Cari Kategori

Showing posts with label KURIKULUM 2013 BERDASARKAN PERMENDIKBUD TAHUN 2014. Show all posts
Showing posts with label KURIKULUM 2013 BERDASARKAN PERMENDIKBUD TAHUN 2014. Show all posts

MODEL BELAJAR BERBASIS PROYEK (PROJECT BASED LEARNING)

Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning = PjBL) adalah metoda pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.

Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya.

MODEL BELAJAR BERBASIS PROYEK (PROJECT BASED LEARNING)
Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBL merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.

Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran Berbasis Proyek memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.

Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dikatakan sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan Berbasis Produksi” yang dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai institusi yang berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usaha dan industri harus dapat membekali peserta didiknya dengan “kompetensi terstandar” yang dibutuhkan untuk bekerja dibidang masing-masing. Dengan pembelajaran “berbasis produksi” peserta didik di SMK diperkenalkan dengan suasana dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja. Dengan demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran berbasis proyek.

Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki karakteristik sebagai berikut:

a.   peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja;
b.   adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik;
c.   peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang diajukan;
d.   peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan;
e.   proses evaluasi dijalankan secara kontinyu;
f.    peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan;
g.   produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif; dan
h.   situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan.

Peran instruktur atau guru dalam Pembelajaran Berbasis Proyek sebaiknya sebagai fasilitator, pelatih, penasehat dan perantara untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya imajinasi, kreasi dan inovasi dari siswa.

Beberapa hambatan dalam implementasi metode Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain berikut ini :

a.   Pembelajaran Berbasis Proyek memerlukan banyak waktu yang harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek.
b.   Banyak orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk memasuki system baru.
c.   Banyak instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional ,dimana instruktur memegang peran utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi instruktur yang kurang atau tidak menguasai teknologi.
d.   Banyaknya peralatan yang harus disediakan, sehingga kebutuhan listrik bertambah.


Untuk itu disarankan menggunakan team teachingdalam proses pembelajaran, dan akan lebih menarik lagi jika suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang kelas, seperti: traditional class (teori), discussion group(pembuatan konsep dan pembagian tugas kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Buatlah suasana belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya belajar tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 01:58:00

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF (COOPERATIVE LEARNING)

Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif antara lain:

a.   Untuk menuntaskan materi belajar, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif
b.   Kelompok dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan heterogen
c.   Jika dalam kelas terdiri dari beberapa ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar tiap kelompok berbaur
d.   Penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF (COOPERATIVE LEARNING)
Tujuan :

a.   Hasil Belajar Akademik ; Meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik
b.   Penerimaan terhadap keragaman ; Siswa dapat menerima teman-temannya yang beraneka latar belakang..
c.   Pengembangan ketrampilan sosial.

Sintaks kegiatan pembelajaran kooperatif

Fase
Indikator
Kegiatan Guru
1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa belajar
2
Menyajikan informasi
Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok dan membantru kelompok agar melakukan transisi secara efisien
4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Membimbing kelompok-kelompok belajat pa da saat mereka mengerjakan tugas
5
Evaluasi
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasekan hasil kerjanya
6
Memberikan penghargaan
Mecari cara untuk mengharga upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 02:11:00

Karakteristik Pembelajaran Tematik Pada Kurikulum 2013 Sekolah Dasar

Pembelajaran tematik merupakan salah satu model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna bagi peserta didik. Pembelajaran terpadu didefinisikan sebagai pembelajaran yang menghubungkan berbagai gagasan, konsep, keterampilan, sikap, dan nilai, baik antar mata pelajaran maupun dalam satu mata pelajaran.Pembelajaran tematik memberi penekanan pada pemilihan suatu tema yang spesifik yang sesuai dengan materi pelajaran, untuk mengajar satu atau beberapa konsep yang memadukan berbagai informasi.

Pembelajaran tematik berdasar pada filsafat konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan yang dimiliki peserta didik merupakan hasil bentukan peserta didik sendiri. Peserta didik membentuk pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan, bukan hasil bentukan orang lain. Proses pembentukan pengetahuan tersebut berlangsung secara terus menerus sehingga pengetahuan yang dimiliki peserta didik menjadi semakin lengkap.

Karakteristik Pembelajaran Tematik Pada Kurikulum 2013 Sekolah Dasar

Pembelajaran tematik menekankan pada keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Teori pembelajaran ini dimotori para tokoh Psikologi Gestalt, termasuk Piaget yang menekankan bahwa pembelajaran haruslah bermakna dan berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan anak.

Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau merancang pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar peserta didik. Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga peserta didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan.

Selain itu, penerapan pembelajaran tematik di sekolah dasar akan sangat membantu peserta didik dalam membentuk pengetahuannya, karena sesuai dengan tahap perkembangannya peserta didik yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik).

Pembelajaran tematik memiliki ciri khas, antara lain:

1.   Pengalaman dan kegiatan belajar relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar;
2.   Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik bertolak dari minat dan kebutuhan peserta didik;
3.   Kegiatan belajar dipilih yang bermakna dan berkesan bagi peserta didik sehingga hasil belajar dapat bertahan lebih lama;
4.   Memberi penekanan pada keterampilan berpikir peserta didik;
5.   Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui peserta didik dalam lingkungannya; dan
6.   Mengembangkan keterampilan sosial peserta didik, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain.

Tujuan dari pembelajaran tematik adalah;

1.   Menghilangkan atau mengurangi terjadinya tumpah tindih materi.
2.   Memudahkan peserta didik untuk melihat hubungan-hubungan yang bermakna.
3.   Memudahkan peserta didik untuk memahami materi/konsep secara utuh sehingga penguasaan konsep akan semakin baik dan meningkat.

Ruang lingkup pembelajaran tematik meliputi semua KD (Kompetensi Dasar) dari semua mata pelajaran kecuali agama. Mata pelajaran yang dimaksud adalah: Bahasa Indonesia, PPKn, Matematika, IPA, IPS, Penjasorkes dan Seni Budaya dan Prakarya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:24:00

PELAKSANAAN KURIKULUM 2013 PADA PENDIDIKAN DASAR DAN PENDIDIKAN MENENGAH

Berdasarkan Permendikbud Nomor 105 Tahun 2014 Tentang Pendampingan Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah bahwa Pendampingan Pelaksanaan Kurikulum 2013 yang selanjutnya disebut Pendampingan adalah proses pemberian bantuan penguatan pelaksanaan Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan.

Satuan pendidikan adalah Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/MI/SDLB), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/MTs/SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA/MA/SMALB), dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan/Sekolah Menengah Kejuruan Luar Biasa (SMK/MAK/SMKLB).


Pendampingan memiliki tujuan:

a.   memfasilitasi proses adopsi Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan;
b.   memfasilitasi pengayaan/kontekstualisasi sebagai bagian dari pengembangan Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan;
c.   memperkuat keterlaksanaan Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan; dan
d.   memperkuat pemahaman dan membangun kepercayaan diri dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis Kurikulum 2013.

Pendampingan memiliki sasaran:

a.   pengawas satuan pendidikan;
b.   kepala satuan pendidikan; dan
c.   pendidik.

Sasaran memperoleh substansi pendampingan sesuai dengan status dan peran masing-masing.

Pendampingan dilakukan berdasarkan prinsip sebagai berikut :

1.   Profesional: yaitu bahwa hubungan yang terjadi antara pemberi pendampingan dan penerima pendampingan adalah untuk peningkatan kemampuan profesional dan bukan atas dasar hubungan personal. dilakukan dengan kriteria dan prosedur keahlian.
2.   Kolegial: yaitu bahwa hubungan kesejawatan antara pemberi dan penerima pendampingan. Dengan prinsip ini pengawas satuan pendidikan, kepala satuan pendidikan, dan pendidik yang menjadi guru pendamping dengan pengawas satuan pendidikan, kepala satuan pendidikan, dan pendidik yang didampingi memiliki kedudukan setara. Kegiatan dilakukan dengan pendekatan dan iklim kesejawatan antara pendamping yang didampingi.
3.   Sikap saling percaya: yaitu bahwa pengawas satuan pendidikan, kepala satuan pendidikan, dan pendidik yang menerima pendampingan memiliki sikap percaya kepada pemberi pendampingan bahwa informasi, saran, dan contoh yang diberikan memang yang dikehendaki Kurikulum 2013. Kegiatan dilakukan dengan saling menghormati dan bertanggungjawab.
4.   Berkelanjutan: yaitu hubungan profesional yang terjadi antara pemberi dan penerima pendampingan berkelanjutan setelah pemberi pendampingan secara fisik sudah tidak lagi berada di lapangan, dilanjutkan melalui e-mail, sms, atau alat lain yang tersedia. Kegiatan dilakukan secara terencana, terus-menerus, dan semakin meningkat.

Pendampingan pelaksanaan Kurikulum 2013 berisi:

a.   penguatan substansi bahan ajar untuk setiap mata pelajaran dan/atau tema pembelajaran;
b.   penguatan sistem pembelajaran pada Kurikulum 2013;
c.   penguatan sistem penilaian hasil belajar oleh pendidik pada Kurikulum 2013 dan pengisian laporan hasil belajar peserta didik;
d.   pengembangan perangkat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; dan
e.   pengembangan model penelusuran minat peserta didik melalui bimbingan dan konseling.

Pengelolaan pendampingan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah bekerjasama dengan dinas pendidikan provinsi dan dinas pendidikan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

Pendampingan dilaksanakan secara berkesinambungan dengan model pendampingan di induk kluster/gugus dan model pendampingan di satuan pendidikan. Model Pendampingan berbasis kluster/gugus satuan pendidikan dilakukan oleh guru pendamping. Model pendampingan di satuan pendidikan dilakukan oleh guru pendamping yang ada di satuan pendidikan tersebut.

Guru pendamping dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 terdiri atas unsur: pengawas satuan pendidikan;
a.   kepala satuan pendidikan; dan
b.   pendidik.

Syarat sebagai pendamping dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 adalah:
a.   telah lulus pelatihan Kurikulum 2013 dengan prestasi sekurang-kurangnya dengan predikat memuaskan (M); dan
b.   telah lulus dalam bimbingan teknis guru pendamping.

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh masyarakat dapat menyediakan sumber daya pendidikan dalam pelaksanaan pendampingan pada satuan pendidikan.


Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:26:00

MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING (DISCOVERY LEARNING)

Discovery Learning adalah proses belajar yang di dalamnya tidak disajikan suatu konsep dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa dituntut untuk mengorganisasi sendiri cara belajarnya dalam menemukan konsep. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.

Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43).


Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discoverydilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).

Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem codingdirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).

Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi:

1.   Nama;
2.   Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif;
3.   Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak;
4.   Rentangan karakteristik;
5.   Kaidah (Budiningsih, 2005:43).

Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.

Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic.

Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconicdan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic(Syaodih, 85:2001).

Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learningguru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.

Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

Langkah-langkah model pembelajaran penemuan terbimbing (discovery learning) adalah sebagai berikut:

a.   Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya. Perumusaannya harus jelas dan hilangkan pernyataan yang multi tafsir
b.   Berdasarkan data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganlisis data tersebut. Dalam hal ini bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja bimbingan lebih mengarah kepada langkah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan.
c.   Siswa menyusun prakiraan dari hasil analisis yang dilakukannya
d.   Bila dipandang perlu, prakiraan yang telah dibuat siswa tersebut hendaknya diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
e.   Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran prakiraan tersebut, maka verbalisasi prakiraan sebaiknya disrahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya. Disamping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran prakiraan.
f.    Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 01:51:00

PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU KURIKULUM 2013 - PENGELOLAAN/PENATAAN KELAS UNTUK KEBERHASILAN DALAM

Keberhasilan pembelajaran tematik terpadu tergantung pula pada lingkungan kelas yang diciptakan yang dapat mendorong peserta didik untuk belajar dan menjadi tempat belajar yang nyaman, aman, dan menyenangkan. Penataan lingkungan kelas bisa berupa pengaturan peserta didik dan ruang kelas. Pengaturan tersebut mencakup pengaturan meja-kursi peserta didik, penataan sumber dan alat bantu belajar, dan penataan pajangan hasil karya peserta didik. Pengorganisasian atau pengaturan peserta didik dapat dilakukan dalam bentuk klasikal, kelompok dan individual.

Penataan lingkungan kelas perlu memperhatikan 4 hal berikut:

1)   Mobilitas, memudahkan peserta didik untuk bergerak dari satu pojok ke pojok lain,
2)   Aksesibilitas, memudahkan peserta didik mengakses sumber dan alat bantu belajar,
3)   Interaksi, memudahkan peserta didik untuk berinteraksi dengan sesama teman atau pendidiknya, dan
4)   Variasi kegiatan, memudahkan peserta didik melakukan berbagai kegiatan yang beragam, misal berdiskusi, melakukan percobaan, dan presentasi.

Ruang kelas juga dapat dilengkapi dengan Pusat belajar (learning centre). Pusat belajar ini dapat ditempatkan di pojok kelas. Pusat belajar ini dapat berisi beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan dan dapat diubah dari waktu ke waktu. Fungsi Pusat Belajar dapat menjadi tempat bagi anak yang sudah menyelesaikan kegiatan sehingga tidak mengganggu teman lainnya. Contoh pusat belajar yang dapat disesiakan misalnya pojok dengan rak yang diisi beberapa buku.


Pusat belajar ini suatu saat dapat diubah menjadi pojok matematika, yang dapat digunakan oleh peserta didik untuk melakukan berbagai kegiatan atau menggunakan sebagai media yang berhubungan dengan matematika. Kegiatan di tempat ini peserta didik dapat mengerjakan tugas atau bereksperimen dengan matematika. Sumber atau media belajar dapat diletakkan pada rak, meja, atau kotak-kotak yang diberi label sehingga mudah ditemukan saat dibutuhkan.

Karya anak juga dapat dipajangkan. Pajangan diganti secara rutin sesuai dengan tema yang sedang digunakan. Contoh pada waktu pelaksanaan tema “Tumbuhan”, kelas dapat dirancang dengan nuansa taman bunga dengan menghiasi berbagai macam bunga-bunga yang digantung di jendela atau di langit-langit kelas. pajangan disusun dengan memperhatikan estetika dan berada dalam jangkauan pandang/sentuh peserta didik sehingga dapat digunakan sebagai sumber belajar oleh peserta didik.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 01:30:00

MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING /CTL)

Pembelajaran Kontekstual mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat.

Melalui pemaduan materi yang dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.


Pembelajaran Kontekstual merupakan satu konsepsi pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan bahan subjek yang dipelajari dengan situasi dunia sebenarnya dan memotivasikan pembelajar untuk membuat kaitan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan harian mereka sebagai ahli keluarga, warga masyarakat, dan pekerja.

Pembelajaran Kontekstual adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Elaine B. Johnson, 2007:14).

Dalam Pembelajaran Kontekstual, ada delapan komponen yang harus ditempuh, yaitu:

1.   Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna,
2.   Melakukan pekerjaan yang berarti,
3.   Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri,
4.   Bekerja sama,
5.   Berpikir kritis dan kreatif,
6.   Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang,
7.   Mencapai standar yang tinggi, dan
8.   Menggunakan penilaian otentik (Elaine B. Johnson, 2007: 65-66).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Pembelajaran Kontekstual adalah mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya.

Pembelajaran Kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Pembelajaran Kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan meraka (Sanjaya, 2005:109).

Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami :

Pertama, Pembelajaran Kontekstual menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Kedua, Pembelajaran Kontekstual mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.

Ketiga, Pembelajaran Kontekstual mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya, Pembelajaran Kontekstual tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.

Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan Kontekstual:

a.   Dalam Pembelajaran Kontekstual pembelajaran merupa kan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya, apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
b.   Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya.
c.   Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) berarti pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan diyakini.
d.   Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). Artinya, pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
e.   Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.

Di sisi lain, Hernowo (2005:93) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan strategi pebelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning:

1.   Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata pelajaran tersebut.
2.   Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
3.   Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
4.   Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
5.   Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang diterimanya secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar alamiah yang cocok dengan dirinya. f. Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka mengekspresikannya dengan bebas. g. Bimbing mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga anak didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 01:41:00