(Kode PENDMIPA-0004) : Skripsi Hubungan Antara Minat Dan Perhatian Dengan Prestasi Belajar Siswa Mata Pelajaran IPA Pada SDN X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Disadari atau tidak, menurunnya kualitas pendidikan merupakan tanggung jawab kita bersama. Walaupun seorang guru sudah berbuat yang terbaik menurut prosedur yang ada tanpa dukungan dari berbagai pihak, niscaya tujuan pendidikan tidak akan tercapai dengan baik. Di sinilah kita perlu memadukan antara faktor lingkungan dengan faktor alami berupa potensi yang dimiliki anak itu sendiri.
Faktor potensi anak yang tak kalah pentingnya adalah minat belajar anak-anak yang kurang memiliki minat dalam belajar, maka akan menunjang suatu sikap dan prilaku yang membias dari anak normal lainnya. Misalnya saja anak sering membolos, tidak antusias dalam belajar, sering membuat kegundahan dalam kelas, pessimis, agresif dan sering memberontak. Hal semacam ini akan teraplikasikan pada pencapaian tujuan pembelajaran yang menurun atau prestasinya menurun.
Olehnya itu, penulis berinisiatif untuk mengkaji lebih mendalam melalui kegiatan penelitian ini yang erat kaitannya dengan masalah minat dan perhatian belajar anak, dalam mempelajari mata pelajaran IPA-Biologi yang akan berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap prestasi yang dicapainya.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka penulis membatasi diri untuk mengkaji variabel-variabel yang ada dalam bentuk rumusan masalah yang menjadi fokus perhatian dan penelitian ini. Adapun rumusan masalah yang penulis maksudkan adalah:
1. Bagaimanakah tingkat minat dan perhatian belajar siswa, khususnya mata pelajaran IPA-Biologi pada SDN X.
2. Bagaimanakah tingkat prestasi belajar siswa, khususnya mata pelajaran IPA-Biologi pada pada SDN X.
3. Bagaimanakah hubungan antara minat dan perhatian dengan prestasi belajar siswa, khususnya mata pelajaran IPA-Biologi SDN X.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tingkat minat dan perhatian belajar siswa mata pelajaran IPA-Biologi pada SDN X.
2. Untuk mengetahui tingkat prestasi belajar siswa mata pelajaran IPA-Biologi pada SDN X.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara minat dan perhatian belajar dengan prestasi belajar IPA-Biologi siswa SDN X.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang akan diperoleh melalui penelitian ini antara lain:
1. Dengan mengetahui tingkat minat dan perhatian belajar siswa menjadi sumber informasi bagi seorang guru untuk lebih menumbuh-kembangkan minat belajar siswanya.
2. Dengan mengetahui tingkat minat dan perhatian belajar siswa menjadi sumber iklim yang kondusif agar anak secara leluasa dapat mengembangkan minat dan bakat yang dimilikinya.
3. Diharapkan semua dapat lembaga yang terkait dalam bidang pendidikan agar dapat memperbaiki sistem yang ada supaya anak dapat mencapai tingkat perkembangan yang optimal.
4. Sebagai salah satu bahan referensi bacaan yang dapat dijadikan sumber informasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengembangkan ilmu pengertahuan dan teknologi pada umumnya dan penelitian pada khususnya.
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah dan pengkajian terhadap literatur yang relevan, maka ditarik suatu hipotesis, dimana hal ini dimaksudkan sebagai pengarah, pedoman dan tuntunan dalam pelaksanan pengumpulan maupun pengolahan data penelitian, baik data di lapangan maupun data melalui literatur. Adapun hipotesis yang dimaksud adalah: “Terdapat hubungan yang signifikan antara minat dan perhatian dengan prestasi belajar IPA-Biologi siswa SDN X”.
Home » All posts
Skripsi Hubungan Antara Minat Dan Perhatian Dengan Prestasi Belajar Siswa Mata Pelajaran IPA Pada SDN X
Skripsi Hubungan Hasil Belajar Pada Materi Virus Dengan Sikap Terhadap Kesehatan Siswa Kelas 1 SMU Negeri X
(Kode PENDMIPA-0005) : Skripsi Hubungan Hasil Belajar Pada Materi Virus Dengan Sikap Terhadap Kesehatan Siswa Kelas 1 SMU Negeri X
ABSTRAK
XXXX. Hubungan Hasil Belajar Pada Materi Virus dengan Sikap Terhadap Kesehatan Siswa Kelas 1 SMU Negeri X Semester I Tahun Pelajaran X. Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan XXXX.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hasil belajar pada materi virus (X) dengan sikap terhadap kesehatan siswa (Y) kelas 1 SMU X Kabupaten X, Semester I Tahun Pelajaran X.
Penelitian dilakukan pada Semester I Tahun Pelajaran X. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey, yang berupa studi korelasional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 1 sebanyak 7 kelas. Sampel diambil dengan cara Cluster Random Sampling sebanyak 1 kelas yang terdiri dari 40 orang siswa. Untuk mengukur hasil belajar digunakan soal pilihan ganda adapun pengukuran sikap digunakan angket sikap dengan skala Likert. Teknik analisis data mempergunakan analisis regresi dan korelasi.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis regresi, diperoleh Y = 140,42 + 4,64 X dengan pemeriksaan linieritas regresinya Ftc ? Fdaftar maka regresi tidak linier. Sehingga dilanjutkan dengan koefisien korelasi Rank Spearman (rs).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara variabel X dan variabel Y dengan koefisien korelasi Rank Spearman (rs) = 0,99. Setelah membandingkan harga ? = 0,05 dan ? = 0,001 memenuhi kriteria hipotesis, yaitu ? ? ?. Dengan demikian hasil belajar pada materi virus memberikan sumbangan pada terbentuknya sikap terhadap kesehatan siswa.
Skripsi Efektivitas Pembelajaran Kimia Menggunakan Metode Kooperatif TAI (Teams Assisted Individualization) Dilengkapi Modul Ditinjau Dari Pencapaian
(Kode PENDMIPA-0002) : Skripsi Efektivitas Pembelajaran Kimia Menggunakan Metode Kooperatif TAI (Teams Assisted Individualization) Dilengkapi Modul Ditinjau Dari Pencapaian Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Stoikiometri Kelas XI IPA Semester Genap SMA X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan penting dalam proses pembangunan bangsa. Harus disadari bahwa proses pendidikan selalu diarahkan untuk menyediakan atau membentuk tenaga terdidik yang profesional bagi kepentingan bangsa Indonesia. Pendidikan yang berkualitas merupakan hal yang penting yang merupakan dasar kualitas manusia Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui perbaikan-perbaikan baik sarana maupun prasarana pendidikan.
Pendidikan bukanlah sesuatu yang statis melainkan sesuatu yang dinamis sehingga menuntut adanya suatu perbaikan terus-menerus. Perbaikan yang dilakukan diantaranya kurikulum, metode mengajar, buku pelajaran dan sebagainya. Perbaikan dan pembaharuan yang dilakukan bertujuan untuk dapat mengembangkan suatu potensi yang ada pada diri anak didik semaksimal mungkin sehingga dapat menghasilkan manusia yang cerdas, mandiri, dan dapat bersaing di tingkat internasional.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu membenahi kurikulum sekolah dengan mengembangkan “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK). Perbedaan utama antara kurikulum ’94 dengan KBK terletak pada pengembangan, penataan materi dan metode pembelajaran. Dalam hal metode pembelajaran, Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut kompetensi yang harus dimiliki siswa sebagai hasil pembelajaran yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Siswa tidak saja harus mengetahui fakta, konsep atau prinsip, tetapi juga terampil untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam menghadapi masalah kehidupan dan teknologi.
Mata pelajaran Kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam yang mempelajari tentang sifat, struktur materi, komposisi, perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi secara umum yang diperoleh melalui hasil-hasil eksperimen dan penalaran. Secara umum pengajaran kimia bertujuan untuk mengembangkan sumberdaya manusia yang memiliki ketrampilan intelektual dan psikomotor dalam bidang kimia yang dilandasi oleh sikap ilmiah sehingga mampu mengikuti perkembangan iptek (Depdiknas, 2003: 2).
Metode yang masih banyak dikembangkan dan dianut oleh para guru SMA adalah metode ceramah. Tetapi metode ini kurang tepat untuk diterapkan dalam pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi karena disini guru hanya memberi penjelasan kepada siswa tanpa memperhatikan tingkat pemahaman siswa terhadap konsep yang diberikan, sehingga tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien, salah satunya diperlukan suatu metode mengajar yang tepat. Ketepatan dalam menggunakan metode mengajar yang dilakukan oleh guru akan dapat membangkitkan motivasi dan minat siswa terhadap mata pelajaran yang diberikan, juga terhadap proses dan hasil belajar siswa. Siswa akan mudah menerima materi yang diberikan oleh guru apabila metode mengajar yang digunakan tepat dan sesuai dengan tujuan pengajarannya. Metode mengajar yang baik adalah metode yang disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan, kondisi siswa, sarana yang tersedia, serta tujuan pengajarannya. Suatu metode mengajar mempunyai spesifikasi tersendiri, artinya suatu metode yang cocok untuk suatu materi belum tentu cocok jika diterapkan pada materi yang lainnya.
Penerapan metode mengajar yang bervariasi akan dapat mengurangi kejenuhan siswa dalam menerima pelajaran. Penerapan metode mengajar yang bervariasi ini berupaya untuk meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar sekaligus sebagai salah satu indikator dalam peningkatan kualitas pendidikan. Metode mengajar yang baik hendaknya disesuaikan dengan karakteristik pokok bahasan materi yang akan disampaikan. Materi yang berkaitan dengan hafalan tentu saja memerlukan metode pengajaran yang berbeda dengan materi hitungan.
Menurut Slavin (1995: 101) kesulitan dalam pembelajaran yang berkaitan dengan hitungan tidak dapat dipecahkan dengan menerapkan metode konvensional tetapi dapat dibantu dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif (gotong royong). Penerapan pembelajaran kooperatif menurut penelitian yang selama ini dilakukan terbukti efektif untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Pembelajaran kooperatif menitikberatkan pada proses belajar dalam kelompok dan bukan mengerjakan sesuatu dalam kelompok (Slavin, 1995: 5).
Proses belajar dalam kelompok akan membantu siswa menemukan dan membangun sendiri pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang tidak dapat ditemukan pada metode konvensional. Pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi yang asah, asih, dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (learning community) (Nurhadi, 2004: 112).
Salah satu metode kooperatif yang dikenal yaitu metode TAI (Teams Assisted Individualization). Metode pembelajaran TAI mengelompokkan siswa ke dalam kelompok kecil yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok yang mempunyai pengetahuan lebih dibandingkan anggotanya. Kesulitan pemahaman materi yang dialami oleh siswa dapat dipecahkan bersama dengan ketua kelompok serta dengan bimbingan guru. Kesulitan pemahaman konsep-konsep awal yang berkaitan dengan materi stoikiometri dapat dipecahkan bersama karena keberhasilan dari tiap individu ditentukan oleh keberhasilan kelompok. Untuk itu pengajaran TAI menitikberatkan pada keaktifan siswa dan memerlukan kemampuan interaksi sosial yang baik antara semua komponen pengajaran.
Untuk menunjang pengajaran TAI diperlukan media yang dapat membantu siswa dalam belajar. Modul merupakan salah satu jenis media cetak yang memuat unit pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa sendiri. Pendekatan dalam pengajaran modul adalah menggunakan pengalaman belajar siswa melalui berbagai macam penginderaan, melalui pengalaman dimana siswa terlibat secara aktif dalam proses belajar itu.
Materi stoikiometri berisi hukum-hukum dasar kimia, konsep-konsep, dan rumus-rumus dengan berbagai hubungan serta reaksi-reaksi kimia, sehingga perlu banyak latihan dalam mempelajarinya. Dalam mempelajari stoikiometri sering ditemukan siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal hitungan kimia, hal ini dapat dikarenakan strategi guru yang kurang tepat dalam pembelajarannya. Guru seringkali hanya memberikan materi dengan sedikit contoh dan latihan soal, sehingga siswa seringkali merasa kesulitan dalam menggunakan konsep yang harus ia gunakan untuk menyelesaikan soal yang pada akhirnya ia mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal stoikiometri. Pada kegiatan tersebut guru akan menganggap siswa benar-benar dapat menerima dan mampu mengerjakan soal dengan baik. Dalam mengatasi masalah-masalah tersebut di atas dapat dilakukan dengan mengambil alternatif usaha mengurutkan konsep-konsep dalam memecahkan soal-soal hitungan kimia, sehingga akan mempermudah siswa pada proses pembelajaran terutama pada pengerjaan soal stoikiometri larutan.
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian guna membantu siswa dalam menguasai konsep-konsep dan hitungan kimia. Adapun judul dalam penelitian ini adalah “EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN KIMIA MENGGUNAKAN METODE KOOPERATIF TAI (TEAMS ASSISTED INDIVIDUALIZATION) DILENGKAPI MODUL DITINJAU DARI PENCAPAIAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK STOIKIOMETRI KELAS XI IPA SEMESTER GENAP SMA NEGERI X TAHUN PELAJARAN X”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan proses belajar termasuk penggunaan metode:
1. Apakah metode kooperatif TAI dilengkapi modul dapat digunakan untuk menyampaikan pokok bahasan stoikiometri?
2. Apakah penggunaan metode kooperatif TAI dilengkapi modul dalam proses belajar mengajar pada materi pokok stoikiometri dapat meningkatkan hasil belajar siswa?
3. Apakah penggunaan metode kooperatif TAI dilengkapi modul efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa?
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini mempunyai arah yang jelas dan pasti, maka perlu diberikan batasan masalah. Berdasarkan pada latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka pembatasan masalah dititikberatkan pada:
1. Objek Penelitian
Yang menjadi objek penelitian adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri X Tahun Pelajaran X.
2. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskusi untuk kelas kontrol dan metode kooperatif TAI dilengkapi modul untuk kelas eksperimen.
3. Materi Pokok
Materi yang diberikan dibatasi pada materi pokok stoikiometri. Adapun pemahaman siswa akan materi stoikiometri dilihat dari nilai siswa hasil selisih pretest dan postest (gain skor) siswa.
4. Hasil Belajar
Hasil belajar dibatasi pada aspek kognitif dan aspek afektif.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Apakah penggunaan metode kooperatif TAI dilengkapi modul efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi pokok stoikiometri kelas XI IPA SMA Negeri X tahun pelajaran X”.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan metode kooperatif TAI dilengkapi modul terhadap pencapaian hasil belajar siswa pada materi pokok stoikiometri kelas XI IPA SMA Negeri X tahun pelajaran X.
F. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk:
1. Memberikan informasi kepada guru mengenai alternatif lain penggunaan metode dan media pembelajaran dengan menggunakan metode kooperatif TAI dilengkapi modul.
2. Memberikan gambaran kepada guru tentang penggunaan metode kooperatif TAI dilengkapi modul dalam memilih metode pembelajaran yang tepat.
3. Memberikan sumbangan bagi guru untuk bahan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran kimia di dalam kelas.
Skripsi Protes Sosial Pada Novel Bali Surga Para Anjing Karya Redi Panuju
(Kode PEND-BSI-0016) : Skripsi Protes Sosial Pada Novel Bali Surga Para Anjing Karya Redi Panuju
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada awalnya karya sastra hadir untuk dinikmati maka untuk dapat menikmati keindahan karya sastra itu, seorang penikmat sastra harus dapat menganalisis dan mengapresiasi isi dari karya sastra itu sendiri. Seorang penikmat karya sastra biasanya membaca karya sastra sebagai pengisi waktu luang atau hiburan saja, akan tetapi ada beberapa penikmat sastra (pembaca) yang lebih serius, mereka ingin memperoleh suatu pengalaman baru dari apa yang dibacanya dan ingin menambah wawasan atau pengetahuan untuk memperkaya batinnya.
Sastra merupakan salah satu intuisi sosial yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya. Kesusastraan diibaratkan sebuah simbol dari kehidupan, karena di dalamnya terdapat atau memuat norma-norma yang lazim dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, sastra bisa menjadi salah satu metode atau cara untuk menggambarkan kehidupan sosial yang sebenarnya. Jadi, bisa dikatakan bahwa sastra merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia, karena melalui sastra manusia bisa mengekspresikan ide-ide, gagasan, perasaan dan imajinasinya dengan menuliskannya kedalam sebuah karya sastra. Dengan kata lain, sastra adalah gambaran kehidupan seseorang dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesamanya. Kita dapat membaca dan memahami alur cerita dari suatu karya imajinatif yang dilandasi dengan kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni.
Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan dan kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial oleh kultural. Selain itu karya sastra sendiri merupakan objek kultural dan juga merupakan objek kultural yang rumit. Bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri (Damono, 1978: 1 dan 4).
Novel dan cerpen sebagai karya fiksi mempunyai persamaan dan perbedaan, keduannya dibangun oleh unsur-unsur pembangun (baca:unsur-unsur cerita yang sama, keduannya dibangun oleh dari dua unsur intrinsik dan ekstrinsik). Novel dan cerpen sama-sama memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang dan lain- lain. Oleh karena itu novel dan cerpen dapat dianalisis dengan pendekatan yang kurang lebih sama. Namun demikian terdapat perbedaan intensitas (kuantitas) dalam hal “pengoperasian” unsur-insur cerita tersebut. Perbedaan–perbedaan yang dimaksud akan dicoba dibawah ini walau tentu saja tidak komprehensif. Dari segi panjang cerita, novel lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, Novel dapat mengemukakan, lebih rinci, lebih detail dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu (Nurgiyantoro, 1994:10-11).
Dalam hal ini, peneliti telah menentukan penulis novel yang akan dijadikan obyek untuk bahan penelitiannya, yakni Redi Penuju.Karena di dalam buku hasil karyanya Bali, Surga para anjing tersebut banyak bercerita tentang kehidupan sosial yang telah menyimpang dari kehidupan yang sewajarnya. Redi Panuju adalah seorang kolumnus tentang masalah–masalah sosial, politik dan kebudayaan. Kini banyak menulis buku dan novel yang telah banyak diterbitkan.
Pemilihan judul dalam penelitian ini yaitu novel yang berjudul Bali, Surga Para Anjing karena peneliti berpendapat bahwa penulis memang benar-benar menuliskan peristiwa yang telah terjadi di sana (di pulau Bali).
Peneliti memilih protes sosial untuk meneliti novel yang berjudul Bali, Surga Para Anjing bahwa dalam novel tersebut diceritakan adanya suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang di daerah Bali, ketika sebagian masyarakat Bali menanggapi tentang adanya undang-undang Pornografi dan Pornoaksi yang masih dalam proses penyelesaiannya.
Tindak protes merupakan bagian dari keterarahan kesadaran manusia terhadap realita. Tindakan protes ini dapat menghasilkan kreatifitas, termasuk di dalamnya kreatifitas dalam bidang sastra. Oleh karena itu, peneliti memilih protes sosial untuk mengkaji novel ini.
Pendekatan sosiologis dipilih oleh peneliti dikarenakan sosiologi adalah ilmu yang normatif, seperti halnya sosiologi sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, yakni usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian novel genre utama dalam zaman industri ini, dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial, hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara dan lain-lain.
Berbeda dengan pendekatan biografis yang semata–mata menganalisis riwayat hidup, Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari individu ke masyarakat. Pendekatan biografis mengganggap karya sastra sebagai milik pengarang, sedangkan pendekatan sosiologis mengganggap karya sastra sebagai milik masyarakat.
Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh Karya sastra dihasilkan oleh pengarang, Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, Pengarang memaanfaatkan kekayaan yang ada didalam masyarakat dan Hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat
Perkembangan pesat ilmu humaniora memicu perkembangan studi sosiologis. Dasar pertimbangannya adalah memberikan keseimbangan terhadap 2 dimensi manusia yaitu jasmani dan rohani. Para ilmuan kontemporer makin menyadari bahwa mengabaikan aspek–aspek rohaniah pada gilirannya akan membawa umat manusia pada degradasi mental bahkan kehancuran (Ratna,2004:59-60).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan-paparan latar belakang di atas, peneliti membatasi pada masalah: Bagaimana protes sosial pada novel Bali, Surga Para Anjing?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan protes sosial dalam novel Bali, Surga para Anjing.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.4.1 Bagi perkembangan ilmu sastra
Manfaat bagi perkembangan ilmu sastra adalah sebagai pemikat sastra, dapat menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra sehingga akan ada rasa mencintai dan rasa peduli terhadap perkembangan karya sastra tersebut.
1.4.2 Bagi masyarakat Indonesia(Penikmat sastra).
Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini bagi masyarakat Indonesia, yaitu membantu memahami suatu karya sastra tersebut, dan dapat menafsirkan makna atau isi dari karya sastra tersebut sehingga ada penghubung antara karya sastra dengan masyarakat penikmat sastra.
1.4.3 Bagi peneliti karya sastra tersebut
Peneliti akan memperoleh kejelasan praktis dalam bidang penelitian ilmiah dan mempunyai peran serta dalam mengembangkan karya sastra. Serta memberikan sumbangan pendapat/pertimbangan kepada pengarang tentang karyanya, sehingga pengarang dapat meningkatkan mutu dari hasil karyanya.
1.4.4 Bagi pengarang karya sastra
Kritik sastra dapat memberikan suatu penilaian sehingga pengarang mendapatkan masukan mengenai mutu karyanya dan mengetahui sejauh manakah karyanya tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat pembaca(penikmat sastra).
Skripsi Warna Lokal Dalam Naskah Drama Sandhyakala Ning Majapahit Karya Sanusi Pane
(Kode PEND-BSI-0017) : Skripsi Warna Lokal Dalam Naskah Drama Sandhyakala Ning Majapahit Karya Sanusi Pane
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Drama mulai tumbuh di Indonesia sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di berbagai suku bangsa di Indonesia telah tumbuh ratusan jenis drama atau seni pertunjukan yang sangat lebar spektrumnya, mulai dari yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari upacara keagamaan sampai ke jenis pertunjukan yang sepenuhnya profan, yang bisa dilakukan oleh siapapun tanpa harus mempelajari bagaimana cara melaksanakannya. Jenis drama atau teater digolongkan ke dalam tradisi lisan meskipun boleh dikatakan tanpa kecuali berasal dari kisah atau kepercayaan yang pernah dituliskan, yang mungkin sampai ke pelaksana pementasan itu tidak berupa tulisan tetapi secara lisan (Damono, 2006:1).
Drama merupakan bentuk seni yang berusaha mengungkapkan perihal kehidupan manusia melalui gerak atau action dan percakapan atau dialog. Inilah yang membedakan naskah drama dengan karya sastra yang lain. Sebagai karya sastra, naskah drama memiliki keunikan tersendiri yaitu naskah drama diciptakan tidak untuk dibaca saja, namun juga memiliki kemungkinan untuk dipentaskan. Drama sebagai tontonan atau pertunjukan yang memiliki sifat ephemeral, artinya bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama. Sanusi Pane merupakan sastrawan muda angkatan 1880 dan pernah mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda yang memberikan pengetahuan mengenai perkembangan kesenian (Damono, 2006:1). Nama Sanusi Pane tetap terukir dalam sastra Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II (1940-1945) (http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah07.shtml), baik sebagai penulis puisi maupun penulis drama. Sanusi Pane adalah penulis terbesar pada masa sebelum perang (Rustapa, dkk 1995:70). Adapun drama yang telah dihasilkan Sanusi Pane berupa drama romantik (Damono, 2006:1), Salah satunya yaitu “Sandhyakala ning Majapahit”. Naskah drama Sanusi Pane “Sandhyakala ning Majapahit” pernah dipertunjukkan oleh Takdir Ali Syahbana dalam roman Layar Terkembang di Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan. Naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit’ karya Sanusi pane dan roman “Layar Terkembang” karya Takdir Ali Syahbana diperdebatkan dalam kongres itu. Karena dalam naskah drama ‘Sandhyakala ning majapahit” mengisahkan masyarakat yang cenderung bersifat statis khususnya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang lebih mengutamakan kepasrahan dan memiliki sifat nerimo, apapun yang diberikan Tuhan akan diterimanya dengan sabar. Masyarakat Jawa dianggap sebagai orang yang lembek, tidak suka ngoyo. Sedangkan dalam roman “Layar Terkembang” menceritakan masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang lebih mengutamakan kerja keras, masyarakat yang maju, berbeda sekali dengan masyarakat Jawa (Rosidi, 1968:60).
Naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane mempunyai latar belakang sejarah Jawa khususnya di kerajaan Majapahit. Drama ini juga berlatar zaman klasik. Keunikan drama ini terletak pada isi naskah drama yang bercerita tentang masalah romantis, masalah keagamaan, dan sosial.
Sanusi Pane mengatakan bahwa sebagai dasar pembuatan drama “Sandhyakala ning Majapahit” adalah Serat Damarwulan dan cerita Raden Gajah yang terdapat dalam Pararaton (Rustapa dkk, 1997:67). Cerita Damar Wulan diakhiri dengan happy ending, yaitu keberhasilan Damar Wulan membawa kepala Menak Jingga ke Majapahit menyebabkan dia menduduki tahta kerajaan serta dinikahkan dengan sang ratu. Damar Wulan bergelar Prabu Brawijaya serta hidup dengan kejayaannya. Sebaliknya, dalam naskah drama Sanhyakala ning Majapahit diakhiri dengan peristiwa tragis. Di samping Damar Wulan tidak dinikahkan dengan ratu Majapahit, dia juga dituduh sebagai penghianat. Tuduhan tersebut begitu hebatnya sehingga Damar Wulan dihukum mati. Sepeninggal Damar Wulan kerajaan Majapahit diporakporandakan bala tentara dari kerajaan Bintara. (Rustapa dkk, 1997:67).
Warna lokal merupakan suatu cara untuk mengangkat suasana kedaerahan yang mendeskripsikan tentang latar, tokoh, dan penokohan, serta nilai-nilai budaya. Warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” memiliki ciri khas tertentu yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kedaerahan. Selain itu warna lokal dijadikan sebagai tolak ukur untuk membedakan ciri khas daerah yang satu dengan daerah yang lain (Nurgiyantoro, 1995:228).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan adalah:
Bagaimanakah warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane?
1.3 Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan selalu mempunyai tujuan yang jelas agar terarah dan tepat sasaran serta lebih jelas manfaatnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
Mendeskripsikan warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Bagi Pembaca
Dapat memahami unsur-unsur warna lokal dalam naskah drama serta dapat mengambil hikmah dalam cermin kehidupan.
2. Bagi Pemerhati Sastra
Dapat menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra khususnya drama, dan rasa peduli terhadap karya sastra Indonesia.
3. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan tentang sastra terutama warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane.
Skripsi Pelaksanaan Contextual Teaching And Learning (CTL) Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Di SMPN-X
(Kode PEND-BSI-0014) : Skripsi Pelaksanaan Contextual Teaching And Learning (CTL) Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Di SMPN-X
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era globalisasi telah menyentuh segala aspek kehidupan dan telah melahirkan perubahan sosial, sikap, dan perilaku, yang pada akhirnya bermuara pada pergeseran sistem nilai dan norma kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya transformasi budaya, ilmu pengetahun, dan teknologi. Realita seperti ini menuntut setiap bangsa (termasuk Indonesia) untuk segera mempersiapkan diri agar mampu bersaing, khususnya dalam bidang pendidikan.
Diakui atau tidak, mutu pendidikan Indonesia jauh tertinggal dengan negara lain. Third Matemathics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan bahwa kemampuan Matematika siswa SMP kita berada pada urutan 34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada pada urutan 32 dari 38 negara. Sementara itu, International Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada pada urutan 30 dari 38 negara yang disurvei (Nurhadi, 2004: 1). Menurut catatan Human Development Report versi UNDP, peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia berada pada urutan 110 dari 173 negara pada tahun 2002, dan 112 dari 174 negara pada tahun 2003. Indonesia berada jauh di bawah Singapura (28), Korea Selatan (30), Brunei Darusalam (31), Malaysia (58), Thailand (74), dan Filipina (85).
Selanjutnya, menurut Depdiknas (2005: 45), jumlah anak usia SD (7 – 12 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 5,50 % (1.422.141 anak), anak usia SMP (13 – 15 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 44.30 % (5.801.122 anak), dan anak usia SMA (16 – 18 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 67,58 % (9.113.941 anak). Retensi kotor anak masuk SD yang melanjutkan hingga Perguruan Tinggi sebesar 11,6 %, dan yang tidak sebesar 88,4%.
Kondisi di atas memberikan gambaran, sekaligus bahan renungan dan refleksi, bahwa pendidikan di Indonesia masih memerlukan perhatian dan pembaharuan dalam rangka menciptakan manusia-manusia berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini selaras dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu komponen penting demi terlaksananya sebuah Sistem Pendidikan Nasional yang terarah adalah kehadiran kurikulum. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan potensinya agar menjadi manusia paripurna sebagaimana yang tersurat dalam tujuan pendidikan nasional. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut, pengembangan potensi peserta didik harus disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Lebih lanjut, dalam PP No. 19 tahun 2005, pemerintah telah menetapkan delapan standar minimal pendidikan, diantaranya: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi kelulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar pengelolaan, (6) standar sarana prasarana, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian.
Di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan kurikulum. Yang terbaru adalah diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kemudian disempurnakan kembali menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) sebagai pengganti kurikulum 1994. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan adanya kurikulum masalah pendidikan akan teratasi secara otomatis? Ternyata tidak. Kurikulum hanya merupakan satu diantara tiga hal yang perlu mendapat perhatian dalam pembaharuan pendidikan. Selain kurikulum, hal yang perlu mendapat perhatian tersebut yaitu peningkatan pembelajaran, dan efektifitas pendekatan pembelajaran. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Secara mikro, harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang efektif di kelas dan lebih memberdayakan potensi siswa.
Pemberlakuan KTSP menuntut adanya perubahan paradigma guru yang semula mengajar dengan orientasi terhadap hasil dan materi (transfer of knowledge) menjadi orientasi terhadap proses. Nurhadi (2002: 1), mengatakan bahwa pembelajaran yang berorieritasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi 'mengingat' jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Pembelajaran hendaknya sebanyak mungkin melibatkan peserta didik agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi secara ilmiah dan alamiah. Anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika ‘anak mengalami' apa yang dipelajarinya, bukan 'mengetahui'-nya. Konsep pembelajaran yang demikian inilah yang diharapkan oleh pendekatan CTL.
CTL merupakan konsep belajar yang menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. CTL memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran, seting pembelajaran yang tidak melulu di dalam kelas, dan media apa saja untuk belajar. Prinsipnya, orang-orang dan benda-benda di sekitar siswa, semua adalah media belajar. Sehingga, gambaran fisik kelas CTL seperti berikut ini:
… dinding kelas penuh dengan tempelan hasil karya siswa (tidak hanya gambar presiden dan wakil presiden saja). Dinding kelas penuh dengan gambar hasil karya siswa, peta (baik cetak maupun buatan siswa sendiri, artikel, gambar tokoh idola, puisi, komentar, foto tokoh, diagram-diagram, dan lain-lain. Setiap saat berubah. Bahkan lorong-lorong sekolah pun dapat dimanfaatkan. Akibatnya, kemana pun siswa pergi dikepung oleh informasi! Ciri kedua, kelas CTL adalah siswa siswa selalu ramai dan gembira dalam belajar. Kelas yang aktif bukan kelas yang sepi (Nurhadi, 2004: 151).
Belajar harus didukung oleh lingkungan belajar yang berpusat pada siswa, dalam arti lingkungan yang mampu memberikan stimulasi siswa senang belajar. Oleh karena itu, pembelajaran harus berubah dari "guru yang berakting di depan kelas dan siswa menonton "ke" siswa yang berakting, bekerja, dan berkarya, guru mengarahkan dan memfasilitasi". Dengan kata lain, dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
Kondisi ideal di atas, jelas bertolak belakang dengan apa yang terjadi selama ini. Masih banyak guru yang mengajar dengan cara-cara lama dan kurang melibatkan dan mengaktifkan siswa untuk mampu belajar sendiri. Model pembelajaran yang hanya menekankan ceramah dan kurang demokratis masih banyak terjadi, dengan akibat siswa kurang bebas untuk mengembangkan pikiran dan gagasannya. Guru terjebak dengan kegiatan rutin, yaitu memberikan penjelasan serta men-drill bahan ajar kepada siswa yang sesuai dengan buku teks/buku paket, sedangkan siswa menerima bahan ajar yang diberikan oleh guru. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Drost (2005 : 7) bahwa sistem drill masih amat disenangi oleh para guru sehingga unsur penemuan biasanya sering dilupakan.
Hampir setiap guru tidak pernah memperhatikan perbedaan individual siswa. Walaupun model pembelajarannya klasikal, pada jam pelajaran yang sama, pada umumnya dalam satu kelas guru mengajarkan bahan dan materi yang sama dan dengan cara yang sama untuk semua siswa pada kelas tersebut, Sagala (2003 : 151). Dampak logis dari model pembelajaran dengan cara-cara lama tersebut, diantaranya: (a) banyak siswa yang mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya, (b) sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan, dan (c) siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah (Depdiknas, 2006: 7).
Jika kondisi ini tetap dibiarkan, pendidikan di Indonesia akan semakin terpuruk dan tertinggal dengan negara-negara lain. Sebaliknya, apabila kondisi tersebut diatasi dengan penerapan Pendekatan CTL secara optimal, kualitas pendidikan akan memiliki keunggulan kompetensi-kompetitif dalam persaingan global. Depdiknas, (2006: 11) menyatakan bahwa pengalaman di negara lain, minat dan prestasi siswa dalam bidang bahasa, matematika, dan sains meningkat secara drastis pada saat: (a) mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai, (b) mereka diajarkan bagaimana mempelajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dipergunakan di luar kelas, dan (c) mereka diperkenankan untuk bekerja secara bersama.
Kondisi riil di Kabupaten X, selain memperoleh pelatihan kurikulum, guru bahasa Indonesia juga mendapatkan pelatihan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai pendekatan pembelajarannya. Konsekuensi logis dari pelatihan tersebut, para guru bahasa Indonesia di SMPN X begitu antusias menerapkan pendekatan CTL dalam pembelajaran di dalam kelas. Berpijak dari uraian di atas, maka dalam kesempatan ini penulis mencoba menganilisis sebuah topik dengan judul: “Pelaksanaan Contextual teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X ”.
1.2 Asumsi dan Batasan Masalah
1.2.1 Asumsi
Asumsi yang mendasari diadakannya penelitian ini diantaranya:
1. Guru bahasa Indonesia SMP Negeri di Kabupaten X tergabung dalam MGMP bahasa Indonesia Kabupaten X.
Dalam MGMP diadakan pertemuan secara rutin setiap bulan. Pertemuan tersebut diadakan untuk membicarakan masalah pembelajaran dan solusinya terutama yang menyangkut bahasa Indonesia. Logikanya pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan CTL dapat berjalan dengan optimal.
2. Berdasarkan data terbaru dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMPN X tahun 2007, Kualifikasi pendidikan guru Bahasa Indonesia, 3% Diploma, 93% Sarjana (S1), dan 4% Pasca Sarjana (S2). Dengan modal akademik lulusan Sarjana (S1) apalagi Pasca Sarjana (S2), seorang guru semestinya mampu menjalankan tugasnya, mengajarkan Bahasa Indonesia pada siswa kelas VIII SMP, dengan baik dan optimal.
3. Pelatihan atau penataran tentang CTL baik di tingkat sekolah, kabupaten, maupun provinsi sudah pernah diikuti oleh + 78% guru bahasa Indonesia SMP Negeri di Kabupaten X.
Modal ini semestinya menambah kemampuan guru dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal.
4. Pembelajaran Bahasa Indonesia bersifat tematik sehingga secara material muatan mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup segala aspek (tema-tema) dalam kehidupan. Padahal, tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia adalah penguasaan siswa terhadap kompetensi berbahasa Indonesia, bukan penguasaan pengetahuan tentang Bahasa Indonesia. Para siswa harus mampu berbahasa sesuai dengan konteks dan ragamnya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, CTL-lah pendekatan yang prinsip- prinsipnya sangat dibutuhkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan asumsi hasilnya bisa optimal.
1.2.2 Batasan Masalah
Untuk memperjelas pembahasan agar tidak melebar dan menyimpang dari permasalahan yang akan diteliti, perlu adanya batasan masalah. Begitu juga dengan penelitian tentang pelaksanaan CTL ini. Berpijak dari hal tersebut di atas, masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini dibatasi pada: Pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan hambatannya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X?
2. Hambatan-hambatan apa yang ditemui guru Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X dalam pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL)?
1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah di atas, penelitian ini bertujuan:
1. untuk mendeskripsikan pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X; dan
2. untuk mendeskripsikan hambatan- hambatan yang ditemui guru Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X dalam pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL).
1.5 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini diantaranya adalah:
1. Bagi pengambil kebijakan (Dinas Pendidikan Kab. X), hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan terutama dalam pengambilan keputusan di masa yang akan datang.
2. Bagi praktisi pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai introspeksi sekaligus refleksi diri.
3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi terkini tentang pendidikan sekaligus sebagai media untuk menambah wawasan dan referensi untuk penelitian yang sama.
1.6 Penjelasan Istilah
Dari judul penelitian ini, terdapat istilah yang perlu didefinisikan secara operasional. Istilah tersebut adalah Contextual Teaching and Learning (CTL).
Depdiknas (2006:8) menyatakan bahwa CTL:
1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Skripsi Kemampuan Menggunakan Kata Penghubung Dalam Karangan Deskripsi Siswa Kelas V MIN-X
(Kode PEND-BSI-0013) : Skripsi Kemampuan Menggunakan Kata Penghubung Dalam Karangan Deskripsi Siswa Kelas V MIN-X
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tata bahasa merupakan suatu himpunan dari patokan-patokan dalam stuktur bahasa. Stuktur bahasa itu meliputi bidang-bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kata, dan tata kalimat serta tata makna. Dengan kata lain bahasa meliputi bidang-bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis (Keraf, 1994:27).
Kata penghubung adalah kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan kata dengan kata, klausa dengan klausa, atau kalimat dengan kalimat (Chaer, 2000:140).
Dari pengertian tersebut, maka kata penghubung sangatlah diperlukan untuk memperjelas kalimat, karena kata penghubung merupakan rambu-rambu bahasa tulis yang berpengaruh dalam pembuatan kalimat atau karangan. Suatu karangan deskripsi akan sulit dimengerti jika dalam karangan deskripsi tidak dibubuhi kata penghubung.
Siswa sering sekali kurang dalam pemahaman kata penghubung dalam suatu karangan, padahal setiap hari mereka di sekolah pasti akan bertemu dengan kegiatan menulis dan membaca, baik itu membaca buku pelajaran atau menulis suatu karangan.
Walaupun banyak buku yang mengulas pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, akan tetapi kenyataannya masih sering dijumpai dalam penggunaan kata penghubung yang tidak tepat. Salah satu penyebabnya menurut tata bahasa baku adalah tidak mengenalnya strategi pembuatan kalimat.
Peneliti mengadakan penelitian di MI X karena MI X adalah salah satu MI (Madrasah Ibtidaiyah) Negeri yang ada di kabupaten X sebagai model atau percontohan dalam pengembangan kualitas pendidikan dan pembelajaran serta sebagai pusat sumber belajar bersama dan inovasi penyelenggaraan pendidikan bagi madrasah-madrasah yang ada di sekitarnya.
Alasan peneliti mengambil siswa kelas V karena siswa kelas V ini masih banyak memerlukan pengetahuan dan wacana yang lebih luas tentang menggunakan kata penghubung yang nantinya dapat diteruskan di kelas VI pada sekolah dasar dan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Alasan peneliti menggunakan karangan deskripsi karena karangan deskripsi merupakan karangan yang menggambarkan suatu objek dengan tujuan agar pembaca merasa seolah-olah melihat sendiri obyek yang digambarkan itu. Siswa yang masih duduk di tingkat dasar biasanya sangat suka dengan cerita-cerita yang menggambarkan suatu objek, oleh karena itu peneliti menggunakan karangan deskripsi.
1.2 Masalah
1.2.1 Ruang Lingkup
Pada bagian ini akan peneliti sebutkan macam-macam kata penghubung yaitu: kata penghubung dan, dengan, serta, atau, tetapi, namun, sedangkan, sebaliknya, malah atau malahan, bahkan, lagipula, apalagi, itupun, jangankan, malainkan, hanya, kecuali, lalu, kemudian, mula-mula, yakni, yaitu, adalah, ialah, bahwa, jadi, karena, karena itu, sebab, sebab itu, kalau, jika, asal, andaikata, meskipun, supaya, agar, ketika, sesudah, sebelum, sejak, untuk, yang, sampai, sambil, seperti, tempat.
Setelah peneliti mengkaji dan menganalisa karangan deskripsi yang disempurnakan oleh siswa ternyata ditemukan tujuh jenis kata penghubung. Oleh karena itu pada penelitian ini peneliti hanya mengambil tujuh kata penghubung yaitu: yang, dengan, untuk, dan, seperti, jika, karena.
1.2.2 Pembatasan Masalah
Karena permasalahan yang berkaitan dengan kata penghubung cukup banyak, maka perlu diadakan pembatasan masalah agar permasalahan tidak berkepanjangan dan nantinya diharapkan menghasilkan pembahasan yang terarah.
Oleh karena itu dalam karangan deskripsi (yang tanda penghubungnya dihilangkan) yang disempurnakan oleh siswa terdapat tujuh kata penghubung maka permasalahan yang diteliti ini meliputi kemampuan menggunakan kata penghubung dalam karangan deskripsi Siswa Kelas V MI X menggunakan kata penghubung antara lain:
1. Kata penghubung yang.
2. Kata penghubung dengan.
3. Kata penghubung untuk.
4. Kata penghubung dan.
5. Kata penghubung seperti.
6. Kata penghubung jika.
7. Kata penghubung karena.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana telah dikemukakan pada latar belakang masalah yang berkaitan dengan kata penghubung, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung yang dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
2. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung dengan dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
3. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung untuk dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
4. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung dan dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
5. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung seperti dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
6. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung jika dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
7. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung karena dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
1.4 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian, tujuan dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan menggunakan kata penghubung dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung yang dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
2. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung dengan dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
3. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung untuk dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
4. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung dan dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
5. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung seperti dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
6. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung jika dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
7. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung karena dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang kemampuan menggunakan kata penghubung ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti sebagai bahan acuan pengembangan kajian kaidah tata bahasa Indonesia di sekolah, oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Siswa
Siswa diharapkan menggunakan dan mampu menggunakan kata penghubung dalam karangan deskripsi secara baik dan benar.
2. Guru
Guru diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang kata penghubung dan mengkaji lebih jauh permasalahan dan penggunaan kata penghubung dalam karangan deskripsi.
3. Peneliti
Bagi peneliti diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman tentang penggunaan kata penghubung dalam menyusun karangan deskripsi yang baik dan benar.
1.6 Penjelasan Istilah
Supaya terdapat kesatuan pandangan dan menuju satu pikiran perlu adanya penjelasan istilah. Dalam penelitian ini konsep yang perlu ditegaskan adalah :
1. Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, atau kepandaian menyelesaikan sesuatu berdasarkan tujuan (Poerwadarminta, 1984:628)
2. Kata penghubung adalah kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan kata dengan kata, klausa dengan klausa, atau kalimat dengan kalimat (Chaer, 2000:140).
3. Karangan deskripsi adalah karangan yang menggambarkan suatu objek dengan tujuan agar pembaca seolah-olah melihat sendiri objek yang digambarkan itu (Kosasih, 2002:33).
4. Siswa kelas V MI X adalah semua siswa kelas V yang bersekolah di MI X.
Jadi, kemampuan menggunakan kata penghubung dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X adalah kemampuan siswa kelas V MI X dalam menggunakan kata penghubung pada karangan deskripsi, sehingga tidak akan menimbulkan penafsiran yang salah pada judul skripsi.