(Kode ILMU-HKM-0014) : Skripsi Peranan Visum Et Repertum Pada Tahap Penyidikan Dalam Mengungkap Tindak Pidana Perkosaan (Studi Di Kepolisian Resort Kota X)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.1)
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1 yang menyebutkan :
“Alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi ;
b. keterangan ahli ;
c. surat ;
d. petunjuk ;
e. keterangan terdakwa.”
Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Mengenai perlunya bantuan seorang ahli dalam memberikan keterangan yang terkait dengan kemampuan dan keahliannya untuk membantu pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, Prof. A. Karim Nasution menyatakan :
“Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari seseorang mungkin jauh lebih luas daripada orang lain, namun pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap terbatas adanya. Maka oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan bahwa ada soal-soal yang tidak dapat dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim di muka persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orang-orang yang memiliki sesuatu pengetahuan tertentu.
Agar tugas-tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang-undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut.”2)
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya.
Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.
Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasus-kasus perkosaan. Sebuah Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur (LPA Jatim), dalam datanya mengenai tingkat kejahatan perkosaan yang terjadi pada anak, mengungkapkan bahwa kasus perkosaan anak mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Disebutkan dalam laporan tahunan lembaga tersebut, pada tahun XXXX kekerasan seksual pada anak mencapai 81 kasus. Pada tahun XXXX di triwulan pertama sampai bulan Maret, di Jawa Timur telah terdapat 53 anak dibawah umur yang menjadi korban perkosaan. Jumlah ini meningkat 20 % dibandingkan kasus yang terjadi pada tahun XXXX. Ditengarai bahwa kasus perkosaan yang terjadi jumlahnya lebih banyak dari data yang diperoleh oleh lembaga tersebut.3)
Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anak-anak. Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya4) .
Dalam kenyataannya, pengusutan terhadap kasus dugaan perkosaan oleh pihak Kepolisian telah menunjukkan betapa penting peran visum et repertum. Sebuah surat kabar memuat berita mengenai kasus dugaan perkosaan yang terjadi di daerah hukum Polresta Tanjung Perak Surabaya, terpaksa kasus tersebut dihentikan pengusutannya oleh pihak Kepolisian disebabkan hasil visum et repertum tidak memuat keterangan mengenai tanda terjadinya persetubuhan. Orang tua korban dengan dibantu oleh sebuah lembaga perlindungan perempuan, berupaya agar pihak Kepolisian dapat meneruskan pengusutan kasus tersebut karena menurut keterangan lisan yang disampaikan dokter pemeriksa kepada keluarga korban menyatakan bahwa selaput dara korban robek dan terjadi infeksi. Permintaan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena pihak Kepolisian mendasarkan tindakannya pada hasil visum et repertum yang menyatakan tidak terdapat luka robek atau infeksi pada alat kelamin korban. Disebutkan oleh Kapolresta Tanjung Perak Surabaya bahwa karena hasil visum dokter menyatakan selaput dara masih utuh, maka tidak ada alasan bagi polisi untuk melanjutkan pemeriksaan kasus tersebut.5)
Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan sebagaimana terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.
Dalam kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan yang telah berlangsung lama. Dalam kasus yang demikian barang bukti yang terkait dengan tindak pidana perkosaan tentunya dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan. Mengungkap kasus perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.
Sehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan, pada kasus perkosaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana perkosaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana perkosaan yang terjadi.
Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas, hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi di Kepolisian Resort Kota X) ”.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dapat diangkat untuk selanjutnya diteliti dan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah peranan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan ?
2. Upaya apakah yang dilakukan penyidik apabila hasil visum et repertum tidak sepenuhnya mencantumkan keterangan tentang tanda kekerasan pada diri korban perkosaan ?
a. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini, penelitian yang dilakukan untuk membahas permasalahan tersebut mempunyai tujuan :
1) Untuk mengetahui peranan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan.
2) Untuk mengetahui upaya yang ditempuh penyidik apabila hasil visum et repertum tidak memuat keterangan tentang tanda kekerasan pada korban perkosaan, dalam tujuannya untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu kasus perkosaan.
D. Manfaat Penelitian :
Memperhatikan tujuan penelitian yang ada, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat :
1) Bagi kalangan akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan gambaran mengenai realitas penerapan hubungan ilmu hukum khususnya hukum pidana dengan bidang ilmu lainnya yaitu ilmu kedokteran. Kepentingan penyidik untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu perkara yang ditanganinya merupakan aplikasi dari ketentuan hukum acara pidana, sedangkan pembuatan visum et repertum yang dilakukan oleh dokter merupakan aplikasi dari ilmu kedokteran yang dapat berperan dan membantu penyidik dalam tugasnya menemukan kebenaran materiil tersebut. Disamping itu dapat memberikan informasi yang berguna bagi pengembangan ilmu hukum acara pidana khususnya mengenai penggunaan bantuan tenaga ahli yang dalam hal ini adalah dokter pembuat visum et repertum dalam tahap penyidikan suatu perkara pidana.
2) Bagi masyarakat luas
Hasil penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai peran visum et repertum dan penerapannya oleh pihak Kepolisian selaku penyidik, khususnya dalam mengungkap tindak pidana perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi di masyarakat.
3) Bagi penulis
Penelitian yang dilakukan dapat melatih dan mengasah kemampuan penulis dalam mengkaji dan menganalisa teori-teori yang didapat dari bangku kuliah dengan penerapan teori dan peraturan yang terjadi di masyarakat. Hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan pengetahuan dan gambaran mengenai realitas penggunaan visum et repertum bagi kepentingan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana perkosaan.
Home » All posts
Skripsi Peranan Visum Et Repertum Pada Tahap Penyidikan Dalam Mengungkap Tindak Pidana Perkosaan (Studi Di Kepolisian Resort Kota X)
Skripsi Peranan Dan Tanggung Jawab Manajer Investasi Dalam Pengelolaan Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif-Studi Kasus Di PT. BNI Securities
(Kode ILMU-HKM-0012) : Skripsi Peranan Dan Tanggung Jawab Manajer Investasi Dalam Pengelolaan Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif-Studi Kasus Di PT. BNI Securities
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia tentunya berada dalam fase dimulainya pembangunan di berbagai bidang. Pemerintah Indonesia setelah orde lama mulai berkonsentrasi pada pembangunan yang lebih sistematis sejak akhir tahun 1960-an. Kenyataan yang dihadapi pemerintah pada saat itu adalah keperluan dana atau modal yang teramat besar, sehingga pemerintah Indonesia segera mengupayakan penghimpunan dana melalui berbagai macam cara yang dianggap memungkinkan, yaitu antara lain melalui pinjaman dari sindikasi negara-negara donor Eropa yang tergabung dalam Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) lalu kemudian Consultative Group on Indonesia atau CGI, Jepang, dan Amerika Serikat. Namun bagi pemerintah pinjaman luar negeri bukan merupakan cara yang strategis untuk pembangunan, potensi dana masyarakat Indonesia harus bisa dioptimalkan untuk digunakan (M.Irsan Nasarudin dan Indra Surya 2004 : 1). Untuk itu dibentuk pasar modal yang dimaksudkan sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan.
Fungsi strategis dan penting pasar modal membuat pemerintah amat berkepentingan atas perkembangan dan kemajuan pasar modal, karena berpotensi untuk penghimpunan dana secara besar-besaran, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbesar volume kegiatan pembangunan. Segenap upaya dilakukan pemerintah untuk memasyarakatkan pasar modal, untuk menarik minat masyarakat berinvestasi di pasar modal dengan membeli sejumlah efek dari perusahaan-perusahaan. Pemilikan efek perusahaan oleh masyarakat ternyata memberi harapan dan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan sebagai dampak positif dari kinerja perusahaan.
Upaya pemerintah untuk menarik minat masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal tidak berjalan mulus dan lancar. Berbagai pertanyaan muncul dari masyarakat awam yang ingin berinvestasi di pasar modal antara lain bagaimanakah cara berinvestasi yang aman di pasar modal, apakah membutuhkan modal yang besar untuk berinvestasi di pasar modal, yang tentunya tidak akan dapat dilakukan oleh calon investor yang memiliki modal kecil dan pengetahuan yang terbatas mengenai pasar modal. Karena menurut pandangan masyarakat awam bahwa berinvestasi di pasar modal yaitu suatu investasi yang memerlukan dana yang teramat besar, waktu yang cukup untuk melakukan pengurusan terhadap investasinya, dan yang terpenting adalah harus berpengalaman dalam dunia pasar modal.
Pada tahun 1995, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang bisa dijadikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan masyarakat awam terhadap investasi di pasar modal seperti di atas, undang-undang tersebut yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Salah satu sasaran yang hendak dicapai dari diterbitkannya Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 mengenai Pasar Modal yaitu memberi kesempatan kepada pemodal kecil dan tentunya masyarakat umum yang mungkin saja awam terhadap dunia pasar modal untuk berinvestasi guna mendukung pembangunan nasional disegala bidang. Karena alasan inilah, maka sejak saat itu diperkenalkanlah dengan lebih luas salah satu lembaga penunjang Pasar Modal yaitu Reksa Dana. Hal ini juga sebagai bukti sanggahan terhadap penilaian miring sebagian masyarakat yang menganggap bahwa kegiatan Pasar Modal hanya diperuntukkan bagi pemodal yang kuat dan berpengalaman.
Mekanisme kegiatan utama dari Reksa Dana ialah menghimpun dana masyarakat tertentu untuk selanjutnya diinvestasikan secara profesional dalam bentuk investment portofolio. Masyarakat tetentu disini adalah mereka yang termasuk pemodal kecil, investor besar yang memiliki banyak kesibukan, dan pemilik dana yang belum mempunyai pemahaman sepenuhnya tentang Pasar Modal, namun ingin melakukan investasi di Pasar Modal. Sedangkan pengertian investment portofolio yaitu sejumlah sekuritas yang dimiliki oleh perseorangan atau perusahaan sebagai salah satu cara penanaman modal (A.F. Elly Erawaty dan J.S. Badudu 1996 : 69).
Upaya untuk menggalakkan Pasar Modal melalui Reksa Dana menunjukkan bahwa tujuan pembangunan nasional tidak hanya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun juga tercapainya pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui kemungkinan bagi masyarakat untuk memiliki saham sebagai salah satu bentuk investasi.
Konsep Reksa Dana ini dirancang untuk meningkatkan pemodal lokal, mengingat perdagangan saham di Bursa Efek lebih banyak didominasi oleh investor asing. Meskipun demikian, gairah pemodal lokal dalam melakukan transaksi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun1995 nilai transaksi berkisar 33 persen dari keseluruhan transaksi. Pada tahun 1996, nilai ini telah meningkat menjadi 40 persen, sampai kuartal I tahun 1997 meningkat lagi menjadi 47 persen, dan pada Desember 2003 transaksi yang dilakukan oleh pemodal lokal mencapai 50 persen (M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya 2004 : 169). Suatu hal yang menggembirakan atau malah menyedihkan ? Karena prestasi ini bukan semata-mata karena memang bertambahnya pemodal lokal namun karena situasi keamanan negara yang menyebabkan banyaknya investor asing yang menarik modal mereka dari Indonesia sambil menunggu saat yang tepat untuk kembali masuk karena Indonesia sangat menjanjikan dengan pasar yang sedemikian besar.
Peningkatan pemodal lokal ini diikuti dengan perkembangan Reksa Dana yang semakin pesat sejak pertengahan 1996 setelah lahirnya Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 tersebut yang memperkenalkan Reksa Dana terbuka berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK).
Reksa Dana berbentuk KIK ini bukanlah badan hukum tersendiri. Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif dapat dijelaskan sebagai kontrak antara Manajer Investasi dengan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan, dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolekttif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif. Reksa Dana ini juga memiliki suatu kekhasan tersendiri yaitu pemodal dapat membeli dan menjual kembali Unit Penyertaan kepada Manajer Investasi dengan harga berdasar Nilai Aktiva Bersih, yaitu harga wajar dari portfolio suatu Reksa Dana setelah dikurangi biaya operasional kemudian dibagi jumlah saham/unit penyertaan yang telah beredar (dimiliki investor) pada saat itu.
Dalam Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif ini, seorang manajer investasi memiliki peran yang sangat penting terhadap perputaran dana investor dan juga tanggung jawab yang teramat besar atas investasi yang masuk yang juga secara otomatis akan menentukan keberhasilan dalam menempatkan dana investor. Sehingga untuk dapat melaksanakan perannya dalam mengelola Reksa Dana, manajer investasi harus mendapat izin dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) (Asril Sitompul 2000 : 7).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menyusunnya dalam sebuah penulisan hukum (skripsi) dengan memilih lokasi penelitian di PT. BNI Securities. Lokasi tersebut adalah sebagai tempat untuk mengetahui peranan dan tanggung jawab manajer investasi sebagai pengelola reksa dana berikut juga hambatan atau kendala-kendala yang dialaminya dan juga mekanisme investasi pada reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif.
Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk menyusun sebuah penulisan hukum dengan judul : “ PERANAN DAN TANGGUNG JAWAB MANAJER INVESTASI DALAM PENGELOLAAN REKSA DANA KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF (STUDI KASUS DI PT. BNI SECURITIES)”.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan bagian penting dari suatu penulisan. Dengan adanya suatu perumusan masalah maka intisari dari suatu tulisan dapat tergambarkan dengan jelas.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah mekanisme investasi Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif (KIK) di PT. BNI Securities ?
2. Bagaimanakah peranan dan tanggung jawab manajer investasi pada PT. BNI Securities dalam pengelolaan Reksa Dana KIK tersebut ?
3. Apakah yang menjadi hambatan atau permasalahan manajer investasi P.T. BNI Securities dalam melakukan peranan dan tanggung jawabnya mengelola dana investor ?
C. Tujuan Penelitian
Segala kegiatan baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan diharapkan menghasilkan sesuatu hal sesuai dengan kehendak, dimana hasil dari kegiatan tersebut itulah merupakan gambaran dari tujuan yang hendak dicapai. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan agar dapat memberikan manfaat sesuai dengan makna dari penelitian hukum itu sendiri, yaitu suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan manganalisanya.
Pemeriksaan terhadap fakta hukum yang mendalam juga dilakukan, kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a) Untuk memperoleh gambaran mengenai mekanisme Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif di PT. BNI Securities;
b) Untuk mengetahui peranan dan tanggung jawab manajer investasi PT. BNI Securities dalam pengelolaan Reksa Dana tersebut;
c) Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan permasalahan manajer investasi dalam melakukan peranan dan tanggung jawabnya dalam mengelola dana investor.
2. Tujuan Subyektif
a) Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai permasalahan yang diangkat;
b) Untuk melatih kemampuan dan ketrampilan penelitian hukum penulis;
c) Sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana pada bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah merupakan suatu indikasi bahwa suatu penelitian itu berguna atau tidak, mempunyai arti atau tidak, bernilai atau tidak. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis menghendaki manfaat penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu keperdataan pada umumnya dan ilmu mengenai pasar modal pada khususnya serta lebih khusus lagi ilmu mengenai reksa dana;
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyempurnakan konsep-konsep tentang investasi melalui Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
c) Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu materi mengajar mata kuliah Hukum Pasar Modal.
2. Manfaat Praktis
a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi melalui Reksa Dana;
b) Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perusahaan sekuritas untuk berlomba-lomba meningkatkan tanggung jawab mereka terhadap dana investor.
Skripsi Peranan Penyidik Dalam Membantu Penyelesaian Tindak Pidana Narkoba (Studi Di Polres X)
(Kode ILMU-HKM-0013) : Skripsi Peranan Penyidik Dalam Membantu Penyelesaian Tindak Pidana Narkoba (Studi Di Polres X)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal Pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya.
Peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-obatan jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat-obatan untuk kesehatan, juga digunakan untuk percobaan dan penelitian yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan mendapat ijin dari Menteri Kesehatan.
Pada era globalisasi ini masyarakat lambat laun berkembang, dimana perkembangan itu selalu diikuti proses penyesuaian diri yang kadang-kadang proses tersebut terjadi secara tidak seimbang. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap norma-norma tersebut semakin sering terjadi dan kejahatan semakin bertambah, baik jenis maupun bentuk polanya semakin kompleks. Perkembangan masyarakat itu disebabkan karena ilmu pengetahuan dan pola pikir masyarakat yang semakin maju
Dan masyarakat berusaha mengadakan pembaharuan-pembaharuan di segala bidang. Namun kemajuan teknologi tidak selalu berdampak positif, bahkan ada kalanya berdampak negatif. Maksudnya adalah dengan kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi yang canggih. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mampu menciptakan penanggulangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang.
Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum di harapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.
Diantara aparat penegak hukum yang juga mempunyai peran penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkoba ialah " Penyidik ", dalam hal ini penyidik POLRI, dimana penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus pelanggaran tindak pidana narkoba.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika didalamnya diatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, dengan dikeluarkanya Undang-Undang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkoba dewasa ini.
Efektifitas berlakunya Undang-Undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal ini seluruh intansi yang terkait langsung, yakni penyidik Polri serta para penegak hukum yang lainnya. Disisi lain hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang No. 5 tahun 1997 dan Undang-Undang No. 22 tahun 1997. Maka peran penyidik bersama masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus tindak pidana Narkoba yang semakin marak dewasa ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut di atas , maka penulis ingin mengupas beberapa Permasalahan yang dijadikan obyek di dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Sampai sejauh mana peranan penyidik dalam menjalankan tugas untuk menangani tindak pidana Narkoba ?
2. Bagaimana langkah-langkah penyidik dalam mengungkap masalah terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana Narkoba ?
3. Hambatan-hambatan apa yang ditemui para penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku tindak pidana narkoba ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan atau penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui serta mempelajari secara lebih mendalam bagaimana peranan penyidik dalam membantu proses penyelesaian kasus tindak pidana Narkoba.
2. Penulis ingin mengetahui bagaimana penjatuhan sanksi terhadap para pelaku dan pengedar narkoba.
3. Penulis ingin mengetahui kendala-kendala apa yang dihadapi oleh penyidik dalam melaksanakan tugasnya tersebut.
4. Penulis ingin mengetahui sejauh mana peranan penyidik didalam membantu proses penyelesaian kasus tindak pidana narkoba yang terjadi didalam masyarakat.
D. Metode Penelitian
Sebagaimana lazimnya dalam penulisan skripsi ini diperlukan data-data dimana data-data tersebut diperoleh dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut :
1. Sumber Data
a. Studi Kepustakaan
Yaitu dilakukan dengan cara mempelajari, mengumpulkan pendapat para pakar hukum yang dapat dibaca dari literatur, yurisprudensi, majalah-majalah dan koran-koran yang kebetulan memuat tentang masalah yang diteliti.
b. Studi Lapangan
Yaitu dilakukan dengan cara melakukan penelitian langsung pada obyek penelitian.
2. Pengumpulan data, yaitu pengumpulan data dari lapangan dengan menggunakan beberapa teknik diantaranya adalah :
a. Teknik observasi,
Teknik pengumpulan data dengan cara melihat atau mengamati langsung pada obyek penelitian di lapangan.
b. Teknik wawancara,
Adalah teknik pengumpulan data dengan cara wawancara langsung dengan pihak yang erat hubungannya dengan penelitian agar data yang diperoleh lebih jelas dan akurat.
c. Teknik Dokumentasi
Adalah teknik pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen yang berupa arsip atau naskah lainnya yang diperoleh dari instansi yang berhubungan dengan penelitian
3. Analisa Data
Data-data yang terkumpul akan disusun secara deskriptif kualilatif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan cara memaparkan data-data yang diperoleh dari lapangan baik data primer maupun data sekunder. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan suatu kebenaran yaitu dengan menguraikan data yang sudah terkumpul sehingga dengan demikian dapat dilakukan pemecahan masalah.
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan mengikuti uraian skripsi ini, maka disusun menurut urutan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan. Disini penulis terlebih dahulu mengemukakan tentang latar belakang Permasalahan, selanjutnya diuraikan tentang perumusan masalah yaitu peranan penyidik dalam membantu proses penyelesaian tindak pidana narkoba, dimana hal itu sangat penting untuk menentukan batas-batas yang akan dibahas dan untuk memberikan pengertian dan keterangan yang dimaksud oleh judul penelitian ini. Dan selanjutnya bab ini ditutup dengan sistematika penulisan, dimana didalamnya memuat pembahasan seluruh isi penulisan
Bab II yaitu mengenai tinjauan umum tentang penyidikan dan pengertian tentang narkoba, yang membahas pengertian penyidik dan syarat-syarat penyidik, serta proses penyidikan perkara itu dilakukan dan upaya penyidik dalam memperoleh kebenaran secara materiil terhadap barang bukti yang didalamnya membahas pula mengenai macam-macam alat bukti serta upaya penyidik dalam memperoleh kebenaran barang bukti, baik melalui pemeriksaan tempat kejadian perkara, penggeledahan dan sebagainya oleh penyidik guna mencari barang bukti yang tertinggal dalam suatu peristiwa pidana. Selanjutnya pengertian tentang narkotika dan obat-obatan serta pembahasannya.
Bab III, yaitu mengenai peranan penyidik didalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus tindak pidana narkoba dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh penyidik dalam melaksanakan tugasnya, serta dalam bab ini membahas pula tentang penjatuhan sanksi terhadap para pelaku tindak pidana narkoba.
Bab IV, atau bab penutup dari sistematika penulisan skripsi ini, yakni menyangkut kesimpulan dan saran.
Skripsi Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sejak Berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Di Kabupaten X
(Kode ILMU-HKM-0011) : Skripsi Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sejak Berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Di Kabupaten Daerah Tingkat II X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan beragam pula kebutuhan penduduk itu.
Termasuk dalam kegiatan pembangunan Nasional itu adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum ini harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya.
Penduduk yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik, tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jaringan/transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya.
Pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas, memerlukan tanah sebagai wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih luas, pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah. Tetapi persoalannya tanah merupakan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak (tanah hak), dan tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.
Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah (pasal 1 Keppres No. 55 tahun 1993).
Kegiatan pengadaan tanah ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda dahulu melalui Onteigenings Ordonnatie (Staatsblad 1920 nomor 574).
Undang-Undang Pokok Agraria sendiri melalui Pasal 16, memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.
Kemudian dikeluarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 1961. Undang-Undang ini mengartikan kepentingan umum secara luas yaitu :
(1) Kepentingan bangsa dan Negara;
(2) Kepentingan bersama dari rakyat; dan
(3) Kepentingan pembangunan (pasal 1).
Selanjutnya menurut Undang-Undang ini kegiatan kepentingan Umum tidak hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan Pemerintah tapi juga oleh swasta, asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum (lihat penjelasan angka (4) huruf b).
Inpres nomor 9 tahun 1973 beserta lampirannya memberikan pedoman-pedoman dalam pelaksanaan pencabutan hak dan benda-benda yang ada di atasnya, juga memberikan arti kepentingan umum secara luas dengan menambah daftar bidang kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum, namun masih membuka kemungkinan penafsiran lebih lanjut (Pasal 1 ayat 1 dan 2).
Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tidak memberikan batasan yang jelas tentang kepentingan umum, dan berdasarkan Permendagri Nomor 2 tahun 1976 yang dikeluarkan kemudian, ketentuan mengenai acara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah menurut Permendagri nonor 15 tahun 1975, diberlakukan juga untuk kepentingan swasta.
Keluarnya Keppres nomor 55 tahun 1993, membawa pengaturan yang jauh berbeda dengan yang diatur dalam peraturan-peraturan perundangan sebelunnya, baik tentang pengertian kepentingan umum, proses musyawarah maupun tentang bentuk dan cara penentuan besarnya ganti kerugian.
Keppres tersebut menganut pendekatan yang sempit dengan memberikan definisi yang ketat tentang kepentingan umum, diikuti dengan 14 contoh kegiatan yang tidak membuka penafsiran lebih lanjut lagi (Pasal 5(1)).
Keppres ini menentukan tiga kriteria bagi suatu kegiatan untuk dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum yaitu : (1) dilakukan oleh pemerintah; (2) dimiliki oleh pemerintah serta (3) tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Lebih lanjut ditentukan juga bidang-bidang kegiatan yang masuk kategori kepentingan umum dengan kemungkinan Presiden menentukan bidang kegiatan lain di luar yang disebut itu, asal memenuhi tiga kriteria tersebut.
Proses musyawarah juga ditentukan secara tegas yaitu dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah, dengan dipimpin oleh ketua Panitia Pengadaan Tanah.
Bentuk dan dasar perhitungan ganti kerugian juga ditentukan secara lebih tegas dan lebih adil yaitu didasarkan atas nilai nyata dengan memperhatikan nilai jual obyek pajak yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.
Lebih lanjut Keppres ini menentukan bahwa untuk kegiatan kepentingan umum yang memerlukan tanah kurang dari 1 (satu) ha, pengadaan tanahnya dilakukan secara langsung (tanpa melalui Panitia Pengadaan Tanah) oleh instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pedagang hak atas tanah dengan jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak (Pasal 23).
Berlakunya Keppres ini, maka Permendagri nomor 15 tahun 1975, dan nomor 2 tahun 1976 serta nonor 2 tahun 1985 yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan swasta dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 24).
Untuk melaksanakan Keppres tersebut telah dikeluarkan pula Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nonor 1 tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993.
Keppres Nomor 55 tahun 1993 ini sebagai suatu peraturan yang relatif baru, maka perlu sekali dilakukan penelitian, sejauh mana Keppres tersebut dilaksanakan dalam praktek.
Dalam hal ini penulis mengambil Kabupaten X sebagai lokasi penelitian, karena dari hasil pra penelitian yang penulis lakukan, dan berdasarkan informasi dari Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten X bahwa di Kabupaten X telah dilakukan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum berupa sarana tanggul penanggulangan bahaya banjir dan lahar, berdasarkan Keppres No. 55 tahun 1993 meliputi Kecamatan Ngaglik seluas 2,0513 Ha dan Kecamatan Pakem seluas 1,6037 Ha. Sehubungan dengan itu pemberian ganti kerugian kepada para pemilik hak atas tanah yang terkena lokasi pembangunan kepentingan umun pun kenyataannya belun sesuai dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 karena itu perlu dilakukan penelitian, maka penulis ingin mengadakan penelitian dengan judul : "Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sejak Berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 di Kabupaten Daerah Tingkat II X."
B. Perumusan Masalah
Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II X.
b. Bagaimana proses berlangsungnya musyawarah antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah ?
c. Apakah bentuk ganti kerugian yang diberikan dan apakah dasar yang dipakai daIan penghitungan ganti kerugian tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan :
a. Untuk mengetahui pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah dalam membantu kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II X.
b. Untuk mengetahui proses berlangsungnya musyawarah antara instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah.
c. Untuk mengetahui bentuk ganti kerugian yang diberikan dan dasar yang dipakai dalam penghitungan ganti kerugian tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
1. Dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria.
2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat maupun pemerintah, khususnya aparatur pemerintah pada jajaran Badan Pertanahan Nasional dalan hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Skripsi Penentuan Pencipta Atas Lagu 23 Juli Dan Penyelesaian Sengketanya
(Kode ILMU-HKM-0009) : Skripsi Penentuan Pencipta Atas Lagu 23 Juli Dan Penyelesaian Sengketanya (Studi Kasus Sengketa Antara Pihak Thomas “Gigi” Dan DJ Riri Melawan PT. Rapi Films)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu hasil karya kreatif yang akan memperkaya kehidupan manusia akan dapat menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkannya. Apabila si pencipta karya-karya tersebut tidak diakui sebagai pencipta atau tidak dihargai, karya-karya tersebut mungkin tidak akan pernah diciptakan sama sekali.
Hak Atas Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HAKI) merupakan hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia. HAKI memang menjadikan karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektual manusia yang harus dilindungi. Kemampuan intelektual manusia dihasilkan oleh manusia melalui daya, rasa, dan karsanya yang diwujudkan dengan karya-karya intelektual. Karya-karya intelektual juga dilahirkan menjadi bernilai, apalagi dengan manfaat ekonomi yang melekat sehingga akan menumbuhkan konsep kekayaan terhadap karya-karya intelektual.
Dalam perkembangannya, muncul pelbagai macam HAKI yang sebelumnya masih belum diakui atau diakui sebagai bagian daripada HAKI. Dalam perlindungan Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and trade – GATT) sebagai bagian daripada pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah disepakati pula norma-norma dan standar perlindungan HAKI yang meliputi :
1. Hak Cipta dan hak-hak lain yang terkait (Copyright and Related Rights).
2. Merek (Trademark, Service Marks and Trade Names).
3. Indikasi Geografis (Geographical Indications).
4. Desain Produk Industri (Industrial Design).
5. Paten (Patents) termasuk perlindungan varitas tanaman.
6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lay Out Designs Topographics of Integrated Circuits).
7. Perlindungan terhadap Informasi yang dirahasiakan (Protection of Undisclosed Information).
8. Pengendalian praktik-praktik persaingan curang dalam perjanjian lisensi (Control of Anti Competitive Practices in Contractual Licences).
Di Indonesia, pengaturan tentang hak cipta mengalami beberapa kali perubahan dan pergantian Undang-Undang yaitu UU No.8 tahun 1982 yang diperbaharui dengan UU No. 17 tahun 1987 dan diperbaharui lagi dengan UU No. 12 tahun 1997 terakhir dengan UU No. 19 tahun 2002 (selanjutnya disebut dengan UUHC).
UUHC membawa kemajuan baru dalam perlindungan hak tersebut, yang meliputi perlindungan terhadap buku, program komputer, pamflet, sampul karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim, seni rupa dalam segala bentuk, arsitektur, peta, seni batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Secara spesifik, Undang-undang ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain :
1. Database merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi;
2. Penggunaan alat apapun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk media internet untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disc) melalui media radio, media audio visual dan/ atau sarana telekomunikasi;
3. Penyelesaian sengketa oleh pengadilan niaga, arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa;
4. Penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi pemegang hak ;
5. Batas waktu proses perkara perdata di bidang hak cipta dan hak terkait baik di pengadilan niaga maupun di Mahkamah Agung ;
6. Pencantuman hak informasi manejemen elektronik dan sarana kontrol teknologi;
7. Pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana berteknologi tinggi;
8. Ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;
9. Ancaman pidana dan denda minimal;
10. Ancaman pidana tetap terhadap perbanyakan penggunaan program komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
Dari sekian banyak ciptaan yang dilindungi sesuai UU itu, penulis mengkhususkan pembahasannya pada hak cipta atas lagu atau musik, mengingat maraknya pelanggaran yang terjadi. Bahkan Indonesia pernah dikecam dunia internasional karena lemahnya perlindungan hukum terhadap hak cipta musik dan lagu tersebut. Sesuai laporan kantor perwakilan perdagangan Amerika Serikat (USTR atau United States Trade Representative) sebelum tahun 2000, Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN yang masuk dalam kategori Priority Watch List (pada peringkat ini pelanggaran atas HAKI tergolong berat sehingga Amerika Serikat merasa perlu memprioritaskan pengawasannya terhadap pelanggaran HAKI di suatu negara mitra dagangnya).
Sengketa atas pelanggaran hak Cipta dapat berlangsung dimana saja di Indonesia maupun diluar Indonesia. Lagu karya cipta milik pencipta Indonesia dapat dengan mudah digandakan dalam CD atau VCD di Jepang atau di AS.
Penyelesaian sengketa tentang hak cipta lagu atau musik seringkali diselesaikan diluar pengadilan. Para pihak yang bersengketa, seperti komposer, penyanyi, atau produser rekaman musik, tidak mengharapkan bahwa sengketa diantara mereka diselesaikan melalui pengadilan.
Pada umumnya para pihak yang bersengketa lebih memilih penyelesaian di luar pengadilan dengan ganti rugi, karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan menyita waktu yang panjang dan menghabiskan biaya serta energi.
Gugatan ganti rugi seharusnya tidak lagi ditempuh melalui lembaga pengadilan formal, tetapi sudah waktunya diselesaikan melalui arbitrase, negosiasi dan mekanisme lain yang dikenal di dalam GATT 1994/WTO seperti melalui tahapan konsultasi, pembentukan panel, pelaksanaan dengan laporan panel.
Kasus riil yang terjadi tentang penyelesaian sengketa lagu atau musik di luar pengadilan adalah kasus antara pihak Dj Riri dan Thomas “GIGI” melawan Gope T. Santani sebagai Direktur PT. Rapi Films. Kasus tersebut terjadi karena lagu ciptaan Dj Riri yang berkolaborasi dengan Thomas “GIGI” yang berjudul “23 Juli” yang semula telah dibeli secara khusus oleh produsen hand phone seluler Nokia untuk dijadikan ring tone, akan tetapi oleh PT. Rapi Films dengan sengaja dan tanpa hak memakai lagu tersebut sebagai sound track sinetron “Inikah Rasanya”.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka pembahasan dalam skripsi berjudul “Penentuan Pencipta Atas Lagu “23 Juli” dan Penyelesaian Sengketanya (Studi Kasus Sengketa Antara Pihak Thomas “Gigi” dan DJ. Riri melawan PT. Rapi Films)”, akan di batasi pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana penentuan pencipta dan pemegang hak cipta atas lagu 23 Juli ?
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa lagu 23 Juli di luar pengadilan ?
C. Tujuan penelitian
Setiap penelitian dalam penulisan ilmiah pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai, demikian halnya dalam penulisan skripsi ini juga mempunyai tujuan penulisan yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penentuan pencipta dan pemegang hak cipta atas lagu 23 Juli
2. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa lagu 23 Juli di luar pengadilan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat secara khusus yaitu merupakan suatu studi dibidang HAKI di mana penulis berharap penelitian ini dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai bagaimana menyelesaikan suatu sengketa lagu atau musik tidak pada jalur litigasi seperti pengadilan, akan tetapi menggunakan jalur non-litigasi yakni jalur alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan hal yang masih awam di negara Indonesia. Penelitian ini diharapkan pula dapat berguna bagi peneliti berikutnya, bagi civitas akademika Universitas X, serta bagi masyarakat yang khususnya berkecimpung di dunia bisnis entertainment.
Manfaat secara umum yaitu sebagai syarat-syarat yang telah ditentukan dalam kurikulum Fakultas Hukum Universitas X dalam mencapai gelar Sarjana Hukum.
Skripsi Penerapan Hak-Hak Tersangka Dalam Proses Penyelidikan Tindak Pidana
(Kode ILMU-HKM-0010) : Skripsi Penerapan Hak-Hak Tersangka Dalam Proses Penyelidikan Tindak Pidana
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Acara Pidana Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, tentang KUHAP, merupakan suatu peraturan yang memuat tentang bagaimana caranya aparat penegak hukum : Polisi, Jaksa, Hakim dan Penasehat hukum menjalankan wewenangnya menegakkan hukum pidana materiil (KUHP). Para penegak hukum harus memperhatikan dua kepentingan hukum secara berimbang yaitu kepentingan perorangan (Hak seseorang) dengan kepentingan masyarakat dalam suatu proses beracara pidana.
Berdasarkan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang antara lain yaitu (1) Mencari kebenaran sejati, (2) Melakukan pemeriksaan perkara pidana yang didasarkan atas hukum, keyakinan dan rasa keadilan masyarakat dan, (3) melaksanakan putusan atau eksekusi terhadap tersangka yang diputus bersalah.
Berdasarkan pada tujuan HAP diatas, kiranya persoalan sistem pemeriksaan terhadap tersangka akan membawa pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan dimaksud. Dalam konteks ini, KUHAP membagi dua sistem pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa yaitu : (a) pemeriksaan permulaan (pendahuluan) yang dilakukan oleh kepolisian/penyidik dan (b) pemeriksaan persidangan yang dilakukan oleh hakim.
Dalam sistem pemeriksaan permulaan, ketentuan KUHAP menganut azas pemeriksaan Inquisitor Lunak artinya bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka boleh didampingi oleh Penasehat Hukum yang mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif yakni Penasehat hukum diperkenankan untuk melihat, mendengar dan memberikan petunjuk dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka. Dalam praktek, pemeriksaan dalam sistem Inquisitor Lunak ini, tersangka boleh meminta kepada Penasehat Hukum penjelasan-penjelasan tentang maksud dari pertanyaan-pertanyaan dari penyidik, terutama terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya “menjerat”.
Atas dasar sistem di atas, maka tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan (Pasal 52 dan 184 (1) KUHAP) tidak diperlakukan sebagai Terdakwa (obyek) yang harus diperiksa, melainkan tersangka dilakukan sebagai subyek, yang artinya tersangka tidak dapat dipaksa untuk mengaku bersalah dengan cara paksaan, tekanan ataupun ancaman-ancaman. Ketentuan ini jelas terdapat dalam pasal di atas (Pasal 52 dan 184 ayat 1) KUHAP, yang intinya menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik tidak untuk mendapatkan pengakuan tersangka tetapi untuk mendapatkan keterangan tersangka mengenai peristiwa pidana yang dipersangkakan kepadanya.
Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman dan Undang-Undang no. 8 tahun 1981, tentang KUHAP (pasal 5 s/d pasal 8) dinyatakan hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dan mendapatkan perlindungan dalam Negara yang berdasarkan Pancasila dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Diantara azas-azas tersebut, terdapat satu azas yaitu azas praduga tak bersalah atau (Presumption of innocent). Azas ini pada dasarnya menyatakan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. Maksud dari tujuan azas tersebut dapat diterangkan bahwa sebelum seseorang tersangka/terdakwa harus dan wajib diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hak-hak tersangka, harkat dan martabat tersangka sebagai manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh petugas penyidik. Dalam Konteks ini, proses interogasi/menggali keterangan dari tersangka, tidak boleh dilakukan dengan melanggar hak-hak tersangka, apalagi melanggar harkat dan martabat tersangka sebagai manusia.
Persoalannya sekarang adalah dapatkah penyidik dalam melakukan pemeriksaan permulaan benar-benar menjunjung tinggi hak-hak tersangka serta harkat dan martabatnya ? Sebagaimana kita amati di berbagai media massa, sering terungkap perlakuan oknum-oknum polisi bertindak kasar dan cenderung dapat melukai tersangka ketika melakukan proses pemeriksaan terhadap tersangka.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penulis perlu merumuskan beberapa masalah antara lain :
1. Bagaimana penerapan hak-hak tersangka dalam proses penyelidikan tindak pidana ?
2. Langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian agar hak-hak tersangka dalam proses penyelidikan tindak pidana benar-benar dapat dipenuhi ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hak-hak tersangka dalam proses penyelidikan tindak pidana.
2. Untuk mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian agar hak-hak tersangka dalam proses penyelidikan tindak pidana benar-benar dapat dipenuhi.
D. Metode Penelitian
Metode penulisan yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan secara yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melihat peraturan perundang-undangan mengenai penerapan hak-hak tersangka dalam proses penyelidikan tindak pidana di samping pendekatan sosiologis yaitu pendekatan dengan melihat kenyataan dalam praktek, sejauh mana peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah tersebut ditetapkan.
E. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan dalam pembahasan permasalahan, maka sistematika saya susun sebagai berikut :
BAB I : Adalah pendahuluan yang terdiri dari pembagian sebagai
berikut : latar belakang masalah dan rumusannya, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan skripsi, metode penelitian, dan pertanggungjawaban sistematika.
BAB II : Pada Bab II dibahas mengenai kajian teori yang relevan dengan tema skripsi untuk kemudian dijadikan sebagai pijakan dalam pembahasan bab-bab selanjutnya.
BAB III : Pada Bab III dibahas mengenai penyajian data dan pemecahan masalah yang pada prinsipnya adalah sebagai salah satu alternatif jalan keluar dari permasalahan yang dibahas pada skripsi ini.
BAB IV : Selanjutnya pada Bab IV berisi kesimpulan dan saran, ini merupakan bab yang terakhir dari seluruh uraian dalam penulisan skripsi ini. Dalam bab ini penulis membagai dalam dua bagian, bagian pertama adalah kesimpulan yang penulis ambil dari uraian-uraian bab-bab sebelumnya, dan bagian kedua adalah saran, di sini penulis mencoba memberikan saran terhadap pembahasan dalam penulisan skripsi ini.
Skripsi Kode Sumber Website Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia Studi Kasus Website X
(Kode ILMU-HKM-0007) : Skripsi Kode Sumber Website Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia Studi Kasus Website X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.
Dalam hal ini terdapat beberapa pengecualian seperti untuk tujuan penegakan hukum, sebagaimana yang diatur juga dalam Article 2 European Convention on Human Rights yang menyatakan :
protection the right of every person to their life. The article contains exceptions for the cases of lawful executions, and deaths as a result of "the use of force which is no more than absolutely necessary" in defending one's self or others, arresting a suspect or fugitive, and suppressing riots or insurrections.
Pengecualian terhadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lainnya tanpa ada alas hak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan melalui aksi teror. Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia
serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta, Bali. Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada 19 April 1999, Bom Malam Natal pada 24 Desember 2000 yang terjadi di dua puluh tiga gereja, Bom di Bursa Efek Jakarta pada September 2000, serta penyanderaan dan pendudukan Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama.
Kembali pada kasus Bom Bali I. Aksi teror melalui peledakan bom mobil di Jalan Raya Legian Kuta ini semula direncanakan dilaksanakan pada 11 September 2002, bertepatan dengan peringatan setahun tragedi di Gedung World Trade Center New York, Amerika Serikat. Seperti diketahui, peristiwa 11 September 2002 ini mengawali “Perang Global” terhadap terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Kebijakan Amerika Serikat yang berat sebelah seperti pemunculan jargon “Jihad adalah Terorisme” dalam memerangi terorisme telah menjadi alasan beberapa kelompok teroris untuk melakukan perlawanan, salah satunya dilakukan oleh Ali Imron, Ali Gufron, dan Amrozi.
Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan warga negara dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai.
Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures).7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan.
Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.
Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)8 adalah :
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa
Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief disebut dengan tindak pidana mayantara.9 Secara garis besar cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.
Perkembangan teknologi dan perkembangan hukum telah menyebabkan tergesernya bentuk media cetak menjadi bentuk media digital (paper less). Perlu diperhatikan dalam kejahatan dengan menggunakan komputer, bukti yang akan mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah berupa data elektronik, baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna komputer.
Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh terhenti dengan ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan barang bukti maupun alat bukti berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu peristiwa hukum. Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing), dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital.
Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga menyangkut aspek validasi data digital yang dijadikan alat bukti tersebut. Aspek lain terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware).
Sebagaimana telah dijelaskan terlebih dahulu, bukti digital tidak dikenal dalam Hukum Acara Pidana Umum (KUHAP). Namun, untuk beberapa perbuatan hukum tertentu, bukti digital dikenal dan pengaturannya tersebar pada beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Tentang Dokumen Perusahaan, Undang-undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Tentang Kearsipan, Undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi fokus penulisan ini.
Sebagai lex specialis, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 memiliki kekhususan secara formil dibandingkan KUHAP. Salah satu kekhususan tersebut yang menjadi fokus dalam penulisan ini adalah terkait penggunaan alat bukti yang merupakan pembaharuan proses pembuktian konvensional dalam KUHAP. Pengaturan mengenai alat bukti pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut terlihat dalam Pasal 27, yaitu sebagai berikut.
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.12
Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan doktrin (ilmu hukum) dikategorikan sebagai Barang Bukti yang berfungsi sebagai data penunjang bagi alat bukti.13 Akan tetapi dengan adanya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini, kedua alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan mengikat serta memiliki kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP.
Meskipun demikian, prinsip lex specialis derogat legi generalis tetap berlaku. Dengan penafsiran secara a contrario, dapat diartikan hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus, dalam hal ini Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini KUHAP.
Penelitian ini bertolak dari permasalahan penggunaan bukti digital (digital evidence) sebagai alat bukti tindak pidana terorisme di Indonesia. Objek dari penelitian ini adalah Source Code atau Kode Sumber sebuah website yang merupakan media informasi teroris, yaitu website Al-Anshar dengan alamat di http : //www.X. Dipilihnya kode sumber sebagai objek penelitian dikarenakan kode sumber adalah tampilan yang paling orisinal dari sebuah website. Segala tampilan yang ramah pengguna atau user friendly interface dari sebuah website dibangun dari baris kalimat pada kode sumber website tersebut. Sehingga apabila tampilan dari suatu website mengandung substansi yang merupakan upaya terorisme, maka harus dilihat dari kode sumber website tersebut. Selain itu, dari website tersebut kode sumber lah yang paling mungkin dijadikan alat bukti.
Situs www.X yang diduga dibuat oleh Agung Setyadi, dosen salah satu perguruan tinggi di Semarang, dan
M. Agung Prabowo Max Fiderman alias Kalingga alias Maxhaser, mahasiswa salah satu universitas di kota itu, dipakai untuk menyampaikan informasi terorisme atas pesanan Noordin M. Top sebagai media informasi perjuangannya.
Isi dari informasi para teroris itu seputar materi-materi Tauziah Syaikh Mukhlas, Tauhid, Jihad, Wacana, Islamiah dan Askariah. Antara lain mengajarkan penyerangan dengan cara memanfaatkan antrean di jalan atau pintu masuk masuk atau keluar kantor, pusat perbelanjaan, hiburan, olahraga, hotel dan tempat pameran. Sejumlah lokasi, seperti Ancol, Planet Hollywood dan Jakarta Hilton Convention Center (JHCC) serta Senayan Golf Driving Range.
Kasus tersebut saat ini tengah dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor Perkara 84/PID/B/2007 PN SMG. Hingga saat penelitian ini disusun, kasus tersebut telah mencapai tahap pembelaan (pledoi).
Untuk selanjutnya, pembahasan penelitian ini akan menjelaskan bagaimana kode sumber dari sebuah website dapat dijadikan alat bukti. Penjelasan tersebut akan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memungkinkan penggunaan alat bukti digital dalam persidangan, khususnya Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu dari penelitian ini akan terlihat sikap aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam mempergunakan alat bukti yang ada.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok masalah, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia ?
2. Dapatkah sebuah kode sumber website dijadikan alat bukti di persidangan berdasarkan Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ?
3. Bagaimana dalam prakteknya penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana Terhadap Informasi Elektronik (Source Code Website) di dalam Peristiwa Tindak Pidana Terorisme pada Kasus Website X ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan penulisan secara umum dan tujuan penulisan secara khusus, adapun tujuannya sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah memberikan gambaran penggunaan informasi elektronik sebagai alat bukti dalam acara pembuktian pada Hukum Acara Pidana di Indonesia. Hal ini untuk mengakomodir semakin canggihnya tindak pidana yang menggunakan teknologi informasi, seperti cyberterrorism.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui pengaturan penggunaan bukti digital dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya undang-undang terkait hukum pidana.
b. Mengetahui bagaimana sebuah kode sumber dijadikan alat bukti dalam tindak pidana terorisme berdasarkan Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
c. Mengetahui penerapan bukti digital di dalam praktek persidangan terkait kasus website www.X.
D. Definisi Operasional
Dalam penulisan penelitian Kode Sumber (Source Code) Website Sebagai Alat Bukti di dalam Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Studi Kasus terhadap Website Al-X) ini akan banyak digunakan istilah dalam bidang hukum dan bidang komputer. Untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian mengenai istilah yang dipakai dalam penulisan ini, berikut dijelaskan definisi operasional dari istilah tersebut :
Kode Sumber (Source Code) adalah :
The nonmachine language used by a computer programmer to create a program. Source code (commonly just source or code) is any series of statements written in some human-readable computer programming language.
Terjemahan bebasnya adalah : Bahasa non-mesin yang digunakan oleh programer untuk menyusun suatu program. Kode sumber adalah serangkaian pernyataan yang ditulis dalam bahasa program yang dipahami manusia.
Website adalah :
A website (or Web site) is a collection of web pages. A web page is a document, typically written in HTML, that is almost always accessible via HTTP, a protocol that transfers information from the website's server to display in the user's web browser.
Terjemahan bebasnya adalah. Website (atau Web Site) sebuah kumpulan dari halaman web. Halaman web adalah sebuah dokumen yang biasanya ditulis dalam Hyper Text Markup Language (HTML) yang dapat diakses melalui protokol Hyper Text Transfer Protocol (HTTP) yang merupakan protokol untuk menyampaikan informasi dari sebuah pusat website untuk ditampilkan dihadapan pengguna program pembaca website.
Terorisme adalah : The use or threat of violance to intimidate or cause panic, esp. as a means of affecting political conduct.19 Terjemahan bebasnya adalah, penggunaan atau upaya kekerasan untuk mengintimidasi atau menyebabkan kepanikan, khususnya dengan membawa dampak politik.
Tindak Pidana Terorisme adalah, segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.20
Bukti Digital adalah :
bukti yang di dapat dari kejahatan yang menggunakan komputer untuk mengarahkan suatu peristiwa pidana berupa data-data elektronik baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hard disk/floopy disk) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas penggunaan komputer.21
Informasi Elektronik adalah :
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.22
Alat bukti adalah alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.23
Pembuktian adalah :
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.24
Hukum Pidana adalah :
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan barangsiapa yang melanggar peraturan-peraturan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.25
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan penelitian yang berdasarkan studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, artinya penelitian hanya dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum.26 Oleh karena itu, data yang digunakan adalah data sekunder yang didapatkan melalui studi dokumen.
Berkaitan dengan data yang digunakan, bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer yang digunakan, peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selanjutnya, bahan hukum sekunder yang merupakan bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini, meliputi buku, artikel ilmiah, jurnal online dari Pusat Data West Law, dan makalah terkait. Bahan hukum tersier yang digunakan antara lain kamus Hukum Black’s Law Dictionary dan ensiklopedia online, antara lain wikipedia dan Encarta.
Tipologi penelitian yang digunakan dalam pembuatan laporan penelitian ini adalah penelitian berfokus masalah, yaitu suatu penelitian yang mengaitkan penelitian murni dengan penelitian terapan.27 Dalam penelitian ini dijelaskan mengenai dasar teori pembuktian dan teori alat bukti sebagai ilmu murni dari hukum acara pidana dikaitkan dengan penerapan alat bukti berupa informasi elektronik dalam proses beracaranya. Penelitian ini juga merupakan penelitian yang dilakukan secara mono-disipliner, artinya laporan penelitian ini hanya didasarkan pada satu disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum. Selanjutnya, metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian hukum ini terdiri dari lima bab. Pada bab pertama akan dijabarkan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian, tiga pokok permasalahan dari penelitian, tujuan dari penelitian ini baik tujuan umum maupun tujuan khusus, kemudian dijelaskan pula mengenai kerangka konsepsional yang berisi definisi operasional dari istilah dalam penelitian ini, serta metode penelitian.
Pada bab kedua dari penelitian ini akan dijabarkan mengenai pengertian tindak pidana terorsime yang meliputi pembahasan mengenai unsur tindak pidana dan subjek dalam tindak pidana, kemudian membahas bagaimana penerapan perumusan unsur tindak pidana dan subjek pidana dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Untuk memperkaya pembahasan, dalam bab ini juga akan dibahas bagaimana pengaturan dan perumusan tindak pidana terorisme dibeberapa negara, antara lain di Australia dan Amerika Serikat. Pembahasan selanjutnya mengenai terorisme pada perkembangannya; mencakup pembahasan mengenai cyberterrorism serta terorisme berbasis teknologi informasi.
Sub bab terakhir dari bab dua ini adalah pembahasan hukum acara dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, yang meliputi pembahasan Proses Penyelidikan, Penyidikan, dan Upaya Paksa Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan dalam Tindak Pidana Terorisme. Dalam sub-bab ini juga dibahas mengenai beban pembuktian, sistem pembuktian, dan alat bukti yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.
Bab tiga penelitian ini memiliki fokus pada pembahasan teknis, yaitu pembahasan mengenai kode sumber, yang meliputi pembahasan mengenai macam bahasa pemerograman pada pembuatan website, pembahasan mengenai media penyimpanan (storage) sebuah website pada perusahaan webhosting (webhosting compay). Dalam bab ini juga akan dijabarkan mengenai bukti digital, yang akan menjelaskan definisi dari bukti digital, serta bagaimana cara melakukan otentifikasi terhadap bukti digital. Selanjutnya, pembahasan terakhir pada bab tiga adalah mengenai kode sumber yang dijadikan bukti digital.
Bab empat berisi analisis mengenai alat bukti dalam tindak pidana terorisme terhadap penggunaan kode sumber sebagai alat bukti berupa informasi elektronik dalam kasus website alX. Pada bab ini akan dilihat bagaimana penerapan kode sumber sebagai alat bukti berupa informasi elektronik dalam tindak pidana terorisme dikuatkan oleh keterangan ahli, sebagai alat bukti, dan keterangan saksi dalam kaitan dengan alat bukti berupa informasi elektronik.
Bab lima merupakan bab terakhir dalam penulisan ini. Bab lima merupakan penutup penulisan yang berisi simpulan dari keseluruhan penelitian ini. Selain berisi simpulan, bab lima juga berisi saran yang diberikan oleh penulis terkait penyelesaian perakara pidana terorisme, khususnya terorisme yang melibatkan aspek Informasi Teknologi.