Cari Kategori

KORELASI HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP PERILAKU SISWA

SKRIPSI KORELASI HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP PERILAKU SISWA DI SMP X


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya pembudayaan manusia. Karena itu, setiap wacana pendidikan selalu menarik perhatian publik. Melalui pendidikan, kepribadian siswa dibentuk dan diarahkan sehingga dapat mencapai derajat kemanusiaan sebagai makhluk berbudaya. Untuk itu, idealnya pendidikan tidak hanya sekedar sebagai transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skill) tetapi lebih dari itu adalah transfer perilaku (transfer of attitude).
Di Indonesia sendiri, terutama lembaga-lembaga pendidikan agama seperti madrasah, upaya pembentukan kepribadian siswa secara lebih intens dilakukan melalui pendidikan agama. Diharapkan, pendidikan agama mampu membentengi siswa dari berbagai pengaruh negatif lingkungan, sekaligus dapat menjadi agen sosial (social agent) menuju masyarakat yang lebih berperadaban (civil society). Namun demikian, belakangan masyarakat mulai mempertanyakan efektivitas penyelenggaraan pendidikan agama dalam konteks pembentukan perilaku siswa.
Fenomena dalam masyarakat memperlihatkan bahwa secara umum hasil pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dewasa ini belum memuaskan banyak pihak, dan bahkan dinilai gagal. Pendidikan agama Islam dinilai masih terkesan berorientasi pada pengajaran agama yang bersifat kognitif dan hafalan, kurang berorientasi pada aspek pengamalan ajaran agama. Diantara indikator yang sering dikemukakan, bahwa dalam kehidupan masyarakat, masih dijumpai banyak kasus tindakan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama. Adanya kekerasan dan keberingasan yang dilakukan di kalangan pemuda, pelajar dan mahasiswa, masih marak diberitakan dalam media massa. Demikian juga perilaku maksiat, kasus kehamilan di luar nikah di kalangan siswa-siswa sekolah serta banyaknya para siswa sekolah terlibat dalam penggunaan narkoba, memperlihatkan adanya penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama siswa belum memadai.
Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. PAI diharapkan dapat dipahami dengan baik oleh siswa, agar dengan pemahaman ini siswa dapat mengaktualisasikan nilai-nilai agama yang diperoleh dalam praktek kehidupannya. Guru diharapkan dapat menyampaikan materi secara komunikatif, edukatif dan persuasif sehingga tujuan yang diharapkan dapat terpenuhi. Berdasarkan uraian diatas, maka PAI memiliki peran dalam penanggulangan perilaku yang kurang baik melalui interaksi edukatif yang dilakukan antara guru dan siswa.
Pengembangan pendidikan lebih berorientasi pada kompetensi peserta didik, dan difokuskan pada kemampuan life skill siswa. Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam adalah; siswa beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT; berakhlaq mulia (berbudi pekerti luhur) yang tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, dan alam sekitar; mampu membaca dan memahami al Qur'an; mampu beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu menjaga kerukunan intern dan antar umat beragama.
Keberhasilan kompetensi dasar tersebut diperlukan adanya penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang harus dimiliki peserta didik agar dapat melaksanakan program-pro gram pembelajaran dan mengimplementasikan program tersebut pada setiap mata pelajaran.
Menurut Harun Nasution sebagaimana dikutip Muhaimin, salah satu kegagalan dan kelemahan Pendidikan Agama Islam karena dalam praktik pendidikannya, hanya memperhatikan aspek kognitif semata dan mengabaikan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal inti dari pendidikan agama adalah pendidikan moral.
Dari sinilah, maka perlu adanya pembelajaran PAI yang tidak saja menekankan aspek pengetahuan (kognitif), tetapi yang lebih penting adalah pembelajaran PAI yang mampu memberikan bimbingan secara intensif tentang aspek psikomotorik dan afektif para siswa. Ketiga aspek tersebut harus berjalan secara berimbang. Pada aspek kognitif nilai-nilai ajaran agama diharapkan dapat mendorong siswa untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya secara optimal. Sedangkan aspek afektif diharapkan nilai-nilai ajaran agama dapat memperteguh sikap dan perilaku keagamaan. Demikian pula aspek psikomotor diharapkan mampu menanamkan keterikatan dan keterampilan lakon keagamaan.
Perilaku siswa tentunya tidak hanya dipengaruhi oleh tiga ranah di atas, karena tiga ranah tersebut masih terbatas pada pengaruh pendidikan di sekolah. Selain unsur pendidikan di sekolah, perilaku siswa juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan keluarga dan masyarakat. Ketika siswa melakukan aktualisasi diri dan bersosialisasi, hal itu merupakan refleksi dari kondisi psikis siswa pengaruh dari pendidikan di sekolah, interaksi antara siswa dengan keluarganya dan interelasi antara siswa dengan masyarakat lingkungannya. Menurut Jalaluddin, kebiasaan yang dimiliki anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga, orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, dan melindungi serta membimbing keturunan mereka. Lebih lanjut Dadang Hawari dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan dikemukakan bahwa anak/remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik/disharmoni keluarga, maka resiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian anti sosial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang sehat/harmonis. Selain faktor keluarga, masyarakat merupakan lapangan pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Masyarakat ikut mempengaruhi perilaku menyimpang anak. Masyarakat dibagi dua bagian; pertama faktor kerawanan masyarakat dan kedua faktor daerah rawan.
SMP Negeri X sebagai salah satu sekolah yang ikut bertanggung jawab dalam pembentukan perilaku siswa usia remaja di Surabaya, sedang melakukan pembelajaran PAI ketiga ranah di atas (kognitif, afektif, psikomotor) melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berdasarkan pengamatan sementara, dijumpai ada beberapa siswa yang sering bolos sekolah, absen beberapa pelajaran, tidak aktif dalam kelas, suka mengganggu teman ketika pelajaran sedang berlangsung, meremehkan pelajaran agama walaupun siswa tidak pandai, sikap kurang sopan terhadap guru, ketidakaktifan siswa salat dhuhur berjamaah di sekolah. Bahkan ada orang tua siswa yang memindahkan anaknya ke sekolah lain karena tahu anaknya nakal sementara pihak sekolah membiarkan saja tanpa tindakan tertentu atau memanggil orang tua siswa. Oleh karena itu, persoalan di atas menarik untuk diteliti, karena terdapat ketidaksesuaian antara idealitas dan realitasnya. Penulis akan melakukan penelitian dengan mengambil judul "Korelasi Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) Terhadap Perilaku Siswa Di Sekolah Menengah Pertama Negeri X".

B. Rumusan Masalah
Mengacu kepada latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana hasil belajar Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri X?
2. Bagaimana perilaku siswa di Sekolah Menengah Pertama Negeri X?
3. Bagaimana korelasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam terhadap perilaku siswa di Sekolah Menengah Pertama Negeri X?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan hasil belajar Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri X.
2. Untuk mendeskripsikan perilaku siswa di Sekolah Menengah Pertama Negeri X.
3. Untuk membuktikan korelasi antara hasil belajar Pendidikan Agama Islam terhadap perilaku siswa di Sekolah Menengah Pertama Negeri X.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat atau berguna bagi berbagai pihak, antara lain :
1. Bagi sekolah, sebagai masukan dan refleksi sekolah tentang korelasi antara hasil pembelajaran PAI dengan perilaku siswanya
2. Bagi penulis, sebagai persyaratan akademis menjadi sarjana Pendidikan Agama Islam
3. Bagi para peneliti, sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut.

E. Asumsi Penelitian
Asumsi adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti, harus dirumuskan secara jelas. Manfaatnya untuk memperkuat permasalahan, membantu peneliti dalam memperjelas obyek penelitian, wilayah pengambilan data, dan instrumen pengumpulan data. Asumsi dasar dalam penelitian ini adalah:
1. Hasil belajar merupakan prestasi akademis yang bersifat formal.
2. Perilaku merupakan refleksi dari kondisi mental anak, meliputi; emosi, pikiran, dan bersifat non formal.
3. Perilaku siswa juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana siswa tersebut berada, kondisi jiwa atau psikis siswa, dan pergaulan dengan individu lain.

F. Definisi Operasional
Judul penelitian ini adalah "Korelasi Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) Terhadap Perilaku Siswa Di Sekolah Menengah Pertama Negeri X". Agar tidak terjadi misinterpretasi dalam pemahaman judul penelitian ini, penulis perlu menegaskan istilah yang dimaksud:
Korelasi : keterkaitan; perkorelasi dua masalah yang tidak saling menyebabkan. Maksudnya adalah hasil belajar tidak selalu terkait dan saling menyebabkan dengan perilaku siswa.
Hasil belajar : kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Maksudnya di sini adalah siswa memperoleh hasil dari suatu interaksi tindakan belajar pada materi Pendidikan Agama Islam. Diawali dengan proses belajar, mencapai hasil belajar, dan menentukan nilai hasil belajar, yang mencakup tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Perilaku siswa : tindakan, perbuatan, kelakuan, tabiat, perangai. Yang dimaksud dengan perilaku siswa di sini adalah perilaku keagamaan dan akhlak dalam pergaulan sehari-hari.

G. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan penelitian ini agar supaya kronologis dan sistematis, penulis menyajikan sistematika bahasan sebagai berikut :
Bab I : berisi pendahuluan. Dalam bab ini penulis menjelaskan beberapa hal, diantaranya tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, asumsi dasar penelitian, hipotesis penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional judul, metode penelitian yang meliputi jenis dan rancangan penelitian, operasional variabel, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data.
Bab II : berisi landasan teori. Dalam bab ini penulis membahas tentang teori-teori dasar yang terbagi menjadi tiga sub bab, Pertama, teori tentang hasil belajar PAI (di dalamnya membahas pengertian hasil belajar PAI, pembagian hasil belajar PAI, pengukuran hasil belajar PAI ke dalam berbagai ranah). Kedua, teori tentang perilaku siswa (di dalamnya membahas pengertian perilaku siswa, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku siswa, perkembangan perilaku siswa di sekolah, contoh perilaku siswa). Ketiga, korelasi antara hasil belajar PAI dengan perilaku siswa.
Bab III: berisi laporan hasil penelitian. Dalam bab ini penulis membahas tentang gambaran umum (profil) obyek penelitian, penyajian data dan analisis data.
Bab IV : berisi kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penulis menarik kesimpulan dan memberi saran, sebagai hasil akhir dari penulisan skripsi ini.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 14:05:00

PENGARUH SERVANT LEADERSHIP (KEPEMIMPINAN MELAYANI) TERHADAP MOTIVASI PELAYANAN DAN DAMPAKNYA PADA KOMITMEN PELAYANAN MAJELIS JEMAAT

TESIS PENGARUH SERVANT LEADERSHIP (KEPEMIMPINAN MELAYANI) TERHADAP MOTIVASI PELAYANAN DAN DAMPAKNYA PADA KOMITMEN PELAYANAN MAJELIS JEMAAT (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gereja Protestan Maluku secara institusi mengenal adanya jabatan organisasi dan jabatan pelayanan fungsional gereja. Jabatan secara organisasi gereja yaitu Ketua Majelis, Wakil, Sekretaris, Bendahara, dan Komisi Pelayanan, atau yang disebut juga Pimpinan Harian Majelis Jemaat (PHMJ). Jabatan pelayanan fungsional yaitu Pendeta, Diaken, Penatua, dan Pengajar. Jabatan organisasi gereja Pendeta sebagai Ketua Majelis jemaat sekaligus pemimpin bagi organisasi gereja. Jabatan pendeta tersebut memiliki peran, tugas dan tanggung jawab pendeta sebagai pelayaan umat dan pemimpin dalam jemaat GPM yang diatur dalam Tata Gereja GPM 1998 : Bab I dan Bab II, demikian : 
Memimpin serta bertanggungjawab atas ibadah, Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen. Melaksanakan pelayanan penggembalaan bagi semua pelayan dan anggota jemaat. Bersama Penatua dan Diaken bertanggungjawab atas penyelenggaraan katekisasi, pembinaan umat, pendidikan agama Kristen di sekolah. Bersama Penatua dan Diaken bertanggung jawab atas pelaksanaan Pekabaran Injil, Pelayanan Kasih dan Keadilan. Membina serta mendorong semua warga jemaat untuk menggunakan potensi dan karunia yang diberikan Tuhan secara bertanggung jawab. Melaksanakan fungsi organisasi dalam Gereja Protestan Maluku sesuai ketentuan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja yang berlaku. 
Proses pelaksanaan tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin jemaat (pendeta) dibantu oleh penatua dan diaken. Dan proses koordinasi pelayanan tersebut dikenal dengan asas kolegial (Tata peraturan GPM) artinya, secara struktur memiliki kedudukan yang berbeda. Namun secara koordinasi pelaksanaan pelayanan antara pemimpin jemaat dan partner kerja (penatua dan diaken) memiliki fungsi kontrol yang sama yakni, secara bersama-sama mengkoordinasikan pelayanannya. Proses koordinasi pelayanan itu penting dilakukan secara efektif supaya, tujuan dan proses pelayanan dapat berjalan dengan baik. Terlebih penting pendeta selaku pemimpin mampu memiliki kemampuan manajerial mencakup; perencanaan, pengorganisasian, pengontrolan, dan evaluasi. Dengan demikian dalam proses kepemimpinannya (pendeta) dapat memberikan pengaruh positif bagi partner kerjanya namun juga bagi warga jemaat.
Pengaruh kepemimpinan pendeta terkadang memberikan cara pandang yang berbeda pada setiap anggota organisasi. Penelitian Latumahina (2011) membuktikan bahwa cara pandang anggota jemaat terhadap pemimpinnya dapat di lihat dari dua sisi yang berbeda yakni, dari sisi negatif dan positif. Pemahaman jemaat yang negatif disebabkan, proses manajemen pelayanan kepada anggota jemaat yang kurang baik, timbulnya rasa resah, kegelisahan, dan rasa tidak nyaman terhadap cara hidup pendeta dalam kegiatan formal gereja ataupun juga kehidupan kesehariannya. Sedangkan dari sisi positif pendeta dipandang sebagai hamba Tuhan yang melakukan pelayanan dengan baik dan menjadi teladan. Kerja keras pendeta dengan kesungguhan dan kegigihannya dalam melayani jemaat, serta spiritualitas pendeta telah melahirkan terciptanya rasa hormat jemaat, sehingga menunjukan cara pandang yang positif dari anggota jemaat.
Secara umum Maxwell (2012) mendefinisikan kepemimpinan sebagai cara pemimpin mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, mempengaruhi berarti membantu orang lain untuk dapat melakukan perubahan. Artinya kepemimpinan menjadi unsur kunci untuk melakukan pengelolaan suatu organisasi yang efektif. Semua bentuk kepemimpinan itu penting bagi semua organisasi, dan kepemimpinan yang efektif adalah penting (www.com/aboutdefinition-leadership-theories). Fungsi dari kepemimpinan yang efektif yaitu, dapat menggerakkan para anggota kelompoknya dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh organisasi (Prodjowijono : 2008). Sejalan dengan itu, Stutzman dan Shenk (1988) sebagaimana dikutip dalam Bennis dan Nanus mengidentifikasikan pemimpin yang efektif adalah memberi diri untuk memimpin orang lain tetapi, harus menjadi pelayaan kepada komunitas orang yang dipimpinnya. Selain itu penelitian Zaluchu (2011) menunjukan fakta bahwa anggapan banyak orang tentang kepemimpinan yang lebih melekat kepada kekuasaan, posisi atau jabatan dibandingkan menjadi pelayan itu tidak benar. Lebih lanjut diungkapkan, kepemimpinan merupakan posisi atau jabatan tertentu dan kedudukan itu membuat orang menjadi takut dan segan. Kedudukan demikian tidak seharusnya membuat anggotanya menjadi takut dan segan namun, dibutuhkan pemimpin yang mampu memberikan pengaruh yang positif bagi anggotanya.
Pendeta sebagai pemimpin dalam organisasi gereja memiliki peran penting yang mampu menguatkan aspek pemberdayaan jemaat dan memanajemen proses pelayanan. Namun menurut Prodjowijono (2008) pendeta tidak hanya melihat aspek-aspek itu saja, tetapi pendeta dalam konteks organisasi gereja diharapkan juga menjadi manajer bagi anggota organisasi. Artinya bahwa, kehadiran atau kepemimpinannya menjadi perekat dan solusi atas masalah-masalah yang di hadapi jemaat. Sebagai pemimpin organisasi gereja dan pelayan perlu menunjukkan karakter kepada jemaat yang dapat memberikan teladan. Untuk itu kekuatan karakter pemimpin yang sesuai dengan lingkungan jemaat sangat diperlukan, yakni bertanggung jawab menjadi pemimpin yang tepat, dalam waktu yang tepat (Right Leader In The Right Time).
Kondisi ini memberi gambaran bahwa kepemimpinan dapat diwujudkan melalui suatu pendekatan kepemimpinan yang berbeda. Kepemimpinan yang mampu memberikan pelayanan dan dari pelayanannya dapat memberikan pengaruh kepada anggotanya. Oleh sebab itu dalam mewujudkan kondisi tersebut tentunya ada sebuah model kepemimpinan yang memberikan pembelajaran tentang kepemimpinan sejati yang dikenal dengan servant leadership (kepemimpinan melayani). Zaluchu (2011) berpendapat bahwa, kepemimpinan ini masih relevan sebagai sumber inspirasi bagi kepemimpinan Kristen dimanapun untuk dikembangkan dan dipraktekkan.
Menurut Senjaya (1997) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Covey bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) semata-mata bukan hanya melayani untuk mendapat hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya. Pendapat tersebut didukung oleh Blanchard dan Hodges (2006) mengungkapkan, bahwa bagi para pengikut Yesus, kepemimpinan sebagai tindakan pelayanan bukanlah pilihan, itu adalah mandat atau perintah. Dijelaskan servant leadership (kepemimpinan melayani) harus menjadi statemen hidup bila tinggal dalam Yesus, cara memperlakukan sesama memperlihatkan cara hidup Yesus. Cara hidup yang harus menjadi teladan bagi seorang pemimpin bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Pendapat tersebut didukung dengan pendapat (Neuschel : 2008) yang menyatakan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) sebagai seseorang yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, bukan nasib pemimpin untuk dilayani, tetapi adalah hak istimewanya untuk melayani.
Salah satu tugas seorang pemimpin meliputi memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan pekerjaan (Yulk : 2010). Bront Kark dan Dina Va Dijk (2007) serta Anderson et al., (2008) mengemukakan bahwa kepemimpinan mempunyai pengaruh dan memainkan peran penting terhadap motivasi diri dari pengikutnya. Begitupun dengan penelitian Smith, Monlango, Kuzmenko (2004) yang menunjukan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan pribadi pengikut atau anggotanya. Tulisan ini diperkuat oleh Patterson (2003) yang memperlihatkan bahwa dasar servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah kasih atau cinta. Kasih atau cinta dapat memberikan motivasi yang kuat pada diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Dapat disimpulkan kepemimpinan melayani juga dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap motivasi yang terbangun dalam diri individunya. Namun bila tidak bisa memotivasi bawahannya tidak mungkin pemimpin organisasi dapat sukses dalam mencapai tujuan dari organisasi.
Secara umum motivasi diartikan sebagai faktor yang timbul dari dalam diri seseorang, sehingga hal itu mendorong dan menggerakkan individu melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan, untuk mencapai satu tujuan tertentu. Menurut Kini dan Hobson (2002), motivasi didefinisikan sebagai suatu kesatuan proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku ke arah pencapaian tujuan. Dengan motivasi yang tinggi akan menciptakan sebuah komitmen terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam menyelesaikan setiap pekerjaan (McNeese-Smith et al : 1995). Pendapat ini didukung oleh penelitian Burton, J; Lee Thomas; Holtom, B (2002), yang menunjukan hasil bahwa motivasi anggota organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap komitmen organisasi. Selanjutnya penelitian KuVaas Bard (2006) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Furthermore, Ganesan dan Weitz, menemukan adanya pengaruh positif antara motivasi terhadap komitmen induvidu yang timbul dari dalam dirinya.
Penelitian diatas membuktikan motivasi kerja dalam konteks organisasi secara umum bisa memberikan pengaruh terhadap komitmen. Namun perlu dilihat dalam konteks gereja motivasi pelayanan lebih banyak muncul dari kesadaran induvidu secara internal. Motivasi pelayanan itu timbul dari ketulusan hati individu untuk melayani, melayani tanpa mengharapkan imbalan atau penghargaan. Karena motivasi pelayanan tidak bisa diukur dengan uang atau materi. Namun ada nilai yang terkandung dari proses pengabdian yakni kesadaran akan suatu panggilan pelayanan. Dengan demikian individu mampu akan mempunyai komitmen yang tinggi.
Motivasi pelayanan itu lebih penting, diperlukan dan harus timbul dari dalam diri individu. Motivasi pelayanan itu muncul lebih kuat dari dalam diri induvidu, sehingga mampu meningkatkan kehidupan rohani atau spiritual individu tersebut. Seorang pendeta yang memiliki servant leadership (kepemimpinan melayani) itu akan bisa meningkatkan motivasi pelayanan individu, dan memberikan tambahan dorongan untuk melakukannya walaupun sudah ada dari dalam diri. Dan servant leadership (kepemimpinan melayani) dari pendeta yang baik mampu menjadi teladan bagi induvidu tersebut. Akibatnya induvidu akan lebih berkomitmen tapi tidak secara langsung. Dimaksudkan tanpa induvidu itu mempunyai motivasi internal pelayanan. Untuk itu servant leadership (kepemimpinan melayani) tidak berpengaruh secara langsung terhadap komitmen namun ada kemungkinan melalui motivasi pelayanan. Dengan demikian motivasi pelayanan menjadi variabel mediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) dan komitmen pelayanan.
Penelitian Cavin dan McCuddy (2009) melibatkan responden yang bekerja di gereja Lutheran. Penelitian ini memperlihatkan penerapan sepuluh karakteristik servant leadership dalam kerangka demografis (status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, gender, usia, dan tempat tinggal responden). Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku servant leadership beragam berdasarkan empat karakteristik demografi (status social ekonomi, tingkat pendidikan, usia dan tempat tinggal responden). Cohen, Colwell, dan Reed (2011) melakukan penelitian yang menghasilkan sebuah pengukuran baru terhadap servant leadership para eksekutif dalam konteks kepemimpinan etis dan dampaknya terhadap anggota, organisasi dan masyarakat.
Melalui penjelasan di atas bahwa ada pertimbangan lain yang mendasari penelitian ini adalah masih minimnya penelitian yang berorientasi pada servant leadership pendeta, dalam kaitan dengan motivasi dan dampaknya pada komitmen pelayanan khususnya di gereja.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah : 
1. Apakah terdapat pengaruh Servant leadership terhadap motivasi pelayanan pada Majelis Jemaat ?
2. Apakah terdapat pengaruh motivasi pelayanan terhadap komitmen pelayanan pada Majelis Jemaat ?
3. Apakah motivasi pelayanan menjadi variabel pemediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) dengan komitmen pelayanan.

C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui dan menguji pengaruh Servant leadership terhadap motivasi pelayanan pada Majelis Jemaat.
2. Untuk mengetahui dan menguji pengaruh motivasi pelayanan terhadap komitmen pelayanan pada Majelis Jemaat.
3. Untuk mengetahui dan menguji motivasi pelayanan menjadi variabel pemediasi antara Servant leadership dengan komitmen pelayanan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, antara lain : 
1. Secara Teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu bukti empiris bahwa : teori-teori motivasi dan komitmen secara manajemen bisa diterapkan di dalam organisasi gereja. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai informasi, referensi dan pertimbangan bagi pihak yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi mengenai pentingnya mengetahui dan memiliki servant leadership (kepemimpinan melayani) sebagai role model kepemimpinan seorang pendeta. Selanjutnya dapat memberikan pengaruh terhadap anggota jemaat (diaken dan penatua) dalam meningkatkan motivasi dan komitmen para (diaken dan penatua) dalam melaksanakan pelayanannya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:49:00

DOWNLOAD SILABUS PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN, KATOLIK, HINDU, BUDDHA, KHONGHUCU DAN BUDI PEKERTI SMP KELAS 7, 8, 9 KURIKULUM 2013

Setelah pada posting artikel tentang Silabus SMP / MTs Kurikulum 2013 serta Silabus PAI dan Budi Pekerti untuk jenjang SMP kelas 7, 8, dan 9, berikut saya share links download Silabus untuk materi pelajaran Pendidikan Agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan Budi Pekerti pada implementasi kurikulum 2013 SMP :

Links download Silabus Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti SMP Kurikulum 2013 kelas VII, VIII, dan IX:


Links download Silabus Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMP Kurikulum 2013 kelas VII, VIII, dan IX:


Links download Silabus Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMP Kurikulum 2013 kelas VII, VIII, dan IX:


Links download Silabus Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti SMP Kurikulum 2013 kelas VII, VIII, dan IX:


Links download Silabus Pendidikan Agama Khonghucu dan Budi Pekerti SMP Kurikulum 2013 kelas VII, VIII, dan IX:


Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 02:04:00

PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA UNTUK MEMAHAMI WACANA BAHASA INGGRIS MELALUI PENGGUNAAN MEDIA PERMAINAN SCRABBLE

PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA UNTUK MEMAHAMI WACANA BAHASA INGGRIS MELALUI PENGGUNAAN MEDIA PERMAINAN SCRABBLE (MATA PELAJARAN : BAHASA INGGRIS)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi sekarang ini, persaingan untuk mendapatkan kesempatan kerja semakin ketat. Hal ini disebabkan oleh persaingan yang dihadapi oleh para pencari kerja tidak hanya orang-orang senegara saja, akan tetapi mereka juga harus bersaing dengan pencari kerja dari negara atau bangsa lain. Di era global dan pasar bebas di mana antara satu dengan yang lain tanpa batas persaingannya. Untuk itu para tamatan sekolah harus mempunyai daya saing yang tinggi untuk memenangkan persaingan tersebut.
Bahasa memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa dan merupakan kunci penentu keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Bahasa besar sekali peranannya bagi proses berpikir seseorang. Dalam hal ini bahasa merupakan alat berpikir yang utama. Segala macam pengertian, ide, konsep, pikiran, dan angan-angan kita lahirkan dengan bahasa. Dalam kehidupan berbahasa seseorang. Bahasa juga berfungsi sebagai alat komunikasi. Dalam komunikasi kita tak bisa lepas dari pikiran. Dapat juga dikatakan bahwa bahasa merupakan penyampai sekaligus pembentuk pikiran. Bahasa tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan isi hati dan pandangan manusia, melainkan juga menggambarkan cara bagaimana orang itr menafsirkan berbagai kenyataan dan menyusunnya kembali serta mengkomunikasikan kepada orang lain. Kian baik seseorang menguasai bahasanya dan kian banyak bahasa yang dikuasainya dengan baik, maka orang tersebut mempunyai kemampuan berfikir yang tinggi.
Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa yang digunakan secara luas dalam setiap aspek kehidupan seperti ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, bisnis dan hiburan.
Ketika kita berkomunikasi tentu ada pihak lain yang terlibat. Dengan perkataan lain, kita sebagai komunikator dan pihak lain sebagai komunikan. Hubungan antara komunikator dan komunikan bisa bersifat mesra atau sebaliknya. Kemesraan komunikasi di antaranya bisa ditentukan oleh kebagusan dan ketepatan pilihan kata atau bahasa yang digunakan. Pilihan kata atau bahasa tentu menyangkut kemampuan pemakaiannya.
Dalam era globalisasi ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting, terlebih fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa Inggris yang sekarang ini sebagai bahasa internasional, sangat penting sekali untuk dikuasai. Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa yang digunakan secara luas dalam setiap aspek kehidupan seperti ilmu pengetahuan, pendidikan, bisnis, dan hiburan.
Menyadari kenyataan pentingnya bahasa Inggris dimasa depan, maka pembelajaran bahasa Inggris sedini mungkin harus diterapkan di sekolah-sekolah yang merupan salah satu upaya peningkatan kompetensi individu dalam pembelajaran bahasa Inggris. Mengingat ke depan persaingan yang dihadapi dengan bangsa lain maka tamatan suatu sekolah selain harus mempunyai kompetensi produktif juga harus mempunyai kompetensi bahasa Inggris, karena bahasa Inggris merupakan bahasa pengantar yang dipakai secara internasional.
Kenyataan yang ada di dunia kerja, yaitu dunia usaha dan dunia industri, bahwa penggunaan bahasa Inggris bagi tenaga kerja bukan hanya untuk memahami petunjuk, membaca manual ataupun memahami instruksi penggunaan peralatan lainnya, namun lebih pada penggunaan untuk berkomunikasi lisan, dan untuk bisa berkomunikasi secara baik harus menguasai kosakata yang memadai pula.
Sedangkan pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris yang selama ini di laksanakan masih belum bisa merangsang siswa supaya aktif di dalam pembelajaran bahasa Inggris. Pembelajaran lebih banyak melatih siswa untuk melakukan latihan-latihan tertulis dan menghafalkan kata atau tata bahasa Inggris, bahkan ada siswa yang takut ketika ada pelajaran bahasa Inggris karena merasa tidak bisa, ada juga yang menjadi malas karena hanya di suruh membaca dan menterjemahkan, jadi siswa menjadi kurang aktif di dalam pembelajaran. Oleh karena itu seorang pengajar harus bisa memilih metode pembelajaran yang tepat supaya siswa bisa berperan aktif dalam pembelajaran. Untuk mendapatkan hal tersebut, maka perlu strategi pembelajaran bahasa Inggris yang mendorong siswa aktif dalam pembelajaran bahasa Inggris yaitu salah satunya dengan media pembelajaran bahasa Inggris.
Media pembelajaran bahasa Inggris yang akan lebih lanjut di bicarakan di sini adalalah media permainan yang berupa scrabble, yang di harapkan dengan media tersebut dalam pembelajaran bahasa Inggris siswa akan lebih tertarik tanpa di bebani rasa takut, dan menjadi lebih aktif dalam pembelajaran bahasa Inggris terutama pada taraf penguasaan kosakata.

B. Identifikasi Masalah
Ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan terciptanya kondisi siswa kurang aktif saat kegiatan pembelajaran, khususnya bahasa Inggris. Beberapa faktor yang di maksud antara lain: a. Rendahnya minat dan motivasi siswa, b. Metode pembelajaran yang di gunakan kurang menarik, c. Kurang tersedianya alat bantu atau media pembelajaran, d. Paradigma sikap dan perilaku guru terhadap kegiatan pembelajaran yang tidak benar.
Selama ini guru belum bisa menggunakan media secara optimal dalam pembelajaran kosakata bahasa Inggris, sehingga murid kurang begitu antusias dalam menerima materi yang disampaikan oleh guru dan menyebabkan penguasaan kosakata siswa kurang. Hal ini disebabkan karena guru kurang bervariasi dalam menggunakan materi untuk kegiatan belajar. Di samping itu, guru tidak menggunakan media yang optimal sehingga hasil yang dicapai juga kurang memenuhi target yang diharapkan.
Pembelajaran kosakata bahasa Inggris dapat juga diberikan atau disampaikan dengan menggunakan media yang sesuai dengan sasaran. Adapun media yang digunakan, media permainan bahasa berupa scrabble. Berkaitan dengan hal tersebut, penggunaan media scrabble dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan penguasaan kosa kata pada siswa.

C. Rumusan Masalah
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah seberapa jauh keefektifan media scrabble dalam meningkatkan pengajaran penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa.

D. Batasan Masalah
Penggunaan alat atau media dalam berbagai bentuk pada umumnya bermanfaat dalam pembelajaran bahasa secara umum dan dalam pembelajaran bahasa Inggris pada khususnya. Alat atau media yang canggih dan mahal tidak selalu atau belum tentu lebih efektif, yang lebih adalah bagaimana alat itu dapat memikat dan menarik perhatian para pelajar dan mempertinggi motivasi mereka untuk belajar bahasa Inggris.
Dari berbagai permainan bahasa yang ada, media scrabble merupakan media yang tepat untuk digunakan dalam upaya meningkatkan kemampuan kosakata pada siswa.
Permainan bahasa adalah jenis permainan yang menimbulkan kegembiraan, dan ada ketrampilan bahasa yang terlatih (Soeparno, 1980 : 60). Permainan pada hakikatnya merupakan suatu aktifitas untuk memperoleh suatu ketrampilan tertentu dengan cara yang menggembirakan. Sudah barang tentu jenis dan sifat permainan berbeda-beda sesuai dengan umur, jenis kelamin, bakat, dan minatnya. Dengan jalan permainan itu kita akan memperoleh sesuatu kegembiraan atau kepuasan.
Untuk melatih ketrampilan dalam bidang kebahasaan dalam hal ini adalah kosakata dapat kita lakukan dengan menggunakan berbagai permainan bahasa. Permainan bahasa ini sebenarnya sudah biasa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi pada umumnya hanya dianggap sebagai kegiatan iseng untuk mengisi waktu saja.
Permainan bahasa dapat juga di gunakan sebagai usaha peningkatan kosakata siswa. Dengan menggunakan media permainan scrabble ini diharapkan siswa lebih tergugah dalam menerima pembelajaran dari guru. Disamping itu, media ini dapat juaga digunakan sebagai variasai agar siswa merasa senang dan antusias dalam menerima pembelajaran kosakata. Selain itu, tujuan dari permainan ini adalah untuk membina penguasaan kosakata siswa.
Penggunaan media sangat diperlukan oleh guru maupun siswa. Dengan menggunaan media ini diharapkan materi yang akan diberikan dapat dicerna oleh siswa dengan mudah. Selain itu, media sangat praktis untuk di gunakan oleh guru, sebab guru tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Dengan adanya media diharapkan kegiatan belajar-mengajar lebih baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran.

E. Penegasan Istilah
1. Peningkatan adalah proses, perbuatan, cara meningkatkan (KBBI 1997 : 1060).
2. Penguasaan adalah proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan. (KBBI 1997 : 533).
3. Kosakata adalah perpendaharaan kata (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa 1995 : 527)
4. Memahami adalah mengerti benar, menguasai benar (KBBI 1997 : 714).
5. Wacana adalah bahasa yang terlengkap tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata dengan cara penyampaian secara lisan atau tertulis. (Tarigan 1987 : 27).
6. Bahasa Inggris adalah mata pelajaran tentang bahasa asing.
7. Penggunaan adalah proses, perbuatan, cara mempergunakan sesuatu, pemakaian. (KBBI 1997 : 328).
8. Media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar. (Gagne dalam Sadiman et al 1993 : 6).
9. Permainan adalah sesuatu yang digunakan untuk bermain, barang atau sesuatu yang dipermainkan. (KBBI 1995 : 614-615).
10. Scrabble adalah permainan kata yang dapat dimainkan oleh 2, 3, atau 4 orang peserta, dalam waktu tertentu. (download:http//www.gamehouse.com)

F. Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa penyajian scrabble sebagai model pembelajaran dapat meningkatkan penguasaan kosakata siswa.

G. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis berharap hasil tulisan ini bermanfaat antara lain secara:
1. Teoritis
Dapat memberikan masukan yang bermakna bagi pengembangan pembelajaran bahasa Inggris pada umumnya dan pembelajaran kosakata bahasa Inggris pada khususnya.
2. Praktis
Dari segi perencanaan pelajaran, dalam penyusunannya tidak dituntut penuangan seluruh buku paket, pemahaman kosakata bahasa, namun sangat ditentukan oleh daya penerimaan siswa terhadap kosakata. Dengan demikian waktu penyusunan pelajaran untuk siswa lebih dinamis disebabkan para siswa lebih dituntut aktif melakukan penjajakan kosakata dalam menyelesaikan suatu proses belajar dengan model permainan tersebut.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:19:00

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN MAKRO TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA SUNDA ANAK USIA TK

SKRIPSI EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN MAKRO TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA SUNDA ANAK USIA TK


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan anak, dengan bahasa anak dapat berinteraksi dengan orang lain dan menemukan banyak hal baru dalam lingkungan tersebut. Dengan bahasa juga anak mampu menuangkan suatu ide atau gagasan terhadap keinginannya tersebut. Menurut (Mossofa, 2008 : 14) Bahasa adalah segala bentuk komunikasi dimana pikiran dan perasaan seseorang disimbolisasikan agar dapat menyampaikan arti kepada orang lain. Oleh karena itu perkembangan bahasa dimulai dari tangisan pertama sampai anak mampu bertutur kata.
Hartini (Cahyaningsih, 2009 : 2) mengemukakan bahwa bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan anak. Komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi lisan yang tepat guna, artinya bahasa itu harus dapat dipahami oleh orang lain.
Kemampuan bahasa anak usia 4-5 tahun berada dalam fase perkembangan bahasa secara ekspresif. Hal ini berarti bahwa anak lebih dapat mengungkapkan keinginannya, penolakannya, maupun pendapatnya dengan menggunakan bahasa lisan sebagai alat berkomunikasi. Anak usia tersebut dapat mengucapkan kata-kata yang mereka gunakan, dapat menggabungkan beberapa kata menjadi kalimat yang berarti, namun menurut Hurlock (1990 : 190) "kemampuan berkomunikasi pada anak usia prasekolah dengan orang lain masih dalam taraf rendah. Masih banyak kosakata yang harus dikuasai untuk dapat menggunakan bahasanya dengan baik.
Pembendaharaan kosakata berperan penting dalam pengembangan bahasa. Menurut Hurlock (1990 : 113) usia 4-5 tahun, merupakan saat berkembang pesatnya penguasaan tugas pokok dalam berbicara, yaitu menambah kosakata, menguasai pengucapan kata dan menggabungkan kata menjadi kalimat sedangkan menurut Hurlock (1990 : 151) mengemukakan bahwa salah satu tugas utama dalam belajar berbicara ialah anak harus dapat meningkatkan jumlah kosakata, anak harus belajar mengaitkan arti dengan bunyi karena banyak kata yang memiliki arti lebih dari satu dan sebagian kata bunyinya hampir sama, tetapi memiliki arti yang berbeda, maka meningkatkan kosakata jauh lebih sulit dari pada mengucapkannya sehingga diperlukan adanya suatu peningkatan kosakata pada anak yang dapat menunjang pada perkembangan berbicara.
Menurut Dhieni dkk (2005 : 3.1) anak usia 4-5 tahun dapat mengembangkan kosakata secara mengagurukan. Sedangkan menurut Owens (Dhieni, 2005 : 3.1), anak pada usia tersebut memperkaya kosakatanya melalui pengulangan. Dalam menggunakan kosakata tersebut, anak menggunakan fast mapping atau suatu proses dimana anak menyerap arti kata baru setelah mendengarnya sekali atau dua kali dalam percakapan. Pada masa kanak-kanak awal inilah anak mulai mengkombinasikan suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat. Selain itu, Dhieni dkk (2005 : 3.1) juga mengungkapkan bahwa anak usia 4-5 tahun rata-rata dapat menggunakan 900 sampai 1000 kosakata yang berbeda. Mereka menggunakan 4-5 kata dalam satu kalimat yang dapat membentuk kalimat pernyataan, tanya, dan perintah. Pada usia 5 tahun pembicaraan anak mulai berkembang dimana kosakata yang digunakan lebih banyak dan rumit. (Dhieni dkk, 2005 : 3.1)
Dalam hal ini peningkatan kosakata Anak Usia Dini khususnya kosakata Bahasa Indonesia sangat penting, namun bukan hanya kosakata Bahasa Indonesia saja yang harus dikuasai dan terus ditingkatkan oleh anak, kosakata Bahasa Daerah pun, khususnya kosakata Bahasa Sunda perlu ditingkatkan dan dikuasai oleh Anak Usia Dini. Hal ini dikarenakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan sebagai pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda yang harus diperkenalkan kepada anak. Bahasa Sunda merupakan alat komunikasi etnik sunda. selain itu bahasa Sunda juga sebagai alat pengembang dan pendukung kebudayaan Sunda. Para ahli bahasa telah banyak meneliti dan membuktikan bahwa bahasa Sunda disamping sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Indonesia, juga menjadi pendukung bahasa nasional. Bahasa Sunda menjadi bahasa ibu hingga kini dijadikan sebagai bahasa pengantar disekolah dasar dijabar pada tingkat permulaan.
Namun pada kenyataannya di Taman Kanak-Kanak penggunaan Bahasa Sunda jarang sekali digunakan. Begitupun dengan masyarakat, sebagian masyarakat belum sadar akan pentingnya bahasa sunda, para Orang Tua lebih senang apabila anak-anaknya menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Hal ini menyebabkan banyak anak yang belum bisa menggunakan Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan rumah maupun dilingkungan sekolah.
Hal ini diperkuat oleh Ajip Rosidi (Harian Umum Pikiran Rakyat) dalam Martini (2009 : 7) yang mengemukakan bahwa :
"....bahasa Sunda sekarang sedang dalam proses kematian, karena kita saksikan orang Sunda secara perlahan-lahan sedang menjalankan pembunuhan terhadap bahasa Sunda sebagai bahasa Ibunya. Kita saksikan kian banyak orang Sunda yang tidak mau bercakap-cakap dengan bahasa Sunda, walaupun sesama orang Sunda. Kita juga saksikan umumnya orang Sunda kalau mau bercakap-cakap tentang hal tertentu lalu beralih kode ke bahasa Indonesia atau bahasa lain. Bahasa Sunda dianggap tidak cukup terhormat untuk menyampaikan pikirannya."
Selain itu Koran Harian Kompas Bandar Lampung dalam Martini (2009 : 7) melaporkan bahwa sebanyak 726 dari 746 bahasa Daerah di Indonesia terancam punah karena generasi muda tidak mau memakai bahasa tersebut. Bahkan kini hanya tersisa 13 bahasa Daerah yang memiliki jumlah penutur diatas 1 juta orang, itupun sebagian besar generasi tua.
Mengingat bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan sebagai pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda yang harus diperkenalkan kepada anak, maka pendidikan TK sebagai lembaga pendidikan awal bagi anak harus berupaya untuk membangkitkan kembali minat terhadap penggunaan bahasa Sunda.
Saat Ini di TK, bahasa Sunda kurang menjadi perhatian guru dan dalam pelaksanaan pembelajarannya kurang optimal, hal tersebut dapat terlihat dari jarangnya penggunaan media yang kurang bervariasi yang dapat mempengaruhi perkembangan bahasa Sunda anak dan kurangnya kesadaran dari guru akan pentingnya bahasa daerah. Seperti yang terjadi di TK X, berdasarkan hasil observasi sebelumnya masih banyak anak yang pasif dan diam ketika diajak bicara menggunakan bahasa sunda, bahkan kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa Sunda.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan di TK dalam mengembangkan bahasa daerah salah satunya dengan mengoptimalkan penggunaan metode pembelajaran. Adapun metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Sunda khususnya dalam penguasaan kosakata adalah metode bermain peran.
Bermain peran ini diambil karena dalam metode bermain peran ada interaksi yang melibatkan anak dengan teman sebayanya. Dengan metode ini anak-anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan bertukar ide, hingga meningkatkan kelancaran berbicara dan memperkaya kosakatanya.
Seperti penelitian yang dilakukan Arixs, (Cahyaningsih, 2009 : 5) tentang penerapan metode belajar sosiodrama atau bermain peran terhadap siswa PAUD di Denpasar Bali, menyimpulkan bahwa sekitar 90% materi pembelajaran dapat diserap anak-anak dengan menggunakan metode belajar sosiodrama, dan 65% maateri pelajaran dapat diserap oleh anak-anak dengan metode belajar konvensional.
Hamalik (Cahyaningsih, 2009 : 5) juga menyatakan bahwa metode bermain peran dapat mendorong siswa untuk mempelajari masalah-masalah sosial yang dapat memupuk komunikasi antar insani dikalangan siswa di kelas. Melalui kegiatan bermain peran siswa akan aktif membicarakan masala-masalah yang ditemuinya, menginformasikan hasil pengalaman melalui kegiatan berbicara. Begitu pula dikemukakan oleh Delpie (Cahyaningsih, 2009 : 5) tentang bentuk-bentuk permainan yang dapat dipakai sebagai intervensi pembelajaran salah satunya yaitu bermain pura-pura atau bermain peran adalah suatu bentuk permainan yang dilakukan oleh anak dengan menggunakan imajinasi agar membantu dalam pengembnagan daya berpikir dan kemampuan berbahasa.
Menurut Masitoh (Cahyaningsih,2009 : 5) bermain peran adalah salah satu metode pembelajaran yang bertujuan untuk mendorong anak berkomunikasi walaupun dengan bahasa yang terbatas menggunakan komunikasi verbal, seperti gerakan tubuh dan ekspresi muka juga melibatkan anak dari berbagai tingkatan melalui anggota tubuh mereka, pikiran, emosi, interaksi social dan bahasa.
Masitoh (Cahyaningsih, 2009 : 5) juga menjelaskan bahwa melalui bermain peran anak memperoleh kesempatan untuk berbagi peran-peran interaktif. Misalnya guru-murid, pedagang-pembeli, dokter-pasien. Selain itu juga anak dituntut untuk mampu beradaptasi dengan peran yang dimainkannya, responsif terhadap akting temannya, terampil berkomunikasi secara efektif mampu menerima kritik bila respon yang diberikan tidak sesuai dengan ekspektasi temannya.
Dalam kehidupan anak TK bermain peran atau bermain pura-pura mempunyai beberapa fungsi, antara lain untuk : menghindari keterbatasan kemampuan yang ada. Mengatasi larangan-larangan, dan menjadi pengganti berbagai hal yang tidak terpenuhi, menghindarkan diri dari hal-hal yang menyakitkan hati, menyalurkan perasaan negatif yang tidak mungkin dapat ditampilkan.
Menurut Moeslichatoen (Cahyaningsih, 2009 : 6) bermain peran atau bermain pura-pura lebih banyak dilakukan oleh anak yang kurang pandai menyesuaikan diri daripada oleh anak yang pandai menyesuaikan diri. Bermain pura-pura sendiri dapat dibedakan dalam bentuk :
a. minat pada personifikasi, misalnya berbicara pada boneka atau benda-benda mati
b. bermain pura-pura dengan menggunakan peralatan, misalnya minum dengan menggunakan cangkir kosong
c. bermain pura-pura dalam situasi tertentu, misalnya situasi kehidupan sehari-hari dalam keluarga, situasi di tempat praktek dokter yang mengobati anak sakit, dan sebagainya.
Bentuk kegiatan bermain peran atau bermain pura-pura merupakan cermin masyarakat disekitarnya dalam kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu yang dilihat dan didengar akan terulang dalam kegiatan bermain pura-pura tersebut.
Kegiatan bermain peran ini terbagi dalam dua jenis kegiatan bermain. Pertama bermain peran besar (Makro) yang memerlukan kostum dan perlengkapan sesuai yang diperankan anak. Kedua, bermain peran kecil (Mikro) yang memerlukan peralatan tiruan (mainan).
Hal ini sesuai dengan pendapat Erickson (Ryolitta,2009 : 8) bahwa "teori bermain peran terbagi menjadi dua jenis, yaitu bermain peran mikro atau ukuran kecil dan bermain peran makro atau ukuran sesungguhnya”.
Selain itu menurut Khoirudin (2010) bermain peran mikro adalah kegitan bermain peran atau roleplay dengan menggunakan bahan-bahan main berukuran kecil seperti rumah boneka lengkap dengan perabotannya dan orang-orangan sehingga anak dapat memainkannya, atau rangkaian kereta api dengan rel dan jalan, dengan mobil, lapangan pesawat udara, kebun binatang, kemudian anak memainkanya lengkap dengan skenario yang biasanya disusun seketika dan dimainkannya bersama teman-temanya. Sedangkan bermain peran makro adalah main peran seasungguhnya dengan alat-alat main berukuran sesungguhnya dan anak dapat menggunakannya untuk menciptakan dan memainkan peran-peran, misalnya main dokter-dokteran maka alat permainan yang digunakan antara lain stetoskop mainan ukuran besar, replica jarum suntik, buku resep dan ball point, meja pendaftaran, petugas pendaftaran, perawat yang membantu dokter, kamar periksa dan sebagainya yang semuanya dalam ukuran besar dan dapat dipergunakan seperti kegiatan sesungguhnya. dalam skala besar misalnya kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, meja belajar, garasi, dan sebagainya dan anak-anak ada yang berperan sebagai bapak, ibu, kakak, adik, dan sebagainya.
Kegiatan bermain peran yang akan dilaksanakan di TK X adalah kegiatan bermain peran makro, dimana anak akan memerankan sebagai tokoh-tokoh tertentu, seperti pedagang, guru, dokter, dan lain-lain.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini untuk meneliti mengenai "Efektivitas Penggunaan Metode Bermain Peran Makro terhadap Peningkatan Penguasaan Kosakata Bahasa Sunda Anak Usia Taman Kanak-kanak"
Penelitian ini akan dilakukan di TK X dengan pertimbangan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti masih ditemukannya anak yang kosakata Bahasa Sundanya terbatas.

B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagi berikut :
1. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Sunda anak sebelum diberikan metode pembelajaran bermain peran di TK X?
2. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Sunda anak sesudah diberikan metode pembelajaran bermain peran di TK X?
3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada kosakata Bahasa Sunda anak sebelum dan sesudah diberikannya metode bermain peran?

C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Memperoleh informasi yang empiris tentang pengaruh penggunaan metode bermain peran terhadap peningkatan kosakata bahasa Sunda anak.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kosakata bahasa Sunda anak sebelum diberikannya metode bermain peran.
2. Untuk mengetahui kosakata bahasa Sunda anak sesudah diberikannya metode bermain peran.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada kosakata bahasa Sunda anak sebelum dan sesudah diberikan metode bermain peran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:01:00

ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET

TESIS ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank merupakan lembaga keuangan yang berorientasi pada bisnis yang mempunyai kegiatan pokok untuk membeli uang dengan cara menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menjualnya kembali kepada masyarakat melalui pemberian kredit atau pinjaman. Dari kegiatan jual beli inilah bank dapat memperoleh keuntungan yaitu selisih harga beli (bunga simpanan) dengan harga jual (bunga pinjaman).
Kegiatan operasional bank, baik dalam usaha menghimpun dana dari masyarakat maupun mengelola dana, menanam kembali dana tersebut kepada masyarakat, sampai dana tersebut kembali lagi ke bank, senantiasa terkait dengan ketentuan hukum. Oleh karena itu, dengan semakin meningkat dan berkembangnya kegiatan usaha perbankan, peranan bidang hukum dalam mendukung keberhasilan itu pun semakin dirasakan penting.
Keperluan akan dana dalam kehidupan sehari-hari untuk menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat, maka untuk itu diperlukan suatu lembaga perantara sebagai jembatan untuk mempertemukan kedua pihak baik yang kelebihan dan pihak yang kekurangan dana, disinilah bank berperan sebagai financial intermediary, yang akan bertindak sebagai kreditur yang menyediakan dana bagi masyarakat yang kekurangan dana, sehingga dapat terbentuk suatu perjanjian kredit.
Kegiatan bank terutama dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan utama sehingga pendapatan kredit berupa bunga merupakan komponen pendapatan paling besar dibandingkan pendapatan jasa-jasa di luar bunga kredit yang biasanya disebut dengan istilah fee base income. Adapun karakteristik yang paling mendasar dalam operasional perbankan adalah, kepercayaan (trust), tanpa adanya kepercayaan kegiatan ekonomi di sektor keuangan terutama di perbankan tidak akan berjalan normal, tenang dan nyaman.
Dengan kata lain masyarakat tidak akan menyimpan uangnya di bank jika tidak ada kepercayaan dan bank juga tidak akan menyalurkan kredit atau pinjaman kepada masyarakat jika tidak ada kepercayaan, namun bank dalam prakteknya juga memiliki risiko yang harus dihindari, ada beberapa jenis risiko yang sering dijumpai : 
a. Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar, yang antara lain adalah suku bunga atau nilai tukar mata uang asing.
b. Risiko Likuiditas
Risiko yang disebabkan ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
c. Risiko Hukum
Risiko ini adalah risiko akibat kelemahan aspek hukum.
d. Risiko Kepatuhan
Risiko akibat bank tidak mematuhi atau melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
e. Risiko Kredit
Risiko yang timbul akibat debitur gagal memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran pokok ataupun bunga sebagaimana disepakati dalam perjanjian kredit sebelumnya.
Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, yaitu credere yang berarti kepercayaan, misalnya seorang nasabah atau debitur memperoleh kredit dari bank adalah tentu seseorang yang telah mendapatkan kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit adalah kepercayaan. Pengertian kredit dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu : 
"Kredit adalah penyediaan uang atau yang dipersamakan dengannya, yang didasari dengan perjanjian pinjam meminjam antara bank dengan pihak yang lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dimana bank atas jasanya itu akan mendapatkan bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan".
Dalam istilah umum, kredit perbankan hampir dipersamakan dengan utang piutang pada umumnya, utang piutang pada umumnya disebut dengan pinjaman habis pakai atau disebut juga dengan istilah Verbuikleen dalam bahasa Belanda yang diartikan lebih lanjut dengan pinjaman mengganti.
Pinjaman mengganti menurut KUHPerdata yaitu salah satu pihak melepaskan sejumlah uang atau barang tertentu kepada pihak lain yang menghabiskannya apabila dipakai dengan janji bahwa kemudian hari uang atau barang tersebut akan dikembalikan dalam jumlah yang sama, dengan keadaan sejenis dan dalam keadaan yang sama.
Ada beberapa tujuan untuk pemberian kredit pada bank, yang umumnya tujuan itu adalah untuk mencari keuntungan, hasil ini dapat diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh pihak bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi pemberian kredit yang dibebankan kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank, disamping itu keuntungan juga dapat membesarkan usaha bank.
Kredit juga dapat berfungsi untuk meningkatkan peredaraan lalu lintas uang dan untuk meningkatkan daya guna barang, artinya dalam hal ini uang diberikan atau disalurkan akan beredar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya sehingga, suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.
Bagi si penerima kredit ini tentu saja dapat meningkatkan semangat untuk berusaha karena dengan pengambilan kredit dapat menambah modal untuk usaha, memperbesar dan memperluas usahanya, namun dalam hal ini bank juga memiliki beberapa risiko dalam pemberian kredit, faktor risiko kerugian dapat diakibatkan dua hal yaitu risiko kerugian yang diakibatkan nasabah dengan sengaja tidak mau membayar kreditnya padahal mampu membayar, dan risiko kerugian yang diakibatkan karena terjadinya musibah atau bencana alam. Penyebab tidak tertagihnya kredit sebenarnya dikarenakan adanya tenggang waktu pengembalian atau jangka waktu, semakin panjang jangka waktu suatu kredit semakin besar risiko kredit tersebut tidak tertagih, demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman kepada prinsip 5C, yaitu : 
a. Character
Bahwa calon nasabah atau debitur memiliki watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh dari bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan informasi-informasi dari usaha.
Character ini juga dapat dilihat dalam bentuk SID atau Sistem Informasi Debitur yaitu informasi mengenai calon debitur yang akan memohon kredit, sistem ini terhubung secara langsung kepada Bank Indonesia, dimana setiap bank yang telah memberikan kredit kepada nasabahnya wajib melaporkan data-data atau informasi mengenai nasabah atau istilah DIN (Data Informasi Nasabah) yang telah diberikan kredit.
b. Capacity
Capacity dalam hal ini adalah kemampuan calon nasabah atau debitur untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya akan dapat berjalan dengan baik dan dapat memberikan keuntungan, yang akan menjamin bahwa jangka ia mampu melunasi hutang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan. Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan materiil, yaitu melakukan penilaian terhadap keadaan neraca, laporan laba rugi, dan arus kas (cash flow) usaha dari beberapa tahun terakhir, dalam capacity ini bank dapat melihat layak atau tidaknya calon debitur tersebut akan diberikan pinjaman dalam jumlah yang sesuai.
c. Capital
Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana distribusi modal ini ditempatkan oleh pengusaha tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan secara efektif. Modal atau capital ini dapat dilihat dari neraca keuangan calon debitur atau ratio modal debitur. Penilaian keadaan keuangan arus dana, realisasi produksi, serta pembelian dan penjualan. Laporan sumber dana dan penggunaan dana sangat membantu melakukan penilaian aspek pembiayaan. Atas dasar ini dapat dipahami kelayakan kredit yang dibutuhkan sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan keputusan penyaluran kredit.
d. Collateral
Collateral adalah jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman (back up) atas risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah debitur di kemudian hari, misalnya terjadi kredit macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi sisa hutang kredit baik hutang pokok maupun bunganya. Dalam setiap perjanjian kredit harus ada agunan yang menjadi jaminan apabila debitur wanprestasi (cidera janji).
e. Condition of Economy
Dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dan bank untuk memperkecil risiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut. Condition of economy ini juga mempengaruhi untuk keputusan pemberian kredit, misalnya di saat hari-hari besar seperti Hari Raya, Natal atau Tahun Baru kebutuhan masyarakat meningkat maka kemungkinan untuk membayar kredit sangat kecil, atau nilai tukar rupiah turun, suku bunga naik maka tidak mungkin pada kondisi keadaan lebih berhati-hati dalam merealisasi kredit.
Kredit yang diberikan oleh bank kepada calon peminjam didasarkan atas kepercayaan, karena itu untuk menjaga keamanannya dalam menyalurkan dana tersebut pihak bank seharusnya benar-benar yakin bahwa peminjam akan mampu mengembalikan pinjaman yang telah diterimanya, sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. Sehingga harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential principles) agar terjaga keamanannya dan mendapatkan keuntungan dari kredit yang disalurkan oleh bank itu. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam akad kredit dan ditandatangani kedua pihak sebelum pencairan kredit, setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Akibat adanya tenggang waktu, maka pengembalian kredit akan memungkinkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian suatu kredit.
Semakin panjang suatu jangka waktu kredit, maka semakin besar risikonya, dan demikian pula sebaliknya. Risiko ini dapat menjadi tanggungan bank baik risiko yang disengaja nasabah maupun yang tidak disengaja. Kondisi yang tidak disengaja misalnya karena bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur yang kesengajaan lainnya, sehingga nasabah tidak mampu lagi melunasi kredit yang diperolehnya. Berarti kredit yang diberikan berjalan lancar tanpa mengalami hambatan dalam pengembaliannya. Dampak negatif dapat timbul apabila dari pemberian kredit oleh bank mengandung risiko berupa kegagalan dalam pengembalian atau pelunasan kredit (kredit macet) sehingga berakibat timbulnya kerugian di pihak bank juga berpengaruh pada masyarakat karena kredit yang diberikan itu bersumber dari dana masyarakat yang disimpan di bank tersebut.
Bank perlu mengamankan kredit yang disalurkannya pada nasabah untuk mengetahui risiko yang akan timbul di kemudian hari sebagai akibat wanprestasinya nasabah, sebab ada larangan bagi bank untuk turut serta menanggung risiko dari nasabah (prinsip comanditering verbod). Apabila debitur sengaja untuk tidak melunasi hutangnya maupun tidak menepati batas waktu pengembalian hutang maka jaminan dapat digunakan untuk mengganti atau membayar hutang, oleh karena itu jaminan sangat penting dalam perjanjian kredit.
Sebagaimana yang diketahui bahwa kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam, kondisi dimana debitur yang tidak dapat membayar lunas hutangnya setelah jangka waktunya habis adalah wanprestasi. Kondisi wanprestasi seorang debitur perlu secara dini diketahui penyebabnya untuk dapat dilakukan pencegahan ataupun dengan kondisi wanprestasi bank sudah dapat memperkirakan faktor-faktor apa yang menyebabkan seorang debitur wanprestasi. 
Dalam penelitian ini akan dibahas faktor-faktor yang menyebabkan kredit macet baik yang disebabkan internal perbankan maupun secara eksternal dari nasabah itu sendiri. Juga akan diteliti aturan-aturan hukum baik undang-undang maupun peraturan Bank Indonesia yang berkenaan dengan pemberian kredit termasuk dalam hal ini aturan-aturan PT Bank X mengenai pelaksanaan teknis pemberian kredit.
PT Bank X menjadi objek dari penelitian ini disebabkan PT Bank X termasuk Bank Daerah yang cukup maju. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penghargaan dan profile perusahaan termasuk laba perusahaan yang cukup baik pada tahun 2008 s/d 2009. Tahun buku 2009 PT. Bank X mampu meningkatkan pendapatan bunga bersihnya sebesar 16% menjadi Rp. 1.063,8 Miliar dibandingkan Tahun 2008 sebesar Rp. 916,2 Miliar. Laba Bersih Tahun Buku 2009 menunjukkan angka pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu 77,63% menjadi Rp. 420,8 Miliar dibandingkan tahun 2008 sebesar Rp. 236,9 Miliar. Aset tahun 2009 juga mengalami pertumbuhan yang cukup besar yaitu Rp. 10,7 Triliun atau tumbuh sebesar 21,59% dibandingkan tahun 2008 sebesar Rp. 8.8 Triliun.
Kesuksesan dalam pertumbuhan aset dan laba tersebut karena dukungan dan kerja yang baik oleh manajemen PT. Bank X. Namun pada tahun 2009 Rasio Kecukupan Modal (CAR) sebesar 12,24% mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 sebesar 16.48%, angka 12,24% tersebut masih diatas angka minimal CAR sebesar 8%. Penurunan rasio CAR tersebut akibat kesuksesan dalam pertumbuhan kredit yang tinggi tidak diimbangi dengan pertumbuhan modal perusahaan. Rasio Kredit Bermasalah terhadap Total Kredit (NPL) pada tahun 2009 sebesar 2,47% atau mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 sebesar 0.99%, angka 2,47% tersebut masih dibawah batas maksimal 5%.
Dalam perjanjian kredit banyak masalah-masalah yang akan timbul dan juga berbagai cara menyelesaikan masalah tersebut baik dari pihak bank maupun dari pihak pemohon atau kreditur, dan masalah kredit macet ini juga berkaitan erat dengan penegakan hukum, hukum disini berfungsi dengan baik terutama dalam penyelesaian kredit macet, oleh karena itu berdasarkan uraian di atas penulis akan mencoba mengetengahkan judul "ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET (STUDI PADA PT BANK X)”.

B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut selanjutnya dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kredit macet ?
2. Bagaimana pengaturan hukum dibidang perbankan terkait upaya bank dalam mencegah dan menyelesaikan kredit macet ?
3. Bagaimana pencegahan dan penyelesaian kredit macet pada PT. Bank X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah : 
1. Untuk mengetahui dan menganalisis hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya kredit macet.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan perundang-undangan perbankan yang mengatur mengenai upaya pencegahan dan penyelesaian kredit macet.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya PT. Bank X dalam mencegah dan menyelesaikan kredit macet.

D. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum guna mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan sebagai bahan masukan atau informasi pada penelitian lebih lanjut.
b. Secara Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam upaya pencegahan dan penyelesaian jika terjadi kredit macet yang dapat bermanfaat bagi pihak bank dan nasabah. Bagi pihak Bank dapat meningkatkan kolektabilitas sehingga terjadinya kredit macet dapat di kurangi. 
Bagi nasabah dapat menentukan langkah-langkah yang terbaik dalam menyelesaikan kreditnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Pada akhirnya berjalannya fungsi Bank sebagai intermediary institution dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan pemberian kredit yang lancar dan berguna.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 21:51:00

PENERAPAN KONSELING INDIVIDUAL DALAM MENGEMBANGKAN PERILAKU MORAL SISWA

SKRIPSI PENERAPAN KONSELING INDIVIDUAL DALAM MENGEMBANGKAN PERILAKU MORAL SISWA DI MAN X


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan moral dihadapi oleh manusia tidak hanya ketika sudah dewasa, tetapi juga sudah muncul ketika berusia remaja. Dari waktu ke waktu, permasalahan moral di kalangan remaja cenderung semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Dalam memaknai pendidikan remaja, seringkali diskursus yang kemudian muncul adalah paradigma gejala psikologis dan sosiologis. Hal demikian disebabkan oleh problematika remaja Indonesia yang mempunyai kecenderungan negatif yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, seiring dengan majunya zaman.
Banyak kasus penyimpangan perilaku yang berkembang terutama kemerosotan moral pada kehidupan anak didik, tidak diragukan lagi telah mengalami kemunduran tingkah laku yang tidak sopan, keluyuran dan tawuran.
Kenakalan siswa atau anak didik tidak dapat dipisahkan dengan kondisi sosial budaya masyarakat dan zaman, karena setiap zaman memiliki sifat yang khas dan memberikan tantangan khusus bagi generasi mudanya.
Namun di pihak lain kenakalan remaja (anak didik) bukan sekedar gangguan terhadap keamanaan dan ketertiban masyarakat saja lebih dari itu kenakalan anak didik akan berimplikasi pada merosotnya moral bangsa pada poros generasi muda.
Kenakalan anak didik adalah sebagai bentuk pengalihan perhatian, selain itu juga dapat menghilangkan konflik batin sehingga menimbulkan keributan dan hura-hura masal. Situasi di lingkungan anak didik yang sudah menjadi ekstrim, mereka cenderung menjadi pengacau membuat kerusuhan dan melakukan pelanggaran terhadap etika pendidikan, hilangnya sopan santun, melakukan tindakan keras bahkan mulai terperosok ke dalam praktek minuman ber alkohol dan obat-obatan terlarang dan sejenisnya.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam mengembangkan perilaku moral tidak pernah berhenti dari perhatian dan pengamatan kita. Salah satunya di sekolah Madarasah Aliyah Negeri X. Terjadi permasalahan seperti tawuran (berebut pacar) antar pelajar melakukan kenakalan biasa seperti berbohong (meminta uang pada orang tuanya dengan alasan membayar sekolah tapi dibuat belanja dan berfoya-foya), pergi ke rumah tanpa pamit pada orang tuanya (keluyuran) bolos sekolah, membuang sampah sembarangan dan sejenisnya. Mereka juga melakukan kenakalan pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan, dan ada beberapa dari murid yang diketahui melihat pornografi. Apakah ini merupakan wujud dari kegagalan pendidikan moral yang dilakukan oleh para pendidik (guru) selama ini?.
Sekolah MAN X adalah sekolah yang berdiri di atas naungan pondok pesantren mamba'ul ma'arif denanayar X. Jadi siswa dan siswi di MAN X bukan hanya dari lingkungan sekolah itu sendiri, tapi siswa-siswinya berasal dari daerah-daerah kota yang lain, seperti Madura, Surabaya, Jakarta, Semarang dan kota-kota yang lainnya, sehingga permasalahan remaja sering sekali muncul dengan adanya pengaruh-pengaruh luar yang membuat remaja menjadi krisis moral. Dan dengan mengetahui tingkah laku para siswa tersebut penulis ingin mengetahui penerapan seperti apa yang bisa menumbuh kembangkan akhlak yang mulia membangun moralitas siswa menjadi lebih baik, dan seharusnya pembelajaran pendidikan moral tidak cukup sekedar menghafal nilai-nilai kognitif tapi juga harus di implementasikan dengan melibatkan seluruh tenaga pendidik seperti kepala sekolah, guru agama, guru umum, kurikulum metode, media dan sarana, khususnya guru bimbingan konseling yang ada di sekolah tersebut. Untuk itulah penulis melakukan penelitian ini untuk mengungkap bagaimana guru bimbingan konseling dalam mengembangkan moral siswa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan konseling individual di MAN X?
2. Bagaimana perilaku moral siswa di Madarasah Aliyah Negeri X?
3. bagaimana penerapan konseling individual dalam mengembangkan perilaku moral siswa di MAN X?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendiskripsikan pelaksanaan konseling individual di MAN X.
2. Untuk mendiskripsikan perilaku moral siswa di MAN X.
3. Untuk mendiskripsikan penerapan konseling individual dalam mengembangkan perilaku moral siswa di MAN X.

D. Manfaat Penelitian
Masalah ini penting sekali untuk diteliti, karena mempunyai beberapa alasan, sebagaimana diketahui dimasa sekarang banyak sekolah-sekolah yang menggunakan tenaga bimbingan atau konselor terutama di MAN. Apakah berfungsi seperti yang diharapkan.
Dengan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun pembaca. Beberapa manfaat itu antara lain:
1. Menambah pengetahuan tentang sejauh mana konseling individual dalam mengembangkan moral siswa.
2. Dapat mengembangkan salah satu bagian dari ilmu pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan bimbingan konseling sebagai alternatife terapi dalam pendidikan.
3. Menambah pengetahuan dalam bidang penelitian terkait problem-problem perkembangan anak didik di dalam lembaga pendidikan.

E. Definisi Istilah, Asumsi dan Batasan
1. Definisi istilah
Definisi istilah sangat penting untuk dicantumkan, untuk menghindari perbedaan pengertian makna yang ditimbulkan agar tidak terjadi ke salahpahaman maksud judul sesuai dengan penulis harapkan. Maka penulis perlu menjelaskan istilah-istilah sebagai berikut:
a. Penerapan : pengenaan, perihal pemraktekkan teori.
b. Konseling : merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada
individu, supaya dia memperoleh konsep diri atau kepercayaan diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dalam memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang.
c. Individual : adalah perseorangan atau pribadi.
d. Mengembangkan : meningkatkan atau suatu proses perubahan yang lebih dapat mencerminkan sifat-sifat mengenai gejala psikologi yang tampak.
e. Perilaku : adalah tindakan atau perbuatan atau sikap seseorang.
f. Moral : adalah rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud moral siswa di sekolah adalah meliputi: Bolos sekolah, merokok, berbohong, pacaran, tawuran dan lain sebagainya.
g. Siswa : pelajar atau murid.
Jadi pengertian perilaku moral siswa adalah suatu keadaan atau kelakuan siswa sehari-hari sebagai wujud nyata dari perbuatannya dalam rangka berinteraksi dengan ligkungannya.
Dengan demikian yang dimaksud dengan judul skripsi ini adalah suatu penelitian deskriptif kualitatif tentang penerapan konseling individual dalam usaha membantu siswa membentuk perilaku moral agar lebih baik.
2. Asumsi
Asumsi adalah anggapan yang diyakini kebenarannya oleh peneliti dalam penelitian ini penulis berasumsi:
a. Disetiap sekolah selalu terdapat siswa yang suka atau sering melanggar aturan-aturan yang ada disekolah tersebut.
b. Siswa yang melanggar aturan-aturan sekolah merupakan sasaran kegiatan BK
c. Dalam penerapan BK terdapat jenis-jenis layanan tertentu yang pelaksanaannya melibatkan personil Kepala Sekolah, Waka sek, konselor, guru bidang studi, wali kelas, siswa dan orang tua siswa
d. Dalam penerapan ini juga terdapat prosedur yang digunakan, demikian pula dengan pemanfaatan fasilitas yang ada.
3. Batasan
a. Dalam penelitian ini penulis membatasi pada masalah-masalah usaha penerapan konseling individual dalam mengembangkan prilaku moral sampel dari siswa dikelas X dan XI MAN X.
b. Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pada penerapan lanyanan konseling individual dan hanya menyinggung sedikit layanan yang lain guna mmeberikan gambaran pelaksanaan layanan BK di MAN X.
c. Masalah yang ditangani adalah perilaku moral siswa di MAN X.
d. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi.
e. Penulis membuat konsep penelitian pengembangan yang hasilnya diterapkan pada guru BK yang bersnagkutan di MAN X.

F. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pemahaman skripsi ini maka perlu adanya penyusunan yang sistematis. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang gambaran umum yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II Merupakan bab kajian teori yang menjelaskan tentang konseptual kepustakaan mendasar terkait dengan bimbingan konseling yang meliputi sub bab sebagai berikut: Pengertian bimbingan dan konseling individual. Teori psikologi remaja, Menguraikan tentang perilaku moral siswa, meliputi: Pengertian moral, Perilaku moral, dan perkembangan moral siswa.
BAB III Dalam Bab ini menjelaskan tentang data hasil penelitian di lapangan yang meliputi tinjauan umum menyajikan tentang penyajian data tentang latar belakang berdirinya MAN X, letak geografis, keadaan sarana dan prasarana, struktur organisasi, keadaan guru, karyawan dan siswa. Dan menguraikan tentang analisis data dan pembahasan masalah penelitian yang meliputi dua aspek yaitu: penyajian hasil penelitian terdiri dari hasil wawancara dan observasi. Pembahasan masalah penelitian.
BAB IV Bab ini merupakan penutup yang berisikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang ada di Bab I serta saran-saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 21:50:00