Cari Kategori

Showing posts with label skripsi ekonomi pembangunan. Show all posts
Showing posts with label skripsi ekonomi pembangunan. Show all posts

SUMBANGAN RETRIBUSI PASAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH

SUMBANGAN RETRIBUSI PASAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH

A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan pada dasarnya adalah usaha yang terus menerus untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, baik secara materiil maupun spiritual yang lebih tinggi. Seperti yang diungkapkan dalam GBHN 1999-2004 (Tap MPR No. IV/MPR/1999), pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global.

Pembangunan pada dasarnya diselenggarakan oleh masyarakat bersama pemerintah. Oleh karena itu peranan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus ditumbuhkan dengan mendorong kesadaran, pemahaman, dan penghayatan bahwa pembangunan adalah hak serta kewajiban dan tanggung jawab bersama seluruh rakyat.

Sesuai dengan prinsip otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara bertahap akan lebih banyak dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya yang berarti bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagai penyempurna dari Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Seiring dengan prinsip otonomi daerah, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Sejalan dengan kebijakan dalam bidang otonomi daerah dituntut untuk dapat menggali sumber dana sendiri karena peran pemerintah pusat akan semakin dikurangi. Pemerintah daerah harus berusaha untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup pada daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan pada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Adapun sumber-sumber penerimaan daerah menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 (pasal 157) mengenai pemerintahan daerah antara lain : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pos paj ak daerah, pos retribusi daerah, pos hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan pos lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Pendapatan ini diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan rakyat.

Pos retribusi daerah memiliki sumbangan yang terbesar terhadap Pendapatan Asli Daerah dibandingkan dengan pos-pos yang lain. Pada umumnya makin berkembangnya pembangunan suatu daerah maka makin banyak jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah tersebut. Hal ini dikarenakan makin berkembangnya suatu daerah makin banyak pula fasilitas yang disediakan oleh pemerintah daerah setempat, demikian pula halnya dengan penyediaan fasilitas pasar. Tempat ini sangat vital diperlukan untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sangat dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga pasar merupakan salah satu yang potensial yang dapat digali untuk dilakukan pemungutan atau lebih sering dikenal dengan retribusi pasar.

Retribusi pasar merupakan salah satu obyek retribusi daerah yang memberikan sumbangan terhadap retribusi daerah. Berlatar belakang dari pentingnya retribusi daerah dalam sumbangannya terhadap Pendapatan Asli Daerah serta potensi retribusi pasar sebagai sumber keuangan daerah, disini penulis bermaksud untuk mengangkat judul skripsi "Analisis Sumbangan Retribusi Pasar terhadap Pendapatn Asli Daerah Kabupaten X". Penulis mengangkat penelitian yang berlokasi di wilayah Kabupaten X karena penelitian mengenai sumbangan retribusi pasar terhadap Pendapatan Asli Daerah belum pernah diteliti sebelumnya di wilayah Kabupaten X.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sumbangan penerimaan retribusi pasar terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten X ?
2. Bagaimana pengaruh luas pasar terhadap penerimaan retribusi pasar ?
3. Bagaimana pengaruh jumlah los terhadap penerimaan retribusi pasar ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejauh mana sumbangan retribusi pasar terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh luas pasar terhadap penerimaan retribusi pasar.
3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah los terhadap penerimaan retribusi pasar.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah Daerah
Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah untuk bahan pemikiran dalam menentukan kebijakan khususnya masalah retribusi pasar.
2. Bagi peneliti
Merupakan tambahan pengetahuan secara nyata untuk mengaplikasikan teori yang didapat di bangku kuliah.
3. Bagi pihak lain
Hasil penelitian dapat memberikan informasi bagi pihak yang berkepentingan untuk penelitian lebih lanjut.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 21:21:00

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN AIR BERSIH DI KECAMATAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN AIR BERSIH DI KECAMATAN

1.1. Latar Belakang
Dalam RPJM I Tahun 2005-2009 ditegaskan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyara adil dan makmur yang merata material dan spiritual sebagai penjabaran dari tujuan pemerintahan negara yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Begitupun member makna bhawa pembangunan mengutamakan pemerataan dan kesejahteraan masyarakat sehingga masyarakat itu sendiri dapat menikmati hasil pembangunan.

Pembangunan ekonomi yang dilakukan pada berbagai sektor hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan (kemakmuran masyarakat secara menyeluruh) sehingga proses perobahan struktur perekonomian, perluasan kesempatan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan merupakan sasaran pokok pembangunan yang hendak dicapai. Dengan demikian pelaksanaan pembangunan sekaligus haras menjamin pembagian yang merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan rasa keadilan, dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Ha ini berarti pula bahwa pembangunan tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi, melainkan sekaligus mampu untuk mencegah jurang pemisah yang makin melebar antara masyarakat kaya dan yang miskin.

PDAM Tirtanadi X dalam keberadaannya menyediakan air bersih yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, apakah rumah tangga, perasahaan dan bahkan pemerintah. Air bersih yang ditawarkan kepada para konsumen dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti : minum. masak, mandi dan sebagainya sehingga dalam perkembangannya menunnjukkan kenaikan yang prorsional dengan kenaikan jumlah penduduk sekaligus ramah tangga. Antisipasi terhadap kebutuhan permintaan air bersih yang meningkat maka pihak PDAM Tirtanadi telah melakukan berbagai upaya sehingga permintaan konsumen dapat terpenuhi.

Kerangka kebijakan air bersih di Indonesia mengacu pada pengembangan air bersih wilayah perkotaan dengan bertumpu kepada investasi. Pendekatan investasi tersebut dipengarahi oleh tiga faktor : (a) karakteristik air baku, yang memperhatikan jenis sumber air, kuantitas dan kualitas, serta debit andalan; (b) kebijakan pemerintah, yang memfokuskan kepada penataan ruang, pertumbuhan ekonomi dan investasi, dan demografi; dan (c) teknologi produksi, yang mempertimbangkan efisiensi ekonomi, distribusi, dan cakupan pelayanan. Secara teknis dan operasional, hal tersebut diimplementasikan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sebagai lembaga ekonomi penyedia air bersih.

Permintaan akan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum untuk wilayah Kecamatan X semakin lama semakin meningkat sehingga perusahaan sebagai instansi penyedia air bersih diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Kecamatan X. Selain sektor rumah tangga, permintaan air bersih juga berasal dari sektorsektor industri dan jasa dalam rangka mendukung kegiatan operasional usahanya. Pihak Tirtanadi haras mampu mengatur dan menjaga kesinambungannya sebagai penyedia air bersih dari waktu ke waktu. Ada banyak faktor yang mendorong masyarakat baik rumah tangga ataupun industri-industri atas permintaan air bersih yang haras dipantau oleh pihak Tirtanadi sebagai penyuplai air bersih.

Air bersih yang disalurkan oleh PDAM Tirtanadi ke semua saluran-saluran pemakai air bersih dikontrol dengan adanya pemasangan meteran penghitung pemakaian air bersih di setiap rumah-rumah ataupun industri-industri. Jumlah pemakaian air bersih setiap waktunya akan tereatat dan akan dikenakan biaya oleh pihak PDAM Tirtanadi sebagai ganti ragi atas total pemakaian air bersih yang telah dinikmati oleh masyarakat Kecamatan X. Kecamatan X merapakan salah satu kecamatan yang ada di Kota X dengan penduduk sebanyak 75.154 orang dengan luas 5,33 KM atau 2,01% dari luas seluruh kota X, dimana masyarakat yang mendapatkan pelayanan atau sebagai pelanggan air bersih tahun 2006 sebanyak 25.161 keluarga sedangkan sebagai pelanggan sebanyak 10.422 pelanggan atau sebesar 96% dari penduduk Kecamatan X (X Dalam Angka 2007).

PDAM Tirtanadi haras memperhatikan sumber-sumber debet air bersih yang dimiliki untuk tetap dapat memenuhi permintaan masyarakat akan air bersih. Faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab meningkatnya permintaan air bersih di Kecamatan X haras senantiasa dijaga dan dipantau untuk menghindari terjadinya krisis air bersih di Kecamatan X. Sejalan dengan keterangan di atas, maka penulis tertarik mengangkat masalah ini menjadi sebuah penelitian yang berjudul : "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengarahi Permintaan Air Bersih Di Kecamatan X".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh harga air terhadap permintaan air bersih di Kecamatan X ?
2. Bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap permintaan air bersih di Kecamatan X ?.

1.3 Hipotesa
Teori empirik sebagaimana yang dikemukakan oleh Husein Umar (2007 : 124) sebagai berikut : Hipotesis adalah suatu proporsi, kondisi atau prinsip untuk sementara waktu dianggap benar dan barangkali tanpa keyakinan supaya bisa ditarik suatu konsekuensi logis dan dengan cara ini kemudian diadakan pengujian tentang kebenarannya dewngan menggunakan data empiris dari hasil penelitian.
Berdasarkan observasi/penelitian pendahuluan di lapangan, maka penulis membuat suatu hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah ada pengaruh harga air terhadap permintaan air bersih di Kecamatan X.
2. Apakah ada pengaruh jumlah penduduk terhadap permintaan air bersih di Kecamatan X.

1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh harga air terhadap permintaan air bersih di Kecamatan X.
2. Untuk mengetahui pengaruh jumlah penduduk terhadap permintaan air bersih di Kecamatan X.

1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya terutama yang meneliti masalah permintaan Air Minum di Kecamatan X.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi daerah X dalam menentukan mengetahui faktor yang mempengaruhi permintaan Air Minum di Kecamatan X.
3. Sebagai referensi bagi semua pihak.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 21:15:00

PENGARUH EKSPOR SEKTOR INDUSTRI DAN PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PENGARUH EKSPOR SEKTOR INDUSTRI DAN PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang, di masa lalu pernah mencoba untuk berdiri di atas kaki sendiri dan tidak memperdulikan bantuan negara lain. Namun ternyata Indonesia tidak bisa terus menerus bertahan dalam kondisi seperti ini. Akhirnya Indonesia terpaksa mengikuti arus, membuka diri untuk berhubungan lebih akrab dengan bangsa lain demi memenuhi kehidupan ekonomi nasionalnya (Amir MS, 1998 : 12).

Jika saja dulu Indonesia tidak berani mengijinkan modal Jepang dan Amerika masuk dalam pertambangan minyaknya, mungkin perekonomian Indonesia tidak akan mengalami kemajuan yang berarti. Industrialisasi juga tidak akan berjalan jika saja Indonesia tidak mau mengimpor mesin tekstil dari Jepang, pabrik pupuk, pabrik semen, pabrik kayu lapis, dan Iain-lain dari negara-negara sahabat lainnya. Begitu pula keadaan ekonomi nasional kita bisa macet total jika saja Indonesia tetap tidak mau menjual karet ke negeri Belanda dan menjual tembakau, kopi, dan Iain-lain ke negara Eropa lainnya.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam dunia yang sudah terbuka ini, hampir tidak ada lagi satu negara pun yang benar-benar mandiri, tapi satu sama lain saling membutuhkan dan saling mengisi. Kenyataan ini lebih meyakinkan kita akan bertambah pentingnya peranan perdagangan internasional dalam masa mendatang demi kepentingan ekonomi nasional. Dalam hal ini, hubungan ekonomi internasional dalam suatu negara ditunjukkan oleh kegiatan perdagangan yang meliputi kegiatan ekspor impor sebagai salah satu komponen penting dalam hubungan ekonomi luar negeri. Ekspor akan memperluas pasar barang buatan dalam negeri dan ini memungkinkan perusahaan-perusahaan dalam negeri mengembangkan kegiatannya. Impor juga dapat memberi sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi karena industri-industri dapat mengimpor mesin-mesin dan bahan mentah yang diperlukannya. Di Indonesia jenis barang yang biasa diperdagangkan ke luar negeri adalah barang Migas dan Non Migas. Barang migas meliputi minyak dan gas, sedangkan barang non migas meliputi komoditi tradisional termasuk produk industri dan pariwisata.

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS, ditahun 1998 ekspor sektor industri secara keseluruhan sebesar US$ 34.593,2 juta, atau menurun sebesar US$ 252,6 juta dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2001 total ekspor sektor industri Indonesia adalah sebesar US$ 37.671,1 juta. Ini berarti ekspor sektor industri mengalami penurunan sebesar 10.31% dari ekspor sektor industri tahun sebelumnya yang mencapai sebesar US$ 42.002,9 juta. Setelah itu ekpor Indonesia terus mengalami peningkatan di tahun-tahun berikutnya. Terjadinya perubahan pada ekpor sektor industri, akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Investasi merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan semakin besar tingkat investasi maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi Indonesia merupakan penjumlahan dari Penanaman Modal Dalam Negri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Investasi sektor industri Indonesia berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia karena sektor industri merupakan salah satu sektor terpenting dalam perekonomian Indonesia.

Menurut Boediono (1999 : 12), Pertumbuhan Ekonomi merupakan tingkat pertambahan dari pendapatan nasional. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi adalah sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan merupakan ukuran keberhasilan pembangunan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak stabil. Terkadang menunjukkan peningkatan, penurunan, atau bahkan tetap dari tahun sebelumnya. Sejak tahun 1986 hingga tahun 1989, tingkat pertumbuhan ekonomi nyata terus menerus mengalami peningkatan, yaitu dari 5,9% di tahun 1986 menjadi 6,9% di tahun 1988, dan menjadi 7,5% di tahun 1989. Namun pada tahun 1990 tingkat pertumbuhan ekonomi sama halnya dengan tahun 1991 yaitu 7,0%. Dilanjutkan dengan tahun 1992, 1993, 1994, 1995, dan 1996, masing-masing tingkat pertumbuhan ekonominya adalah sebesar 6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%.

Sejak krisis moneter pada Agustus 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok sebesar -13,3% pada tahun 1998. Kemudian pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan tiap tahun. Pada tahun 1999 ekonomi bertumbuh sekitar 0,79%, 4,92% di tahun 2000, 3,4% di tahun 2001, dan 3,66%.di tahun 2002. Seiring dengan berjalannya waktu, pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi kemudian mengalami peningkatan menjadi 6,1%.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, Penulis mencoba untuk membahas masalah pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam hubungannya dengan perdagangan internasional yang meliput ekspor dan impor dengan mengangkat judul "Analisis Pengaruh Ekspor Sektor Industri Dan Penanaman Modal Asing Sektor Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia".

1.2 Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini, Penulis terlebih dahulu merumuskan masalah dengan jelas sebagai dasar penelitian yang dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut, masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh Ekspor sektor industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ?
2. Bagaimana pengaruh Tingkat suku bunga terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ?
3. Bagaimana pengaruh Penanaman Modal Asing (PMA) sektor industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ?
4. Bagaimana pengaruh Konsumsi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ?
5. Bagaimana penagruh krisis ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ?

1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka Penulis membuat hipotesis sebagai berikut :
1. Ekspor berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, ceteris paribus.
2. Tingkat Suku Bunga berpengaruh negative terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, ceteris paribus.
3. Penanaman Modal Asing (PMA) berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, ceteris paribus.
4. Konsumsi berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, ceteris paribus.
5. Krisis Ekonomi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, ceteris peribus.

1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan Penulis dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh Ekspor terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaruh Tingkat Suku bunga terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
3. Untuk mengetahui pengaruh PMA terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
4. Untuk mengetahui pengaruh Konsumsi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
5. untuk mengetahui pengaruh krisis ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia

1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran, bahan studi atau tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa-mahasiswa khususnya bagi mahasiswa jurusan Ekonomi Pembangunan.
2. Menambah, melengkapi, sekaligus sebagai pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya yang menyangkut topik yang sama.
3. Sebagai masukan yang akan bermanfaat bagi pemerintah dan instansi-instansi terkait.
4. Untuk memperkaya wawasan ilmiah Penulis dalam kaitannya dengan disiplin ilmu yang Penulis tekuni.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 21:13:00

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat yang pada gilirannya akan mewujudkan kesejahteraan penduduk Indonesia. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu penyakit dalam ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional. Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu (M. Nasir, dkk 2008).

Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu : 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Menurut BPS (2007), seseorang masuk dalam kriteria miskin jika pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan.

Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius, bahkan merupakan salah satu program prioritas, termasuk bagi pemerintah provinsi Jawa Tengah. Upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah dilaksanakan melalui lima pilar yang disebut "Grand Strategy". Pertama, perluasan kesempatan kerja, ditujukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. Kedua, pemberdayaan masyarakat, dilakukan untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dan memperluas partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin kehormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar. Ketiga, peningkatan kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. Keempat, perlindungan sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelomnpok rentan dan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial. Kelima, kemitraan regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan kerjasama lokal, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat strategi diatas (Bappeda Jateng, 2007).

Hasil dari upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah memperlihatkan pengaruh yang positif. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan yang mengalami pola yang menurun. Kecenderungan penurunan tingkat kemiskin di Jawa Tengah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tingkat kemiskinan sebesar 21,78 persen dan turun menjadi 20,49 persen di tahun 2005, tetapi di tahun 2006 meningkat menjadi 22,19 persen, kemudian turun menjadi 20,43 persen di tahun 2007 dan 19,23 persen di yahun 2008.

Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah merupakan tingkat kemiskinan agregat dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Tingkat kemiskinan di 35 kabupaten di Jawa Tengah masih tidak merata, dan sebagian besar tingkat kemiskinannya masih tinggi. Ada empat kota yang memiliki tingkat kemiskinan dibawah 10 persen, yaitu Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Salatiga, sedangkan yang lainya diatas 10 persen. Ini mengindikasikan usaha pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan belum merata ke seluruh kabupaten/kota. Untuk itu perlu dicari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota, sehingga dapat digunakan sebagai acuan bagi tiap kabupaten/kota dalam usaha mengatasi kemiskinan.
Proses pembangunan memerlukan pendapatan nasional yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan yang tetap adalah pertumbuhan ekonomi. pertumbuhan ekonomi memang tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan tetapi biasanya pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang dibutuhkan, walaupun begitu pertumbuhan ekonomi yang bagus pun menjadi tidak akan berarti bagi penurunan masyarakat miskin jika tidak diiringi dengan pemerataan pendapatan (Wongdesmiwati, 2009). 
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja yaitu sektor pertanian atau sektor yang padat karja. Adapun secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang yang cukup efektif mendistribusikan manfaat pertumbuhan yang mungkin didapatkan dari sektor modern seperti jasa yang padat modal (Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti, 2008).

Penelitian yang dilakukan Wongdesmiwati menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Untuk menurunkan tingkat kemiskinan maka pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan.

Kebijakan upah minimum juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Gagasan upah minimum yang sudah dimulai dan dikembangkan sejak awal tahun 1970-an bertujuan untuk mengusahakan agar dalam jangka panjang besarnya upah minimum paling sedikit dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM), sehingga diharapkan dapat menjamin tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keluarga dan sekaligus dapat mendorong peningkatan produktivitas kerja dan kesejahteraan buruh (Sonny Sumarsono, 2003).

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999, Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi tertentu. Kebijakan penetapan upah minimum oleh pemerintah adalah kebijakan yang diterapkan dengan tujuan sebagai jaring pengaman terhadap pekerja atau buruh agar tidak diekspolitasi dalam bekerja dan mendapat upah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM). Jika kebutuhan hidaup minimum dapat terpenuhi, maka kesejahteraan pekerja meningkatkan dan terbebas dari masalah kemiskinan.

Peraturan Menteri Nomor 17, tahun 2005 (Per-17/Men/VIII/2005), KHL merupakan standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik fisik, non fisik, dan sosial selama satu bulan. Seorang pekerja dianggap hidup layak jika upahnya mampu memenuhi kebutuhan 3000 kalori per hari. Oleh karena itu, KHL menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Ada 7 komponen KHL yang selalu dihitung, yaitu makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, serta rekreasi dan tabungan.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah pendidikan. Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan pemerintah terutama dalam meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital) dan mendorong penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan produktivitas manusia. Kenyataannya dapat dilihat dengan melakukan investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diperlihatkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas kerjanya. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan memperkerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi, sehingga perusahaan juga akan bersedia memberikan gaji yang lebih tinggi bagi yang bersangkutan. Di sektor informal seperti pertanian, peningkatan ketrampilan dan keahlian tenaga kerja akan mampu meningkatkan hasil pertanian, karena tenaga kerja yang terampil mampu bekerja lebih efisien. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas kaum miskin dapat disebabkan oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan (Rasidin K. Sitepu dan Bonar M. Sinaga, 2004).

Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 31 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidkan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Konsekuensinya, pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat, agar mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut harusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa (Criswardani Suryawati, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti menemukan bahwa pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting dalam menuninkan tingkat kemiskinan.

Pembangunan bidang pendidikan di Jawa Tengah selama ini telah dilakukan melalui upaya pengembangan dan relevansi pendidikan sesuai dengan tujuan perkembangan iptek dan kebutuhan pasar kerja, dengan memperhatikan sistem pendidikan nasional yang berjalan dan juga sasaran komitmen-komitmen Internasional di bidang pendidikan. Akses masyarakat terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) SD/MI 107, 17 % menjadi 109, 12 %, SMP/MTS meningkat dari 71, 55 % menjadi 77, 68 % dan proporsi penduduk buta huruf dari 13, 27 % menjadi 10, 46 % masing-masing pada tahun 2003 dan tahun 2007 (Bappeda Jateng, 2008).
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah pengangguran. Salah satu unsur yang menentukan kemakmuran suatu masyarakat adalah tingkat pendapatan. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila kondisi tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dapat terwujud. Pengangguran akan menimbulkan efek mengurangi pendapatan masyarakat, dan itu akan mengurangi tingkat kemakmuran yang telah tercapai. Semakin turunya tingkat kemakmuran akan menimbulkan masalah lain yaitu kemiskinan (Sadono Sukirno, 2003). 
Tingkat pengangguran di Jawa Tengah tergolong masih tinggi, dimana masih dalam kisaran diatas 5 persen. Tingkat pengangguran di Jawa Tengah tidak stabil, mengalami beberapa kali fase naik turun. Pada tahun 2003, tingkat pengangguran sebesar 5,66 persen, kemudian naik menjadi 6,54 persen di tahun 2004. Peningkatan tingkat penggangguran terjadi secara beruntun dari tahun 2006 dan tahun 2007, dari 5,88 di tahun 2005 menjadi 7,29 di tahun 2006 dan 7,7 di tahun 2007.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, di Provinsi Jawa Tengah dalam peri ode 2003-2007 terjadi fenomena penurunan tingkat kemiskinan, tetapi rata-rata tingkat kemiskinannya dibanding provinsi-provinsi lain di pulau Jawa adalah yang paling tinggi. Belum meratanya hasil usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan ke seluruh kabupaten/kota menjadi penyebabnya, padahal dampak kemiskinan sangat buruk terhadap perekonomian. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota, sehingga dapat digunakan sebagai dasar kebijakan bagi tiap kabupaten/kota dalam usaha mengatasi kemiskinan.

1.2 Rumusan Masalah
Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2003 hingga tahun 2008 mengalami periode yang relatif baik karena mengalami trend yang menurun dari 21,78 persen di tahun 2003 menjadi 19,23 persen di tahun 2008, meskipun sempat mengalami kenaikan di tahun 2006 menjadi 22,16. Rata-rata tingkat kemiskinan Jawa Tengah masih yang paling tinggi dibanding dengan provinsi lain di pulau Jawa. Penyebabnya adalah belum meratanya hasil dari usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan keseluruh kabupaten/kota. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat berpenganih terhadap tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota agar dapat diketahui faktor-faktor yang perlu dipacu untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan disertai pemerataan hasil pertumbuhan keseluruh sektor usaha sangat dibutuhkan dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi Maka untuk mempercepat penurunkan tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan.

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah upah minimum. Upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak yang dibutuhkan pekerja dengan harapan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan pekerja sehingga tingkat kemiskinan akan berkurang.

Selain itu, pendidikan dan pengangguran juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan memperbesar peluang kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan memperoleh kemakmuran. Pendapatan masyarakat maksimum tercapai saat perekonomian mencapai kesempatan kerja penuh. Semakin meningkatnya tingkat pengangguran akan semakin mengurangi pendapatan masyarakat yang berakibat naiknya tingkat kemiskinan.

Atas dasar permasalahan diatas maka persoalan penelitian yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan ?
2. Bagaimana pengaruh upah minimum terhadap tingkat kemiskinan ?
3. Bagaimana pengaruh pendidikan terhadap tingkat kemiskinan ?
4. Bagaimana pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat kemiskinan ?
5. Bagaimana perbedaan kondisi tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Tujuan Penelitian 
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan.
2. Menganalisis perbedaan kondisi tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Kegunaan penelitian :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada :
1. Pengambil Kebijakan
Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berguna di dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang perlu dipacu untuk mengatasi masalah kemiskinan.
2. Ilmu Pengetahuan
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan menambah khasanah ilmu ekonomi khususnya ekonomi pembangunan. Manfaat khusus bagi ilmu pengetahuan yakni dapat melengkapi kajian mengenai tingkat kemiskinan dengan mengungkap secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Sistematika Penulisan 
Bab I Pendahuluan
Merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah yang terdiri dari tingkat kemiskinan di Indonesia serta fenomena tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Menyajikan landasan teori tentang, teori kemiskinan, pengertian pertumbuhan ekonomi, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan, teori upah minimum, hubungan antara upah minimum dan tingkat kemiskinan, teori pendidikan, hubungan antara pendidikan dan tingkat kemiskinan, teori penganguran, hubungan antara penganguran dan tingkat kemiskinan. Disamping itu pada bab ini juga terdapat penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan hipotesis yang dapat diambil.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini dipaparkan tentang metode penelitian yang meliputi variabel penelitian dan definisi operasional, jenis dan sumber data, dan metode analisis.
Bab IV Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini dipaparkan tentang deskripsi obyek penelitian, yaitu kondisi tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan pengangguran di Jawa Tengah, analisis data dan pembahasan.
Bab V Penutup
Pada bab ini disampaikan kesimpulan dan saran yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:20:00

PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH

PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH

A. Latar Belakang Masalah
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari asas desentralisasi adalah berlakunya otonomi daerah.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2001 : 169).

Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari hubungan antara sistem pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan, dimana pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan yang penting, dan adanya campurtangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap pemerintah daerah. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar. Ketergantungan terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat. Ironisnya, kendati pelaksanaan otonomi menitikberatkan pada kabupaten/kota sebagai ujung tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibanding propinsi (Kuncoro, 2004 : 18).

Di Seminar Nasionalnya, Machfud Sidik Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan RI berpendapat bahwa desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), fiskal (fiscal decentralization) dan ekonomi (economic or market decentralization).

Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam penyediaan pelayanan umum. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.

Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu :
1. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hierarkinya.
2. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hierarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.
3. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat.
Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor (Sidiq, 2002 : 4), yaitu :
1. Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement. 2. SDM yang kuat pada Pemerintah Daerah guna menggantikan peran Pemerintah Pusat.
3. Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.

Desentralisasi fiskal implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah, dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.

Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang berdasarkan azas desentralisasi, Kepala Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah. Setidaknya ada empat penyebab utama tingginya ketergantungan terhadap transfer dari pusat (Kuncoro, 2004 : 13), yaitu :
1. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.
2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.
3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan.
4. Ada yang khawatir bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme.
Oleh karena itu, alternatif solusi yang ditawarkan adalah (Kuncoro, 2004 : 15) :
1. Meningkatkan peran BUMD.
2. Meningkatkan penerimaan daerah.
3. Meningkatkan pinj aman daerah.
Pembangunan daerah adalah suatu proses yang berdimensi banyak yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan daerah, semisal percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dan faktor penentu lainnya. Tujuan pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara memperluas kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, peningkatan hubungan antar daerah serta terus diupayakan adanya proses pergeseran struktur kegiatan ekonomi. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan pembangunan daerah adalah : (i) mendorong mengupayakan pekerjaan yang berkualitas tinggi bagi penduduk dengan mengupayakan peningkatan sumber daya yang berkualitas, sehingga mampu berperan dalam aktivitas yang lebih produktif (ii) menciptakan stabilitas ekonomi dengan cara menyiapkan sarana prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan aktivitas ekonomi daerah (Mulyanto, 2004).  
Masalah pokok dalam pembangunan daerah sering terletak pada penekanan kebijakan-kebij akan yang didasarkan pada kekhasan yang dimiliki oleh suatu daerah. Berdasarkan asas ekonomi daerah, hal-hal yang berhubungan dengan kebij aksanaan, perencanaan, pengawasan maupun pembiayaan kegiatan pemerintah daerah menjadi wewenang dan tugas pemerintah daerah. Melihat keadaan tersebut, maka untuk mencapai tujuan dari suatu pembangunan daerah yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, pemerintah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif untuk berperan dalam pembangunan daerah.

Selain mengerahkan segala potensi yang ada untuk lebih mendorong pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah dan masyarakat, pembangunan ekonomi regional juga sudah mulai ditekankan pada kerjasama dan sinergisitas antar sektor dan antar daerah. Pembangunan ekonomi regional yang diiringi dengan pengembangan kerjasama antar wilayah menjadi alternatif bagi suatu daerah yang pembangunannya sudah pesat. Selain itu, kerjasama juga diharapkan dapat membantu percepatan pembangunan bagi daerah yang proses pembangunannya tergolong lambat dibandingkan dengan daerah di sekitar yang lebih pesat. Daerah yang pertumbuhannya lebih tinggi akan memberikan peluang atau membantu daerah tetangga untuk mengejar ketertinggalan misalnya dengan kerjasama pengembangan jaringan investasi.

Dimulainya beberapa kerjasama antar beberapa pemerintah daerah dalam lingkup regional atau yang disebut dengan Regional Management ini tidak lain bertujuan untuk secara bersama mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber daya secara khusus dalam bidang ekonomi, kemudian juga bidang investasi sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan merata antar daerah dan juga dapat menciptakan daya saing antar daerah (Efiawan dalam Adi Tri, 2009). Untuk daerah Jawa Tengah ada kerjasama antar daerah dengan dasar kerjasama ekonomi regional yaitu Kawasan X yang merupakan Kawasan Strategis Pertumbuhan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan merupakan Wilayah Pembangunan II di Provinsi Jawa Tengah (Mulyanto, 2002). Kawasan ini pusat pertumbuhannya adalah Kota X karena pembangunan ekonominya cukup bagus dibandingkan dengan daerah tetangga, terlihat dari iklim investasi yang kondusif dan berkembang ditandai dengan pesatnya pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baik itu yang tradisional maupun modern.

Dari paparan diatas tampak jelas bahwa faktor kemampuan mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Maka diharapkan kemampuan mengelola keuangan daerah yang lebih baik dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.

PDRB atas dasar harga berlaku daerah kabupaten/kota di X menunjukkan harga yang berlaku pada tahun tersebut yang digunakan untuk menilai barang dan jasa pada tahun tersebut. Dalam hal ini nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi di dalam suatu daerah dalam satu tahun tertentu. Dalam kurun waktu lima tahun menunjukkan penerimaan daerah di setiap Kabupaten/Kota di X selalu meningkat, ini berarti menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

Dalam masalah keuangan daerah, perimbangan pembiayaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan pendapatan yang secara leluasa digali sendiri untuk mencukupi kebutuhan sendiri masih mempunyai kelemahan sehingga keterbatasan dalam potensi penerimaan daerah tersebut bisa menjadikan ketergantungan terhadap transfer pusat. Pemerintah Daerah selama ini memiliki keterbatasan pembiayaan dari potensi sendiri (PAD). Selama ini komponen pembiayaan terbesar berasal dari dana transfer dari pusat yaitu Dana Alokasi Umum dan hanya sebagian kecil dari PAD, potensi pembiayaan lain yang belum dikelola yaitu dari pinjaman daerah (Santoso, 2003 : 148).

Penelitian ini, peneliti akan mencoba menganalisis tentang bagaimana perimbangan keuangan pusat-daerah di Kabupaten dan kota di X, dimana diketahui sumber-sumber keuangan daerah yang berbeda-beda, pertumbuhan ekonomi, keadaan penduduk, keadaan geografi, PDRB perkapita yang berbeda-beda pula sehingga Pemerintah Daerah dalam menjalankan konsep desentralisasi juga berbeda, dalam alokasi keuangannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dipilih judul Analisis Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dalam Konsep Desentralisasi Fiskal di X Sebelum dan Selama Otonomi Daerah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah diatas, dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi perkembangan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di X sebelum dan selama Otonomi tahun Daerah 1997-2008 ditinjau dari Derajad Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, UpayaFiskal, Derajad Otonomi Fiskal ?
2. Bagaimana tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota di X terhadap penyelenggaraan otonomi daerah jika diukur dengan menggunakan Rasio kemandirian daerah dan pola hubungan dan tingkat kemandirian keuangan daerah ?
3. Bagaimana perbandingan pada masing-masing Kabupaten/kota di X dalam kesiapannya menghadapi otonomi daerah dari sisi kemampuan keuangan daerah ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten/Kota di X sebelum dan selama otonomi daerah pada tahun 1997-2008 ditinjau dari Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal.
2. Untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota di X terhadap penyelenggaraan otonomi daerah jika diukur dengan menggunakan Rasio kemandirian daerah dan pola hubungan dan tingkat kemandirian keuangan daerah.
3. Untuk mengetahui perbandingan pada masing-masing Kabupaten/kota di X dalam kesiapannya menghadapi otonomi daerah dari sisi kemampuan keuangan daerah, sehingga diketahui Kabupaten/kota tersebut apakah tergantung pada transfer pusat atau tidak.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, yaitu :
1. Dapat mengetahui hubungan keuangan pusat-daerah dalam konsep desentralisasi fiskal di X, sehingga dapat menjadi tambahan pembelajaran bagi pembaca dalam membandingkan antara Kabupaten/ Kota di kawasan X, bagaimana kemandirian setiap kabupaten tersebut dan dapat mengetahui seberapa besar ketergantungan pemerintah daerah setiap Kabupaten.
2. Bagi peneliti menambah pengetahuan yang selama ini di dapat di bangku kuliah yang kemudian dikembangkan dalam bentuk penelitian.
3. Sebagai masukan bagi pembuat kebijakan pemerintah daerah setempat, dan lembaga-lembaga terkait dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:19:00

PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA

PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA

1.1 Latar Belakang
Sejak diberlakukannya UU No. 5 tahun 1974, pembangunan Indonesia dituntut untuk memperhatikan istilah desentralisasi, yang dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi sesuai dengan undang-undang.

Namun masih ditemukan banyak kelemahan yang terjadi di dalam umdang-undang ini yaitu tidak secara tegas mengatur sampai seberapa jauh tingkat otonomi yang dimiliki daerah atau yang diberikan pusat ke daerah. Undang-undang ini hanya mencantumkan prinsip saja "pelaksanaan otonomi yang bersifat nyata dan bertanggung jawab." Sampai seberapa jauh nyata-nya dan batas-batas tanggung jawab seperti apa tidak ditegaskan. Hal ini mengakibatkan pembangunan tetap berjalan secara sentralistis yang tetap ditandai dengan peraturan dan kebijakan yang diterapkan oleh pusat, dan pemerintah di tingkat daerah praktis sekedar perpanjangan tangan dari pusat.

Sejalan dengan pembangunan dalam mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata dengan kondisi yang ada pembangunan Indonesia mengalami kesenjangan kesejahteraan itu, ditengah arus globalisasi yang membuat batas-batas Negara semakin tipis, mobilitas faktor produksi semakin tinggi, arus informasi yang tidak terbendung, menurut sistem pemerintahan yang sentralistik harus diganti mengingat daerah di Indonesia memiliki keunikan sendiri, baik dari demografi maupun potensi ekonominya. Melihat inilah maka pemerintah menetapkan UU No. 22 tahun 1999 dalam memberi acuan dasar yang cukup tegas bagi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten untuk mengatur dan mengurus daerah sendiri.

Dalam acuan dasar tersebut setiap daerah harus membentuk suatu paket otonomi yang konsisten dengan kapasitas dan kebutuhannya.
Dalam Negara majemuk seperti Indonesia, satu ukuran belum tentu cocok untuk semua daerah. Dalam proses ini komunitas-komunitas lokal perlu dilibatkan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota, termasuk DPR untuk menjamin proses desentralisasi secara lebih baik dan bertanggung jawab dimana mereka sebagai salah satu stakeholder yang memiliki kepentingan mendalam untuk mensukseskan otonomi daerah (Widjaja, 2004 : 2). 
Perjalanan desentralisasi inipun terus mengalami perkembangan diberbagai daerah dan dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kelemahan terkhusus dari segi undang-undang yang mengaturnya sehingga dimunculkan beberapa undang-undang seperti dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang hubungan keuangan pusat-daerah. Kedua undang-undang ini semakin memberikan kemudahan dalam melihat pencapaian pengelolaan daerah dimana pemerintah daerah. Hal ini yang berekaitan erat dengan kemandirian pelaksanaan pemerintah daerah adalah kebijakan fiscal daerah, termasuk pengelolaan keuangan daerah dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, ada tiga kriteria harus dipenuhi dalam rencana dan usul pemekaran daerah yakni syarat administratif, teknis dan kewilayahan. Secara administratif pemekaran antara lain ialah persetujuan dari DPRD, Bupati/Walikota dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri, sementara syarat teknis antara lain ialah kemampuan ekonomi, sosial, budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan keamanan. Sedangkan persyaratan kewilayahan antara lain adalah 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kabupaten/kota, dan minimal 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, serta didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahaan.

Berdasarkan ketentuan tersebut nyatalah bahwa tujuan pemekaran daerah adalah untuk melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh wilayah dan membina kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, bertujuan untuk menjamin perkembangan dan pembangunan daerah yang dilaksanakan dengan azas dekonsentrasi. Lebih terperinci tujuan tersebut seperti dijelaskan dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 adalah :
1. Mempercepat laju pertumbuhan pembangunan
2. Upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
3. Upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
4. Mempertinggi daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah.
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan.
6. Terbinanya stabilitas politik dan kesatuan bangsa.

Namun seperti diketahui bahwa meskipun sudah ada otonomi daerah, pembangunan di daerah tidak hanya berasal dari program regional, tetapi berasal dari program pembangunan sektoral yang dilaksanakan oleh Departemen teknis. Artinya program pembangunan daerah tersebut merupakan kombinasi dari asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Dengan cara demikian diharapkan disparitas kemajuan akibat pembangunan antar daerah dapat dikurangi. Keadaan seperti ini merupakan suatu ciri negara sedang berkembang, yaitu masih tingginya peranan pemerintah pusat dalam memperoleh dan menyalurkan dana kepada daerah (Majidi, 1991 : 4)

Dalam kenyataan pelaksanaan pembangunan sektoral di daerah sering menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan proyek pembangunan sektoral tersebut tidak sesuai dengan keinginan(aspirasi) daerah seiring perencanaan pembanugnan sektoral lebih bersifat top-down.
Pemekaran wilayah berakibat langsung terhadap terjadinya pembatasan wilayah dengan luasan yang lebih kecil, persebaran penduduk lebih konsentrasi, keuangan (PAD), dan perencanaan pembangunan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Hal ini merupakan konsekuensi, karena walaupun diadakan pemekaran wilayah namun potensi wilayah yang bersifat alamiah dan sarana prasarana wilayah yang sudah terbangun tidak akan dapat dibagi. Demikian juga distribusi penduduk dan aktivitasnya yang sudah tersebar dengan keadaan saat ini juga sangat sulit diubah. 
Tolak ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar daerah dan antar sektor. pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan dan hasil pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati semua lapisan masyarakat.

Menurut pandangan ekonomi klasik (Adam Smith) pada dasarnya ada 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu jumlah pendudukjumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang digunakan.

Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Menurut Boediono (2001) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Proses pertumbuhan ekonomi bersifat dinamis yang berarti berkembang terus-menerus.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) salah satu indikator untuk melihat pertumbuhan ekonomi di suatu daerah dan sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan. PDRB merupakan keseluruhan nilai tambah yang dasar pengukurannya timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu daerah atau wilayah. Data PDRB menngambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. PDRB perkapita merupakan hasil dari pembagian PDRB dengan jumlah penduduk, dengan kata lain pembentukan PDRB perkapita dapat dilihat dari meningkatnya nilai tambah sektor-sektor ekonomi yang ada dalam wilayah tersebut. Penelitian ini terfokus pada pemekaran wilayah kabupaten/kota.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menganalisis sejauh mana pelaksanaan pemekaran wilayah terhadap peningkatan pertumbuhan PDRB perkapita. Untuk itu penulis mengambil judul "Pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan PDRB perkapita (studi kasus Kabupaten X)”.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat diambil sebagai berikut :
1. Apakah pemekaran kabupaten akan menyebabkan perubahan aktivitas basis ekonomi Kabupaten X ?
2. Bagaimana pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan(peningkatan) PDRB perkapita di Kabupaten X ?
3. Apakah ada perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah pemekaran wilayah ?

1.3. Hipotesis
Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat perubahan aktivitas basis ekonomi sebelum dan sesudah pemekaran wilayah.
2. Dengan adanya pemekaran wilayah pertumbuhan PBRD perkapita di Kabupaten X mengalami peningkatan.
3. Dengan adanya pemekaran wilayah, terdapat perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah pemekaran.

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perubahan aktivitas basis ekonomi di kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan (peningkatan) PDRB perkapita di Kabupaten X.
3. Untuk melihat perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah Pemekaran wilayah.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan atau kajian untuk melakukan penelitian selanjutnya atau sebagai bahan perbandingan bagi pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang.
2. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa, terutama bagi mahasiswa departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
3. Untuk memperkaya wawasan ilmiah dan non ilmiah penulis dalam displin ilmu yang penulis tekuni serta mengaplikasikannya secara konseptual dan tekstual dan masukan bagi penelitian lain.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:16:00

PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki struktur, menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan membiayai anggota polisi dan tentara untuk menjaga keamanan merupakan pengeluaran yang tidak terelakkan pemerintah (Sukirno, 2004). Dengan kata lain, pemerintah memiliki kewajiban mutlak dalam mengumpulkan sumber-sumber dana (penerimaan) untuk membiayai seluruh pengeluaran yaitu pengeluaran rutin (belanja rutin) dan pengeluaran pembangunan. Agar terwujud sasaran yang tepat dalam pengumpulan dana dan pembiayaan maka pemerintah menyusun Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tingkat daerah dinamakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-undang no. 25 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya kebijakan ini diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 tahun 2004. Kedua Undang-undang ini mengatur tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah (Pemda) dikarenakan Pemda memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat (Undang-undang No. 32 tahun 2004). Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian.
APBD terdiri dari Penerimaan dan Belanja Daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah yaitu pendapatan asli daerah, dana berimbang, dan penerimaan Iain-lain yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dalam daerah yang bersangkutan yang terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah atau sumber daya alam dan Iain-lain pendapatan yang sah. Dana berimbang merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan Sumber daya Alam serta Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Secara umum belanja daerah dapat dikategorikan ke dalam pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin merupakan belanja yang penggunaannya untuk membiayai kegiatan operasional pemerintah daerah. Pengeluaran pembangunan merupakan belanja yang penggunaannya diarahkan dan dinikmati langsung oleh masyarakat.
Dengan dikelolanya APBD oleh pemerintah daerah masing-masing tanpa ada campur tangan pemerintah pusat dalam rangka perwujudan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal, pemerintah daerah lebih leluasa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya untuk mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah keinginan masing-masing daerah. Pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi seperti : sumber alam, akumulasi modal, organisasi, kemajuan teknologi, pembagian tenaga kerja dan skala produksi. Faktor non ekonomi seperti : sosial, manusia, politik dan administratif. Pertumbuhan ekonomi ini dapat diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dimana PDRB merupakan nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan dalam satu periode biasanya satu tahun.
Menurut Keynes dalam Deliarnov (2003), pemerintah perlu berperan dalam perekonomian. Dari berbagai kebijakan yang dapat diambil Keynes lebih sering mengandalkan kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal pemerintah bisa mempengaruhi jalannya perekonomian. Langkah itu dilakukan dengan menyuntikkan dana berupa pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek yang mampu menyerap tenaga kerja. Kebijaksanaan ini sangat ampuh dalam meningkatkan output dan memberantas pengangguran, terutama pada situasi saat sumber-sumber daya belum dimanfaatkan secara penuh.
Menurut Rostow dalam Jhingan (2007), yang menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan, rasio pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional relative besar. Hal ini dikarenakan pada tahap ini pemerintah hams menyediakan berbagai sarana dan prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah hams tetap diperlukan guna memacu pertumbuhan agar dapat lepas landas. Sedangkan Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional. Wagner menamakan hukum aktivitas pemerintah yang selalu meningkat (law of ever increasing state activity).
Pengeluaran pemerintah daerah merupakan salah satu faktor lain yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi tetapi pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membuat penelitian ini dengan judul "PENGARUH APBD TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN X".

B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimanakah pengaruh Pengeluaran rutin terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X ?
2. Bagaimanakah pengaruh Pengeluaran pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X ?

C. Hipotesis
Adapun hipotesis yang dapat disimpulkan adalah : 
1. Pengeluaran rutin berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X.
2. Pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui pengaruh Pengeluaran rutin terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh Pengeluaran pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X. 
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan.
2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang berkepentingan untuk menganalisa masalah-masalah yang berhubungan dengan APBD Kabupaten X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:23:00

PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN

PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Sejak Januari sampai Oktober 2007 harga minyak mentah dunia tidak pernah mengalami penurunan dalam pergerakan bulanan. Bahkan hingga pertengahan tahun 2008 harga minyak mentah dunia cenderung mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikan harga minyak mentah dunia diduga oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran, ketegangan di perbatasan Turki dan Irak karena kebijakan Turki yang akan menggunakan seluruh kekuatan militernya guna menghadapi separatis Kurdi di Irak, laju konsumsi di China dan India yang terus meroket dan melemahnya dolar AS ikut memicu kenaikan harga (Kuncoro, 2007).
Sebagaimana negara-negara penghasil minyak lainnya seharusnya Indonesia juga mendulang keuntungan karena kenaikan minyak mentah dunia. Dengan keadaan seperti ini justru APBN Indonesia terbebani semakin berat yang harus menanggung kenaikan beban subsidi BBM yang terus meningkat. Hal ini dikarenakan produksi minyak Indonesia mengalami penurunan namun tidak diimbangi penurunan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bahkan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu produksi minyak di Indonesia kini banyak dikuasai oleh pihak asing. Selama tiga tahun terakhir Chevron Pacific Indonesia merupakan produsen minyak terbesar di Indonesia dengan menguasai 44% dari total produksi minyak Indonesia. Sedangkan Pertamina hanya duduk di peringkat kedua dengan pangsa produksi hanya 12%. Suatu hal yang sangat memprihatinkan, SDA yang seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara serta digunakan untuk kemakmuran rakyat justru sebagian besar dikuasai oleh pihak asing.
Perbandingan harga BBM dalam negeri dengan negara tetangga mengalami ketimpangan yang cukup signifikan. Harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah daripada harga BBM di negara-negara tetangga. Pada Maret tahun 2008 harga BBM tertinggi terdapat di Singapura, harga premium di Singapura mencapai Rp. 13.857,- per liter, sedangkan harga premium di Indonesia hanya Rp. 4.557 per liter. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut : 
Harga BBM di Indonesia sangat murah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dengan perbedaan harga yang sangat tajam ini ditakutkan akan terjadi penyelundupan ke negara lain. oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. BBM yang seharusnya untuk konsumsi dalam negeri justru diselundupkan ke negara lain untuk memperoleh keuntungan pribadi karena harga di luar negeri yang jauh lebih mahal daripada di dalam negeri. Dan bila hal itu terjadi dan terus berlanjut maka yang terjadi adalah kelangkaan BBM di dalam negeri. Untuk mencegah hal itu terjadi maka pemerintah segera menyesuaikan harga BBM dalam negeri dengan harga BBM di luar negeri.
Selain hal di atas kenaikan harga BBM di Indonesia juga dikarenakan distribusi penggunaan subsidi BBM terbesar dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Sekitar 70% distribusi penggunaan subsidi BBM dinikmati oleh 40% masyarakat terkaya. Sedangkan 40% masyarakat miskin hanya menikmati tidak mencapai 15% dari distribusi penggunaan subsidi BBM dan sisanya dinikmati oleh kalangan menengah. Sehingga pemerintah mengambil kebijakan pengurangan subsidi BBM dengan mengalihkan ke hal lain yang lebih dapat dinikmati oleh masyarakat miskin.
Kenaikan harga BBM di Indonesia memberikan tekanan sosial dan ekonomi yang berat terhadap masyarakat. Karena dengan kenaikan harga BBM berdampak pada kenaikan dari harga barang-barang pokok sehari-hari (Sembako). Hal seperti ini memang wajar terjadi sama juga yang terjadi pada saat kenaikan harga BBM pada tahun 2005 yang diikuti juga dengan kenaikan harga sembako. Harga sembako yang terus naik sangat berdampak bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Dengan kenaikan harga kebutuhan pokok namun tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan masyarakat sehingga memperlemah daya beli masyarakat, khususnya masyarakat miskin akan mengalami kesulitan beradaptasi dengan perkembangan harga pasar. Sehingga masyarakat miskin akan mengalami penurunan taraf kesejahteraannya atau menjadi semakin miskin.
Untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan daya beli masyarakat miskin pemerintah Indonesia melaksanakan program Bantuan Langsung Tunai untuk Rumah Tangga Sasaran (BLT-RTS). Program BLT-RTS merupakan salah satu program kompensasi jangka pendek selain Program Raskin dan Program Operasi Pasar Beras dan Subsidi Harga Beras TNI/Polri. Program BLT-RTS adalah sebuah program pemberian bantuan sejumlah uang tunai sebesar Rp. 100.000,- per bulan selama 7 bulan dengan rincian diberikan Rp. 300.000,- per 3 bulan (Juni-Agustus) dan Rp. 400.000,- per 4 bulan (September-Desember). Sasarannya rumah tangga sasaran sejumlah 19,1 juta sesuai hasil pendataan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dan DIPA Departemen Sosial yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan. Hal serupa juga telah dilaksanakan Pemerintah Indonesia ketika terjadi kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan 2006 dengan melaksanakan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM).
BLT merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengantisipasi pengaruh kenaikan BBM terhadap rumah tangga miskin. Program BLT merupakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam kurun waktu 2004-2009 untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang diantaranya adalah target penurunan angka kemiskinan dari 16,7% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Dengan demikian diharapkan dengan adanya program BLT ini mampu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
Penerima dana BLT adalah dikhususkan untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang dikategorikan miskin menurut data BPS. Untuk mendapatkan data rumah tangga sasaran yang berhak menerima BLT, pendataan dilakukan oleh BPS. Kriteria yang berhak menerima dana BLT ini meliputi rumah tangga sangat miskin (poorest), miskin (poor) dan mendekati miskin (near poor) berdasarkan definisi konsumsi kalori atau pengeluaran. Adapun yang termasuk kriteria penerima dana BLT yang digunakan oleh BPS untuk rumah tangga sasaran adalah sebagai berikut (www.kompensasibbm.com) : 
1. Penduduk dikatakan sangat miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 1900 kalori per orang per hari plus kebutuhan dasar non makanan, atau setara dengan Rp. 120.000,- per orang per bulan.
2. Penduduk dikatakan miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 1900 sampai 2100 kalori per orang per hari plus kebutuhan dasar non-makanan, atau setara dengan Rp. 150.000,- per orang per bulan.
3. Penduduk dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 2100 sampai 2300 kalori per orang per hari plus kebutuhan dasar non-makanan, atau setara dengan Rp. 175.000,- per orang per bulan.
Program BLT dianggap kurang efektif untuk mengatasi permasalahan akibat kenaikan harga BBM. Di mata sebagian besar publik, kebijakan pemerintah mengenai BLT ini sangatlah tidak memadai dan tidak masuk akal dengan kondisi riil saat ini. 
Dari uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengambil penelitian yang berjudul "ANALISIS PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN (BLT-RTS)".

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah pengaruh pendapatan terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan pada pendapatan berapakah RTS mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50% ?
2. Bagaimanakah pengaruh harga beras terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan pada harga beras berapakah RTS mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50% ?
3. Bagaimanakah pengaruh gaya hidup terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk : 
1. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan besarnya pendapatan RTS agar mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50%.
2. Untuk mengetahui pengaruh harga beras terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan besarnya harga beras untuk dikonsumsi RTS agar mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50%.
3. Untuk mengetahui pengaruh gaya hidup terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan, khususnya dalam program BLT-RTS.
2. Sebagai aplikasi dari teori secara umum dan Ilmu Ekonomi Pembangunan secara khususnya, serta diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan yang ada.
3. Sebagai referensi/pedoman bagi pengembangan peneliti selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:23:00

PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH

PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perekonomian Indonesia pada penghujung tahun 1990-an mengalami krisis perekonomian multidimensional. Pilar utama penyangga perekonomian tidak sanggup menjadi penyangga. Perusahaan-perusahaan besar yang mengalami banyak kerugian mengambil tindakan untuk melaksanakan efisiensi kerja dalam berproduksi. Terjadilah PHK besar-besaran yang dilaksanakan berbagai perusahaan sehingga menimbulkan pengangguran dalam kapasitas yang besar.
Sementara usaha-usaha kecil masih dapat bertahan karena modal yang mereka kelola tidaklah begitu besar jika dibandingkan dengan perusahaan besar. Pengangguran yang begitu besar menyebabkan masyarakat mulai berbalik pada usaha-usaha kecil yang bersifat pribadi yang disebut dengan UMKM. Masyarakat berusaha untuk mengatasi pengangguran dengan bekerja ataupun membuka usaha kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Usaha kecil tersebut bukanlah hal yang baru dalam perekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri telah menaruh perhatian bagi usaha UMKM melalui berbagai macam kebijakan pemerintah. Tetapi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut kurang memberi manfaat bagi masyarakat yang melaksanakan usaha-usaha kecil yang disebut dengan UMKM.
Salah satu hal yang paling penting dalam pengembangan UMKM adalah modal kredit yang diberikan oleh pemerintah melalui kebijakan yang dikeluarkan, tidak efektif dalam memajukan usaha kecil. Banyak kredit yang diberikan oleh pemerintah tetapi tidak disalurkan bagi usaha kecil milik masyarakat.
Selain melalui pemerintah modal juga diperoleh usaha kecil melalui pihak perbankan. Perbankan diketahui memberi kredit untuk mengembangkan usaha. Berbagai macam bentuk kredit yang disediakan oleh lembaga perbankan untuk mengembangkan usaha kecil. Hanya saja bukan rahasia lagi bahwa kredit-kredit yang disediakan oleh perbankan yang digunakan untuk usaha kecil sering mengalami kegagalan dibandingkan keberhasilannya. Ada berbagai macam kendala yang menyebabkan kegagalan penyaluran kredit tersebut. Dimulai dengan bunga kredit bank yang tinggi, prosedur yang panjang sehingga masyarakat menjadi merasa dipersulit dalam proses permohonan kredit. Selain pemerintah dan perbankan yang dapat memberikan kredit bagi usaha kecil, ada pula yang dikenal dengan rentenir yang memberi pinjaman dana bagi pengusaha kecil dengan bunga yang harus dibayar mencekik leher masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut ekonomi syariah yang sedang berkembang dan menjadi perhatian di Indonesia, menawarkan sistem kerja sama yang berbeda bagi pengusaha kecil yang dikenal dengan lembaga keuangan Baitul Mai Wat Tamwil (BMT) yang merupakan lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil (golongan ekonomi lemah) dengan berlandaskan sistem ekonomi syariah Islam.
Badan hukum dari BMT dapat berbentuk koperasi dengan syarat telah memiliki kekayaan lebih dari Rp. 40.000.000,00 dan telah siap secara administrasi dan untuk menjadi koperasi yang sehat dapat dilihat dari segi pengelolaan koperasi dan dianalisa dari segi ibadah, amalan shalihah para pengurus yang telah mengelola BMT secara syariah Islam. Sebelum berbadan hukum koperasi, BMT dapat dibentuk sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) yang dapat berfungsi sebagai pra koperasi.
Berdasarkan UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, dalam Bab I, Pasal I, Ayat I dinyatakan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan.
Keberadaan BMT yang siap memberikan pinjaman modal tanpa agunan, dengan prosedur administrasi yang mudah, rendah biaya transaksi, dan yang tak kalah penting bebas bunga akan menjadi daya tarik bagi pengusaha mikro untuk beralih dari lembaga keuangan informal semacam rentenir kepada lembaga keuangan yang lebih baik, aman, halal dan syar 'i yaitu BMT.
Keberadaan BMT diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan ketergantungan pengusaha mikro terhadap rentenir. Selain itu sektor usaha mikro dewasa ini tengah mendapatkan perhatian dunia internasional.
Bahkan tahun 2005 dicanangkan sebagai tahun Internasional pembiayaan mikro oleh perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini merupakan peluang besar bagi BMT sebagai sebuah lembaga keuangan mikro syariah untuk berkembang dan mendapat dukungan pemerintah. Baik dari dukungan segi modal, legalitas, pengawasan, maupun info struktur.
Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Sedangkan pada tahun 1992 perkembangan bank syariah di tanah air mendapatkan pijakan setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Maka pada tahun 1992 lahirlah sebuah lembaga keuangan yang beroperasi menggunakan gabungan konsep Baitul Mai dan Baitul Tamwil, yang target sasarannya serta skalanya pada sektor usaha mikro. Dengan semakin banyaknya orang yang memiliki perhatian terhadap lembaga kecil ini serta disamping juga perlu adanya perantara untuk terjalinnya komunikasi dan jaringan antar BMT.
BMT X berdiri untuk melindungi pengusaha mikro dan kecil yang ada di Y dari rentenir-rentenir yang memberi pinjaman modal dengan bunga yang tinggi serta motivasi pengurus BMT untuk menambah amal ibadah melalui bekerja di BMT tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis melakukan penelitian yang diberi judul "ANALISIS PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT X TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH DI KOTA Y".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang pemilihan judul diatas, maka penulis terlebih dahulu merumuskan permasalahan sebagai dasar kajian penelitian dilakukan.
Adapun perumusan masalah yang dibuat adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana perkembangan BMT X di kota Y ?
2. Apa yang melatarbelakangi masyarakat meminjam di BMT ?
3. Bagaimana peranan pinjaman yang disalurkan pihak BMT terhadap pendapatan anggota BMT ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan BMT X di kota Y.
2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi masyarakat meminjam di BMT.
3. Untuk mengetahui bagaimana peranan pinjaman yang disalurkan BMT terhadap pendapatan masyarakat/anggota BMT. 

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan.
2. Sebagai masukan bagi kalangan akademis dan peneliti yang tertarik untuk membahas mengenai perkembangan BMT di kota Y.
3. Sebagai penambah wawasan ilmiah penulis dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni.
4. Bagi BMT penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan yang bermanfaat untuk mendukung kemajuan dan kelancaran kegiatan usaha BMT.
5. Sebagai bahan, pelengkap sekaligus pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada menyangkut topik yang sama.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:22:00