Cari Kategori

KARTU KREDIT SEBAGAI BAGIAN DARI KREDIT TANPA AGUNAN (DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERJANJIAN)

Posted by Indeks Prestasi

SKRIPSI KARTU KREDIT SEBAGAI BAGIAN DARI KREDIT TANPA AGUNAN (DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERJANJIAN)
 
1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Dalam menunjang terpenuhinya kebutuhan hidup bagi sebagian besar masyarakat di perkotaan (terutama di pusat-pusat kota, sebagai contoh di Jakarta), serta berdasarkan tingginya mobilitas masyarakat Indonesia, khususnya yang bertempat tinggal didaerah perkotaan, menyebabkan hal ini membuka kesempatan serta memberi peluang bagi bank swasta dan bank pemerintah untuk memberikan kredit tanpa agunan.
 
Pemberian kredit tanpa agunan ini diberikan pada orang-orang yang kebetulan telah lama menjadi nasabahnya ataupun melalui gencarnya penawaran-penawaran yang dilakukan oleh bank-bank tersebut, khususnya bank-bank swasta yang mempunyai keberanian lebih dibanding bank pemerintah. Kredit Tanpa Agunan ini pada dasarnya menguntungkan sebagian masyarakat yang memang kebetulan membutuhkan dana cepat tanpa harus dibebani oleh keharusan menjaminkan harta bendanya, walaupun pada dasarnya kredit tanpa agunan ini mengakibatkan bunga yang tinggi serta mempunyai jangka waktu kredit yang terbatas (antara 1 sampai dengan 3 tahun).
 
Pada dasarnya perjanjian kredit dapat kita bagi atas perjanjian kredit yang memiliki agunan dan perjanjian yang tidak atau tanpa agunan. Persoalan agunan ini berkaitan dengan ketentuan pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut "KUHPer"). Kedua pasal ini membahas tentang piutang-piutang yang diistimewakan. Pasal 1131 mengatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Dan pasal 1132 mengatakan bahwa kebendaan teersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para piutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
 
Pihak bank biasanya dalam memberikan kredit akan menentukan terlebih dahulu apa yang menjadi jaminan atau agunan dari kredit yang dikeluarkan, misalnya dalam kredit pembelian kendaraan yang menjadi agunan biasanya adalah BPKB dari kendaraan tersebut. Buat pihak bank dengan ditentukan dari awal tentang apa yang menjadi jaminan terhadap kredit yang diberikan akan memudahkan bagi bank untuk melakukan eksekusi bila terjadi wanprestasi karena sudah tertentu apa yang menjadi agunannya.
 
Untuk kredit tanpa agunan, karena pihak bank tidak menentukan dari awal apa yang menjadi agunannya, maka berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer, harta kekayaan milik dari debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah utang yang harus dibayarkan oleh debitur. Akibatnya jika terjadi wanprestasi dari pihak kreditur, maka pihak Bank melakukan eksekusi berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer.
 
Dasar bagi Bank Penerbit untuk melakukan bila terjadi eksekusi tentunya adalah perjanjian yang dibuat pada awalnya suatu perikatan teradi, yaitu dimana permohonan aplikasi permohonan kredit yang anda ajukan disetujui oleh pihak Bank Penerbit. Bila anda wanprestasi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut, misalnya adanya keterlambatan pembayaran dari pengguna fasilitas kredit.
 
Pada dasarnya Kredit Tanpa Agunan ini, secara tidak langsung merugikan nasabah, karena pihak Bank tidak menentukan dari awal apa yang menjadi agunannya, namun berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer, harta kekayaan milik dari debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah utang yang harus dibayarkan oleh debitur. Hal ini tentu saja tidaklah diketahui secara umum oleh orang-orang yang menerima kredit Tanpa Agunan tersebut, karena tidak dikemukakan secara transparan oleh Bank pemberi kredit tanpa agunan. Sehingga jika terjadi wanprestasi dari pihak kreditur, maka pihak bank akan melakukan eksekusi berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer.
 
Kredit tanpa agunan ini tidak terlepas dari adanya pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh Kreditur maupun oleh Debitur. Pelanggaran ini dapat terjadi dalam beberapa cara, missal: salah satu pihak dengan tegas melepaskan tanggung jawabnya dan menolak melaksanakan kewajiban dipihaknya sehingga menimbulkan sengketa di antara kedua belah pihak.
 
Sengketa adalah salah satu permasalahan hukum yang timbul dalam Kredit Tanpa agunan. Perjanjian Kredit Tanpa Agunan inilah yang akan penulis bahas dalam skripsi ini.

1.2. POKOK PERMASALAHAN
Melihat latar belakang permasalahan yang telah dijabarkan di atas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, adalah:
1. Permasalahan hukum apakah yang timbul dalam proses terjadinya Kredit Tanpa Agunan?
2. Apa akibat hukumnya bila terjadi wanprestasi pada Kredit Tanpa Agunan?

1.3. TUJUAN PENULISAN
Setiap penulisan sebuah karya ilmiah tentunya memiliki tujuan-tujuan tertentu. Demikian juga dengan penulisan skripsi ini, secara umum tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menemukan konstruksi hukum dari suatu Kredit Tanpa Agunan.
Secara khusus, sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengetahui beberapa hal, yaitu:
1. Untuk mengetahui Permasalahan hukum yang timbul dalam proses terjadinya Kredit Tanpa Agunan.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari Kredit Tanpa Agunan bila terjadi wanprestasi.

1.4. KERANGKA KONSEPSIONAL
Pemaparan teori dan permasalahan dalam skripsi ini menggunakan beberapa konsep yang biasa digunakan dalam Hukum Perjanjian dan perjanjian kredit dalam praktek yang dilakukan sehari-hari. Beberapa konsep yang dimaksud adalah:
1. Perjanjian
Pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah :
Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Dalam skripsi ini perjanjian yang akan dibahas adalah perjanjian kredit yang merupakan pengembangan dari bentuk dasar perjanjian pinjam-meminjam.
Pinjam-meminjam menurut pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah:
Pinjam-meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
2. Kredit
Pengertian kredit yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana dirubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, ialah:
"Kredit Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet.8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), pasal 1313.
3. Agunan kredit
Pengertian agunan kredit yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana dirubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, adalah:
"Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberiaan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah."

1.5. METODE PENELITIAN
1.5.1. Jenis penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode normatif. Hal ini dikarenakan pengambilan data dalam skripsi ini didapat dari bahan-bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan tema yang dibahas, diktat-diktat perkuliahan, dan catatan perkuliahan yang dibuat oleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum.
1.5.2. Jenis Data Penelitian
Dalam skripsi ini penulis akan menggunakan data-data yang berkaitan dengan tema penulisan. Adapun data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang meliputi tiga bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Indonesia (b), Undang-undang Perbankan, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790, 10 November 1998), Pasal 1 angka 11.
a. Primer, yaitu Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, peraturan-peraturan Bank Indonesia
b. Sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan antara lain,Hukum Perbankan Di Indonesia oleh Drs. M. Djumhana, Hukum Kredit dan Bank Garansi (The Bankers Hand Book) oleh H.R. Daeng Naja, dan Hukum Kebendaan Perdata (Hak-hak Yang Memberi Jaminan) oleh Frieda Husni Hasbullah, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia oleh Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H.
c. Tersier, yaitu kamus bahasa Indonesia dan Inggris yang penulis gunakan untuk menemukan arti dan penjelasan mengenai suatu terminologi dalam perjanjian kredit yang menggunakan bahasa asing dan istilah-istilah perbankan.
Penulisan ini memakai alat pengumpulan data berupa studi dokumen atau bahan pustaka yang berkaitan dengan judul tulisan, yaitu mengenai kartu kredit sebagai bagian dari kredit tanpa agunan (ditinjau dari aspek hukum perjanjian). Dalam studi dokumen yang dimaksud, penulis melakukan penelitian kepustakaan dengan membaca bahan-bahan hukum baik yang dimiliki, diperoleh dari perpustakaan maupun adanya bahan-bahan yang diperoleh dengan cara mencatat pada proses perkuliahan yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.
1.5.3. Analisa Data
Cara penganalisaan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analitis-deskriptif. Analitis yang dimaksud adalah penulis dalam penulisan skripsi ini bermaksud untuk menganalisa dan mempelajari keadaan dan kondisi yang terjadi saat ini mengenai perjanjian kredit dalam praktek sehari-hari sesuai dengan pokok permalahan.
Analisis yang penulis lakukan juga meliputi analisis terhadap teori-teori serta doktrin hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang selanjutnya akan digunakan oleh penulis dalam mendeskripsikan permasalahan dalam penelitian ini. Sedangkan, deskriptif adalah langkah penulis selanjutnya untuk kemudian menggambarkan secara tepat keadaan dan gejala yang telah dianalisa sebelumnya untuk kemudian dijabarkan dan diolah dalam suatu hasil penelitian.

1.6. SISTEMATIKA PENULISAN
Sebagai pembahasan terakhir dari bab pendahuluan, dibawah ini akan penulis uraikan secara singkat isi dari keseluruhan penulisan skripsi ini, yang terbagi dalam lima bab dan disajikan dengan sistematika sebagai berikut: BAB I
Bab ini terdiri dari latar belakang penulisan skripsi ini, pokok-pokok permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan, serta sistematika penulisan yang menerangkan isi skripsi ini bab demi bab.
BAB II
Merupakan bab yang menguraikan mengenai perjanjian pada umumnya yang memuat pengertian umum tentang perjanjian, sifat dan asas hukum perjanjian, syarat sahnya perjanjian, bagian perjanjian, sifat dan unsur perjanjian, lahirnya suatu perjanjian serta berakhirnya suatu perjanjian.
BAB III
Bab ini membahas mengenai pengertian tentang Kredit Tanpa Agunan yang memuat pengertian tentang Agunan Tanpa Kredit, hak dan kewajiban para pihak, subyek dan obyek perjanjian kredit tanpa agunan, serta akibat yang timbul dari suatu perjanjian kredit Tanpa Agunan.
BAB IV
Bab ini merupakan pokok dari rangkaian pembahasan skripsi. Dalam bab ini penulis akan mencoba menghubungkan teori perjanjian dan teori kredit tanpa agunan dengan permasalahan hukumnya serta jika terjadi wanprestasi dalam Kredit Tanpa Agunan, dan sengketa yg mungkin timbul dalam Kredit Tanpa Agunan dan penyelesaiannya.
BAB V
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran, penulis berusaha untuk menyimpulkan masalah pokok yang dibahas dalam skripsi ini. Dan sebagai penutup, penulis juga mencoba untuk memberikan saran-saran yang mudah-mudahan dapat bermanfaat dalam hubungannya dengan perjanjian kredit tanpa agunan.

Related Post



Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:49:00

Post a Comment