Cari Kategori

Showing posts with label Skripsi. Show all posts
Showing posts with label Skripsi. Show all posts

PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SKRIPSI PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN X

Indonesia yang menyeleggarakan pendidikan tentu memiliki filosofi dan ideologi tersendiri dalam pengembangan dunia pendidikan. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) sebagai wakil dari pemerintah, bertanggung jawab lebih terhadap pendidikan di Indonesia, terus berupaya menjalankan dan mengembangkan serta meningkatkan kualitas/mutu Pendidikan Nasional dengan interpretasinya sendiri.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mengharuskan orang untuk belajar, lebih-lebih guru yang mempunyai tugas mendidik dan megajar. Sedikit saja lengah dalam belajar akan ketinggalan dengan perkembangan zaman, termasuk siswa yang diajar. Oleh karena itu, kemampuan guru harus senantiasa ditingkatkan untuk mengimbangi atau mengikuti kemajuan zaman tersebut.

Secara umum tujuan makro pendidikan Nasional adalah membetuk organisasi pendidikan yang otonom, sehingga mampu melakukan inovasi dalam pendidikan untuk menuju pembentukan lembaga yang beretika, selalu menggunakan nalar, berkemampuan komunikasi sosial yang positif dan tetunya memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan tangguh. Sedangakan tujuan mikronya adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan YME, beretika, memiliki nalar, berkemampuan sosial dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri.

Azyumardi Azra, mengatakan pendidikan Nasional dihadapkan pada berbagai permasalahan, salah satunya adalah profesionalisme guru dan tenaga kependidikan yang masih belum memadai. Artinya, minimnya kualitas seorang guru dalam pendidikan atau pembelajaran.

Wardiman Djoyonegoro (mantan Menteri Pendidikan Nasional), mengatakan sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) pertama adalah sarana dan gedung, kedua buku yang berkualitas, dan ketiga guru dan tanaga kependidikan yang profesional/berkualitas.

Bila melihat dunia pendidikan secara umum saat ini, dimana mutu pendidikan di Indonesia bisa dikatakan rendah. Namun bila kita telaah lebih jauh mengenai penyebab dari kurangnya mutu pendidikan adalah kurangnya kualitas guru dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru (kurang profesional) dan juga kurangnya penghargaan terhadap guru. Penghargaan ini sangat penting untuk memotivasi guru untuk lebih mengembangkan dirinya. Penghargaan ini dapat berupa pujian atau pembinaan kepada para guru yang pada akhirnya akan menumbuhkan semangat para guru dalam pembelajaran dan yang pasti dapat meningkatkan kualitas seorang guru yang pada muaranya akan meningkatkan kualitas siswa/out put/sekolah secara umum.

Sebuah sekolah adalah organisasi yang kompleks dan unik, sehingga memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Oleh sebab itu kepala sekolah yang berhasil yaitu tercapainya tujuan sekolah serta tercapainya tujuan individu yang ada dalam lingkungan sekolah, kepala sekolah harus memahami dan menguasai peranan organisasi dan hubungan kerja sama antara individu.

Kepala Sekolah adalah pemimpin pendidikan yang mempunyai tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolahnya, untuk menghantarkan sekolah menjadi sekolah yang berkualitas memenuhi apa yang diinginkan oleh pelanggannya.

Untuk menciptakan hal ini, diperlukan sosok Kepala Sekolah yang berkualitas pula. la harus memiliki berbagai keterampilan yang diperlukan sebagai bekal, pola atau strategi dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya, termasuk pembinaan terhadap guru-gurunya agar tetap menjaga kelestarian lingkungan sekolah, memperbaiki yang kurang serta meningkatkan dan mengembangkan pendidikan ke arah yang lebih baik menuju pada tujuan institusional yang telah ditetapkan.

Sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengembangkan semangat kerja dan kerjasama yang harmonis, minat terhadap perkembangan dunia pendidikan, perkembangan kualitas profesional guru-guru yang dipimpinnya, serta kualitas siswa atau sekolah secara umum banyak ditentukan oleh kualitas pemimpin sekolah (Kepala Sekolah).

Guru juga dapat dikatakan sebagai tiang utama keberhasilan pendidikan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, kualitas guru sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pendidikan di Indonesia pada umumnya dan tujuan sekolah pada khusunya. Namun, untuk mendapatkan guru yang berkualitas/profesional untuk mencapai tujuan pendidikan khusunya di sekolah tidak terlepas dari ujung tombak lembaga pendidikan/sekolah tersebut, yaitu kepala sekolah dalam melakukan pembinaan terhadap para guru, yang nantinya juga akan bermuara pada anak didik/output yang berkualitas.

Maka dari itu, pembinaan oleh kepala sekolah sangat menentukan kualitas guru dalam pembelajaran. Oleh karena itu, kepala sekolah minimal harus mempunyai kemampuan memberikan bimbingan, mengarahkan, mengatur serta memotivasi guru agar mereka bisa berbuat sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan/sekolah.

Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui proses pembelajaran di sekolah. Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun dalam jabatan. Tidak semua guru yang mendidik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Potensi sumber daya guru perlu terus menerus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara profesional. Selain itu, pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan lmu pengetahuan dan tehnologi serta mobilitas masyarakat.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamatkan bahwa guru adalah pendidik profesional (guru harus memiliki kualitas dalam pembelajaran dan pengajaran). Dengan demikian, guru selain harus profesional juga harus memiliki kualifikasi akademik serta memiliki kecakapan hidup untuk mewujudkan tujuan lembaga pendidikan/sekolah khususya dan tujuan pendidikan nasional pada umumnya.

Menjadi guru adalah pilihan yang terbaik dalam posisi sosial seseorang. Guru memang pahlawan tanpa jasa; guru digugu dan ditiru. Posisi guru dimasa reformasi ini telah diberikan perhatian yang cukup, karena aspirasi guru secara tertulis diakomodasi dalam UU Guru dan Dosen.

Pengalaman yang selama ini bergulat dengan anak didik menjadi modal utamanya dalam mengimplementasikan semangat Standar Isi ini. Di tengah persyaratan formal sebagai standar minimal seperti stratifikasi guru dalam bentuk sebuah ijazah sesuatu yang perlu dipenuhi. Tetapi, selembar ijazah belum cukup menjamin keberhasilan dalam membawa misi Standar Isi PAI. Sikap keingintahuan terhadap segala hal, melakukan langkah-langkah yang kreatif serta tidak kenal menyerah dan putus asa menghadapi kendala di lapangan sangat diperlukan. Guru harus berusaha menjadi guru ideal, disamping menjadi contoh moralitas yang baik, diharapkan para guru memiliki wawasan keilmuan yang luas sehinga materi PAI dapat ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan yang lain, selain itu memahami psikologi anak didik juga tidak kalah pentingnya.

Guru yang bekualitas adalah guru yang mampu membuat perangkat pembelajaran (Prota, Prosem, Silabus, Rencana Pembelajaran (RPP)), mengelola pembeajaran, mampu mengembangkan dirinya sendiri atau mengikuti perkembangan dunia pendidikan agar tidak ketinggalan informasi/zaman serta mengauasai materi ajar sesuai dengan bidang yang digelutinya. Dalam artian seorang guru harus mempunyai kompetensi pedagogig, profesional, kepribadian dan sosial. Dengan kompetensi yang demikian seorang guru akan mudah dalam menyampaikan materi ajar khususnya materi Pendidikan Agama Islam dan siswa akan mudah menyerap materi yang diperolehnya.

Secara tegas Wahab menuliskan kelemahan kualitas pendidikan Islam yang salah satunya lebih disebabkan rendahnya kemampuan profesional guru. Menurutnya dengan sebagian besar guru yang lulusan KPGA, PGA, dan IAIN, serta kualitas pendidikan agamanya yang juga tidak membanggakan, menjadikan pendidikan Islam dalam posisi dilematis.

Kekurang-mutuan pendidik ini pada akhirnya berdampak pada banyak hal salah satunya terwujud dengan model belajar yang cenderung tradisional. Dalam proses pendidikan tradisional, pendidik selalu menganggap siswa sebagai objek yang tidak memiliki potensi apapun (impotensi akademik). Hal ini menyebabkan anak tidak terbiasa menghadapi permasalahan yang muncul secara kritis. Pada tahapan selanjutnya akan dipastikan terjadinya kegagalan akademik pasca proses pendidikan.

Belajar PAI di sekolah bagi anak didik bukan saja belajar tentang yang boleh dan tidak boleh, tetapi mereka belajar adanya pilihan nilai yang sesuai dengan perkembangan anak didik. Guru dalam mentransfer nilai tidak hanya diberikan dalam bentuk ceramah, tetapi juga terkadang dalam bentuk membaca puisi, bernyanyi, mendongeng dan bentuk lainnya, sehingga suasana belajar tidak monoton dan terasa menyenangkan. Guru, tidak cukup menyampaikan istilah-istilah Arab kepada anak didik, atau memiliki kemampuan bahasa Arab, tetapi juga diperlukan kemampuannya dalam bahasa Inggris, sehingga kesan guru sebagai kaum yang dimarginalisasi dan hanya bisa menyampaikan ini halal dan ini haram berkurang. Kemudian Guru PAI diharapkan mengikuti perkembangan metode pembelajaran mutakhir untuk menggunakan media teknologi informasi dalam pembelajarannya. Melalui alat teknologi ini, pembelajaran yang efektif dan efisien dapat dicapai. Dengan demikian, Standar Isi yang komprehensif dan implementatif belumlah cukup, tetapi juga memerlukan guru-guru yang memiliki kompetensi dan profesionalitas.

Peningkatan kualitas guru sekarang ini menjadi suatu keharusan. Untuk itu, guru-guru yang memang belum memenuhi persyaratan secara akademik, seperti diamanatkan Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) seharusnya menyesuaikan diri dengan segala kesadaran. Peningkatan dan sertifikasi memang sesuatu keharusan tak bisa dihindari lagi. Demikian ditegaskan Dr Buchory MS MPd, Rektor Universitas PGRI Yogyakarta (UPY) 

Pelaksanaan pendidikan Agama Islam di sekolah melalui pembelajaran di kelas dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran setiap minggunya tidaklah cukup untuk membekali siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya lain yang dilakukan secara terus menerus dan tersistem. Sehingga pengamalan nilai-nilai pendidikan agama menjadi budaya dalam komunitas sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian tujuan pendidikan agama Islam seperti yang diamanahkan oleh pemerintah dapat dicapai dengan baik. Kualitas guru yang dibutuhkan pada era sekarang ini ialah seorang guru yang mampu dan siap berperan dalam lingkungan besar yaitu sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan yang mempunyai peranan penting dalam mengembangkan lembaga pendidikan/sekolah yaitu sebagai pemegang kendali.

Dari uraian dapat dikemukakan bahwa proses pegelolaan pendidikan di sekolah akan berjalan lancar apabila guru memiliki kualitas yang baik, lebih-lebih guru agama (PAI) yang merupakan tonggak penanaman moral dan agama anak didik sebagai bekal kehidupan dan juga tinggi rendahnya kualitas seorang guru dipengaruhi oleh pembinaan kepala sekolah terhadap para guru.

Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) X yang bervisi "Membentuk siswa yang unggul dalam prestasi berpedoman pada keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa" dan salah satu misinya adalah "Menciptakan kedisiplinan dan ketertiban siswa". Kini SMPN X terus memacu SDM pendidiknya/guru untuk selalu ditingkatkan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Peningkatan etos kerja personel sekolah dalam upaya peningkatan prestasi siswa dan peningkatan kualitas guru/profesionalisme guru dan karyawan hingga mengembangkan daya kreatifitas dan innovasi siswa dalam mengantisipasi pembaharuan pendidikan, kini merupakan kiat-kiat yang mendasari SMPN X dalam memajukan sekolahnya. Tidak itu saja memberdayakan sumber daya sekolah dan mewujudkan kondisi sekolah yang agamis dalam membentuk budi pekerti yang luhur itu semua sudah tertanam pada segenap warga sekolah untuk dilaksanakan sebagai kewajiban dan tanggung jawab.

Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang ada di SMPN X terdiri dari tiga orang guru. Dengan jumlah guru secara keseluruhan mencapai 97 guru. Dari sini sudah jelas bagaimana seorang kepala sekolah harus bisa meningkatkan kualitas/profesionalitas guru agama untuk mengimbangi dari pada tujuan sekolah yaitu membentuk siswa yang unggul dalam prestasi berpedoman pada keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME. Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, yaitu membentuk siswa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa. Namun hal tersebut akan sulit terwujud bila tidak adanya bantuan dari kepala sekolah.

Menurut kepala sekolah kualitas guru di SMPN X bisa dikatakana kurang, karena kebanyakan guru agama Islam kurang bisa membuat perangkat pembelajaran dengan baik dan kurang memanfaatkan penggunaan stategi dan metode pembelajaran yang sesuai dengan materi yang di ajarkan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Dari sini kepala sekolah harus berusaha untuk meningkatkan kualitas guru agama Islam agar bisa mengimbangi guru-guru yang lain.

Melihat peran seorang kepala sekolah yang begitu urgen dalam sebuah lembaga pendidikan, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai kebenaran yang ada dilapangan bagaimanakah peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMPN X?

B. RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana peran kepala sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) X
- Bagaimana kualitas guru PAI di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) X
- Bagaimana peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas guru PAI di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) X

C. BATASAN MASALAH
1. Peran kepala sekolah yang begitu banyak diantaranya adalah kepala sekolah berperan sebagai leader, manajer, motivator, supervisor, administrator, innovator dan educator. Namun untuk memudahkan peneliti dan pembaca memahami peran yang begitu banyak, peneliti membatasi peran kepala sekolah sebagai supervisor, sebagaimana yang peneliti lakukan di SMP Negeri X.
2. Kualitas, kualitas guru PAI dalam penelitian ini pada kualitas dalam administrasi pembelajaran. Misalnya adalah membuat perangkat pembelajaran (RPP, Prota, Promes, dan Silabus).

D. DEFINISI OPERASIONAL
1. Peran kepala sekolah
Yang dimaksud peran kepala sekolah disini adalah segala kegiatan yang dilakukan sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawab serta fungsi seorang pemimpin sebuah lembaga pendidikan/sekolah (kepala sekolah).
2. Kualitas
Kualitas/mutu merupakan derajat atau tingkat keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa, adapun kualitas disini ialah hubungannya dengan masalah-masalah pendidikan yang dititik beratkan pada perbaikan pembelajaran guru PAI.
3. Guru PAI
Guru diartikan sebagai pendidik yang pekerjaan utamanya adalah mengajar sedangkan menurut Nawawi, guru diartikan sebagai orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggug jawab membantu anak-anak mecapai kedewasaannya masing-masing. Jadi yang dimaksud guru PAI disini ialah guru yang mengajar/mentransfer Pendidikan Agama Islam pada sebuah lembaga pendidikan untuk membantu siswa mencapai kedewasaaannya, terutama dalam Pendidikan Agama Islam.
4. Kualitas guru PAI
Seorang guru yang mempunyai kualitas dalam pembelajaran khususnya dalam bidang pengajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
5. Peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas guru PAI
Yang dimaksud disini adalah bagaimana seorang kepala sekolah mampu meningkatkan kualitas dan mengembangkan sebuah lembaga pendidikan/sekolah yang dipimpinnya. Namun dalam skripsi ini, penulis lebih menitikberatkan pada usaha kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas para guru melalui supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah terutama terhadap guru Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk mencapai tujuan sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai Supervisor.

E. ALASAN MEMILIH JUDUL
- Dunia pendidikan selalu berkembang dan berubah. Maka untuk mengimbanginya diperlukan peningkatan kualitas para guru untuk mencapai out put yang berkualitas pula.
- Kepala sekolah yang mepunyai peran yang sangat besar dalam memajukan sebuah lebaga pendidikan/sekolah. Karena maju mundurnya sebuah lembaga pendidikan ada pada tonggak sekolah tersebut yaitu kepala sekolah.
- Keberhasilan dalam proses belajar mengajar adalah bagian dari tujuan pendidikan. Maka untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan guru yang berkualitas agar dapat mengantarkan siswa menjadi anak bangsa yang berkualitas, yang nantinya dapat berguna bagi agama dan bangsa.

F. TUJUAN PENELITIAN
- Untuk mengetahui gambaran peran kepala sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) X
- Untuk mengetahui gambaran kualaitas guru PAI di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) X
- Untuk mengetahui gambaran peran kepala sekolah terhadap peningkatan kualitas guru PAI di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) X

G. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi peneliti
Memberikan pengetahuan dan pengalaman mengenai peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas guru, khususnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sebuah lembaga pendidikan
2. Bagi kepala sekolah
Menjadi masukan untuk selalu melakukan pembinaan terhadap guru serta mencari inovasi-inovasi untuk perkembangan, kemajuan dan kualitas sekolah agar tercapai tujuan sekolah secara khusus dan tujuan pendidikan secara umum.
3. Bagi para guru
Dapat dijadikan evaluasi untuk selalu berusaha mengembangkan diri sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta untuk mencapai kualitas/profesionalitas dalam pembelajaran.

H. METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan. Karena penelitian menggunakan metode kualitatif, yang secara definisi merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati. Untuk menyelesaikan penelitian ini digunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Data dan Sumber Data
a. Data
Dalam penelitian ini digunakan dua macam data yaitu data primer dan data sekunder. Dibawah ini akan dijelaskan kedua macam data tersebut.
1) Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertama yaitu kepala sekolah dan elemen yang terkait.
Dalam hal ini sumber pertama atau data primer dari penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru PAI.
2) Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti-peneliti dari bahan kepustakaan sebagai penunjang dari data pertama. Data ini berupa dokumen sekolah, atau referensi yang terkait dengan penelitian.
b. Sumber Data
Data dalam penelitian ini dapat diperoleh dari:
1) Person yaitu sumber data yang dapat memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara yaitu kepala sekolah dan guru PAI.
2) Place atau tempat adalah sumber data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam dan bergerak dan keadaan keduanya obyek untuk penggunaan metode observasi.
3) Data tertulis adalah sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar, atau simbol-simbol lain. Ini digunakan pada metode dokumentasi.
2. Teknik Pengumpulan Data
Yang dimaksud dengan teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian. Skripsi ini ditulis berdasarkan studi lapangan dan studi perpustakaan. Metode ini digunakan dengan menarik kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta khusus menuju kesimpulan yang bersifat umum.
a. Interview/Wawancara.
Interview/Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Interview dapat dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematik dan berlandaskan pada tujuan penyelidikan. Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif lebih menekankan pada jenis tehnik wawancara, khususnya wawancara mendalam (deep interview). Rulam Ahmadi mengutip dari Guba dan Lincoln menyatakan bahwa tehnik ini memang merupakan tehnik pengumpulan data yang khas bagi penelitian kualitatif. Jadi secara tidak langsung penelitian ini menggunakan tehnik pengumpulan data dengan metode wawancara mendalam.
Namun metode wawancara mendalam terbagi menjadi tiga macam yaitu wawancara terstruktur, wawancara tidak terstruktur dan wawancara terbuka terstandar. Setelah melihat dari pengertian ketiganya kemudian menimbangnya, peneliti menggunakan wawancara secara terstruktur. Wawancara terstruktur adalah model pilihan jika pewawancara mengetahui apa yang tidak diketahuinya dan oleh karenanya dapat membuat kerangka pertanyaan yang tepat untuk memperolehnya. Dalam wawancara terstruktur pertanyaan ada di tangan pewawancara dan respon terletak pada responden.
Dalam wawancara ini yang menjadi sasaran wawancara adalah kepala sekolah dan guru Pendidikan Agama Islam. Dalam wawancara dengan kepala sekolah pertanyaan-pertanyaan lebih difokuskan pada peran kepala sekolah dalam upaya meningkatkan kualitas sekolah baik output/anak didik, guru dan seluruh lingkungan sekolah. Namun dalam hal ini lebih ditekankan pada bagaimana usaha dan peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas guru PAI yang pada endingnya juga akan meningkatkan kualitas output/anak didik ataupun kualitas sekolah.
Sedangkan wawancara kepada para guru lebih difokuskan pada bagaimana kualitas guru PAI di SMPN X dan peran serta usaha yang dilakukan kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas guru.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah setiap bahan tertulis atau film, yang tidak dipersiapkan karena ada permintaan seorang penyidik. Dokumen itu dapat berupa arsip-arsip, atau rekaman yang berhubungan dengan penelitian ini. Metode ini digunakan untuk menjawab pertanyaan apa, kapan, bagaimana dan dimana.
c. Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis mengenai gejala-gejala yang terjadi untuk kemudian dilakukan pencatatan. Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat atau mengamati perubahan fenomena dan gejala sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan penilaian. Bagi observer bertugas melihat obyek dan kepekaan mengungkap dan membaca permasalahan moment-moment tertentu dengan dapat memisahkan antara yang diperlukan dan yang tidak diperlukan.
Karena metode observasi ini terdiri dari dua macam yaitu observasi partisipan dan non partisipan. Maka dengan berbagai pertimbangan, kami dalam penelitian ini menggunakan metode observasi non partisipasi seorang pengamat bisa melakukan pengumpulan data tanpa harus melibatkan diri langsung kedalam sistuasi dimana peristiwa itu berlangsung. Sedangkan yang menjadi objek obeservasi dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru dan lingkungan sekolah. Dan yang menajadi sasaran observasi adalah adalah peran kepala seolah, guru dan situasi sekolah dalam rangka untuk mendapatkan kelengkapan penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah upaya mengorganisasikan dan mengurutkan data secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen bahwa analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Data yang terdapat dalam penelitian ini berupa data kualitatif yang dihasilkan melalui wawancara, dokumentasi dan observasi. Selanjutnya data-data tersebut dinyatakan dalam bentuk narasi deskriptif untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh subyek.
Tujuan dari analisis ini adalah untuk menggambarkan kejadian, yang faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang terjadi selama penelitian yang dilakukan di SMPN X secara sistematis.
Penerapan teknis analisis deskriptif dilakukan melalui tiga tahapan yaitu:
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya.
Reduksi adalah salah satu bentuk analisis yang menajamkan dan menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sedemikian sehingga kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan di verifikasi.
b. Kategorisasi
Menyusun kategori. Kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap satuan kedalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan. Dan setiap kategori diberi nama atau label.
c. Sintesisasi
Tahapan selanjutnya dalam analisis data adalah sintesisasi berarti mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori yang lain. Dan kaitan tersebut juga diberi label.

I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Untuk mempermudah pemahaman dalam penyusunan skripsi, maka sistematika yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
- BAB I
Dalam bab awal ini disajikan gambaran umum pola pikir seluruh isi dalam sekripsi, antara lain: Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Definisi operasional, Alasan memilih judul, Tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Metode penelitian, dan Sistematika pembahasan.
- BAB II
Pada Bab yang kedua berisi landasan teori mengenai masalah dalam penelitian, yaitu peran kepala sekolah dan kualitas guru Pendidikan Agama Islam (PAI).
- BAB III
Pada Bab yang ketiga berisi penyajian seluruh hasil penelitian mengenai peran kepala sekolah sebagai upaya peningkatan kualitas guru PAI di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) X.
- BAB IV
Pada Bab yang terakhir ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran dan kritik yang membangun untuk kebaikan skripsi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:35:00

PENGARUH STRATEGI CRITICAL INCIDENT TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN FIQIH

SKRIPSI PENGARUH STRATEGI CRITICAL INCIDENT (PENGALAMAN PENTING) TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN FIQIH DI MTS X

A. Latar Belakang Masalah
Dengan bergulirnya otonomi pendidikan poin yang mendominasi pendidikan adalah "relevansi" pendidikan, yaitu perlunya penyesuaian dan materi program pendidikan agar secara lentur bergerak sejalan dengan tuntutan dunia kerja serta tuntutan masyarakat yang berubah secara terus-menerus, hal ini bertujuan untuk menghadapi tantangan globalisasi yang menuntut kualifikasi tertentu serta petumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, setiap jenis-jenis dan jenjang-jenjang pendidikan perlu terus diorientasikan pada upaya tidak hanya menguasai kemampuan akademik dan keterampilan saja, tetapi juga kompetensi dalam bidang keterampilan genetik, yang meliputi manajemen diri, keterampilan komunikasi, manajemen orang lain dan tugas, serta kemampuan memobilisasi inovasi dan perubahan.

Dalam kehidupan di suatu Negara, pendidikan mempunyai peranan penting untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia, hal itu tercantum dalam Undang-Undang pendidikan RI No.20 tahun 2003 Bab II pasal 3 yang berbunyi :

"Pendidikan nasional berfungsi menggambarkan kemampuan dan pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab".

Tidak hanya pendidikan secara nasional tetapi pendidikan Islam juga sangat berperan dalam mengembangkan potensi manusia, dan dewasa ini pendidikan Islam secara kuantitatif bisa dikatakan maju, hal ini bisa dilihat dari menjamurnya lembaga pendidikan Islam, mulai dari sekolah kanak kanak hingga perguruan tinggi Islam, baik yang dikelola swasta maupun yang dikelola pemerintah. Kendati demikian secara kualitas pendidikan Islam masih harus terus berbenah mencari format yang tepat untuk dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Pendidikan agama (Islam) memang merupakan salah satu komponen wajib dari isi kurikulum setiap jenjang pendidikan sebagai mana yang telah diisyaratkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989. Dengan demikian, pendidikkan Islam diakui secara jelas. Akan tetapi persoalan yang muncul adalah apakah pendidikan Islam mampu menempatkan diri pada posisi yan tepat serta bagaimana strategi yang efektif dan efisien untuk diterapkan sehingga mampu mewujudkkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam konteks ini, sumberdaya yang diharapkan adalah sumberdaya yang mampu membangun diri sendiri dan bangsa.

Membangun masyarakat menjadi SDM yang berkualitas memang bukan suatu pekerjaan yang mudah. Karena itu, faktor pendidikan merupakan tiang pancang dalam hal ini. Bahwa pendidikan adalah salah satu aspek sosial budaya yang berperan sangat strategis dalam pembinaan sebuah keluarga, masyarakat dan bangsa. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah mesti dilaksanakan secara sadar, sistematis, terarah dan terpadu.

Sebagai bentuk pendidikan yang berbasiskan agama, pendidikan Islam jelas memiliki mata rantai tranmisi spiritual yang lebih nyata dalam proses pengajarannya dibandingkan pendidikan umum. Karena itulah, pendidikan Islam menanggung beban yang cukup berat, sebab harus memadukan unsur profane dan imanen. Dengan pemaduan ini diharapkan tujuan pendidikan Islam bisa terwujud, Yakni melahirkan manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan.

Sebagai mana yang di katakan bahwa pendidikan adalah factor yang yang penting untuk mengembangkan SDM, maka sangat jelas bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar mereka, secara detail seperti apa yang telah tercantum dalam undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1, bahwa "Pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dalam hal ini tentu saja diperlukan adanya pendidik yang profesional terutama guru disekolah dasar, menengah, dan dosen diperguruan tinggi.

Pendidikan begitu pentingnya dalam kehidupan manusia, maka diatur sedemikian rupa agar dapat membantu kehidupan manusia, semua hal dan komponen yang berhubungan dengan pendidikan selalu diperhatikan dan dipertimbangkan agar tercipta pendidikan yang bermutu mulai dari peserta didik, pendidik, apa yang diajarkan sampai pada masalah sarana prasarana diatur sedemikian rupa agar tidak ada cela dan cacat yang dapat membuat pendidikan terganggu yang akhirnya tidak sesuai dengan harapan awalnya.

Dalam sebuah pendidikan, banyak sekali hal hal yang sangat mempengarui berhasil tidaknya suatu pendidikan itu, antara lain adalah proses belajar mengajar, padahal selama ini salah satu yang dihadapi oleh pendidikan kita adalah lemahnya proses pembelajaran, selama ini Sebagian besar pendekatan pendidikan di sekolah-sekolah berpusat pada guru yang berarti semua mengarah pada guru. Jika kita tinjau lebih jauh pada pendekatan tersebut siswa lebih banyak mendengar, menghafal bahan-bahan yang diberikan oleh gurunya dan mengulanginya pada waktu ujian. Hal ini akan mengakibatkan siswa menjadi pasif. Proses belajar ini terkadang kurang memperhatikan perbedaan-perbedaan individu siswanya. Karena guruhanya menuntut agar siswanya menerima semua materi yang disampaikan dan berhasil dalam ujian tanpa memperhatikan sisi lain kebutuhan siswa. Untuk mengaktualisasikan diri mengembangkan semua potensi yang dimiliki, mengembangkan daya nalar dalam mengembangkan pengetahuan yang diterima.

Hasil dominan guru adalah siswa cenderung kurang semangat belajar atau kurang motivasi belajar. Karena siswa akan belajar mengikuti instruksi dan menyelesaikan sendiri sesuai dengan perintah-perintah guru. Bahkan siswa cenderung menghafal pelajaran dengan baik untuk mendapatkan nilai yang diharapkan.

Pada abad 20, teacher centered method tidak mampu lagi mendorong motivasi siswa kepada tujuan-tujuan utama pendidikan yaitu :
"Kesanggupan berpikir secara kritis dan positif, perkembangan disiplin diri, bekerja sama dengan orang lain secara efektif, bertanggung jawab diri sendiri dan orang lain".
Hasil dari dominasi guru atau teacher centered method yang sudah disebutkan. Dan semua itu sangat berlawanan dengan tujuan utama pendidikan diatas, yang terpenting dalam proses belajar mengajar adalah terciptanya suasana belajar yang baik, tidak didominasi yang berlebihan dari pihak guru maupun siswanya.

Selain pendekatan strategi dan strategi pembelajaran merupakan prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan dan mengarahkan perkembangan peserta didik dalam proses pembelajaran memegang peranan penting dalam menciptakan mutu pendidikan dan hasil belajar yang maksimal. Para ahli teori teori belajar telah mencoba mengembangkan berbagai cara pendekatan system pengajaran atau proses belajar mengajar, berbagai system pengajaran yang menarik akhir-akhir ini diantaranya adalah strategi pembelajaran aktif. Pembelajaran aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak peserta didik belajar secara aktif, ketika peserta didik belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi aktifitas pembelajaran dan mereka secara aktif menggunakan otak baik untuk menemukan ide pokok dari materi pelajaran, Memecahkan persoalan, atau mengaplikasikan apa-apa yang baru mereka pelajari kedalam suatu persoalan yang ada dalam kehidupan nyata. Dengan belajar aktif ini, peserta didik diajak untuk turut serta dalam semua proses pembelajaran, tidak hanya mental akan tetapi juga melibatkan fisik, dengan cara ini biasnya peserta didik akan meraskan suasana yang lebih menyenangkan sehingga hasil belajar bisa dimaksimalkan.

Dan untuk menyikapi fenomena yang ada, para praktisi pendidikan dan khususnya para pemerintah telah berusaha untuk menghidupkan kembali aktifitas pendidikan melalui cara-cara pendidikan yang betul-betul mencerdaskan dan dapat dinikmati anak, dan dalam hal ini strategi pembelajaran aktif sangat diperlukan dalam oleh peserta didik untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal.

Hisyam Zaini dalam bukunya strategi pembelajaran aktif menyebutkan empat puluh empat model strategi pembelajaran aktif yang dapat digunakan oleh pendidik, dan salah satu strategi yang mengaktifkan siswa mulai dalam proses belajar mengajar adalah strategi critical incident (pengalaman penting) yaitu strategi untuk mengaktifkan siswa sejak dimulainya pembelajaran yang mana siswa harus mengingat dan mendiskripsikan pengalaman masa lalunya yang sesuai dengan topic materi yang disampaikan. Dengan strategi ini peserta didik terlibat langsung secara aktif dan dapat membantu siswa dalam berkonsentrasi, mengajukan pendapat, bertanya dan menjawab pertanyaan, serta menggugah diskusi.

Strategi critical incident (Pengalaman Penting) adalah strategi untuk mengaktifkan siswa sejak dimulainya pembelajaran yaitu strategi yang mana siswa harus mengingat dan mendiskripsikan pengalaman masa lalunya yang sesuai dengan topik materi yang disampaikan.

Dengan adanya strategi tersebut dalam pendidikan agama Islam, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "PENGARUH STRATEGI CRITICAL INCIDENT (PENGALAMAN PENTING) TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN FIQIH DI MTs. X".

B. Rumusan Masalah dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengajukan rumusan masalah yang ingin di jawab dalam penelitian ini, sebagai berikut : :
1. Bagaimana kemampuan gurudalam mengelola pembelajaran fiqih dengan menggunakan strategi critical incident (pengalaman penting) di MTs. X ?
2. Bagaimana aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran fiqih dengan menggunakan strategi critical incident (pengalaman penting) di MTs. X?
3. Bagaimana hasil belajar siswa sebelum dan sesudah strategi critical incident (pengalaman penting) diterapkan pada mata pelajaran fiqih di MTs. X?
4. Adakah pengaruh strategi critical incident (pengalaman penting) terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih di MTs. X?
2. Batasan Masalah
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka studi ini dibatasi pada masalah bagaimman pengaruh strategi critical incident (pengalaman penting) terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih materi sujud syukur dan sujud tilawah di MTs. X.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah pangkal dari sebuah usaha, Oleh karena itu perlu disebutkan lebih jelas. Tujuan yang akan dicapai penulis dalam pembahasan ini secara umum adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran fiqih dengan menggunakan strategi critical incident (pengalaman penting) di MTs. X.
2. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran fiqih dengan menggunakan strategi critical incident (pengalaman penting) pada mata pelajaran fiqih di MTs. X?
3. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan hasil belajar siswa sebelum dan sesudah strategi critical incident (pengalaman penting) diterapkan pada mata pelajaran fiqih di MTs. X.
4. Untuk mengetahui apakah penerapan strategi critical incident (pengalaman penting) berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih di MTs X.

D. Kegunaan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi :
1. Akademik Ilmiah
a. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai karya ilmiyah dalam upaya mengembangkan kompetensi penulis serta untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi program sarjana strata satu (S1).
b. Penelitian ini diharapkan dapat memperbanyak khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pendidikan.
2. Sosial Praktis.
a. Sebagai bahan masukan dalam rangka kualitas pembelajaran pendidikan agama Islam, khususnya pada mata pelajaran fiqih di MTs X.
b. Penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran bagi para praktisi yang berkecimpung di dunia pendidikan.
c. Bagi sekolah dan instansi-instansi pendidikan pada umumnya merupakan kontribusi tersendiri, atau minimal dijadikan referensi tambahan guna mendukung trecapainya proses evaluasi yang lebih baik yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

E. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam penafsiran judul penelitian ini, maka diberikan definisi operasionalnya sebagai berikut :
1. Pengaruh
Yang dimaksud dengan pengaruh adalah suatu daya yang ada atau yang timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak atau perbuatan seseorang. Dalam hal ini penulis ingin mengetahui adanya pengaruh atau akibat yang di timbulkan oleh penerapan strategi critical incident (pengalaman penting) terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih di MTs X
2. Strategi Critical Incident (Pengalaman Penting)
Strategi adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan guna mencapai apa yang telah ditentukan. Dengan kata lain strategi adalah suatu cara yang sistematif untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan critical incident (Pengalaman Penting) adalah strategi untuk mengaktifkan siswa sejak dimulainya pembelajaran yaitu strategi yang mana siswa harus mengingat dan mendiskripsikan pengalaman masa lalunya yang sesuai dengan topik materi yang disampaikan. Jadi, strategi critical incident (Pengalaman Penting) adalah cara untuk mengaktifkan siswa sejak dimulainya pembelajaran yaitu strategi yang mana siswa harus mengingat dan mendiskripsikan pengalaman masa lalunya yang sesuai dengan topik materi yang disampaikan.
3. Hasil Belajar
Hasil adalah suatu hal yang telah dicapai, sedangkan belajar adalah adalah menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan. Jadi hasil belajar yang dimaksud yaitu suatu hasil yang telah dicapai setelah mengevaluasi proses belajar mengajar atau setelah siswa mengalami interaksi dengan lingkungannya guna memperoleh ilmu pengetahuan dan akan menimbulkan perubahan tingkah laku yang relative manetap dan tahan lama.
4. Siswa
Siswa adalah subjek yang terkait dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.
5. Mata Pelajaran Fiqih
Mata pelajaran fiqih adalah satuan pelajaran yang merupakan salah satu unsur dari materi Pendidikan Agama Islam yang ada di Madrasah Tsanawiyah.

F. Sistematika Pembahasan
Untuk dapat memberikan gambaran awal dari susunan skripsi ini, perlu penulis ketengahkan sistematika pembahasan yang menunjukkan susunan bab demi bab, sehingga dapat dilihat rangkaian skripsi yang sistematis dalam pembahasan pokok uraian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I : adalah pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, definisi operasional, dan sistematika pembahasan.
BAB II : adalah landasan teori yang terdiri dari tinjauan tentang : Pertama, studi tentang strategi critical incident (Pengalaman Penting) yang meliputi : Pengertian strategi critical incident (Pengalaman Penting), latar belakang strategi critical incident (Pengalaman Penting), pengertian strategi critical incident (Pengalaman Penting), tujuan strategi critical incident (Pengalaman Penting), langkah-langkah atau prosedur strategi critical incident (Pengalaman Penting), Kelebihan dan kekurangan strategi critical incident (pengalaman penting), Kedua, studi tentang hasil belajar yaitu meliputi : pengertian hasil belajar, arti penting belajar, jenis-jenis belajar, indikator hasil belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Ketiga, studi tentang materi fiqih yaitu meliputi : pengertian mata pelajaran fiqih, tujuan pembelajaran fiqh di Madrasah Tsanawiyah, ruang lingkup mata pelajaran fiqih. keempat, studi tentang pengaruh strategi critical incident (pengalaman penting) terhadap hasil belajar siswa. kelima, studi tentang hipotesis penelitian.
BAB III : adalah metode Penelitian yang didalamnya berisi tentang : Jenis Penelitian, Variabel Penelitian, Populasi dan Sampel, Rancangan Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Instrumen Pengumpulan data, dan Tekhnik Analisa Data.
BAB IV : adalah laporan hasil penelitian. Pada bab ini penulis sajikan tentang gambaran kondisi obyektif penelitian yang meliputi : sejarah berdirinya dan letak geografis sekolah, visi dan misi sekolah, struktur organisasi, keadaan guru, keadaan siswa, keadaan sarana dan prasarana dan kurikulum. Kemudian yang penulis sajikan yaitu analisis data yang meliputi : kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, aktifitas siswa, dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih, serta analisis data hasil tes yang dianalisis dengan menggunakan uji statistic parametric yaitu dengan menggunakan uji hipotesis data berpasangan (sample paired t-test).
BAB V : adalah tentang diskusi dan pembahasan hasil penelitian, pada bab ini penulis akan membahas dan mendiskusikan tentang kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran fiqih dengan menggunakan strategi critical incident (pengalaman penting) di MTs. X, aktifitas siswa selama mengikutii pembelajaran fiqih dengan menggunakan strategi critical incident (pengalaman penting) pada mata pelajaran fiqih di MTs. X, hasil belajar siswa sebelum dan sesudah diterapkan strategi critical incident (pengalaman penting) pada mata pelajaran fiqh di MTs. X, serta diskusi tentang pengaruh strategi critical incident (pengalaman penting) terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqh di MTs. X.
BAB VI : adalah penutup. Pada bab ini memberikan gambaran secara jelas tentang kesimpulan dari seluruh pembahasan skripsi ini dan sekaligus memberikan saran-saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:32:00

SEFEKTIFITAS MODEL PEMBELAJARAN APTITUDE TREATMENT INTERACTION (ATI) DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA

SKRIPSI EFEKTIFITAS MODEL PEMBELAJARAN APTITUDE TREATMENT INTERACTION (ATI) DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SMPN X

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Sehingga di Indonesia, pendidikan diatur dalam Undang-Undang tersendiri mengenai sistem pendidikan Nasional yang berbunyi : "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan dalam kehidupan bangsa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Masalah pokok pendidikan di Indonesia saat ini masih berkisar pada soal pemerataan kesempatan, relevansi, kualitas efisiensi dan efektifitas pendidikan sesuai dengan masalah pokok tersebut serta memperhatikan isu dan tantangan masa kini dan kecenderungan di masa depan, maka dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk mengatasi persoalan dan menghadapi tantangan itu, perlu diciptakan pendidikan yang unggul yaitu pendidikan yang dapat mengembangkan potensi dan kapasitas siswa secara optimal. Berkenaan dengan hal itu, pemerintah telah menetapkan tiga strategi pokok pembangunan pada sektor pendidikan, yaitu : (1) pemerataan kesempatan pendidikan, (2) peningkatan relevansi dan kualitas pendidikan, dan (3) peningkatan kualitas manajemen pendidikan.

Salah satu indikasi peningkatan kualitas pendidikan dapat dilihat dari adanya peningkatan potensi akademik atau hasil belajar siswa secara keseluruhan yang meliputi tiga aspek, yaitu : kognitif, berupa pengembangan pendidikan termasuk didalamnya fungsi ingatan dan kecerdasan, Afektif, berupa pembentukan sikap termasuk didalamnya fungsi perasaan dan sikap, psikomotorik, berupa keterampilan termasuk didalamnya fungsi kehendak, kemauan, dan tingkah laku. Maka dalam rangka upaya meningkatkan prestasi belajar siswa dan tercapainya tujuan pendidikan nasional, ketiga aspek tersebut harus diperhatikan sehingga proses belajar mengajar tidak hanya menekankan pada pemahaman siswa tetapi juga menerapkan atau mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, karena pada dasarnya pendidikan bukanlah sekedar proses transformasi pengetahuan.

Dewasa ini berdasarkan pengamatan Arief Rahman, MPd, salah seorang pengamat dunia pendidikan yang juga menjabat sebagai Executive National Commision untuk lembaga PBB UNESCO menyatakan bahwa masih dirasakan bahwa model atau pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru-guru di sekolah lebih didasarkan pada kebutuhan formal dari pada kebutuhan riil siswa.

Akibatnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru-guru tersebut terkesan lebih merupakan pekerjaan administratif, dan belum berperan dalam mengembangkan potensi siswa secara optimal. Kondisi pembelajaran seperti ini agaknya tidak dapat dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa tugas yang diemban guru sebagai kurikulum dan pengajaran sangatlah kompleks dan sulit, karena ia berhadapan dengan dua hal yang berada diluar kontrolnya, yaitu pedoman pelaksanaan kurikulum, dimana sistem kurikulum Indonesia masih belum bisa menyesuaikan dengan apa yang mau dihasilkan dari sistem pendidikan itu sendiri yaitu as a workforce dan pengajaran yang sudah ditentukan terlebih dahulu dari atas, dan siswa yang membawa beragam kemampuan, entry behaviour dan karakteristik lainya ke dalam situasi pembelajaran.

Brenda Watson dalam bukunya "Education and Belief" menyebutkan beberapa kesalahan pengajaran agama di sekolah. Pertama, sering terjadi bahwa guru mengubah proses pendidikan (education-process) menjadi proses indoktrinasi (indoctrination process). Kedua, sering terjadi kesalahan dalam memberikan pelajaran agama yang lebih menekankan pada pelajaran yang bersifat normatif-informatif dan sedikit menekankan pada religious education. Ketiga, ini berkaitan dengan sesuatu yang cukup rumit untuk dielakkan, yaitu biasanya seorang guru susah untuk melepaskan ideologi atau komitmen agama yang dianutnya ketika mengajarkan pendidikan agama.

Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kualitas kinerja guru, terutama dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini dibenarkan oleh Nana Syaodih Sukmadinata yang menyatakan bahwa "Masalah tinggal kelas dan putus sekolah dapat dipandang sebagai salah satu kegagalan sekolah khsususnya guru dalam menciptakan proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa mengusai pelajaran secara optimal".

Di sisi lain, model pembelajaran yang diimplementasikan di sekolah-sekolah saat ini pada umumnya masih bersifat konvensional. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti, mahasiswa S2 jurusan Teknologi Pendidikan yang meneliti tentang "Perbedaan Prestasi Belajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran Induktif dan Model Pembelajaran Konvensional Siswa SMP Negeri Bandar Lampung" menyatakan, bahwa model pembelajaran konvensional belum mampu menjadikan semua siswa di kelas bisa menguasai kompetensi minimal yang telah ditetapkan, terutama siswa yang berkemampuan rendah. Di samping itu, siswa yang memiliki kemampuan belajar tinggi, juga belum memperoleh layanan pembelajaran yang optimal dalam pembelajaran konvensional. Bermunculannya sekolah-sekolah unggul di beberapa kota besar, merupakan sebuah bukti yang menunjukkan bahwa model pembelajaran yang diterapkan saat ini belum memberikan perhatian yang cukup besar terhadap siswa yang memiliki kemampuan rendah (lambat) dan juga siswa yang berkemampuan tinggi (cepat).

Menurut beberapa pakar pendidikan model pembelajaran dikembangkan dewasa ini kelihatan masih belum peduli dan bahkan belum mampu mengapresiasi serta mengakomodasi perbedaan-perbedaan individual siswa, berarti di dalam melaksanakan proses belajar mengajar guru memberikan layanan pembelajaran yang sama untuk semua siswa, baik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang ataupun rendah. Dengan perlakuan demikian, siswa yang berbeda kecepatan belajarnya belum mendapatkan layanan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Siswa yang lambat tetap saja tertinggal dari kelompok sedang. Sementara siswa yang cepat belum mendapatkan layanan yang optimal dalam pembelajaran. Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas cenderung belum bisa mendorong mereka maju dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Salah satu prinsip atau asas mengajar menekankan pentingya "Individualitas ", yaitu menyesuaikan pembelajaran dengan perbedaan individual siswa.

Di sisi lain, hasil penelitian Dwi Nugroho Hidayanto menemukan "Fenomena rendahnya mutu pembelajaran disebabkan oleh sikap spekulatif dan intuitif guru dalam memilih metode dan strategi pembelajaran...". Karena itu ia menyatakan bahwa "peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan memperbaiki kualitas pembelajaran, dan peningkatan kualitas pembelajaran dapat ditempuh dengan meningkatkan pengetahuan tentang merancang metode-metode pembelajaran yang lebih efektif, efisien, dan memiliki daya tarik". Hal ini menunjukkan, bahwa usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan bukanlah permasalahan yang sederhana, tapi merupakan permasalahan yang kompleks dan saling berkaitan dengan kualitas pembelajaran serta mutu guru.

Fenomena yang digambarkan diatas, baik yang menyangkut rendahnya kualitas prestasi akademik atau hasil belajar siswa maupun layanan pembelajaran yang belum dapat mengapresiasi dan mengakomodasi perbedaan individual (aptitude) siswa merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi oleh guru. Maka dari permasalahan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang sejauhmana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.

B. Identifikasi Variabel dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Variabel
Dalam penelitian, harus ada dua variabel :
a. Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang keberadaannya tidak terikat dengan variabel yang lain. Variabel ini juga disebut variabel bebas dan diberi simbol X. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel X adalah model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI).
b. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang keberadaannya terikat dengan variabel yang lain. Variabel ini diberi simbol Y. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel Y adalah prestasi belajar siswa.
2. Rumusan Masalah
Bertolak dari pemikiran di atas, maka permasalahan yang akan diungkapkan dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana implementasi model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMPN X?
b. Bagaimana prestasi belajar siswa setelah mengikuti model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMPN X?
c. Sejauh mana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X ?

C. Definisi Operasional
Agar diperoleh gambaran yang jelas tentang judul tersebut, dan untuk menghindari salah pengertian dalam memahami judul skripsi tersebut, maka penulis akan memberi pengertian yang jelas atas beberapa istilah yang terkandung dalam judul tersebut, antara lain :
1. Efektifitas adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh sebab atau perbuatan; akibat; dampak. Dalam skripsi ini yang dimaksud efektifitas adalah pengaruh model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X.
2. Model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) adalah suatu konsep atau pendekatan yang memiliki sejumlah strategi pembelajaran (treatment) yang efektif digunakan untuk individu tertentu sesuai dengan kemampuan masing-masing.
3. Prestasi belajar siswa adalah penguasaan dan perubahan tingkah laku setelah dilaksanakannya proses pembelajaran yang diwujudkan dalam bentuk nilai atau angka. Dalam hal ini hasil belajar siswa dilihat dari hasil nilai post test (tes akhir) yang dilakukan setelah proses pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI).
Dari rangkaian istilah yang ada pada judul di atas dapatlah dimengerti maksud penulis adalah sejauh mana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X.

D. Alasan Pemilihan Judul
Tingkat keberhasilan pelaksanaan suatu proses belajar mengajar dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya perbedaan kemampuan (aptitude) siswa, proses pembelajaran dan prestasi belajar siswa sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang memiliki kemampuan tinggi dan ada yang berkemampuan rendah atau pun sedang. Oleh karena itu, untuk mengakomodasi dan mengapresiasi perbedaan individual siswa dalam pembelajaran dalam rangka mengoptimalkan prestasi belajar dibutuhkan cara atau pendekatan yang dapat diterapkan untuk menyesuaikan pembelajaran dengan perbedaan kemampuan siswa, yaitu melalui pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI).
Maka penulis berinisiatif untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan (efektifitas) model pembelajaran ATI dalam meningkatkan prestasi belajar siswa serta kemudian merumuskan judul permasalahan itu sebagai berikut :
"Efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X".

E. Tujuan dan Signifikansi penelitian
1. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis dalam penelitian ini bertujuan :
a. Untuk mengetahui bagaimana implementasi model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMPN X.
b. Untuk mengetahui bagaimana prestasi belajar siswa setelah mengikuti model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMPN X.
c. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X.
2. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna sebagai :
a. Menemukan pemikiran tentang implementasi model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) sekaligus untuk memperkaya wawasan dalam bidang penggunaan model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI).
b. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi sekolah dalam menentukan langkah meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan sebagai bahan masukan bagi guru terutama guru Pendidikan Agama Islam SMPN X.
c. Sebagai bahan masukan pengetahuan khususnya dalam meningkatkan kualitas Pendidikan Agama Islam yang ideal melalui pendekatan pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI).

F. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Menurut Suharsimi, ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian :
1. Hipotesis Kerja atau yang disebut dengan hipotesis alternatif, disingkat Ha. Hipotesis ini menyatakan adanya hubungan antara variabel x dan variabel y atau adanya perbedaan antar kelompok.
2. Hipotesis Nol, disingkat Ho. Hipotesis ini menyatakan tidak adanya perbedaan antara dua variabel atau tidak adanya pengaruh variabel x terhadap variabel y.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
a. Hipotesis Kerja (Ha) yang berbunyi;
Model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X.
b. Hipotesis nol (Ho) yang berbunyi :
Model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) tidak efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X.

G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian dengan menggunakan pendekatan eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat.
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimen atau eksperimen murni dan sering kali disebut dengan istilah true experiment. Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan untuk meneliti kemungkinan adanya hubungan sebab akibat diantara variabel-variabel dengan cara menghadapkan kelompok eksperimen pada beberapa macam kondisi perlakuan dan membandingkan akibat (hasilnya) dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai perlakuan.
2. Lokasi Penelitian
SMPN X sebagai lokasi penelitiannya dengan alasan yakni letaknya sangat strategis terutama bagi siswa yang berada di perumahan maupun siswa yang berkendaraan bagi siswa yang rumahnya jauh. SMPN X berdiri di atas lahan seluas ± 5435 m.
3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Untuk memperoleh data yang valid maka diperlukan adanya populasi terhadap obyek yang diteliti, sebab tanpa adanya populasi penelitian akan mengalami kesulitan dalam mengolah data.
Menurut Sugiono, populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan Riduwan, mengatakan bahwa populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang menjadi obyek penelitian. Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
Populasi merupakan obyek atau subyek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Penelitian ini dilakukan di SMPN X, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas VII SMPN X yang berjumlah 273 siswa terdiri dari 7 kelas paralel.
b. Sampel
Suharsimi Arikunto, mengatakan bahwa sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. Sugiyono, memberikan pengertian sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. "Untuk sekedar ancer-ancer, maka apabila subyeknya kurang dari 100,lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10%-15%, atau 20%-25% atau lebih".
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel merupakan bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti.
Adapun dalam penelitian ini penulis melakukan teknik pengambilan sampel dengan cara sampel acak (random sampling), merupakan teknik pengambilan sampel dengan cara "mencampur" subyek-subyek dalam populasi sehingga semua subyek dalam populasi dianggap sama. Dengan demikian setiap subyek memperoleh kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas VII SMPN X yang berjumlah 273 siswa yang terdiri dari 7 kelas paralel. Sedangkan sampel dalam penelitian ini dipilih 2 kelas dari 7 kelas yang ada, 1 kelas sebagai kelas eksperimen dan 1 kelas sebagai kelas kontrol. Adapun data penelitian ini penulis menggunakan cara undian, yaitu dengan cara membuat daftar seluruh kelas VII. Mulai dari kelas VII A, VII B, VII C, VII D, VII E, VII F, DAN VII G. Setelah itu membuat lembar kertas kecil-kecil kemudian digulung baik-baik. Setelah itu gulungan kertas tersebut dimasukkan ke dalam kaleng atau kotak, lalu dikocok. Dengan tanpa prasangka diambil dua gulungan. Dari kedua kelas tersebut, yang terpilih sebagai kelas eksperimen adalah kelas VII E sebanyak 36 siswa yang mendapat pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI). Sedangkan kelas kontrol adalah kelas VII C sebanyak 35 siswa yang tidak mendapatkan pembelajaran ATI.

H. Sistematika Pembahasan
Bab I : Membahas tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, definisi operasional, alasan pemilihan judul, tujuan dan signifikansi penelitian, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II : Membahas tentang kajian teori yang berisi hakikat pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) yang meliputi definisi pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI), pengelompokan kelas berdasarkan kemampuan, dan macam-macam perlakuan terhadap perbedaan tingkat kemampuan siswa. Tinjauan prestasi belajar yang meliputi pengertian prestasi belajar, jenis-jenis prestasi belajar, fungsi utama prestasi belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar.
Bab III : Membahas tentang laporan hasil penelitian yang berisi gambaran umum obyek penelitian, yang meliputi sejarah berdirinya SMPN X, letak geografis SMPN X, struktur organisasi SMPN X, keadaan guru dan karyawan. Analisis deskriptif hasil penelitian, yang meliputi analisis data pengelompokan kelas berdasarkan kemampuan, analisis data macam-macam perlakuan terhadap perbedaan tingkat kemampuan siswa, dan analisis data prestasi belajar siswa. Analisis data statistika yang meliputi (Uji normalitas, uji homogenitas dua variansi dan uji-T).
Bab IV : Membahas penutup yang meliputi kesimpulan, kritik dan saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:29:00

THE COOPERATIVE LEARNING THREE-STEP INTERVIEW TOWARDS STUDENTS SPEAKING ABILITY

SKRIPSI THE COOPERATIVE LEARNING THREE-STEP INTERVIEW TOWARDS STUDENTS SPEAKING ABILITY

1. Background
English language teaching, for more than six decades of research and practice, has identified the four skills—listening, speaking, reading, and writing—as the most important parameter in the textbooks or curriculum development. The textbook or curricula used tends to focus on one or two of the four skills (Brown, 2001). The teaching process above is used in the English language teaching from elementary to the high school curriculum development.

In fact, many senior high school students still cannot explain certain procedure fluently in English when they are asked to do or make something. So, the teacher should be smart to choose an approach or technique of teaching that is suitable with the condition and the needs of the students. As a result, the goal of teaching and learning can be achieved. Therefore, this issue has become a dilemma for most English curriculum developers in finding the best approach to teach English in order to enable the students' competence to communicate in English both spoken and written successfully (Burkart, 1998).

Cooperative learning is a teaching strategy in which small teams, each with students of different levels of ability, use a variety of learning activities to improve their understanding of a subject. Each member of a team is responsible not only for learning what is taught but also for helping teammates learn, thus creating an atmosphere of achievement. Students work through the assignment until all group members successfully understand and complete it (Kagan, 1994).

A three-step interview is defined as a cooperative learning technique which enables and motivates members of the group to acquire certain concept deeply by students' role. It is an adaptable process in the classroom. The aim of this technique is to gather students in a conversation for analysis purpose and new information synthesis (Kagan, 1994).

Regarding to the explanation above, there should be a technique which is effective to improve student's mastery of English language, especially speaking ability. Due to what most English teachers of senior high school deliver the materials which is dominated by grammar focus, students cannot speak fluently because lack of practice and use of spoken English itself. In line with it, this study is expected to prove whether a cooperative learning : three-step interview is effective to improve students' speaking ability.

2. Reasons for Choosing the Topic
The researcher chose this topic to examine the effectiveness of the cooperative learning : three-step interview in improving students' achievement especially on active speaking ability. So far as the researcher knew that there had not been a study about this issue. This study would be undertaken through experimental study.

To measure the effectiveness of Three-Step Interview in this research, the writer would use speaking test as the research instrument. Florezz & Cunningham (1999) state that speaking is one the important skills in language learning. Inside the classroom, it is used twice as often as listening and the most often used skill (Brown, 2001).

In line with it, Dawson (1975) states that speaking is truly basic skill in language learning. Oral language or speaking is truly basic in the preschool. Furthermore, speaking is basic because in the everyday affairs of life, it is used more frequently than written communication. Moreover, speaking is fundamental aspect of spoken language that similar to those of written communication. However, people speak first instead of both reading and writing.

On the other hand, three-step interview is still rarely used in the English teaching process. It can be an alternative strategy instead of classical teaching model. This technique would be tried to be applied to the students of senior high school and whether it was effective or not to improve their ability on active speaking.

3. Statement of the Problem
In relation with the importance of speaking in learning new language and also because of speaking can be one of the factors that determine someone success in learning the language, so this study was intended to find out the cooperative learning : three-step interview towards student's speaking ability. The research questions will be directed to :
1. Is the cooperative learning : three-step interview effective to improve senior high school students' speaking ability?
2. To what extent the cooperative learning : three-step interview is effective in teaching speaking?

4. Scope of the Study
The main concern in this study was regarding how the cooperative learning : three-step interview could be carried out and used to the students of senior high school. The three-step interview itself was used for the treatment in the experimental group.
In testing speaking, there would be four aspects that were going to be tested : pronunciation, vocabulary, fluency, and procedural generic structure (grammar) which covered present tense, imperative sentence, cause and effect, and sequencing. The tests would be conducted to the both experimental and control groups.
Furthermore, it would be very interesting to go along this process of English teaching-learning technique. Any aspects or cases could be possibly investigated during this study, but this study was designed to cover the three-step interview applied in SMAN X only. Specifically, it investigated whether the three-step interview technique effective or not in improving student's speaking ability.

5. Aims of the Study
Particularly, the study has some aims as follows.
1. To find out the use of cooperative learning : three-step Interview towards student's speaking ability.
2. To explore the extent of the cooperative learning : three-step interview in teaching speaking

6. Significance of the Study
The study is expected to :
1. Contribute to the English as Foreign Language (EFL) teaching model of the institution and the practice of foreign language teaching.
2. Develop student's and teacher's creativity in comprehending speaking skill.

7. Hypothesis
The most common hypothesis that is used in experimental study is null hypothesis (Hatch & Farhady, 1982 : 85-86), which states that there is no difference between the sample and the population after receiving a special treatment. Therefore, this study put forward the null hypothesis as follows. "There is no difference between students' speaking ability in control and experimental groups after being given a Three-Step Interview."

8. Organization of the Paper
The paper is organized into five chapters as follows :
Chapter I : Introduction
This section contains introduction, which discusses background, reasons for choosing the topic, statement of the problem, scope of the study, aims of the study, significance of the study, hypothesis, organization of the paper, and clarification of the terms.
Chapter II : Theoretical Foundation
It contains theoretical foundation, which serve as the basis for investigating the research problems. The theoretical foundation covers the description of The cooperative learning : three-step interview towards Student's Speaking Ability.
Chapter III : Research Methodology
In this section, the researcher discusses the method and procedure of the study.
Chapter IV : Findings and Discussions
This chapter reports the findings and discussions of the study.
Chapter V : Conclusions and Suggestions
This chapter reports the conclusions and suggestions of the study.

9. Clarification of the Terms
The researcher will review several terms related to the study. The terms are :
1. Cooperative Learning is a learning model where students work in small group consists of six members collaboratively and the structure of group is heterogeneous (Slavin, 1995).
2. Three-Step Interview is a learning model in which consists of four members of students signed A, B, C, and D. Each member chooses another member to be a partner. During the first step individuals interview their partners by asking clarifying questions. During the second step partners reverse the roles. For the final step, members share their partner's response with the team (Kagan, 1994).
3. Speaking ability is a productive skill in oral mode (C.J. Orwig, 1991 : 1). It can also be defined as student's competence in producing oral mode.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:59:00

A DESCRIPTIVE STUDY ON CLASSROOM INTERACTION OF ENGLISH TEACHING-LEARNING PROCESS IN THE LARGE CLASSES OF THE FIRST YEAR STUDENTS IN SMA X

SKRIPSI A DESCRIPTIVE STUDY ON CLASSROOM INTERACTION OF ENGLISH TEACHING-LEARNING PROCESS IN THE LARGE CLASSES OF THE FIRST YEAR STUDENTS IN SMA X

A. Background of the Study
Language teaching is a complex activity, and that this complexity derives primarily from the diversity of perceptions and the goals of the various participants who play a role in the teaching learning process (Tudor, 2001 : 43). Indeed, if all participants have the same perceptions about the nature and the goal of language teaching, teaching would be much clearer and easier to be undertaken than it generally is. By so doing, there would be no gap between the teacher and students. Thus, language teaching can be understood in term of interactions of different rationalities of the teacher and students rather than enactment of a single rationality.

Classroom, as stated by Gaies in Amy B.M. Tsui's book in tittled "Introducing Classroom Interaction", is called as 'crucible' in which elements interact. These elements are the teacher and the students (1995 : 5). Then Allwright and Bailey (1996 : 18) also aids that students also bring with them to the classroom their whole experience of learning and of life, along with their own reasons for being there, and their own particular needs that they hope to see satisfied. The teacher brings experience of life and learning, and of teaching too.

In the classroom, the place where the teaching-learning process is undertaken, there are a variety of different potential perspectives of the nature and the goals of language teaching meet and interact. Hence, it can be an important factor to reach the goal of the instruction (Tudor, 2001 : 47). Besides, Val Lier also stated that there are greater attentions in educational teaching that language learners should have effective involvement to practice their communicative skill because language is a means of communication and self-expression. That is a medium by which members of a speech community express concepts, perceptions, expectations, and values which have significance to them as members of a speech community. In other word, classroom can be a place where students can express their personal problems and concerns. Within this perception, the classroom is conceptualized to create a condition where students can improve their ability in learning English that is for using the English for the real communication. And even, classroom itself is a part of the real world of students as individuals and social actors. Then, communication is not just something that happens "out there" but also process which occurs in the social environment, which we call the classroom (p. 115).
In adition, William Littlewood (1981 : 93) also states that :

"The development of communicative skills can only take place if learners have motivation and opportunity to express their own identity and to relate with the people around them. It therefore, requires a learning atmosphere which gives them a sense of security and valves as individuals. In turn, this atmosphere depends to a large extent on the existence of interpersonal relation slips which do not create inhibition, but are supportive and accepting"

With these visions of the classroom, there should be an effective interaction between teacher and students, and among students themselves in improving their knowledge and skills for the use at some stage in the future. Coleman (1996 : 88) also states that language teaching needs improvement of using English as the target language. Therefore, the successful realization of the language for communication depends on the genuine students' involvement in the relevant teaching learning activity.

For achieving the visions as the writer states above, good atmosphere of teaching-learning process is very required, especially in the English classroom where the dynamic interaction of teacher and students in the class is implemented, where the network of shared meaningfulness, which binds together in the mind of teacher and students emerges (Tudor, 2001 : 45).

In the large class, however, where the number of students and a range of factors such as the rapport of the classroom's participants, physical condition and seating become a problem, to get dynamic conditions of teaching-learning process is far from the ideal. Therefore, it is a big challenge to organize the classroom in order to create an effective language classroom interaction for the teaching-learning process.

Wagner (p.234), then also says "I should get every learner to talk much more, but that is impossible with 30 learners in my class". Therefore, for creating an interactive learning process between teacher and her/his students, innovations in teaching English are very much needed.

In such classes too, it will be unrealistic to expect more than a blackboard and a supply of chalk. The rows of heavy desk would be a constraint on group work, and coping with the noise, persuading the class to use English, managing the introduction and setting up of activities, making limited resources go a long way, and monitoring the work of individual within the class will also be management problems (David Cross, 1995 : 5).

Hence, the writer tends to know whether there is a dynamic process of teaching and learning in the classroom or not. Thus, as a place of communication, language classroom should become a place which would allow all students to practice the communicative skills that they would need to use in the real interactive situations outside the classroom. Besides, the real students' involvement in the relevant learning activities / the assumptions that students should be more active and participatory is the parameter of successful realization of an experiential approach to language learning. Therefore, it becomes a big attention to the writer (Tudor, 2001 : 113).

To the classroom, students will come with certain expectations as to what a good classroom should be, and of the role the teacher plays within it. They also expect the teacher to have something solid to offer them the terms of professional knowledge and experience of language learning options (p. 110). Here, the teacher does play an important role. A good teacher therefore, is one who can breathe life into methodological procedures in pursuit of the learning objectives set out in the curriculum. Whereas the student role is defined as the nature of students' participation in the classroom : their participation is therefore channeled through the assumptions about the nature of language and of language learning found in the methodological being used (p. 106). In addition, the relationship between the teacher and the students also becomes the light for the writer to conduct the research.

In order to know more about classroom interaction of English teaching-learning process in the large classes, a descriptive method is suitable to be conducted because it looks deep at the relationship between teacher and students in the form of classroom interaction, that is when the teacher asks question, give explanation, feedback, error treatment and when the students listen to the teacher's instruction and explanations, when they express their views, answer questions and carry out the tasks and activities, etc. Besides that, it is also aimed to know the opportunities of the students' involvement for practicing their knowledge and skills in the teaching-learning process, the role of the teacher and the students in the classroom, and also to know the effectiveness of English teaching-learning process. In addition, its qualitative, interpretive nature helps the writer to realize this complexity in perspective. In short, a descriptive research is very important to help the writer understand the view of those problems and find route through it.

From the description above, the writer is interested in carrying out the study on "A Descriptive Study on Classroom Interaction of English Teaching-Learning Process in the Large Classes of The First Year Students in SMAN X"

B. Identification of The Problem
Having given the background of the study, the writer would like to identify the problems as follows :
1. How is the form of classroom interaction in the large classes?
2. How are the teacher talk and the students talk in the large classes?
3. How are the opportunities of the students in the front zone and in the back zone of large classes?
4. How is the atmosphere of English teaching-learning process in the large classes?
5. Does the teacher encourage the students to engage in the English teaching learning process?
6. Are the students actively involved in the English teaching-learning process?
7. How is the rapport between the teacher and the students in the classroom interaction in large classes?
8. How are the teacher and the student role in the classroom interaction of large classes?

C. Limitation of The Problem
The study has a broad scope and it is impossible for the writer to handle all of the problems. Therefore, the writer limits the study as follows :
1. The form of Classroom Interaction in large classes of the first students in SMAN X.
2. The opportunity of the students in the front zone and in the back zone of large classes of the first students in SMAN X.
3. The rapport between teacher and students in the classroom interaction in large classes of the first students in SMAN X.
4. The teacher and students role in the classroom interaction of large classes of the first students in SMAN X.

D. Problem statement
Based on the problem limitation above, the problem statement in "a Descriptive Study on The Classroom Interaction of English Teaching Learning Process in Large Classes of The First Year Students SMAN X" is as follows :
1. How is the form of Classroom Interaction in large classes of the first students in SMAN X?
2. How are the opportunities of the students in the front zone and in the back zone of large classes of the first students in SMAN X?
3. How is the rapport between teacher and students in the classroom interaction in large classes of the first students in SMAN X?
4. How are the teacher and students role in the classroom interaction of large classes of the first students in SMAN X?

E. The Purpose of The Study
The research is conducted to describe the classroom interaction of English teaching-learning process in large classes of the first year students in SMAN X. The implication in this research includes the form of classroom interaction, the students' opportunity in teaching-learning process, the rapport between teacher and students, and also the student and teacher role in the process of teaching-learning process. Furthermore, it is also aimed to know more about the effectiveness of English teaching-learning process in the large classes, that is by describing the weakness and the strength of the classroom activities.

F. The Benefit of The Study
From this study, it is expected that the results of the research can give contribution to the improvement of the effective English teaching-learning process in general.
For the English teacher, especially the teacher of SMAN X, the results of this research can be used as a reflection about all his/her duties that have been done as long. As everybody knows, the daily hard work of the teacher often becomes an obstacle to make a reflection to what they have been taught in the class. By so doing, the teacher would become more responsible to improve their teaching skills in term of being more creative, innovative, and skillful in conducting the classroom. Moreover, it is also hoped that the teacher would be able to create a very convenient classroom to study. Within these efforts, they would be escaped from the "daily mechanics" activities.
Besides, for the writer, some benefits, which can be reached from this research is that it may give many new valuable experiences in English teaching-learning process for the preparation of the future ideal. In addition, it can give deep understanding about the nature of English teaching-learning process in the large classes like what have been conducted in Indonesia as long.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:58:00