(KODE : PASCSARJ-0038) : TESIS PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN MODEL DAN GAMBAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPA DITINJAU DARI MINAT BELAJAR SISWA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri komponen-komponen yang saling interaksi, saling korelasi dan interdependensi untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam lingkup yang lebih sempit adalah pendidikan formal di Sekolah dasar. Lebih sempit lagi yaitu proses pembelajaran di dalam kelas. Artinya bahwa proses pembelajaran di dalam kelas juga merupakan suatu sistem. Proses pembelajaran di dalam kelas sebagai suatu sistem mempunyai banyak komponen antara lain : Guru, siswa, tujuan, materi pelajaran, strategi pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi, dan lain-lain.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berjalan cukup pesat dewasa ini menuntut proses pembelajaran mau tidak mau harus menyesuaikan dengan perkembangan jaman khususnya proses pembelajaran di Sekolah Dasar. Sebagai jenjang pendidikan yang terbawah yang harus menyiapkan siswa untuk menuju jenjang pendidikan menengah, pendidikan dasar dituntut untuk menyiapkan siswa-siswanya menjadi siswa yang unggul dalam pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Untuk itu dalam proses pembelajarannya di sekolah harus dapat memberikan bekal kepada semua siswa agar kelak dapat menjadi warga negara yang sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun XXXX tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa :
Pendidikan Dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. X, XXXX : 10).
Pendidikan dasar meliputi jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau yang sederajat dan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan yang sederajat. Rentang usia anak Sekolah Dasar antara 6 sampai dengan 12 tahun, sedangkan sekolah menengah pertama antara 13 sampai dengan 15 tahun. Anak seusia Sekolah Dasar mempunyai karakteristik belajar sambil bermain. Oleh karena itu dalam proses pembelajarannya guru harus dapat menciptakan suasana menyenangkan dengan belajar sambil bermain.
Siswa Sekolah Dasar sebagian besar memiliki mainan di rumah. Mainan yang dimiliki sebagian besar berwujud model atau benda tiruan seperti : mobil-mobilan, beraneka macam boneka, tembak-tembakan, model buah-buahan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu proses pembelajaran dengan menggunakan model atau benda tiruan dapat menjadi pilihan guru bersama siswa. Dengan pembelajaran menggunakan media model ini siswa akan dapat terpenuhi kebutuhannya yaitu belajar sambil bermain. Dengan media model siswa akan belajar dengan senang karena sesuai dengan karakeristik yang dimilikinya.
Dalam proses pembelajaran khususnya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibutuhkan media yang cocok dan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran tersebut. Oleh karena itu guru harus pandai-pandai dalam memilih media pembelajaran yang sesuai, sehingga dapat menumbuhkan minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
Di era globalisasi sekarang ini banyak sekali teknologi yang dapat digunakan sebagai Media Pembelajaran dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar. Perpustakaan yang lengkap dengan buku-buku yang terbaru sebagai Pusat Sumber Belajar masih sangat dibutuhkan oleh seluruh warga sekolah dalam proses pembelajaran. Demikian juga pemanfaatan media pembelajaran yang lainnya, yang saat ini sedang digalakkan yaitu berbagai macam media yang sangat cocok dengan kondisi dan situasi saat ini.
Tersedianya media pembelajaran masih dirasakan sangat kurang baik dalam jumlah maupun kualitasnya, sehingga tidak seimbang dengan jumlah kelas dan jumlah siswa di Sekolah Dasar. Ditambah lagi penguasaan guru atas berbagai macam media khususnya media elektronik masih sangat kurang, sehingga belum mampu memanfaatkan media yang tersedia.
Dalam setiap proses pembelajaran masih sangat sedikit guru yang merancang/mendesain Media Pembelajaran pada Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sehingga penggunaan media pembelajaran masih terkesan seadanya. Dengan keadaan seperti itu sudah barang tentu membawa dampak terhadap tingkat keberhasilan siswa dalam proses pembelajarannya. Oleh karena itu Sosialisasi tentang penggunaan media pembelajaran dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar masih sangat dibutuhkan.
Kondisi saat ini, masih banyak guru yang menggunakan media pembelajaran sederhana yang kurang menarik minat siswa dalam mengikuti pembelajaran, sehingga mengakibatkan prestasi belajar rendah. Banyak guru yang hanya mengandalkan Buku Paket sebagai media pembelajarannya. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, penggunaan media pembelajaran yang baik dan sesuai sangat diharapkan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.
Penggunaan media pembelajaran Gambar sudah sejak lama dilakukan di Sekolah Dasar. Dengan berbagai kebaikan dan keterbatasannya media gambar sekarang ini sudah perlahan-lahan mulai kurang diminati lagi sebagai media pembelajaran di Sekolah Dasar, sehingga perlu dicarikan media lain yang dapat menarik minat siswa dalam proses pembelajaran.
Penggunaan media pembelajaran Model/benda tiruan saat ini sedang diminati oleh para guru dan siswa. Media pembelajaran Model merupakan media tiga dimensi yang sangat menarik bagi siswa Sekolah Dasar, karena mempunyai banyak kelebihan. Media pembelajaran ini dapat menyajikan berbagai macam bentuk model sesuai dengan benda aslinya/benda sebenarnya.
Minat belajar siswa perlu mendapat perhatian dari guru Sekolah Dasar. Siswa Sekolah Dasar memiliki sifat mudah bosan terhadap suatu obyek, sehingga diperlukan sesuatu yang bervariasi. Belajar sambil bermain dapat menumbuhkan minat siswa pada apa yang dipelajarinya.
Sekolah Dasar Negeri yang tergabung dalam Gugus 02 Kecamatan X sebagai wahana pendidikan formal mempunyai tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyiapkan siswa-siswanya menjadi anak yang cerdas dan berkepribadian serta mempunyai ketrampilan yang cukup. Oleh karena itu dalam setiap pembelajarannya dituntut untuk meningkatkan sarana, prasarana dan kualitas para gurunya, sehingga dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar. Penggunaan media pembelajaran Model dan Gambar menjadi pilihan yang dapat dimanfaatkan oleh guru bersama siswa sebagai media pembelajaran dalam proses pembelajaran.
B. Identifikasi Masalah
Dengan berbagai permasalahan dan hambatan yang berkaiatan dengan penggunaan media pembelajaran di Sekolah Dasar, dalam penelitian ini dapat dikemukakan identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Apakah penggunaan media pembelajaran dapat meningkatkan prestasi belajar siswa?
2. Apakah tingkat kemampuan para guru dalam memilih dan mengoperasionalkan media pembelajaran khususnya media model dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa?
3. Apakah penggunaan media pembelajaran model dan gambar berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa?
4. Apakah prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran IPA dapat ditingkatkan dengan menggunakan media pembelajaran model dan gambar?
5. Apakah minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran IPA dapat meningkat bila menggunakan media pembelajaran model ?
C. Pembatasan Masalah
Dengan luasnya masalah yang timbul dalam sistem pembelajaran di Sekolah Dasar, maka dalam penelitian ini perlu diadakan pembatasan masalah agar tidak terjadi perbedaan dalam penafsiran. Adapun pembatasan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Penggunaan media pembelajaran Model adalah penggunaan media dalam proses pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang dikomparasikan dengan penggunaan media pembelajaran Gambar di SDN Gugus 02 Kecamatan X.
2. Prestasi belajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dalam penelitian ini adalah hasil yang diperoleh/dicapai siswa setelah mengikuti proses pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang diukur dengan Tes.
3. Minat belajar adalah suatu kecenderungan dan kegairahan siswa terhadap kegiatan belajar yang dapat memberikan stimulus dalam kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan belajar. Bila suatu kegiatan sangat disukai oleh siswa akan menyebabkan minat yang tinggi, dan apabila tidak disukai dapat menimbulkan keengganan atau minat yang rendah. Minat merupakan faktor motivasional yang dapat mempengaruhi kemauan seseorang untuk melakukan suatu tugas tertentu misalnya belajar. Dalam hal ini minat belajar dapat dilihat dari adanya : suka tidak suka, semangat, perhatian, kemauan, dan dorongan dari dalam.
D. Rumusan Masalah
Atas dasar Latar belakang masalah, Identifikasi masalah dan Pembatasan masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara penggunaan media pembelajaran Model dengan Gambar terhadap prestasi belajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pada siswa SDN Gugus 02 Kecamatan X ?
2. Apakah ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara siswa yang memiliki minat belajar tinggi dengan siswa yang memiliki minat belajar rendah terhadap prestasi belajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pada siswa SDN Gugus 02 Kecamatan X?
3. Apakah ada interaksi pengaruh yang signifikan antara penggunaan media pembelajaran Model dan Minat belajar terhadap prestasi belajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pada siswa SDN Gugus 02 Kecamatan X?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam Penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui perbedaan pengaruh yang signifikan penggunaan media pembelajaran Model dan Gambar terhadap prestasi belajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pada siswa SDN Gugus 02 Kecamatan X.
2. Mengetahui perbedaan pengaruh yang signifikan Minat belajar terhadap prestasi belajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pada siswa SDN Gugus 02 Kecamatan X.
3. Mengetahui interaksi pengaruh yang signifikan penggunaan media pembelajaran Model dan Minat belajar terhadap prestasi belajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pada siswa SDN Gugus 02 Kecamatan X.
F. Manfaat Penelitian
Setelah penelitian dilaksanakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara praktis maupun teoritis.
1. Manfaat Praktis :
a. Bagi Guru, sebagai panduan dalam upaya mengoptimalkan penggunaan media pembelajaran dalam rangka peningkatan prestasi belajar siswa.
b. Bagi Sekolah/Lembaga, sebagai petunjuk dalam penyediaan fasilitas media pembelajaran yang memadai yang sangat dibutuhkan untuk memperlancar proses pembelajaran di Sekolah Dasar.
c. Bagi siswa, untuk lebih meningkatkan minat dan prestasi belajarnya agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
2. Manfaat Teoritis
a. Pengujian manfaat berbagai macam media terhadap prestasi belajar khususnya di Sekolah Dasar.
b. Untuk menambah dan mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal media pembelajaran.
c. Sebagai dasar untuk mengadakan penelitian-penelitian lebih lanjut bagi peneliti lain.
Home » All posts
TESIS PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN MODEL DAN GAMBAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPA DITINJAU DARI MINAT BELAJAR SISWA
TESIS PENGARUH PENDEKATAN KONSEP DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR BAHASA INGGRIS DI SMP X
(KODE : PASCSARJ-0037) : TESIS PENGARUH PENDEKATAN KONSEP DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR BAHASA INGGRIS DI SMP X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa Inggris masih dipandang sebagai pelajaran yang sulit oleh sebagaian besar siswa, sehingga pencapaian prestasi belajar Bahasa Inggris siswa masih rendah. Rendahnya prestasi belajar ini menunjukan proses pembelajaran Bahasa Inggris belum optimal. Hasil prestasi belajar Bahasa Inggris siswa setiap tahunnya belumlah menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari rerata nilai UANAS Bahasa Inggris dari tahun ke tahun masih rendah. Tabel 1. Nilai rata-rata UANAS SMP Negeri 2 X
** TABEL SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **
Hasil tersebut menunjukan kecenderungan prestasi belajar Bahasa Inggris masih rendah. Tuntutan masyarakat dan era globalisasi menuntut siswa untuk menguasai Bahasa Inggris dengan baik, hampir semua disiplin ilmu menggunakan bahasa Inggris dan Bahasa Inggris akan digunakan dalam komunikasi sehari-hari karena bahasa inggris merupakan bahasa internasional yang berkembang sangat pesat seiring dibukanya era globalisasi ini. Padahal dalam era globalisasi, diperlukan kemampuan daya komparatip dan daya saing tinggi, yang merupakan kemampuan untuk memanfaatkan, menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemampuan-kemampuan tersebut menuntut kemampuan penguasaan terhadap Bahasa Inggris. Oleh karena itu, program pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan potensi individu dan mewariskan pengetahuan, nilai, sikap, serta perilaku kepada generasi muda seyogyanya dirancang secara lebih sistematis.
Menurut Joko Nurkamto (XXXX:291) tujuan pembelajaran bahasa adalah mengembangkan kemampuan komunikatif. Hymen (dalam Joko Nurkamto, XXXX:291) mengemukakan bahwa kemampuan komunikatif mengacu pada pengetahuan yang sudah terinternalisasi (tacit knowledge) dan kemampuan menggunakan (ability to use) bahasa. Kedua hal tersebut terkait dengan empat parameter, yaitu kegramatikalan (grammaticality), keterlaksanaan (feasibility), kesesuaian dengan konteks (appropriacy), dan kemungkinan yang terjadi dalam sistem komunikasi (accepted usage).
Menurut pandangan penulis ada dua hal utama penyebab mengapa prestasi belajar bahasa Inggris siswa tidak sesuai keinginan.Pertama, makna pendekatan pembelajaran yang tidak dipahami oleh sebagian besar guru-guru bahasa Inggris. Sehingga tanpa disadari, guru turut memberi kontribusi terhadap faktor yang menyebabkan kesan siswa terhadap mata pelajaran Bahasa Inggris, bahwa pelajaran Bahasa Inggris adalah pelajaran paling sukar untuk dipelajari, dan menimbulkan sikap antipati terhadap mata pelajaran Bahasa Inggris. Akibat kurangnya pemahaman terhadap makna pendekatan pembelajaran ini maka :
1. Sering Bahasa Inggris disajikan hanya sebagai kumpulan tenses belaka harus dihapal oleh siswa, tanpa mengetahui penggunaan tiap-tiap tenses tersebut. Sehingga saat terjadi penilaian hasil belajar, tenses tersebut bercampur aduk sehingga siswa tidak tahu mana yang akan digunakan.
2. Kurangnya variasi dalam penggunan metode pembelajaran serta jarangnya penggunaan alat bantu yang dapat memperjalas gambaran siswa tentang materi pembelajaran yang sedang dipelajari. Akibatnya pelajaran Bahasa Inggris terasa sulit.
3. Dalam penyampaian materi pelajaran, guru kurang memperhatikan proporsi materi pelajaran serta sistematika penyampaianya. Guru tidak memperhatikan mana materi yang harus dipelajari dahulu oleh siswa, sebagai bekal untuk mempelajari materi berikutnya. Sehingga tidak ada penekanan pada konsep dasar materi pelajaran. Kesan yang ada pada siswa, bahwa Bahasa Inggris benar-benar susah untuk dipelajari.
4. Ada kecenderungan guru untuk mempersulit pelajaran, bukannya mempermudah pemahaman siswa, dengan tujuan agar siswa tidak memandang enteng pelajaran Bahasa Inggris termasuk gurunya. Padahal seharusnya guru mempermudah siswa untuk belajar Bahasa Inggris. Kedua, guru-guru saat mengajar di kelas cenderung hanya mengajar. Sedangkan aspek mendidik siswa, mendisiplinkan siswa, memperbaiki dan mengarahkan perilaku siswa, memahami karakter siswa, memberi ketauladanan kepada siswa menjadi terabaikan. Guru -guru hanya terfokus pada materi pelajaran yang akan diberikan dan sedang diberikan. Artinya guru-guru hanya memfokuskan siswa pada kecerdasan intelektual atau Intelegence Quotient (IQ). Padahal ada kecerdasan lain yang dimiliki siswa, yaitu kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ). Akibatnya :
1. Guru hanya terpaku pada tuntutan materi apa yang akan diselesaikan hari ini.
Keseriusan wajah sang guru membuat ketegangan pada otak siswa dalam menerima materi pelajaran, sehingga membuat pelajaran Bahasa Inggris bertambah sulit.
2. Tidak ada jalinan hubungan emosional yang baik antara guru dan siswa.
Secara emosional, terjadi jurang antara guru dan siswa. Bahkan guru merasa, ia dan pelajaran Bahasa Inggris adalah yang terhebat. Padahal seharusnya bagaimana ia membuat siswa hebat dalam mempelajari Bahasa Inggris, bukan sebaliknya.
Melihat kenyataan ini, penulis tertarik untuk meneliti masalah prestasi belajar Bahasa Inggris siswa yang dipengaruhi oleh pendekatan pembelajaran dan kecerdasan emosional siswa, maka penelitian ini berjudul : Pengaruh Pendekatan Konsep Dan Kecerdasan Emosional Terhadap Prestasi Belajar Bahasa Inggris Di Sekolah Menengah Pertama Negeri Kecamatan X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX.
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negeri di kecamatan X Kabupaten X yang nilai prestasi belajar bahasa Inggris masih kurang.
B. Identifikasi Masalah
Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar bahasa Inggris siswa, adalah pemahaman guru-guru terhadap pendekatan pembelajaran, sehingga ia mampu memperoleh metode yang tepat, yang dapat ia gunakan ketika proses pembelajaran berlangsung. Ada beberapa pendekatan pembelajaran yang dapat dikembangkan oleh guru, seperti pendekatan lingkungan, pendekatan konsep, pendekatan ketrampilan proses, pendekatan sumber konvensional, pendekatan inquiry. Pendekatan-pendekatan itu dapat dikembangkan menjadi metode-metode pembelajaran, yang akan dipakai di kelas saat berhadapan dengan siswa. Kedua, peningkatan dan pengembangan kecerdasan emosional siswa. Siswa jangan hanya dijejali dengan materi pelajaran saja, namun diperhatikan emosinya. Otoriter dalam mengajar tidak menyebabkan siswa mudah menerima materi pelajaran yang diberikan. Eksistensi dan aktualisasi mereka dihargai, sehingga mereka akan termotivasi untuk belajar dengan baik. Banyak pekerjaan yang sukar untuk diselesaikan, namun dengan motivasi yang tinggi pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran bahasa Inggris di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) antara lain :
1. Apakah kesan, bahwa pelajaran bahasa inggris itu sulit mempengaruhi prestasi belajar bahasa Inggris siswa ?
2. Apakah kemampuan penguasaan terhadap pelajaran bahasa Inggris menyebabkan rendahnya mutu prestasi belajar bahasa Inggris siswa ?
3. Apakah pemahaman guru terhadap pendekatan pembelajaran akan mempengaruhi prestasi belajar bahasa Inggris siswa ?
4. Apakah penggunaan metode pembelajaran yang sesuai mempengaruhi prestasi belajar bahasa Inggris siswa ?
5. Apakah penggunaan alat bantu pembelajaran mempengaruhi prestasi belajar bahasa Inggris siswa ?
6. Apakah sikap guru terhadap mata pelajaran bahasa Inggris mempengaruhi prestasi belajar bahasa Inggris siswa ?
7. Apakah kecerdasan intelektual siswa mempengaruhi prestasi belajar bahasa Inggris siswa ?
8. Apakah kecerdasan emosional siswa mempengaruhi prestasi belajar bahasa Inggris siswa ?
C. Pembatasan Masalah
Masalah prestasi belajar bahasa Inggris siswa yang belum optimal, diduga antara lain dipengaruhi oleh penggunaan pendekatan pembelajaran yang kurang tepat dan terabaikannya kecerdasan emosional siswa, maka dari identifikasi faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan prestasi belajar bahasa Inggris siswa di atas, penelitian ini dibatasi kepada :
1. Prestasi belajar bahasa Inggris siswa
2. Pendekatan pembelajaran yang digunakan guru
3. Kecerdasan emosional siswa
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka masalah-masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah ada perbedaan prestasi belajar Bahasa Inggris yang dicapai siswa yang menerima pengajaran dengan pendekatan pembelajaran konsep dan pendekatan pembelajaran konvensional?
2. Apakah ada perbedaan prestasi belajar Bahasa Inggris siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi dengan siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional rendah?
3. Apakah terdapat perbedaan interaksi pengaruh penerapan pendekatan pembelajaran konsep dan kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar bahasa Inggris?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Perbedaan prestasi belajar Bahasa Inggris yang dicapai siswa yang menerima pengajaran dengan pendekatan pembelajaran konsep dan pendekatan pembelajaran konvensional.
2. Perbedaan prestasi belajar Bahasa Inggris siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi dengan siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional rendah.
3. Perbedaan interaksi pengaruh penerapan pendekatan pembelajaran konsep dan kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar bahasa Inggris.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi guru untuk :
a. Memperbaiki kinerja guru.
b. Melaksanakan struktur pengajaran bahasa Inggris yang lengkap.
c. Meningkatkan komunikasi dengan siswa
2. Bagi kepala sekolah untuk mengambil kebijaksanaan yang dimiliki untuk mendukung setiap upaya kondusif dalam menumbuhkan sikap percaya diri dalam pembelajaran bahasa Inggris.
3. Bahan pertimbangan pengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran konsep.
TESIS PENGARUH PEMANFAATAN MEDIA LINGKUNGAN DAN MEDIA GAMBAR TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI KREATIVITAS SISWA
(KODE : PASCSARJ-0036) : TESIS PENGARUH PEMANFAATAN MEDIA LINGKUNGAN DAN MEDIA GAMBAR TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI KREATIVITAS SISWA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi dalam dunia ini menuntut sistem pendidikan di sekolah untuk menerapkan pembelajaran yang inovatif dan lebih bermakna, agar mutu pendidikan yang dihasilkan selaras dengan kemajuan jaman dan tuntutan teknologi dunia yang makin berkembang dan maju, untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkwalitas. Peran pendidikan sangat dibutuhkan dalam rangka mempersiapkannya, di antaranya menyelenggarakan sistem pembelajaran yang mengacu pada mutu hasil pendidikan yang tepat guna, oleh karenanya perlu pembuatan kurikulum yang tepat, pelaksana pendidikan yang berkompeten, meyediakan fasilitas pendidikan yang bermutu, dan aturan yang mendukung untuk menyukseskan sistem pendidikan yang ada. Salah satu tolok ukur dari berhasilnya pendidikan terlihat dari lulusan siswanya yang mampu berkompetisi dengan para ahli di luar negeri, mampu menciptakan produktifitas kerja dan menciptakan hasil produksi secara mandiri, memiliki wawasan yang luas dan mampu menguasai teknologi. Kemampuan dari ilmuwan tersebut diperoleh dari hasil pendidikan yang berkwalitas, yang diperoleh dari sistem kurikulum yang tepat, pelaksanaan pendidikan yang berkompeten dan guru yang memiliki semangat untuk maju dengan menggunakan media, metode, pendekatan mengajar, sarana pembelajaran yang sesuaai dengan tujuan dan materi yang diajarkan, sehingga siswa lebih memahami dan mengerti apa yang dimaksudkan, untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Sistem pendidikan di Indonesia ini dijelaskan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun XXXX tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1: yang dimaksud pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, aklak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Lebih lanjut dalam pasal 3 diamanatkan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi waga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Tim Citra Umbara, XXXX: 3-7).
Salah satu tolok ukur dari keberhasilan pendidikan di sekolah dapat dilihat dari hasil UN (Ujian Akhir Nasional) yang dilaksanakan tiap-tiap tahun di sekolah, baik tingkat dasar, menengah dan tingkat atas. Pelajaran matematika adalah salah satu dari mata pelajaran yang diujikan. Sebagaimana diketahui matematika diajarkan di Sekolah sebagai mata pelajaran yang dipilih dan berguna untuk menumbuh kembangkan kemampuan dan pribadi siswa sesuai kepribadian dan karakteristiknya, serta salah satu mata pelajaran yang dijadikan tolok ukur keberhasilan siswa pada Ujian Nasional tersebut.Untuk meningkatkan mutu pembelajaran matematika dan mencapai tujuan, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dan pendidik untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika. Di antaranya pemilihan metode, media, pendekatan dan model pembelajaran yang tepat. Pendapat Soedjadi (XXXX: 35) mengatakan bahwa: "Kegiatan belajar mengajar matematika jenjang pendidikan di sekolah adalah kegiatan yang harus terus dikaji dan bila perlu diperbaharui sehingga dapat sesuai dengan kondisi peserta didik serta tuntutan lingkungan". Upaya di atas pada dasarnya untuk meningkatkan hasil belajar dalam proses belajar mengajar, khususnya pelajaran matematika yang efektif dan efisien.
Peningkatan proses pembelajaran matematika selain untuk memahami konsep matematika juga berfungsi sebagai alat bantu untuk memahami konsep mata pelajaran lain, seperti fisika, ekonomi dan kimia. Secara konstruknya pada penalaran mata pelajaran matematika, dapat dijadikan dasar pada proses pemahaman pelajaran yang lain. Secara umum sudah diketahui bahwa siswa yang mempunyai prestasi tinggi dalam pelajaran matematika, sudah pasti prestasi pelajaran yang lain tidak akan jauh berbeda dari prestasi pelajaran tersebut.
Hasil dari survai di lapangan menunjukkan, bahwa matematika adalah mata pelajaran yang dirasakan sulit dipahami siswa, dan sebagian siswa merasa takut dan tidak menyukainya, hal ini dapat dilihat dari setiap jenjang pendidikan. Itu adalah salah satu penyebab rendahnya prestasi belajar yang dicapai sebagian besar siswa. Ini bisa diketahui dari hasil nilai murni ulangan umum semester mata pelajaran tersebut. Adapun hasil nilai murni dari nilai ulangan semester pada tahun pelajaran XXXX/XXXX sampai tahun XXXX/XXXX yang penulis ketahui sebagai berikut:
** TABEL SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **
Tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai rata-rata masih di bawah standar daya serap yang dipersyaratkan yaitu: 6,50. Salah satu faktor penyebab rendahnya prestasi belajar matematika adalah pemahaman tentang konsep matematika yang kurang tepat, sehingga siswa sulit untuk mempelajari materi tersebut.
Agar tercapai sistem pembelajaran yang efektif, efisien dan pemahaman tentang konsep terpenuhi maka guru harus memanfaatkan media pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan, kondisi siswa atau karakterisrik siswa agar lebih mudah diterima, di antaranya adalah pemanfaatan media yang berada di sekitar siswa. Karena media pembelajaran adalah salah satu sarana bagi guru untuk memperjelas materi yang disampaikan pada siswanya. Agar siswa lebih termotivasi dan membangkitkan kreativitasnya dalam proses pembelajaran, seperti ungkapan dari Michael J. Rockler (XXXX: 2) berikut ini:
The solutions to the major difficulties facing this planet will require cooperation, foresight, and creativity. Today's students' must become effective problem-solvers, and education must facilitate this aspect of their growth. The strategies in this book include the facilitation of creative behavior, simultation / gaming, and future studies.
(Solusi berbagai kesulitan yang utama bagi dunia ini membutuhkan kerjasama dan pemikiran yang berorientasi ke depan dan kreatif. Siswa sekarang harus lebih efektif dalam menanggapi dan memecahkan masalah, dan pendidikan harus memberikan kemudahan dalam mengarahkan pertumbuhan mereka). Oleh karena itu sebagai pendidik, harus mampu memberikan kemudahan dalam memberikan pelajaran di sekolah, yang dapat menimbulkan kreativitasnya, dengan menggunakan media yang sesuai misalnya, atau metode, pendekatan dan siasat tertentu yang menimbulkan gairah belajar bagi siswanya.
Selain dengan cara di atas untuk mengatasi permasalahan siswanya di dalam proses pembelajaran, guru perlu memanfaatkan media yang tepat dalam proses pembelajaran. Agar siswa dapat memahami sesuai dengan tujuan dari rencana pembelajaran yang diprogramkan. Proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien apabila seluruh komponen yang berpengaruh saling mendukung untuk mencapai tujuan. Kompenen-komponen yang dimaksud meliputi: kurikulum, siswa, guru, pendekatan, sarana prasarana dan lingkungan (Depdikbud, XXXX: 3). Komponen yang sangat berpengaruh dalam pembelajaran adalah guru, kwalitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh cara guru memberikan informasi agar siswanya tertarik dan terlibat dalam proses pembelajaran. Terkait dengan permasalahan tersebut, peranan guru dalam proses pembelajaran dinyatakan oleh E. Mulyasa ( XXXX: 161 ) sebagai berikut:
"Guru dalam proses untuk mendongkrak kualitas pembelajaran dan memotivasi siswa harus memiliki jurus jitu antara lain : mengembangkan kecerdasan (emotional quotient), mengembangkan kreativitas (creativity quotient) dalam pembelajaran, mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, membangkitkan nafsu belajar, memecahkan masalah, mendayakan sumber belajar dan melibatkan masyarakat dalam pembelajaran ".
Mengingat media pembelajaran matematika pada setiap sekolah, tidak selalu dimiliki dan tersedia. Penulis mencoba untuk menguji pemanfaatan media lingkungan, karena mudah diperoleh dan hampir tidak memerlukan biaya untuk mendapatkanya, yang ditunjang oleh kreatifitas siswa. Alasanya karena belajar adalah proses pencarian makna, dan belajar harus dimulai dari hal-hal yang berada di sekitar siswa, sehingga siswa berniat untuk mencoba memberi makna pada hal-hal atau kejadian di lingkungan sekitarnya. Sebuah proses pembelajaran akan mudah diserap jika ada media yang menyertainya.
Komponen yang sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran di sekolah dan saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan, antara lain seperti: Komponen siswa, kurikulum, guru, pendekatan mengajar, sarana, prasarana dan lingkungan. (Depdikbud, XXXX: 3). Dari keseluruhan komponen pembelajaran tersebut, guru sebagai pengelola kelas merupakan komponen yang sangat berpengaruh dalam mengelola komponen-komponen pembelajaran lainya untuk tujuan meningkatkan proses dan hasil belajar. Artinya kualitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh cara guru memberikan informasi agar siswa benar-benar terlibat dalam proses pembelajaran.
Gagne, Robert M. and Lesli J. Briggs (XXXX: 22) juga menyatakan: "Kondisi pembelajaran yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar secara maksimal secara garis besar dikelompokkan menjadi kondisi internal dan eksternal". Kondisi internal berkaitan dengan peran guru di dalam proses pembelajaran ini, Roestiyah, NK (XXXX: 130), menyatakan bahwa: "Di dalam proses belajar mengajar guru harus mempunyai strategi agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan". Salah satu cara untuk untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi pembelajaran ialah memberdayakan komponen pembelajaran dalam mendukung pencapaian tujuan pembelajaran dengan memanfaatkan media pembelajaran, yang mampu memperjelas penyampaian materi pelajaran. Dengan pemanfaatan media siswa diharapkan lebih kreatif dalam menyikapi soal-soal matematika yang memerlukan pemecahan dengan proses dan prosedur yang terperinci dan penalaran yang kreatif.
Media pembelajaran adalah salah satu sarana bagi guru untuk memperjelas materi yang di sampaikan pada siswanya. Alat pembelajaran yang berperan penting untuk memotivasi siswa dan membangkitkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran di sekolah, yang dapat mengubah shot memory menjadi long memory. Seharusnya guru menyadari dan berusaha untuk memanfaatkan media dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas karena: " media adalah salah satu sumber belajar yang dapat menyalurkan pesan, sehingga bisa mengatasi perbedaan gaya belajar, minat, intelegensi, keterbatasan daya indra, letak geografis dan lain-lain." (Arief S. Sadiman, XXXX: 14).
Proses pembelajaran matematika, guru perlu untuk memberikan perhatian khusus dan berusaha untuk mengemas dan menyampaikan secara menarik dengan memanfaatkan media pembelajaran, kususnya media lingkungan. Karena media ini sudah tersedia di lingkungan belajar siswa, sehingga mudah digunakan guru pada proses pembelajaran, dengan mudah dan biaya yang murah.
Guru dapat memilih apa yang bisa dimanfaatkan pada proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Misalnya untuk pembelajaran Matematika klas VII pada bab IV Aritmatika sosial tentang harga beli, harga jual untung dan rugi, bruto, tara, neto, diskon, guru dapat memanfaatkan koperasi sekolah, warung sekolah, toko, bahkan pasar yang berada di lingkungan sekolah. Hanya saja seorang guru harus pandai dalam memilih dan menyesuaikan antara materi dengan media lingkungan yang akan dimanfaatkan. Materi pelajaran selain matematika juga dapat memanfaatkan media ini, misalnya pelajaran Biologi, Fisika, Kimia, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sejarah, Geografi dan sebagainya.
Pemanfaatan media lingkungan dapat ditinjau dari pentingnya siswa untuk mengkaitkan antara materi pembelajaran dan lingkungan yang berada di sekitar siswa. Biasanya belajar efektif dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada interaksi siswa dengan lingkungan, sebab lingkungan dapat menumbuhkan pembelajaran yang lebih bermakna, interaksi siswa dengan media lingkungan menumbuhkan pengalaman yang unik dan baru, dan ini tidak dapat diperoleh siswa dari penggunaan media yang lain. Interaksi yang khusus ini dapat menimbulkan kreatifitas siswa dalam memecahkan soal-soal pelajaran matematika, sehingga diharapkan prestasi mereka lebih meningkat.
Kreativitas siswa dalam melakukan interaksi pembelajaran sangat diperlukan. Apalagi media yang dipergunakan dalam pembelajaran adalah media lingkungan yang menuntut siswa untuk aktif berbuat dan kreatif dalam menanggapi semua proses pembelajaran yang berlangsung, seperti pendapat Yudhi Munadi (XXXX: 157) berikut: "Saat ini kreativitas dan kemandirian sangat diperlukan karena, kreativitas memberikan peluang bagi individu untuk mengaktuallisasikan diri. memungkinkan orang dapat menemukan berbagai alternatif dalam pemecahan masalah, memberikan kepuasan hidup, meningkatkan kualitas hidupnya".
Hal-hal tersebut di atas yang menyebabkan perlunya dilakukan penelitian pada SMP Negeri di wilayah X barat, khususnya di SMP Negeri 3 X sebagai uji eksperimen sampel penelitian dan SMP Negeri 1 Y sebagai kelompok kontrol dan SMP Negeri 1 Z sebagai uji coba tes, tentang "Pengaruh pemanfaatan media Lingkungan dan media Gambar terhadap prestasi belajar siswa ditinjau dari kreatifitas siswa ".
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat didentifikasikan permasalahan yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, sebagai berikut:
1. Belum semua guru menyadari pentingnya memanfaatkan media dalam proses pembelajaran terutama mata pelajaran matematika.
2. Rendahnya prestasi belajar matematika ditandai dengan rendahnya nilai ulangan umun Semester dan Nilai Ujian Akhir Nasional (UAN).
3. Guru kurang dapat menumbuhkan kreatifitas siswa dengan media dan pendekatan dalam proses pembelajaran.
4. Kurangnya minat siswa terhadap mata pelajaran matematika.
5. Masih banyak siswa yang merasa tidak senang dengan mata pelajaran matematika.
6. Adanya proses pembelajara yang monoton dan kurangnya inovasi dari guru, untuk mengadakan pembelajaran yang menarik dan aktif.
7. Guru belum tergerak untuk memanfaatan media terutama media lingkungan dalam proses pembelajaran di sekolah, untuk meningkatkan proses pembelajarannya.
8. Proses pembelajaran yang berlangsung selama ini belum membuat siswa untuk lebih kreatif dalam belajar.
9. Masih banyak Guru matematika yang belum mamanfaatkan media dan mengembangkan kreativitas siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya.
C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang diteliti tidak terlalu luas karena kompleksnya permasalahan, maka perlu adanya pembatasan masalah sebagai berikut :
1. Masalah pemanfaatan media pembelajaran khususnya media lingkungan dan media gambar terhadap prestasi belajar matematika siswa.
2. Masalah kreativitas siswa dalam proses pembelajaran terhadap prestasi belajar siswa.
3. Mengenai prestasi belajar matematika berupa data, skor atau angka yang diperoleh siswa kelas VII melalui pengukuran setelah mengikuti pembelajaran Matematika.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara pemanfaatan media lingkungan dan media gambar terhadap prestasi belajar Matematika?
2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara siswa yang memiliki kreatifitas tinggi dan siswa yang memiliki kreatifitas rendah terhadap prestasi belajar matematika?
3. Apakah terdapat interaksi pengaruh antara pemanfaatan media dan kreativitas terhadap prestasi belajar matematika siswa.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan judul penelitian dan latar belakang masalah di atas, penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain untuk mengetahui:
1. Perbedaan pengaruh pemanfaatan media lingkungan dan media gambar terhadap prestasi belajar matematika.
2. Perbedaan pengaruh antara siswa yang memiliki kreatifitas tinggi dengan siswa yang memiliki kreatifitas rendah terhadap prestasi belajar matematika.
3. Interaksi pengaruh antara pemanfaatan media dan kreatifitas siswa terhadap prestasi belajar matematika.
F. Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat teoritis maupun praktis yang dapat diambil dari hasil penelitian yang dijadikan karya tulis ini yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiyah, menambah dan memperluas cakrawala pengetahuan khususnya di bidang pembelajaran.
b. Mendukung teori yang telah ada dan sebagai salah satu sumber acuan bagi peneliti lain yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis.
a. Sebagai bahan kajian dan acuan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
b. Mengembangkan pemanfaatan media pembelajaran sesuai dengan kondisi lingkungan belajar siswa dan karakteristik siswa.
c. Sebagai masukan bagi guru, untuk memanfaatkan media pembelajaran khususnya media lingkungan sebagai penunjang proses pembelajaran, khususnya pelajaran matematika dan mata pelajaran yang lain pada umumnya.
d. Bagi Kepala sekolah, untuk mengambil kebij akan tentang pemanfaatan lingkungan sekolah sebagai media pembelajaran. Sangat mendukung guru untuk memanfaatkanya sebagai sarana pembelajaran.
e. Bagi siswa agar lebih mudah mempelajari materi pelajaran khususnya matematika, dan menumbuhkan kreativitasnya sehingga prestasinya meningkat.
TESIS PENGARUH KOMUNIKASI MATEMATIKA DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA SMAN X
(KODE : PASCSARJ-0035) : TESIS PENGARUH KOMUNIKASI MATEMATIKA DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA SMAN X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang harus terpenuhi, sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan yang sekaligus merupakan tuntutan kemajuan peradaban dan teknologi suatu bangsa. Peradaban suatu bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikan warga negaranya, sehingga pendidikan sebagai tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusia berkualitas. Adapun fungsi dan tujuan pendidikan nasional disebutkan:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI No 20 Tahun XXXX).
Pendidikan adalah upaya sadar yang dilakukan agar peserta didik atau siswa dapat mencapai tujuan tertentu. Agar siswa dapat mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan, maka diperlukan wahana yang dapat digambarkan sebagai kendaraan. Dengan demikian pembelajaran matematika adalah kegiatan pendidikan yang menggunakan matematika sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. ( Soedjadi, XXXX: 6).
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan matematika dapat diklasifikasikan menjadi (1) Tujuan yang bersifat formal dan, (2) Tujuan yang bersifat material. Tujuan yang bersifat formal lebih menekankan kepada menata penalaran dan membentuk kepribadian, sedang tujuan yang bersifat material lebih menekankan kepada kemampuan menerapkan matematika dan keterampilan matematika. ( Soedjadi, XXXX: 45).
Dalam peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun XXXX tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) bahwa: "Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Di dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun XXXX tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan (SKL-SP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan. Untuk Pendidikan Menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Selanjutnya dalam Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran (SKL-MP) Matematika bertujuan untuk:
Program IPA :
1. Memahami pernyataan dalam matematika dan ingkarannya, menentukan nilai kebenaran pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor, serta menggunakan prinsip logika matematika dalam pemecahan masalah
2. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan aturan pangkat, akar dan logaritma, fungsi aljabar sederhana, fungsi kuadrat, fungsi eksponen dan grafiknya, fungsi komposisi dan fungsi invers, persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, persamaan lingkaran dan persamaan garis singgungnya, suku banyak, algoritma pembagian dan teorema sisa, program linear, matriks dan determinan, vektor, transformasi geometri dan komposisinya, barisan dan deret, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah
3. Menentukan kedudukan, jarak dan besar sudut yang melibatkan titik, garis dan bidang di ruang dimensi tiga serta menggunakannya dalam pemecahan masalah
4. Memahami konsep perbandingan, fungsi, persamaan dan identitas trigonometri, rumus sinus dan kosinus jumlah dan selisih dua sudut, rumus jumlah dan selisih sinus dan kosinus, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah
5. Memahami limit fungsi aljabar dan fungsi trigonometri di suatu titik dan sifat-sifatnya, turunan fungsi, nilai ekstrem, integral tak tentu dan integral tentu fungsi aljabar dan trigonometri, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah
6. Memahami dan mengaplikasikan penyajian data dalam bentuk tabel, diagram, gambar, grafik, dan ogive, ukuran pemusatan, letak dan ukuran penyebaran, permutasi dan kombinasi, ruang sampel dan peluang kejadian dan menerapkannya dalam pemecahan masalah
7. Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan
8. Memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerjasama
Program IPS :
1. Memahami pernyataan dalam matematika dan ingkarannya, menentukan nilai kebenaran pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor, serta menggunakan prinsip logika matematika dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor
2. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan aturan pangkat, akar dan logaritma, fungsi aljabar sederhana, fungsi kuadrat dan grafiknya, persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, komposisi dan invers fungsi, program linear, matriks dan determinan, vektor, transformasi geometri dan komposisinya, barisan dan deret, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah
3. Menentukan kedudukan, jarak dan besar sudut yang melibatkan titik, garis dan bidang di ruang dimensi tiga serta menggunakannya dalam pemecahan masalah
4. Memahami konsep perbandingan, fungsi, persamaan dan identitas trigonometri serta menggunakannya dalam pemecahan masalah
5. Memahami limit fungsi aljabar dan fungsi trigonometri di suatu titik dan sifat-sifatnya, turunan fungsi, nilai ekstrem, integral tak tentu dan integral tentu fungsi aljabar dan trigonometri, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah
6. Mengaplikasikan penyajian data dalam bentuk tabel, diagram, gambar, grafik, dan ogive, ukuran pemusatan, letak dan ukuran penyebaran, permutasi dan kombinasi, ruang sampel dan peluang kejadian, dalam pemecahan masalah
7. Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan
8. Memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerjasama.
Program Bahasa :
1. Memahami pernyataan dalam matematika dan ingkarannya, menentukan nilai kebenaran pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor, serta menggunakan prinsip logika matematika dalam pemecahan masalah
2. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan aturan pangkat, akar dan logaritma, fungsi aljabar sederhana dan fungsi kuadrat, persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, program linear, matriks dan determinan, vektor, transformasi geometri dan komposisinya, barisan dan deret, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah
3. Menentukan kedudukan, jarak dan besar sudut yang melibatkan titik, garis dan bidang di ruang dimensi tiga serta menggunakannya dalam pemecahan masalah
4. Memahami konsep perbandingan, fungsi, persamaan dan identitas trigonometri serta menggunakan dalam pemecahan masalah
5. Memahami dan mengaplikasikan penyajian data dalam bentuk tabel, diagram, gambar, grafik, dan ogive, ukuran pemusatan, letak dan ukuran penyebaran, permutasi dan kombinasi, ruang sampel dan peluang kejadian dan menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari dan ilmu pengetahuan dan teknologi
6. Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan
7. Memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerjasama
Dari butur-butir di atas, terlihat bahwa kemampuan komunikasi matematika diperlukan dalam pembelajaran matematika. Demikian pula motivasi berprestasi memegang peran penting dalam pencapaian hasil belajar matematika.
Namun banyak penelitian yang mengungkapkan tentang masih rendahnya pencapaian hasil belajar matematika. Sebagai contoh adalah hasil analisis terhadap pembelajaran, termasuk matematika, yang disampaikan oleh Ibrahim Bafadal dalam Sri Wardhani (XXXX: 1) makalah dalam forum Pendidikan dan Pelatihan Instruktur/ Pengembang matematika SMP jenjang dasar tingkat nasional mengungkapkan beberapa permasalahan dalam pendidikan matematika di Indonesia secara umum, beberapa di antarannya adalah siswa terjebak dalam rutinitas, media pembelajaran yang kurang, motivasi belajar rendah, siswa banyak menghafal, tingkat pemahaman dalam pembelajaran rendah (mengingat, menyebutkan), dan umumnya siswa tidak tahu makna atau fungsi dari hal yang dipelajari dalam kehidupannya. Kenyataan ini dibuktikan dengan prestasi belajar siswa masih cukup rendah. Perolehan rerata UN (Ujian Nasional) menunjukan pergerakan angka pada rentang yang rendah (3,00-6,00). Selain itu, keikutsertaan Indonesia di IMO (International Mathematical Olympiade) masih memberi hasil belum memuaskan. Hal ini menguatkan kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia kurang memberi perhatian kepada peningkatan kemampuan komunikasi matematika.
Untuk memecahkan masalah matematika dengan menggunakan bahasa sehari-hari sebagai bentuk komunikasi dengan orang lain (teman sekelas), terlebih lagi dengan menggunakan simbol dan kosakata matematika secara benar dan lancar merupakan bagian penting dalam pembelajaran matematika. Namun sebagian besar siswa pada umumnya enggan untuk mengadakan pembicaraan mengenai matematika kecuali untuk tujuan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan gurunya. Dalam perspektif ini pun, banyak siswa yang hanya mengikuti jalan pikiran atau bahkan meniru penyelesaian soal dari teman sekelas yang dianggap mampu atau pintar.
Selain itu, kecenderungan siswa untuk menghargai atau menyukai matematika (pelajaran matematika) mungkin tergantung kepada sikap siswa terhadap matematika atau pembelajaran matematika. Bagi siswa yang tidak menyenangi pelajaran matematika cenderung untuk "menghindari" pembicaraan mengenai pelajaran matematika dan memilih berbicara lain yang tidak bermanfaat dalam pembelajaran matematika. Ketidaksenangan siswa terhadap pelajaran matematika bisa jadi dipengaruhi oleh motivasi berprestasi yang rendah terhadap matematika. Seperti yang kita ketahui, motivasi berprestasi terhadap matematika bisa berbeda-beda, ada yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah atau tinggi, dan ada pula yang tidak memiliki motivasi berprestasi sama sekali.
Dari pengalaman penulis sendiri selama bertugas menjadi guru matematika Madrasah Aliyah Negeri (MAN) X kabupaten X, menjumpai kebanyakan siswa masih memiliki komunikasi matematika dan motivasi berprestasi yang rendah terhadap pelajaran matematika. Dan ini terbukti ketika diadakan penjurusan program banyak siswa yang menghindari memilih jurusan IP A dengan alasan sederhana enggan ketemu pelajaran matematika.
Berangkat dari hal-hal yang dikemukakan di atas, peneliti tertarik dan memutuskan untuk mengadakan penelitian mengenai Pengaruh Komunikasi Matematika dan Motivasi Berprestasi terhadap Hasi Belajar Matematika.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi permasalahan yang menyangkut keberhasilan belajar siswa sebagai berikut:
1. Masih rendahnya prestasi belajar matematika siswa pada umumnya. Hal ini ditandainya dengan masih rendahnya perolehan nilai pelajaran matematika dibanding mata pelajaran lainnya.
2. Masih rendahnya kesadaran siswa untuk mempelajari matematika. Hal ini ditandainya dengan banyaknya siswa ketika diadakan penjurusan program cenderung menghindari untuk memilih program IPA.
3. Masih rendahnya pengertian siswa terhadap matematika. Hal ini ditandainya dengan banyaknya siswa yang masih banyak menghafal, lebih mengandalkan pada aspek kognitif yang rendah (mengingat, menyebutkan), dan umumnya siswa tidak tahu makna atau fungsi dari hal yang dipelajari.
4. Masih kurangnya perhatian siswa untuk berkomunikasi dengan teman sejawat mengenai matematika (pelajaran matematika), bahkan kemampuan siswa untuk mengadakan komunikasi matematika yang efektif tergolong masih rendah.
5. Masih rendahnya motivasi berprestasi siswa sehingga dapat menghambat pembelajaran matematika termasuk dalam hasil belajar matematika.
6. Belum optimalnya perhatian untuk meningkatkan komunikasi matematika siswa, motivasi berprestasi siswa dan hasil belajar matematika siswa.
C. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini tidak meneliti semua masalah yang telah teridentifikasi di atas. Namun penelitian ini dibatasi pada beberapa aspek saja yaitu komunikasi matematika, motivasi berprestasi dan hasil belajar matematika siswa kelas XI IPA Sekolah Menengah Atas di kabupaten X.
Aspek-aspek yang menjadi variabel dalam penelitian ini ruang lingkup pembatasan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Komunikasi matematika dalam penelitian ini dibatasi pada aspek ide atau masalah matematika antar siswa dan guru-siswa, terutama komunikasi verbal: berbicara dan mendengar. Sedangkan tingkat kemampuan komunikasi matematika dalam penelitian ini dibatasi pada kemampuan komunikasi rendah dan kemampuan komunikasi tinggi.
2. Motivasi berprestasi terhadap matematika dalam penelitian ini dibatasi pada aspek motivasi berprestasi rendah, dan motivasi berprestasi tinggi.
3. Hasil belajar matematika dalam penelitian ini dibatasi pada hasil penilaian dari tes Pokok Bahasan Statistika dengan soal pilihan ganda.
D. Perumusan Masalah
Dengan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis merumuskan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh komunikasi matematika dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar matematika siswa.
Perumusan masalah tersebut, secara terperinci akan dijawab melalui rumusan masalah penelitian yang akan dijadikan kajian utama dalam penelitian seperti di bawah ini.
1. Adakah pengaruh komunikasi matematika terhadap hasil belajar matematika pada siswa SMA Negeri X Kabupaten X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX?
2. Adakah pengaruh motivasi berprestasi terhadap hasil belajar matematika pada siswa SMA Negeri X Kabupaten X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX?
3. Adakah interaksi pengaruh komunikasi matematika dan motivasi berprestasi dalam pembelajaran matematika terhadap hasil belajar matematika pada siswa SMA Negeri X Kabupaten X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Apakah terdapat pengaruh komunikasi matematika terhadap hasil belajar matematika pada siswa SMA Negeri X Kabupaten X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX.
2. Apakah terdapat pengaruh motivasi berprestasi terhadap hasil belajar matematika pada SMA Negeri wilayah Kabupaten X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX.
3. Apakah ada interaksi pengaruh komunikasi matematika dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar matematika pada siswa SMA Negeri X Kabupaten X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritik yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan matematika di Indonesia terutama dalam pembelajaran matematika yang menekankan pada aspek komunikasi matematika dan motivasi berprestasi sehingga dapat memberikan dampak positif baik bagi siswa, guru/pendidik, maupun pengambil kebijakan pendidikan agar tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai.
2. Hasil penelitian ini diharapkan memberi wawasan yang lebih komprehensif mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar matematika siswa yaitu komunikasi matematika dan motivasi berprestasi.
Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi para guru untuk dapat meningkatkan kualitas hasil belajar matematika dengan meningkatkan kemampuan siswanya dalam pembelajaran matematika melalui penciptaan komunikasi matematika, meningkatkan motivasi melalui belajar dalam pembelajaran matematika 2. Bagi para pengembang dan penelaah kurikulum untuk mempertimbangkan aspek motivasi berprestasi dalam pembelajaran matematika dan mempertajam peran komunikasi matematika dalam penekanan pembelajaran matematika.
3. Bagi para peneliti untuk menjadi suatu bahan pembanding mengenai topik peranan komunikasi matematika, motivasi berprestasi, terhadap perolehan hasil belajar dalam pembelajaran matematika.
HUBUNGAN KESEPIAN DAN AGRESI PADA REMAJA YANG SEDANG BERPACARAN
(Kode PSIKOLOG-0006) : SKRIPSI HUBUNGAN KESEPIAN DAN AGRESI PADA REMAJA YANG SEDANG BERPACARAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fenomena kekerasan sangat dekat dengan manusia. Keadaan tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti banyaknya kasus penculikan, pemukulan, pembunuhan, perampokan, dan lain sebagainya. FBI's Crime Clock (Karmen, 2001) menyatakan bahwa kasus kekerasan (violent crime) terjadi di Dunia hampir 21 detik sekali. Bentuk kekerasan yang paling sering dilakukan adalah dengan penyerangan tanpa senjata, namun ada pula beberapa kasus yang menggunakan alat seperti pistol ataupun pisau (Miller, Perlman, dan Brehm, 2007).
Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia. Data menunjukkan bahwa pada umumnya korban kekerasan adalah perempuan dan anak-anak (http://kajianmuslimah.wordpress.com/), dan kekerasan tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Dua tahun terakhir ini, terdapat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 100 persen (Kompas, 28 Maret 2009). Tahun 2007, Komnas Perempuan menerima sekitar 26.000 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu naik lebih dari 100 persen pada tahun 2008 menjadi sekitar 56.000 kasus. Namun menurut berbagai pihak, angka tersebut hanyalah peristiwa kekerasan yang berhasil dilaporkan oleh korban.
Salah satu kasus adalah mengenai kekerasan dalam berpacaran. Menurut http://keluarga.infogue.com/, segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik atau psikologis dalam hubungan pacaran adalah kekerasan dalam berpacaran. Menurut The National Clearinghouse on Family Violence, kekerasan dalam berpacaran (dating violence) adalah:
"..any intentional sexual, physical, or psychological attack on one partner by the other in a dating relationship "
(The National Clearinghouse on Family Violence, 2005:1)
Penelitian dari LKTS dan KP2K mengenai kekerasan dalam pacaran di lima kota besar yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan Jogja menghasilkan angka lebih dari 957 kasus kekerasan dalam berpacaran di tahun 2007. Di Jakarta sendiri pada bulan Januari sampai Maret 2008, ada lebih dari 200 laporan kasus kekerasan dalam pacaran. Padahal, Dating Violence Resource Center menyatakan bahwa hanya 10% dari korban melaporkan kasusnya ke pihak otoritas. Dari angka tersebut, 57% telah mengalami kekerasan fisik, 38% kekerasan psikologis, dan 5% kekerasan seksual. Bentuk kekerasan fisik seperti pemukulan sampai penyanderaan, kekerasan psikologis seperti bentakan sampai ancaman, dan kekerasan seksual berbentuk pelecehan seksual sampai perkosaan.
Meningkatnya kasus tersebut diperburuk dengan hukum di Indonesia yang sama sekali belum menyentuh aspek hubungan antar remaja. Perempuan yang sudah menikah lebih aman secara hukum karena dilindungi oleh UU KDRT, berbeda dengan pasangan yang masih berpacaran atau belum menikah yang tidak memiliki dasar hukum. Korban dari kekerasan tersebut mungkin masih mempertahankan hubungannya karena beberapa hal, seperti rasa takut pada sang pelaku, loyalitas terhadap cinta, dan lain sebagainya. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah psikologi seperti kecemasan berlebihan, depresi, dan rasa bersalah. Hal ini merupakan salah satu masalah yang harus diperhatikan oleh berbagai pihak.
Fenomena kekerasan ini terkait dengan adanya Aggression atau agresi. Baron dan Byrne (2004) menyatakan bahwa agresi merupakan akar dari kekerasan, dan kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi (Krahe, 2005). Bandura (1976) mendefinisikan agresi sebagai berikut:
"..behaviour that result in personal injury and in destruction of property. The injury may be psychological (in the form of devaluation or degradation) as well as physical"
(Bandura, 1976:5)
Dapat disimpulkan bahwa agresi merupakan sebuah tindakan pelaku yang dapat melukai atau menyakiti korban baik secara fisik maupun secara psikologis.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi agresi adalah faktor sosial seperti adanya provokasi dari orang lain, rangsangan dalam berbagai permainan kompetitif, frustasi, kekerasan dalam media seperti dalam video game, dan kekerasan dalam pornografi; faktor kultural; faktor personal seperti tipe kepribadian, narsisme, dan gender; dan faktor situasional seperti temperatur dan alkohol. Semua faktor ini dianggap memiliki pengaruh terhadap tingkat agresi seseorang.
Hasil penelitian dari Zilboorg (1938) menyatakan bahwa individu yang kesepian biasanya berperilaku agresif dan memiliki sikap hostility. Hal tersebut disebabkan karena individu yang kesepian jarang sekali dapat mengontrol kekesalannya sehingga ia akan mengeluarkan rasa bencinya. Pernyataan tersebut didukung oleh adanya penelitian yang dilakukan oleh Diamanat dan Windholz (1981) yang menemukan bahwa skor UCLA Loneliness Scale (Russel et all, 1978) berkorelasi dengan Hostility Guilt Inventory (Buss-Durke, 1957). Loucks (1980) juga menyatakan bahwa individu yang kesepian memiliki skor yang tinggi pada pengukuran anger-hostility, yang merupakan el em en dari agresi.
Penelitian lain menyatakan bahwa pria yang kesepian cenderung akan menunjukkan hostility atau kebencian. Hal ini disebabkan karena individu yang kesepian memiliki kemampuan sosial yang rendah (Jones et al, 1981) dan juga memiliki rasa ketidakpuasan dengan kehidupan pertemanan dan percintaannya (Cutrone, 1982). Oleh karena itu pria yang kesepian akan merasakan kebencian terhadap salah satu sumber frustasi mereka yaitu wanita (Check, Perlman, dan Malamuth, 1985). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang berjalan searah antara kesepian dengan agresi. Semakin individu merasa kesepian, semakin tinggi tingkat agresinya.
Selain adanya keterkaitan langsung antara agresi dengan kesepian yang ditemukan oleh Zilboorg tersebut, terdapat pula variabel yang merupakan penghubung antara kedua variabel tersebut, yaitu frustasi. Individu yang memiliki tingkat kesepian yang tinggi cenderung akan menjadi frustasi (Anderson dan Harvey, dalam Miller, Perlman, dan Brehm, 2007), dan frustasi tersebut merupakan salah satu faktor penting penyebab timbulnya agresi (Berkowitz, 1978). Frustasi juga dapat menyebabkan agresi yang cukup tinggi pada situasi tertentu (Folger dan Baron, dalam Baron, 2004).
Menurut Perlman dan Peplau (1982), terdapat tiga pendekatan yang dapat menjelaskan mengenai kesepian, yaitu pendekatan: Need for Intimacy, Cognitive Processes, dan Social Reinforcement. Archibald, Bartholomew, dan Marx (dalam Baron dan Byrne, 2004) mendefinisikan kesepian dengan pendekatan Cognitive Processes, yaitu sebagai berikut:
"..an individual emotional and cognitive reason to having fewer and less satisfying relationships than he or she desires. "
(Archibald, Bartholomew, dan Marx, dalam Baron dan Byrne, 2004: 304)
Pada penelitian ini, peneliti mengambil pendekatan Cognitive Processes dalam mendefinisikan kesepian, yang menyatakan adanya perbedaan atau kesenjangan antara hubungan sosial dan emosional yang individu inginkan dengan dicapai individu. Dapat dikatakan bahwa kesepian adalah suatu perasaan (emosi) atau pikiran (kognitif) dari seseorang bahwa hubungan sosial dan emosionalnya kurang memuaskan.
Matondang (1991) mengatakan bahwa masalah kesepian biasanya banyak dihadapi oleh wanita dan pria yang lajang. Penelitian yang dilakukan oleh Wheeler, Reis, dan Nezlek (1983) menemukan bahwa tingkat kesepian individu yang memiliki romantic partner lebih sedikit daripada individu yang lajang, bahkan perbedaannya mencapai hingga 85%. Miller, Perlman, dan Brehm (2007) pun memiliki pendapat yang sama, yaitu:
"..a person can have an extensive social network and a very active social life but still feel lonely if he or she does not have a romantic partner. "
(Miller, Perlman, dan Brehm, 2007: 433)
Pernyataan tersebut didukung pula oleh Cutrona (1982) yang menyatakan bahwa individu yang kesepian memiliki rasa ketidakpuasan pada kehidupan pertemanan dan juga hubungan romantis.
Hubungan yang berbanding terbalik antara adanya hubungan romantis dengan kesepian ini disebabkan karena tidak adanya orang lain yang dekat untuk membagi suka dan dukanya setiap saat, sehingga menimbulkan rasa kesendirian dalam menanggapi hidup. Cargen dan Melko (1982) menyatakan bahwa individu lajang biasanya merasa tidak memiliki seseorang untuk berbagi dan berdiskusi mengenai berbagai hal, dan menganggap bahwa kebanyakan orang merasa kesepian.
Jika kita melihat keterkaitan antara hubungan lurus antara agresivitas dan kesepian dengan kasus kekerasan dalam berpacaran, hal ini perlu dipertanyakan. Di satu sisi, individu yang memiliki pacar atau sedang mengalami hubungan romantis, dianggap memiliki tingkat kesepian yang lebih rendah jika dibandingkan dengan individu yang lajang. Namun di sisi lain, adanya kekerasan dalam berpacaran menunjukkan bahwa terdapat pula kecenderungan perilaku agresi pada individu yang sedang berpacaran. Padahal dengan adanya hubungan lurus antara antara kesepian dengan agresi menurut temuan Zilboorg, dan frustasi sebagai salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap agresi, seharusnya kekerasan dalam berpacaran tidak terjadi terutama dalam jumlah kasus yang cukup banyak. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menjawab pertanyaan apakah terdapat hubungan kesepian dan agresi terutama pada remaja yang sedang berpacaran? Selanjutnya, peneliti berencana melakukan penelitian terhadap individu yang sedang berada pada tahap perkembangan remaja akhir. Masa remaja yaitu sekitar 11-24 tahun (Sarwono, 1992), merupakan masa dimana individu memiliki banyak masalah sehingga menimbulkan kecenderungan untuk berperilaku agresi (Hurlock, 1980). Di lain pihak, menurut Matondang (1991), usia 18-25 tahun adalah usia puncak dimana individu paling menderita kesepian, karena terjadinya kesenjangan yang besar antara keinginan individu untuk membentuk hubungan akrab (intimacy) dan kegagalan dalam menemukan hubungan. Dalam kaitan hubungan antara agresi dengan kesepian, peneliti mengambil perpotongan usia dari kedua penelitian tersebut, yaitu individu yang sedang berada pada tahap perkembangan remaja akhir yaitu berusia 18-24 tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai hubungan kesepian terhadap kecenderungan agresi pada remaja yang sedang berpacaran. Selain itu, peneliti juga akan mencari perbedaan tingkat kesepian dan agresivitas yang dikaitkan dengan identitas pribadi dari subjek.
1.2 Permasalahan
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yaitu: apakah terdapat hubungan kesepian dan agresi pada remaja yang sedang berpacaran?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kesepian dan agresi pada remaja yang sedang berpacaran. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kesepian dan agresi memiliki hubungan, namun pada penelitian ini subjek akan lebih spesifik yaitu remaja yang sedang berpacaran.
Selain tujuan tersebut, adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu melihat apakah kesepian merupakan faktor yang cukup penting dalam perilaku agresi, dalam kaitannya pada banyaknya kasus kekerasan dalam berpacaran.
1.4 Manfaat penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat untuk memberikan sumbangan pengetahuan dan memperbanyak penelitian mengenai kesepian dan agresi, dengan kaitannya dengan hubungan romantis, sebagai salah satu topik yang dibahas dalam lingkup ruang Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial.
Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk menambah temuan dari penelitian sebelumnya (Zilboorg, 1938) mengenai adanya hubungan langsung antara kesepian dengan agresi. Penelitian ini berfokus pada hubungan kesepian dan agresi, dengan subjek yang lebih spesifik yaitu remaja yang sedang berpacaran. Ditambah, penelitian sebelumnya mengenai kesepian dan agresi diteliti pada tahun 1938, sehingga penelitian ini mencoba mengkonfirmasi apakah hasil penelitian tersebut tetap berlaku sampai tahun ini.
Selain itu, adanya peneilitian ini membantu korban kekerasan untuk mengatahui bahwa apakah kesepian merupakan salah satu faktor penting dalam agresi. Jika ya, maka korban tersebut dapat membantu menghilangkan faktor tersebut pada dirinya atau pasangannya agar tidak terjadi perilaku agresi.
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memancing penelitian lain mengenai kesepian atau agresi di Indonesia yang masih sangat terbatas jumlahnya.
1.5 Sistematika Penulisan
Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan dan masalah penelitian, dan sistematika penulisan laporan ini. Latar belakang penelitian adalah alasan dan dasar mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan. Permasalahan adalah pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Tujuan dan manfaat adalah hal-hal yang akan dicapai peneliti jika penelitian ini berhasil dilakukan. Sedangkan sistematika adalah penjelasan mengenai bagian-bagian atau bab-bab dalam laporan ini.
Bab II merupakan tinjauan pustaka yang berisi penjelasan mengenai variabel yang akan diukur, seperti kesepian, agresi, remaja, dan hubungan romantis. Penjelasan tersebut berisi definisi, faktor-faktor yang mempengaruhi, dimensi, dan lain sebagainya. Selain penjelasan mengenai variabel-variabel tersebut, terdapat pula kaitan antar variabel.
Sedangkan Bab III akan menjelaskan permasalahan, hipotesis, dan metode penelitian, seperti karakteristik subjek yang akan diteliti, populasi penelitian, dan validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan. Peneliti berencana akan menggunakan teknik kuantitatif dengan jumlah subjek lebih dari 30 orang, agar dapat dilakukan penghitungan statistik (Guildford dan Frutcher, 1981). Sampel yang akan diteliti adalah remaja berusia 18-24 tahun yang berdomisili di X.
Bab IV akan menjelaskan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, dari gambaran data kontrol subjek sampai penghitungan hubungan antara kedua variabel, dan pengaruh antara variabel Kesepian terhadap Agresi serta seberapa banyak pengaruhnya. Selain itu, peneliti juga melihat perbedaan data kontrol dengan hubungannya terhadap variabel. Penyusunan Bab IV ini berguna untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini.
Terakhir adalah Bab V yang akan berisi simpulan dimana berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini, diskusi yang berisi kekurangan dan berbagai evaluasi lainnya, dan saran yang berisi bagaimana sebaiknya tindak lanjut yang akan dilakukan mengenai penelitian ini.
HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DENGAN KONFORMITAS TERHADAP TEMAN SEBAYA PADA REMAJA MADYA
(Kode PSIKOLOG-0005) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DENGAN KONFORMITAS TERHADAP TEMAN SEBAYA PADA REMAJA MADYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa dimana individu mulai tertarik dengan masalah-masalah seksualitas. Pada awalnya, ketertarikan remaja terhadap seksualitas bersifat self-centered, yaitu fokus pada perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Kemudian, secara bertahap, remaja mulai tertarik dengan lawan jenis dan mulai melakukan bentuk-bentuk dari perilaku seksual dengan lawan jenisnya tersebut (Rice, 1993). Perilaku seksual merupakan segala bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk dari perilaku seksual ini bermacam-macam, dari berkencan, bercumbu, dan bersenggama (Sarwono, 2007).
Perilaku seksual yang terjadi pada remaja ini merupakan topik yang menarik untuk diteliti karena di Indonesia sendiri telah diketahui bahwa resiko dari perilaku seksual pada remaja telah semakin mengkhawatirkan. Hal ini terbukti dari hasil survei BKKBN (2008) yang menyebutkan bahwa setiap harinya 100 remaja Indonesia telah melakukan aborsi. Ini berarti setiap tahun ada 36 ribu janin dibunuh. Selain itu, sebuah penelitian menyebutkan bahwa lebih dari 80% anak usia 9 -12 tahun telah mengakses pornografi (Ali, 2007). Oleh karena itu, banyak ahli yang telah meneliti mengenai perilaku seksual pada remaja.
Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan perilaku seksual remaja tampak pada penelitian Sarwono (2001) kepada siswa-siswi kelas II SLTA di Jakarta dan Banjarmasin. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa di atas 93% remaja pernah berpegangan tangan dengan pacarnya. Jumlah yang pernah berciuman adalah 61.8% untuk remaja laki-laki dan 39.4% untuk remaja perempuan. Remaja yang pernah meraba payudara pasangannya tercatat 2.32% untuk remaja laki-laki dan 6.7% untuk remaja perempuan. Selain itu, terdapat 7.1% remaja laki-laki dan 1.0% remaja perempuan yang pernah memegang alat kelamin pasangannya. Terakhir, diketahui bahwa 2.0% dari remaja laki-laki tersebut sudah berhubungan seksual.
Hasil penelitian serupa mengenai perilaku seksual remaja, juga dikemukakan oleh Damayanti (2007), dalam disertasinya yang berjudul Peran Biopsikososial Terhadap Perilaku Berisiko Tertular HIV pada Remaja SLTA di Jakarta. Penelitian tersebut memperoleh hasil mengenai sebelas jenis perilaku seksual dalam berpacaran yang dilakukan oleh remaja. Perilaku seksual ini diukur secara bertingkat mulai dari mengobrol atau saling mencurahkan isi hati hingga melakukan hubungan seksual. Tabel di bawah ini menggambarkan macam-macam perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja
* tabel sengaja tidak ditampilkan *
Penelitian Sarwono dan Damayanti menunjukkan bahwa perilaku seksual dilakukan remaja bersama pacarnya. Rice (1993) mendefmisikan pacaran atau dating sebagai hubungan antara dua individu lawan jenis disertai adanya kedekatan, kelanggengan, serta melibatkan cinta dan komitmen. Menurut Santrock (2003), melakukan bentuk-bentuk dari perilaku seksual merupakan salah satu fungsi dari berpacaran, yaitu sebagai sarana eksperimen dan penggalian hal-hal seksual.
Kedua hasil penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa remaja di kota besar, terutama Jakarta, telah melakukan jenis-jenis perilaku seksual yang cukup luas, mencakup dari mengobrol hingga hubungan seksual. Hal ini mereka lakukan karena adanya peningkatan sikap permisif terhadap perilaku seksual pada remaja (Dusek, 1996; Steinberg, 2002). Adapun yang dimaksud dengan sikap permisif adalah sikap positif terhadap perilaku seksual yang ditunjukkan dalam gaya berpacaran yang "serba boleh", mulai dari berciuman hingga akhirnya hubungan seksual, dan sikap tersebut disepakati oleh kedua belah pihak atau "mau sama mau" (Damayanti, 2007). Dalam Baron dan Byrne (2003) sikap terhadap perilaku seksual ini dibedakan mulai dari sikap sangat positif dan permisif (erotophilic) hingga sikap sangat negatif dan membatasi (erotophobic).
Pada tahun 1998, penelitian LDFEUI dan NFPCB (dalam Darwisyah, 2005) mengenai sikap remaja terhadap perilaku seksual, terutama hubungan seksual sebelum menikah, dilakukan di empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung). Penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat sikap yang sedikit berbeda dalam memandang hubungan seksual. Sebanyak 2.2% responden setuju bila laki-laki berhubungan seksual sebelum menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap perempuan yang berhubungan seksual sebelum menikah. Jika hubungan seksual dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8.6%. Kemudian, jika mereka berencana untuk menikah, responden yang setuju kembali bertambah menjadi 12.5%. Angka-angka di atas menunjukkan bahwa terdapat beberapa remaja yang menganggap perilaku seksual sebagai hal yang positif. Menurut Sarwono (2007), semakin tinggi sikap positif (permisif) terhadap perilaku seksual pada remaja mengakibatkan semakin besar kecendemngan remaja untuk melakukan hubungan fisik yang lebih jauh dengan lawan jenis. Penelitian Dariyo dan Setiawati (dalam Amiruddin, 2007) juga memperoleh hasil bahwa memang terdapat hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan intensi untuk melakukan hubungan seksual. Ini berarti semakin positif sikap remaja terhadap perilaku seksual maka semakin besar intensinya untuk melakukan perilaku seksual, sedangkan remaja yang memiliki sikap yang negatif terhadap perilaku seksual akan semakin kecil intensinya untuk melakukan perilaku seksual.
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai sikap terhadap perilaku seksual, terlebih dahulu diperlukan pemahaman mengenai sikap. Sikap merupakan reaksi evaluatif dalam kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap sesuatu atau seseorang, yang ditunjukkan di dalam kepercayaan, perasaan, dan kecendemngan tingkah laku seseorang (Myers, 1999). Individu dikatakan memiliki sikap ketika ia berespon evaluatif dengan melibatkan aspek kognitif, afektif, atau konatif (Myers, 1999). Oleh karena itu, Winkel (dalam Aswati, 1994) mengatakan bahwa sikap memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia karena dalam menghadapi pemilihan, seseorang mengutamakan sesuatu hal karena dipengaruhi sikapnya.
Kembali pada sikap terhadap perilaku seksual, Dusek (1996) mengatakan bahwa sikap remaja terhadap perilaku seksual, termasuk apa yang pantas dan kapan hal tersebut diharapkan terjadi, dibentuk dari pengaruh sosial. Pengaruh sosial adalah usaha yang dilakukan oleh satu orang atau lebih untuk mengubah sikap, kepercayaan, persepsi, atau tingkah laku orang lain (Baron & Byrne, 2003). Pada remaja, pengaruh sosial yang paling dominan adalah teman karena teman mampu mempengaruhi remaja dalam bersosialisasi dan pencarian identitas diri. Keberadaan teman membantu remaja untuk mengekplorasi minat dan ketidaktentuan dalam hidupnya, sehingga remaja memiliki perasaan sebagai bagian dari kelompok (Erikson; Hartup; Steinberg & Silverberg dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000).
Selain itu, menurut Loetan (dalam Miol, 2005), teman merupakan orang yang paling sering dan mudah untuk ditemui. Biasanya, sesama teman saling melindungi satu sama lain sehingga wajar bila mereka juga saling bercerita mengenai masalah-masalah seksual. Hal ini juga terlihat dalam penelitian Sarwono (2007) yang menunjukkan bahwa persentase remaja untuk bercerita mengenai hal-hal seputar seksual kepada teman cenderung lebih besar dibandingkan kepada guru, orangtua, teman, ahli, rohaniawan, dan media massa. Hasil penelitian Sarwono tersebut didukung pula oleh Synovate Research (dalam Kartika, 2005), yang menemukan bahwa remaja tidak mempunyai pengetahuan khusus serta komprehensif mengenai masalah seksual. Informasi utama mereka terima dari teman. Sebanyak 81% remaja tersebut mengaku lebih nyaman berbicara mengenai masalah seksual dengan kawan-kawannya. Informasi lain, perihal masalah-masalah seksual, mereka peroleh dari film porno sebanyak 35%, untuk sekolah dan orangtua masing-masing sebanyak 19% dan 5%. Salah satu contoh nyata dari perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja karena adanya keterlibatan teman terlihat pada kasus Killa.
"Nyaris semua anggota geng Killa kebetulan sudah pernah merasakan hubungan seksual. Cuma Killa yang belum. Saat masih kelas II SKIP, teman-teman Killa memaksa ia untuk berhubungan seksual dengan pacamya. Kemudian, pacar Killa mengajak ia ke kamar. Dihinggapi perasaan penasaran dan tidak enak dengan teman-temannya, Killa pun menerima tawaran pacamya tersebut. "
(Majalah Hai, XXVI dalam Sarwono, 2007)
Adanya kebutuhan terhadap sumber dari afeksi, simpati, pengertian, dan pengarahan moral; tempat untuk melakukan berbagai eksperimen; dan setting untuk memperoleh otonomi serta kebebasan dari orangtua pada remaja, maka muncullah suatu kelompok peers (kelompok teman sebaya) tertentu (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Peers atau teman sebaya merupakan anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2003). Bourne; Coleman dan Hendry; Erikson (dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000) mengatakan bahwa menjadi bagian dari sebuah kelompok teman sebaya merupakan salah satu tugas perkembangan remaja. Berkaitan dengan sikap terhadap perilaku seksual, Billy dan Udry (dalam Rice, 1993) mengatakan bahwa kecenderungan remaja untuk terlibat dengan perilaku seksual akan semakin besar saat teman sebayanya mempunyai sikap yang positif terhadap perilaku seksual. Sikap positif terhadap perilaku seksual dari teman sebaya ini akan ditiru oleh remaja sebagai bentuk dari loyalitas mereka terhadap kelompok teman sebayanya.
Fenomena ketika remaja meniru sikap dan tingkah laku orang lain, dalam hal ini teman sebaya, karena adanya tekanan yang nyata ataupun yang dibayangkan mereka disebut sebagai konformitas (Santrock, 2003). Konformitas merupakan cara bertingkah laku seseorang sesuai dengan hal yang dianggap dapat diterima atau pantas (norma) dalam kelompok mereka atau lingkungan sosial (Baron & Byrne, 2003). Secara umum, Baron dan Byrne (2003) menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang menyebabkan individu melakukan konformitas, yaitu saat ia memiliki keinginan untuk diterima {normative influence) atau karena kelompok menyediakan informasi yang penting untuknya {informational influence). Namun, terkadang individu juga tidak melakukan konformitas karena adanya kebutuhan untuk berbeda dari orang lain {individuation) dan keinginan untuk mempertahankan kontrol terhadap kehidupannya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya konformitas remaja terhadap teman sebaya dapat dilihat dari seberapa banyak tingkah laku, sikap, dan kepercayaan yang ditiru remaja dari kelompok teman sebayanya. Semakin tinggi tingkat konformitas seseorang maka akan semakin banyak tingkah laku, sikap, dan kepercayaan orang lain yang diikuti. Sebaliknya, semakin rendah tingkat konformitas seseorang maka semakin sedikit tingkah laku, sikap, dan kepercayaan orang lain yang ditiru olehnya. Atas dasar tersebut, Santor, Messervey, dan Kusumakar (2000) menyatakan bahwa konformitas terhadap teman sebaya dapat memprediksi secara efektif kesulitan remaja dalam masalah psikososial dan tingkah laku yang membahayakan, dalam hal ini adalah sikap terhadap perilaku seksual dalam berpacaran.
Melihat penjelasan-penjelasan di atas, peneliti memperoleh beberapa hal penting. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarwono (2007) dan Damayanti (2007), diketahui bahwa saat ini perilaku seksual remaja dalam berpacaran telah semakin meluas. Hal ini disebabkan oleh sikap remaja yang semakin positif terhadap perilaku seksual, yang kemudian berpengaruh terhadap meningkatnya intensi untuk melakukan perilaku seksual (Sawono, 2007). Pengaruh sosial, terutama kelompok teman sebaya, turut berperan dalam pembentukan sikap remaja terhadap perilaku seksual tersebut. Dengan adanya pengaruh yang kuat dari teman sebaya, maka akan timbul konformitas pada remaja. Selanjutnya, peneliti berpendapat bahwa sikap remaja terhadap perilaku seksual ini mungkin memiliki hubungan dengan konformitas terhadap teman sebaya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik dan merasa penting untuk melakukan penelitian yang bertujuan melihat hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya. Pentingnya penelitian ini disebabkan secara internal, remaja memang berada dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu hal yang baru, maka tak heran mereka tertarik untuk melakukan bentuk-bentuk perilaku seksual (Sarwono, 2007). Namun, secara eksternal, budaya di Indonesia adalah budaya kolektivis, dimana lingkungan sosial memiliki pengaruh yang kuat (Baron & Byrne, 2003). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah sikap terhadap perilaku seksual juga berhubungan dengan pengaruh sosial, dalam hal ini konformitas terhadap teman sebaya.
Penelitian ini akan mengambil partisipan remaja yang berusia 15 - 18 tahun. Pemilihan partisipan ini berdasarkan penelitian Sarwono (2007), bahwa pada rentang usia ini remaja sangat membutuhkan teman-temannya. Mereka senang jika banyak teman yang menyukai dirinya. Selain itu, disebutkan pula oleh Sarwono (2007) bahwa ketertarikan remaja di Indonesia terhadap seksualitas mulai muncul pada usia 13 hingga 18 tahun. Dengan pertimbangan tersebut, maka peneliti menggunakan sampel remaja yang berusia 15 - 18 tahun. Menurut Steinberg (2002), rentang usia 15 - 18 tahun merupakan rentang usia pada periode remaja madya. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Melalui pendekatan ini, peneliti dapat mengetahui data statistik dari hubungan antara kedua variabel tersebut sehingga dapat menggeneralisasikan hasil dari sampel ke dalam populasi (Poerwandari, 2001).
1.2. Masalah Penelitian
Masalah yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah "Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberi pengetahuan kepada para orangtua, staff pendidik, pemerhati remaja, dan konselor mengenai kecenderungan sikap remaja terhadap perilaku seksual. Agar ke depannya dapat melakukan intervensi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sehubungan dengan perilaku seksual remaja. Melalui penelitian ini juga diharapkan remaja, terutama remaja madya, yang memiliki tingkat konformitas yang tinggi dapat memilih kelompok teman sebaya yang baik dan lebih mengembangkan diri ke arah yang positif tanpa harus selalu mengikuti aturan yang berlaku di kelompok teman sebayanya.
1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan
Pada bab I ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan
Bab II Tinjauan Pustaka
Pada bab II ini dijelaskan mengenai teori sikap terhadap perilaku seksual, konformitas terhadap teman sebaya, dan remaja madya yang akan digunakan untuk menganalisis dan menjawab permasalahan.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab III ini dijelaskan mengenai metode yang digunakan dalam penelitian. Bab ini berisi tentang masalah penelitian, hipotesis, partisipan penelitian, alat pengumpulan data, dan diakhiri prosedur penelitian.
Bab IV Analisis dan Interpretasi Data
Pada bab IV ini dijelaskan mengenai data penelitian dan analisisnya serta interpretasi data yang telah dianalisis.
Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab V ini dijelaskan mengenai kesimpulan, diskusi, dan saran dari penelitian yang telah dilaksanakan.
GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PRIA GAY DEWASA MUDA YANG TELAH COMING-OUT
(KODE PSIKOLOG-0002) : SKRIPSI GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PRIA GAY DEWASA MUDA YANG TELAH COMING-OUT
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.
I.A. Latar Belakang Masalah
Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia, 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin wanita yang menyukai sesama jenisnya akan disebut lesbian, dan kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan menyukai sesama jenisnya akan disebut gay. Di Indonesia, homoseksualitas telah ada sejak dulu, misalnya di Ponorogo, Jawa-Timur, dimana banyak remaja-remaja yang berparas tampan, menjadi pasangan seksual para 'Warok' dan mereka disebut 'Gemblakan' (Sarwono, 2002).
Saat ini, di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sudah banyak terdapat perkumpulan komunitas homoseksual, yang bertujuan untuk memberi dukungan bagi sesama homoseksual, diantaranya seperti Yayasan Pelangi Kasih (YKPN), Arus Pelangi, LPA Karya Bakti, Gay Sumatra (GATRA), Abiasa-Bogor, GAYA PRIAngan-Bandung, Yayasan Gessang-Solo, Viesta-Jogjakarta, GAYa NUSANTARA-Surabaya, GAYA DEWATA-Bali dll. Banyak homoseksual telah menyadari orientasi seksualnya pada saat remaja yang secara tipikal dimulai dengan ketertarikan pada sesama jenis (Nevid, Fichner-Rathus, & Rathus, 1995). Keberadaan kaum homoseksual di tengah-tengah masyarakat dan dalam berinteraksi atau bersosialisasi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada hukum, norma, nilai-nilai, dan serta stereotip yang berlaku di masyarakat. Situasi tersebut berpotensi menghasilkan reaksi dan perlakuan yang bermacam-macam dari lingkungan di sekelilingnya. Ada yang bersikap biasa dan mampu menerima, ada yang memandang sebelah mata, ada pula yang mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dikucilkan, disisihkan, dijauhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan kerja, serta masyarakat. Gambaran diatas adalah resiko-resiko yang kerap dihadapi oleh kaum homoseksual ketika mereka berada di tengah-tengah masyarakat dan menjalin interaksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Kaum homoseksual di Indonesia jumlahnya tidak sedikit, mereka ada di sekitar kita namun seringkali kita memang tidak tahu karena umumnya mereka termasuk yang memilih untuk non coming-out karena takut akan ancaman sosial-agama dari masyarakat. Sebagai catatan dari suatu survei dari Yayasan Priangan beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa ada 21% pelajar SMP dan 35% SMU yang pernah terlibat dalam perilaku homoseksual. Data lain menyebutkan kaum homoseksual di tanah air memiliki sekitar 221 tempat pertemuan di 53 kota kota di Indonesia. Sampai saat ini, tidak ada angka pasti berapa jumlah homo di Indonesia. Tapi, pada tahun 2003 saja, klaim hasil survei Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) LSM yang bergerak dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS di kalangan homoseks menyebut adanya 4000 hingga 5000 orang homo di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Bahkan Dede Oetomo memperkirakan secara nasional jumlahnya telah mencapai sekitar 1 % dari total penduduk Indonesia. Hal di atas menggambarkan bahwa jumlah kaum homoseksual tidaklah sedikit.
Selain penerimaan dan penilaian dari masyarakat, faktor keluarga memiliki peranan yang besar. Orangtua yang mengetahui anaknya adalah seorang homoseksual seringkali merasa terpukul dan merasa bersalah, tidak jarang orangtua akan menghentikan bantuan finansial, mengusir anak dari rumah, atau mengucilkan anaknya (Walker, 1996; Nevid et. all, 1995). Penjelasan tersebut merupakan gambaran beberapa hambatan dan resiko yang dihadapi kaum homoseksual untuk menyatakan kepada orang lain atau publik tentang orientasi seksual yang dimilikinya. Kesadaran diri dan pengakuan seseorang kepada publik atau orang lain mengenai orientasi seksual yang dimiliki disebut dengan coming out.
Coming out merupakan hal yang sangat penting bagi seorang homoseksual, karena dengan melakukan coming out, seorang homoseksual dapat menerima identitas seksual mereka, yang merupakan bagian dari identitas keseluruhan diri mereka. Identitas personal dalam diri seseorang memiliki implikasi yang penting dalam seseorang memahami diri mereka dan juga dapat meningkatkan harga diri mereka. Hal tersebut menunjang terjadinya penyesuaian psikologis seseorang (Kelly, 2004). Bagi seorang homoseksual, melakukan coming out merupakan proses panjang dan beresiko menyakitkan (Nevid, 1995).
Menurut Greene (2000) isu-isu perkembangan yang dihadapi oleh kaum homoseksual dewasa muda adalah apakah ia akan melakukan coming out, akan menikah, atau akan hidup melajang. Berbagai isu perkembangan seputar kaum homoseksual dewasa muda tentunya menunjukkan adanya tantangan-tantangan khusus pada mereka. Hal itu kemudian juga memberi pengaruh tertentu pada kebahagiaan yang dimiliki. Berdasarkan uraian diatas, berdasarkan banyaknya jumlah gay di Indonesia, peneliti ingin mengupas lebih dalam mengenai kesejahteraan psikologis kaum gay di Indonesia pada umumnya, dengan rentang usia yang berada dalam tahap dewasa muda yang telah coming-out. Telah disampaikan diatas, bahwa kaum gay mendapat resiko yang begitu komplek. Peneliti akan menkhususkan penelitian untuk mengetahui kesejahteraan psikologis gay dewasa muda yang telah coming-out. Mengapa hal itu menjadi penting, karena setelah mengambil keputusan untuk coming-out, gay tersebut akan mulai mendapatkan berbagai penilaian dari masyarakat, termasuk didalamnya penilaian dari orangtua, keluarga dan kerabat. Seperti yang telah peneliti sampaikan sebelumnya, penilaian masyarakat terhadap keberadaan kaum gay sangat beragam, sehingga kaum gay akan beresiko mendapatkan penolakan dari masyarakat. Tentu penolakan dari masyarakat mengenai orientasi seksualnya menjadi tekanan yang cukup berat, apalagi jika penolakan tersebut datang dari orangtua dan keluarga. Penolakan dan tekanan yang dihadapi oleh kaum gay, akan semakin terlihat ketika kaum gay tersebut berada dalam tahap dewasa muda, dimana pada tahap tersebut, setiap individu mempunyai tugas perkembangan sebagai individu dewasa muda. Hal yang paling penting pada usia dewasa muda adalah pemenuhan kebutuhan akan intimacy. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan berdampak terhadap individu tersebut yaitu terisolasi dalam lingkungan atau mengalami kesepian. Kebutuhan akan intimacy pada dewasa muda juga berhubungan dengan tugas perkembangan dewasa muda. Individu dewasa muda sudah seharusnya memilih pasangan, menikah dan membangun kehidupan rumah tangga. Untuk memenuhi tugas perkembangan biasanya individu akan menjalin hubungan dengan lawan jenis atau berpacaran untuk menyeleksi dan memilih pasangan hidupnya. Jika individu dewasa muda kebutuhan intimacy-nya tidak terpenuhi, maka individu tersebut akan mengalami kesepian, cemas, dan tidak percaya diri. Hal itu menunjukkan bahwa ada hubungan antara intimacy dan kesejahteraan psikologis individu (psychological well-being). Maka pada kaum gay yang memasuki usia dewasa muda yang telah coming-out (dengan berbagai resiko dan hambatan yang telah diungkapkan sebelumnya) menimbulkan pertanyaan mengenai keadaan kesejahteraan psikologisnya (psychological well-being). Untuk mendapatkan gambaran kesejateraan psikologis pria gay, dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep psychological well-being yang dibuat oleh Ryff. Konsep psychological well-being dari Ryff ini terbagi ke dalam enam dimensi, yaitu: penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Penelitian ini akan melihat bagaimana gambaran psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out
I.B. Perumusan Masalah Penelitian
Beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah gambaran psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out ? Beberapa pertanyaan turunan spesifik sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran enam dimensi psychological well-being pria gay yang telah coming-out?
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out?
3. Bagaimana gambaran coming-out yang dilalui pria gay?
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui gambaran dimensi-dimensi, faktor-faktor yang berpengaruh pada psychological well-being pria gay dewasa muda setelah melalui coming out.
I.D. Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara praktis maupun teoritis.
Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil dari penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang psychological well-being pria dewasa muda yang telah coming-out
2. Memperkaya khasanah penelitian psikologi tentang kaum homoseksual dan kaitannya dengan kesadaran diri serta pengakuannya kepada orang lain mengenai orientasi seksual yang dimilikinya. Mengingat keberadaan kaum homoseksual banyak ditemukan di Indonesia dan masih menjadi pertentangan di masyarakat, tentang bagaimana gaya hidup homoseksual, dan pandangan masyarakat mengenai status identitas homoseksual.
3. Menjadi referensi bagi peneliti dengan bidang kajian serupa.
4. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi psychological well-being pada pria homoseksual.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:
1. Menjadi bahan masukan dan referensi bagi orang heteroseksual untuk memahami sahabat, teman, atau anggota keluarga yang memiliki orientasi homoseksual. Memberi masukan atau inspirasi kepada partisipan untuk menyingkapi kondisi dirinya dengan baik untuk menjalani penyesuaian dirinya dengan cara sehat dan adaptif
2. Bagi kaum homoseksual, pengetahuan ini bertujuan untuk memberi ilmu dan informasi dalam menyikapi persoalan yang dialami mereka secara bijaksana agar tercipta lingkungan yang lebih konstruksif bagi terbinanya jiwa dan mental yang lebih sehat.
I.E. Sistematika Penulisan
Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan teori atau studi literatur mengenai permasalahan dalam penelitian ini yang mencakup tentang teori-teori yang digunakan.
Metode Penelitian
Pada Bab ini penulis menjelaskan metode penelitian yang digunakan beserta alasan memilihnya, metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian, pemilihan sampel penelitian yang meliputi karakteristik sampel, serta urutan pelaksanaan prosedur penelitian.
Hasil dan Analisis Hasil Penelitian
Pada bab ini, penulis menganalisis hasil data yang diperoleh dari penelitian.
Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan hasil analisis penelitian serta menjelaskan diskusi yang berisi hal-hal menarik, yang ditemukan penulis selama penelitian dilakukan. Terakhir, penulis memberikan saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.