatan humas di dalam suatu struktur organisasi, pasti akan sangat berpengaruh pada pelayanan yang bisa diberikan pada khalayak. Untuk itu, sudah sewajarnya apabila humas diberikan peran dan tempat tersendiri yang sifatnya mandiri. Hal ini dimaksudkan agar humas dapat langsung mengakses kepada semua unsur unit utama baik yang ada di pusat maupun kantor dinas pendidikan yang ada di daerah, sehingga diharapkan dimasa yang akan datang kinerja humas akan makin baik dari hari kehari, serta terus menerus akan mengalami berkurangnya hambatan hirarkis sebagaimana dan yang selama ini terjadi.
Sesuai struktur organisasi di Kantor Walikota X, sebagaimana yang selama ini terus dilakukan, tetap dituntut dan selalu berupaya untuk dapat terus menerus melakukan berbagai kegiatan yang mengacu kepada kepuasan publik penggunan (end-user) nya, baik untuk publik internal Kantor Walikota X, maupun publik eksternal (media dan masyarakat umum), serta dalam upaya menjalin hubungan baik dengan sesama instansi pemerintah yang lain.
Berbagai kegiatan telah coba dimunculkan oleh bagian humas, yang antara lain adalah kegiatan untuk menyiapkan bahan informasi bagi semua publik yang dilayaninya, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang sifatnya memberikan bahan penerangan dan publikasi kepada masyarakat tentang kebijakan dan pelaksanaan kegiatan departemen. Sedangkan beberapa layanan yang diberikan, sebagaimana penulis lihat sejauh ini, diantaranya adalah layanan konferensi pers, pers release, dan kliping media. Kegiatan layanan konferensi pers, misalnya, hanya dilakukan apabila ada informasi dari pemerintah daerah yang perlu disampaikan kepada publik, sehingga frekuensi dan jumlah kegiatan konferensi pers, tidak dilakukan secara rutin, dan tidak bisa ditentukan dalam jangka waktu tertentu.
Kegiatan press release merupakan kegiatan rutin dilakukan dengan media massa, baik media cetak atau media elektronik, yang berisi tentang berbagai informasi yang terjadi di Pemerintah Kota X, yang dianggap perlu untuk diketahui oleh publik. Selain itu, ada juga kegiatan pengklipingan media yang disampaikan namun hanya untuk konsumsi dan kepentingan publik internal departemen saja.
Khusus yang berkaitan dengan masalah sumber daya manusia (SDM), yang lazim diikuti karena penyesuaian struktur organisasi, ternyata berpengaruh pula pada ketersediaan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang selanjutnya berkaitan dengan kompetensi, kapabilitas dan profesionalisme pegawai/staf humas, yang pada akhirnya sangat berpengaruh dan mempengaruhi dalam upaya untuk pencapaian citra positif Kantor Walikota X terhadap publiknya. Humas yang biasanya lebih populer disebut dengan public relations tidak lain merupakan suatu upaya yang terencana dan berkesinambungan untuk menciptakan dan menjaga hubungan baik dan saling pengertian antara organisasi dan publik atau khalayak.
Kegiatan public relations pada hakekatnya adalah kegiatan komunikasi. Ciri hakiki dari komunikasi dalam public relations adalah komunikasi yang bersifat timbal balik atau dua arah. Hal ini sangat penting dan mutlak harus ada dan dilakukan dalam kegiatan public relations, agar ada dan terciptanya feedback atau umpan balik dan masukan, yang merupakan prinsip pokok dalam kegiatan public relations (Rahmadi, 1992:67)
Tugas public relations adalah memberikan informasi tentang keadaan suatu lembaga atau organisasi tersebut kepada publiknya secara jujur, sehingga dapat membentuk saling pengertian atau pemahaman publik tentang lembaga dimana humas itu berada. Disinilah letak peran pentingnya humas, yakni dalam upaya pembentukan serta peningkatan citra suatu lembaga atau organisasi. Komunikasi interaktif, penerimaan umpan balik dan masukan, pembentukan atau peningkatan citra di hadapan publik merupakan alasan utama mengapa humas sangat diperlukan oleh setiap lembaga atau instansi pemerintah, khususnya Kantor Walikota X.
Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk mengangkat permasalahan program-program layanan Humas Kantor Walikota X, sebagai sebuah kajian bagi rekomendasi strategi kehumasan di Kantor Walikota X.

1.2. Perumusan Masalah
Public relations secara konsepsional dalam pengertian "state of being" di Indonesia sendiri baru dikenal pada awal tahun 1950-an, sedangkan pengembangan secara akademis baru dimulai sejak dekade 1960-an. Dalam pengertian state of being, seperti yang dimaksud di atas, public relations di Indonesia menggunakan istilah hubungan masyarakat atau disingkat dengan humas, adalah sebagai terjemahan dari public relations. Sehingga di beberapa instansi pemerintahan kita, banyak dan dapat dijumpai nama-nama atau istilah seperti Direktorat Hubungan Masyarakat atau Biro Hubungan Masyarakat atau Bagian Hubungan Masyarakat.
Keberadaan Humas pada instansi besar seperti departemen, kota atau kabupaten, masih banyak hanyalah dilatarbelakangi oleh kepentingan dari para pimpinan organisasi dimaksud, dalam hal ini menteri, walikota/bupati dan seterusnya. Mengingat para pimpinan tersebut mempunyai lingkup tugas yang sangat berat dalam membawa roda organisasi departemen atau instansi yang dipimpinnya, maka mereka sangat berkeinginan agar instansi atau organisasi yang dipimpinnya menjadi suatu organisasi atau departemen yang mempunyai konotasi atau nama baik yang melekat sesuai dengan harapan mereka selaku para pimpinan yang menjadi komandan dari suatu instansi atau organisasi dimaksud. Namun demikian, karena ruang lingkupnya yang masih sangat luas, adanya keterbatasan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang pokok lainnya, menyebabkan para pimpinan tersebut tidak mungkin dapat menangani kegiatan rutin hubungan masyarakat. Itulah sebabnya, mengapa mereka tetap menganggap bahwa keberadaan Humas di dalam struktur organisasinya, tidak lain, hanyalah sebagai corong atau jalur media komunikasi dari para pimpinan suatu lembaga, instansi atau departemen kepada publiknya.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat, maka beberapa instansi pemerintah mulai memandang dan menerapkan bahwa peran dan fungsi humas tidak hanya sebagai sekedar corong atau jalur media komunikasi para pimpinan lembaga, instansi atau pemerintah saja. Humas sekarang ini mulai diberikan porsi untuk mempunyai peran dan fungsi sebagai bagian yang dapat melakukan kegiatan-kegiatan baik yang ditujukan ke dalam (internal public relations) dan ataupun kegiatan-kegiatan yang ditujukan ke luar (external public relations).
Humas mulai diberikan tempat khusus untuk dapat memberikan masukan atau saran-saran yang diperlukan oleh pimpinan dalam menghadapi permasalahan yang terjadi. Selanjutnya, kegiatan-kegiatan humas sangat diharapkan untuk dapat menjadi indera penglihatan dan pendengaran atau sebagai mata dan telinga bagi organisasi atau instansi yang bersangkutan. Oleh karenanya, humas kemudian berkembang ruang lingkup tugasnya, yang antara lain meliputi:
1. Membina hubungan ke dalam (public internal), yaitu publik yang menjadi bagian dari unit/badan/organisasi itu sendiri, sehingga diharapkan mampu untuk mengidentifikasi atau mengenal hal-hal yang menimbulkan gambaran negatif di dalam organisasinya sendiri atau masyarakat internalnya, sebelum kebijaksanaan itu dijalankan oleh organisasi;
2. Membina hubungan ke luar (public external), yaitu publik umum (masyarakat) mengusahakan tumbuhnya sikap dan gambaran yang positif publik terhadap lembaga yang diwakilinya.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimana program layanan kehumasan Kantor Walikota X?
2. Bagaimana strategi kehumasan Kantor Walikota X?

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah pokok di atas, tujuan utama kajian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis program layanan kehumasan Kantor Walikota X (strategi kehumasan Kantor Walikota X).
2. Untuk memberikan masukan/rekomendasi guna menyusun strategi kehumasan Kantor Walikota X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:25:00

Tesis Strategi Pemberdayaan Ekonomi Sosial Masyarakat Nelayan Berbasis Komunitas Ibu Rumah Tangga Di Desa X Kecamatan X Kota X

(Kode STUDPEMBX0010) : Tesis Strategi Pemberdayaan Ekonomi Sosial Masyarakat Nelayan Berbasis Komunitas Ibu Rumah Tangga Di Desa X Kecamatan X Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak tahun 2000, Pemerintah Indonesia lebih mencurahkan perhatiannya terhadap sektor kelautan dan perikanan, seperti terlihat dalam Propenas 2000-2004 disebutkan bahwa sumber daya kelautan dan perikanan merupakan penopang system kehidupan masyarakat kita, khususnya masyarakat pesisir (nelayan). Salah satu sasaran program pembangunan nasional di bidang kelautan adalah terciptanya peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Perhatian terhadap kawasan pesisir tidak hanya didasari oleh pertimbangan pemikiran bahwa kawasan itu tidak hanya menyimpan potensi sumber daya alam yang cukup besar, tetapi juga potensi sosial masyarakat yang akan mengelola sumber daya alam tersebut secara berkelanjutan. Potensi sosial masyarakat ini sangat penting karena sebagian besar penduduk yang bermukim di pesisir dan hidup dari pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan tergolong miskin. Kebijakankebijakan pembangunan di bidang perikanan (revolusi biru) selama ini ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat pesisir, termasuk yang berada di kawasan pesisir Selat Madura (Kusnadi, 2000).
Kusnadi, 2006: 2-4, Salah satu unsur potensi sosial tersebut adalah kaum perempuan pesisir, khususnya istri nelayan. kedudukan dan peranan kaum perempuan pesisir atau istri nelayan pada masyarakat pesisir sangat penting karena beberapa pertimbangan pemikiran:
Pertama, dalam system pembagian kerja secara seksual pada masyarakat nelayan, kaum perempuan pesisir atau istri nelayan mengambil peranan yang besar dalam kegiatan sosial-ekonomi di darat, sementara laki-laki berperan di laut untuk mencari nafkah dengan menangkap ikan. Dengan kata lain, darat adalah ranah perempuan, sedangkan laut adalah ranah laki-laki (Kusnadi 2001: 151-152). Kedua, dampak dari system pembagian kerja di atas mengharuskan kaum perempuan pesisir untuk selalu terlibat dalam kegiatan publik, yaitu mencari nafkah keluarga sebagai antisipasi jika suami mereka tidak memperoleh penghasilan. Kegiatan melaut merupakan kegiatan yang spekulatif dan terikat oleh musim. Oleh karena itu, nelayan yang melaut belum bisa dipastikan memperoleh penghasilan. Ketiga, system pembagian kerja masyarakat pesisir dan tidak adanya kepastian penghasilan setiap hari dalam rumah tangga nelayan telah menempatkan perempuan sebagai salah satu pilar penyangga kebutuhan hidup rumah tangga.
Dengan demikian, dalam menghadapi kerentanan ekonomi dan kemiskinan masyarakat nelayan, pihak yang paling terbebani dan bertanggung jawab untuk mengatasi dan menjaga kelangsungan hidup rumah tangga adalah kaum perempuan, istri nelayan (Kusnadi, 2003: 69-83).
Dibandingkan dengan masyarakat lain, kaum perempuan di desa-desa nelayan mengambil kedudukan dan peranan sosial yang penting, baik di sektor domestik maupun di sektor publik. Peranan publik istri nelayan diartikan sebagai keterlibatan kaum perempuan dalam aktivitas sosial-ekonomi di lingkungannya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga dan kebutuhan sekunder lainnya. Kaum perempuan di desa nelayan merupakan potensi sosial yang sangat strategis untuk mendukung kelangsungan hidup masyarakat nelayan secara keseluruhan. Oleh karena itu, potensi sosial-ekonomi kaum perempuan ini tidak dapat diabaikan begitu saja.
Kemiskinan nelayan merupakan suatu ironi bagi sebuah negara maritim seperti Indonesia, walau data yang valid tidak mudah diperoleh. Pengamatan visual/langsung ke kampung-kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamblang tentang kemiskinan nelayan di tengah kekayaan laut yang begitu besar.
Gambaran umum yang pertama kali bisa dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai papan yang terlihat usang, beratap rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh dan nelayan tradisional. Sebaliknnya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara (ikan) atau pedagang berskala besar, dan pemilik toko (Kusnadi, 2002 & Sitorus,2002).
Dalam kondisi yang secara multidimensi demikian miskin, akan sangat sulit bagi para nelayan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan begitu saja bersaing dalam pemanfaatan hasil laut di era keterbukaan sekarang ini. Mereka akan selalu kalah bersaing dengan perusahaan penangkapan ikan, baik asing maupun nasional, yang berperalatan modern. Oleh karena itu, pemberdayaan komunitas nelayan merupakan langkah yang sangat krusial dalam mencapai tujuan pemanfaatan kekayaan laut Indonesia (Bappenas, 2005).
Salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan nelayan antara lain dengan cara pemberdayaan komunitas nelayan yang harus dilakukan dengan tepat dan harus berangkat dari kultur yang ada. Penekanannya harus kepada peningkatan kesadaran akan masalah dan potensi yang ada di dalam dan sekitar komunitas. Kalaupun ada bantuan dari luar komunitas (misalnya dari pemerintah, lembaga donor, atau LSM), sebaiknya jangan berbentuk sumbangan cuma-cuma (charity), melainkan berupa pancingan/stimulan bagi peningkatan kesadaran akan potensi sendiri serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan potensi tersebut. Bantuan dalam bentuk uang tidak boleh terlalu besar (karena akan ’memanjakan’). Tetapi juga jangan terlalu kecil (karena bisa tidak efektif dalam upaya mengangkat komunitas dari lingkaran kemiskinan). Besaran yang ’pas’ akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi setiap komunitas nelayan dan mungkin tidak bisa disama ratakan.
Eliminasi faktor pendorong dan penekan (push-pull factor) buruknya kondisi sosial ekonomi nelayan yang dilakukan berbagai pihak harus menempatkan komunitas nelayan sebagai subyek dan obyek pembangunan. Dalam hal ini, nelayan dirangsang supaya kreatif untuk menemukan strategi taktis untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Selain itu, kecenderungan nelayan yang hanya mengandalkan laki-laki menjadi pemeran utama dalam struktur produksi masyarakat pantai yang berkarakter out door dan padat karya harus diimbangi dengan pemberdayaan perempuan menambah penghasilan keluarga di berbagai bidang pekerjaan kodrati (Sitorus, 2005).
Berkaitan dengan usulan konstruktif ini, dapat dirujuk hasil penelitian Kusnadi (1997:71) yang membuktikan bahwa strategi diversifikasi pekerjaan yang dilakukan oleh nelayan di pantai Utara jawa, ternyata dapat meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat pantai karena semakin beragamnya sumber-sumber pendapatan dan akses ke sumber daya ekonomi yang luas dan fleksibel.
Hal senada ditemukan dari penelitian Sitorus (1997), dimana semakin luas bidang pekerjaan yang tersedia dalam struktur produksi yang dapat dimasuki oleh perempuan seiring dengan modernisasi dan sosialisasi pergerakan kemitra sejajaran gender. Diversifikasi mata pencaharian merupakan salah satu pilihan, yang dapat dilakukan di masa paceklik (angin barat), ataupun berlangsung dengan melibatkan anggota keluarga. Untuk nelayan yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini, sebagian besar ibu rumah tangga terlibat dalam pekerjaan pasca-tangkap diantaranya kegiatan menjemur ikan, merebus, mengasin, dan melakukan pengepakan paket ikan asin. Selain itu, para wanita nelayan tersebut juga ada yang bertani, beternak ayam, berjualan ke desa-desa lainnya, merajut jaring, mencari kerang-kerangan dan jamur laut, serta membudidayakan rumput laut. Sedangkan anggota keluarga lainnya yang telah dewasa, terlibat dalam perbaikan dan pembuatan kapal, bertani dan mengikuti bisnis transportasi darat, serta buruh nelayan. Dalam konteks ini, temuan Sitorus menunjukkan bahwa implikasi dari peranan perempuan yang bekerja secara nyata mampu meningkatkan daya tahan ekonomi keluarga nelayan, tetapi tidak terdapat perubahan posisi di mana penghargaan yang diterimanya dari lawan jenisnya tetap menempatkannya dalam struktur yang sama dalam masyarakat pantai.
Desa X yang dijadikan lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kecamatan X Kota X. Desa X merupakan sebagian kecil dari wilayah pesisir di Kota X, dimana Kota X ini hampir 40 % dari luas wilayahnya terdiri dari wilayah pesisir, yang merupakan kantong-kantong kemiskinan.
Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian terdahulu (Kusnadi, Sitorus) di lokasi yang berbeda, didapatkan gambaran kehidupan ekonomi sosial masyarakat nelayan di Desa X juga dalam kondisi kemiskinan, dimana terlihat rumahrumah yang sangat sederhana dan perabotan seadanya. Sebagian besar ibu rumah tangga terlihat beraktifitas dalam pekerjaan menjemur, merebus dan mengasinkan ikan, mencari kerang, merajut jaring dan berbagai pekerjaan sambilan lainnya, mereka dengan segala kesadaran penuh melakukan pekerjaan ini untuk dapat membantu menunjang kebutuhan ekonomi sosial rumah tangganya. Ibu rumah tangga nelayan harus pandai-pandai menyiasati bagaimana caranya agar sebagian kebutuhan hidup rumah tangganya bisa terakomodir.
Melihat lokasi Desa yang berada sangat dekat dengan pusat kota dan terlebih lagi di Kota X maka kondisi kehidupan ekonomi sosial masyarakat nelayan di Desa X terlihat sangat kontras dengan masyarakat di Desa lain dan hal ini menimbulkan kesenjangan sosial. Di desa tersebut juga tersedia sarana pasar ikan dan pasar sayur, Pusat Pelelengan Ikan (PPI) dan di Desa sebelahnya yaitu Desa Pusong Lama terdapat sarana Tempat Pendaratan Ikan (TPI) dan dengan tersedianya sarana dan prasarana ini seharusnya masyarakat nelayan di Desa X bisa bangkit dari kemiskinan.
Dan untuk komunitas masyarakat nelayan, dimana ibu rumah tangganya lebih banyak melewatkan waktu di darat, strategi ini harus menjadi bahan pemikiran Pemerintah Daerah.

1.2. Perumusan Masalah
Sesuai topik di atas, maka yang menjadi ruang lingkup masalah dalam kajian ini adalah bagaimanakah strategi yang harus ditempuh untuk dapat memberdayakan sosial ekonomi masyarakat nelayan di Kota X dengan partisipasi ibu rumah tangga?.

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk merumuskan strategi yang harus ditempuh untuk dapat memberdayakan sosial ekonomi masyarakat nelayan di Kota X dengan partisipasi ibu rumah tangga agar pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi rumah tangga nelayan tidak mengalami hambatan dan ibu rumah tangga mengambil peranan yang cukup besar sehingga penghidupan masyarakat nelayan di Desa X khususnya dan di Kota X pada umumnya menjadi semakin lebih baik.
2. Untuk dapat lebih memperhitungkan posisi perempuan pesisir sebagai subjek (pelaku utama) pemberdayaan dan diperlakuan sebagai modal sosial pembangunan masyarakat pesisir agar kesejahteraan masyarakat pesisir semakin meningkat, khususnya nelayan di Desa X.

1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Dapat dijadikan sebagai langkah awal analisa tentang strategi pemberdayaan masyarakat nelayan di Kota X melalui peranan ibu rumah tangga dalam kegiatan sosial ekonomi lokal sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangganya.
2. Dapat menjadi rekomendasi bagi perencanaan di masa yang akan datang, sebagai dasar penajaman program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat nelayan di Kota X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:24:00

Tesis Hubungan Pendidikan Dan Pelatihan Terhadap Kompetensi Pegawai Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kota X

(Kode STUDPEMBX0011) : Tesis Hubungan Pendidikan Dan Pelatihan Terhadap Kompetensi Pegawai Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Era Globalisasi, yang ditandai antara lain dengan adanya percepatan arus informasi menuntut adanya sumber daya manusia yang mampu menganalisa informasi dan mengambil keputusan dengan cepat dan akurat. Kemampuan tersebut dapat diperoleh dari sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, serta sikap yang sesuai dengan tuntutan tugasnya. Sumber daya manusia dengan karakteristik tersebut akan memberi dukungan yang optimal terhadap keberhasilan sebuah organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tuntutan masyarakat terhadap penyelenggara kepemerintahan yang baik (good governance), telah menjadi fenomena tersendiri yang harus dipenuhi oleh organisasi pemerintah. UNDP menentukan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktik penyelenggara kepemerintahan yang baik meliputi partisipasi (participation), aturan hukum (rule of law), transparansi (transparency), daya tanggap (responsiveness), memiliki orientasi pada concensus (concensus orientation), berkeadilan (equity), efektifitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency), akuntabilitas (accountability), bervisi strategi (stategy vision), serta adanya saling keterkaitan (interrelated). Tuntutan masyarakat tersebut hanya dapat diwujudkan dangan adanya dukungan dari sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi.
Sejalan dengan pernyataan di atas, Dinas Pendidikan Kota X Propinsi X mempunyai tugas dan fungsi dalam melaksanakan sebagian tugas pokok pemerintahan dan pembangunan dalam bidang pendidikan. Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, maka Dinas Pendidikan harus memiliki tenga ahli di bidang administrasi, keuangan, perencanaan program, tata kearsipan dan lain-lain. Fungsi penyuluhan pendidikan, pelayanan pendidikan dan bantuan pendidikan menuntut tersedianya tenaga-tenaga penyuluh pendidikan yang handal, pegawai yang mengerti tentang pembangunan pendidikan serta pegawai yang memiliki keahlian penyusunan program-program pembangunan pendidikan, hak kekayaan intelektual dan lain-lain. Fungsi pelayanan kemasyarakatan hanya dapat dilaksanakan dengan optimal apabila pada Dinas Pendidikan tersedia pegawai yang ahli dalam perawatan, pembinaan dan pembimbingan tenaga pendidikan dan ahli dalam mengelola program-program pendidikan.
Sebagai sebuah organisasi yang mempunyai tugas memberikan pelayanan terhadap masyarakat, dinas pendidikan haruslah mampu mengelola sumber daya manusia agar dapat memberikan hasil terbaik dalam hal memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi kondisi Pegawai Dinas Pendidikan pada saat ini ternyata masih memiliki kekurangan dan kelemahan, antara lain:
1. Kuantitas dan kualitas pegawai belum memadai apabila dilihat dari tugas pokok dan fungsi yang menjadi tanggung jawab pegawai;
2. Masih belum meratanya tingkat kualitas pegawai;
3. Masih minimnya tenaga ahli, seperti, penyuluh pendidikan, pemahaman tentang Hak Kekayaan Intelektual dan lain-lain.
Dengan kondisi sumber daya manusia seperti disebutkan di atas, secara tidak langsung akan dapat berpengaruh terhadap kinerja dinas pendidikan. Oleh karenanya perlu ada upaya agar Pegawai Dinas Pendidikan Kota X dapat dan mampu berfikir kreatif dengan keterbatasan yang ada, menemukan hal-hal yang baru (inovatif), tidak hanya menunggu pekerjaan (proaktif), bekerja sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ditetapkan (sistematik), berdaya guna dan berhasil guna (efektif dan efisien) serta dapat bekerja dengan cepat, tepat, ekonomis dan hasil yang maksimal sepeti dikemukakan oleh Kasim (1998:54): “harus senantiasa melakukan penyeusaian dan harus ada inovasi sesuai kecenderungan perubahan sifat dan hakekat pekerjaan”.
Para pakar pengembang sumber daya manusia dapat berpendapat bahwa manusia dalam organisasi merupakan harta (asset) yang utama sehingga diperlukan pembinaan dan pengembangan untuk menggali potensi yang dimilikinya. Kemampuan organisasi dalam mendayagunakan kompetensi sumber daya manusia yang dimilikinya akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi. Soeling (2003:19) mengutip pendapat Chummings dan Schwab yang menyatakan kompetensi merupakan isu sentral berkenaan dengan aptitudes dan abilities orang dalam pekerjaan. Aptitude adalah kapabilitas seseorang untuk belajar sesuatu, sedangkan abilities mencerminkan kapasitas yang sudah dimiliki seseorang untuk melakukan berbagai tugas yang dibutuhkan pekerjaan tertentu serta mencakup keahlian dan pengetahuan yang relevan.
Peningkatan kompetensi pegawai pada sebuah organisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu diantaranya adalah melalui partisipasi dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan. Pendidikan pegawai adalah sebuah proses pengembangan sumber daya manusia yang bertujuan untuk memperbaiki kinerja. Dalam pendidikan diberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap, sedangkan dalam kegiatan pelatihan bertujuan untuk memperoleh keterampilan agar seorangpegawai mampu meningkatkan kinerjanya dalam organisasi.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap Pegawai Dinas Pendidikan Kota X ditinjau dari pendidikan, pelatihan dan tingkat kompetensi yang dimilikinya dalam rangka memberikan dukungan dalam pelaksanaan tugas memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah
Dengan melihat kondisi sumber daya manusia yang telah dipaparkan di atas dan sejalan dengan tuntutan untuk mengadakan perbaikan serta perubahan yang berlangsung cepat, dibutuhkan pegawai yang berpengetahuan, berpendidikan tinggi, mampu menyesuaikan diri (adaptasi) dengan perubahan dan bidang pekerjaan yang makin kompleks dan berkembang seiring dinamika yang ada, untuk itu penulis mengemukakan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan antara pendidikan terhadap kompetensi Pegawai pada Dinas Pendidikan Kota X Propinsi X dalam pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat?
2. Apakah ada hubungan antara pelatihan terhadap kompetensi Pegawai pada Dinas Pendidikan Kota X Propinsi X dalam pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat?
3. Apakah ada hubungan antara pendidikan dan pelatihan terhadap kompetensi Pegawai pada Dinas Pendidikan Kota X Propinsi X dalam pelaksanaan terhadap masyarakat?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mengetahui apakah ada hubungan antara pendidikan dengan kompetensi pegawai pada Dinas Pendidikan Kota X dalam pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat.
2. Mengetahui apakah ada hubungan antara pelatihan dengan kompetensi pegawai pada Dinas Pendidikan Kota X dalam pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat.
3. Mengetahui apakah ada hubungan antara pendidikan dan pelatihan dengan kompetensi pegawai pada Dinas Pendidikan Kota X dalam pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis sebagai bahan masukan yang didapat dari kajian literatur ilmiah bagi instansi terkait tentang pentingnya peningkatan kompetensi Pegawai Dinas Pendidikan Kota X Propinsi X melalui pendidikan dan pelatihan.
2. Sebagai bahan masukan yang dapat dimanfaatkan oleh penulis selanjutnya untuk dikembangkan dalam penelitian tesis.
3. Menambah wawasan penulis dalam mengembangkan sumber daya manusia.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:24:00

Tesis Analisis Pemberdayaan Dan Kualitas Sumber Daya Aparatur Serta Pengaruhnya Terhadap Efektivitas Organisasi Di Kecamatan X

(Kode STUDPEMBX0009) : Tesis Analisis Pemberdayaan Dan Kualitas Sumber Daya Aparatur Serta Pengaruhnya Terhadap Efektivitas Organisasi Di Kecamatan X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Hadirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah telah membawa nuansa baru dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia. Nuansa baru ini merupakan tuntutan Pemerintah Daerah dan masyarakat yang menginginkan perubahan pada organisasi pemerintahan yang ada di daerah, dengan diberlakukannya otonomi daerah.
Era Otonomi Daerah ini, semua masyarakat menginginkan pemerintahan yang bersih, demokratis, berdaya guna dan berkualitas. Permasalahan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, terutama masyarakat yang berada di daerah-daerah sangat kompleks. Untuk itu Pemerintah Daerah, khususnya aparatur pemerintah daerah mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Karena segala kebijakan-kebijakan pemerintah Daerah yang akan dirumuskan dan diputuskan harus menyangkut kepentingan organisasi dan masyarakat luas. Untuk itu, Pemerintah Daerah harus mampu memberdayakan dan mempunyai sumber daya aparatur daerah yang berkualitas, sehingga implementasi otonomi daerah dapat berjalan sesuai tujuan bersama. Menurut Ndraha (2000:186-187) yang menyatakan bahwa:
“Tujuan otonomi, jika dilihat sebagai berian, otonomi diartikan sebagai cara untuk mengurangi beban pusat, meningkatkan efisiensi memenuhi kebutuhan psikologikal daerah akan self esteem atau self-actualization, atau mendekatkan layanan kepada masyarakat, atau juga muatan politik tertentu. Tetapi jika dilihat sebagai hak, otonomi daerah berfungsi sebagai alat dan cara untuk membuat daerah atau masyarakat mandiri (zelstanding)”.
Efektivitas organisasi pemerintahan daerah yang baik merupakan suatu cara untuk pelaksanaan jalannya pemerintahan yang efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat. Dengan tidak lupa memperhatikan hal-hal yang berkaitan langsung dengan pelayanan, seperti prosedur yang mudah, waktu pelayanan yang efektif dan biaya yang cukup efisien. Menurut Rasyid (2000: 13) bahwa tugas-tugas pokok pemerintahan mencakup tujuh bidang pelayanan yaitu :
1. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar, dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat menggulingkan pemerintahan yang sah melalui cara-cara kekerasan.
2. Memelihara ketertiban dengan mencegah gontok-gontokan diantara warga masyarakat, menjamin agar perubahan apapun yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara damai.
3. Menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada masyarakat tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi keberadaan mereka.
4. Melakukan pekerjaan umum dan memberi pelayanan dalam bidang-bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non-pemerintah, atau yang akan lebih baik jika dikerjakan oleh pemerintah.
5. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial; membantu orang miskin dan memelihara orang-orang cacat, jompo dan anak-anak terlantar, menampung serta menyalurkan para gelandangan ke sektor kegiatan yang produktif, dan semacamnya.
6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas.
7. Menerapkan kebijakan untuk pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Iglesias dalam Kaho (2003:65-66) menyatakan bahwa keberhasilan dari pelaksanaan otonomi daerah ditentukan oleh beberapa faktor yaitu :
1. Resource… Include generally human (e.q. program personnel) as well as non-human components (funding, physical plant and equipment, material, etc); berkaitan dengan kemampuan berbagai sumber daya baik dana, manusia, sarana, perlengkapan dan sebagainya.
2. Structure…This refers to certain stable organizational roles and relationships which are program relevant and either prescribes legally or informally by convention at both; berkaitan dengan peranan dan hubungan organisasional yang berkaitan dengan program.
3. Technology…Refers brodly to knowledge and behavior essentially for the operation of organization and more specifically to knowledge and practices required by or essential to the program itself; berkaitan dengan pengetahuan dan prilaku yang dimiliki badan-badan yang mendukung kegiatan organisasi.
4. Support… Refers to whole range or actual or potentials roles and behavior of persons and entities which tend to promote the attainment of certain organizational goals; menunjuk kepada dukungan secara keseluruhan dari setiap pegawai yang terlibat dalam pencapaian tujuan organisai.
5. Leadership…Is the dominant factor in term of it ability to alter and modify the cretical inputs ; kepemimpinan merupakan faktor yang dominan, yaitu menunjuk kepada kemampuan dalam memanfaatkan masukan secara teknis.
Sedangkan Widodo (2001:71) berpendapat bahwa :
“Dengan memberikan kemampuan dan kemauan perangkat aparatur pemerintah daerah. Hal ini dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, melalui pengalaman, pemberdayaan sumber daya keuangan dan peralatan, pemberdayaan kelembagaan (organisasi) pemerintah daerah, dan pengembangan organisasi ke arah organisasi (lembaga) yang kondusif, responsif dan adaptif”.
Wasistiono (2003:41) mengutarakan bahwa diklat penjenjangan, diklat teknis maupun diklat jangka panjang untuk aparatur pemerintah seringkali lebih menekankan pada aspek administrasi kepemimpinan dan sedikit substansi keilmuan. Hal ini akan membuat kurangnya profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta menurunkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Menurut Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 122 yang berbunyi :
(1). Sekretaris Daerah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
(2). Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan Peraturan perundang-undangan.
(3). Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4). Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya.
Penjelasan pada ayat (4) yang dimaksud dengan “pembina” pegawai negeri sipil dalam ketentuan ini adalah pelaksana pengembangan profesionalisme dan karier pegawai negeri sipil di daerah dalam rangka peningkatan kinerja. Berikut ini data jumlah seluruh pegawai negeri sipil yang terdiri dari PNS Fungsional Guru, PNS Fungsional Paramedis dan PNS Non Fungsional dalam lingkungan Pemerintah Kota X :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Berdasarkan pengamatan awal Penulis dapat diketahui bahwa kondisi aparatur dilingkungan Pemerintah Kota X masih perlu diberdayakan secara optimal. Hal ini mengingat dari data awal yang didapatkan bahwa masih banyak aparatur daerah dilingkungan Pemerintah Kota X yang belum mengikuti Diklat Jabatan Struktural, sebagaimana dilihat pada tabel berikut ini :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar aparatur daerah yang telah menduduki jabatan belum mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai jabatan atau tugas yang diembannya.
Penyelenggaraan otonomi daerah perlu diarahkan agar tercipta aparatur yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas-tugasnya. Aparatur pemerintah daerah dituntut untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya agar lebih efektif, efisien, responsif, adaptif dan produktif, sekaligus mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada, baik yang meliputi dimensi organisasi, dimensi sumber daya manusia, serta dimensi manajemen/tata laksana. Untuk mengetahui indikator kinerja dengan sasaran terciptanya aparatur pemeintah yang bermoral dan profesional guna peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kepada masyarakat sebagai mana terlihat pada tabel berikut:

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Sasaran terciptanya aparatur pemerintah yang bermoral dan profesional belum berhasil, hal ini dapat dilihat dari capaian indikator kinerja antara 46,67% s.d 99,61%, sehingga peningkatan pelayanan secara efektif dan efisien kepada masyarakat belum tercapai.

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Pada tabel 4 di atas kita dapat melihat produktivitas Pemerintah Kota X dalam peningkatan kualitas pendidikan masyarakat sebagai pemenuhan dasar kebutuhan masyarakat sesuai dengan tujuan diberikannya otonomi daerah belum tercapai. Hal ini dapat dilihat dari indikator kinerja dengan sasaran meningkatkan pendidikan formal sekolah dan peningkatan pendidikan informal atau pendidikan luar sekolah pada tabel berikut:
Jika dilihat dari produktivitas Pemerintah Kota X dalam penyediaan dan pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar juga belum mencapai hasil yang optimal. Hal ini dapat diketahui dari indikator kinerja dengan sasaran “Peningkatan Kualitas Derajat Kesehatan Masyarakat” pada tabel berikut :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Sasaran meningkatnya kualitas derajat kesehatan masyarakat belum berhasil, hal ini dapat dilihat dari capaian indikator kinerja berkisar antara 0% s.d 100%, yaitu:
1. Masih belum optimalnya akses pelayanan kesehatan masyarakat baik di rumah sakit pemerintah maupun di puskesmas.
2. Masih belum lengkapnya alat-alat medis sesuai standar.
3. Masih belum terpenuhinya obat-obatan dasar di puskesmas.
4. Masih belum memadainya jumlah dokter.

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa fasilitas yang ada belum mampu melayani masyarakat yang menempati 27 Kelurahan. Dari data awal yang didapat jumlah Penduduk Kota X 135.671 jiwa, sedangkan jumlah dokter yang melayani seluruh masyarakat Kota X adalah 56 orang dari berbagai macam spesialis. Jadi ratio antara dokter dan masyarakat adalah 1 : 2.423. Maksudnya adalah 1 (satu) orang dokter harus melayani 2.423 masyarakat Kota X. Hal ini mengakibatkan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah daerah belum berjalan efektif dan optimal. Adapun jumlah dokter yang melayani masyarakat Kota X dapat dilihat dalam tabel berikut :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Pemerintah Kota X masih memiliki ketergantungan terhadap bantuan dana dari Pemerintah Pusat untuk biaya pembangunan Kota X yang terdiri dari belanja publik dan belanja aparatur sebagaimana pada tabel berikut ini:

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Dilihat dari tabel di atas, belanja aparatur lebih besar yaitu Rp.102.852.305.321 atau 54,86% dibandingkan dengan belanja publik sebesar Rp.67.076.386.633 atau 45,14% sehingga anggaran yang ada masih lebih besar untuk membiayai rutinitas kegiatan pegawai daripada pembangunan untuk masyarakat.
Berdasarkan data sekunder yang ada, fenomena yang terjadi dalam penyelenggaraan otonomi daerah Kota X memiliki mekanisme penyelenggaraan administrasi pemerintahan daerah berkarakteristik organisasi mekanitis yang mempunyai dampak operasional berupa birokrasi yang berlebihan (birokratis), banyaknya keluhan baik dari aparatur sendiri maupun masyarakat yang meminta pelayanan, kurangnya pemberdayaaan aparatur daerah dalam menciptakan profesionalitas bekerja, rendahnya kualitas sumber daya aparatur dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dan produktivitas kerja aparatur yang belum optimal.
Berdasarkan pengamatan di atas, penulis tertarik untuk meneliti pemberdayaan dan kualitas sumber daya aparatur serta pengaruhnya terhadap efektivitas organisasi di lingkungan Pemerintah Kota X khususnya di Kecamatan X.

1.2. Permasalahan
1.2.1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka masalah-masalah yang terjadi di lapangan dapat diidentifikasi sebagai berikut ;
1. Kinerja aparatur pemerintah daerah yang masih belum optimal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, baik terhadap masyarakat maupun penyelenggaraan pemerintahan.
2. Masih rendahnya kompetensi aparatur yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya.
3. Masih rendahnya kualitas sumber daya aparatur dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
4. Masih kurang diberdayakannya aparatur pemerintah daerah baik dalam pendelegasian wewenang, pemberian tanggung jawab maupun pengambilan keputusan.
5. Fasilitas kerja, sarana dan prasarana masih kurang memadai dalam mendukung pelaksanaan tugas aparatur.
6. Produktivitas kerja aparatur yang masih belum optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7. Masih belum efektif dan efisiennya penyelenggaraan pemerintahan daerah.

1.2.2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka masalah yang diajukan di batasi pada pemberdayaan dan kualitas sumber daya aparatur serta pengaruhnya terhadap efektivitas organisasi di lingkungan Pemerintah Kecamatan X.

1.2.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka research question yang diajukan untuk memperjelas pembahasan masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana pemberdayaan aparatur pemerintah daerah di Kecamatan X?
b. Bagaimana kualitas sumber daya aparatur pemerintah daerah di Kecamatan X?
c. Bagaimana pengaruh antara pemberdayaan aparatur pemerintah daerah dan kualitas sumber daya aparatur pemerintah daerah terhadap efektivitas organisasi di Kecamatan X?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
Adapun maksud dari penelitian yang dilakukan adalah untuk memperoleh gambaran tentang besarnya pemberdayaan dan kualitas sumber daya aparatur serta pengaruhnya terhadap efektivitas organisasi di lingkungan Pemerintah Kecamatan X.
1.3.2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis besarnya pemberdayaan aparatur pemerintah daerah di Kecamatan X.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis besarnya kualitas sumber daya aparatur pemerintah daerah di Kecamatan X.
c. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh antara pemberdayaan aparatur pemerintah daerah dan kualitas sumber daya aparatur pemerintah daerah terhadap efektivitas organisasi di lingkungan Pemerintah Kecamatan X.

1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaaan Teoritis
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara konseptual dan pratikal dalam pengembangan konsep ilmu pemerintahan.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan pertimbangan bagi Pemerintah Kota X pada umumnya dan Kecamatan X pada khususnya.

1.5. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disajikan dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi latar belakang msaalah penelitian, pembatasan masalah, perumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti.
BAB III : METODE PENELITIAN
Berisi metode/teknik penelitian, variable penelitian, operasionalisasi variable, populasi dan sample, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisikan gambaran umum mengenai lokasi, dimana peneliti melakukan penelitian, dan juga berisi tentang uraian data yang diperoleh dalam penelitian beserta analisisnya.
BAB V : PENUTUP
Berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:23:00

Tesis Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Dan Faktor-Faktor Manajerial Yang Mempengaruhinya Di Kota X

(Kode STUDPEMBX0007) : Tesis Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Dan Faktor-Faktor Manajerial Yang Mempengaruhinya Di Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pelayanan menjadi suatu hal yang sangat penting untuk kita telusuri perkembangannya mengingat dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Berlakunya peraturan tersebut akan mengakibatkan interaksi antara aparat Daerah dan masyarakat menjadi lebih intens. Hal ini ditambah dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi dan pengakuan akan hak-hak asasi manusia akan melahirkan tuntutan terhadap manajemen pelayanan yang berkualitas.
Peran pemerintah Daerah dalam pelayanan perizinan mungkin yang terbesar dalam pengertian interaksinya secara langsung dengan masyarakat sebagai penyedia pelayanan. Kepentingan pemerintah Daerah terhadap pelayanan perizinan mempengaruhi pendapatan dan iklim investasi Daerah. Kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi serta penerbitan izin menurut undang-undang dan peraturan yang berlaku. Namun untuk mencegah terjadinya pungutan pajak dan retribusi yang berlebihan serta perizinan yang menghambat telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah.
Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public services) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Pelayanan dan jasa publik bahkan dimulai sejak seseorang dalam kandungan ketika diperiksa oleh dokter pemerintah atau dokter yang dididik di universitas negeri, mengurus akta kelahiran, menempuh pendidikan di universitas negeri, menikmati bahan makanan yang pasarnya dikelola oleh pemerintah, menempati rumah yang disubsidi pemerintah, memperoleh macam-macam perijinan yang berkaitan dengan dunia usaha yang digelutinya hingga seseorang meninggal dan memerlukan surat pengantar dan surat kematian untuk mendapatkan kapling di tempat pemakaman umum (TPU).
Luasnya ruang lingkup pelayanan dan jasa publik cenderung sangat tergantung kepada ideologi dan sistem ekonomi suatu negara. Negara-negara yang menyatakan diri sebagai negara sosialis cenderung memiliki ruang lingkup pelayanan lebih luas dibandingkan negara-negara kapitalis. Tetapi luasnya cakupan pelayanan dan jasa-jasa publik tidak identik dengan kualitas pelayanan itu sendiri. Karena pelayanan dan jasa publik merupakan suatu cara pengalokasian sumber daya melalui mekanisme politik, bukannya lewat pasar, maka kualitas pelayanan itu sangat tergantung kepada kualitas demokrasi. Konsekuensi dari hal ini adalah negara-negara yang pilar-pilar demokrasinya tidak bekerja secara optimal tidak memungkinkan pencapaian kualitas pelayanan perizinan yang lebih baik. Bahkan sebaliknya, pelayanan perizinan tanpa proses politik yang demokratis cenderung membuka ruang bagi praktek-praktek korupsi.
Sebagai bagian dari sistem kenegaraan dengan konstitusi yang pekat dengan norma keadilan, ekonomi Indonesia dicirikan oleh ruang lingkup pelayanan yang sangat luas. Sayangnya, pelayanan yang menyentuh hampir setiap sudut kehidupan masyarakat tidak ditopang oleh mekanisme pengambilan keputusan yang terbuka serta proses politik yang demokratis. Karena itu tidak mengherankan jika pelayanan publik di Indonesia memiliki ciri yang cenderung korup, apalagi yang berkaitan dengan pengadaan produk-produk pelayanan yang bersifat perizinan dan lain-lain.
Kendati mungkin fenomena korupsi yang berkaitan dengan jenis-jenis produk tadi hanya melibatkan biaya transaksi (antara sektor publik dengan individu masyarakat) yang relatif kecil (pretty corruption), tetapi biaya-biaya transaksi tersebut melibatkan porsi populasi yang sangat besar. Karena itu pola korupsi dengan menggunakan instrumen produk-produk pelayanan tersebut bisa jadi memiliki dampak yang sangat luas.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana meminimalkan biaya-biaya transaksi tersebut? Teramat sulit tentunya menjawab pertanyaan ini, kendati jawabannya merupakan bagian terpenting dari strategi pemberantasan korupsi di sektor publik. Karena itu kajian mengenai mekanisme pelayanan perizinan, berikut biaya-biaya transaksinya menjadi elemen penting dari strategi pemberantasan korupsi.
Sejalan dengan itu, prinsip market oriented organisasi pemerintahan harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah (aparatur) harus mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat. Demikian juga prinsip catalitic government, mengandung pengertian bahwa aparatur pemerintah harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan masyarakat. Dalam konteks ini, fungsi pemerintah lebih dititikberatkan sebagai regulator dibanding implementator atau aktor pelayanan. Sebagai imbangannya, pemerintah perlu memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat sendiri sebagai penyedia atau pelaksanaan jasa pelayanan umum. Dengan kata lain, tugas pemerintah adalah membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri (helping people to help themselves). Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan prinsip self-help atau steering rather than rowing.
Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) sebagai institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan perizinan langsung kepada masyarakat, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen pemerintahan di Daerah khususnya di Kota X. Artinya, pembentukan organisasi ini hendaknya memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum. Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) ini telah menghayati makna teori Reinventing Government.
Oleh karena itu, inovasi pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) ini perlu dikembangkan lagi dengan penemuan-penemuan baru dalam praktek manajemen pemerintahan di Daerah. Salah satu peluang yang dapat dikembangkan dalam hal ini adalah penyediaan jasa-jasa pelayanan kedalam beberapa alternatif kualitas. Jenis pelayanan yang secara kualitatif lebih baik dapat dikenakan biaya yang agak mahal, sementara jasa pelayanan standar dikenakan biaya atau tarif yang standar pula. Pemasukan dari jenis pelayanan yang relatif mahal, akan dapat dipergunakan untuk membiayai pelayanan yang lebih murah, melalui mekanisme subsidi silang (cross subsidi). Dengan cara demikian, diharapkan institusi dapat membiayai sendiri kebutuhan operasionalnya, dengan tidak mengorbankan fungsi pelayanan yang menjadi tugas utamanya.
Selain itu, fenomena di atas juga menunjukkan bahwa masyarakat yang belum terlayani masih lebih besar dibandingkan masyarakat yang sudah terlayani. Kenyataan tersebut disebabkan selain karena faktor geografis juga oleh lemahnya pelayanan oleh petugas baik secara administratif maupun teknis. Untuk itu Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) sebagai organisasi pelaksana harus meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan, karena pada hakikatnya kualitas ditentukan hanya oleh pelanggan (Coupet dalam Osborne dan Gaebler, 1992).
Kenyataan tersebut tidak saja disebabkan oleh berbagai hambatan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan masih ada hal lain yang menjadi penyebabnya, seperti dalam memberikan pelayanan perizinan tidak diikuti oleh peningkatan kualitas birokrasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kita semua menyadari pelayanan perizinan selama ini sangat sulit untuk memahami pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan itu bisa diperolehnya. Begitu pula dengan harga pelayanan. Harga bisa berbeda-beda tergantung pada banyak faktor yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh para pengguna jasa. Baik harga ataupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau oleh masyarakat sehingga banyak orang yang kemudian malas berurusan dengan birokrasi publik.
Dari uraian diatas telah disebutkan bahwa keberadaan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) secara empirik telah berhasil mendongkrak efisiensi dan produktivitas pelayanan perizinan. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa fungsi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) sesungguhnya tidak lebih sebagai penyelenggara pelayanan perizinan. Pada dasarnya penulisan tentang kualitas pelayanan perizinan ini penting untuk dilakukan, dikarenakan masyarakat sebagai customer service belum merasa puas baik dari segi waktu, biaya dan mutu pelayanan yang selama ini diberikan. Untuk itu penulisan ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan perizinan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X.
Tatalaksana pelayanan publik yang dilaksanakan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X meliputi:
1. Surat Izin Tempat Usaha (SITU)
2. Izin Gangguan (HO)
3. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
4. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
5. Tanda Daftar Gudang (TDG)
6. Tanda Daftar Industri (TDI)
7. Izin Perluasan Usaha Industri (IPUI)
8. Izin Usaha Industri (IUI)
9. Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)
10. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
11. Izin Penyelenggaraan Reklame
12. Izin Usaha Pertambangan Bahan Galian C
13. Izin Penyelenggaraan Wisata
14. Izin Apotek
15. Izin Toko Obat
16. Izin Bidan/Perawat
17. Izin Praktek Fisioterapi
18. Pendaftaran Pengobatan Tradisional/Alternatif
19. Pendaftaran Pabrik Obat Tradisional
20. Izin Pusat Kebugaran
21. Rekomendasi Rumah Sakit Swasta
22. Izin Penyelenggaraan Rumah Bersalin
23. Izin Praktek Tukang Gigi
24. Izin Optik
25. Izin Penangkapan Ikan
26. Izin Pembudidayaan Ikan
27. Izin Penyimpanan/Penampungan/Pengolahan/Pengawetan Ikan
28. Izin Pengangkutan dan Pemasaran Ikan
29. Izin Penggunaan Kapal Perikanan
30. Izin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum
31. Izin Usaha Salon Kecantikan
32. Izin Usaha Hotel
33. Izin Rumah Potong Hewan.
Total jenis izin yang ditangani adalah 33 (tiga puluh tiga) jenis pelayanan yang telah dikoordinasikan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X ini, pelaksanaannya tetap dikoordinasikan dengan unit kerja pengelolanya masing-masing. Hal yang berkaitan dengan persyaratan, mekanisme dan tata cara, jangka waktu penyelesaian dan biaya yang diperlukan, telah diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota X.
Dalam pengelolaan naskah dinas berupa surat masuk dan keluar yang menjadi urusan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X mengikuti prinsip satu pintu, yaitu berpusat pada Tata Usaha (TU) Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X.
Namun, dalam perjalanannya masih banyak dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Berbagai cerita atau pengalaman dari masyarakat sebagai pengguna dari pelayanan perizinan yang mengeluhkan terhadap pelayanan yang telah diberikan oleh Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X tersebut. Sudah sejak lama masyarakat mengeluh terhadap penyelenggaraan pelayanan perizinan yang dirasakannya amat jauh dari harapannya. Tetapi sejauh ini ternyata tidak ada perbaikan yang berarti dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan pelayanan perizinan ternyata masih jauh dari kenyataan.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka perubahan kelembagaan pelayanan perizinan yang terpisah menjadi terintegrasi (satu pintu) dan tergolong baru di Kota X menuntut penulusuran lebih jauh tentang apakah pelayanan perizinan satu pintu telah sesuai dengan harapan masyarakat. Meskipun masih baru masyarakat tidak mau tahu, yang prioritas bagi masyarakat adalah adanya peningkatan pelayanan yang lebih baik dibanding sebelumnya. Pelayanan perizinan terpadu menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan lagi bagi pemerintah kabupaten dan kota yang ingin memperbaiki kualitas tata pemerintahan terutama bidang perekonomian.
Model perizinan terpadu (perdu) merupakan pengembangan dari pendekatan satu atap (sintap). Perdu pada dasarnya merupakan suatu model sintap yang dikembangkan terutama dari aspek cara memproses perizinan bersama-sama dengan lain, tergantung garis kewenangan dan kebutuhan tiap-tiap daerah adalah tanggung jawab bersama semua instansi yang berkaitan dengan perizinan. Instansi penyedia layanan haruslah ditentukan terlebih dahulu dan dilaksanakan secara konsisten. Sebaiknya, keputusan tentang pembentukan perdu ini tidak dibuat oleh instansi penyedia layanan. Tetapi haruslah diambil oleh Kepala Daerah dan atau persetujuan DPRK. Hal ini sangat penting untuk mencegah adanya konflik diantara penyedia layanan. Kecendrungan seperti ini pada akhirnya akan menimbulkan biaya tinggi dalam proses perizinan. Namun proses panjang dan costly ini tidak berarti bahwa model perdu ini tidak efektif. Efektivitas model ini tergantung pada kualitas pelayanan yang diberikan dan sinergi diantara perdu dengan instansi penyedia pelayanan terkait lainnya.
Alasan teoritisnya dengan perubahan kelembagaan pelayanan perizinan menurut perkembangan teori-teori pelayanan publik adalah dari teori-teori pelayanan publik konvensional ke teori-teori pelayanan publik yang baru. Oleh karena itu, desakan terhadap informasi apakah pelayanan perizinan di KPPTSP tersebut sudah sesuai dengan paradigma baru dalam upaya mentransformasi birokrasi yang kaku, hirarkis, birokratis bentuk adminsitrasi publiknya menjadi suatu birokrasi yang fleksibel dan berorientasi pasar (pengguna jasa/pelanggan) sebagai bentuk manajemen publiknya menjadi relevan untuk segera diketahui. Adapun perumusan masalah yaitu Bagaimana Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan faktor-faktor manajerial yang mempengaruhinya di Kota X ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah diuraikan diatas, penulis dalam melaksanakan penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan faktor-faktor manajerial yang mempengaruhinya di Kota X.
Sedangkan Manfaat penelitian adalah:
1. Secara teoritis penulisan ini diharapkan mampu meningkatkan penguasaan teori-teori yang relevan dan pemahaman atas sejauhmana permasalahan yang diteliti serta penguasaan konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan topik yang di teliti yaitu pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan perizinan pada kantor tersebut.
2. Secara praktis penulisan ini diharapkan mampu memberi sumbangan pemikiran atau bahan masukan bagi aparat Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:22:00

Tesis Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota X)

(Kode STUDPEMBX0008) : Tesis Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kebutuhan akan pemerintahan yang efektif adalah suatu keniscayaan bagi tiap masyarakat/negara, apapun model, bentuk negara dan ideologi yang diadopsi dan bagaimanapun cara mereka memandang sejauh mana batas keterlibatan atau peran pemerintah dalam menangani urusan-urusan rakyatnya, terutama untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat.
Dalam kacamata pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan, cara pandang perspektif institusional (institutional perspective), yang berupaya untuk memobilisir berbagai institusi sosial termasuk pasar, masyarakat dan pemerintah/negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, manempatkan peran pemerintah di jajaran terdepan. Posisi pemerintah yang memiliki peran yang besar tersebut juga semakin menunjukkan urgensi terhadap pemerintah yang efektif baik dalam memobilisir berbagai institusi sosial maupun menjalankan fungsi utamanya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Loughlin, pemerintahan yang efektif dalam wacana politik dan pemerintahan dicirikan salah satunya adalah bersifat desentralistik, bukan yang sentralistik berlebihan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran bahwa sentralisasi kekuasaan cenderung akan menimbulkan tirani. Maka di sini dibutuhkan adanya pemerintahan daerah (berdasar azas desentralisasi) yang juga berperan sebagai alat untuk mengakomodasikan pluralitas di dalam suatu negara modern.
Keberadaan/pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi pada hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintahan (Sarundajang, 2001:5). Dalam konteks pelayanan sebagai salah satu fungsi hakiki pemerintahan, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik juga menjadi lebih efektif dan efisien. Hal ini menurut Rondinelli dalam Kurniawan dapat terjadi terutama karena melalui otonomi terjadi optimalisasi hirarkhi dalam penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh institusi yang merniliki kedudukan lebih dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat; juga karena adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal sehingga alokasi anggaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya.
Kondisi ideal tersebut tampaknya masih cukup sulit untuk diwujudkan di Indonesia karena sejumlah alasan. Salah satu determinan yang menjadi sorotan oleh berbagai kalangan adalah bahwa birokrasi peninggalan orde baru yang cenderung lemah dan lamban, akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kondisi yang demikian, maksud penyelenggaran otonomi daerah (penyediaan pelayanan yang efektif dan efisien. serta pemerintahan yang efisien, inovatif) yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat tentu akan sukar dicapai.

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Angka tersebut di atas tergolong cukup tinggi dan mengkhawatirkan, mengingat masalah pendidikan adalah unsur yang sangat menentukan kemajuan bangsa di samping sebagai salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan tentunya. ironisnya hal tersebut masih terjadi, padahal sejak tahun 2003 melalui UU SPN (Sistem Pendidikan Nasional) No 20/2003 sudah ditetapkan alokasi dana minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Kenyataannya hal itu belum terpenuhi di tingkat nasional dan juga di daerah-daerah.
Ketidakmampuan tersebut di atas, sebabnya cukup beragam untuk masing masing daerah. Ada yang memang karena kemampuan daerah yang sangat minim, tapi tidak jarang pula karena faktor birokrasi pemerintahannya yang bermasalah. Daerah tersebut sebenarnya punya kemampuan (karena kekayaan sumber daya alamnya misalnya), tetapi karena kesalahan skala prioritas (dengan melaksanakan program mercusuar, rumah dinas yang mewah dll), inefisiensi, korupsi dan lain sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Lusk sebagai penghalang upaya-upaya pembangunan sosial dengan merujuk pada kondisi inefisiensi birokrasi (bureaucratic inefficiency), peraturan/perundang-undangan yang berbelit-belit (complex rules and regulations) dan korupsi pemerintahan (political corruption) di Amerika Latin.
Problem yang dihadapi di negeri ini dapat dikatakan relatif sama. Birokrasi Indonesia dan negara-negara berkembang saat ini oleh Prasojo digambarkan sebagai sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif dan tidak sensitif terhadap publik. Islamy menilai birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat negara patrimonialistik tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing). tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum. tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Penilaian lain juga mengungkapkan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah "parkinsonian" dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi dan kebutuhan, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokrasi "orwellian" yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.
Seorang konsultan manajemen organisasi bisnis dan publik sempat mengamati perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan) di salah satu propinsi kawasan Indonesia Timur. Sebagian pegawai datang pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian pergi ke warung kopi sampai pukul satu, kemudian kembali ke kantor dan pukul dua ia sudah menghilang. Ketika berdialog dengan pimpinan mereka, sang Gubernur langsung mengeluhkan "saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi di tempat saya, bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada filsafat "kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat" katanya. Dalam kondisi yang seperti ini, berbicara peningkatan produktivitas kerja, pelayanan prima akan terkesan terlalu dini.
Berbagai "penyakit' pun seakan tak pernah lekang dari tubuh birokrasi. Fenomena ini belakangan sering disebut dengan istilah patologi birokrasi (penyakit birokrasi). Siagian mencirikan kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku birokrasi dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan. tindakan melanggar hukum keperilakuan, dan adanya situasi internal. Kategorisasi yang terdiri dari 5 poin itu, bila dirinci bisa melahirkan puluhan penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, mempertahankan status quo, penipuan, tidak peduli kritik/saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, kurangnya komitmen, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi. Kurangnya visi yang imajinatif, nepotisme. patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme, xenophobia, ketidakmampuan belajar dan berkembang, pura-pura sibuk, cara kerja legalistik, tidak disiplin dan pertentangan kepentingan, kurangnya prakarsa, ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, penggemukan pembiayaan, korupsi kontrak fiktif, bertindak sewenang-wenang. kaku, tidak peka, tidak peduli mutu kinerja, tanggung jawab rendah, kerja berbelit-belit, kerja asal jadi, tidak profesionaI, pemborosan, ketidak tepatan sasaran dan tujuan, pengangguran terselubung, terlalu banyak pegawai, sarana dan prasarana yang tidak tepat, dan masih banyak jenis penyakit birokrasi lainnya (Siagian, 1994:35-145).
Munculnya ekonomi biaya tinggi, yang membuat rakyat terbebani. Juga dituduh bertanggung jawab dalam munculnya "mentalitas birokrasi" yang diidentikkan dengan pola perilaku 4-D: duduk, datang, diam dan (dapat) duit. Bahkan birokrasi juga dituduh sebagai penyebab menyebarnya kultur negatif, aji mumpung, korupsi dan sebagainya. Pada birokrasi melekat stigma kaku, reaktif, inefisien. Jauh dari bayangan ideal Weber tiga abad silam, yang sampai abad keduapuluh birokrasi dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang bisa mengatur mekanisme pemerintahan secara efisien.
Keburukan birokrasi memang sudah begitu jelasnya dan telah menjadi gejala yang sangat merata. Mempersoalkannya tidak lagi dirasakan sebagai kritik keilmuan dan tidak mesti datang dari seorang pakar. Kesan negatif terhadap birokrasi meluas menjadi pemahaman umum bagi masyarakat yaitu bahwa birokrasi adalah representasi organisasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai hirarkhi komando, tidak lagi berjalan baik. Birokrasi menjadi bengkak, boros dan tidak efektif.
Saat ini kesadaran terhadap problem yang melekat pada birokrasi akhirnya mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa harus ada "sesuatu" untuk memperbaiki kebobrokan birokrasi sebagai organisasi publik. Sesuatu itu adalah "perubahan/pembaharuan”. Dalam wacana akademik maupun praktisi muncul istilah-istilah seperti reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi manajemen sektor publik dan lain sebagainya. Walaupun latar belakang lahirnya dan definisi-definisi tersebut tidak sama persis, namun mempunyai titik temu pada upaya pembenahan pengelolaan sektor publik secara lebih baik, lebih profesional.
Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai istilah, misalnya dengan nama “managerialism" oleh Pollitt, "new public management” oleh Hood, "market based public administration" oleh Lan dan Rosenbloom, dan "entrepreneurial government/reinventing government" oleh Osborn dan Gaebler. Apapun istilah yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan "process" menuju ke "product', atau dari "rule governance" menuju ke "goal governance", yang pada pelaksanaannya membutuhkan paradigma baru, inovasi, perubahan struktur, kreativitas, tekad/keberanian, efisiensi tinggi, kecepatan, fleksibelitas, optimisme, kegigihan dan lain sebagainya berupa nilai-nilai yang sebelumnya dianggap hanya milik organisasi bisnis dan para entrepreneur.
Dalam konteks Indonesia, upaya perbaikan citra/pembenahan birokrasi yang telah mengalami "distorsi" memang sudah mulai dilakukan. Reformasi 1998 dan otonomi daerah dalam hal ini menduduki peranan yang strategis. Otonomi daerah di Indonesia dapat dikatakan buah dari reformasi sekaligus salah satu wadah dari reformasi birokrasi. Keberadaan reformasi birokrasi sendiri sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi demi tercapainya apa yang biasa disebut good governance. Arus good governance ini menjadi penting sebagai salah satu aspek reformasi Yang dituntut oleh masyarakat yang memiliki makna mencakup transparansi pengelolaan negara, akuntabilitas terhadap publik dan masyarakat yang partisipatif terhadap kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk dari tata kelola pemerintahan yang baik.
Pelaksanaan otonomi daerah idealnya akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).
Kecenderungan peningkatan kecerdasan masyarakat dan banyaknya tuntutan yang mereka serukan akan menjadi pressure bagi pemerintah. Yang ditujukan tentu adanya optimalisasi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pelayanan publik yang optimal akan mustahil tercapai tanpa adanya organisasi pemerintah daerah yang bekerja secara profesional dan efisien serta memiliki sumber daya aparatur yang memiliki jiwa kewirausahaan. Ini mutlak dibutuhkan mengingat sumber daya terbatas (dana, personal, peralatan) sementara tuntutan akan out put tetap maksimal. Hal ini juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya agar ditengah gelombang tekanan politik (political pressures) domestik maupun luar negeri kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures), pemerintah dan pemerintah daerah bisa terhindar dari keterpurukan dan kebangkrutan.
Hal tersebut memang bukan persoalan mudah. Namun, secara teoritik, salah satu prasyarat penting agar birokrasi pemerintah dapat mendinamisasikan dirinya ialah dengan cara mentransfomasikan diri dari birokrasi yang kaku menjadi organisasi pemerintahan yang strukturnya desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif.
Setelah pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti telah membentuk sistem birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja, jam kerja dan transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini khususnya muncul dalam kasus pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih mudah dan lebih efisien, dan dilakukan dalam satu atap. Pemerintah pusat juga mendorong Pemkab dan Pemko untuk mengembangkan sistem pelayanan satu atap atau Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) untuk tujuan ini. Se!ain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga kerja menghasilkan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab administratif yang lebih besar.
Selama beberapa tahun terakhir ini semenjak diberlakukannya otonomi (mulai dari UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai sekarang setelah keluar UU No. 32/2004), kita mulai melihat adanya nuansa baru dalam praktek pemerintahan di daerah yang menangkap bola otonomi melalui program-program inovatif dan terobosan-terobosan baru yang di era orde baru hampir tidak pernah terdengar. Kita dapat mengetahui sejumlah inovasi program yang telah dan sedang dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah. Sebut saja inovasi program yang dilakukan oleh Pemerintah Pemko Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara dan Tabanan, Pemko Deli Serdang melalui Pembentukan LEPP-M3 (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina) sebagai upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir serta melalui Pengembangan Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Saluran Irigasi yang Partisipatif. Pemko Gianyar melalui Program Gianyar Sejahtera (PGS) dan Pemko Sumba Timur dengan Pelatihan Aparatur Pemerintahan Desa (Apkasi, 2003 dalam Prasojo, Dkk, 2004:2).
Daerah lain yang juga punya prestasi yang tidak kalah menariknya seperti Sragen. Pemko Sragen beberapa waktu sempat memperoleh penghargaan sebagai daerah dengan iklim investasi terbaik se-Jawa Tengah. Predikat iklim investasi terbaik yang disandang oleh Pemko Sragen tidak lepas dari upaya efisiensi birokrasi, kecepatan, kepastian dan faktor keamanan. Upaya Pemerintah Pemko Sragen untuk menarik investasi di antaranya adalah penyediaan informasi daerah. dan pelayanan one stop sevice (OSS), kemudahan, jaminan keamanan dan dukungan sarana prasarana.
Pemko Kudus belakangan juga menjadi sorotan para Walikota-waIikota. Para Walikota tersebut ingin belajar dari Pemko Kudus. Walikota Kudus dengan pola pelayanan izin satu pintunya mampu mendongkrak investasi di daerahnya hingga mencapai 250%. Oleh karenanya, tidak heran bila Walikota Kudus mendapatkan. "Pemuda Award 2005", karena prestasinya di bidang ini.
Hal yang sama juga terjadi di Sragen, Walikota Sragen menempuh pola Yang tak kalah inovatif, memberikan pelayanan tanpa dipungut biaya bagi IKM/UKM pemula. Langkah Walikota Sragen. tersebut bukan tanpa tantangan, karena ia harus menghadapi kepentingan banyak lembaga birokrasi yang sudah mendapat kenyamanan karena eksklusivisme dan egosektoralnya selama ini, dan untuk itu perlu keberanian dan komitmen besar untuk menatanya secara terpadu. Dampaknya pun langsung terlihat, karena dengan pelayanan satu pintunya, Walikota Sragen mampu menumbuhkan wirausahawan baru secara sangat signifikan di daerahnya sampai 700% pada Tahun 2004. Dampak ikutannya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sragen yang signifikan. Maka tak ketinggalan Walikota lain di Jawa Tengah seperti Walikota Wonosobo, Banjarnegara, dan Purbalingga. ikut merevolusi pelayanan publiknya dengan pola yang sama.
Satu lagi daerah yang belakangan ini sering menjadi perbincangan di era otonomi daerah adalah Pemerintah Kota X. Hal ini dikarenakan sejumlah program inovasi yang digulirkan oleh Pemerintah Kota X yang terbukti mampu mengangkat derajat perekonomian dan kehidupan masyarakatnya.
Persoalan yang terjadi selama ini dalam konteks kesejahteraan rakyat adalah kemampuan keuangan atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) suatu daerah yang tinggi tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakatnya. Daerah-daerah yang tergolong "sedang" juga menghadapi problem yang sama., apalagi daerah-daerah yang tergolong" miskin", yang merasa lebih tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakatnya. Hal yang sering terjadi, anggaran dana yang tersedia setiap tahunnya sebagian besar terserap hanya untuk kebutuhan operasional birokrasi pemerintah daerah. Tidak banyak pemerintah daerah yang dapat memberikan pelayanan optimal terhadap hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya dengan alasan tidak tersedianya dana untuk itu. Padahal persoalan yang sesungguhnya bisa jadi bukan pada jumlah dana yang sedikit, tapi bagaimana pengelolaan dana/sumber daya tersebut dapat dilakukan secare efisien.
Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.

1.2. Permasalahan
Dari pemaparan di atas tampak bahwa otonomi telah membawa angin baru dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Persoalan distorsi birokrasi yang sebenarnya adalah masalah klasik sudah seharusnya segera diselesaikan dengan semangat reformasi birokrasi, diiringi optimisme, inovasi, serta keberanian untuk melakukan perubahan.
Otonomi daerah adalah momen yang tepat. Kewenangan luas yang diberikan kepada daerah memberi kesempatan besar untuk melakukan banyak hal, tentu di tengah berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan yang muncul yang merupakan implikasi dari penerapan otonomi itu sendiri.
Daerah-daerah menghadapi keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota X yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah !ain.
Sejauh ini telah diketahui melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya (Prasojo dkk, 2004) bahwa kata kunci keberhasilan berbagai program di atas dari sisi pemerintah daerahnya adalah penerapan pola efisiensi birokrasi secara ketat di segala bidang. Mengingat efisiensi adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan, maka peneliti tertarik untuk mendalami seperti apa strategi efisiensi yang dilakukan dan apa saja kendalanya. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan strategi efisiensi tersebut?
3. Bagaimana peran kebijakan strategi efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat di X?

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, ada tiga tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yakni:
1. Menggambarkan strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan dalam pelaksanaan program program inovatif.
2. Menggali dan mendiskripsikan faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan strategi efisiensi tersebut.
3. Mengetahui peran strategi efisiensi yang dilakukan terhadap pelayanan publik dan program peningkatan kesejateraan rakyat X.

1.4. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi pada pengembangan kajian di Bidang Otonomi dan Pemerintahan Lokal yang merupakan objek bahasan utama dalam konsentrasi Otonomi dan Pembangunan Lokal dan juga dalam kajian pembangunan sosial, di mana seperti yang dikatakan Lusk dalam Midgley bahwa birokrasi yang inefisien merupakan salah satu penghalang upaya-upaya pembangunan sosial. Selain itu dalam rangka menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penelitian ilmiah di Bidang Pemerintahan Lokal.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:22:00

Tesis Analisis Pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil Pada Kantor Camat X Kabupaten X

(Kode STUDPEMBX0006) : Tesis Analisis Pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil Pada Kantor Camat X Kabupaten X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada dasarnya telah memberikan peluang dan tantangan bagi daerah khususnya daerah kabupaten/kota sebagai konsekuensi logis paradigma yang diemban oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu Demokratisasi, Pemberdayaan Aparatur dan Masyarakat serta Pelayanan Publik.
Peluang dan tantangan tersebut merupakan suatu hal yang beralasan, mengingat secara empirik masyarakat menginginkan peranan aparatur pemerintah dapat menjalankan tugas-tugas pelayanan secara optimal. Tumpuan dari harapan-harapan itu sendiri kini lebih tertuju pada institusi pemerintah daerah agar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).
Pemerintahan yang baik (good governance) dapat menjadi kenyataan dan sukses apabila didukung oleh aparatur yang memiliki profesionalisme tinggi dengan mengedepankan terpenuhinya akuntabilitas dan responsibilitas publik, yakni dengan menekan sekecil mungkin pemborosan penggunaan sumber-sumber keuangan pemerintah (negara) dan juga sekaligus memperkuat peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai fondasi untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
Implementasi kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, telah menciptakan implikasi luas di segala aspek pemerintahan dari pusat sampai dengan desa/kelurahan. Seiring dengan implementasi kebijakan otonomi daerah dan konsep baru paradigma pemerintahan, yang lebih menitik beratkan pada aspek demokratisasi, pemberdayaan masyarakat, dan pelayanan masyarakat yang prima, maka implikasi yang muncul yaitu tuntutan kepada semua tingkatan organisasi, termasuk pada Kantor Camat X, khususnya bagi pegawainya untuk lebih berkualitas, produktif dan profesional menjadi semakin besar dan bersikap proaktif.
Salah satu tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam hal pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan rakyat. Aspek penting yang mempengaruhinya antara lain adalah kenyataan mengenai tingkat kualitas sumber daya manusia dan kemampuan keuangan daerah yang dirasa masih kurang. Tetapi dari aspek-aspek tersebut kualitas sumber daya manusia, baik sumber daya manusia aparatur maupun sumber daya manusia masyarakat merupakan faktor paling dominan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, sebab faktor-faktor lain secara empirik sangat tergantung dari faktor ini. Berapapun besarnya dana yang dimiliki oleh suatu daerah, dan betapa besarnya sumber daya alam yang tersedia, tanpa sumber daya manusia yang berkualitas, maka daerah sulit untuk berkembang.
Thoha (2000:1) mengemukakan bahwa, untuk mempertahankan kehidupan dan kedinamisan organisasi (organizational survival), setiap organisasi mau tidak mau harus adaptif terhadap perubahan. Organisasi birokrasi yang mampu bersaing di masa mendatang adalah yang memiliki sumber daya manusia berbasis pengetahuan dengan memiliki berbagai keterampilan serta keahlian (multi skilling workers).
Sumber daya manusia yang tersedia hanya akan dapat mendukung pertumbuhan bila disertai dengan penguasaan pengetahuan yang memadai. Tanpa penguasaan pengetahuan yang sesuai dan memadai, penduduk yang besar hanya akan berdampak menambah beban bangsa untuk mencapai serta mempertahankan tingkat kesejahteraan yang pantas.
Hal serupa juga di dukung oleh hasil temuan Jims Collins, dkk bahwa pepatah lama “Manusia adalah aset anda yang paling penting“ adalah salah. Manusia bukan aset yang paling penting, melainkan manusia yang tepat yang menjadi aset anda. Pertanyaan pertama siapa, seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum apa—sebelum visi, sebelum strategi, sebelum struktur organisasi, sebelum taktik. (Jim Collins, 2004:97).
Pentingnya mutu SDM juga dikemukakan oleh Makmur (2007:1) bahwa “mengapa negara kita sulit bangkit dan menderita krisis moneter dan krisis ekonomi yang paling parah? Hal itu dikarenakan mutu SDM kita paling menyedihkan dibandingkan negara ASEAN lainnya”.
Menurut Suradinata (1996:25), “Manajemen Sumber Daya Manusia dalam pembangunan dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu, Manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur dan Menajemen Sumber Daya Manusia Masyarakat”.
Sumber daya manusia aparatur, atau yang lebih dikenal dengan sebutan pegawai mempunyai posisi yang sangat penting dalam melaksanakan fungsi sebagai perumus, perencana, pelaksana, pengendali, maupun yang mengevaluasi pembangunan. Sebagai posisi kunci manajemen, pegawai harus memberikan contoh keteladanan, bersih dan berwibawa, serta memberikan pelayanan, dan kenyamanan pada rakyat. Selanjutnya, pegawai harus mempunyai kriteria bersih, disiplin, berwibawa dalam melaksanakan tugas selalu memperhitungkan efektifitas dan efisiensi kerja, tanpa manajemen pegawai yang baik, pembangunan suatu negara tidak akan membawa hasil yang baik.
Dalam istilah militer di kenal istilah, “not the gun, but the man behind the gun”, artinya bukanlah senjata yang penting melainkan manusia yang menggunakan senjata itu. Senjata yang bagus dan modern tidak akan berarti apa-apa apabila manusia yang dipercayakan menggunakan senjata itu tidak mempunyai kemampuan, kejujuran, semangat juang yang tinggi serta jiwa pengabdian terhadap negara dan bangsa. Begitupun dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebaik apapun sistem ataupun perangkat yang digunakan, tidak akan berarti apa-apa, tanpa didukung oleh pegawai yang berkualitas, komitmen yang kuat, kejujuran, semangat juang dan pengabdian yang tinggi terhadap negara dan bangsa. Demikian juga halnya untuk mewujudkan tujuan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah perlu kemampuan yang tinggi yang didukung oleh pegawai yang berkualitas. Kualitas tersebut dapat diamati dari kemampuan profesionalitas sesuai bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemerintahan di masa mendatang adalah pemerintahan yang cerdas, inovatif dan kreatif serta berorientasi kepada kepentingan masyarakat, melaksanakan kewajiban untuk memenuhi harapan masyarakat. Sejalan dengan itu pemerintah daerah harus mampu mengedepankan fungsi-fungsi pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat dengan berlandaskan pada visi yang jelas.
Visi tersebut, berusaha diwujudkan melalui misi yang salah satunya adalah perwujudan aparatur negara yang berfungsi melayani masyarakat secara profesional, berdaya guna, produktif, transparan, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan, salah satunya adalah melalui aparatur pemerintah yang berkualitas prima dari segala segi, baik segi fisik maupun non fisik.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat selama zaman orde baru begitu besar, tetapi sekarang sudah saatnyalah pegawai pemerintah daerah harus mampu meningkatkan profesionalismenya, serta lebih kreatif dan proaktif. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa implementasi kebijakan otonomi daerah yang dititik beratkan pada daerah kabupaten/kota, tidak saja diartikan bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah menjadi lebih besar dan otonomi makin luas tetapi harus dipahami juga bahwa, tanggung jawab dalam pelayanan harus semakin besar pula. Oleh karena itu seluruh penyelenggara otonomi daerah harus memiliki sumber daya pegawai yang berkualitas.
Sumber daya manusia yang tepat merupakan salah satu aset yang tidak ternilai harganya bagi setiap organisasi karena dapat memberikan kontribusi yang berarti kepada satuan kerja secara efektif dan efesien. Oleh karena itu bagaimana cara untuk mengembangkan, memelihara, dan meningkatkan kinerja pegawai merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan bagi setiap organisasi. Demikian pula didalam perubahan lingkungan yang strategik (politik, ekonomi, sosial, teknologi, dll) maka perlu dituntut adanya kemampuan aparatur pemerintahan yang profesional dalam menjalankan tugasnya.
Seiring dari pada itu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan arus globalisasi, maka dituntut pula adanya sumber daya aparatur yang memiliki kapabilitas, yakni pegawai yang dapat bekerja secara efisien, efektif, produktif, dan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tidak kadaluarsa yang pada akhirnya mampu menampilkan kinerja yang memuaskan. Namun dilema yang sering terjadi pada birokrasi pemerintah saat ini adalah adanya tanggapan masyarakat terhadap kinerja aparatur pemerintah yang belum menunjukkan kapabilitas yang tinggi serta tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.
Pemerintahan kita, dalam mengemban misi nasional, faktor pegawai sebagai pelaksananya tidak dapat diabaikan begitu saja. Kedudukan dan peranan pegawai dalam setiap organisasi pemerintahan sangat menentukan, sebab pegawai merupakan tulang punggung pemerintahan dalam pembangunan nasional. Namun demikian di dalam pelaksanaan dan penyelenggaraannya yang bermacam-macam banyak mengalami kesulitan, karena masalah pegawai adalah masalah manusia sehingga memerlukan pengaturan dan pembinaan yang sebaik-baiknya.
Tentang besarnya peranan sumber daya manusia dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, H.A.W. Widjaja (1998:20) mengemukakan bahwa:
Apabila kita berbicara tentang sumber daya manusia, maka tidak terlepas dari pembicaraan link dan match, yaitu pemerataan kualitas, relevansi dan efisiensi. Sumber daya manusia berperan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah disamping hal-hal yang menyangkut prasarana, sarana dan wahana yang dibutuhkan. Apabila daerah otonom sudah dalam kaitan dengan negara modern, salah satu segi yang menonjol adalah kemandiriannya. Ini tercermin diantaranya adalah dalam kualitas sumber daya manusianya.
Menurut Kaloh (2002:112), “Di era otonomi luas menuntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan, dan kreativitas dari segenap aparatur negara. Dalam negara dunia yang penuh kompetisi, sangat diperlukan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara akurat, bijaksana, adil dan efektif”.
Sumber daya manusia yang berkualitas akan mampu menghadapi perubahan lingkungan, seperti yang dikemukakan oleh Usmara,dkk (2002:21), bahwa sumber daya manusia menentukan survivenya organisasi di era yang ditandai dengan kompetisi yang sangat ketat. Sumber daya manusia harus kreatif, inovatif dan merespon lingkungan.
Pemerintah sebagai organisasi publik belum memiliki perhatian dalam pengembangan kualitas pegawai, seperti yang dikemukakan oleh Wasistiono (2003:34) bahwa:
Kebijakan politik pemerintah selama ini tidak memihak kepada pengembangan kualitas sumber daya manusia, melainkan pada pembangunan fisik yang kasat mata, konkrit dan mudah diukur. Hal tersebut nampak dari proporsi biaya pengembangan SDM yang berkisar hanya 10% dari anggaran negara serta kurangnya penghargaan pada karya-karya intelektual. Selain itu, masyarakat nampaknya juga lebih menghargai bungkus-bungkus kamuflase berupa gelar akademik daripada isi otak dan kemampuan bekerja seseorang.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi menyebutkan, sebanyak 55% atau 1,9 juta Pegawai Negeri Sipil Indonesia berkualitas rendah. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pendidikan dan pelatihan. Setelah itu dilakukan disalokasi, pemindahan ke tempat-tempat yang kurang tenaga. (Media Indonesia, Senin 15/01/2007). Artinya upaya peningkatan kemampuan pegawai sudah menjadi suatu keharusan, namun tentu akan lebih baik jika upaya tersebut dilandasi dengan strategi yang tepat misalnya dengan pengembangan potensi kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing pegawai.
Sementara itu, dari pengamatan awal penulis diketahui bahwa pegawai di Kantor Camat X masih perlu diberdayakan dan ditingkatkan baik dalam segi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Dalam segi pendidikan, tingkat pendidikan pegawai Kantor Camat X dapat dilihat pada tabel 1 berikut :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Tabel 1. Tingkat Pendidikan PNS di Kantor Camat X

Sebagaimana terlihat pada tabel di atas bahwa 60% Pegawai Negeri Sipil di Kantor Camat X memiliki pendidikan formal dibawah tingkat sarjana. Dalam era globalisasi saat ini latar belakang pendidikan memegang peranan penting untuk mencapai tujuan organisasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik pula profesionalitas dan kualitas pegawai dalam mencapai tujuan organisasi pemerintahan khususnya dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dengan demikian dilihat dari aspek pendidikan, bahwa tingkat pendidikan PNS di Kantor Camat X belum menunjukkan hal yang menggembirakan. Seperti yang diungkapkan secara teoritis oleh Supriatna (1997:78) sebagai berikut:
Pendidikan sebagai sarana tranformasi budaya dalam pendidikan sumber daya manusia sangat relevan dengan aspek survival, kemedekaan, humanisasi, pemberdayaan, dan rasionalisasi. Tujuan akhir proses transformasi ini ialah terciptanya produktivitas, etos kerja, kemandirian, dan jati diri manusia yang unggul untuk memenuhi tuntutan pembangunan.
Rendahnya kemampuan pegawai pada akhirnya akan berdampak pada rendahnya kinerja pegawai. Senada dengan hal itu Hardijanto (2002:89) menyatakan bahwa, “Kinerja birokrasi pemerintah Indonesia belum optimal, hal ini disebabkan oleh ukuran birokrasi yang masih relatif besar, susunan organisasi pemerintah yang masih belum sepenuhnya mengacu pada kebutuhan, pembagian tugas antar instansi/unit yang kurang jelas, aparat yang kurang profesional, prosedur standar yang belum tergolong secara baku, serta pengawasan yang masih belum efektif”.
Osborne dan Plastrik (Rosyid dan Ramelan 2000:256) menyatakan bahwa:
Orang-orang dalam organisasi pemerintah lebih mengkhawatirkan anggaran dan kepangkatan serta status birokratis daripada memikirkan cara-cara memperbaiki hasil. Mereka tidak memiliki upaya dalam hal efektivitas dan hasil. Pegawai diberi imbalan lebih karena nafkah bukan karena bekerja dengan baik. Akibatnya, pegawai negeri memiliki harapan yang rendah dan tidak menghargai pekerjaan mereka.
Selanjutnya, Wasistiono (2003:34) menyatakan bahwa, Sebagai pelaksana pelayanan di daerah, sumber daya aparatur pemerintahan daerah yang profesional perlu dipersiapkan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Penyiapan sumber daya aparatur pemerintah daerah perlu dilakukan karena kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya kualitas sumber daya manusia di daerah otonom belum terlampau menjanjikan. Oleh karena itu, sebagai salah satu faktor internal yang strategis, kualitas sumber daya manusia merupakan kunci utama yang dapat mengubah berbagai kelemahan menjadi kekuatan serta mengubah tantangan menjadi peluang. Untuk dapat menangkap berbagai peluang yang telah terbuka di depan mata, maka upaya utama yang harus dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah daerah adalah membangun sumber daya manusia yang berkualitas.
Untuk membangun SDM yang berkualitas tersebut diperlukan upaya yang sistematis, berkelanjutan dan komprehensif, salah satunya adalah melalui pemberdayaan. Dalam konteks pemerintah daerah, adalah pemberdayaan pegawai pemerintah daerah. Organisasi pemerintah juga diharapkan mampu mencari berbagai cara baru agar dapat memanfaatkan sumber daya manusianya secara efektif dan efisien guna menghadapi tantangan eksternal seperti ancaman kompetisi internasional, kondisi perekonomian yang tidak menentu, perubahan teknologi dan informasi yang cepat dan tantangan internal seperti tekanan masyarakat hukum yang menguat.
Menurut Rasyid (1997:48), organisasi pemerintah daerah pada hakekatnya merupakan suatu birokrasi pemerintahan di daerah yang memiliki fungsi pelayanan, pembangunan, dan fungsi pemberdayaan. Untuk mendukung aktivitas tersebut tentu perlu didukung oleh pegawai yang mempunyai kemampuan dan berkualitas.
Pemberdayaan pegawai dirasakan sangat perlu selain untuk memberikan tanggung jawab dan wewenang kepada pegawai, tentunya juga sebagai upaya mendorong para pegawai untuk berusaha mengembangkan dirinya terutama kualitas dalam rangka mencapai kapasitas kerja organisasi. Dengan adanya pemberdayaan, pegawai merasa diperhatikan dan pada akhirnya pemberdayan pegawai diharapkan mampu mewujudkan tujuan organisasi serta pengembangan pegawai. Mengingat pentingnya faktor pemberdayaan pegawai dalam menentukan kinerja di Kantor Camat X: “Analisis Pemberdayaan Pegawai”, menjadi menarik untuk diteliti.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan Penjelasan di atas maka secara spesifik permasalahan penelitian ini dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian (research question) yaitu:
Bagaimana pemberdayaan pegawai di Kantor Camat X?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran tentang pemberdayaan pegawai di Kantor Camat X.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Keluaran (output) penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai kalangan diantaranya:
1. Pemerintah Kabupaten X khususnya Pemerintah Kecamatan X untuk lebih menumbuh kembangkan konsep pemberdayaan pegawai.
2. Dijadikan bahan referensi untuk merumuskan pemberdayaan pegawai serta penelitian lain yang mungkin akan dilaksanakan pada masa yang akan datang.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:21:00