(Kode KEBIDANN-0018) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Anemia Terhadap Motivasi Belajar Siswa Di SMP X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Untuk mewujudkan cita-cita pembangunan diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, dan pemulihan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Depkes RI, 2002).
Akan tetapi masih banyak masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, salah satunya adalah anemia. Anemia adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah sehingga mengakibatkan fungsi dari Hb untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berjalan dengan baik. Di Indonesia, kasus anemia umumnya terjadi karena kekurangan zat besi. Persoalan zat besi masih menjadi persoalan serius bagi Indonesia karena kekurangan zat besi memainkan andil besar terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Diperkirakan 20% sampai 80% anak di Indonesia menderita anemia gizi besi.
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga di Indonesia tahun 2001 prevalensi anemia pada remaja sekitar 26,5%. Jenis dan besaran masalah gizi di Indonesia tahun 2001-2003 menunjukkan 3,5 juta remaja dan WUS menderita anemia gizi besi (Sutaryo dalam Republika, 2006).
Dampak yang ditimbulkan anemia gizi besi ini, terutama pada anak sekolah antara lain adalah kesakitan dan kematian meningkat, pertumbuhan fisik, perkembangan otak, motorik, mental dan kecerdasan terhambat, daya tangkap belajar menurun, pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun serta interaksi sosial kurang. Bahkan anemia dapat menurunkan produktivitas kerja hingga 20%. Keadaan ini tentu memprihatinkan bila menimpa anak-anak Indonesia yang akan menjadi penerus pembangunan (Depkes RI, 2005).
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa di SMP X.
B. Rumusan Masalah
Seberapa besar pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa di SMP X?.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui seberapa besar prosentase motivasi belajar siswa kelas 1 yang mengalami anemia di SMP X.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai masukan bagi institusi sekolah agar dapat lebih memperhatikan siswanya yang menderita anemia.
b. Sebagai masukan bagi orang tua agar dapat lebih memperhatikan kesehatan anaknya.
Home » Archives for October 2009
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Anemia Terhadap Motivasi Belajar Siswa Di SMP X
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Harga Diri Dan Prestasi Belajar Pada Mahasiswa Semester III Akademi Kebidanan X
(Kode KEBIDANN-0016) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Harga Diri Dan Prestasi Belajar Pada Mahasiswa Semester III Akademi Kebidanan X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia merupakan modal utama pembangunan. Pembangunan yang berhasil membutuhkan manusia yang berkualitas, yang memungkinkan pembangunan dilaksanakan dengan baik dan bertanggung jawab menuju pada keberhasilan pembangunan.
Salah satu aspek kepribadian yang penting adalah harga diri. Harga diri yang tinggi akan mempengaruhi kepribadian seseorang, yaitu sikap optimis, kemampuan mengendalikan hal-hal yang terjadi akan dirinya, mempunyai pandangan yang positif, dan mempunyai penerimaan terhadap diri sendiri. Hal ini akan membuat seseorang mampu melanjutkan kehidupannya meskipun dia menghadapi kejadian-kejadian buruk dan masa lalunya yang buruk (Robinson & Shaver, 1990).
Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan mempunyai pikiranpikiran positif, dan orang yang mempunyai harga diri rendah biasanya mempunyai pikiran negatif tentang upaya dan masa depannya. Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan sedikit mengalami kecemasan, mau menerima banyak resiko dan mau meningkatkan usaha mereka untuk meraih sukses (Antony & Miles, 1996). Disamping itu seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan lebih termotivasi untuk menambah kemampuan mereka, sedangkan yang harga dirinya rendah akan termotivasi untuk melindungi diri mereka dari kegagalan dan kekecewaan (Baumuster & Huthon, 1994).
Masa remaja adalah masa persiapan dalam memasuki dunia kedewasaan. Pada masa ini seorang remaja akan mengalami perubahan fisik, sexual, psikologis maupun perubahan sosial. Hal ini terjadi pada umur 12-21 tahun. Perubahan itu kemudian menyebabkan remaja berusaha mencapai kematangan dan mencoba menggunakan kesempatan seluas-luasnya bagi pertumbuhan kepribadiannya sendiri (Hurlock, 2002).
Masa remaja menuntut pemenuhan kebutuhan harga diri, kasih sayang, dan rasa aman. Jika kebutuhan itu tidak terpenuhi akan menyebabkan gangguan kepribadian. Pemenuhan kebutuhan merupakan pembangunan seutuhnya, pembangunan lahir batin, dan yang paling penting adalah kebutuhan harga diri (Coopersmith, 1995).
Harga diri merupakan aspek kepribadian yang pada dasarnya dapat berkembang. Kurangnya harga diri pada remaja dapat mengakibatkan masalah akademik, olah raga, dan penampilan sosial. Selain itu dapat juga menimbulkan gangguan pada proses pikir dalam konsentrasi belajar, dan berinteraksi dengan orang lain, terutama yang masih mengikuti pendidikan sehingga berpengaruh terhadap proses dan prestasi belajar (Elliot & Littlefield, 2000).
Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk (Ngalim. P, 2004).
Proses belajar akan berhasil bila seseorang mampu memusatkan perhatian pada pelajaran, tetapi apabila pada dirinya terdapat masalah kejiwaan, seperti kecewa, malu, sedih, dan kurang percaya diri maka dengan sendirinya akan mempengaruhi prestasi belajar (Warsiki, 1993).
Prestasi belajar merupakan penampakan dari hasil belajar. Prestasi belajar dapat diukur dengan evaluasi belajar, antara lain tes sumatif yang dapat menentukan indeks prestasi (Winkel, 2005).
Mahasiswa semester III Akademi Kebidanan X tahun 2007 ada 63 mahasiswa. Hasil evaluasi mahasiswa semester III Indek Prestasi (IP) antara 3,51-4,00 (1,59%), indek prestasi antara 2,75-3,50 (36,51%), indek prestasi antara 2,00-2,74 (61,90%). Berdasarkan hasil yang didapat maka prestasi yang dicapai mahasiswa masih tergolong rendah. Adapun hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap beberapa dosen di Akademi Kebidanan X menyatakan bahwa sebagian besar keaktifan mahasiswa dalam proses belajar mengajar cukup baik, walaupun ada beberapa mahasiswa yang kurang dan tidak aktif.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti ”Apakah ada hubungan antara harga diri dengan prestasi belajar pada remaja mahasiswa semester III Akademi Kebidanan X?”.
B. Perumusan Masalah
Berdasar latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan:
Apakah ada hubungan antara harga diri dengan prestasi belajar pada remaja mahasiswa Akademi Kebidanan X?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan prestasi belajar pada remaja mahasiswa Semester III Akbid X.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Mengetahui bahwa harga diri yang baik akan diikuti dengan peningkatan prestasi belajar.
2. Praktis
a. Diharapkan penelitian ini dapat memberi masukan pada dunia pendidikan dan orang tua akan pentingnya harga diri terhadap pencapaian hasil belajar.
b. Memberi masukan pada remaja mengenai hubungan antara harga diri dengan prestasi belajar.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Pengetahuan Tentang Imunisasi Tetanus Toksoid Dengan Status Imunisasi Tetanus Toksoid Wanita Usia Subur Desa X
(Kode KEBIDANN-0017) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Pengetahuan Tentang Imunisasi Tetanus Toksoid Dengan Status Imunisasi Tetanus Toksoid Wanita Usia Subur Di Desa X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indikator dalam mengukur derajat kesehatan masyarakat diantaranya adalah Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi. Hal ini disebabkan karena ibu dan bayi merupakan kelompok yang mempunyai tingkat kerentanan yang besar terhadap penyakit dan kematian. Dalam rencana Strategi Nasional Making Pregnancy Safer, target dari dampak kesehatan untuk bayi baru lahir adalah menurunkan angka kematian neonatal dari 25 per 1000 kelahiran hidup (tahun 1997) menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup. Hasil SKRT 2001 (Survei Kesehatan Rumah Tangga) di Indonesia kematian neonatal kelompok umur 8-28 hari tertinggi adalah infeksi sebesar 57,1% (termasuk tetanus, sepsis, pneumonia, diare), proporsi kematian karena tetanus neonatorum yaitu 9,5% (Depkes RI, 2003).
Berdasarkan hasil laporan bulanan kesehatan ibu dan anak (LB3–KIA) di kabupaten X, selama tahun XXXX jumlah kasus kematian maupun kesakitan akibat tetanus neonatorum yaitu 5 kasus, sedangkan pada periode Januari hingga Desember XXXX ada 1 kasus. Dilihat dari hasil laporan Imunisasi periode Januari sampai dengan Oktober XXXX, Puskesmas X cakupan Imunisasi TT1 sebesar 17,83%, TT2 sebesar 83,09%, TT3 sebesar 7,13%, TT4 sebesar 0%, TT5 sebesar 0% dengan sasaran WUS (Wanita Usia Subur) 3365 jiwa, maka cakupan Puskesmas X masih rendah (Subdin P2P Dinkes X, XXXX).
Penyakit Tetanus adalah penyakit menular yang tidak ditularkan dari manusia ke manusia secara langsung. Penyebabnya adalah sejenis kuman yang dinamakan Clostridium Tetani, kuman ini terutama spora atau bijinya banyak berada di lingkungan. Basilus Clostridium Tetani, tersebar luas di tanah dalam bentuk spora, binatang seperti kuda dan kerbau bertindak sebagai harbour atau persinggahan sementara. Kuman tetanus dalam kehidupannya tidak memerlukan/kurang oksigen (anaerob). Tetanus timbul akibat masuknya spora Clostridium Tetani masuk lewat pertahanan alamiah tubuh, seperti kulit, mukosa, sebagian besar lewat luka tusuk, luka bakar kotor, patah tulang terbuka dan tali pusat (Achmadi. U.F, XXXX). Meskipun Tetanus Neonatorum terbukti sebagai salah satu penyebab kesakitan dan kematian neonatal, sesungguhnya dapat dicegah, pencegahan yang dilakukan diantaranya adalah pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) serta perawatan tali pusat yang memenuhi syarat kesehatan. Imunisasi TT seharusnya diperoleh wanita usia subur sebanyak 5 kali, kenyataannya masih belum optimal, hal ini dipengaruhi faktor perilaku (Behavior Clauses) manusia dari tingkat kesehatan, ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi orang/masyarakat yang bersangkutan disamping lingkungan fisik, ketersediaan fasilitas, (sarana-sarana kesehatan) sikap dan perilaku para petugas kesehatan (Notoadmodjo, S. 2003).
Dengan adanya kejadian kasus TN (Tetanus Neonatorum), tahun XXXX sebanyak 5 kasus dan tahun XXXX sebanyak 1 kasus di kabupaten X, khususnya di desa (daerah pedesaan), merupakan masalah yang sangat kompleks. Data sensus penduduk kabupaten X tahun 2000, rata-rata pendidikan sangat rendah yaitu 354.208 jiwa tidak tamat SD, tamat SD sebanyak 198.458 jiwa (BPS dengan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten X, XXXX), sehingga informasi tentang Imunisasi Tetanus Toksoid sangat terbatas.
Oleh karena itu dengan adanya kasus Tetanus Neonatorum (TN) di kabupaten X, serta cakupan Imunisasi di Puskesmas X periode Januari sampai dengan Oktober XXXX yang rendah, maka penulis ingin meneliti mengenai hubungan pengetahuan tentang Imunisasi TT dengan status Imunisasi TT di daerah Puskesmas X, sebagai sampel WUS (Wanita Usia Subur) di desa X.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan data dan latar belakang dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apakah ada hubungan pengetahuan tentang imunisasi tetanus toksoid dengan status imunisasi tetanus toksoid wanita usia subur di desa X Puskesmas X Kabupaten X ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan tentang imunisasi tetanus toksoid dengan status imunisasi tetanus toksoid wanita usia subur.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang pengertian imunisasi Tetanus Toksoid (TT).
b. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang jadwal pemberian dan masa perlindungan Imunisasi TT.
c. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang manfaat imunisasi TT.
d. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang reaksi Imunisasi TT dan efek samping.
e. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang indikasi kontra Imunisasi TT.
f. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang penyakit Tetanus.
g. Dapat mengidentifikasi status Imunisasi TT pada WUS.
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritik
Sebagai dasar sebagai peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian mengenai Wanita Usia Subur (WUS) terhadap status Imunisasi TT (Tetanus Toksoid).
2. Aspek Aplikatif
a. Bagi Petugas Kesehatan
Dapat memberikan masukan dan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan hasil cakupan Imunisasi TT WUS sampai status TT5, menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi akibat Tetanus Neonatorum, dan meningkatkan ketrampilan, pengetahuan tentang Imunisasi TT.
b. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi tentang imunisasi TT, sehingga masyarakat, khususnya Wanita Usia Subur (WUS) mendapat pelayanan Imunisasi TT secara lengkap (TT5).
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Motivasi Belajar Pada Mahasiswa D IV Kebidanan Universitas X
(Kode KEBIDANN-0015) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Motivasi Belajar Pada Mahasiswa D IV Kebidanan Universitas X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Deskripsi kecerdasan emosional sudah ada sejak dikenalnya perilaku manusia. Didalam berbagai kitab suci, didalam filsafat Yunani, karya-karya Shakespeare, Thomas Jeffernon dan di dalam psikologi modern, aspek emosi sebagai bagian dari pemikiran sudah didiskusikan sebagai elemen fundamental dalam sifat dasar manusia. Mereka yang mengasah kecerdasan emosionalnya memiliki kemampuan unik untuk berkembang disaat sebagian lain terlalu sibuk menggelepar. Kecerdasan emosional merupakan “sesuatu” yang ada dalam diri setiap kita yang sedikit sulit diraba.
Awal tahun 1918, sebuah gerakan muncul untuk mencari sebuah cara mengukur kecerdasan intelektual (IQ). Ilmuwan-ilmuwan awal pada masa itu mengeksplorasi IQ sebagai metode cepat untuk memisahkan pelaku yang memiliki kualitas rata-rata dengan pelaku yang istimewa. Ada banyak orang yang demikian cerdas namun dibatasi oleh kemampuan mereka dalam mengelola perilaku dan hubungan sosial mereka. Barulah pada awal tahun 1980-an muncul istilah kecerdasan emosional (EQ). (Travis Bradberry & Jead Breaves, 2007: 54)
Memasuki abad 21, legenda IQ (Intelligence Quotient) sebagai satu-satunya tolok ukur kecerdasan yang juga sering dijadikan parameter keberhasilan manusia, digugurkan oleh munculnya konsep Kecerdasan Emosional atau EQ (Emotional Quotient) dan Kecerdasan Spiritual atau SQ (Spiritual Quotient). Kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari anggapan yang dianut selama ini. Kecerdasan bukanlah merupakan suatu hal yang bersifat dimensi tunggal semata, yang hanya bisa diukur dari satu sisi dimensi saja (dimensi IQ). Kesuksesan manusia dan juga kebahagiaannya, ternyata lebih terkait dengan beberapa jenis kecerdasan selain IQ. Menurut hasil penelitian, setidaknya 75% kesuksesan manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya (EQ) dan hanya 4% ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya (IQ). (www.cakrawala.com)
Konsep kecerdasan emosional menjelaskan mengapa dua orang dengan tingkat IQ yang sama bisa saja memiliki tingkat keberhasilan hidup yang berbeda. Kecerdasan emosional merujuk pada elemen fundamental dalam perilaku manusia yang berbeda dengan intelektualitas.
Kecerdasan inteligensi (IQ), kepribadian dan kecerdasan emosional (EQ) adalah tiga buah kualitas berbeda yang dimiliki semua orang. Perpaduan dari kualitas-kualitas tersebut akan menentukan bagaimana kita akan berfikir dan bertindak. Mustahil bagi kita untuk menentukan sebuah kualitas berdasarkan kualitas yang lain. Seseorang bisa saja cerdas secara intelektual namun tidak secara emosional, dan semua orang dengan segala bentuk kepribadian sama-sama bisa memiliki skor EQ dan atau IQ yang tinggi. Ketiga kualitas tersebut, hanya kecerdasan emosional yang merupakan kualitas yang fleksibel dan bisa berubah. (Travis Bradberry & Jead Breaves, 2007: 56)
Menggunakan ungkapan Howard Gardner, kecerdasan emosional terdiri dari kecakapan, diantaranya intrapersonal intelligence merupakan kecakapan mengenai perasaan kita sendiri yang terdiri dari :
1. Kesadaran diri, meliputi : keadaan emosi diri, penilaian pribadi dan percaya diri
2. Pengaturan diri, meliputi : pengendalian diri, dapat dipercaya, waspada adaptif dan inovatif
3. Motivasi, meliputi :dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimis.
Motivasi membentuk cara pandang manusia terhadap dunia. Seseorang cenderung memberikan perhatian secara selektif, maka yang dianggap penting olehnya otomatis menjadi yang paling dia cermati. Seseorang yang termotivasi untuk berhasil lebih jeli menemukan cara-cara untuk bekerja lebih baik, untuk berusaha, untuk membuat inovasi atau menemukan keunggulan kompetitif. (Daniel Goleman, 2005: 178)
Berdasarkan keterkaitan kedua hal tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara kecerdasan emosional dengan motivasi belajar pada mahasiswa D IV Kebidanan Universitas X.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut “Adakah hubungan antara kecerdasan emosional dengan motivasi belajar pada mahasiswa D IV Kebidanan Universitas X?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Tujuan Umum
Mengetahui ada tidaknya hubungan antara kecerdasan emosional dengan motivasi belajar pada mahasiswa D IV kebidanan Universitas X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat kecerdasan emosional pada mahasiswa D IV kebidanan Universitas X.
b. Mengidentifikasi motivasi belajar pada mahasiswa D IV kebidanan Universitas X.
c. Menganalisis hubungan antara kecerdasan emosional dengan motivasi belajar pada mahasiswa D IV kebidanan Universitas X.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teirotis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan lebih lanjut dan manfaat praktis dalam rangka memecahkan masalah aktual.
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pemahaman serta pengetahuan tentang hal-hal yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan kecerdasan emosional dan motivasi belajar.
b. Mendukung teori yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
c. Salah satu sumber bagi penelitian berikutnya.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pilihan Ibu Menjadi Akseptor KB Suntik Di BPS X
(Kode KEBIDANN-0012) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pilihan Ibu Menjadi Akseptor KB Suntik Di BPS X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah terus menekan laju pertambahan penduduk yang semakin hari semakin meningkat. Program Keluarga Berencana (KB) dinilai merupakan investasi yang banyak menghabiskan anggaran sehingga sedikit sekali pemerintah kabupaten atau pemerintah kota yang memprioritaskan program tersebut. Saat ini pertumbuhan penduduk Indonesia 1,6 persen per tahun. Suatu pertumbuhan yang cukup mengkhawatirkan, karena dari pertumbuhan ini masih dihasilkan sekitar 3-4 juta jiwa manusia baru di Indonesia per tahun (BKKBN, XXXX)
Jumlah penduduk Indonesia adalah nomor 5 terbesar di dunia, pertambahan penduduk dapat menimbulkan masalah antara lain masalah sosial ekonomi, kesehatan, pendidikan, pangan, bahan makanan, perumahan dan sanitasi lingkungan hidup, kesempatan kerja maupun pengangguran. Pada saat ini keluarga berencana bukan lagi suatu program atau gagasan, tetapi merupakan falsafah hidup masyarakat (Rustam, 1998).
Menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002 jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) 5.772.970 dari jumlah total PUS 4.460.782 (77,27%) merupakan peserta KB aktif sedangkan PUS bukan peserta KB 1.312.188 (22,73%). Alat kontrasepsi yang paling banyak diminati akseptor KB adalah KB suntik (BKKBN, 2004). Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik, adapun tempatnya dibatasi hanya di Bidan Praktek Swasta (BPS) X X. Judul ini ditunjang dengan data selama tahun XXXX-XXXX di BPS tersebut ada 113 akseptor KB baru dimana 7% memakai pil, 3% memakai IUD, 90% memakai KB suntik. Menurut L.Green (1980) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu faktor predisposisi, faktor enambling, faktor reinforcing dimana dalam penelitian kali ini peneliti hanya meneliti faktor pendidikan, pekerjaan, peran suami, jumlah anak, motivasi bidan, dan pengetahuan ibu tentang kontrasepsi metode suntik saja (Notoatmodjo, Soekidjo, 2003).
B. Rumusan Masalah
Apakah faktor pendidikan, faktor pekerjaan, faktor peran suami, faktor pengetahuan, faktor jumlah anak, faktor motivasi bidan berhubungan dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik di BPS X ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran secara umum faktor-faktor yang berhubungan dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik di BPS X.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui hubungan antara pekerjaan ibu dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
b) Mengetahui hubungan antara pendidikan ibu dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
c) Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
d) Mengetahui hubungan antara jumlah anak dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
e) Mengetahui hubungan antara peran suami dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
f) Mengetahui hubungan antara motivasi bidan dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
D. Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Bagi pelayanan kesehatan agar penelitian ini menjadi acuan bagi tenaga kesehatan untuk melestarikan akseptor KB suntik.
2. Bagi peneliti sebagai pengalaman mengenai cara dan proses berpikir ilmiah, khususnya mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan .
3. Bagi masyarakat agar lebih menyadari manfaat penggunaan KB sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan keluarga.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang ASI Dengan Pemberian Kolostrum Di RS X
(Kode KEBIDANN-0013) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang ASI Dengan Pemberian Kolostrum Di RS X
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
ASI (Air Susu Ibu) merupakan gizi terbaik bagi bayi karena komposisi zat- zat gizi di dalamnya secara optimal mampu menjamin pertumbuhan tubuh bayi. Kualitas zat gizinya juga terbaik karena mudah diserap dan dicerna oleh usus bayi. (Widjaja,2004). Sehingga penggunaan Air Susu Ibu (ASI) di Indonesia perlu ditingkatkan dan dilestarikan. Dalam “Pelestarian Penggunaan ASI”, yang perlu ditingkatkan adalah pemberian asi eksklusif, yaitu pemberian ASI segera setelah bayi lahir sampai umur 6 bulan dan memberikan Kolostrum pada bayi. (Rahayu,1998)
Komposisi ASI paling sesuai untuk pertumbuhan bayi dan juga mengandung zat pelindung dengan kandungan terbanyak pada Kolostrum. Kolostrum adalah ASI berwarna kekuningan yang keluar pada hari kesatu sampai hari keempat-ketujuh. (Utami, 2001)
Kolostrum sebaiknya diberikan sedini mungkin setelah bayi lahir, karena kolostrum lebih banyak mengandung antibodi dibanding dengan ASI yang matur, serta dapat memberikan perlindungan bagi bayi sampai umur 6 bulan. Kadar kandungan karbohidrat dan lemak lebih rendah dibandingkan dengan ASI matur. Sedangkan Mineral, terutama Natrium, Kalium dan Klorida lebih tinggi jika dibandingkan dengan susu matur. Serta lebih banyak mengandung protein dibandingkan ASI yang matur. (Soetjiningsih,1997)
Penelitian disuatu negara berkembang yang dipublikasikan di Pediatrics 30 Maret 2006, menunjukkan bahwa bila bayi dibiarkan menyusu sendiri dalam usia 30-60 menit, tidak saja akan mempermudah keberhasilan menyusui tetapi juga akan dapat menurunkan 22% angka kematian bayi dibawah 28 hari. (Suecox, 2006).
Hasil penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa para ibu memberi makanan pralaktal (Susu formula dan madu) pada hari pertama atau hari kedua sebelum ASI diberikan, sedangkan yang menghindari pemberian Kolostrum 62,6%. (Rahayu, 1998).
Beberapa penelitian melaporkan faktor-faktor yang mempengaruhi awal pemberian Kolostrum yaitu petugas kesehatan, psikologi ibu yaitu kepribadian dan pengalaman ibu, sosio-budaya, tata laksana rumah sakit, kesehatan ibu dan anak, pengetahuan ibu mengenai proses laktasi, lingkungan keluarga, peraturan pemasaran pengganti ASI dan jumlah anak. (Dwi Hapsari, 2000) Faktor-faktor tersebut diteliti dalam data SDKI 1997 yang melaporkan bahwa hanya 8,3% yang disusui dalam satu jam pertama setelah lahir dari 52,7% yang disusui dalam 24 jam pertama. (Dwi Hapsari, 2000)
Pada ilmu pengetahuan terkini mengenai menyusui menunjukkan bahwa sangatlah penting bagi semua bayi manusia untuk mendapatkan Kolostrum dari ibunya. Dalam 48 jam pertama kehidupan bayi-bayi manusia tidak membutuhkan air susu terlalu banyak, hanya setengah sendok teh Kolostrum saat pertama menyusui dan 1-2 sendok teh di hari kedua. Kolostrum melapisi saluran pencernaan bayi dan menghentikan masuknya bakteri kedalam darah yang menimbulkan infeksi pada bayi. (Suecox, 2006)
Setelah di lakukan survey pendahuluan di RS X, bahwa 5 orang (16%) dari 30 orang ibu yang melahirkan di RS X masih terdapat ibu menyusui yang tidak memberikan ASI pertama (kolostrum) diawal setelah melahirkan dengan alasan tertentu, misalnya karena larangan orang tua, asi pertama kotor, dll. Hal ini menunjukan bahwa adanya pengetahuan ibu menyusui yang kurang tentang ASI.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka diadakan penelitian mengenai adanya hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI dengan pemberian Kolostrum di Rumah Sakit X Kabupaten X Provinsi Jawa X.
B. PERUMUSAN MASALAH
Adakah hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI dengan pemberian Kolostrum di RS X.
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI dengan pemberian Kolostrum di RS X.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI di RS X.
b) Mengetahui angka pemberian Kolostrum oleh ibu menyusui di RS X.
c) Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI dengan pemberian Kolostrum di RS X.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Aspek Teoritis
Memberi informasi mengenai tingkat pengetahuan ibu tentang ASI dengan pemberian Kolostrum RS X.
2. Aspek Aplikatif
a. Memberi informasi bagi ibu menyusui di RS X mengenai manfaat, kandungan, jenis dan pentingnya Kolostrum sehingga ibu dapat memberikan Kolostrum pada bayinya.
b. Memberi masukan bagi RS X dalam membuat kebijakan tentang ASI dalam pemberian Kolostrum.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Siklus Haid Pada Mahasiswi D IV Kebidanan Di Universitas X
(Kode KEBIDANN-0014) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Siklus Haid Pada Mahasiswi D IV Kebidanan Di Universitas X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fisiologi alat reproduksi wanita merupakan sistem yang komplek sebagai pertanda kematangan alat reproduksi wanita dapat dilihat sudah teraturnya menstruasi atau haid. Dengan interval 28 sampai 30 hari yang berlangsung lebih kurang 2 sampai 3 hari disertai dengan ovulasi. Sejak saat ini wanita memasuki masa reproduksi aktif sampai memasuki atau mencapai mati haid (Manuaba, 1998). Pada masing-masing wanita mempunyai variasi dalam siklus haidnya, yang masih dalam batas normal (Prawiroharjo, 2006).
Untuk kejadian menstruasi dipengaruhi beberapa faktor yang mempunyai sistem saraf pusat dengan panca indranya, sistem hormonal, perubahan pada ovarium dan uterus, serta rangsangan estrogen dan progesterone pada pancaindra langsung pada hipotelamus dan melalui perubahan emosi.
Semakin dewasa umur wanita semakin besar pengaruh rangsangan dan emosi terhadap hipotalamus. Kecemasan sebagai rangsangan melalui system saraf diteruskan ke susunan saraf pusat yaitu bagian otak yang disebut limbic system melalui transmisi saraf. Selanjutnya melalui saraf outonom (simpatis/parasimpatis) akan diteruskan kekelanjar-kelenjar hormonal (endokrin) sehingga mengeluarkan sekret (cairan) Neurohormonal menuju hifofisis melalui system prontal guna mengeluarkan gonodotropin dalam bentuk FSH (Follikel Stimulazing Hormone) dan LH (Leutinizing Hormone) untuk selanjutnya mempengaruhi terjadinya proses menstruasi atau haid (Manuaba, 1998).
Produksi kedua hormon ini adalah dibawah pengaruh RH (Realizing Hormone) yang disalurkan dari hipotalamus ke hifofisis. Pengeluaran RH sangat dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik ekstrogen terhadap Hipotalamus juga pengaruh dari luar seperti, cahaya, bau-bauan dan hal-hal psikologik. Bila penyaluran normal berjalan baik maka produksi gondotropin akan baik pula (Prawiroharjo, 2005).
Adanya gangguan kejiwaan berupa kecemasan, syok emosional, dapat menimbulkan perubahan siklus haid. Biasanya bersifat sementara dan menghilang jika penyebabnya sudah tidak ada lagi (Prawiroharjo, 2005). Diperkirakan jumlah mereka yang menderita gangguan kecemasan ini baik akut maupun kronik normal atau abnormal mencapai 5% dari jumlah penduduk, dengan perbandingan antara wanita dan pria 2 banding 1, dan diperkirakan antara 2%-4% diantara penduduk suatu saat dalam kehidupan pernah mengalami gangguan cemas (Dadang Hawari, 2006).
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, penulis ingin mengetahui hubungan antara gangguan kejiwaan berupa kecemasan dapat mempengaruhi siklus haid atau menstruasi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka dalam penelitian ini perumusan masalah yang dirumuskan adalah : Adakah hubungan antara tingkat kecemasan dengan siklus haid atau menstruasi pada mahasiswi D-IV Kebidanan Universitas X ?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui adanya hubungan antara tingkat kecemasan dengan siklus haid pada mahasiswi D IV Kebidanan Universitas X.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
Dapat memberikan informasi ilmiah sebagai sumbangan kepada bidang ilmu kebidanan.
2. Manfaat Praktis
Dengan diketahuinya ada tidaknya hubungan antara tingkat kecemasan dan siklus menstruasi atau haid dapat digunakan :
a. Perlu tidaknya intervensi psikiatrik pada mahasiswi dengan gangguan siklus haid.
b. Bagi terapis untuk menangani penderita yang mengalami gangguan siklus menstruasi atau haid dengan memandang penderita secara holistik.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Pengetahuan Persalinan Dengan Kesiapan Menghadapi Persalinan Pada Primigravida
(Kode KEBIDANN-0009) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Pengetahuan Persalinan Dengan Kesiapan Menghadapi Persalinan Pada Primigravida
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persalinan merupakan saat yang dinantikan oleh ibu hamil untuk merasakan kebahagiaan melihat dan memeluk bayinya. Namun di sisi lain persalinan bisa mengalami penyimpangan atau persalinan yang dapat berakibat buruk bagi ibu maupun bayinya dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Hal ini dapat diketahui dengan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sekitar 307 per 100.000 kelahiran hidup per tahun.
Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan melalui jalan lahir normal, dengan kekuatan ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat, presentasi belakang kepala dengan berat badan 2500-4000 gram, tidak ada komplikasi pada ibu maupun pada janin (Manuaba, 1998 dan Mochtar, 1998). Persalinan merupakan titik kulminasi dari kehamilan, yaitu titik tertinggi dari seluruh persiapan yang telah dilakukan. Dalam hal ini sangat tergantung pada persiapan fisik maupun mental, dan tentunya setiap ibu hamil mengharapkan kelahiran yang lancar, bukan terbebas dari rasa sakit tetapi persalinan yang santai dan menyenangkan. Jika setiap ibu hamil telah mengetahui seluk-beluk persalinan dan kelahiran serta melakukan latihan senam hamil, maka dalam menghadapi proses persalinan ibu tidak akan merasa begitu sakit dan justru menikmati persalinan (Stoppard, 2002).
Sebagian besar wanita yang hamil pertama kali hanya mengetahui sedikit mengenai proses yang terjadi pada dirinya, mengapa terjadi berbagai perubahan, serta bagaimanakah kehamilan dan persalinan berjalan normal. Kurangnya pengetahuan dan kesiapan akan apa yang dihadapi dalam persalinan dapat mengakibatkan rasa cemas dan takut, sehingga masa kehamilan kurang menyenangkan, bahkan dapat mempersulit persalinan. Mengingat hal-hal tersebut, apabila didalam proses persalinan tidak disertai persiapan maka persalinan tidak dapat berjalan menyenangkan (Sani, 2002).
Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, jumlah keseluruhan ibu hamil yang memeriksakan kehamilan di RB. X pada bulan Januari XXXX sebanyak 148 orang, terdiri atas primigravida 51 orang dan multigravida 97 orang. Studi pendahuluan pada tanggal 4 Februari XXXX terdapat 10 primigravida yang memeriksakan kehamilan, 7 diantaranya menyatakan tidak siap dan merasa takut dalam menghadapi persalinan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan primigravida tentang kesiapan menghadapi persalinan.
Berdasarkan masalah-masalah tersebut di atas, serta mengingat pentingnya pengetahuan untuk membentuk kesiapan dalam menghadapi persalinan maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan Pengetahuan Persalinan Dengan Kesiapan Menghadapi Persalinan Pada Primigravida di Rumah Bersalin X.”
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan pengetahuan persalinan dengan kesiapan menghadapi persalinan pada primigravida di rumah bersalin X?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan pengetahuan persalinan dengan kesiapan menghadapi persalinan pada primigravida di rumah bersalin X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengukur pengetahuan primigravida tentang persalinan.
b. Untuk mengukur kesiapan primigravida dalam menghadapi persalinan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan serta pemahaman tentang pengetahuan dan kesiapan primigravida dalam menghadapi persalinan.
2. Manfaat Praktis
Informasi yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai bahan dalam memberikan pelayanan kebidanan tentang persalinan dan kesiapan menghadapi persalinan.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Suplementasi Zat Besi Dengan Penambahan Vitamin C Terhadap Kenaikan Kadar Hb Pada Ibu Hamil Trimester III
(Kode KEBIDANN-0010) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Suplementasi Zat Besi Dengan Penambahan Vitamin C Terhadap Kenaikan Kadar Hb Pada Ibu Hamil Trimester III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dimana sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang. Salah satunya adalah bidang kesehatan. GBHN telah menetapkan bahwa pembangunan yang sedang kita galakkan bersama dewasa ini bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya (BP7, 1998).
Anemia merupakan masalah nasional karena mencerminkan nilai kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan pengaruhnya sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia (Manuaba, 1998). Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia pada tahun XXXX adalah 70% atau tujuh dari 10 wanita hamil menderita anemia (Bustaman, 2004).
Anemia terjadi ketika kadar hemoglobin dalam darah kurang dari normal. Batas kadar normal untuk wanita sekitar 12 gram persen dan pria 14 gram persen. Angka prevalensi anemia tahun XXXX jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka prevalensi anemia pada tahun 1998 sebesar 50, 6% (SKRT, 1998), dan pada tahun 2001 sebesar 40% (SKRT, 2001).
Haemoglobin terdapat dalam darah merah dan bertugas membawa oksigen ke paru-paru ke seluruh bagian tubuh. Oleh karena itu, berkurangnya hemoglobin akan mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen. Tidak terpenuhinya kebutuhan oksigen menimbulkan gejala-gejala seperti lemah, letih, lesu, lunglai, mudah letih, kulit pucat, pusing bahkan sakit kepala (Depkes RI, 1998).
Kebutuhan zat besi pada wanita juga meningkat saat hamil terutama dalam trimester III dan melahirkan. Darah bertambah banyak dalam kehamilan (hipervolemia) akan tetapi bertambahnya sel darah masih kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma, sehingga terjadi pengenceran darah. Dan pada waktu persalinan banyaknya unsur besi yang hilang lebih sedikit dibandingkan bila darah ibu kental. Karena alasan tersebut, setiap ibu hamil disarankan untuk mengkonsumsi suplemen zat besi (Wiknjosastro, XXXX).
Dampak anemia selain pada ibu juga terjadi pada janin yang dikandung. Dapat dilihat bahwa angka kematian ibu hamil di Indoensia merupakan angka tertinggi di ASEAN yakni 307 per 100 ribu kelahiran hidup (Badan Litbang Kesehatan, XXXX). Ini sesuai dengan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun XXXX. Dampak bagi bayi berdasarkan hasil SKDI tahun XXXX tercatat angka kematian bayi 35 per 1000 kelahiran hidup (Badan Litbang Kesehatan, XXXX).
Pada tahun XXXX di Kabupaten X pernah diadakan pendataan kondisi anemia masyarakat golongan rawan dengan melakukan pemeriksaan Hb terhadap 340 ibu hamil. Pendataan tersebut menunjukkan bahwa kadar Hb kurang dari 11 gr% sejumlah 174 ibu hamil atau anemia 51,18% (Dinkes dan Kesos Kabupaten X, XXXX). Di Puskesmas X masih ada ibu hamil yang menderita anemia ringan, berdasarkan survei bulan September XXXX sampai Januari 2007 terdapat kurang lebih 50,2% ibu hamil menderita anemia ringan. Sejauh ini pemeriksaan kadar haemoglobin di Puskesmas X dilakukan pada sekitar trimester I dan III kehamilan. Selama pemberian tablet besi tidak semua ibu hamil diberikan penambahan vitamin C (terdapat 12,2%). Ada yang diberikan tablet zat besi saja (8%) dan adapula pemberian tablet zat besi bersama vitamin lain selain vitamin C (31,6%) seperti vitamin B12, B kompleks dan kalk atau sesuai kebutuhan ibu hamil saat periksa hamil. Pada saluran pencernaan besi mengalami proses reduksi dari bentuk besi menjadi ferro yang mudah diserap. Proses reduksi dibantu oleh adanya vitamin C dan asam amino. Penyerapan besi meningkat menjadi tiga kali bila seorang mengkonsumsi roti yang mengandung besi bersama vitamin C (Steinkamp dalam Sediaoetama, XXXX).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti pengaruh pemberian zat besi dengan penambahan vitamin C terhadap kenaikan kadar Hb pada ibu hamil trimester III di Puskesmas X”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dibuat rumusan masalah yaitu : “adakah pengaruh pemberian zat besi dengan penambahan vitamin C terhadap kenaikan kadar Hb pada ibu hamil trimester III di Puskesmas X?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh pemberian zat besi dengan penambahan vitamin C terhadap kenaikan kadar Hb pada ibu hamil trimester III di Puskesmas X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui prevalensi anemia kehamilan di Puskesmas X.
b. Mengetahui kenaikan kadar hemoglobin ibu hamil yang mendapat suplementasi zat besi saja di Puskesmas X.
c. Mengetahui efektifitas suplementasi zat besi dengan penambahan vitamin C terhadap kenaikan kadar hemoglobin dibanding dengan suplementasi zat besi saja pada ibu hamil di Puskesmas X.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman peneliti mengenai pengaruh suplementasi zat besi dengan penambahan vitamin C terhadap kenaikan kadar hemoglobin.
2. Bagi Responden
Dapat menambah pengetahuan dan pemahaman responden tentang pentingnya pemenuhan zat besi selama kehamilan.
3. Bagi profesi bidan / tenaga kesehatan
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Efektivitas Program Pemberian Tablet Merah Terhadap Peningkatan Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Anemia Ringan
(Kode KEBIDANN-0007) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Efektivitas Program Pemberian Tablet Merah Terhadap Peningkatan Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Anemia Ringan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di bawah 11 gr/dl pada trimester 1 dan 3, atau kadar < 10,5 gr/dl pada trimester 2 (Saifudin, 2001).
Anemia merupakan masalah kesehatan lain yang paling banyak ditemukan pada ibu hamil. Kurang lebih 50% atau 1 diantara 2 ibu hamil di Indonesia menderita anemia (Anonim a, 2005).
Anemia adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, fungsi dari hemoglobin untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berjalan dengan baik. Jika anemia terjadi pada ibu hamil, maka asupan oksigen untuk janin pun akan berkurang. Hal ini akan menghambat pertumbuhan organ-organ pada janin, termasuk organ-organ yang penting semisal otak. Tak hanya mengancam pertumbuhan janin, anemia juga merupakan penyebab utama kematian ibu hamil saat melahirkan. Biasanya, kematian terjadi akibat perdarahan (Anonim b, 2006).
Menurut WHO, 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan (Saifudin, 2001). Saat ini, angka kematian ibu hamil di Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN yakni 307 dari 100 ribu kelahiran. Bandingkan dengan Malaysia, yang hanya 40-50 dari 100 ribu kelahiran (Anonim b, 2006).
Kontribusi anemia terhadap kematian ibu di Indonesia diperkirakan mencapai 50% hingga 70%. Dengan kata lain bahwa 50% hingga 70% kematian ibu di Indonesia sesungguhnya dapat dicegah apabila prevalensi anemia ibu hamil dapat ditekan sampai serendah-rendahnya (Hadi, 2002).
Anemia ibu hamil bisa terjadi akibat kekurangan zat besi yang disebut anemia defisiensi besi. Selain itu bisa juga karena kekurangan asam folat dan vitamin B12 yang disebut anemia megaloblastik (Anonim c, 2006).
Dalam penanggulangan anemia pada ibu hamil, Departemen Kesehatan menyusun program kuratif dengan pemberian tablet tambah darah kepada seluruh ibu hamil, dimana Dinas Kesehatan sebagai ujung tombak pelaksana pemberian tablet tambah darah tersebut. Tablet tambah darah (yang seterusnya dikenal dengan tablet merah) diberikan kepada seluruh ibu hamil berjumlah 90 tablet, tiap tablet salut berisi Ferro Sulfat 200 mg dan Asam Folat 0,25 mg.
Sejak tahun 1974 pemerintah telah melakukan program suplementasi besi pada ibu hamil melalui puskesmas dan posyandu. Namun sekalipun suplementasi besi pada ibu hamil telah lama dikerjakan di beberapa kabupaten di X, prevalensi anemia pada ibu hamil masih mencapai 80% (Anonim d, 2001).
62,3% anemia ibu hamil terjadi karena defisiensi besi dan 37,7% karena anemia dengan penyebab yang lain (Wiknjosastro, 1999).
Untuk itu peneliti tertarik untuk mengetahui efektivitas program pemberian tablet merah terhadap peningkatan hemoglobin ibu hamil dengan anemia ringan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Apakah program pemberian tablet merah efektif terhadap peningkatan hemoglobin ibu hamil dengan anemia ringan ?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas program pemberian tablet merah terhadap peningkatan hemoglobin ibu hamil dengan anemia ringan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor-faktor prevalensi anemia ibu hamil di daerah penelitian.
b. Mengetahui ketaatan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet merah.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Praktis
Dapat bermanfaat dalam rangka perbaikan program penanganan anemia ibu hamil.
Tesis Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP
(Kode ILMU-HKMX0029) : Tesis Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak hal dalam kehidupan kita dipengaruhi oleh korporasi, apabila pengaruhnya positif tentu tidak perlu dirisaukan, akan tetapi justru banyak dari pengaruh tersebut yang merugikan individu dan masyarakat secara luas. Timbulnya kejahatan korporasi disadari oleh dunia Internasional, hal ini ditandai dengan adanya kongres PBB ke V tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggaran Hukum (the Prevention of Crime and Treatment of Offender) pada tahun 1975 dan dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985, yang menunjukkan terdapat kejahatan-kejahatan bentuk baru dilakukan oleh korporasi.1
Korporasi tersebut bukanlah barang baru melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradapan dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan beserta kompleksitasnya. Disisi lain ketentuan pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya, sehingga banyak bermunculan tindakan-tindakan ilegal namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime. Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi karena adanya kerugian (harm) yang mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Persoalan yang mengundang perdebatan adalah bagaimana menerapkan pertanggungjawaban pada tindak pidana korporasi atau corporate liability, mengingat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia pada Pasal 59 yang dianggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person).
KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana. 4 Asas ini sebetulnya berlaku pada abad yang lalu diseluruh negara Eropa kontingental. Hal ini sejalan dengan pendapat hukum pidana individualistik dari aliran klasik yang berlaku pada waktu itu, kemudian juga dari aliran positif dalam hukum pidana. Pada memori penjelasan KUHP yang diberlakukan pada tanggal 1 September 1886 disebutkan bahwa suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh perorangan (naturlijke person). Pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum tidak berlaku pada bidang hukum pidana.5
Seiring dengan perkembangan zaman akhirnya korporasi diterima sebagai subjek tindak pidana hal ini diawali dengan adanya Undang-Undang No. 7 Drt. 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, pada Pasal 15 yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Setelah itu diikuti dengan berbagai undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga faktanya sekarang pengaturan tentang berbagai masalah dalam masyarakat dominan diatur di luar KUHP. Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum menjadikan korporasi dapat bertindak seperti manusia, keberadaan dan ihwal korporasi seperti hak, kewajiban, tindakan hingga tanggungjawabnya ditentukan oleh undang-undang. Selain itu dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum membawa dampak yang positif dalam aktivitas bisnis karena dapat menguasai kumpulan modal dari banyak orang di atas suatu jangka waktu yang tidak dipengaruhi oleh kematian atau penarikan diri dari individu-individu, akan tetapi di sisi lain juga menimbulkan perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).
Permasalahan akan segera muncul sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana dari korporasi, karena asas utama dari pertanggungjawaban pidana adalah harus ada kesalahan (schuld) pada pelaku, sehingga bagaimanakah harus mengkonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi, serta bagaimana pertanggungjawaban pidana dan unsur kesalahan pada korporasi, apakah tetap dapat dipertahankan seperti halnya pada manusia. Konsekuensi dari persoalan tersebut menjadikan peraturan perundang-undangan yang tidak spesifik merumuskan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi sulit untuk diaplikasikan sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.6
Menghindari berbagai penafsiran tersebut, sudah seharusnyalah undang-undang yang memuat tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dirumuskan secara spesifik. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memenuhi rumusan kebijakan legislasi menyangkut sistem pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. 7
Kebijakan legislasi yang berlaku pada saat ini khususnya yang memuat tentang pertanggungjawaban korporasi meliputi, perumusan perbuatan yang dilarang (dalam hal apa dan bagaimana suatu kejahatan dikatakan sebagai kejahatan korporasi) dan penentuan kesalahan pelaku masih kurang jelas, begitu juga dalam menentukan siapa-siapa yang dapat melakukan tindak pidana tersebut. Penentuan kesalahan korporasi, yang merupakan urat nadinya hukum pidana juga sangat sulit, karena kesalahan yang dilimpahkan kepada korporasi bukanlah korporasi secara pribadi, sebab pada hakikatnya yang melakukan tindak pidana adalah orang (pengurus korporasi). Begitu juga masalah sanksi pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dangan pertanggungjawaban korporasi, belum tertata secara jelas mana yang pidana pokok, pidana tambahan serta tindakan. Meskipun hal tersebut telah ada tetapi apa dasarnya menetapkan suatu sanksi sebagai pidana pokok atau pidana tambahan, undang-undang tidak menjelaskan.
Akibat dari ketidak jelasan tersebut akan terjadi keragu-raguan pada majelis hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana, sehingga kecil kemungkinan terealisasinya kepastian hukum dan peraturan hukum yang ideal. 9 Selain itu berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya oleh aparatur penegak hukum dalam penanganan masalah kejahatan korporasi masih beranjak dari paradigma lama yakni melihat konsep kejahatan secara konvensional, berakibat penanganannya juga tidak berbeda dengan penanganan kejahatan konvensional lainnya.10
Permasalahan tersebut akan semakin berpengaruh dalam aspek hukum kehidupan masyarakat karena pada semua tingkat di dalam korporasi terdapat pelembagaan mengenai ketidak bertanggungjawaban dengan membiarkan korporasi menjalankan fungsinya, namun dibalik itu seolah-olah membiarkan individu-individu dalam korporasi tertutup oleh tirai yang seakan-akan bertindak sesuai dengan moral. Begitu juga pejabat-pejabat yang lebih tinggi dapat membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban dengan memberikan alasan bahwa tindakan–tindakan ilegal dalam mencapai tujuan-tujuan korporasi yang begitu luas berlangsung tanpa sepengatahuan mereka. Begitu pula dengan pendelegasian tanggungjawab dan perintah yang tidak tertulis menjaga mereka yang di puncak struktur korporasi jauh dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh keputusan-keputusan dan perintah mereka, seperti halnya para pimpinan kejahatan terorganisir, kekayaan tetap tidak tersentuh hukum.11Dilatarbelakangi oleh begitu kompleksnya persoalan pertanggungjawaban pidana korporsi pada tindak pidana di luar KUHP tersebut maka sudah sepatutnyalah masalah penting ini diangkat sebagai suatu karya ilmiah. B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana?
2. Bagaimanakah pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana di luar KUHP?
3. Bagaimanakah kebijakan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana?
C. Tujuan Penelitian :
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui rumusan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana.
2. Mengetahui pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana di luar KUHP.
3. Mengetahui kebijakan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana.
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya :
1. Secara teoritis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis terhadap penanganan pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana di luar KUHP.
2. Secara praktis :
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
a. Aparat penegak hukum agar dapat mengetahui bagaimana pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana diluar KUHP tersebut sehingga memudahkan dalam penangangan tindak pidana korporasi.
b. Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap pembaharuan hukum pidana dalam perumusan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana diluar KUHP sehingga penegakan hukum yang menyangkut tindak pidana korporasi dapat dilakukan dengan baik.
c. Bagi akademisi sebagai langkah awal dalam pengembangan dan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui inventarisasi perundang-undangan khususnya dalam hal mengetahui prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul ”Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Di Luar KUHP” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas X, akan tetapi isu hukum yang berkaitan dengan korporasi telah pernah diteliti oleh beberapa orang yakni :
1. Mahmud Mulyadi, tesis pada tahun 2001 dengan judul proses pembuktian dan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup.
2. Edy Yunara, tesis pada tahun 2004 dengan judul pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana korupsi.
3. Zairida, tesis pada tahun 2005 dengan judul pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
Permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta elektronik. Mangacu kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Tesis Perlindungan Hukum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
(Kode ILMU-HKMX0027) : Tesis Perlindungan Hukum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kehidupan manusia baik dalam segi industri, ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan pada era sekarang ini sangat berpengaruh terhadap prikehidupan manusia sebagai makhluk pribadi (person) atau orang yang hidup, baik sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan negara secara universal. Hal lain yang paling sering menjadi obyek yang mendapat perhatian besar dan serius adalah masalah yang berkaitan dengan manusia yang mempunyai hak-hak dasar yang merupakan hak mutlak yang harus dilindungi, dijaga, dan harus dipertahankan, apalagi dalam suatu negara hukum.
Sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari criminal justice system secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat yang digunakan untuk menanggulangi berbagai tindak kejahatan, sehingga hal tersebut dapat tetap terjaga sesuai dengan batas-batas toleransi masyarakat. Gambaran ini hanyalah salah satu dari tujuan sistem peradilan pidana yang ada secara universal, sehingga cakupan sistem peradilan pidana itu memang dapat dikatakan luas yaitu :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah di pidana, dan
c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu tidak mengulangi lagi.2
Sebagai suatu sistem yang saling terkait, maka diharapkan adanya suatu kerjasama yang terintegrasi di antara perangkat-perangkat yang terkait di dalamnya. Jika terdapat kelemahan pada salah satu komponen yang ada di dalamnya, maka akan sangat mempengaruhi kinerja komponen lain dalam suatu sistem yang terintegrasi itu, bahkan kadang ada suatu kecenderungan yang kuat dalam suatu sistem peradilan pidana itu untuk memperluas komponen sistemnya, dalam pengertian law enforcement officer, yaitu sampai kepada pengacara atau advokat.3
Menurut Amir Syamsudin, penegakan hukum tidak mungkin terlepas dari pembicaraan atau pembahasan mengenai aparaturnya. Upaya penegakan hukum tentu saja harus ada aktornya. Sejauh ini ditemukan dan dirasakan fakta adanya penegakan hukum yang terus-menerus dilakukan, tetapi outputnya tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Kenapa hal ini terjadi? Hal ini dikarenakan gagalnya proses penegakan hukum yang dilakoni selama ini. Salah satu penyebab utama adalah integritas penegak hukum yang rendah.4
Ada empat faktor yang menandai kondisi gagalnya proses penegakan hukum di Indonesia. Pertama, ketidakmandirian hukum, Kedua, integritas penegak hukum yang buruk, Ketiga, kondisi masyarakat yang rapuh dan sedang mengalami Pseudoreformatif Syndrome, dan Keempat, pertumbuhan hukum yang mandek. Secara konkretnya, kegagalan proses penegakan hukum bersumber dari substansi peraturan perundang-undangan yang tidak berkeadilan, aparat penegak hukum yang korup, dan budaya masyarakat yang buruk serta lemahnya kelembagaan hukum.5 Untuk mencapai suatu suasana kehidupan masyarakat hukum yang mampu menegakkan kepastian hukum dan sekaligus mencerminkan rasa keadilan masyarakat maka diperlukan beberapa faktor.
1. Adanya suatu perangkat hukum yang demokratis (aspiratif).
2. Adanya struktur birokrasi kelembagaan hukum yang efisien dan efektif serta transparan dan akuntabel.
3. Adanya aparat hukum dan profesi hukum yang profesional memiliki integritas moral yang tinggi.
4. Adanya budaya yang yang menghormati, taat dan menunjang tinggi nilai-nilai hukum dan HAM menegakkan supremasi hukum (rule of law)6.
Bertolak dari pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luas seperti dikemukakan di atas, maka .kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. artinya harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman dalam arti luas yaitu kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, maka .kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana, artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang penegakan hukum pidana (yaitu .kekuasaan penyidikan., kekuasaan penuntutan., .kekuasaan mengadili., dan .kekuasaan eksekusi pidana., seharusnya merdeka dan mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/eksekutif. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus terwujud dalam keseluruhan proses dalam sistem peradilan pidana (SPP) harus merdeka dan mandiri. Tidaklah ada artinya apabila kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri itu hanya ada pada salah satu sub sistem (yaitu pada sub sistem .kekuasaan mengadili.).7
Kebijakan pengembangan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum tentunya terkait dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas aparat penegak hukum itu sendiri. Berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individual (SDM) kualitas institusional/kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/manajemen, kualitas sarana/prasarana, kualitas substansi hukum/perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya, termasuk budaya hukum masyarakat). Dengan demikian upaya peningkatan kualitas aparat penegak hukum/penegakan hukum harus mencakup keseluruhan aspek/kualitas yang mempengaruhi kualitas penegakan hukum.
Pada prinsipnya dalam paham negara hukum .rechtstaat. terkandung asas supremasi hukum (supremacy law) asas persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap orang (equality before the law) dan asas perlindungan terhadap hak asasi manusia.8
Dalam KUHAP dimuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerjasama yang dititik beratkan bukan hanya untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbina suatu tim aparat penegak hukum yang dibebani tugas dan tanggung jawab saling mengawasi dalam .sistem checking. antara sesama mereka. Bahkan sistem ini bukan hanya meliputi antara instansi pejabat lembaga pemasyarakatan, penasehat hukum, dan keluarga tersangka/terdakwa. Dengan adanya penggarisan penguasaan yang berbentuk checking, KUHP telah menciptakan dua bentuk sistem pengawasan dalam pelaksanaan penegakan hukum di negara Indonesia : 9
Pertama; built in control pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan struktural oleh masing-masing instansi menurut jenjang pengawasan (span of control) oleh atasan kepada bawahan. Pengawasan built in control merupakan pengawasan yang dengan sendirinya ada pada struktur organisasi jawatan.
Kedua; demi tercapainya penegakan hukum yang lebih bersih dan manusiawi, penegakan hukum harus diawasi dengan baik. Semakin baik dan teratur mekanisme pengawasan dalam suatu satuan kerja, semakin tinggi prestasi kerja. Karena dengan mekanisme pengawasan yang teratur, setiap saat dapat diketahui penyimpangan yang terjadi. Jika sedini mungkin penyimpangan dapat dimonitor, masih mudah untuk mengembalikan penyimpangan tersebut ke arah tujuan dan sasaran yang hendak dicapai/sebenarnya.
Untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan penegakan hukum, KUHAP telah mengatur suatu sistem pengawasan yang berbentuk .sistem checking. di antara sesama instansi. Malah di dalamnya ikut terlibat peran tersangka/terdakwa atau penasihat hukum. Sistem checking ini merupakan hubungan koordinasi fungsional dan instansional. Hal ini berarti, masing-masing instansi sama-sama berdiri setaraf dan sejajar antara instansi yang satu dengan yang lain, tidak ada yang berada di bawah atau di atas instansi yang lain. Yang ada adalah .koordinasi pelaksanaan fungsi. penegakan hukum antara instansi. Masing-masing melaksanakan ketentuan wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran dan kelanjutan penyelesaian proses penegakan hukum. Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan dan kekeliruan pada satu instansi dapat mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum.0
Penekanannya dititik beratkan pada cita .cara pelaksanaan. aparat penegak hukum terhadap setiap manusia yang berhadapan dengan mereka. Setiap manusia, apakah dia tersangka atau terdakwa harus diperlakukan :
a. Sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan harga diri.
Mereka bukan benda mati atau hewan yang boleh diperlakukan sesuka hati, mereka bukan barang dagangan yang dapat diperas dan dieksploitasi untuk memperkaya dan mencari keuntungan bagi pejabat penegak hukum.
b. Mereka harus diperlakukan dengan cara yang manusiawi dan beradab.
Tersangka dan terdakwa bukan binatang dan bukan sampah masyarakat yang dapat diperlakukan dengan kasar, kejam dan bengis, mereka adalah manusia yang harus diakui dan dihargai :
1. Sebagai manusia yang mempunyai derajat yang sama dengan manusia lain atau equal and dignitiy.
2. Mempunyai hak perlindungan hukum yang sama dengan manusia selebihnya atau equal protection on the law.
3. Mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, serta perlakuan keadilan yang sama di bawah hukum (equal before the law and equal justice under the law).1
Dengan landasan filosofis kemanusiaan diharapkan suatu penegakan hukum yang luhur dan berbudi yang menempatkan kedudukan aparat penegak hukum sebagai pengendali hukum demi mempertahankan perlindungan dan ketertiban masyarakat pada suatu pihak, dan pada pihak lain menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai subjek hukum yang berhak mempertahankan derajat martabatnya di depan hukum, dan aparat penegak hukum harus melindungi hak kemanusiaannya.
Budaya hukum merupakan unsur pendukung lain yang sangat erat kaitannya dengan penegakan hak asasi manusia di era globalisasi. Budaya hukum (legal culture) merupakan salah satu unsur penting yang ada dalam rangka penegakan hukum. Selain struktur dan substansi hukum, untuk mengetahui mengapa legal culture sangat penting dalam menentukan suatu sistem hukum dapat berjalan atau tidak sebagaimana diharapkan oleh para pembuat sistem hukum tersebut, maka dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Lawrence. M. Friedman, sebagai berikut :
Working legal system can be analyzed further into three kinds of components. Some are structural the institusion themselves, the from they take, the process that they perform : These are structure. Structure includes the number and the type of courts, presence of absence of constitusion, presence of absence of federalism pluralism, devision of power between judges legislator in various institusion, and the like. Other component are substantive, this is the out put side of the legal system. These are the laws them selvesthe rules doctrines, statutes, and decress to the extent they are actually used by the rules and ruled; And in addition, all other rules and the decisions which govern, whatever their formal statutes others elementsin in the systems are cultural. These are the values and attitudes whics binds the system together and wich determine the place of the legal system in culuire of a society as a whole. What kind of training and habbits do the lawyers and judges have.? What do people thing of law?, do groups or individual willingly go to court? For what pur posedo people turn of lawyers, for what purpose do they make of other officials and inter mediarries? Islam there respect for law, govertmen traditions? what Islam the relationship between class structure and the use of legal instutions? who prefers which kind of controls and why.2
Suatu sistem hukum yang bekerja dapat dianalisa lebih lanjut dalam 3 (tiga) komponen yakni : Pertama, struktural (structural) yaitu struktur atau bentuk lembaga dan institusi dari sistem hukum tersebut dan proses yang mereka jalankan. Struktur dapat berupa jumlah dan pengadilan yang ada. Kedua, substansi (substantif) di mana dari hasil (output) dari suatu sistem hukum yang merupakan sistem hukum itu sendiri yang terdiri dari aturan-aturan, doktrin sepanjang digunakan oleh yang mengatur dan yang diatur. Ketiga, (cultural) atau kebudayaan yang merupakan nilai-nilai dan cara pandang yang menyatukan sistem tersebut dan yang menentukan di mana sistem hukum itu diletakkan dalam kebudayaan atau masyarakat secara keseluruhan, seperti pendidikan dan kebiasaan apa yang dipunyai oleh para ahli hukum dan apa pendapat masyarakat tentang hukum.3
Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana diartikan sebagai pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan yang hakiki, yang terjadi antara individu pelanggar hukum dengan masyarakat serta lingkungan kehidupannya.4 Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.5 Sistem pemasyarakatan dalam pelaksanaannya untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan kembali ketengah-tengah masyarakat dengan baik. Ada tiga peran yang saling berkaitan dan sangat penting untuk mencapai keberhasilan dalam proses pembinaan dan bimbingan tersebut yaitu, narapidana itu sendiri, masyarakat dan petugas.6
Menurut teori Leo Fonseka ada tiga pilar utama di dalam pembangunan nasional yaitu pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Maka dengan sistem pemasyarakatan Indonesia (sipasindo) juga ada tiga pilar utama di dalam .membangun manusia mandiri. Ketiga pilar tersebut adalah masyarakat, petugas pemasyarakatan dan narapidana, di antara ketiganya harus saling terkait dan saling menjaga keseimbangan di dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada, khususnya membangun manusia mandiri di lingkungan permasyarakatan .the more internal balanced and independent the three are the better it is for the society.7
Kualitas petugas termaksud di dalamnya kualitas kesejahteraan merupakan satu hal yang sangat dominan dalam mempengaruhi kinerja pemasyarakatan. Kualitas petugas yang baik akan meningkatkan kinerja organisasi, sebaliknya kualitas petugas yang rendah berdampak pada buruknya kinerja organisasi.8
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil yang layak dalam hubungan kerja.9
The Implementation Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisoners, menyatakan bahwa syarat yang harus dimiliki petugas pemasyarakatan adalah integritas moral, profesionalisme, rasa kemanusiaan dan kecocokan pekerjaan itu dengan hati nuraninya. Karena itu upaya yang harus ditempuh dalam manajemen pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi kondusif bagi terbentuknya petugas yang memenuhi persyaratan tersebut, melalui proses rekruitmen, pendidikan, dan latihan, pembinaan karir dan lain sebagainya.160
Secara ideal, proses akomodasi harus berlangsung dengan sistem formal, di mana pada intinya tukar menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku. Hakhak penghuni yang dijamin undang-undang dijadikan modus/sarana terciptanya kondisi dan perilaku yang diinginkan (conditioning operant) dalam kondisi inilah fungsi penjara (Lembaga Pemasyarakatan) dapat diharapkan sebagai tempat untuk mengubah tingkah laku penghuninya dari yang tidak baik menjadi perilaku yang terpuji.
Secara faktual kondisi ideal proses akomodasi yang berlangsung dengan sistem formal yang pada intinya merupakan tukar menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku tersebut seringkali sulit dicapai, karena berbagai alasan, antara lain masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan petugas, dan sisi lain adanya kecenderungan status sosial ekonomi narapidana yang makin tinggi.161
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan hukum pidana atau asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan melalui pendidikan, rehabilitas, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran lembaga pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila petugas pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan terhadap warga binaan pemasyarakatan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditetapkan sebagai pejabat fungsional penegak hukum.162
Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), dengan demikian pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakan hukum.163
Mengingat tugas dan tanggung jawab petugas pemasyarakatan yang demikian berat adalah suatu hal yang wajar apabila diciptakan peraturan sebagai payung hukum bagi setiap tindakan yang dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Tidak hanya hak-hak para tahanan dan narapidana yang harus dilindungi, tetapi hak-hak dari para petugas pelaksana terutama hak untuk mendapatkan perlindungan dan memperoleh kenyamanan dalam bekerja juga tidak bisa diabaikan.
Perlindungan hukum bagi petugas pemasyarakatan merupakan hal yang sangat esensial. Perlindungan yang dimaksud bukan berarti menyebabkan petugas tersebut menjadi kebal hukum, akan tetapi bertujuan agar si petugas tersebut mampu lebih bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya dengan maksimal. Perlindungan hukum tersebut juga merupakan suatu upaya bagi suatu instansi dalam melindungi petugasnya dari kemungkinan intervensi terlalu jauh dari pihak lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana peraturan perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan di dalam pelaksanaan tugas?
2. Bagaimana pelaksanaan kedudukan dan fungsi perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan?
3. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari ketidakjelasan jaminan perlindungan hukum petugas pemasyarakatan di dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan di dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan kedudukan dan fungsi perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan.
3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari ketidakjelasan jaminan perlindungan hukum petugas pemasyarakatan di dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran di bidang penegakan hukum khususnya mengenai pemasyarakatan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam penyusunan rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas X, penelitian mengenai analisis Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan belum pernah dilakukan pada topik dan permasalahan yang sama.
Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.
Tesis Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan Di Rutan Klas I Kota X
(Kode ILMU-HKMX0025) : Tesis Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan Di Rutan Klas I Kota X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonsia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat). Sebagai negara hukum maka Indonesia selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selalu menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Idealnya, sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem kedaulatan hukum atau supremasi hukum yaitu hukum mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam negara.
Sebagai negara hukum, Indonesia menganut salah satu asas yang penting yakni asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Asas yang demikian selain ditemukan dalam Undang.undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) juga dapat disimak dalam Undang.undang Nomor 4 Tahun 2004 yang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman. Dinyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, seseorang yang menjadi tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana harus diberikan hak.hak sebagai bentuk perlindungan dan jaminan hak asasi yang dimilikinya.
Hukum positip di Indonesia mengenai hak-hak tersangka/terdakwa dibatasi sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Berdasarkan pentahapan proses peradilan pidana hak tersangka/terdakwa dapat dibagi hak yang berkaitan dalam proses pra adjudikasi (proses penyelidikan dan penyidikan), hak yang berkaitan dalam proses adjudikasi (proses penuntutan dan pemeriksaan di persidangan), hak yang berkaitan dengan proses post adjudikasi (proses setelah dijatuhi hukuman tetapi belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti).
Negara hukum yang dibangun di atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial nampaknya merupakan aspirasi dari para pendiri Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam pokok-pokok pikiran yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 serta penjelasannya yang menyebutkan anatara lain bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. . Penegasan tersebut mengandung makna bahwa hukum harus diberi peranan sebagai titik sentral dalam seluruh kehidupan perorangan, masyarakat, maupun bangsa dan negara.
Seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum positip seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana maka akan mengalami proses peradilan dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia atau Criminal Justice Sistem. Menurut Romli Atmasasmita : Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menyebabkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana sedangkan Criminal Justice Sistem.adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Kepolisian merupakan ujung tombak dalam sistem Peradilan Pidana dimana pelaksanaan tugasnya memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan, penahanan, dan penyelidikan terhadap peristiwa yang berkaitan dalam pelaksanaan hukum. Setelah dilakukan Penyidikan dan Penyelidikan oleh Kepolisian dalam suatu Berita Acara Pemeriksaan Perkara (BAP) maka BAP tersebut diserahkan ke pihak Kejaksaan. Kejaksaan adalah lembaga penuntutan, yang melakukan penuntutan dalam suatu perkara pidana. Berdasarkan BAP dari Kepolisian maka Kejaksaan dapat melakukan penuntutan.
Pengadilan sebagai institusi yang melakukan pemeriksaan terhadap permasalahan pelanggaran hukum menentukan kesalahan dan kebenaran dan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa sesuai dengan tingkat kesalahannya. Lembaga Peradilan di Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi untuk memeriksa tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat Pemeriksaan Kasasi sementara Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan bagian akhir dari SPP yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan perawatan warga binaan pemasyarakatan, pembinaan dan rehabilitasi. Jadi putusan pengadilan merupakan tonggak yang penting bagi cerminan keadilan, termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana dan pemidanaan. Lahirnya penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan muncul begitu saja, melainkan melalui proses peradilan. Proses yang dikehendaki undang-undang adalah cepat, sederhana, dan biaya ringan. Biasanya asas itu masih ditambah bebas, jujur dan tidak memihak serta adil.
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang Pengadilan terhadap seseorang dapat dilakukan penahanan yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oeh Penyidik atau Penuntut umum atau Hakim dengan penetapannya dan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang. Penjatuhan pidana dan pemidanaan dapat dikatakan cermin peradilan pidana. Apabila proses peradilan yang misalnya berakhir dengan penjatuhan pidana itu berjalan sesuai asas peradilan, niscaya peradilan dinilai baik. Apabila sebaliknya, tentu saja dinilai sebaliknya pula. Bahkan dapat dicap sebagai ada kemerosotan kewibawaan hukum. Penahanan terhadap seseorang dapat dilakukan dengan alasan sebagai berikut :
1. Mencegah tersangka atau terdakwa lebih lanjut melakukan tindak pidana;
2. mencegah tersangka atau terdakwa mengintimidasi korban atau saksi;
3. mencegah tersangka atau terdakwa berbahaya untuk merusak atau menghilangkan barang bukti;
4. mencegah tersangka atau terdakwa untuk merusak atau menghilangkan barang bukti;
5. mencegah tersangka atau terdakwa melarikan diri yang berdampak pemeriksaan terlarang
Salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) pada jajaran Pemasyarakatan yang berfungsi sebagai tempat melakukan penahanan adalah Rumah Tahanan Negara untuk selanjutnya disingkat rutan adalah tempat orang-orang yang ditahan secara sah oleh pihak yang berwenang dan tempat terpidana penjara (dengan masa pidana tertentu). Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rutan merupakan proses awal hilangnya kemerdekaan bergerak seperti dikemukakan oleh Baharuddin Suryobroto :
Bahwa warga binaan pemasyarakatan yang ditempatkan di rutan merupakan proses penderitaan permulaan selama belum ada putusan dari Pengadilan Pidana yang memutuskan apakah perampasan kemerdekaan permulaan itu harus diakhiri atau harus dilanjutkan untuk kemudian diputuskan secara definitif apakah yang bersangkutan selanjutnya harus dikenakan perampasan kemerdekaan sebagai sanksi pidana, yang pelaksanaannya dilakukan oleh instansi pelaksana pidana yang hilang kemerdekaan atau instansi pemasyarakatan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rutan merupakan tempat untuk melaksanakan perampasan dan kemerdekaan dapat diakhiri dengan bebas dari segala tuntutan hukum atau dilajutkan berdasarkan Putusan Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa terpidana yang salah harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan dengan menjalani pidan penjara. Manusia adalah makluk sosial karena mereka hidup bersama dalam berbagai kelompok yang terorganisasi yang disebut masyarakat.
Rutan juga merupakan suatu bentuk masyarakat yang unik dimana anggotanya terdiri dari Petugas, warga binaan pemasyarakatan, dan narapidana serta masyarakat. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu keadaan yang dipaksakan, Lingkungan yang tereliminasi dari dunia luar karena dibatasi oleh tembok keliling dan diatur oleh berbagai macam kontrol sosial baik formal maupun informal yang bersumber dari petugas maupun yang berlaku di kalangan mereka sendiri .
PBB menetapkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan perlindungan HAM seperti Konvensi Hak Sipil dan Politik; Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; Konvensi Hak Anak; Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, standar` perlakuan minimum terhadap Narapidana/Warga binaan pemasyarakatan; Konvensi Internasional penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial; Konvensi Internasional penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan lain-lain. Beberapa instrumen internasional tersebut telah diratifikasi ke dalam perundang-undangan RI. HAM melekat pada diri setiap manusia tanpa memandang bulu, termasuk juga bagi narapidana/warga binaan pemasyarakatan yang melanggar hukum. Hukum merupakan suatu gejala yang muncul dalam hidup manusia sebagai norma bagi kehidupan bersama. Sebagaimana hidup manusia mempunyai banyak seginya, demikian pula dengan norma-norma bagi hidup manusia. Hukum itu seluas hidup itu sendiri.
Standard Minimum Rules for Prisoners (SMR) - Standar Perlakuan Minimum bagi Narapidana dan Warga binaan pemasyarakatan- menyatakan bahwa hak yang hilang daripada narapidana/warga binaan pemasyarakatan hanyalah hak atas kebebasan. Akan tetapi hak-hak lain yang melekat pada dirinya harus tetap diberikan selama mereka menjalani masa pidana/masa warga binaan pemasyarakatannya. Berdasarkan alasan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul .Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Warga binaan pemasyarakatan di Rutan Klas I Kota X . untuk disajikan menjadi suatu penelitian dalam tesis ini.
B. Rumusan Masalah
Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini, maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah diidentifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap sesama warga binaan pemasyarakatan di Rutan Klas I Kota X ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap sesama warga binaan pemasyarakatan di rutan Klas I Kota X ?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan petugas untuk mencegah tindak kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan baru di Rutan Klas I Kota X ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahn yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap sesama warga binaan pemasyarakatan di Rutan Klas I Kota X
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap sesama warga binaan pemasyarakatan di Rutan Klas I Kota X.
3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan petugas untuk mencegah tindak kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan baru di Rutan Klas I Kota X.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang di dapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah khasanah kepustakaan.
2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuaan hukum mengenai pendekatan yang dapat dilakukan terhadap warga binaan pemasyarakatan, untuk berbagai kalangan yaitu :
a. Aparat/Praktisi hukum agar mengetahui pendekatan yang dapat dilakukan terhadap warga binaan pemasyarakatan untuk mencegah tindakan kekerasan terhadap sesama warga binaan pemasyarakatan
b. Pelaku yaitu orang yang melakukan kekerasan agar jangan lagi mengulangi perbuatannya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada sekolah Pascasarjana, Universitas X belum ada penelitian menyangkut masalah “Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Rutan Klas I Kota X”.
Sepanjang yang penulis ketahui belum pernah ada tulisan tentang topik yang sama. Dengan demikian penelitian ini betul asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisasi yang sifatnya konstruktif sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.