Jakarta, Kemdikbud –Pendidikan tinggi tidak lagi hanya dapat dinikmati masyarakat kalangan menengah atas. Dengan disahkannya Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pemerintah membuka peluang bagi masyarakat tidak mampu untuk mengenyam kuliah di perguruan tinggi negeri. Ada lima tujuan yang tercantum dalam undang-undang tersebut, mulai dari peningkatan akses, mutu, relevansi, daya saing internasional, dan tata kelola.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Patdono Suwignjo, mengatakan, dalam hal peningkatan akses, yang dilakukan pemerintah tidak hanya menyediakan perguruan tinggi (PTN) dalam jumlah banyak. Tapi juga memastikan masyarakat dapat masuk PTN dengan biaya terjangkau.
“Selama ini keluhan dari masyarakat adalah untuk menempuh pendidikan tinggi itu mahal. Dengan UU No. 12 tahun 2012, siapapun pemerintah nanti wajib memperhatikan orang miskin,” katanya pada gelar wicara dengan radio Elshinta, di Kantor Kemdikbud, Jumat (18/07).
Untuk urusan pembiayaan ini, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyediakan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BOPTN merupakan biaya operasional yang diberikan kepada PTN agar PTN tidak lagi menarik bayaran yang terlalu besar dari masyarakat. “Sekarang tidak ada lagi biaya gedung, biaya SPP, biaya laboratorium. Semuanya dihitung dan digabung menjadi biaya kuliah tunggal (BKT),” katanya.
Masing-masing PTN memiliki alokasi BOPTN yang berbeda. Alokasi tersebut sesuai dengan perhitungan seluruh biaya yang diperlukan untuk menjalankan perkuliahan selama satu semester di masing-masing program studi (prodi) di masing-masing PTN. Dan masing-masing PTN membagi biaya perkuliahan yang disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT) dalam beberapa kelompok.
Kelompok pertama, adalah mahasiswa yang membayar UKT dari Rp. 0 – Rp. 500 ribu. Jumlah mahasiswa yang masuk kelompok ini minimal lima persen dari jumlah mahasiswa di setiap PTN.
Kelompok kedua, adalah mahasiswa yang membayar sebesar Rp. 500 ribu – Rp. 1 juta. Jumlah kelompok ini juga harus minimal lima persen. “Jadi mahasiswa yang membayar Rp. 0 – Rp. 1 juta per semester di setiap PTN minimal ada 10 persen,” kata Patdono.
Sedangkan bagi mahasiswa yang tidak masuk di kelompok tersebut, akan dimasukkan ke kelompok tiga hingga kelompok delapan, dimana kelompok delapan adalah UKT tertinggi. Pengelompokan ini dilakukan berdasarkan penghasilan orang tua calon mahasiswa setiap bulan. Patdono mencontohkan, di Universitas Indonesia UKT tertinggi ada di prodi kedokteran, yaitu Rp7,5 juta per semester. Mahasiswa yang dikenai UKT tertinggi ini tentu adalah mahasiswa yang orang tuanya memiliki penghasilan tinggi.
Selain dengan UKT, bagi calon mahasiswa yang benar-benar tidak mampu tapi memiliki kemampuan akademis yang baik juga disediakan beasiswa Bidikmisi. Beasiswa ini tidak hanya untuk biaya kuliah, tapi juga mencakup biaya hidup. “Orang miskin kalau Cuma dikasih biaya kuliah, tetap tidak akan kuliah karena kebutuhan pribadinya juga belum terpenuhi. Makanya Bidikmisi juga menyediakan biaya hidup,” ucap Patdono.
Besarnya biaya hidup yang disediakan untuk Bidikmisi adalah Rp. 600 ribu per bulan. Dan untuk biaya kuliahnya sendiri disediakan hingga lulus, kurang lebih empat tahun.
Patdono menambahkan, diterbitkannya UU No 12 tahun 2012 ini sangat baik bagi masyarakat. Karena di dalamnya ada kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan BOPTN. Dan kebijakan ini akan terus berlaku selama undang-undang ini ada. Bahkan sejak disahkan, ada kecenderungan pemerintah untuk mengusulkan kenaikan anggaran BOPTN. “Artinya, siapapun nanti pemerintahannya, dia wajib untuk menyediakan BOPTN. Jadi mahasiswa tidak mampu bisa akses ke PTN bisa lebih banyak. Sampai kapan? Sampai dunia berakhir, kecuali UU no. 12 dicabut,” ucapnya. (Aline Rogeleonick)
Sumber : Kemdikbud RI
Post a Comment