Cari Kategori

Showing posts with label contoh tesis hukum. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis hukum. Show all posts

PENERAPAN PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN YANG IDEAL DALAM PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN MELALUI PROGRAM JAMKESMAS

PENERAPAN PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN YANG IDEAL DALAM PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN MELALUI PROGRAM JAMKESMAS (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya, termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.
Demikian juga halnya dalam Konvensi International Labour Organization (Konvensi ILO) Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.
Pembentukan Sistem Jaminan Sosial Nasional, direalisasikan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang mempunyai program jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Jaminan sosial ini merupakan upaya pemerintah dalam menangani krisis moneter. Sebagaimana diketahui krisis dimulai sejak tahun 1997 sampai sekarang, disebabkan oleh faktor multidimensi di antaranya pengalihan program subsidi bagi masyarakat miskin berupa subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk sektor kesehatan bagi masyarakat miskin menjadi program Jaring Pengaman Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM).
Untuk dapat melanjutkan hidupnya manusia memerlukan beberapa kebutuhan pokok dan terdapat beberapa kebutuhan pokok yang minimal sangat dibutuhkan sehingga manusia dapat hidup terus. Salah satu di antara kebutuhan yang dimaksud adalah kesehatan.
Kebutuhan pokok minimal yang semakin sulit didapat bagi sebagian warga, terutama warga miskin, harus diupayakan dicapai oleh pemerintah dengan berbagai cara. Salah satu upaya yakni dengan program asuransi sosial bagi masyarakat miskin. Dalam program ini masyarakat miskin akan didata terlebih dahulu degan beberapa kriteria yang telah ditentukan sebelumnya agar terdapat keseragaman dalam melaksanakan pendataan tersebut. Pada pelaksanaannya pendataan yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan sebelumnya karena berbagai kendala. Kendala yang dimaksud antara lain kriteria yang menjadi acuan tidak terlalu jelas batasan yang menjadi acuan bagi para pendata, sehingga terkesan pendataannya seperti tidak tepat sasaran. Selain itu kondisi geografi yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ada daerah yang sulit untuk dijangkau sehingga pendataan tidak sampai sasaran. Faktor ekonomi yang tidak kunjung membaik, hal ini tampak dari laporan Bank Dunia yang memperhitungkan 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin.
Sehat menurut definisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 1 butir 1 adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Sebagaimana diketahui kesehatan adalah hak setiap individu tanpa membeda-bedakan yang mampu maupun yang tidak mampu. Oleh karena itu menjadi tugas negara untuk menyediakan segala fasilitas yang diperlukan agar rakyatnya tetap sehat sehingga sudah sewajarnya kesehatan mendapatkan subsidi yang besar. Sebab pada dasarnya kesehatan merupakan sebuah investasi sehingga patut mendapat perhatian dari pemerintah. Bila rakyat suatu negara sehat maka pembangunan dalam berbagai bidang dapat dilaksanakan secara optimal.
Untuk mendapatkan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin ada beberapa syarat atau kriteria yang harus dipenuhi, namun perlu juga dikemukakan di sini bahwa ada pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung oleh PT Askes, seperti untuk general check up, prothesis gigi tiruan, kosmetika, pengobatan alternative, penunjang diagnosa canggih, kecuali untuk penyelamatan jiwa (life saving), serta infertilitas.
Adanya keterbatasan pelayanan kesehatan membawa dampak bagi warga miskin yakni rentan terhadap berbagai macam penyakit, karena pada umumnya golongan masyarakat ini mempunyai gizi buruk, pengetahuan tentang kesehatan kurang, perilaku kesehatan kurang, lingkungan pemukiman buruk, biaya kesehatan tidak tersedia serta kurang mendapat akses informasi kesehatan.
Pada hakekatnya pelayanan terhadap masyarakat miskin menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pemerintah propinsi/kabupaten/kota berkewajiban memberi kontribusi sehingga menghasilkan pelayanan yang optimal.
Jamkesmas adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin.
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak Tahun 1998 Pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dimulai dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK) Tahun 1998-2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) Tahun 2001 dan Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Tahun 2002-2004. Program-program tersebut di atas berbasis pada pelaksana kesehatan artinya dana disalurkan langsung ke Puskesmas dan Rumah Sakit yang berfungsi ganda yaitu sebagai pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dan juga mengelola pembiayaan atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Kondisi seperti ini menimbulkan beberapa permasalahan antara lain terjadinya defisit di beberapa Rumah Sakit dan sebaliknya dana yang berlebih di Puskesmas.
Untuk itu pada tahun 2004, dengan mengacu kepada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan Aseskin sebagai jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin, yang kemudian pada tahun 2008 yang lalu program tersebut berganti menjadi Jamkesmas sebagaimana diatur dalam S.K. Menkes No. 125 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jamkesmas Tahun 2008.
Adanya pembatasan-pembatasan pelayanan yang diterapkan dalam penyelenggaraan program JPKMM ini (misalnya pembatasan biaya kaca mata, alat bantu dengar, tongkat/alat bantu berjalan bagi mereka yang lumpuh) menyebabkan pelayanan kepada mereka yang membutuhkan sekali alat bantu tersebut menjadi terhambat. Disamping pembatasan masih ada lagi jenis pelayanan yang tidak ditanggung sama sekali oleh program Jamkesmas ini sebagaimana tercantum dalam S.K. Menkes No. 125 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jamkesmas Tahun 2008 tersebut.
Program JAMKESMAS ini sebenarnya cukup baik tujuannya namun dalam pelaksanaannya tidak semua masyarakat miskin dapat merasakan manfaatnya karena keterbatasan dana pemerintah sehingga pemerintah menetapkan kuota tertentu untuk perlindungan masyarakat miskin yang dibiayai dari APBN, sedangkan sisanya yang tidak termasuk dalam kuota JAMKESMAS diserahkan ke pemerintah daerah setempat untuk ditanggulangi oleh dana yang berasal dari APBD masing-masing daerah.

B. PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah adanya ketentuan tentang pembatasan pelayanan kesehatan bagi warga miskin melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan ? Karena tidak semua sarana pelayanan kesehatan dapat digunakan oleh masyarakat miskin, kecuali keadaan gawat darurat (emergency) serta adanya ketentuan pelayanan kesehatan yang di batasi dan yang tidak di jamin. Pada dasarnya setiap warga Negara baik yang kaya atau yang miskin mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatannya, sehingga dari hal-hal yang melatarbelakangi permasalahan kesehatan bagi warga miskin tersebut dapat dibuat identifikasi masalah yakni :
1. Bagaimana wujud pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang ideal ?
2. Bagaimana hubungan pelayanan kesehatan masyarakat miskin melalui program JAMKESMAS dan pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang ideal ?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang ideal;
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang analisis hubungan pelayanan kesehatan masyarakat miskin melalui program JAMKESMAS dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang ideal.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Secara teoritis.
Dari hasil penelitian ini dapat melakukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam menelaah jaminan kesehatan bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah serta bermanfaat dalam meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat miskin agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Dengan melaksanakannya melalui penerapan standar pelayanan kesehatan dengan bimbingan teknis teratur dan berkesinambungan baik di puskesmas maupun rumah sakit dengan akreditasi. Yang dimaksud dengan akreditasi adalah pengaturan formal kepada suatu lembaga untuk melaksanakan kegiatan.
2. Secara praktis.
Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan dan pengelola program Askeskin dalam melakukan pembatasan pembatasan pelayanan kesehatan terhadap warga miskin sehingga tidak melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 serta bermanfaat untuk :  a. Terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin sesuai standar dengan kendali mutu dan biaya.
b. Terselenggaranya sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kontrak dengan PT. Askes (Persero).
c. Terselenggaranya sarana pelayanan kesehatan yang tidak mengadakan kontrak dengan PT. Askes (Persero) bagi masyarakat miskin untuk kasus gawat darurat.
d. Terselenggaranya pelayanan kesehatan dengan konsep pelayanan dokter keluarga, konsep pelayanan rujukan, konsep pelayanan wilayah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:53:00

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENGAMBILAN ASET HASIL KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENGAMBILAN ASET HASIL KORUPSI (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peranan Jaksa sebagai Pengacara Negara dalam bidang perdata semakin penting dalam mengembalikan aset atau keuangan negara hasil dari tindak pidana korupsi. Karena menurut hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2007 yang diluncurkan oleh Transparency International (TI) Indonesia, ternyata negara Indonesia belum dapat menurunkan tingkat pertumbuhan korupsinya secara signifikan. Indonesia masih berada di urutan ke-143 dari 180 negara di Dunia dengan nilai 2,3 atau peringkat ke-37 terkorup. Ini berarti nilai Indonesia turun 0,1 dari sebelumnya pada tahun 2006 IPK sebesar 2,4.1
Hasil survei beberapa tahun lalu yang dilakukan oleh sebuah lembaga independen, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengatasnamakan PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang berkedudukan di Hongkong, dalam laporannya yang berjudul The Asian Intelligence Report, menyebutkan bahwa negara Indonesia sebagai negara terkorup di antara 12 negara di kawasan Asia.
Laporan PERC mengenai tingginya tingkat korupsi di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru. Majalah Der Spiegel pernah mempublikasikan hasil survei dari Lembaga Transparency Internasional yang mencantumkan Indonesia termasuk negara terkorup di antara 41 negara di dunia. Hasil laporan terakhir dari Lembaga Transparency Internasional menurut laporan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia, Taufik Efendi, pada tahun 2007 di Hotel Madani Medan, bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada pada posisi 143 dari 179 negara terkorup.
Kejaksaan Agung berupaya menyeret mantan Presiden Soeharto menjadi pesakitan dalam perkara pidana dugaan korupsi atas dana senilai 420 juta dolar AS dan Rp. 185,92 miliar, ditambah lagi ganti rugi immateriil Rp. 10 triliun pada tujuh yayasan termasuk Yayasan Supersemar, namun upaya itu gagal karena Soeharto sakit dan dinyatakan tidak dapat diadili. Pada tanggal 11 Mei 2006, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) HM. Soeharto dan mengalihkan upaya pengembalian aset negara melalui pengajuan gugatan perdata. Dalam hal pengembalian aset negara, maka Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamda TUN) memerintahkan Direktorat jajarannya untuk bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN).
Dachmer, menegaskan permohonan sita jaminan tidak harus selalu disertai bukti otentik. Pada tanggal 21 Agustus 2000, Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN)
Begitu pula hasil korupsi yang dilakukan mantan Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa, Hendra Rahardja, sebesar US$ 9,3 juta yang disimpan dalam bentuk rekening bank di Hongkong, Irwan Salim US$ 5 juta di Bank Swiss, dalam bentuk dana di Amerika Serikat, Cina, Australia, dan negara tetangga Singapura diperkirakan mencapai Rp.6-7 triliun. Dana korupsi atas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke luar negeri sekitar Rp. 18,5 triliun dalam rekening beberapa bank di Amerika Serikat.
Beberapa contoh perbuatan korupsi di atas, Amin Suryadi, mengungkapkan bahwa korupsi terbatas pada tiga unsur yaitu, penyalahgunaan wewenang, perbuatan melawan hukum, dan kerugian negara. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dalam penelitian ini disebut UUPTPK) terdapat 27 jenis korupsi yang masih belum diketahui oleh publik seperti suap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.
UUPTPK memberikan batasan mengenai pengertian sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi administratif berupa denda atas tindak pidana korupsi adalah ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Ketentuan pencantuman denda pada pasal-pasal dalam UUPTPK, mengisyaratkan bahwa korupsi terhadap aset negara baik besar maupun kecil harus dikembalikan ke kas negara, untuk kembali diperuntukkan sesuai dengan ketentuan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah demi kepentingan publik.
Pengembalian uang negara atau aset negara hasil dari perbuatan korupsi dalam pelaksanaannya terasa sulit diterapkan karena pada umumnya tindak pidana korupsi baik dalam skala kecil maupun skala besar dilakukan dengan cara-cara yang sangat rahasia, terselubung, melibatkan banyak pihak dengan solidaritas yang kuat untuk saling melindungi atau menutupi perbuatan korupsi melalui manipulasi hukum, rekayasa hukum, dan masa bodoh para pejabat negara terhadap kepentingan rakyat. Bahkan harta kekayaan dari hasil jarahan para koruptor sudah sampai melewati lintas negara melalui ditransfer antar rekening ke negara lain sebagai antisipatif dan untuk mengaburkan asal-usul kekayaan tersebut.
Terhadap pelaku tindak pidana korupsi sangat diperlukan pemberian sanksi yang tegas walaupun uang yang dikorupsinya itu telah dikembalikan, hal ini dapat dilihat ketentuan dalam Pasal 4 UUPTPK :
”Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.
Berdasarkan bunyi Pasal 4 tersebut, maka mengenai pemberantasan korupsi dapat ditarik benang merah bahwa :
1. Menghukum pelaku; dan
2. Mengembalikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia, dapat dilakukan oleh sendiri atau orang lain atau suatu korporasi pada umumnya selalu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal bertindak sebagai pembela (Pengacara atau Advokat) untuk mengembalikan aset atau harta hasil korupsi di sidang pengadilan, maka UUPTPK di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan diberikan kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.
Jalur keperdataan dalam pengembalian aset negara, dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian, pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan tindak pidana. Implementasinya adalah apa yang disebut civil forfeiture. Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal.
Kemudahan dalam masalah pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan potensi civil forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral disamping pula memerlukan suatu restrukturisasi hukum nasional. Restrukturisasi di bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Di samping itu pula civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara lain. Yang lebih penting, adalah perlu dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.
Masalah pembuktian menggunakan asas civil forfeiture akan tetapi instrumen hukum yang diterapkan untuk mengembalikan aset negara atau harta negara yang dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu berdasarkan hukum perdata, diperani oleh Jaksa dengan sebutan Jaksa Pengacara Negara (selanjutnya disebut JPN). Untuk kekayaan negara dalam hal ini disamakan dengan aset negara yang haknya diambil alih oleh seorang atau lebih atau suatu korporasi yang dapat dimungkinkan terjadi melalui perbuatan korupsi selama melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Salah satu bentuk wewenang lain yang dimaksud tersebut adalah kewenangan untuk bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa Pengacara Negara atau JPN diberi wewenang sebagai aktor yang berprofesi membela hak-hak negara dalam mengambil harta kekayaan atau aset hasil korupsi, bukanlah masalah atau hal yang baru karena telah menjadi hukum berdasarkan Koninklijk Besluit tertanggal 27 April 1922, kurang jelas alasan-alasannya mengapa sampai tahun 1977 fungsi tersebut terlupakan. Beberapa kasus korupsi dalam mengembalikan aset hasil korupsi yang di bela oleh JPN selama ini Jaksa hampir selalu menang dalam perkara-perkara perdata. Dengan demikian Jaksa tetap dapat bertindak sebagai penggugat dan juga sebagai tergugat.
Sejalan dengan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perubahan UU Kejaksaan RI dimaksudkan untuk lebih memantapkan dan mensinergikan kedudukan dan peran serta memperluas wewenang Kejaksaan Republik Indonesia yakni sebagai Pengacara Negara.
Uraian tersebut di atas, semakin jelaslah dasar hukum bagi kejaksaan untuk bertindak dalam bidang keperdataan sebagai pihak penggugat dan tergugat dalam pengembalian aset hasil korupsi dan bertindak sebagai pengacara negara meskipun masih terdapat kontroversi dalam hal penggunaan istilah Jaksa Pengacara Negara. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian di dalam tesis ini yang berjudul, ”Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberikan pokok permasalahan yang diteliti di dalam tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dasar hukum kewenangan Jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) ?
2. Bagaimana penerapan aturan gugatan perdata dalam pengembalian aset hasil korupsi oleh Jaksa sebagai Pengacara Negara ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan mendalami dasar hukum kewenangan jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN);
2. Untuk mengetahui dan mendalami penerapan aturan gugatan perdata dalam pengembalian aset hasil korupsi oleh Jaksa sebagai Pengacara Negara ?

D. Manfaat Penelitian
Permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini dan dihubungkan dengan peraturan-perundang-undangan yang ada, diharapkan dapat membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bermanfaat untuk :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan membuka paradigma berfikir terhadap permasalahan dasar hukum JPN dan prinsip-prinsip dasar pengembalian aset hasil korupsi karena korupsi sangat banyak merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan masukan terhadap istilah Jaksa Pengacara Negara;
2. Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan, Pengacara (Advokat), dan para Hakim yang menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi. Di samping itu, diharapkan kepada Anggota DPR dan Pemerintah (perancang undang-undang) agar mencantumkan kalimat dalam pasal-pasal tentang istilah yang semestinya disandang oleh Jaksa sebagai pembela negara atau menggantikan istilah JPN dengan format istilah lain dan baku yang tidak menimbulkan benturan peraturan-peraturan yang telah ada tentang Kejaksaan dan Advokat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:52:00

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KOTA X (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tegas menjamin hak setiap Penduduk untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, memperoleh status kewarganegaraan, menjamin kebebasan memeluk agama dan memilih tempat tinggal di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Peristiwa kependudukan, antara lain perubahan alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas, serta perubahan status orang asing tinggal terbatas menjadi tinggal tetap dan peristiwa penting antara lain kelahiran, lahir mati, kematian, perkawinan, dan perceraian, termasuk pengangkatan, pengakuan, dan pengesahan anak, serta perubahan status kewarganegaraan, ganti nama dan peristiwa penting lainnya yang dialami oleh seseorang merupakan kejadian yang harus dilaporkan karena membawa implikasi perubahan data identitas atau surat keterangan kependudukan. Untuk itu, setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting memerlukan bukti yang sah untuk dilakukan administrasi dan pencatatan sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Isu kependudukan saat ini telah menjadi isu aktual di Indonesia seiring dengan meningkatnya kompleksitas dan dinamika kependudukan global. Masalah kependudukan yang dihadapi Indonesia telah mendorong terjadinya perubahan paradigma kebijakan kependudukan secara mendasar di Indonesia.
Masalah kependudukan yang menonjol di masa depan sungguh merupakan persoalan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Penduduk masa depan akan semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkannya. Konsekuensi dari keadaan ini sudah dapat diperkirakan semakin banyak pencari kerja, sementara itu lapangan kerja yang tersedia amat terbatas. Penduduk yang tinggal di daerah perkotaan akan semakin banyak sehingga akan menimbulkan, kepadatan, kemacetan, kesempatan kerja dan persoalan umum lainnya.
Masalah lain yang juga berhubungan dengan kependudukan yaitu dari adanya pencatatan peristiwa-peristiwa vital di Indonesia tidak dilaksanakan oleh satu departemen, tetapi oleh beberapa departemen tergantung dari jenis datanya. Misalnya, peristiwa kelahiran dicatat oleh Departemen Agama, migrasi penduduk oleh Departemen Kehakiman. Departemen kesehatan mencatat statistik kematian beserta sebab-sebab kematiannya. Biro Pusat Statistik menghimpun data tersebut dan menerbitkannya dalam seri Registrasi Penduduk. Walaupun data statistik vital dihimpun oleh beberapa departemen, tetapi di tingkat bawah data tersebut dicatat oleh para lurah.
Masalah kependudukan sebagaimana diuraikan di atas, merupakan cermin dampak dari kegagalan membangun sistem administrasi kependudukan yang baik. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, yang di harapkan akan dapat memberikan manfaat antara lain, untuk merancang program pendidikan, kesehatan dan pelayanan-pelayanan lain yang membutuhkan data kependudukan yang akurat, untuk keperluan perencanaan pembangunan dalam penyediaan fasilitas-fasilitas sosial ekonomi, seperti penyediaan rumah sakit, puskesmas, pasar, fasilitas pendidikan dan lain sebagainya, untuk alokasi pendanaan atau bantuan seperti alokasi subsidi perkapita, alokasi dana bantuan pendidikan, kesehatan, penentuan Dana Alokasi Umum dan lain sebagainya.
Dengan munculnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, maka pada Pasal 106 dijelaskan bahwa Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa, Pencatatan Sipil untuk Golongan Cina, Pencatatan Sipil untuk Golongan Indonesia, Pencatatan Sipil untuk Golongan Kristen Indonesia serta peraturan mengenai Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Administrasi Kependudukan sebagai suatu sistem diharapkan dapat diselenggarakan sebagai bagian dari penyelenggaraan administrasi negara. Dari sisi kepentingan Penduduk, Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memberikan pemenuhan hak-hak administratif, seperti pelayanan publik serta perlindungan yang berkenaan dengan dokumen kependudukan, tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif.
Secara keseluruhan, ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi hak dan kewajiban Penduduk, Penyelenggara dan Instansi Pelaksana, Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, Data dan Dokumen Kependudukan. Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Pada Saat negara dalam keadaan darurat, pemberian kepastian hukum, dan perlindungan terhadap data pribadi penduduk. Untuk menjamin pelaksanaan dari kemungkinan pelanggaran, baik administratif maupun ketentuan material yang bersifat pidana, Undang-Undang ini juga mengatur ketentuan mengenai tata cara penyidikan serta pengaturan mengenai Sanksi Administratif dan Ketentuan Pidana.
Pemerintah Kota X melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota sudah barang tentu dituntut untuk dapat mengimplementasikan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 khususnya berkaitan dengan pendaftaran penduduk secara efektif. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2006 hingga saat ini sudah waktunya dievaluasi dan di teliti khususnya dalam hal pendaftaran penduduk. Karena masyarakat telah dianggap tahu akan aturan tersebut. Hal ini yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian tentang Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan di Kota X (Studi tentang Pendaftaran Penduduk).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah implementasi UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan berkaitan dengan pendaftaran penduduk di Kota X ?
2. Apakah implementasi kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendaftaran penduduk di Kota X telah sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan ?
3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi efektif atau tidak efektifnya implementasi UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan berkaitan dengan pendaftaran penduduk di Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain :
1. Untuk mendeskripsikan implementasi UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan berkaitan dengan pendaftaran penduduk di Kota X
2. Untuk mengetahui kesesuaian implementasi kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendaftaran penduduk di Kota X dengan UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektif atau tidak efektifnya implementasi UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan berkaitan dengan pendaftaran penduduk di Kota X

D. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan penelitian diatas, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat berupa :
1. Secara teoretis, mampu memberikan pandangan pemikiran berupa konsep/teori, asumsi dan cara-cara bagi perumusan kebijakan yang berkenaan dengan administrasi kependudukan;
2. Secara praktis, mampu menunjukkan arti penting adanya peraturan yang mengatur administrasi kependudukan secara khusus berkenaan dengan pelaksanaan tertib administrasi kependudukan. Di samping itu hasil penelitian ini dapat pula digunakan sebagai masukan bagi peneliti yang akan datang.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 06:03:00

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI GURU TIDAK TETAP (HONORER) BERDASARKAN UU N0 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN DAN UU N0 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI GURU TIDAK TETAP (HONORER) BERDASARKAN UU N0 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN DAN UU N0 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum bertujuan untuk mengatur dan memberikan perlindungan kepada mereka yang membutuhkannya. Seorang pekerja yang bekerja pada orang lain, perusahaan atau lembaga tertentu mengharapkan suatu imbalan yang hendak dipakai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, seorang pekerja bekerja salah satu tujuannya untuk melangsungkan kehidupannya. Demikian pula, pemberi kerja memperkerjakan orang lain (pekerja) karena mengharapkan bahwa dari orang tersebut dapat dibantu dalam usahanya atau kegiatannya. Atas pemberian tenaga, baik dalam arti fisik maupun pikiran, pemberi kerja memperoleh manfaat bagi dirinya atau perusahaannya. Karena diberi manfaat, pemberi kerja memberikan imbalan berupa uang (upah) kepada pekerja. Dalam hubungan antara pekerja dan pemberi kerja tersebut dibutuhkan suatu aturan yang dapat mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Pekerja dan pemberi kerja mendapatkan perlindungan yang perlu alas hak-haknya dan sekaligus juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi.
Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 27 ayat 2 memberikan landasan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sebagai realisasi dari pasal tersebut dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang merupakan salah satu bagian penting dalam rangka Program Reformasi Hukum Perburuhan di Indonesia yang mencakup berbagai aspek perburuhan dan ketenagakerjaan, termasuk hak dan tanggung jawab pihak-pihak yang terkait.
Cakupan atau luas hukum ketenagakerjaan dapat dilihat dari pengertian hukum ketenagakerjaan itu sendiri. Dalam lapangan hukum yang mengatur mengenai tenaga kerja ada beberapa istilah yang mencerminkan luas dan isi bidang hukum yang diaturnya. Istilah-istilah tersebut adalah hukum ketenagakerjaan, hukum perburuhan dan hukum kepegawaian.
Pengertian hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang pada dasarnya mengatur persoalan ketenagakerjaan dan seluruh aspeknya. Aspek ketenagakerjaan amatlah luas termasuk di dalamnya para pekerja. mereka yang tidak bekerja, pegawai, dan sebagainya. Karena luasnya cakupan ini. maka ruang lingkup hukum ketenagakerjaan juga sedemikian luasnya. Sedangkan pengertian hukum perburuhan adalah kaedah yang mengatur perihal hubungan kerja antara majikan atau perusahaan dengan pekerja atau para pekerjanya dengan pola hubungan timba! balik hak dan kewajiban antara para pihak.
Dalam pengertian hukum perburuhan tercakup di dalamnya pekerja sektor formal dan informal. Pekerja sektor forma! adalah pekerja pada sektor-sektor yang formal karena sektor ini didirikan secara resmi dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Sehubungan dengan hal ini, masih terbagi lagi dengan pekerja dalam sektor industri dan jasa. Salah satu pekerjaan dalam sektor atau bidang jasa adalah pendidikan. Dalam bidang pendidikan, tenaga kerja inti adalah Tenaga Pendidik atau Guru.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya disebut UU Guru dan Dosen) yang dimaksud dengan Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Namun sangat disayangkan bahwa profesi ini kerap kali mendapat pandangan negatif atau istilah kebanyakan orang hanya melihat sebelah mata mengenai profesi tersebut. Misalnya saja "Kalau ingin kaya jangan menjadi guru" atau "Jangan jadi guru, hidupmu bakal susah" mungkin juga yang berprofesi sebagai guru pun berpikir seperti "Saya menjadi guru karena terpaksa, karena tidak mendapatkan pekerjaan lain". Padahal kita seharusnya bisa melihat dengan cara dan sudut pandang yang berbeda.
Secara umum kondisi pendidikan di Indonesia dan secara khusus kualitas guru-guru di Indonesia adalah sebuah kumulasi dari hasil pikiran masyarakat Indonesia tentang pendidikan dan kualitas guru itu sendiri. Bahkan bisa saja guru-guru sendiri memiliki kontribusi terbesar dalam mewujudkan kondisi seperti ini yakni dengan pikiran-pikiran negatif mereka. Sebagian besar masyarakat berpikir, berpendapat dan meyakini bahwa pendidikan di Indonesia sedang dalam kondisi terpuruk. Keyakinan tersebut memang apa adanya dan bisa kita lihat sendiri melalui maraknya opini, pendapat, tulisan-tulisan, dan media yang biasanya mendeskripsikan pendidikan di Indonesia dan secara khusus kondisi guru yang negatif. Berdasarkan indikator tersebut, maka dengan mudah dapat diprediksikan bahwa banyak masyarakat termasuk para guru sudah, sedang dan akan terus berpersepsi, berpikiran negatif tentang pendidikan dan kualitas guru di indonesia.
Guru merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas hasil pendidikan. Namun demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional, faktor kesejahteraannya, dan lain-lain.
Permasalahan klasik di dunia pendidikan dan sampai saat ini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk mengatasinya adalah :
a. Kurangnya Pemerataan kesempatan pendidikan.
Sebagian besar masyarakat merasa hanya memperoleh kesempatan pendidikan masih terbatas di tingkat sekolah dasar.
b. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah angka pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia, yang kenyataannya tidak hanya dipengaruhi oleh terbatasnya lapangan kerja. Namun adanya perbedaan yang cukup besar antara hasil pendidikan dan kebutuhan kerja.
c. Rendahnya mutu pendidikan.
Untuk indikator rendahnya mutu pendidikan dapat dilihat dari tingkat prestasi siswa. Semisal kemampuan membaca, pelajaran IPA dan Matematika. Studi The Third International Mathematics and Science Study Repeat TIMSS-R pada tahun 1999 menyebutkan bahwa diantara 38 negara prestasi siswa SMP Indonesia berada pada urutan 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika.
Sehubungan dengan situasi dan kondisi tersebut, maka pihak swasta atau masyarakat sangat diharapkan perannya dalam ikut serta memajukan bidang pendidikan ini. Hanya saja posisi guru swasta selama ini memang seolah-olah tidak dipayungi oleh undang-undang yang ada meskipun secara eksplisit sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas). Tingkat kesejahteraan guru-guru swasta pun masih memprihatinkan terutama yang di daerah, ada yang lebih rendah dari upah buruh bangunan. Para guru swasta merasa dianaktirikan pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan guru, padahal tugas dan tanggung jawab mereka dalam pembangunan pendidikan nasional, sama dengan guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS).
Dari sudut UU kepegawaian jelas tidak diatur secara khusus tentang guru, karena yang diatur adalah pegawai pemerintah (PNS) sedangkan dari sudut UU Ketenagakerjaan juga akan sangat sulit karena penyelenggara pendidikan adalah yayasan. Sehingga guru tidak dapat dikategorikan sebagai tenaga kerja atau buruh. Bisa dikatakan sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, guru-guru tidak mempunyai payung hukum yang jelas. Yang memang mengatur segala sesuatu secara khusus yang menyangkut guru, seperti halnya dengan UU Tenaga Kerja dan UU Kepegawaian.
Dalam Pasal 25 ayal (3) UU Guru dan Dosen disebutkan bahwa pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Perjanjian tertulis antara Guru dengan penyelenggara pendidikan alau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak berdasarkan peraturan perundang-undangan tetapi tidak dijelaskan perundang-undangan mana yang dipakai sebagai acuan. Sedangkan dalam Hukum Perjanjian Umum (KUHperdata) dan UU Ketenagakerjaan, perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak, materi yang harus ada dalam perjanjian kerja diatur berdasarkan Undang-Undang ini.
Sehubungan dengan adanya perjanjian kerja antara penyelenggara pendidikan dengan Guru, menurut UU Guru dan Dosen tidak dikategorikan apakah Guru tersebut sebagai Tenaga Honorer Tidak Tetap alau sebagai Tenaga Tetap. Selama ini status Honorer mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian). Honorer adalah Pegawai tidak tetap untuk pekerjaan yang bersifat tetap maupun sementara. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan status tersebut melanggar ketentuan undang-undang ini, karena pendidikan adalah bidang pekerjaan yang bersifat tetap/rutin. Lama pekerja pegawai honorer tidak ditentukan. Masa Honorer bukan merupakan masa percobaan kerja. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur tentang status Honorer atau Pegawai Tidak Tetap tetapi hanya mengatur Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu tidak Tertentu (PKWTT). PKWT hanya boleh dilakukan untuk pekerjaan yang jenis atau sifatnya sementara, untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun. PKWTT dilakukan untuk pekerjaan rutin dengan syarat masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
Selain perlunya status yang jelas, Guru juga harus mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 40 ayat (1) huruf d UU Sisdiknas yaitu perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan Pasal 39 UU Guru dan Dosen yang meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Apabila hal tersebut tidak atau kurang terpenuhi, maka sangat berpengaruh terhadap kinerja para guru, sehingga kemajuan pendidikan khususnya di Indonesia juga mengalami keterlambatan.
Persoalan-persoalan tersebut, juga banyak dialami, sehubungan dengan implementasi alas berbagai undang-undang yang muncul terutama UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen dan UU Ketenagakerjaan. Di satu sisi, Guru dikategorikan sebagai tenaga profesional tetapi dalam permasalahan hubungan industrial tidak diatur secara khusus dalam UU Guru dan Dosen, sehingga masih mengacu kepada UU Ketenagakerjaan. Kesulitan lain yang dihadapi adalah persoalan status Guru. Untuk mendapatkan Guru yang profesional membutuhkan dana yang tidak sedikit, karena sistem penggajian/honor nya tidak dapat disesuaikan begitu saja dengan ketentuan yang ada. Dari persoalan itu, maka muncul banyaknya Guru yang dikontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu.

B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang muncul terkait dengan perlindungan hukum bagi Guru swasta pada umumnya, bahwa berdasarkan UU Ketenagakerjaan tidak dimungkinkan adanya Guru dengan status kontrak (PKWT), karena Guru merupakan tenaga inti dalam bidang pendidikan. Sedangkan dalam UU tentang Guru dan Dosen tidak diatur secara jelas. Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Departemen Tenaga Kerja seharusnya membuat peraturan perundang-undangan yang sinkron satu dengan yang Iain, sehingga tidak saling bertentangan. Karena di satu sisi Guru adalah tenaga profesional tetapi di sisi lain peraturannya masih mengacu pada hukum ketenagakerjaan yang kurang mengakomodir banyak hal sehubungan dengan seluk beluk keguruan.
Salah satu permasalahan yang sering terjadi sebagaimana dijabarkan dalam latar belakang masalah diatas bahwa PKWT dimungkinkan untuk paling lama 3 (tiga) tahun, sedangkan Guru bisa mengajar lebih dari waktu tersebut, karena kebutuhan dari sekolah atau Yayasan Penyelenggara pendidikan. Untuk mengangkat Guru yang profesional di bidangnya memang membutuhkan dana yang tidak sedikit sehubungan dengan sistem penggajian yang ada di Yayasan Penyelenggara Pendidikan Swasta (Yayasan). Maka jalan yang paling mudah ditempuh adalah dengan melakukan kontrak dan membuat perjanjian kerja waktu tertentu dengan para guru yang dibutuhkan. Hal ini juga merupakan suatu kesulitan tersendiri dalam pelaksanaannya, karena Peraturan Yayasan yang mengatur tentang karyawan tidak mengakomodir karyawan dalam hal ini Guru tidak tetap (honorer), dan hanya diatur dalam perjanjian kerja.
Berdasarkan uraian tersebut diatas beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan adalah :
1. Apakah perjanjian kerja antara Guru dan Penyelenggara Pendidikan (Yayasan X) sudah memenuhi prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi Guru ?
2. Apakah UU Guru dan Dosen dan UU Ketenagakerjaan sudah dapat mengakomodir status Guru tidak tetap/honorer bila terjadi masalah hubungan industrial dengan Yayasan ?
3. Terkait dengan Guru sebagai tenaga inti di bidang pendidikan dengan status sebagai tenaga tidak tetap/honorer sedangkan Yayasan Penyelenggara Pendidikan sungguh membutuhkan tetapi dana kurang memadai, solusi apa yang bisa diambil untuk menyelesaikan persoalan tersebut ? (Ditinjau dari UU Guru dan Dosen dan UU Ketenagakerjaan).

C. Tujuan Penelitian
Dengan bertitik tolak dari perumusan masalah yang telah penulis uraikan di atas, maka tujuan dari penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisa perjanjian kerja yang dilakukan antara Guru tidak tetap/honorer dan Yayasan Penyelenggara Pendidikan (Yayasan X).
2. Untuk menganalisa penerapan UU Guru dan Dosen dan UU Ketenagakerjaan bila terjadi permasalahan hubungan industrial antara Guru tidak tetap/honorer dengan Yayasan Penyelenggara pendidikan (Yayasan X)
3. Untuk mengetahui dan menganalisa kemungkinan serta memberikan rekomendasi upaya hukum seperti apa yang seharusnya diambil untuk menyelesaikan persoalan di Yayasan Penyelenggara Pendidikan (Yayasan X) sehubungan dengan Guru sebagai tenaga inti pendidikan yang dipekerjakan secara tidak tetap/honorer karena berbenturan dengan sistem/peraturan yang ada di Yayasan.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Segi teoritis
Diharapkan penulisan hukum ini dapar memberikan masukan secara teoritis bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum terutama hukum ketenagakerjaan dan secara khusus tenaga kerja di bidang pendidikan
2. Segi Praktis
Memberikan masukan dan pengetahuan kepada para mahasiswa fakultas hukum, para praktisi hukum, penyelenggara pendidikan swasta khususnya, dan yang terpenting bagi masyarakat pada umumnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi oleh tenaga pendidik di lembaga pendidikan swasta/masyarakat terutama dalam perlindungan hukum bagi Guru tidak tetap/honorer.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 05:59:00

SINERGI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

SINERGI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak reformasi menggelinding 1998, kemauan politik (political will) pemerintah untuk melakukan pemberantasan terhadap kejahatan korupsi telah menjadi program prioritas nyata. Wujud kemauan politik tersebut dibuktikan dengan disahkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan UU No. 31 Tahun 1999 (diubah dengan UU No. 20 Tah un 2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) memiliki peran sangat strategis. Akan tetapi dalam implementasinya, sebagai masyarakat masih belum memuaskan. Kesenjangan kewenangan antara KPK dengan penegak hukum, lemahnya dukungan politis pemerintah, terbatasnya fasilitas dan KPK masih relatif muda merupakan faktor-faktor penyebab keterbatasan tersebut. Sehingga dapat dimaklumi sekiranya peran KPK sampai saat ini belum optimal sebagaimana diharapkan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Di satu pihak, fungsi KPK, sebagai lembaga Super Body institusi penegak hukum kejahatan korupsi telah mendapatkan pembenaran yuridis. Sehingga kehadiran KPK, umumnya cenderung menimbulkan kontroversial dalam praktek penegakan hukum kejahatan korupsi di tingkat lapangan.
Hal tersebut dalam perkembangan ada kesan tebang pilih yang tidak dapat dihilangkan jejaknya. Di pihak lain, peran institusi penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan merasa terkurangi, sebab dalam waktu lalu merupakan kewenangan bersama Polisi, Jaksa dan Pengadilan Umum. Akan tetapi, sejak keluarnya UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kejahatan korupsi, dalam ukuran tertentu (di atas 1 miliar) merupakan yurisdiksi kompetensi KPK.
Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya hanya dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional, selain korupsi sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Juga kejahatan korupsi menjadi sangat sulit diberantas karena muara utamanya berada pada institusi penegak hukum. Hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI), mengungkapkan bahwa Lembaga-Lembaga vertical, (Polisi, Peradilan, Pajak, Imigrasi, Bea Cukai, Militer dll), masih dipersepsikan sangat korup. Menurut versi TI, bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga paling tinggi tingkat inisiatif meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigrasi (90%), BPN (84%), Polisi (78%) dan Pajak (76%).
Prosentase tingkat kejahatan korupsi di kalangan penegak hukum tidak akan berkembang mustahil tanpa kontribusi budaya masyarakat, terutama terkait dengan praktek budaya upeti, suap dan hutang budi, juga jalan pintas untuk memperoleh pelayanan yang lebih cepat dan diutamakan. Dalam penelitiannya, Farouk Muhammad mengungkapkan bahwa faktor-faktor penyebab yang dapat menjelaskan fenomena korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, utamanya terkait dengan faktor rendahnya kesejahteraan. Meskipun faktor penyebabnya tidak harus semata-mata atas alasan kesejahteraan, motivasi memperkaya diri akan tetap relevan sebagai faktor relevan dalam timbulnya kejahatan korupsi. 
Kejahatan korupsi yang semula dipandang sebagai kejahatan biasa (Ordinary Crime), masyarakat internasional saat ini, sepakat untuk menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Keadaan luar biasa tersebut meniscayakan adanya tindakan dan penanganan secara luar biasa pula. Penanganan yang luar biasa tidaklah berarti dapat keluar dari koridor the rule of law. Asas-asas hukum yang selama ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pemidanaan yang berkeadilan harus tetap dapat diberlakukan.
Dalam perspektif hukum nasional paska reformasi, UU No. 31 tahun 1999, tentang Tindak Pidana Korupsi rumusan kejahatan korupsi lebih komprehensif. Kejahatan korupsi dipandang, sebagai setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Secara substansif, pasal tersebut mengandung perbuatan seseorang, baik aparat pemerintah atau bukan, tetapi perbuatan yang menyalahi kewenangan tersebut, baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat berakibat timbulnya kerugian negara.
Seiring dengan itu, Muhammad Faraouk dalam kajiannya menyebutkan bahwa bentuk-bentuk korupsi ke dalam dua sifat. (1) general dengan misal : merajalela dimana-mana, relatif terbuka (mudah diketahui), menyangkut publik (banyak orang), dengan jumlah uang yang relatif kecil serta pada umumnya melibatkan pegawai/pejabat rendahan dan didorong oleh kebutuhan primer baik pribadi maupun institusi. (2) Spesifik/terbatas : hanya pada kesempatan/menyangkut kasus tertentu (eksklusif), relatif tertutup dengan modus yang canggih (sulit dibuktikan), melibatkan orang tertentu (bisnis) dan pejabat yang berwenang yang lebih tinggi dengan jumlah uang yang relatif besar dan biasanya lebih didorong oleh kesepakatan dari pada primer.
Selanjutnya Romli Atmasasmita, sebagai pakar hukum pidana internasional menegaskan bahwa strategi pemberantasan korupsi di Indonesia harus menggunakan empat (4) pendekatan yaitu pendekatan hukum, pendekatan moralistik dan keimanan, pendekatan edukatif, dan pendekatan sosio-kultural. Begitu kompleksnya penyebab kejahatan korupsi, maka pemberantasan korupsi dengan pendekatan konvensional dipandang sudah tidak relevan lagi. Sehingga modus operasi tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana kita harus dijadikan suatu kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crimes). Sebab, upaya mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dalam upaya memerangi kejahatan korupsi merupakan bentuk kewajiban negara untuk memenuhi tuntutan hak-hak asasi sosial ekonomi masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh pasal 29 Deklarasi PBB.
Dalam perspektif internasional, yang direkomendasikan oleh PBB, melalui Centre for International Crime Prevention secara lebih rinci bahwa kejahatan korupsi sangat terkait dengan sepuluh perbuatan pengadaan barang dan jasa. Hal tersebut antara lain pemberian suap (Bribery), penggelapan (Embezzlement), pemalsuan (Fraud), pemerasan (Extortion), penyalahgunaan jabatan atau wewenang (Abuse of Discretion), pertentangan kepentingan/memiliki usaha sendiri (Internal Trading), pilih kasih atau tebang pilih (Favoritisme), menerima komisi, nepotisme (Nepotism), kontribusi atau sumbangan ilegal (Illegal Contribution). Secara faktual, perbuatan korupsi yang dapat menimbulkan kerugian negara ditemukan di lapangan hampir 90% kejahatan tindak pidana korupsi dilakukan oleh pejabat publik.
Terkait dengan sistem hukum penanggulangan tindak pidana kejahatan korupsi, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah menjadi ikon nasional dan internasional di Indonesia. Bilamana pada masa lalu, ketentuan normatif mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi telah dipandang kurang lengkap peraturan hukumnya. Oleh karena ketiadaan lembaga penegak hukum khusus (Special Task Force for Combating Corruption) menjadi penyebab utama penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi tidak efektif. Karena itu, urgensi dibentuknya KPK, melalui UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan memberikan amanah dan tanggung jawab kepada KPK untuk melakukan peningkatan pemberantasan tindak pidana korupsi, lebih profesional, intensif, tindak pidana korupsi telah merugikan keuangan negara, dan juga menghambat pembangunan nasional.
Kedudukan KPK sebagai institusi hukum yang strategis oleh karena memiliki kewenangan lebih credible dan profesional UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, status dan sifat serta kewenangan KPK sebagai lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3). Kedua, KPK secara khusus dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi (Pasal 4). Ketiga, asas-asas yang dipergunakan KPK dalam menjalan tugasnya yaitu, kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Keempat, kewenangan KPK yang melebihi penegak hukum konvensional adalah terletak pada pasal enam (6) yaitu KPK mempunyai tugas, (a) koordinasi dengan instansi yang berwewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan korupsi (c), melakukan penyelidikan dan penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (d) melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dari ketentuan UU inilah kemudian timbul kesan bahwa KPK dalam kaitannya dengan kompetensi tugas dan fungsi di lapangan dipandang sebagai Lembaga Negara Terkuat (Super Body). Status dan sifat KPK yang terkesan Super Body tersebut antara lain dikarenakan tiga ciri dominan. Pertama, KPK sebagai lembaga Negara (Special State Agency) yang secara khusus melakukan tugas dalam tindak pidana korupsi. Kedua, keberadaan KPK melebihi peran dan fungsi yang berada pada lembaga penegak hukum, antara Polisi, Kejaksaan, dan bahkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya. KPK memiliki kewenangan untuk tidak saja melakukan koordinasi dan supervisi dengan institusi penegak hukum dan lembaga negara lainnya dalam tindak pidana korupsi.
Ketiga, KPK dapat menyatukan tugas dan fungsi yang berada dalam kewenangan Kepolisian untuk penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan dalam hal penyidikan dan penuntutan. KPK dalam membatasi segala tugas dan kewenangannya terhadap kasus kerugian negara dengan nominal Rp. 1.000.000.000,-(Satu Milyar).
Namun, tiadanya sanksi hukuman yang lebih berat, seperti adanya hukuman mati diberlakukan berbagai negara seperti China adalah merupakan alat pengerem kejahatan korupsi juga termurah yang melemahkan keberadaan UU KPK.
Sebagaimana masyarakat memandang KPK yang oleh UU ditempatkan sebagai lembaga negara extra power dalam perjalanannya selama tiga tahun belum juga memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Tanpa mengurangi makna dan arti kehadiran KPK dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia, sebagaimana juga timbul di berbagai negara seperti Thailand, Singapura dan juga Malaysia dan Australia, KPK selain memperoleh peluang juga tantangan yang tidak cukup ringan. Terdapat empat persoalan utama yang dihadapi KPK yang kemudian peran dan fungsinya belum dapat diperoleh secara optimal sesuai dengan UU. 
Pertama, tantangan internal di kalangan penegak hukum. Kecemburuan kelembagaan ini tidak dapat dihindarkan karena maksud dan tujuan dari UU Pembentukan KPK inkonsisten dengan ketentuan UU Kepolisian dan Kejaksaan. Misalnya, dalam konteks penyidikan dan penuntutan yang semula menjadi kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan sepertinya telah memberikan peluang akan tak terbatasnya kewenangan KPK, meskipun jumlah 1 Milyar (Pasal 11) cukup jelas. Namun, dalam arti pembagian dan pemisahan kewenangan tampak kurang konsisten dan berpeluang UU membuat kevakuman hukum dalam mensinergikan fungsi kerjasama di satu pihak, KPK dan pihak lain dengan Polisi dalam konteks penyelidikan dan penyidikan.
Terdapat beberapa pihak yang menengarai jika peran KPK yang berlebihan tidak segera diantisipasi tidak saja akan berdampak pada timbulnya kecemburuan di lembaga penegak hukum yang lebih dulu berperan dan sistem pidana Indonesia (Indonesian Criminal Justice System), melainkan akan berpengaruh pada proses deligitimisasi institusi penegak hukum. Hal ini didasarkan kepada, pertama KPK sebagai institusi terobosan (breaking through) terhadap kemandegan kredibilitas penegak hukum di Indonesia, yang sampai hari ini tidak dibatasi pemberlakuannya. Kedua, timbulnya konflik internal penegak hukum akibat peran luar biasa KPK juga tidak akan memberikan jaminan efisiensi dan efektifitas dari ketiga lembaga tersebut. Apalagi indikasi sebagaimana disebutkan di atas, bahwa lembaga penegak hukum juga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, secara khusus terdapat kecenderungan kedudukan peran Polri dalam penyelidikan dan penyidikan termasuk penggunaan intelegensi polisi dalam persoalan tindak pidana korupsi semakin tereliminir oleh peran KPK berduet dengan Kejaksaan Agung.
Kedua, KPK memiliki tantangan yang berat karena kepercayaan masyarakat dengan kesan tebang pilih dilakukan KPK belum pupus. Apalagi hasil KPK untuk mengembalikan uang negara dan dapat dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat memang masih merupakan impian belaka. Dalam beberapa media, menyebutkan bahwa jumlah pengeluaran dan biaya operasional dari KPK melebih 1 (satu) Trilyun rupiah, sementara hasil yang diperoleh baru sekitar ratusan milyar. Misalnya, dalam tahun ke II KPK telah menemukan 70 kasus dugaan korupsi di Departemen Sosial dengan nilai Rp 287,89 Milyar. Dari jumlah tersebut sekitar 63 kasus dengan nilai 189,28 miliar telah ditindak lanjuti. Sama halnya peran KPK terkait dengan temuan Audit BPKP dimana terdapat kerugian negara sebanyak 2,5 Trilyun sejak 2006 belum ada tindak lanjut. Pada tahun 2006, Audit BPKP menemukan adanya dugaan korupsi sebanyak 181 kasus sehingga negara dirugikan sebesar Rp 666,69 Trilyun. Hanya sebagian kecil telah dilakukan proses hukum yaitu dari 146 kasus baru 32 kasus dan hanya 3 kasus saja yang telah diputus.
Keterlambatan ini tentu saja terkait dengan selain, persoalan terbatasnya tenaga penyidik, (yang saat ini sedang dibutuhkan sekitar 30 orang) juga sistem pembuktian dalam kasus korupsi di pengadilan tidaklah cukup mudah. Memang keterlambatan ini juga tidak dapat ditudingkan kepada KPK, sebab sangat tergantung kepada lembaga negara itu sendiri.
Ketiga, tantangan KPK ke depan karena timbulnya kompleksitas hubungan fungsional antara lembaga negara yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Hal yang perlu mendapatkan perhatian utama dalam membangun pemerintahan yang baik dan bersih. Keberadaan KPK di tingkat pusat dengan keterbatasan struktur dan fungsi KPK secara organisatoris mustahil dapat diandalkan. Misalnya, bagaimana peran KPK dapat meningkat sekiranya pelayanan standar kriminal bagi masyarakat menuntut untuk dilayani. Misalnya, percepatan di bidang pelayanan publik (percepatan layanan identitas, layanan kepolisian, layanan pertanahan, layanan usaha dan penanaman modal, layanan kesehatan, layanan perpajakan, layanan pendidikan, layanan transportasi, dan layanan utilitas dan layanan usia senja).
Dalam konteks ini diupayakan layanan pemerintah dapat dilakukan dengan tanpa birokrasi yang berbelit-belit, dan juga proses pencepatan tanpa ada penyuapan.
Kejaksaan dan Kepolisian RI merupakan lembaga penegak hukum di Indonesia. Kejaksaan khususnya, memiliki kedudukan sentral dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, kejaksaan merupakan salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) di Indonesia hanya mengenal 4 (empat) subsistem, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Tugas dan kewenangan kejaksaan dalam lingkup peradilan semakin dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana posisi Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Namun dalam perkara tindak pidana korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk menyidik perkara tersebut. Kejaksaan juga dianggap sebagai pengendali proses perkara dikarenakan hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat dilimpahkan ke pengadilan atau tidak, disamping itu kejaksaan juga merupakan satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana.
Pembentukan KPK dan Pengadilan khusus korupsi dalam pelaksanaannya tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan karena dalam praktek baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja KPK dan terbentuknya Pengadilan Khusus Korupsi terbentur banyak kendala. Kendala tersebut antara lain, KUHAP mengatur bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kejaksaan. Di sisi lain kejaksaan juga mempunyai kewenangan sebagai eksekutor terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, dilihat dari hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan selalu mempunyai hubungan koordinasi, baik dalam penanganan perkara korupsi maupun dalam hal eksekusi terhadap perkara yang ditangani oleh KPK, tetapi dengan adanya dualisme kewenangan tersebut maka hubungan kejaksaan dengan KPK cenderung dapat menjadi kurang harmonis.

B. Perumusan Masalah
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut : 
1. Bagaimana kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Kepolisian dalam penyelesaian tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
2. Bagaimana sistem koordinasi dan sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) dalam penyelesaian kasus BLBI.
3. Bagaimana analisa kasus BLBI dalam kaitannya dengan sistem koordinasi dan sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) dalam penyelesaian kasus BLBI.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Kepolisian dalam penyelesaian tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
2. Untuk mengetahui sistem koordinasi dan sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) dalam penyelesaian kasus BLBI.
3. Untuk mengetahui analisa kasus BLBI dalam kaitannya dengan sistem koordinasi dan sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) dalam penyelesaian kasus BLBI.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi yaitu : 
1. Secara Teoritis
Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia yang dewasa ini sedang sangat gencar dilakukan oleh Pemerintah.
2. Secara Praktis
a. Bagi Pemerintah
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah agar segera merumuskan peraturan perundang-undangan yang untuk selanjutnya dapat dijadikan pedoman oleh masing-masing lembaga (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian), sehingga masing-masing lembaga memiliki standar yang jelas dalam melaksanakan peran, fungsi dan wewenangnya. Permasalahan ini sangat penting dikemukakan karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi benturan antara KPK dengan institusi/tim pemberantasan korupsi yang sudah ada atau bahkan terjadi tumpang tindih (over lapping). Kita tidak bisa bayangkan apabila semuanya memeriksa kasus yang sama, dalam hal ini tindak pidana korupsi dengan mekanisme yang sama akan tetapi menyimpulkan hasil pemeriksaan yang berbeda. Tentunya hal ini akan berimplikasi terhadap ketidakpastian hukum dalam penyelesaian kasus-kasus terkait yaitu tindak pidana korupsi, dan pasti akan menimbulkan akibat-akibat hukum lain.
b. Bagi Dunia Pendidikan dan Akademisi
Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi dunia pendidikan dan akademisi khususnya dalam rangka menumbuhkan kesadaran hukum anti korupsi dan kesadaran hukum untuk berperan memberantas korupsi.
c. Bagi Masyarakat
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya dalam upaya mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, khususnya terhadap political will pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 05:58:00

ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET

TESIS ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank merupakan lembaga keuangan yang berorientasi pada bisnis yang mempunyai kegiatan pokok untuk membeli uang dengan cara menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menjualnya kembali kepada masyarakat melalui pemberian kredit atau pinjaman. Dari kegiatan jual beli inilah bank dapat memperoleh keuntungan yaitu selisih harga beli (bunga simpanan) dengan harga jual (bunga pinjaman).
Kegiatan operasional bank, baik dalam usaha menghimpun dana dari masyarakat maupun mengelola dana, menanam kembali dana tersebut kepada masyarakat, sampai dana tersebut kembali lagi ke bank, senantiasa terkait dengan ketentuan hukum. Oleh karena itu, dengan semakin meningkat dan berkembangnya kegiatan usaha perbankan, peranan bidang hukum dalam mendukung keberhasilan itu pun semakin dirasakan penting.
Keperluan akan dana dalam kehidupan sehari-hari untuk menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat, maka untuk itu diperlukan suatu lembaga perantara sebagai jembatan untuk mempertemukan kedua pihak baik yang kelebihan dan pihak yang kekurangan dana, disinilah bank berperan sebagai financial intermediary, yang akan bertindak sebagai kreditur yang menyediakan dana bagi masyarakat yang kekurangan dana, sehingga dapat terbentuk suatu perjanjian kredit.
Kegiatan bank terutama dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan utama sehingga pendapatan kredit berupa bunga merupakan komponen pendapatan paling besar dibandingkan pendapatan jasa-jasa di luar bunga kredit yang biasanya disebut dengan istilah fee base income. Adapun karakteristik yang paling mendasar dalam operasional perbankan adalah, kepercayaan (trust), tanpa adanya kepercayaan kegiatan ekonomi di sektor keuangan terutama di perbankan tidak akan berjalan normal, tenang dan nyaman.
Dengan kata lain masyarakat tidak akan menyimpan uangnya di bank jika tidak ada kepercayaan dan bank juga tidak akan menyalurkan kredit atau pinjaman kepada masyarakat jika tidak ada kepercayaan, namun bank dalam prakteknya juga memiliki risiko yang harus dihindari, ada beberapa jenis risiko yang sering dijumpai : 
a. Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar, yang antara lain adalah suku bunga atau nilai tukar mata uang asing.
b. Risiko Likuiditas
Risiko yang disebabkan ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
c. Risiko Hukum
Risiko ini adalah risiko akibat kelemahan aspek hukum.
d. Risiko Kepatuhan
Risiko akibat bank tidak mematuhi atau melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
e. Risiko Kredit
Risiko yang timbul akibat debitur gagal memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran pokok ataupun bunga sebagaimana disepakati dalam perjanjian kredit sebelumnya.
Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, yaitu credere yang berarti kepercayaan, misalnya seorang nasabah atau debitur memperoleh kredit dari bank adalah tentu seseorang yang telah mendapatkan kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit adalah kepercayaan. Pengertian kredit dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu : 
"Kredit adalah penyediaan uang atau yang dipersamakan dengannya, yang didasari dengan perjanjian pinjam meminjam antara bank dengan pihak yang lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dimana bank atas jasanya itu akan mendapatkan bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan".
Dalam istilah umum, kredit perbankan hampir dipersamakan dengan utang piutang pada umumnya, utang piutang pada umumnya disebut dengan pinjaman habis pakai atau disebut juga dengan istilah Verbuikleen dalam bahasa Belanda yang diartikan lebih lanjut dengan pinjaman mengganti.
Pinjaman mengganti menurut KUHPerdata yaitu salah satu pihak melepaskan sejumlah uang atau barang tertentu kepada pihak lain yang menghabiskannya apabila dipakai dengan janji bahwa kemudian hari uang atau barang tersebut akan dikembalikan dalam jumlah yang sama, dengan keadaan sejenis dan dalam keadaan yang sama.
Ada beberapa tujuan untuk pemberian kredit pada bank, yang umumnya tujuan itu adalah untuk mencari keuntungan, hasil ini dapat diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh pihak bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi pemberian kredit yang dibebankan kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank, disamping itu keuntungan juga dapat membesarkan usaha bank.
Kredit juga dapat berfungsi untuk meningkatkan peredaraan lalu lintas uang dan untuk meningkatkan daya guna barang, artinya dalam hal ini uang diberikan atau disalurkan akan beredar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya sehingga, suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.
Bagi si penerima kredit ini tentu saja dapat meningkatkan semangat untuk berusaha karena dengan pengambilan kredit dapat menambah modal untuk usaha, memperbesar dan memperluas usahanya, namun dalam hal ini bank juga memiliki beberapa risiko dalam pemberian kredit, faktor risiko kerugian dapat diakibatkan dua hal yaitu risiko kerugian yang diakibatkan nasabah dengan sengaja tidak mau membayar kreditnya padahal mampu membayar, dan risiko kerugian yang diakibatkan karena terjadinya musibah atau bencana alam. Penyebab tidak tertagihnya kredit sebenarnya dikarenakan adanya tenggang waktu pengembalian atau jangka waktu, semakin panjang jangka waktu suatu kredit semakin besar risiko kredit tersebut tidak tertagih, demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman kepada prinsip 5C, yaitu : 
a. Character
Bahwa calon nasabah atau debitur memiliki watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh dari bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan informasi-informasi dari usaha.
Character ini juga dapat dilihat dalam bentuk SID atau Sistem Informasi Debitur yaitu informasi mengenai calon debitur yang akan memohon kredit, sistem ini terhubung secara langsung kepada Bank Indonesia, dimana setiap bank yang telah memberikan kredit kepada nasabahnya wajib melaporkan data-data atau informasi mengenai nasabah atau istilah DIN (Data Informasi Nasabah) yang telah diberikan kredit.
b. Capacity
Capacity dalam hal ini adalah kemampuan calon nasabah atau debitur untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya akan dapat berjalan dengan baik dan dapat memberikan keuntungan, yang akan menjamin bahwa jangka ia mampu melunasi hutang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan. Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan materiil, yaitu melakukan penilaian terhadap keadaan neraca, laporan laba rugi, dan arus kas (cash flow) usaha dari beberapa tahun terakhir, dalam capacity ini bank dapat melihat layak atau tidaknya calon debitur tersebut akan diberikan pinjaman dalam jumlah yang sesuai.
c. Capital
Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana distribusi modal ini ditempatkan oleh pengusaha tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan secara efektif. Modal atau capital ini dapat dilihat dari neraca keuangan calon debitur atau ratio modal debitur. Penilaian keadaan keuangan arus dana, realisasi produksi, serta pembelian dan penjualan. Laporan sumber dana dan penggunaan dana sangat membantu melakukan penilaian aspek pembiayaan. Atas dasar ini dapat dipahami kelayakan kredit yang dibutuhkan sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan keputusan penyaluran kredit.
d. Collateral
Collateral adalah jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman (back up) atas risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah debitur di kemudian hari, misalnya terjadi kredit macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi sisa hutang kredit baik hutang pokok maupun bunganya. Dalam setiap perjanjian kredit harus ada agunan yang menjadi jaminan apabila debitur wanprestasi (cidera janji).
e. Condition of Economy
Dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dan bank untuk memperkecil risiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut. Condition of economy ini juga mempengaruhi untuk keputusan pemberian kredit, misalnya di saat hari-hari besar seperti Hari Raya, Natal atau Tahun Baru kebutuhan masyarakat meningkat maka kemungkinan untuk membayar kredit sangat kecil, atau nilai tukar rupiah turun, suku bunga naik maka tidak mungkin pada kondisi keadaan lebih berhati-hati dalam merealisasi kredit.
Kredit yang diberikan oleh bank kepada calon peminjam didasarkan atas kepercayaan, karena itu untuk menjaga keamanannya dalam menyalurkan dana tersebut pihak bank seharusnya benar-benar yakin bahwa peminjam akan mampu mengembalikan pinjaman yang telah diterimanya, sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. Sehingga harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential principles) agar terjaga keamanannya dan mendapatkan keuntungan dari kredit yang disalurkan oleh bank itu. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam akad kredit dan ditandatangani kedua pihak sebelum pencairan kredit, setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Akibat adanya tenggang waktu, maka pengembalian kredit akan memungkinkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian suatu kredit.
Semakin panjang suatu jangka waktu kredit, maka semakin besar risikonya, dan demikian pula sebaliknya. Risiko ini dapat menjadi tanggungan bank baik risiko yang disengaja nasabah maupun yang tidak disengaja. Kondisi yang tidak disengaja misalnya karena bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur yang kesengajaan lainnya, sehingga nasabah tidak mampu lagi melunasi kredit yang diperolehnya. Berarti kredit yang diberikan berjalan lancar tanpa mengalami hambatan dalam pengembaliannya. Dampak negatif dapat timbul apabila dari pemberian kredit oleh bank mengandung risiko berupa kegagalan dalam pengembalian atau pelunasan kredit (kredit macet) sehingga berakibat timbulnya kerugian di pihak bank juga berpengaruh pada masyarakat karena kredit yang diberikan itu bersumber dari dana masyarakat yang disimpan di bank tersebut.
Bank perlu mengamankan kredit yang disalurkannya pada nasabah untuk mengetahui risiko yang akan timbul di kemudian hari sebagai akibat wanprestasinya nasabah, sebab ada larangan bagi bank untuk turut serta menanggung risiko dari nasabah (prinsip comanditering verbod). Apabila debitur sengaja untuk tidak melunasi hutangnya maupun tidak menepati batas waktu pengembalian hutang maka jaminan dapat digunakan untuk mengganti atau membayar hutang, oleh karena itu jaminan sangat penting dalam perjanjian kredit.
Sebagaimana yang diketahui bahwa kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam, kondisi dimana debitur yang tidak dapat membayar lunas hutangnya setelah jangka waktunya habis adalah wanprestasi. Kondisi wanprestasi seorang debitur perlu secara dini diketahui penyebabnya untuk dapat dilakukan pencegahan ataupun dengan kondisi wanprestasi bank sudah dapat memperkirakan faktor-faktor apa yang menyebabkan seorang debitur wanprestasi. 
Dalam penelitian ini akan dibahas faktor-faktor yang menyebabkan kredit macet baik yang disebabkan internal perbankan maupun secara eksternal dari nasabah itu sendiri. Juga akan diteliti aturan-aturan hukum baik undang-undang maupun peraturan Bank Indonesia yang berkenaan dengan pemberian kredit termasuk dalam hal ini aturan-aturan PT Bank X mengenai pelaksanaan teknis pemberian kredit.
PT Bank X menjadi objek dari penelitian ini disebabkan PT Bank X termasuk Bank Daerah yang cukup maju. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penghargaan dan profile perusahaan termasuk laba perusahaan yang cukup baik pada tahun 2008 s/d 2009. Tahun buku 2009 PT. Bank X mampu meningkatkan pendapatan bunga bersihnya sebesar 16% menjadi Rp. 1.063,8 Miliar dibandingkan Tahun 2008 sebesar Rp. 916,2 Miliar. Laba Bersih Tahun Buku 2009 menunjukkan angka pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu 77,63% menjadi Rp. 420,8 Miliar dibandingkan tahun 2008 sebesar Rp. 236,9 Miliar. Aset tahun 2009 juga mengalami pertumbuhan yang cukup besar yaitu Rp. 10,7 Triliun atau tumbuh sebesar 21,59% dibandingkan tahun 2008 sebesar Rp. 8.8 Triliun.
Kesuksesan dalam pertumbuhan aset dan laba tersebut karena dukungan dan kerja yang baik oleh manajemen PT. Bank X. Namun pada tahun 2009 Rasio Kecukupan Modal (CAR) sebesar 12,24% mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 sebesar 16.48%, angka 12,24% tersebut masih diatas angka minimal CAR sebesar 8%. Penurunan rasio CAR tersebut akibat kesuksesan dalam pertumbuhan kredit yang tinggi tidak diimbangi dengan pertumbuhan modal perusahaan. Rasio Kredit Bermasalah terhadap Total Kredit (NPL) pada tahun 2009 sebesar 2,47% atau mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 sebesar 0.99%, angka 2,47% tersebut masih dibawah batas maksimal 5%.
Dalam perjanjian kredit banyak masalah-masalah yang akan timbul dan juga berbagai cara menyelesaikan masalah tersebut baik dari pihak bank maupun dari pihak pemohon atau kreditur, dan masalah kredit macet ini juga berkaitan erat dengan penegakan hukum, hukum disini berfungsi dengan baik terutama dalam penyelesaian kredit macet, oleh karena itu berdasarkan uraian di atas penulis akan mencoba mengetengahkan judul "ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET (STUDI PADA PT BANK X)”.

B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut selanjutnya dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kredit macet ?
2. Bagaimana pengaturan hukum dibidang perbankan terkait upaya bank dalam mencegah dan menyelesaikan kredit macet ?
3. Bagaimana pencegahan dan penyelesaian kredit macet pada PT. Bank X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah : 
1. Untuk mengetahui dan menganalisis hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya kredit macet.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan perundang-undangan perbankan yang mengatur mengenai upaya pencegahan dan penyelesaian kredit macet.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya PT. Bank X dalam mencegah dan menyelesaikan kredit macet.

D. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum guna mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan sebagai bahan masukan atau informasi pada penelitian lebih lanjut.
b. Secara Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam upaya pencegahan dan penyelesaian jika terjadi kredit macet yang dapat bermanfaat bagi pihak bank dan nasabah. Bagi pihak Bank dapat meningkatkan kolektabilitas sehingga terjadinya kredit macet dapat di kurangi. 
Bagi nasabah dapat menentukan langkah-langkah yang terbaik dalam menyelesaikan kreditnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Pada akhirnya berjalannya fungsi Bank sebagai intermediary institution dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan pemberian kredit yang lancar dan berguna.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 21:51:00