Manusia merupakan makhluk spiritual yang memiliki makna intrinsik yang harus ditemukan dalam kehidupannya. Motivasi dasar manusia bukanlah untuk mencari kesenangan, kekuasaan, ataupun materi melainkan untuk menemukan makna. Kesenangan yang merupakan salah satu komponen dari kebahagiaan merupakan produk dari telah ditemukannya makna sedangkan kekuasaan dan materi berkontribusi dalam kesejahteraan manusia yang nantinya akan digunakan di jalan yang bermakna. Semua orang termotivasi oleh keinginannya untuk bermakna dan memiliki kebebasan untuk menemukan makna (Fabry, 1980).
Jika kehidupan manusia itu berisikan pengalaman hidup yang penuh makna, maka keputusasaan terjadi saat makna itu habis. Seseorang hidup selama dia merasakan bahwa hidupnya memiliki makna dan nilai, selama dia memiliki sesuatu dalam hidup. la akan terus hidup selama ia memiliki harapan untuk dapat memenuhi makna dan nilai. Saat makna, nilai, dan harapan tersebut menghilang dari kehidupan seseorang, maka orang tersebut berhenti hidup (Jourard dalam Pianalto, 2004).
Keinginan yang paling fundamental pada manusia adalah keinginan untuk memperoleh makna bagi keberadaannya Jika keinginan kepada makna tidak terpenuhi maka individu akan merasa tidak bermakna (meaningless) dan putus asa bahkan memikirkan tentang bunuh diri. Mereka merasakan kehampaan dengan tidak melihat adanya suatu tujuan dalam hidup mereka. Perasaan tidak bermakna dan kekosongan ini dapat membuat orang menjadi depresi (Frankl, 1980) dan depresi berkaitan erat dengan tindakan bunuh diri (Barlow & Durand, 2005).
Pilihan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri digunakan sebagai respon terhadap krisis dan dilakukan oleh orang dari berbagai golongan dengan jenis masalah sosial, mental, emosional, dan fisikal yang berbeda. Orang dengan latar belakang umur, jenis kelamin, agama, kelas sosial dan ekonomi yang berbeda dapat saja melakukan bunuh diri (Hoff, 1989).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 di Amerika Serikat, bunuh diri merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga untuk remaja (NAHIC, 2006) dan berada di urutan ke-4 penyebab kematian utama pada dewasa (Kochaneck dalam Corr, Nabe, & Corr 2003), dengan persentase pria 4 hingga 5 kali lebih banyak melakukan bunuh diri (commit suicide) dibandingkan wanita (APA, 2003), namun wanita 3 kali lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri (suicide attempt) dibandingkan pria (NAHIC, 2006).
Sebuah surat kabar kota Medan menuliskan bahwa :
"tahun ini fenomena bunuh diri memang meningkat dibandingkan tahun-tahun lalu. Penyebabnya multifaktor, tidak hanya masalah ekonomi. Selain itu, pelakunya bukan hanya dari kalangan bawah saja, tapi juga dari kalangan orang-orang yang sebenarnya selalu bertindak memakai logika berpikir. Pelaku bunuh diri telah merambah pada lintas profesi".(Hasibuan, 2007)
Contoh yang terjadi di kota Medan pada tahun 2007 ini adalah kasus Iptu Oloan Hutasoit seorang perwira Poltabes Medan yang tewas bunuh diri akibat stres melihat bekas pacarnya telah memiliki suami, dan kasus ibu rumah tangga yang mencoba bunuh diri saat mengetahui anaknya tidak lulus masuk Polri. ("Saatnya", 2007).
Orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, beresiko mengulangi lagi tindakannya di masa depan, sehingga orang yang pernah mencoba bunuh diri harus diperhatikan secara serius sebagai orang yang berpotensi melakukan tindakan bunuh diri (Bachman, 2004).
Bunuh diri merupakan suatu tindakan individu yang menyebabkan kematiannya, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah bunuh diri, orang yang melakukan tindakan tersebut haruslah memiliki intensi untuk mengakhiri hidupnya. Intensi pelaku bunuh diri bermacam-macam, ada yang mencoba untuk balas dendam, mendapatkan perhatian, mengakhiri penderitaan, atau mungkin kombinasi dari satu atau lebih intensi tersebut (Corr, 2003).
Rollin (dalam Corr, 2003) memandang bunuh diri sebagai bentuk legitimasi dari "pembebasan diri". Posisi ini berdasarkan pernyataan bahwa otonomi dan self determination individu haruslah memasukkan hak untuk mengakhiri hidup. Hal ini menyatakan bahwa bunuh diri berada pada lahan otonomi individu. (Corr, 2003).
Orang yang suicidal biasanya bergulat pada dua keinginan yang tidak sejalan, keinginan untuk hidup dan pada saat yang sama adalah keinginan untuk mati. Secara simultan ia mempertimbangkan keuntungan diantara dua hal tersebut (Hoff, 1989).
Ada berbagai penyebab atau alasan yang menggerakkan sesorang untuk melakukan aksi bunuh diri. Motif yang melatarbelakangi antara lain : depresi, ketiadaan harapan, malu, bersalah, kehilangan (Maris, berman, Silverman,2000), takut, cemas, kesepian, tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis, perpisahan, hancurnya suatu hubungan (Shneidman, 1996), kehilangan orang yang dicintai melalui kematian atau perceraian, penyakit serius, masalah pekerjaan (Comer dalam Gardner, 2002) , kegagalan, dan penolakan dari orang yang dicintai (Conwell et al.,2002). Dalam bunuh diri, motif bisa berupa interpersonal seperti untuk mengakibatkan perubahan dalam kehidupan orang lain, ataupun motif intrapsychic seperti lari dari kondisi yang menyakitkan atau menghentikan rasa sakit (Farberow dalam Maris, Berman, Silverman, 2000).
Perasaan dan pemikiran bunuh diri muncul jika ada ancaman terhadap rasa aman yang diakibatkan oleh hilangnya hubungan yang dianggap penting ataupun lukanya harga diri yang diakibatkan oleh ketidakmampuan, pekerjaan dan kesehatan. Individu akan dibanjiri oleh perasaan kesendirian dan tak berharga yang mana ia tidak mampu untuk memperbaikinya. Jika hal ini terus berlanjut maka individu akan merasa terasing, tidak berdaya dan putus asa dan bunuh diri menawarkan kelegaan dari derita yang dialaminya. Individu yang suicidal merasa bahwa dirinyalah penyebab penderitannya, sehingga ia melakukan bunuh diri sebagai hukuman atas kesalahannya (Gill, 1982).
Seperti yang tergambar berikut ini :
"Aduh, sakitnya hidup ini. Awak lagi berjuang karena ini.. Kok berat kali la kena sama awak. Penyakit ginjal kan masih muda..gitu. trus kalo saya penyakitan apa lagi yang bisa saya perbuat. Lebih bagus la begini saya..begitu dulu.untuk apa saya hidup kalo gak ada nilai tambahnya kan.Kalo jadi beban sama anak-anak kan lebih bagus awak.". (komunikasi personal, 1 April, 2008 ).
"Udah.ya mungkin..karena begitu beratnya beban itu. Ya namanya orang yang biasanya kerja gak kerja. Biasanya bisa makan gak makan. Di situ..la mungkin kan. kerja..ya kerja kan gak lagi. Hanya..ngabsen aja. Awak coba gitu..rupanya gak tahanjuga. Baleek lagi. Balek la saya jam-jam satu gitu kan. Udah itu. Udah gak tahan. Di rumah la saya 3 hari kan. 3 hari di rumah. Siang-siang. Hari-hari jumat..udah mulai..apa..gak..gak ada lagi pengharapan ini. Ya..kuminum la. Yang..gak terduga." (komunikasi personal, 1 April, 2008)
"Ngomong-ngomong pun..kadang..kan udah dibilang orang disana "kelen mo ngomong ato mo kerja di kantor ini" kan begitu. malu la. Malu. Ya paling ke bagian lain cuma setengah jam. Trus sisanya kan.Jiap hari aku datang kesitu kan..malu. ngapain kau disini? Gak ada kerja rupanya sana? Kan gitu..Kalo sehat awak.tempat orang awak gak sehat kan malu. Bawa penyakit aja pun ke sini kau. Dalam hati nya pasti demikian. ya walaupun gak dibilang kan ke 'gitu nya..apa orang. Kan malu kita ama.. kalo gak ada kerja. " (komunikasi personal, 17 April 2008)
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa orang yang ingin mengakhiri hidupnya merasa malu, kehilangan, merasa menjadi beban bagi orang lain dan kekhawatiran mengecewakan teman atau keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Nock (2006) tentang apa yang dirasakan oleh orang yang bunuh diri. Selain itu ia juga menambahkan tentang adanya perasaan marah, malu, bersalah tentang sesuatu, mencoba untuk keluar dari perasaan penolakan, sakit, atau kehilangan. Yang lainnya merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, dan dijadikan korban.
Terdapat tiga elemen dalam merefleksikan kekompleksitasan dari perilaku bunuh diri yaitu halplessness fditakdirkan sakit atau tidak beruntungj, helplessness (tak berdaya), dan hopelessness (putus asa) (Corr, 2003). Horney (dalam Hock, 1981) mengemukakan 4 faktor utama dalam perilaku bunuh diri, yaitu perasaan hopelessness, penderitaan, alienation, dan pencarian kejayaan. Menurut Horney, bunuh diri merupakan usaha individu untuk mengatasi perasaan ketidakcukupan ini. Hal ini dikuatkan oleh Shneidman (1996) yang mengatakan bahwa bunuh diri muncul dari rasa sakit psikologis yang tak tertahankan. Rasa sakit psikologis ini muncul dari frustasi akan kebutuhan psikologis tertentu yang berbeda-beda pada setiap orang, individu tersebut ingin lari dari rasa sakit itu dan ia memiliki persepsi yang sempit bahwa kematian adalah solusi satu-satunya dari masalah yang dialaminya. Orang yang bunuh diri merasakan bahwa tidak ada lagi yang dapat dilakukannya selain melakukan bunuh diri (hopelessness) dan tidak ada yang dapt menolongnya mengatasi rasa sakit yang dideritanya (helplessness).
Berbagai emosi dan perasaan orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya terlihat pula dari pembicaraan dengan seorang narapidana wanita berusia 27 tahun yang pernah mencoba untuk bunuh diri di dalam penjara dengan meloncat ke dalam sumur :
"kayak udah putus harapan, udah buat kecewa, buat main keluarga gara-gara ini (masuk penjara). Rasanya udah gak ada gunanya lagi hidup. kalau dulu kan ada anak, sekarang gak bisa ketemu. Gak ada yang mau bawa kesini, pemikiranku kan, orang yang lebih jahat dari aku aja masih ada keluarganya yang man ngunjungin.. aku jadi mikir mungkin kalo aku mati aja enak kali ya.. selesai semuanya.. " (Komunikasi Personal, 2 November 2007)
Orang yang bunuh diri merasakan penderitaan yang tak tertahankan dalam hidupnya (Schneidman, 1996). Perasaan tidak menyenangkan ini timbul dari kesulitan-kesulitan yang dialami oleh seseorang dan reaksinya atas kesulitan tersebut. Penderitaan dapat timbul dari rasa sakit (pain), bersalah (guilt), dan maut (death). Setiap orang pasti pernah mengalami penderitaan dalam hidupnya, dan siapapun yang merasa belum pernah mengalaminya pasti suatu saat akan mengalaminyajuga karena penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia (bastaman, 1996). Namun selama manusia masih bernafas ia pasti percaya akan makna. Bahkan orang yang melakukan bunuh diri percaya akan makna, jika tidak dalam melanjutkan hidup, maka dalam kematian. Jika dia tidak lagi mempercayai suatu makna sama sekali maka ia tidak dapat menggerakkan jarinya untuk melakukan bunuh diri (Frankl, 1966). Nilai dan makna hidup dapat dikaitkan dengan keinginan untuk mati (Camus dalam Cutter, 2004).
Nilai hidup memiliki dua bentuk, yaitu paralel dan piramidal. Individu yang berorientasi nilai paralel memiliki beberapa nilai yang bermakna dalam hidupnya sedangkan individu dengan orientasi nilai piramidal hanya memiliki satu nilai yang berharga dalam hidup dan satu tujuan untuk dikejar, sehingga pada saat makna tersebut hilang maka ia kehilangan pijakannya (Kratotchvil dalam Frankl,....). Keputusasaan dapat terjadi saat nilai utama dari sistem nilai piramidal tersebut hancur. Frankl (...) menggolongkan orang tersebut dalam kelompok orang yang putus asa (people in despair). Selain itu, ia juga menyebutkan tentang kelompok lain yang belum menemukan makna dan tersangkut dalam pencariannya akan makna. Kelompok ini disebut dengan "orang yang berada dalam keraguan" (people in doubt). Pada saat pencarian makna berakhir pada frustasi eksistensial individu akan mengalami ketidakbermaknaan (meaninglessness) dan kehampaan (emptiness) seperti yang dirasakan pada orang-orang yang mencoba bunuh diri diatas.
Nilai hidup seorang individu ditentukan melalui proses evaluasi diri yang dilakukan oleh individu tersebut untuk memutuskan layak atau tidak ia meneruskan eksistensi dirinya. Makna dari kehidupan dapat diperoleh dari self assessment ataupun penilaian dari orang lain. Manusia menetapkan nilai dari eksistensinya, dan saat nilai-nilai tersebut muncul, hidup menjadi berharga untuk diteruskan. Jika manusia tidak dapat menemukan suatu nilai dalam kehidupannya, maka ia akan merasa bahwa hidup tidak memiliki arti dan akan berakibat pada pilihan untuk mengakhiri hidupnya. Untuk dapat memahami mengapa korban memilih kematian, nilai dari hidup dan makna kematian bagi dirinya haruslah diketahui. Kurangnya dukungan eksternal juga akan meningkatkan nilai negatif yang dapat memfasilitasi keinginan untuk mati (Cutter, 2004).
Keinginan untuk mati yang diakibatkan oleh perasaan meaningless ini dapat diubah menjadi sesuatu yang bermakna jika pelaku mendapatkan dukungan eksternal untuk mengambil sikap positif terhadap keadaan dirinya dan memperoleh pandangan baru terhadap diri sendiri dan situasi hidupnya, kemudian menentukan sikap baru untuk mengembangkan keyakinan dirinya (Lukas dalam Bastaman, 1996). Seperti yang dialami oleh tahanan wanita tadi :
"iya, udah siap itu dimarahi sama teman-teman yang nolong. ‘Bodoh kali kau, kalau keluar dari sini kan masih bisa ketemu anakmu'. Selain itu kakak rohani juga udah nasihatin. Lagian setelah dijalanin, hidup disini gak terlalu buruk kok, biasa aja. Nanti kalau keluar dari sini mau jadi orang berguna. Untuk keluarga, untuk anak. Jadi ada harapan lagi." (Komunikasi Personal, 2 November 2007)
Hal ini disebabkan manusia adalah makhluk istimewa yang mampu menentukan perkembangan dirinya dan bertanggungjawab menentukan yang terbaik bagi dirinya (self determining being). Manusia memiliki hasrat untuk menemukan makna dalam hidupnya. Makna hidup terdapat dalam kehidupan itu sendiri dan setiap orang (seharusnya) mampu menemukannya, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu mudah ditemukan karena Makna hidup biasanya tersirat dan tersembunyi dalam kehidupan (Bastaman, 2007).
Apabila makna tersebut berhasil ditemukan, manusia akan mampu mengubah hidupnya dari hidup tanpa makna menjadi hidup bermakna dan terhindar dari rasa keputusasaan. Selain itu orang yang hidupnya bermakna akan menjalani kehidupan dengan semangat, mempunyai tujuan hidup yang jelas, merasakan kemajuan yang telah dicapainya, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menyadari bahwa sesungguhnya makna hidup dapat ditemukan dalam berbagai keadaan, tabah dalam menghadapi suatu peristiwa tragis, benar-benar menghargai hidup dan kehidupan serta iguimampu mencintai dan menerima cinta kasih dari orang lain (Bastaman, 1996).
Kebahagiaan merupakan akibat sampingan dari keberhasilan seseorang memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning). Mereka yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful life), dan ganjaran dari hidup yang bermakna adalah kebahagiaan (happiness). Di lain pihak, mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna (Frankl, ...)
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa individu yang pernah mencoba untuk bunuh diri merasakan suatu kehampaan dalam hidupnya. Perasaan tidak bermakna ini akan menimbulkan berbagai emosi-emosi seperti kesendirian, tidak diinginkan, putus asa, depresi, hopelessness, dan emosi negatif lainnya. Apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, individu akan mengalami suatu penghayatan hidup yang tak bermakna. Namun manusia merupakan self determining being, makhluk yang mampu memilih dan menentukan jalan hidupnya. Manusia merupakan makhluk istimewa yang memiliki potensi untuk mencari dan menemukan makna hidup yang penting bagi dirinya. Akan tetapi, sumber dimana kita bisa memperoleh makna merupakan sumber yang sama untuk mengarahkan kita pada perasaan tidak bermakna. Seseorang mungkin saja menemukan atau tidak menemukan makna dalam hidupnya, ataupun menemukan makna hidup namun kehilangannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran makna hidup pada individu yang pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya.
Post a Comment