Cari Kategori

Skripsi Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pedofilia

(Kode ILMU-HKM-0021) : Skripsi Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pedofilia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan yang sangat penting kiranya untuk membahas tentang Hak Asasi manusia (HAM) pada segala aspek kehidupan, khususnya adalah perlindungan terhadap anak di Indonesia. Masalahnya perlindungan anak baru menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada kurun waktu tahun 1990an, setelah secara intensif berbagai bentuk kekerasan terhadap anak di Indonesia diangkat kepermukaan oleh berbagai kalangan. Fenomena serupa muncul pula diberbagai kawasan Asia lainnya, seperti di Thailand, Vietnam dan Philipina, sehingga dengan cepat isu ini menjadi regional bahkan global yang memberikan inspirasi kepada masyarakat dunia tentang pentingnya permasalahan ini.
Masalah ekonomi dan sosial yang melanda Indonesia berdampak pada peningkatan skala dan kompleksitas yang di hadapi anak Indonesia yang ditandai dengan makin banyaknya anak yang mengalami perlakuan salah, eksploitasi, tindak kekerasan, anak yang didagangkan, penelantaran, disamping anak-anak yang tinggal di daerah rawan konflik, rawan bencana serta anak yang berhadapan dengan hukum dan lain-lainnya. Dampak nyata yang berkaitan dengan memburuknya kondisi perekonomian dan krisis moneter adalah meningkatnya jumlah anak di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) milik masyarakat lebih diperberat lagi dengan menurunnya pendapatan masyarakat yang merupakan salah satu sumber dana.
Dampak negatife dari kemajuan revolusi media elektronik mengakibatkan melemahnya jaringan kekerabatan keluarga besar dan masyarakat yang dimanisfestasikan dalam bentuk-bentuk fenomena baru seperti timbulnya kelompok-kelompok rawan atau marjinal. Misalnya eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun sebagai pekerja seks di Indonesia, dimana menurut data DUSPATIN XXXX jumlah anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersil di bawah umur 18 tahun adalah 70.000 anak di seluruh Indonesia. Anak-anak yang terjerat pada oknum yang memanfaatkan eksploitasi anak sebagai pekerja seks komersil terus meningkat. Keadaan ini membuat anak beresiko tinggi tertular penyakit yang disebabkan hubungan seksual khususnya HIV/AIDS.
Laporan dari UNICEF mengenai upaya perlindungan khusus kepada anak-anak, tercatat bahwa dewasa ini banyak anak-anak di Indonesia mendapat perlakuan yang sangat tidak layak, mulai dari masalah anak jalanan yang berjumlah lebih dari 50.000 orang, pekerja anak yang dieksploitasikan mencapai sekitar 1,8 juta anak, sehingga kepada permasalahan perkawinan dini, serta anak-anak yang terjerat penyalahgunaan seksual (eksploitasi seksual komersil) yang menempatkan anak-anak itu beresiko tinggi terkena penyakit AIDS. Dalam analisis situasi yang telah disiapkan untuk UNICEF, diperkirakan bahwa setidaknya ada sekitar 30% dari total eksploitasi anak sebagai pekerja seks di Indonesia dilacurkan ke luar negeri.
Berbagai informasi yang valid atau akurat menyangkut perdagangan anak untuk tujuan seksual komersil, dimana selain diperdagangkan dari daerah satu ke daerah lain dalam wilayah hukum Negara Indonesia. Begitu pula terdapat berbagai macam indikator mengenai penggunaan anak untuk produksi bahan-bahan pornografi, dan para korban dari eksploitasi seksual komersil itu pada umumnya rata-rata berusia 16 tahun dimana bukan hanya anak-anak perempuan yang menjadi korban eksploitasi tetapi juga anak laki-laki yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut.
Masih berkaitan dengan persoalan ini adalah bahwa anak-anak yang obyek eksploitasi seksual komersil menjadi seperti muara atau sebab dari segala persoalan yang ada. Pekerjaan dan anak-anak jalanan dengan amat mudah sekali terjebak ke dalam jaringan perdagangan seks komersil ini. Diperkirakan 30% dari seluruh pekerja seks komersil saat ini adalah anak-anak di bawah umur.
Di Batam setelah terjadi krisis ekonomi jumlah pekerja seks meningkat hampir empat kali lipat menjadi 10.000 anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersil. Bisnis pelacuran anak ini sangat menggiurkan bagi para pelaku yang memanfaatkan anak sebagai pekerja seks, di perkirakan jumlah uang yang berputar dalam industri seks ini berkisar antara Rp 1,8 Milyar sampai Rp 3,3 Milyar pertahun, sebuah angka yang fantastis. Di DKI Jakarta anak-anak yang dilacurkan terdapat di Bongkaran tanah abang, Rawa Bebek, Sepanjang bantaran kali dari manggarai- Dukuh Atas, Kali jodoh dan Jatinegara. Dan mulai lima-enam tahun lalu Indonesia sudah masuk ke dalam peta tujuan kaum pedofil dunia. Anak-anak di bawah umur berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan, bahkan boleh dikatakan mereka berada pada garis bahaya yang akan menggangu tumbuh kembang mereka sebagai seorang anak.
Kasus yang pernah terjadi dan terungkap di Indonesia adalah kasus mantan diplomat Australia William Stuart Brown, atas kasus kejahatan seksual yang dilakukan terhadap dua anak di Karangasem, dipandang beberapa pihak sebagai langkah maju bagi penegakan hukum perlindungan anak di Indonesia. Terlepas dari penyesalan dan simpati atas kasus bunuh diri Brown di Lembaga Pemasyarakatan Amlapura, sehari setelah keputusan vonis itu, ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari kasusnya. Kasus itu menggambarkan bagaimana pedofilia dan kejahatan seksual terhadap anak dipahami masyarakat kita serta bagaimana perangkat hukum kita meresponsnya.
Beberapa polemik yang muncul selama persidangan kasus Brown, seperti klaim tidak terjadi kasus pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) dalam kasus ini dengan klaim tidak terjadi kekerasan dan paksaan terhadap korban, menunjukkan betapa pedofilia masih sering dikacaukan pengertiannya. Ada tidaknya unsur kekerasan fisik masih sering dijadikan kriteria untuk mengategorikan tindak pelecehan seksual terhadap anak sebagai bentuk kejahatan atau tidak. Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih cenderung disempitkan artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan bentuk pelecehan nonkontak seksual, seperti exhibitionism dan pornografi. Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak signifikan dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak karena adanya kesenjangan pemahaman tentang seks antara orang dewasa dan anak-anak. Sebagaimana contoh yang dikemukakan Gunter Schmidt (2002) dalam artikel The Dilemma of the Male Pedophile, bentuk manipulasi genital yang dilakukan anak-anak, meski mengakibatkan orgasme, tidak bisa serta-merta disamakan dengan bentuk masturbasi yang dilakukan orang dewasa. Keluguan dan rasa ingin tahu yang kuat terhadap kehidupan seksualitas yang menjadi ciri khas anak-anak inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia (pedophile) untuk menjerat korbannya. Karena itu, dalam kasus pedofilia, penekanannya lebih pada bentuk eksploitasi dan manipulasi yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan power (imbalance of power) antara pelaku dan anak-anak yang menjadi korbannya.
Anak akan menjadi lost generation dikarenakan orang tua yang tidak cakap dalam mendidik. Hal tersebut membuat mereka menjadi sumber daya yang tidak komptitif hingga sangat kecil kemungkinan untuk mampu bekerja disektor formal dan hal yang demikian pada akhirnya membuat atau menyeret mereka menyerbu sektor informal atau illegal.
Ternyata hak asasi hak tidak pernah diberi melainkan harus direbut dengan suatu gerakan perlindungan hukum terhadap anak-anak, anti kekerasan terhadap anak dan mengambil kembali hak asasi anak-anak yang hilang. Gerakan perlindungan hukum terhadap anak harus digencarkan di tengah-tengan masyarakat. Pencanangan gerakan nasional perlindungan anak adalah dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran bangsa secara nasional guna menghargai hak-hak anak dalam rangka menumbuhkan, mengembangkan kepedulian masyarakat agar berperan aktif melindungi anak dari segala macam bentuk gangguan terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya.
Sebagai suatu gerakan nasioanal di dalam upaya memeberikan perlindungan hukum terhadap anak perlu melibatkan seluruh segmen yang ada. Seperti badan pemerintah, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), organisasi sosial, aparat hukum, tokoh agama, dari kalangan pers serta lembaga-lembaga akademik dan para pakar-pakar untuk bersama-sama, bahu-membahu dalam mewujudkan anak Indonesia yang teguh imannya, berpendidikan, sehat dan tangguh di dalam bersaing serta dapat menentukan masa depannya sendiri.
Dewasa ini di perkirakan jumlah anak yang membutuhkan perlindungan khusus makin besar terutama pasca krisi. Kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak-hak anak makin marak. Suatu permasalahan anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang cukup luas. Negara kita sebenarnya telah banyak pula memberikan perhatian terhadap hak-hak anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta Indonesia dal;am menandatangai konvensi tentang anak hak-hak anak (Convention On The Right of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990. Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain peraturan pemerintah belum semuanya diwujudkan secara efektif, kesigapan aparat dalam penegakan hukum, dan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat dalam permasalahan anak.
Dengan latar belakangan permasalahan yang sangat menarik bagi penulis untuk meneliti masalah ini dan mengangkat permasalahan tersebut dalam skripsi dengan judul : “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Phedofilia”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan tentang tindak pidana phedofilia dalam peraturan hukum di Indonesia ?
2. Apa sanksi bagi pelaku tindak pidana phedofilia sesuai dengan peraturan hukum di Indonesia ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana phedofilia dalam peraturan hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui saksi apa yang dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana phedofilia.
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Memberikan pengetahuan atau wawasan baru bagi para mahasiswa/mahasiswa yang berminat dalam permasalahan hak anak.
2. Sebagai tambahan bacaan bagi kalangan yang berminat membahas permasalahan kekerasan seksual atau phedofilia.
3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata-1 pada Fakultas Hukum Universitas X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:16:00

Skripsi Tinjauan Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan Dan Implikasi Yuridisnya Terhadap Kekuatan Alat Bukti

(Kode ILMU-HKM-0019) : Skripsi Tinjauan Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan Dan Implikasi Yuridisnya Terhadap Kekuatan Alat Bukti (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Kelas IA Kota X)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.
Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma (Satjipto Rahardjo, 1982 : 14). Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut.
Bila pada uraian di atas dikatakan bahwa konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi oleh suatu negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, maka hukum juga wajib memberikan timbal balik terhadap negara yang menerimanya sebagai ideologi, dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam rangka memberikan perhatian terhadap penciptaan keadilan dalam masyarakat serta memberikan pelayanan terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat, hukum tidak selalu bisa memberikan keputusannya dengan segera, hukum membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang yang bisa memakan waktu lama sekali, guna mencapai keputusan yang seadil-adilnya dan tidak merugikan masyarakat.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana atau yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Walaupun hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraaan, namun pada kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap penyimpangan-penyimpangan hukum ini tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sehingga ideologi Indonesia sebagai negara hukum benar-benar terwujud.
Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah : “untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan (Darwan Prinst,1998 : 132). Dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian.

Dalam pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan korban, terdakwa dan masyarakat. Kepentingan korban berarti bahwa seseorang yang mendapat derita karena suatu perbuatan jahat orang lain berhak mendapatkan keadilan dan kepedulian dari negara, kepentingan masyarakat berarti bahwa demi ketentraman masyarakat maka bagi setiap pelaku tindak pidana harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tiap individu yang terbukti bersalah harus dihukum.
Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.
Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana. Hal ini dapat dibuktikan sejak awal dimulainya tindakan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim bahkan sampai upaya hukum, masalah pembuktian merupakan pokok bahasan dan tinjauan semua pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, terutama bagi hakim. Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian serta dapat meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijskracht dari setiap alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penafsiran atau pengertian mengenai pembuktian baik pada Pasal 1 yang terdiri dari 32 butir pengertian, maupun pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi Pasal. KUHAP hanya memuat macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana di Indonesia.
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2003 : 273).
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa pada urutan terakhir, menunjukkan bahwa pembuktian (bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian. Namun perihal nilai alat-alat bukti yang disebut oleh pasal 184 KUHAP tetap mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Dengan kata lain, walaupun pembuktian dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian, namun hakim tetap harus hati-hati, dan cermat dalam menilai alat-alat bukti lainnya. Karena pada prinsipnya semua alat bukti penting dan berguna dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Penulis dalam penulisan hukum ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk karena keempat alat bukti tersebut secara umum sudah lebih dikenal oleh pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dan tidak banyak menimbulkan permasalahan dalam penerapannya dalam persidangan. Lain halnya dengan alat bukti keterangan terdakwa yang kadang kala masih sering menimbulkan permasalahan, baik mengenai eksistensinya sebagai alat bukti yang sah, masalah kekuatan nilai pembuktian dan penerapannya di persidangan, maupun kedudukannya sebagai alat bukti terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Bila melihat urutan jenis alat bukti pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka keterangan terdakwa merupakan alat bukti yang terakhir setelah petunjuk. Akan tetapi karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa, sehingga petunjuklah yang seharusnya menduduki posisi terakhir sebagai alat bukti. Terlepas dari permasalahan di atas, pada kenyataannya keterangan terdakwa masih belum memiliki peraturan yang jelas dalam penerapannya, yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi nilai kekuatannya sebagai alat bukti yang sah, sehingga akan berpengaruh juga terhadap putusan pengadilan.
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Mengingat bahwa keterangan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian peristiwa pidana bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi.
Dalam persidangan sering dijumpai bahwa terdakwa mencabut keterangan yang diberikannya di luar persidangan atau keterangan yang diberikannya kepada penyidik dalam pemeriksaan penyidikan yang dimuat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Dimana keterangan tersebut pada umumnya berisi pengakuan terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo (1984 : 137), terhadap keterangan di muka penyidik dan keterangan dalam persidangan harus dibedakan, keterangan yang diberikan di muka penyidik disebut keterangan tersangka, sedangkan keterangan yang diberikan dalam persidangan disebut keterangan terdakwa. Dengan adanya perbedaan ini, penulis menilai akan memperjelas dari kedudukan masing-masing keterangan dalam pembuktian.
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa dalam persidangan terdakwa kerap mencabut kembali keterangan pengakuan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan di sidang pengadilan. Suatu hal yang ironi memang bila melihat bahwa setiap tersangka pasti memberikan keterangan pengakuan di depan penyidik sedemikian rupa jelasnya mengutarakan dan menggambarkan jalannya perbuatan tindak pidana yang disangkakan. Akan tetapi bagaimanapun gamblangnya pengakuan yang tercatat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP), akan selalu dicabut kembali dalam pemeriksaan pengadilan. Hampir seluruh terdakwa, mencabut kembali keterangan pengakuan yang tercatat dalam BAP, hanya satu dua yang tetap bersedia mengakui kebenarannya.
Adapun alasan yang kerap dijadikan dasar pencabutan adalah bahwa pada saat memberikan keterangan di hadapan penyidik, terdakwa dipaksa atau diancam dengan kekerasan baik fisik maupun psikis untuk mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Sedemikian rupa penyiksaan dan ancaman berupa pemukulan, penyulutan bagian badan atau bagian vital tubuh. Kepala dibenturkan di dinding, dan segala macam penganiayaan yang keji, membuat tersangka terpaksa mengakui segala pertanyaan yang didiktekan pejabat pemeriksa. Begitulah selalu alasan yang yang melandasi setiap pencabutan keterangan pengakuan yang dijumpai di sidang pengadilan.
Ditinjau dari segi yuridis, pencabutan ini sebenarnya dibolehkan dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai alasan yang mendasar dan logis (M. Yahya Harahap, 2003 : 326). Sepintas terkesan bahwa syarat pencabutan tersebut mudah dipahami dan mudah untuk dilakukan sehingga diperkirakan penerapannya pun akan lancar tanpa permasalahan. Akan tetapi, pada kenyataannya tidaklah demikian karena ternyata dalam praktek di persidangan pencabutan begitu banyak menimbulkan permasalahan. Terutama mengenai penilaian hakim terhadap alasan pencabutan keterangan terdakwa, dimana dalam praktek di persidangan hakim tidaklah mudah menerima alasan pencabutan keterangan terdakwa.
Permasalahan lain terkait dengan pencabutan keterangan terdakwa adalah mengenai eksistensi keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dalam hal digunakan untuk membantu menemukan alat bukti dalam persidangan sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP (Darwan Prinst, 1998 : 145). Sebab sesuatu hal yang fungsi dan nilainya digunakan untuk membantu mempertegas alat bukti yang sah, maka kedudukannya pun telah berubah menjadi alat bukti, termasuk pengakuan terdakwa pada tingkat penyidikan (M. Yahya Harahap, 2003 : 323).
Masalah pencabutan keterangan terdakwa ini juga akan membawa permasalahan lain, yaitu persoalan berkaitan dengan implikasi pencabutan tersebut terhadap kekuatan alat bukti, serta pengaruhnya terhadap alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan hal inilah, maka penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian sebagai bahan penulisan hukum yang mempunyai judul :
"TINJAUAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI” (Studi Di Pengadilan Negeri Kelas IA X).

B. Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka diperlukan suatu pembatasan masalah. Dan untuk memudahkan dalam penyusunan dan pencarian data guna menghasilkan sebuah penelitian yang baik dan menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan dalam penulisan, maka perlu disusun perumusan masalah secara teratur dan sistematis yang merupakan pembatasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut :
1. Apakah terdakwa diperkenankan untuk mencabut keterangannya dalam persidangan ?
2. Bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai alat bukti ?

C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai secara jelas. Tujuan penelitian dapat bersifat untuk pengembangan ilmu dalam arti explanation, developmental, atau verifikasi ilmu, atau untuk membantu memecahkan masalah tertentu. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Objektif
a. Mendeskripsikan apakah terdakwa diperkenankan untuk mencabut keterangannya dalam persidangan.
b. Mendeskripsikan bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai alat bukti.
2. Tujuan Subjektif
a. Meningkatkan kualitas pengetahuan penulis tentang penggunaan alat-alat bukti dalam pembuktian kesalahan terdakwa di pengadilan.
b. Memperoleh data yang cukup dan relevan yang diperlukan dalam penulisan hukum sebagai syarat mencapai gelar sarjana di bidang ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pembuktian pidana serta dapat menambah bahan-bahan kepustakaan.
b. Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas X.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan.
c. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:15:00

Skripsi Tinjauan Yuridis Terhadap Penahanan Atas Aung San Suu Kyi Oleh Pemerintah Myanmar Menurut International Covenant On Civil And Political Rights

(Kode ILMU-HKM-0020) : Skripsi Tinjauan Yuridis Terhadap Penahanan Atas Aung San Suu Kyi Oleh Pemerintah Myanmar Menurut International Covenant On Civil And Political Rights

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak (right) adalah hak (entitlement). Hak adalah tuntutan yang dapat diajukan seseorang terhadap orang lain sampai kepada batas-batas pelaksanaan hak tersebut. Dia tidak mencegah orang lain melaksanakan hak-haknya. Hak-hak tersebut mungkin saja dilanggar tetapi tidak pernah dapat dihapuskan.
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia semenjak dia lahir dan merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. HAM tidak dapat dialihkan dari satu orang kepada orang lain, selain itu HAM bersifat universal yang artinya berlaku di mana saja dan kapan saja.
Dalam perkembangan HAM dari masa ke masa, abad ke-20 merupakan puncak perkembangan dan kesadaran HAM. Abad ke-20 dapat dilihat sebagai masa di mana kesadaran tentang pentingnya hak-hak, khususnya HAM, sangat menonjol dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Hal ini terlihat dari berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian membuat instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak asasi manusia.
Adanya instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak asasi manusia, bukan berarti pelanggaran terhadap hak asasi manusia berkurang atau tidak ada lagi. Pelanggaran hak asasi manusia tetap ada dan korban tetap berjatuhan, contohnya pada perang Vietnam dan terjadinya genocide di Yugoslavia dan Rwanda. Pelanggaran hak asasi manusia terjadi di seluruh belahan dunia, termasuk di wilayah Asia Tenggara salah satunya adalah Myanmar.
Pada tahun 1988, di Myanmar terjadi demonstrasi berskala nasional yang dimulai sebagai bagian dari reaksi atas tekanan terhadap semua hak-hak sipil dan politik oleh pemerintah Myanmar dan atas kegagalan ekonomi sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah yaitu Burmese way to socialism.
Pada saat itu banyak terjadi demonstrasi-demonstrasi yang menuntut hak-hak atas kebebasan dan demokrasi tapi tentara menggunakan cara kekerasan untuk membubarkan demonstrasi tersebut. Ratusan warga sipil ditangkap dan banyak yang menderita cedera atau meninggal dalam perawatan di tahanan. Puncaknya adalah ketika seorang politikus yang merupakan sekretaris Jenderal Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy, NLD) ditangkap dan ditahan tanpa ada proses pengadilan yang adil dan alasan kenapa ia ditangkap, orang tersebut adalah Aung San Suu Kyi.
Di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada Pasal 9 disebutkan bahwa tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang. Terlihat jelas bahwa pasal tersebut melarang setiap penahanan yang secara sewenang-wenang.
Suatu penahanan dapat dikatakan sewenang-wenang ketika tindakan penahanan tersebut melanggar prosedur hukum domestik dan tidak sesuai dengan standar-standar internasional yang relevan seperti diatur dalam DUHAM dan instrumen-instrumen internasional yang relevan serta telah diterima oleh negara yang bersangkutan.
Selain di DUHAM, penahanan sewenang-wenang juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu pada Pasal 9 yang dalam kalimat kedua menyatakan bahwa “…tak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang…”. Larangan kesewang-wenangan kesewenang-wenangan dalam kalimat kedua Pasal 9 ayat 1 ICCPR menunjukkan pembatasan tambahan dalam kaitannya dengan pencabutan kebebasan, suatu pembatasan yang ditujukan kepada badan perundang-undangan nasional dan agen-agen penegak hukum.
Selain diatur dalam dua konvensi di atas, penahanan sewenang-wenang juga diatur dalam the Body of Principles for Protection of All Persons under any Form of Detention or Imprisonment, selanjutnya di sebut the Body of Principles. The Body of Principles menyatakan bahwa penangkapan, penahanan atau pemenjaraan hanya boleh dilaksanakan secara kaku sesuai dengan ketentuan hukum dan oleh para pejabat yang berwenang atau orang yang diberikan wewenang untuk itu (Body of Principles, Prinsip 2). Dalam prinsip tersebut tersiratkan bahwa seseorang ditangkap atau ditahan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan tidak boleh melanggar atau mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam konstitusi Myanmar memang tidak disebutkan secara jelas bahwa penahanan secara sewenang-wenang dilarang. Namun hal tersebut tersirat dalam Pasal 159 huruf b yang menyatakan bahwa “no citizen shall be placed in custody for more than 24 hours without the sanction of a competent judicial organ”. Isi pasal tersebut berarti setiap warga negara tidak boleh ditahan lebih dari 24 jam tanpa adanya sanksi dari lembaga hukum yang berwenang. Terlihat jelas bahwa seseorang dapat ditahan apabila telah dikenai sanksi oleh lembaga hukum yang berwenang dan yang merupakan lembaga hukum yang berwenang di Myanmar adalah Council of People’s Justices.
Pada tanggal 28 Mei 2004, United Nations Working Group for Arbitrary Detention mengeluarkan opini (No. 9/2004) bahwa penahanan atau pengurangan kebebasan Aung San Suu Kyi adalah sewenang-wenang, sebagai yang disebut pada Pasal 9 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi “tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang”, dan meminta kepada pemerintah Myanmar untuk melepaskan Aung San Suu Kyi, tapi sampai sekarang pemerintah Myanmar tidak memperdulikan permintaan tersebut.
Penahanan Aung San Suu Kyi oleh pemerintah Myanmar berdasarkan Pasal 10 1975 State Protection Act, yang menyebutkan bahwa untuk melindungi negara dari bahaya, the Central Board mempunyai hak untuk melakukan tindakan penahanan terhadap orang yang dianggap membahayakan negara selama 90 hari, bisa diperpanjang menjadi 180 hari dan apabila dianggap perlu orang tersebut bisa di tahan selama satu tahun 1975 State Protection Act di amandemen oleh State Law and Order Restoration Council (SLORC) pada tanggal 9 Agustus 1991. Amandemen ini mengubah maksimun masa penahanan pada Pasal 14 dan 22, dari tiga tahun menjadi lima tahun. Amandemen ini juga mehilangkan right to appeal pada Pasal 21.
Pada saat masa penahanan Aung San Suu Kyi sudah habis, pemerintah Myanmar menambah lagi masa tahanan untuk beberapa tahun ke depan. Penambahan masa tahanan rumah Aung San Suu Kyi berdasarkan 1975 State Protection Act (Pasal 10 b), di mana memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk menahan seseorang tanpa adanya proses pengadilan. Hingga sampai sekarang Aung San Suu Kyi masih berada dalam tahanan rumah dengan dibatasinya segala informasi, kegiatannya serta tamu-tamunya yang akan berkunjung.
Dengan melihat uraian di atas terlihat bahwa pemerintahan Myanmar tersebut melakukan penahanan rumah secara sewenag-wenang terhadap Aung San Suu Kyi dan melanggar hak-hak sipil dan politik Aung San Suu Kyi yang berhubungan dengan penahanan rumah tersebut, contohnya hak untuk berbicara, hak untuk berkelompok. Penahanan rumah yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi tersebut juga tidak disertai dengan alasan yang jelas dan tidak ada peradilan yang jujur dan adil.
Dengan mengingat pentingnya (dianggap sebagai non-derogable rights) hak asasi manusia yang berkaitan dengan kebebasan individu seperti kebebasan berbicara, kebebasan berpikir, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta mendapatkan pengadilan yang jujur dan adil.[Sic!] Serta, dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas masalah hak asasi manusia, khususnya tentang penahanan Aung San Suu Kyi oleh pemerintah Myanmar. Oleh karena itu penulis mengangkat judul skripsi : Tinjauan Yuridis terhadap Penahanan atas Aung San Suu Kyi oleh Pemerintah Myanmar menurut International Covenant on Civil and Political Rights.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah penahanan terhadap Aung San Suu Kyi melanggar HAM ?
2. Apakah tanggung jawab pemerintah Myanmar terhadap penahanan Aung San Suu Kyi ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut di muka, di bawah ini dikemukakan tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menggambarkan apakah penahanan terhadap Aung San Suu Kyi melanggar HAM.
2. Untuk mengetahui dan menggambarkan apa tanggung jawab pemerintah Myanmar terhadap penahanan Aung San Suu Kyi.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoretis, pembuatan skripsi ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum, khususnya hukum hak asasi manusia internasional.
2. Secara praktis, pembuatan skripsi ini bertujuan untuk memberikan wawasan kepada pembaca mengenai pelanggaran HAM dan juga memberikan masukan bagi para praktisi hukum yang secara langsung maupun tak langsung terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:15:00

Skripsi Perubahan Perjanjian Kerja Terhadap Status Pekerja Waktu Tertentu Setelah Kenaikan Upah (Studi Kasus PT. X)

(Kode ILMU-HKM-0017) : Skripsi Perubahan Perjanjian Kerja Terhadap Status Pekerja Waktu Tertentu Setelah Kenaikan Upah (Studi Kasus PT. X)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dan penyebaran penduduk yang kurang seimbang, merupakan faktor yang amat mempengaruhi tentang masalah ketenagakerjaan di tanah air Indonesia. Dalam literatur hukum perburuhan yang ada, riwayat hubungan perburuhan di Indonesia diawali dengan suatu masa yang sangat suram yakni zaman perbudakan di mana terjadi penindasan dan perlakuan di luar batas kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkemampuan secara sosial ekonomi maupun penguasa pada masa itu.
Jika hubungan antara pekerja dan pengusaha tetap diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan hukum perburuhan untuk menciptakan keadilan sosial di bidang perburuhan akan sangat sulit tercapai, karena pihak yang kuat selalu ingin menguasai pihak yang lemah. Pengusaha sebagai pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak pekerja yang berada pada posisi yang lemah/rendah.
Atas dasar itu, pemerintah secara berangsur-angsur turut serta dalam menangani masalah perburuhan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja. Campur tangan pemerintah dalam bidang perburuhan melalui peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah membawa perubahan mendasar yakni menjadikan sifat hukum perburuhan menjadi ganda yakni sifat privat dan sifat publik. Sifat privat melekat pada prinsip dasar adanya hubungan kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Sedangkan sifat publik dari hukum perburuhan dapat dilihat dari adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang perburuhan/ketenagakerjaan dan dapat dilihat dari adanya ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (upah minimum).
Hubungan kerja merupakan hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.
Saat ini masih banyak pekerja yang tidak mengerti akan hak dan kewajibannya sehingga banyak pekerja yang merasa dirugikan oleh pengusaha yang memaksakan kehendaknya pada pihak pekerja dengan mendiktekan perjanjian kerja tersebut pada pekerjanya. Isi dari penyelenggaraan hubungan kerja tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang yang bersifat memaksa ataupun yang bertentangan dengan tata susila yang berlaku dalam masyarakat, ataupun ketertiban umum. Bila hal tersebut sampai terjadi maka perjanjian kerja tersebut dianggap tidak sah dan batal.
Perjanjian kerja memegang peranan penting dan merupakan sarana untuk mewujudkan hubungan kerja yang baik dalam praktek sehari-hari, maka perjanjian kerja pada umumnya hanya berlaku bagi pekerja dan pengusaha yang mengadakan perjanjian kerja. Dengan adanya perjanjian kerja, pengusaha harus mampu memberikan pengarahan/penempatan kerja sehubungan dengan adanya kewajiban mengusahakan pekerjaan atau menyediakan pekerjaan, yang tak lain untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.
Walaupun suatu perjanjian kerja telah mengikat para pihak, namun dalam pelakasanaannya sering berjalan tidak seperti apa yang diharapkan misalnya masalah jam masuk kerja, masalah upah, sehingga menimbulkan perselisihan paham mengenai hubungan kerja dan akhirnya terjadilah pemutusan hubungan kerja.
Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang masih belum terpenuhi hak-haknya dan sering diperlakukan semena-mena, jam kerja melampaui batas, upah tidak layak, upah minimum belum dilaksanakan, jaminan sosial kurang diperhatikan sehingga pekerja masih ada juga yang hidup dalam kekurangan. Tujuan pekerja bekerja adalah untuk memperoleh upah sebagai imbalan atas tenaga yang ia keluarkan, dan upah bagi pekerja sebagai akibat dari perjanjian kerja yang merupakan faktor utama, karena upah merupakan sasaran penting bagi pekerja guna menghidupi pekerja dan keluarganya demi kelangsungan hidupnya.
Dua pandangan yang berbeda antara pengusaha dan pihak pekerja mengenai upah yaitu di satu pihak pekerja melihat upah sebagai jaminan hidup karena harus diperoleh setinggi mungkin, sedangkan pihak pengusaha melihat upah sebagai komponen biaya produksi maka upah harus ditekan serendah mungkin. Akibat dari perbedaan pendapat atau pandangan dari kedua belah pihak inilah yang merupakan sumber perselisihan yang sering terjadi. Kedudukan pekerja sebagai individu dalam hubungan kerja masih tergolong lemah, dalam hal ini pekerja sering menuntut perbaikan upah, biasanya hal ini tidak dipenuhi oleh pihak pengusaha. Tuntutan dari pihak pekerja kemungkinan kecil akan berhasil, tetapi keberhasilan itu selalu dibayang-bayangi akan adanya pemecatan dan juga ancaman akan diputuskan hubungan kerjanya apabila pekerja tersebut berbuat di luar kehendak pengusaha yang sudah ditetapkan.
Mulai tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Dengan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tersebut, dalam suatu perseroan telah menimbulkan banyak permasalahan antara pekerja dengan pengusahanya misalnya mengenai masalah upah/gaji yang dinilai sudah tidak mencukupi kebutuhan hidup para pekerja sehari-hari berhubung dengan kenaikan harga-harga barang yang diakibatkan kenaikan harga BBM tersebut.
PT. X sebagai lingkungan pekerja tertentu, pelaksanaan/penyelenggaraan hubungan kerjanya pun tidak terlepas dari permasalahan. Permasalahannya yang timbul adalah dari kepentingan pihak pengusaha maupun kepentingan pihak pekerja, yaitu masing-masing pihak menuntut agar selalu diperhatikan oleh pihak lainnya dalam hubungan kerja tersebut, walaupun tuntutannya itu menyimpang dari perjanjian kerja yang telah disepakati bersama, karena pekerja menuntut kenaikan gaji yang dinilai sudah tidak mencukupi kehidupan buruh sehari-hari yang diakibatkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang sebetulnya secara hukum hal tersebut tidak dapat dilakukan mengingat para pekerja masih terikat dalam perjanjian kerja selama 2 tahun.
Pengusaha menuntut pekerja agar bekerja dengan semangat penuh karena pengusaha sedang mengejar target dan pengusaha enggan menaikan upah pekerja disebabkan kontrak kerja pekerja tersebut belum berakhir. Dan upaya pengusaha sebelum kenaikan BBM adalah menaikkan upah lembur bagi pekerja-pekerjanya agar para pekerja bekerja dengan semangat penuh. Namun dengan keadaan ekonomi sekarang ini yang serba tidak stabil mempengaruhi semangat kerja para pekerja menjadi menurun drastis akibat harga barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari juga ikut naik dan menyebabkan penghasilan para pekerja otomatis tidak mencukupi kebutuhan hidup pekerja sehari-hari dan semangat kerja para pekerja juga ikut menurun. Penjualan produk-produk karet yang dalam sebulan kira-kira mencapai ±350 ton/bulannya sebelum kenaikan BBM, menjadi ±300 ton/bulannya akibat kenaikan BBM tersebut. Dan upaya dari pengusaha untuk menghadapi kendala tersebut adalah menjanjikan kenaikan upah pada para pekerja apabila para pekerja mampu bekerja dengan semangat penuh. Hal ini menyebabkan para pekerja bekerja dengan semangat kerja yang menggebu-gebu karena menginginkan upah seperti yang dijanjikan oleh pengusaha. Dengan dipenuhi tuntutan para pekerja yaitu dinaikkan gaji pokok masing-masing pekerja sebesar 10% oleh pengusaha mengakibatkan penjualan bermacam-macam jenis karet yang semula dari bulan Oktober tahun 2005 sampai dengan bulan Desember tahun 2005 yang dalam sebulannya kira-kira mencapai jumlah ± 300 ton akibat kenaikan harga BBM. Dan pada bulan Januari tahun 2006, penjualan berbagai macam jenis karet menjadi sejumlah ±400 ton/bulannya dikarenakan pihak pengusaha menaikkan upah/gaji pokok masing-masing pekerja sebesar 10 %.
Menurut pengamatan penulis bahwa turunnya semangat kerja, banyak faktor yang menjadi penyebabnya, misalnya upah terlalu rendah, insentif kurang terarah, lingkungan kerja fisik yang buruk, lingkungan sosial yang kurang menyenangkan dan masih bermacam-macam sebab lainnya. Tetapi sebetulnya prinsip turunnya semangat kerja disebabkan ketidakpuasan para pekerja baik pada barang material (upah, jaminan sosial fasilitas material) maupun pada bidang non material (penghargaan sebagai manusia, kebutuhan berpartisipasi, harga diri). Bila tidak diketahui sebab-sebab turunnya semangat kerja, maka pemecahan permasalahan yang timbul hanya akan bersifat tambal sulam semata-mata atau hanya pada permukaan/kulitnya.
Dalam hubungan kerja timbul perselisihan antara pihak pengusaha dan pihak pekerja biasanya berpokok pangkal karena ada perasaan-perasaan kurang puas. Pengusaha memberikan kebijaksanaan yang menurut pertimbangannya sudah baik akan diterima oleh para pekerja, namun para pekerja yang bersangkutan mempunyai pertimbangan dan pandangan yang berbeda-beda, maka akibatnya kebijaksanaan yang diberikan pengusaha itu menjadi tidak sama, pihak pekerja yang merasa puas akan tetap terus bekerja sedangkan pihak pekerja yang merasa tidak puas akan menunjukkan semangat kerja yang menurun hingga terjadi perselisihan-perselisihan.
Dalam hubungan kerja di PT. X timbullah perselisihan dimana pihak pekerja menuntut kenaikan upah dan pihak pengusaha enggan menaikkan upah pekerja tersebut karena para pekerja masih terikat kontrak kerja selama 2 tahun sehingga timbullah perselisihan. Pengusaha enggan menaikkan upah para pekerja karena melihat ketentuan Pasal 59 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni : “Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun”. Atas dasar itulah pengusaha enggan menaikkan upah pekerja dan apabila upah para pekerja tidak dinaikkan, maka para pekerja akan bekerja dengan semangat yang menurun dan menyebabkan penjualan bermacam-macam jenis karet otomatis akan ikut menurun dan perusahaan tersebut juga akan terancam bangkrut. Upaya pengusaha mengatasi permasalahan yang timbul adalah menjanjikan kenaikan upah terhadap para pekerjanya apabila bekerja dengan semangat penuh. Dengan janji tersebut, para pekerja bekerja dengan semangat penuh dan pada akhirnya menyebabkan penjualan bermacam-macam jenis karet mengalami peningkatan. Karena sesuai dengan janji pengusaha tersebut, maka pengusaha memenuhi janjinya dengan menaikkan upah pokok para pekerja sebesar 10%, meskipun kebijakan pengusaha tersebut bertentangan dengan Pasal 59 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas permasalahan ini dalam satu tulisan Karya Ilmiah dengan judul “Perubahan Perjanjian Kerja Terhadap Status Para Pekerja Waktu Tertentu Setelah Kenaikan Upah (Studi Kasus PT. X).”

B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan diangkat penulis adalah bagaimana perubahan perjanjian kerja terhadap status para pekerja waktu tertentu setelah kenaikan upah pada PT. X ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan :
Untuk mengetahui perubahan perjanjian kerja terhadap status para pekerja waktu tertentu setelah kenaikan upah pada PT. X.

Kegunaan :
Keguanaan Teoritis :
Agar mahasiswa/mahasiswi mengetahui status dari pekerja waktu tertentu akibat perubahan perjanjian kerja setelah kenaikan upah.
Kegunaan Praktis :
Agar para pekerja dan pengusaha dapat menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi antara pihak pengusaha dan pekerja sewaktu melangsungkan hubungan kerja.

D. Kerangka Konseptual
Dilihat dari aspek judul dan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka dalam hal ini perlu dijelaskan lebih dahulu mengenai hal tertentu sebagai berikut :
1. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, perubahan adalah hal berubahnya sesuatu; pertukaran; peralihan.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3, pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14, perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
4. Menurut Imam Soepomo, perjanjian kerja adalah perjanjian di mana pihak kesatu, buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah.
5. Menurut Darwan Prinst, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh atas prestasi berupa pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan oleh Tenaga Kerja dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang.
6. Berdasarkan Kamus Hukum Sudarsono, upah adalah uang dan sebgainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu gaji atau imbalan.
7. Berdasarkan Kamus Hukum Sudarsono, status adalah keadaan atau kedudukan seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di lingkungannya.

E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh peneliti untuk meneliti permasalahan seperti telah diuraikan di atas adalah :
1. Normatif atau library research, yaitu penelitian ini didasarkan literatur hukum atau studi dokumen yang diambil dari bahan-bahan pustaka, yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang merupakan bahan hukum yang utama dan belum diolah oleh orang lain (seperti UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang sudah dikelola oleh orang lain atau oleh peneliti yang pakar dibidangnya (seperti buku-buku, artikel koran dan sumber lainnya seperti internet).
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang diteliti itu ada di dalam kamus-kamus yang berkaitan dengan hal-hal yang akan dibahas.
2. Empiris atau field research merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti langsung di lapangan atau masyarakat dalam hal ini adalah PT. X. Metode penelitian ini dilakukan untuk mendapat data dengan cara wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada saudari Susanti yang bekerja mengurusi Bagian Umum dan saudari Lumi yang mengurusi Bagian Administrasi/Pembukuan pada PT.X.

F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam mengikuti sajian pembahasan materi skripsi ini, penulis akan menguraikan secara singkat Bab demi Bab yang terkait guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap arah pembahasan seperti di bawah ini :
BAB I Pendahuluan
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, dan sistematika penulisan.
BAB II Kerangka Teoretis
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai pengertian hubungan kerja, perjanjian kerja, kewajiban pekerja, kewajiban pengusaha, perselisihan perburuhan dan pengertian upah.
BAB III Data Hasil Penelitian
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai sejarah berdirinya PT. X, struktur organisasinya serta membahas mengenai gambaran umum hasil penelitian di PT. X.
BAB IV Analisis Permasalahan
Menganalisis mengenai status para pekerja waktu tertentu akibat perubahan perjanjian kerja baru yang terjadi antara pengusaha dengan pekerja pada PT. X.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Merupakan Bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:14:00

Skripsi Studi Tentang Bentuk Pertanggungjawaban Negara Indonesia Terhadap Protes Malaysia Dan Singapura Dalam Masalah Kabut Asap Kebakaran Hutan

(Kode ILMU-HKM-0018) : Skripsi Studi Tentang Bentuk Pertanggungjawaban Negara Indonesia Terhadap Protes Malaysia Dan Singapura Dalam Masalah Kabut Asap Kebakaran Hutan Di Propinsi Riau

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah masalah yang pelik. Propinsi Riau yang letaknya berdekatan dengan Malaysiaa dan Singapura menjadi sumber transboundary haze pollution bagi kedua negara tersebut. Dari sejumlah titik api yang terdeteksi terbanyak ditemukan di Riau dan Kalimantan Barat. Dalam periode 1-30 Juli XXXX, berdasarkan Data Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer, di Provinsi Riau terdeteksi sejumlah 1.419 titik api, yang terdiri dari : lahan masyarakat (55,39%), kawasan HTI (23,82%) dan perkebunan (20,79%).1 Dampak langsung dari kebakaran hutan di Riau tersebut antara lain : Pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat. Kedua, berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan diliburkan. Ketiga, terancamnya habitat asli Macan Sumatera dan Gajah karena kebakaran hutan juga membakar habitat mereka. Keempat, timbulnya persoalan internasional asap dari kebakaran hutan di Riau menimbulkan kerugian materiil dan imateriil di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Penyebab dari masalah kebakaran hutan adalah karena kesalahan sistemik dalam pengelolaan hutan secara nasional. Dalam hal ini, ada pengusaha perkebunan sawit yang lebih memilih metode land clearing dengan cara membakar daripada metode lain, pekerja-pekerja pembuka lahan yang berasal dari masyarakat setempat. Pemerintah memberikan hak penguasaan hutan (HPH) kepada pengusaha-pengusaha perkebunan sawit.
Tidak terlaksananya mekanisme pembukaan lahan yang seharusnya inilah yang menjadi inti permasalahan. Ketidaktersediaan teknologi yang memadai membuat metode land clearing dengan cara membakar dinilai efisien. Dampak yang ditimbulkan dari penerapan metode ini terhadap lingkungan tidak sebanding dengan hasilnya. Faktor ekonomi menjadi latar belakang kenapa metode ini lazim dilakukan di Riau. Penerapan metode land clearing dengan pembakaran hutan ini bertentangan dengan hukum nasional Indonesia sendiri. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Bab III Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa ”Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.2 Selain itu, Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 Paska Amandemen menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.3
Perlu diperhatikan juga mengenai status Riau sebagai propinsi di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena berkaitan dengan kewenangan propinsi Riau terhadap hutan yang berada di wilayahnya. Ada beberapa kelemahan dalam UU No. 32 tahun 2004 dimana basis otonomi diberikan kepada kabupaten dan bukan propinsi sehingga jika terjadi kebakaran hutan di suatu kabupaten pencemarannya dapat mencakup daerah lainnya. Penyebab kebakaran hutan di Riau jika ditarik garis lurus maka akan melibatkan pengusaha-pengusaha kertas dan pengelola perkebunan sawit. Produsen kertas membutuhkan kayu sebagai bahan baku produksi. Hutan membutuhkan pemeliharaaan dan perawatan yang berkelanjutan agar tetap lestari. Karena mengejar keuntungan pengusaha kertas dan kebun sawit dalam mengelola kertas dan minyak sawit seringkali mengabaikan konsep konservasi.
Terhadap masalah kebakaran hutan ini masyarakat sebenarnya bisa membela sumber daya alam yang berada di sekitarnya. Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengutarakan ada hak masyarakat untuk mengajukan gugatan kepada perusahaan-perusahaan yang kegiatannya berdampak buruk terhadap lingkungan. Hak-hak yang dapat digunakan oleh seseorang tersebut antara lain :
a. hak mengajukan gugatan;
b. pertanggungjawaban (liability),
c. beban pembuktian, dan
d. penentuan ganti kerugian. 4
Mengenai hak mengajukan gugatan dapat dibagi atas beberapa macam yakni :
a. gugatan perwakilan kelompok
b. hak gugat LSM dalam hal terjadinya kerugian negara
c. gugatan masyarakat atau citizen suit5
Adapun mengenai masalah pembuktian dalam kasus ini dapat ditempuh dengan 2 cara yakni :
a. Konvensional (163 HIR dan 1865 BW)
“Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
b. Terbalik
Kewajiban penggugat sebatas mengajukan bukti awal/pendahuluan atau prima facie evidence dan tidak perlu legal evidence.
Ada 2 jenis implikasi jenis pertanggungjawaban terhadap pembuktian ini yakni :
a. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yakni :
1. Kesalahan (fault)
2. Kerugian (damages)
3. Kausalitas (casual link)
4. Beban pembuktian terhadap ketiga unsur di atas terdapat pada penggugat (163 HIR dan 1865 BW)
b. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no fault liability/strict liability), yakni :
1. Kerugian (damages)
2. Kausalitas (casual link)
3. Beban pembuktian terhadap kedua unsur di atas tetap merupakan beban penggugat (163 HIR dan 1865 BW)
4. Beban pembuktian tentang faktor penghapus pertanggungjawaban/pembelaan ada pada diri tergugat sebagaimana layaknya suatu pembelaan (tidak terdapat pemindahan beban pembuktian).
Khusus penggunaan strict liability adalah pada kegiatan yang :
a. Berdampak besar dan penting
b. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun dalam proses produksi
c. Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun 6 Memang setiap negara tetap memiliki kedaulatan terhadap wilayahnya. Negara dapat menurunkan peraturan hukum wajib untuk wilayahnya, memiliki kekuatan eksekutif (adiminstratif, kebijakan), dan pengadilannya adalah satu-satunya yang berwenang untuk mengadili.
Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah ini. Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober XXXX, Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi Indonesia tidak langsung setuju dengan permintaan Malaysia dan Singapura. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan pariwisata mereka. Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan Singapura karena mereka belum merasa puas. Inti ketidakpuasan dari negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan Singapura, Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi The 1997 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). 7
Negara ASEAN lain sudah meratifikasi AATHP kecuali Filipina. Sampai dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN telah meratifikasi yakni Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja.8 Untuk menyelesaikan persoalan pencemaran lintas batas ini sebaiknya diperhatikan ketentuan hukum internasional, khususnya hukum kebiasaan internasional. Prinsip yang berkenaan adalah good neighbourliness. Prinsip ini tersirat dalam Deklarasi Stockholm. Prinsip ini mengatakan kalau setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain.
Contoh kasus yang serupa dengan kasus ini adalah Trail Smelter Case. Prinsip-prinsip internasional ini juga telah diakui dalam Mahkamah Internasional dan dalam dokumen-dokumen hukum lingkungan internasional seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992. Walaupun prinsip-prinsip ini belum dikodifikasikan dalam perjanjian internasional, tetapi bisa dikatakan bahwa kebiasaan internasional telah berkembang.9
Hukum lingkungan internasional pada mulanya berkembang dalam bentuk hukum kebiasaan, yaitu keputusan-keputusan yang dibentuk oleh badan-badan arbitrasi, yang dibentuk oleh negara-negara yang bersengketa, yang ingin menyelesaikan sengketanya secara damai. Pada umumnya mengacu kepada prinsipprinsip hukum internasional, yaitu prinsip tanggungjawab negara (state responsibility), yang mewajibkan setiap negara bertanggungjawab terhadap setiap akibat tindakannya yang merugikan negara lain. Orientasi penerapan prinsip tersebut bukanlah perlindungan lingkungan, melainkan perlindungan dan pemulihan hakhak negara yang dirugikan. 10
Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti adanya pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa satisfaction, misalnya permohonan ma'af secara resmi, ataupun berwujud pecuniary reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.11
Goldie menyatakan bahwa istilah 'responsibility' digunakan untuk menunjuk pada kewajiban (duty), atau menunjuk pada standar pemenuhan suatu peran sosial yang ditetapkan oleh sistem hukum tertentu. Sedangkan istilah 'liability' digunakan untuk menunjuk pada konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang telah ditetapkan.12 Lebih jelasnya lagi dapat diketahui dari rumusan ketentuan Art. 139 (1 & 2) KHL-1982, sebagai berikut :
1. States Parties shall have the responsibility to ensure that activities in the Area, whether carried out by States Parties, or state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, shall be carried out in conformity with this Part. The same responsibility applies to international organizations for activities in the Area carried out by such organizations.
2. Without prejudice to the rules of international law and Annex III, article 22, damage caused by the failure of a State Party or international organization to carry out its responsibilities under this Part shall entail liability : States Parties or international organization acting together shall bear joint and several liability. A State Party shall not however be liable for damage caused by any failure to comply with this Part by a person whom it has sponsored under article 153, paragraph 2 (b), if the State Party has taken all necessary and appropriate measures to secure effective compliance under article 153, paragraph 4, and Annex III, article 4, paragraph 4.13
Dalam konteks perlindungan lingkungan, untuk mengetahui ada tidaknya pertanggungjawaban negara (responsibility) dan atau liability) dalam suatu peristiwa, Zemanek mengingatkan perlunya dilakukan penelitian terhadap empat aspek dari keadaan faktual yang bersangkutan, yang meliputi : akibat (effect); kegiatan (activity); tempat/ruang lingkup (space); serta sumber dan korban (sources and victims).6 Mengenai ada tidaknya akibat yang ditimbulkan dalam suatu peristiwa, pertama-tama perlu untuk dibedakan mengenai pengertian kerusakan (damage) dan pengertian membahayakan (harm).
Dalam hukum internasional, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam Art. 1 (a) Liability Treaty-1972, pengertian 'kerusakan' didefinisikan sebagai berikut : "the term 'damage' means loss of life, personal injury or other impairment of health, or loss of or damage to property of States or persons, natural or juridical, or property of international intergovernmental organizations".14
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Pasal 25 juga memberikan pernyataan bahwa
(1) Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.
(2) Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection.15 Ketentuan Pasal 1 Draft International Law Commision (ILC) tentang Pertanggungjawaban Negara berisi bahwa : ”Every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State”.16 Selain itu sesuai dengan prinsip ke- 14 Deklarasi Rio 1992 yang megatakan “Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah.”17

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura dalam kasus kabut asap akibat kebakaran hutan di Riau pada tahun XXXX ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan obyektif : 1. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban negara terhadap lingkungan terutama dikaitkan dengan adanya protes dari negara lain Tujuan subyektif : 2. Untuk menyelesaikan tanggungjawab sebagai mahasiswa Fakultas Hukum X dan memperoleh gelar Sarjana Hukum.

D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini :
1. Bagi ilmu pengetahuan, memperkaya referensi penulisan hukum
2. Bagi masyarakat luas, memberikan referensi akan masalah kabut asap dan bentuk pertanggungjawabannya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:14:00

Skripsi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pada Malam Hari Di Minimarket X

(Kode ILMU-HKM-0015) : Skripsi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pada Malam Hari Di Minimarket X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang giat-giatnya membangun untuk meningkatkan pembangunan di segala sektor dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Melihat realitas tersebut keselamatan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat vital dalam pelaksanaan tujuan pembangunan nasional, untuk itu perlindungan terhadap tenaga kerja di maksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja.
Pekerja merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja yang telah melakukan kerja, baik bekerja untuk diri sendiri maupun bekerja dalam hubungan kerja atau di bawah perintah pemberi kerja (bisa perseroan, pengusaha, badan hukum atau badan lainnya) dan atas jasanya dalam bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan kata lain tenaga kerja disebut pekerja bila ia melakukan pekerjaan dalam hubungan kerja dan di bawah perintah orang lain dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pekerja adalah manusia yang juga mempunyai kebutuhan sosial, sehingga perlu sandang, kesehatan, perumahan, ketentraman, dan sebagainya untuk masa depan dan keluarganya. Mengingat pekerja sebagai pihak yang lemah dari majikan yang kedudukannya lebih kuat, maka perlu mendapatkan perlindungan atas hak-haknya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan, bahwa : ”tiap-tiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan“.
Menurut pasal ini ada dua hal penting dan mendasar yang merupakan hak setiap warga negara Indonesia yaitu hak memperoleh pekerjan dan hak untuk memperoleh penghidupan yang layak. Suatu pekerjaan tidak hanya mempunyai nilai ekonomi saja, tetapi juga harus mempunyai nilai kelayakan bagi manusia yang tinggi. Suatu pekerjaan baru memenuhi semua itu bila keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pelaksananya adalah terjamin. Dengan demikian pekerja sebagai Warga Negara Indonesia perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar dapat ikut serta aktif dalam pembangunan.
Wujud perhatian pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagai pengganti peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan yang sudah ada sebelumnya yaitu Undang-undang No 14 Tahun 1969 tentang ketentuan ketentuan pokok mengenai tenaga kerja yang di nilai sudah tidak sesuai dengan kemajuan perkembangan masalah ketenagakerjaan. Menurut Pasal 86 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikatakan, bahwa : “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai Agama.“
Easy Minimarket adalah sebuah tempat perbelanjaan cukup popular di X, karena atmosphere dan nuansa yang disajikan untuk para pelanggan yang datang berbelanja di tempat tersebut sangat nyaman. Di samping itu Easy Minimarket juga merupakan salah satu pelopor berkembangnya minimarket atau pusat perbelanjaan dengan skala kecil yang dibangun oleh pengusaha lokal, di X. Minimarket tersebut beralamatkan di Jalan Urip Sumoharjo No.135 A, pertama kali berdiri tanggal 20 September 2004. Dengan berdirinya Minimarket ini diharapkan dapat membawa angin segar untuk warga X ataupun yang bukan warga X yang sedang berada di X, karena tempat ini buka 24 jam Non stop selama 7 hari dalam 1 minggu, sehingga memudahkan para warga atau pelanggan yang harus membeli kebutuhannya sewaktu-waktu.
Easy Minimarket adalah suatu Toserba (toko serba ada) yang mempunyai pekerja hampir 70% adalah laki-laki dengan umur yang berbeda-beda, yang ratarata berumur 20 tahun sampai 30 tahun, dengan jam kerja dari Pukul 07.00 sampai 07.00 (non stop), yang dibagi menjadi 3 (tiga) Shift jam kerja, yaitu :
1. Shift 1 (pertama) mulai Pukul 07.00 sampai Pukul 15.00
2. Shift 2 (dua) mulai Pukul 15.00 sampai pukul 23.00
3. Shift 3 (tiga) mulai Pukul 23.00 sampai Pukul 07.00
Mengingat jangka waktu kerja selama 24 jam tentu saja akan berpengaruh bagi keselamatan dan kesehatan para pekerjanya, untuk itu Easy Minimarket harus memberikan perlindungan terhadap para pekerjanya.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 73 ayat 3 diatur mengenai pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib memberikan makanan dan minuman bergizi,menjaga kesusilaan,keamanan dan kesehatan kerja selama di tempat kerja. Adapun Pasal 76 ayat 4 juga menyebutkan bahwa bagi pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Peraturan-peraturan yang tedapat di dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama yang mengatur mengenai pekerja yang bekerja pada malam hari hanya mengatur mengenai pekerja perempuan saja, sedangkan pekerja yang bekerja pada malam hari bukan hanya pekerja perempuan saja tetapi ada juga pekerja laki-laki yang juga membutuhkan perlindungan hukum. Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tentang ketentuan pokok tenaga kerja juga menyebutkan bahwa dalam menjalankan Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya tidak boleh ada diskriminasi.1 Atas dasar Undang-undang tersebut di atas, maka diskriminasi dalam setiap permasalahan perburuhan tidak diperkenankan dan apabila ada pengusaha yang masih melakukan diskriminasi dalam memberikan perlindungan hukum maka hal ini melanggar dari peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diketahui tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang bekerja pada malam hari baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di Easy Minimarket X. Hal ini karena Easy Minimarket beroperasi selama 24 jam, maka penulisan ini diberi judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pada Malam Hari Di Easy Minimarket X “

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja yang bekerja pada malam hari di Easy Minimarket X ?
2. Hambatan-hambatan apa saja yang ada berkaitan dengan perwujudan perlindungan hukum terhadap pekerja yang bekerja pada malam hari di Easy Minimarket X ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian selalu mempunyai tujuan tertentu. Adapun tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Objektif
Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja yang bekerja pada malam hari di Easy Minimarket X.
2. Tujuan Subjektif
Untuk memperoleh data guna menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Hukum di Fakultas Hukum Universitas X.
3. Manfaat Penulisan
a. Bagi ilmu Hukum khususnya Hukum Ketenagakerjaan, dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam mengevaluasi pelaksanaan ketentuan mengenai bentuk perlindungan terhadap pekerja yang bekerja pada malam hari
b. Bagi Easy Minimarket diharapkan dengan penelitian ini dapat dijadikan sebagai input (masukan) untuk dapat memberikan perlindungan kepada pekerja, khususnya pekerja yang mendapat jam kerja pada malam hari, melalui pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Bagi DEPNAKERTRANS, dengan penelitian ini dapat dijadikan sebagai laporan evaluasi mengenai pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundangan khususnya yang berkaitan kewajiban pengusaha yang mempekerjakan pekerja pada malam hari dan sebagai peningkatan kinerja DINAKER dalam tugasnya untuk melakukan pengawasan dan penegakan peraturan ketenagakerjaan.

D. Keaslian penulisan
Berdasar hasil penelurusan belum diketemukan karya ilmiah lain dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Pekerja yang bekerja di malam hari di Easy Minimarket X”. Penelitian ini juga bukan merupakan duplikasi ataupun plagiat, sehingga karya penulisan ini merupakan karya asli. Kekhususan karya ini adalah pada pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja yang bekerja di malam hari di Easy Minimarket X dan apa saja yang menjadi hambatanhambatan dalam pelaksanaan perlindungan hukum tersebut.

E. Batasan Konsep
1. Pengertian Pekerja
Pekerja menurut Pasal 1 Butir 1 Undang-undang No 13 Tahun 2003, adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
2. Pengertian Pengusaha
Pengusaha menurut Pasal 1 Butir 5 Undang-undang No 13 Tahun 2003, adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri ;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya ;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan yang di maksud di atas yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Pengertian Perusahaan
Perusahaan menurut Pasal 1 Butir 6 Undang-undnag No 13 tahun 2003, adalah :
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun negara yang mempekerjakan pekerja dengan membayar upah/imbalan dalam bentuk lain.
b. Usaha-usaha sosial dan usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah/imbalan dalam bentuk lain.
4. Pengertian waktu kerja malam hari
Pengertian waktu kerja malam hari yang menjadi acuan ketentuan dalam Pasal 76 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 dan menjadi pedoman penelitian hukum ini adalah terdapat dalam ayat 1, 2 dan 3 adalah antara Pukul 23.00 sampai dengan Pukul 07.00.
5. Perjanjian kerja
Perjanjian kerja menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak
6. Perlindungan Hukum para pekerja
Menurut Imam Soepomo, perlindungan hukum terhadap tenaga kerja adalah penjagaan agar tenaga kerja dapat melakukan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Salah satu bentuk perlindungan hukum ini adalah norma kerja yang meliputi perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan waktu kerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kesusilaan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatan dan sebagai memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta perlakuan yang sesuai dengan martabat dan moril.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:13:00

Skripsi Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Kartu Telepon Seluler Indosat (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(Kode ILMU-HKM-0016) : Skripsi Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Kartu Telepon Seluler Indosat (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Secara kodrati, manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa dihadapkan pada realitas sosial yang sangat kompleks, terutama menyangkut usaha pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup. Kenyataan ini menimbilkan pemikiran perlunya suatu wadah yang berbentuk asosiasi. Ada berbagai asosiasi seperti ada, yang terpenting adalah negara. Asosiasi ini didirikan untuk mengatur baik sistem hukum maupun politik, serta untuk menyelenggarakan perlindungan hak dan kewajiban manusia, serta ketertiban dan keamanan bersama.
Negara dapat dipandang sebagai kumpulan manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mengejar beberapa tujuan. Setiap negara mempunyai tujuannya masing-masing. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ditegaskan mengenai tujuan Negara Republik Indonesia adalah ”Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdaimaian abadi dan keadilan sosial”. Tujuan Negara Indonesia ini dirumuskan : ”mewujudkan suatu tata masyarakat yang adil dan makmur, materiil dan spiritual berdasarkan pancasila. Namun semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu
menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum/commonwealth). Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang beragam dilihat dari segi historis maupun segi budaya. Berdasarkan segi historisnya bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar yang telah mengalami berbagai macam bentuk penjajahan, dan kini bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang merdeka yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan aneka corak budaya. Berdasarkan segi budaya bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku yang berdiam di daerahdaerah tertentu yang menyebabkan adanya perbedaan tradisi dan budaya daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Sebagai bangsa yang majemuk bangsa Indonesia mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Motivasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya timbul karena masyarakat menginginkan adanya suatu perubahan dalam kehidupannya, dan juga dilandasi keinginan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, kebutuhan akan komunikasi sangat diperlukan untuk suatu interaksi antar individu maupun interaksi yang terjadi dalam skala yang lebih besar, yaitu interaksi yang terjadi antara pihak-pihak sebab komunikasi yang terjadi dalam suatu interaksi tidak hanya melibatkan satu pihak saja tetapi juga ada pihak lainnya. Komunikasi dalam interaksi tersebut mempunyai suatu pola pelaksanaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Saat ini komunikasi tidak lagi dilakukan secara langsung dengan cara tatap muka dengan lawan bicara, tetapi seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju menyebabkan komunikasi menjadi suatu alat penghubung antar individu yang sangat vital sehingga diperlukan suatu komunikasi antar individu secara tidak langsung.
Perkembangan Telekomunikasi yang sangat pesat terutama terjadi pada abad ke-20. revolusi teknologi komuniksi mencapai puncaknya dengan mulai dipakainya teknologi satelit untuk kepentingan Telekomunikasi, walaupun pada saat yang sama penggunaan teknologi telekomunikasi konvensional, seperti pemakaian kabel-kabel tetap dipertahankan dengan lebih meningkatkan kualitas dan kemampuan hantarnya. Penggunaan kabel serat optik (optic fiber), yang berisi pulsa-pulsa cahaya di atas serat kaca, saat ini makin banyak dipergunakan karena kualitas hantarannya yang baik dan sejumlah kelebihan lainnya. Namun, dewasa ini teknologi satelit untuk penyelenggaraan Telekomunikasi masih merupakan primadona, hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa untuk pelayanan komunikasi jarak jauh (long-distance communication), penggunaan kabel-kabel kurang begitu efisien.
Tiga dekade yang lampau, hubungan telepon masih sangat tergantung pada tersedianya jaringan kabel yang menghubungkan tempat yang satu dengan yang lainnya, dan sebelum kabel serat optik dipakai untuk membangun jaringan Telekomunikasi, kualitas hubungan Telekomunikasi melalui kabel benar-benar masih jauh dari memuaskan pelanggan
Upaya untuk meningkatkan kualitas dan kemudahan merupakan kunci keberhasilan penyelenggaraan jasa Telekomunikasi. Masa depan dunia Telekomunikasi tanpa kabel juga makin terpacu dengan maraknya perkembangan dunia internet. Teknologi tanpa kabel memungkinkan setiap orang dapat mengakses internet di manapun ia berada tanpa harus bersusah payah mencari sambungan kabel telepon. Namun, dalam mengakses internet atau mengirim informasi melalui modem tanpa kabel, saat ini masih bergantung pada kemampuan operator telepon seluler dalam menyediakan jaringan seluler.
Tahun 1997 merupakan ulang tahun ke-35 sejarah satelit komersial pertama diluncurkan. Hanya sedikit kalangan pemirsa yang menyaksikan siaran televisi yang dipancarkan dari Amerika ke Eropa melalui satelit Telstar tiga puluh lima tahun yang lalu yang dapat meramal sampai sejauh mana komunikasi satelit sekarang telah memasuki kehidupan kita sehari-hari. Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai pelosok dunia, dari mulai peristiwa olahraga, bencana sampai perang, segera dapat diterima atau disaksikan langsung di rumah pada siaran televisi melalui satelit. Panggilan telepon dari satu ujung dunia dapat diterima di ujung lain dengan jelas, seakan-akan hanya dari jarak beberapa kilometer saja. Meskipun teknologi lain (misalnya kabel serat optik) telah banyak menggantikan satelit di beberapa tempat, komunikasi global sebagian besar masih didasarkan atas sistem satelit.
Meskipun dimulai dengan satelit Telstar tahun 1962, namun dunia secara luas mulai mengenal komunikasi satelit komersial melalui satelit INTELSAT Early Bird, yang memancarkan secara langsung Olimpiade Tokyo ke Benua Amerika. Teknologi yang dipakai dalam komunikasi melalui satelit banyak didasarkan atas studi-studi awal yang dilakukan National Aeronautics and Space Administration (NASA) Application Technology Satelit (ATS). Satelit komunikasi ini berada dalam orbit geosynchronous atau geostationary, yaitu suatu orbit yang sinkron dengan perputaran bumi, sehingga tampak tetap pada orbitnya.
Studi-studi terhadap satelit ini membuktikan bahwa deplay karena transmisi lewat satelit geosynchronous tidak terlalu berpengaruh pada komunikasi telepon, oleh karena itu tidak mengeherankan bila terjadi peningkatan jenis satelit komunikasi semacam ini. Meluasnya penggunaan jasa satelit tetap (fixed satelite service) ini memerlukan dibentuknya suatu organisasi internasional yang menyediakan jasa komunikasi satelit ke seluruh dunia. Sebab satu diantaranya adalah persetujuan-persetujuan dan perjanjian-perjanjian yang mendirikan International Telekomunication Satelite Organization (Intelsat) yang dirumuskan pada tahun 1973.
Tersedianya secara komersial jasa-jasa komunikasi satelit bergerak (mobile satelite service) dimulai pada tahun 1976 dengan diperkenalkannya sistem standar A yang kemudian berubah menjadi sistem International Maritime Satelite (INMARSAT) standar A. Badan ini merupakan hasil disepakatinya konversi komunikasi satelit maritim internasional pada tahun 1976 yang kemudian diberlakukan pada tahun 1976. dengan demikian, lahirlah pemasok pertama di dunia untuk komunikasi satelit bergerak. Bermula sebagai suatu usaha untuk memperbaiki komunikasi maritim, pada awalnya jasa-jasa komunikasi suara yang disediakan untuk masyarakat maritim komersial yang kemudian disusul dengan jasa-jasa data dan terminal-terminal darat yang portable. Sistem-sistem satelit bergerak memanfaatkan tiga keuntungan komunikasi satelit secara maksimal, yaitu cakupan yang luas, fleksibilitas jaringan, serta kemampuan penyiaran (broadcast).
Jauh sejak mulai diperkenalkan, penyelenggaraan telepon seluler menjalar di salah satu topik hangat dalam berbagai diskusi tentang deregulasi Telekomunikasi. Baik Telkom maupun pihak swasta melihat bisnis ini sangat prospektif, tidak kalah cerah dari bisnis satelit, dan merupakan ”telepon masa depan”. Ia bisa bergerak mengikuti mobilitas orangnya, sehingga akan sangat populer di kalangan bisnis dan orang sibuk. Dalam skenario lama versi Telkom mengenai deregulasi Telekomunikasi, telepon seluler akan menjadi salah satu anak perusahaan di lingkungan Telkom. Tetapi setelah Satelindo berdiri, pemerintah tampaknya telah memutuskan untuk menyerahkan bisnis ini kepada Satelindo dan perusahaan lain yang merupakan Telkom dengan pihak swasta. Seluler merupakan contoh menarik, betapa teknologi Telekomunikasi yang makin rumit dan canggih membuat batas antara jasa dasar dan non dasar tidak lagi mudah dibedakan secara hitam-putih. Ini merupakan fenomena yang sekian tahun lalu tidak pernah terbayangkan.
Sejalan dengan semakin padatnya kegiatan para pelaku bisnis maupun masyarakat umum, dan berkembangnya teknologi komunikasi, semakin tinggi pula kebutuhan mereka untuk melakukan komunikasi yang efektif. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa telepon seluler telah menjadi bagian penting dalam keseharian mereka, karena telepon seluler merupakan solusi dalam mempermudah komunikasi tanpa membatasi ruang dan gerak seseorang. Lebih jauh, kini telepon seluler telah dikenal dan digunakan secara luas oleh masyarakat dunia. Teknologi telepon seluler GSM (Global System for Mobile communication) pertama kali hadir di Indonesia ketika diluncurkan oleh PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) pada bulan November 1994. Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah pengguna telepon seluler di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penggunaan telepon seluler di Indonesia mulai marak sekitar tahun 1995 dengan jumlah pengguna 219.000 orang, sekalipun pada tahun tersebut kebutuhan orang akan telepon seluler meningkat menjadi 1.632.000 orang (SWA No. 17 Tahun 1999). Telepon seluler kini sudah bukan lagi hanya digunakan untuk meningkatkan prestise pemiliknya saja, tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan. Bahkan bagi sebagian orang, telepon seluler adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.
Telepon seluler tidak dapat terlepas dari kartu yang dinamakan SIM (Subscriber Identification Module) Card. Kartu telepon seluler atau SIM card ini terbagi menjadi dua macam, dilihat dari system pembayarannya, yaitu kartu pascabayar dengan pembayaran pulsa dilakukan di akhir periode (postpaid), dan kartu prabayar dengan pembayaran pulsa dilakukan di muka (prepaid). Sekarang ini konsumen pengguna paling banyak adalah pengguna kartu prabayar, karena kartu prabayar mempunyai beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan kartu pascabayar. Kelebihan kartu ini yaitu selain lebih murah karena tidak perlu membayar biaya langganan setiap bulannya, juga tidak memerlukan persyaratan administrasi yang rumit. Selain itu, karena pembayaran pulsa telepon dilakukan dimuka maka pelanggan telepon seluler dapat menentukan sendiri anggaran pemakaiannya. Hal ini tentu saja mengakibatkan berkurangnya kerugian yang ditanggung perusahaan karena tidak ada risiko pelanggan yang tidak membayar tagihan.
Sebagai perusahaan yang melayani jasa vital dalam masyarakat, perusahaan Telekomunikasi berusaha untuk melayani kepentingan publik, tetapi tetap mempunyai orientasi pada keuntungan, sehingga mereka memikirkan cara bagaimana sebuah telepon bukan lagi hanya dipakai untuk komunikasi secara tidak langsung tetapi juga bagaimana mereka menarik suatu keuntungan dari penyelenggaraan telepon sebagai alat penunjang dalam komunikasi secara tidak langsung. Berdasarkan hal tersebut perusahaan Telekomunikasi lalu menyediakan fasilitas tambahan pada telepon yang bertujuan untuk mempermudah berlangsungnya Telekomunikasi tapi juga tetap dapat menarik keuntungan dari pengadaan fasilitas tambahan pada telepon tersebut.
Pada saat ini landasan hukum yang dipergunakan dalam kegiatan penyelenggaraan Telekomunikasi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989. Undang-Undang tersebut menjelaskan berbagai masalah penting yang sekarang membuka jalan bagi swasta untuk bergerak dalam sektor Telekomunikasi. Sedangkan landasan hukum yang dipergunakan untuk memberikan suatu perlindungan hukum terhadap pelaku usaha maupun konsumen pengguna jasa Telekomunikasi adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pemberian perlindungan konsumen kepada pengguna atau masyarakat luas wajib diberikan secara sungguh-sungguh dan tegas, tanpa melihat status masyarakat. Siapapun yang dirugikan wajib diberikan perlindungan, baik gantirugi maupun sanksi-sanksi hukum lainnya. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 mengatur mengenai perlindungan terhadap pengguna atau masyarakat luas, atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggaraan Telekomunikasi. Namun, ketentuan mengenai perlindungan itu masih bersifat bias atau kurang jelas, kesalahan dan atau kelalaian dalam bentuk yang mana dan akibat yang bagaimana yang dapat diajukan tuntutan.
Dengan adanya berbagai macam persoalan, maka pengaturan lebih terperinci dan jelas perlu dibuat demi perlindungan semua pihak, baik penyelenggara, pengusaha (produsen) dan pengguna dapat terlindungi, disamping akan memacu perkembangan teknologi Telekomunikasi ke arah yang lebih maju dan baik. Kemajuan pesat teknologi telepon seluler dan perkembangan dunia ekonomi menyebabkan telepon seluler bukan lagi sebagai suatu alat Telekomunikasi tidak langsung tetapi juga dapat dijadikan sebagai suatu lahan bisnis yang menggiurkan. Hal ini disebabkan karena masyarakat menganggap telepon seluler sebagai salah satu alat yang vital dalam hidupnya, namun perusahaan Telekomunikasi seharusnya jangan sampai mengabaikan kepentingan konsumen yang menggunakan jasanya hanya untuk mengejar keuntungan, karena perusahaan Telekomunikasi juga berpengaruh sebagai perusahaan yang melayani kepentingan publik untuk menghindari tindakan sewenang-wenang yang dapat dilakukan oleh perusahaan Telekomunikasi terhadap konsumennya maka perlu diadakan suatu perlindungan bagi konsumennya.
Saat ini seiring banyaknya pengguna telepon seluler, konsumen tidak banyak mengetahui mengenai hak dan kewajiban seluruhnya sebagai pengguna. Padahal sebagai pengguna harus mengetahui hak apa yang dimiliki dan kewajiban apa yang harus dilakukan, karena hal tersebut sangat berguna bagi kepentingan konsumen sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hak dan kewajiban dari pengguna serta mengenai perlindungan hukum yang diberikan, maka penulis mengambil judul skripsi : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA KARTU TELEPON SELULER INDOSAT (Berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)”.

B. Permusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peraturan penyelenggaraan Telekomunikasi di Indonesia ?
2. Apakah hubungan antara PT INDOSAT dengan pelanggan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?
3. Bagaimana Implementasi perlindungan hukum dalam rangka kewajiban PT INDOSAT sebagai pelaku usaha ?

C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pada umumnya mempunyai tujuan yang hendak dicapai, yang dapat memperoleh hasil pelaksanaan penelitian. Adapun tujuan penelitian yang hendak penulis capai adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui peraturan penyelenggaraan Telekomunikasi di Indonesia.
b. Untuk mengetahui apakah hubungan antara PT INDOSAT dengan pelanggan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
c. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam rangka kewajiban PT INDOSAT sebagai pelaku usaha.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama penyusunan skripsi guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas X.
b. Untuk meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah penulis peroleh selama berada dalam bangku kuliah.
c. Untuk memperluas dan mengembangkan aspek dalam teori maupun praktek.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan peneliti ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum di Indonesia pada umumnya dan hukum perlindungan konsumen pada khususnya.
b. Memberikan kontribusi berupa kajian akademik bagi peneliti lain yang melakukan penelitian hukum perlindungan konsumen.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan kepada para pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna mencapai jenjang kesarjanaan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
c. Untuk melatih penulisan hukum dalam mengungkap permasalahan tertentu sacara sistematis dan berusaha memecahkan permasalahan yang ada tersebut dengan metode ilmiah sehingga menunjang pengembangan ilmu pengetahuan yang pernah penulis terima selama kuliah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:13:00