Cari Kategori

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Posted by Indeks Prestasi

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Menurut J.G. Starke, hukum internasional adalah suatu sistem yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara. Dengan merujuk pada praktik internasional yang berlaku dan hukum positif, pada umumnya pakar hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara dan oleh karena itu individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.

Sebaliknya ada juga yang berpendapat lain, terutama Prof. Georges Scelle, pakar hukum ternama dari Prancis, bahwa hanya individu yang merupakan subjek hukum internasional. Para pendukung doktrin ini berpandangan bahwa bukankah tujuan akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu para individu mendapatkan perlindungan internasional. Sebagai contoh, suatu konvensi internasional yang ditandatangani oleh sejumlah negara yang berisikan ketentuan bahwa pelayaran atas suatu sungai internasional adalah bebas, tidak lain berarti pemberian kebebasan kepada individu-individu agar dapat menggunakan sungai tersebut untuk keperluan usaha mereka. Aliran ini tampak benar pada isu hak asasi manusia, hak yang melekat pada individu, namun langsung diatur dalam hukum internasional.

Pada masa sekitar abad ke-18 dan 19, timbul kesadaran akan hak-hak asasi manusia yang salah satu di antaranya adalah hak untuk hidup. Perjuangan untuk melindungi hak-hak asasi manusia mencapai puncak pada abad ke-20. Deklarasi-deklarasi dan konvensi internasional serta seruan-seruan tentang hak-hak asasi manusia mulai bermunculan baik yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan organ-organnya maupun oleh negara-negara secara kolektif dan individual.

Pada umumnya, sepanjang negara menjalankan kewajibannya berdasarkan hukum nasional, bagaimana melakukannya tidak menjadi perhatian hukum internasional. Namun, dalam beberapa hal negara-negara bersepakat untuk menjalankan kewajiban mereka dengan cara tertentu. Inilah yang acapkali menjadi persoalan dalam bidang hak asasi manusia.

Seperti dalam hukum pidana, setiap negara berhak untuk menentukan berat atau besarnya ancaman hukuman terhadap suatu tindak atau peristiwa pidana. Namun, hukuman itu memiliki berbagai gradasi. Pada umumnya, telah diakui bahwa hukuman mati adalah merupakan jenis hukuman yang paling berat jika dibandingkan dengan jenis-jenis hukuman lainnya yang dikenal di dalam berbagai sistem hukum pidana negara-negara di dunia sebab hukuman mati merupakan pencabutan nyawa yang dengan sengaja dilakukan terhadap si terhukum untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu, sebagian kalangan berpendapat bahwa hukuman mati merupakan suatu bentuk pengikaran terhadap hak untuk hidup, sehingga dipandang tidak sesuai lagi dengan hak-hak asasi manusia.

Sebagai tambahan, hukuman mati adalah hukuman yang bersifat irreversible (tidak dapat diubah). Sudah menjadi pengetahuan di kalangan para ahli hukum bahwa Criminal Justice System is not infallible (Sistem peradilan pidana tidaklah sempurna). Peradilan pidana dapat saja keliru dalam menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Polisi, jaksa penuntut umum, maupun hakim adalah juga manusia yang bisa saja keliru ketika menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan hukuman mati maka kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal. Orang yang telah dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan lagi walaupun di kemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. Negara bisa mengganti uang denda, mengembalikan hak milik yang telah dirampas, atau mengkompensasi orang yang ternyata tidak bersalah tetapi dijatuhi hukuman penjara, tetapi tidak bisa mengembalikan seseorang dari kematian akibat hukuman mati yang telah dijatuhkan.

Ketidaksempurnaan sistem peradilan pidana merupakan suatu keniscayaan karena ia merupakan "hasil karya manusia". Bahkan di negara maju sekalipun seperti Amerika, kegagalan sistem pidana, untuk tidak menghukum orang yang tidak bersalah, cukup sering terjadi. Sejak tahun 1973, lebih dari 120 orang di Amerika yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati dibebaskan karena ditemukan bukti bahwa ternyata mereka sama sekali tidak bersalah.

Munculnya norma-norma internasional menyebutkan tentang pembatasan dan penghapusan hukuman mati merupakan suatu fenomena pasca Perang Dunia II. Sebagai suatu cita-cita dari negara beradab, penghapusan mulai dipropagandakan saat perumuskan isi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948, walaupun hanya berbentuk arti tersirat yang terkandung dalam pengakuan "right to life" (hak untuk hidup).

Arus yang menghimbau penghapusan hukuman mati sedang berkembang dalam masyarakat internasional. Penghapusan hukuman mati dilihat sebagai suatu elemen yang penting dalam perkembangan demokrasi di negara-negara yang ingin memutuskan hubungan dengan masa lalu yang dipenui dengan teror, ketidakadilan dan penindasan. Tren penghapusan ini terlihat dari berbagai produk hukum internasional yang dibentuk guna mendorong penghapusan hukuman mati. Selain UDHR, instrumen hukum hak asasi manusia lain yang paling mendasar adalah International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) dan Second Optional Protocol-nya serta beberapa konvensi regional lainnya. Pada tahun 2007, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengeluarkan Resolusi "Moratorium on the Use of the Death Penalty" yang menghimbau penghapusan hukuman mati.

Dewasa ini jumlah negara yang termasuk dalam kategori abolisionis terhadap hukuman mati sudah mencapai angka 129 dengan perincian 88 negara yang abolisionis untuk semua kejahatan (abolitionist for all crimes), 11 negara untuk kejahatan biasa (abolisionist for ordinary crimes only), dan 30 negara yang melakukan penangguhan hukuman mati (abolitionist in practice). Apabila dibandingkan dengan jumlah negara retensionis yang berjumlah 68 negara, maka statistik ini seperti menunjukkan adanya kecenderungan peradaban dunia untuk menghargai hak untuk hidup di atas hak-hak lain.

Selain itu, tekanan dari negara abolisionis juga bermunculan. Negara retensionis dituntut untuk setidaknya menerapkan Safeguards (upaya-upaya perlindungan) dalam peradilan dan penerapan hukuman mati. Pembuat hukum internasional juga mendesak agar pembatasan terhadap hukuman mati dengan berbagai upaya misalnya mengecualikan anak-anak di bawah umur, wanita hamil, dan orang tua dari ruang lingkup hukuman mati dan membatasinya dengan mengurangi daftar kejahatan-kejahatan serius yang diancam hukuman mati.

Masalah hukuman mati juga menjadi bahan pemikiran negara-negara di dalam penyusunan undang-undang dan perjanjian ekstradisi. Suatu negara bisa menolak untuk mengekstradisi seorang pelaku kejahatan kembali ke negara asalnya apabila setelah diekstradisi, orang tersebut akan dijatuhi hukuman mati, seperti yang terjadi pada kasus-kasus ekstradisi di Eropa dan Amerika.

Related Post



Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:08:00

Post a Comment