Cari Kategori

PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH

PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Strategi Pembangunan Indonesia yang diarahkan untuk membangun Indonesia disegala bidang yang merupakan perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh.
Penyelenggaraan pembangunan nasional merupakan suatu proses yang memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang matang. Salah satu aspek yang sangat penting dan menunjang adalah kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Keberhasilan penyelenggaraan pembangunan sangat bergantung pada kemampuan manusia pelaksananya. Sebab apapun yang dimiliki oleh suatu bangsa; kekayaan alam, sosial, budaya, dan lain-lain tidak akan berarti bila tidak di tangani oleh manusia-manusia berkualitas. Baik itu berkualitas dari segi moral intelektual maupun dari segi mental spiritual. Sumber daya manusia yang berkualitas adalah yang bisa tetap bertahan dari iklim persaingan yang sangat ketat dewasa ini.
Kelancaran pembangunan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan tergantung dari kesempurnaan aparatur pemerintah yang pada pokoknya tergantung pula pada kesempurnaan pegawai negeri sipil (PNS). Dalam usaha mencapai tujuan nasional di perlukan adanya PNS sebagai unsur aparatur pemerintah dan abdi masyarakat yang penuh kesetian dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah, berdaya guna dan sadar akan tanggung jawab dalam menyelenggarakan tugasnya.
Guna lebih mengembangkan peran ini, pembangunan aparatur pemerintah diarahkan untuk meningkatkan kualitas aparatur agar lebih bersikap arief dan bijaksana serta berdedikasi yang tinggi terhadap pengabdian, sehingga dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal sesuai tuntutan perkembangan zaman yang berlangsung selama ini.
Oleh karena itu, maka urusan penyelenggaraan pemerintahan yang hampir semuanya dilaksanakan melalui pusat sudah mulai didistribusikan kepada daerah berdasarkan kewenangan daerah yang diatur dalam undang-undang, hal ini mengingat volume dan aneka ragam urusan pemerintahan dan pembangunan yang diselenggarakan di daerah sedemikian kompleksnya serta memerlukan penyelesain yang cepat dan tepat, diperlukan adanya pengawasan yang intensif. Hal ini dimaksudkan guna menjamin terselenggaranya urusan pemerintahan dan pembangunan dalam kerjasama yang serasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah tingkat atasnya.
Pengawasan erat sekali kaitannya dengan perencanaan, yang artinya harus ada sesuatu obyek yang diawasi, jadi pengawasan hanya akan berjalan kalau ada rencana program/kegiatan untuk diawasi. Rencana digunakan sebagai standar untuk mengawasi, sehingga tanpa rencana hanya sekedar meraba-raba. Apabila rencana telah ditetapkan dengan tepat dan memulai pengawasannya begitu rencana dilaksanakan, maka tidak ada hal yang menyimpang. 
Pada umumnya pengawasan terdiri dari 3 (tiga) langkah yaitu :
1. menentukan standar,
2. mengukur hasil atas dasar standard
3. mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan
Standar pengukuran yang dipakai biasanya sudah ditentukan oleh penanggung jawab program/kegiatan, yang selanjutnya pengawas mengukur hasil-hasilnya dengan mengacu kepada standar tersebut. Hasil pengukurannya sebagai dasar untuk apakah pelaksanaan kegiatan telah diselenggarakan secara efisien, efektif, ekonomis dan tertib aturan. Pengawasan akan sia-sia tanpa tindakan perbaikan, apabila dalam pengukuran hasil ditemukan keadaan tidak sesuai standar yang direncanakan, maka pengawas harus menganjurkan tindakan perbaikan. Mengetahui adanya ketidakberesan, maka pengawas berkewajiban melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
Oleh karena itu dengan pelaksanaan pembentukan kualitas aparatur pemerintahan, maka ditunjuklah inspektorat selaku badan pengasawan internal pemerintah kabupaten/kota, yang berfungsi untuk mengawasi kinerja pemerintah, pada kegiatan pembangunan, kegiatan kepegawaian, dan pelayanan pada masyarakat. Agar tercipta pemerintahan yang baik (Good Governance), dan bersih di daerah.
Demikian pula halnya dengan pelaksanaan pengawasaan pemerintahan di Kantor Bupati X, dalam hal ini tugas dan fungsi inspektorat sebagai salah satu bagiannya sudah diterapkan sebagai pengawas fungsional. Namun menurut pengamatan penulis pelaksanaan tugas dan fungsi inspektorat terhadap pegawai negeri sipil pada umumnya dan pada badan kepegawaian yang dimana bagian ini menjadi tempat urusan menengenai kepegawaian tentu saja akan berbeda dengan yang lain, sehingga tentu saja konsep pengawasaan yang ditgunakan akan membawa sesuatu yang berbeda terhadap Pegawai Negeri Sipil di instansi tersebut.
Memahami pentingnya pelaksanaan fungsi pengawasan yang diterapkan terhadap pegawai negeri sipil sebagai aparat pemerintah dan unsur penyelengaran pemerintahan di Kantor Bupati X terkhusus pada Badan Kepegawaian Daerah, maka penulis tertarik untuk memilih judul ; “Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Inspektorat Pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X”.

1.2. Rumusan Masalah
Memperhatikan uraian tersebut maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi inspektorat kabupaten X terhadap badan kepegawaian daerah kabupeten X ?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi inspektorat kabupaten X dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penilitian
1.3.1.Tujuan Penelitian
Penelitian ini di laksanakan dengan tujuan, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui seberapa tepat inspektorat dalam melaksanakan tugas dan fungsi.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja inspektorat dalam melaksanankan fungsi dan tugasnya.
1.3.2.Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat baik pada tataran theoritis akademis maupun pada hal praktis yang utamanya adalah efektifitas kinerja lembaga pengawasan agar bisa menekan tingkat penyimpangan.
1. Manfaat Teoritis Akademis.
Manfaat secara teoritis akademis diharapkan dapat menjadi referensi baru dalam bidang pengawasan, untuk memperkaya bahan kajian pengawasan. Selain itu memberikan kesadaran kolektif dan menumbuhkan kesadaran moral bagi masyarakat mengenai arti pentingnya pengawasan yang perlu dibangun untuk terjadinya sinergi yang baik antara aparat pengawas formal pada lingkup pemerintahan dengan stakeholder’s yang punya kepedulian.
2. Manfaat Praktis.
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi unit kerja pengawasan, para pimpinan unit kerja pelaksana dan perencanaan untuk terwujudnya peningkatan akuntabilitas kinerja pemerintahan dan pembangunan lingkup sub bagian kepegawaian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:06:00

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya sangat ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) yang handal dan memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi dan sikap profesionalisme tinggi yang dapat dicapai melalui pendidikan.
Pendidikan yang baik dapat menghasilkan SDM yang berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan. Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 31 ayat (2) setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya serta ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Hal ini sejalan dengan undang-Undang Bab IV Bagian Kesatu dijelaskan tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, pasal 5 ayat 1 menyebutkan "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Masih di bab yang sama, pada bagian keempat ihwal Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 (1) berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Suatu kebijakan pendidikan di daerah dalam konteks otonomi daerah dikaitkan dengan kebijakan publik desentralisasi (UU 32 Tahun 2004) bahwa urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan, dan kebijakan pendidikan nasional (UU No. 20 tahun 2003). Dalam kebijakan pendidikan nasional ada dua hal khusus yang berkenaan dengan hal tersebut adalah pertama menetapkan alokasi dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% baik pada APBN dan APBD, kedua UU no. 20 tahun 2003 pasal 11 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintahan daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan baik setiap warga Negara. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan gratis bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun yang dikenal sebagai wajib belajar sembilan tahun.
Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kemampuan aparat dalam merumuskan program/kebijakan untuk dilaksanakan oleh aparat pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat yang ikut serta bersama-sama melaksanakan program/kebijakan yang telah diputuskan, yang harusnya didukung oleh sarana dan prasarana yang ada.
Sejalan dengan adanya program pemerintah Kabupaten X yang mengarahkan pada kebijakan Pendidikan gratis sebagai salah satu program andalan. Dalam perspektif pembangunan daerah dewasa ini, seiring dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, maka daerah dituntut agar mampu mengembangkan daerahnya sendiri secara mandiri yang ditandai dengan semakin besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten X dalam pelaksanaan pendidikan gratis ini sangat baik dalam hal peningkatan pendidikan anak-anak usia sekolah, sehingga tingkat buta huruf atau tidak bersekolah dapat berkurang. Program pendidikan gratis ini, pada awal pelaksanaannya diatur dalam peraturan peraturan daerah No.10 tahun 2008 tentang pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X. Hal ini sesuai dengan visi dan misi pemerintah Kabupaten X yakni gerakan membangun X menuju masyarakat maju dan mandiri dengan meneruskan layanan pendidikan gratis yang semakin dimantapkan.
Keunikan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pendidikan gratis di Kabupaten X adalah satu-satunya kabupaten yang ada di yang membuat dan melaksanakan program tersebut yang bukan hanya untuk siswa wajib belajar 9 tahun sebagaimana program nasional tetapi juga pada SMA. Selain itu pemberian subsidi ini bukan hanya sekolah negeri tetapi juga sekolah swasta dan Madrasah (dalam naungan Departemen Agama).
Fenomena yang terjadi di Kabupaten X berdasarkan hasil survey pendahuluan pada awal September berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat dan kepala sekolah bahwa kebijakan pemerintah daerah tentang pendidikan gratis dalam pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai, masih adanya pungutan dana di sekolah, banyak keluhan dari beberapa sekolah akan minimnya dana, alokasi dana yang tidak merata antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya, tersendatnya pencairan dana, kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah ke masyarakat sehingga pemahaman tentang pendidikan gratis itu semua gratis pada hal hanya beberapa item saja yang digratiskan (pemberian subsidi biaya pendidikan).
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis memandang perlu mengkaji lebih lanjut berbagai masalah yang berkaitan dengan implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X. sehingga mendorong penulis memilih judul : “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X ?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X .
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X .

1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis : penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam ilmu pemerintahan dan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu tentang kebijakan pendidikan gratis, sehingga dapat mengembangkan konsep-konsep mengenai kebijakan pendidikan gratis.
2. Secara praktis : hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintahan Kabupaten X agar daerah tersebut kedepanya lebih baik dan pemerintah setempat lebih memperhatikan dan meningkatkan pendidikan masyarakat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:04:00

PERAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PERKELAHIAN ANTAR KELOMPOK

PERAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PERKELAHIAN ANTAR KELOMPOK DI KOTA X


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Zaman kala masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi keseharian yang dimiliki, menjadikannya sebuah fenomena pantas untuk dikaji. Dinamika yang berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari peranan struktur makro yang mengatur sebuah masyarakat tertentu. Pemerintah dan aparatur penyokongnya merupakan salah satu faktor makro tersebut yang wajib ditekankan sebagai salah satu faktor penyokong bergeraknya arus dinamika tersebut. Sejak terbukanya sejarah mengenai pemerintahan satu persatu teori mengenai fungsi dan peran pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung dengan mobilitas yang cepat. Masalah yang mendera juga satu per satu datang pasca kedatangan sistem pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapatkan tekanan sebagai institusi berwenang menyelesaikan setiap persoalan.
Salah satu wacana mengemuka mengenai kota X ialah mengenai beberapa peristiwa yang menarik pandangan nasional hingga internasional adalah kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi. Mencoba berasumsi penulis memposisikan masyarakat Indonesia kini beranggapan bahwa kekerasan di kota X telah menjadi hal yang lazim terjadi. Ada anekdot sehari-hari yang mengatakan bahwa kekerasan massa yang kerap terjadi di kota ini telah tergambar dari nama kota X itu sendiri.
Menurut Budi Hardiman sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya. Karena itu, pertanyaan mengenai mengapa perkelahian antar kelompok itu terjadi sangat penting untuk dilontarkan dan dijawab.
Yang ganjil dalam perilaku massa adalah ciri psikologis yang ditimbulkan, para pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan kekerasan mereka. Akal sehat disingkirkan dan digantikan dengan moralitas lemah yang menjauhi konteks budaya dimana moralitas tersebut dibangun. Berjarak dari peristiwa itu, beberapa analis yang ahli dalam bidang ini maupun masyarakat biasa pemerhati persoalan sosial lalu mengatakan bahwa individu terseret oleh desakan kebersamaan mereka sehingga tak bisa lain kecuali melakukan seperti yang dilakukan orang yang lain. Seperti kesadaran in group yang diungkapkan oleh sosiolog sekelas Soerjono Soekanto maupun Selo Soemardjan Individu yang terlibat dalam kekerasan massa secara massif dipindahkan dari ruang kontak sehari-hari ke dalam suatu ruang peleburan kolektif yang mengisap ciri-ciri personalnya sebagai seorang individu. Penulis menyebutnya “ruang kolektif’ karena ruang ini diproduksi oleh kebersamaan dan menjadi tempat bergeraknya tindakan-tindakan kolektif walaupun dalam beberapa analisis ada juga yang menyebutnya sebagai ruang massa.
Ada kecenderungan yang kemudian terjadi, bahwa perkelahian antar kelompok dalam beberapa penelitian ternyata tidak terlepas dari heterogennya sebuah masyarakat. Masyarakat perkotaan seperti di kota X pun memiliki kecenderungan tingkat kekerasan massa yang tinggi ketimbang dengan daerah lain yang belum begitu terjejal arus modernisasi.
Kehidupan perkotaan yang lebih dekat dengan kebijakan pemerintah pusat kemudian akan sangat mudah terciptanya arus balik dari masyarakat di dalamnya. Tanggapan dari masyarakat akan lebih cepat timbul belum lagi ketika kita meminjam teori Johan Galtung mengenai korelasi antara kekerasan itu sendiri dengan kekerasan struktural, dalam teorinya dikatakan bahwa kekerasan yang selama ini terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kota tak terlepas dari wujud kekerasan rezim penguasa setempat terhadap rakyatnya, Kemarahan rakyat pun terlontar dalam bentuk beragam, dimulai dengan aksi protes hingga bentuk-bentuk destruktif berupa pengrusakan yang dilakukan oleh massa.
Pemerintah kota X sebagai institusi kuasa yang berada di kota ini seharusnya menyadari persoalan krusial ini, tugas pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara seyogyanya diperankan dengan maksimal. Sebenarnya pemerintah kota X sudah melakukan banyak upaya penanggulangan maraknya terjadinya kekerasan massa. Dalam program X Great Expectation9, kasus kekerasan yang kerap terjadi di jalanan ketika terjadi aksi unjuk rasa menjadi titik perhatian mengingat, bahwa kejadian tersebut bisa merusak wajah X sebagai pintu gerbang di Indonesia bagian timur.
Fokus pada penelitian ini akhirnya mengambil salah satu bentuk kekerasan massa yang cukup meresahkan. Perkelahian antar kelompok merupakan penyakit masyarakat yang sering menjadi bahan pembicaraan di kota ini. Tak jarang dengan menggunakan senjata tajam yang berujung pada timbulnya korban jiwa. Perkelahian antar kelompok pun mengalir dengan berbagai motif dari pelakunya. Sebagian besar dari pelakunya didominasi oleh kaum remaja.
Berbagai penelitian sosial menganalisa perilaku keterlibatan remaja dalam perkelahian antar kelompok. Namun perkelahian ini juga tak bisa dilepas oleh mereka yang telah melewati masa remaja. Maraknya perkelahian antar kelompok yang melibatkan masyarakat miskin atau mereka yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, menjadi salah satu indikasi bahwa perkelahian antar kelompok sebagai salah satu bentuk kekerasan massa diakibatkan oleh adanya kesenjangan yang akibat pembangunan tidak berimbang di sebuah kota besar.
Ada pula beberapa contoh kasus yang memberikan bantahan terhadap “postulat” pelaku perkelahian antar kelompok diatas. Masuknya perkelahian tersebut ke ranah institusi pendidikan seperti kampus dan sekolah memberikan contoh yang setidaknya mendobrak pernyataan mengenai tingkat pendidikan yang menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak kekerasan.
Dalam banyak kasus kekerasan yang terjadi, banyak pertanyaan yang timbul dalam diri penulis mengenai apakah sebenarnya peran pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi masyarakatnya. Untuk itu diperlukan korelasi antara apa yang menjadi faktor antar kelompok yang kerap terjadi dengan peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulanginya.
Ketertarikan penulis membahas persoalan ini, dengan harapan tidak ada lagi sikap menduga-duga dari masyarakat pada umumnya mengenai apakah pemerintah kota mengambil sikap dan berperan menanggulangi kasus yang terjadi. Lemahnya peran institusi pemerintah dalam mengambil langkah dalam beberapa penyelesaian kasus perkelahian terus berulang terlontar ketika kecelakaan sosial ini kembali muncul dipermukaaan. Perkelahian antar kelompok setiap saat bisa saja terjadi dengan berbagai potensi yang diredam untuk beberapa saat saja. Ketika keran penyebab perkelahian itu terbuka, sontak massa pun kembali mengambil posisi dalam menyelesaikan persoalan yang sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan bahasa verbal.
Adanya disparitas antara penyelesaian kasus kekerasan dengan faktor penyebabnya cenderung membuat perkelahian tersebut hanya selesai pada permukaan dan tidak menyentuh akar persoalan. Perkelahian antar kelompok dapat ditanggulangi ketika akar penyebab kekerasan itu terjadi sudah diketahui, banyak referensi yang bisa dijadikan acuan dalam menelaah akar kekerasan seperti ini yang kerap terjadi sebagai suatu produk sosial masyarakat kota.
Pemerintah kota yang melakukan berbagai upaya penanggulangan akan diteliti perannya oleh penulis sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini membuka persoalan yang sudah dibahas sebelumnya dengan memfokuskan penelitian dalam judul : Analisis Peran Pemerintah Kota terhadap Perkelahian antar Kelompok.

I.2 Rumusan Masalah
Memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa perkelahian antar kelompok merupakan persoalan esensial yang patut bagi pemerintah daerah untuk segera memaksimalkan potensi dan peran yang dimiliki dengan membuat perencanaan strategis untuk menanggulangi sirkulasi kekerasan yang merebak di masyarakat. Bilamana telah terjadi penurunan angka perkelahian antar kelompok, maka patut pula untuk mengetahui upaya apa yang telah dilakukan sebagai bahan evaluasi kebijakan ke depannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab perkelahian antar kelompok di Kota X ?
2. Bagaimana peran pemerintah kota X dalam menanggulangi persoalan perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi ?

I.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengakarnya pandangan masyarakat yang hanya bisa menerka penyebab timbulnya perkelahian, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok di kota X.
2. Untuk memperoleh gambaran dan penjelasan tentang peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok.

I.4 Manfaat Penelitian
1. Dari segi teoritis, memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok. Selain itu juga memberikan sedikit gambaran mengenai penyebab kekerasan massa yang kerap terjadi di masyarakat. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan khasanah ilmu pemerintahan terutama kajian tentang strategi peran pemerintah dalam menangani kasus tertentu.
2. Dari segi metodologis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberi nilai tambah yang selanjutnya dapat dikomparasikan dengan penelitian-penelitian ilmiah lainnya, khususnya yang mengkaji masalah peran strategis pemerintah dan penanggulangan kekerasan massa di masyarakat.
3. Dari segi praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi masyarakat tentang peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap mengganggu. Terkhusus bagi pemerintah khususnya Pemerintah kota X, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam perumusan kebijakan dalam rangka penanggulangan perkelahian antar kelompok.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:02:00

EVALUASI IMPLEMENTASI STANDAR RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (R-SMA-BI)

A. Konteks Penelitian
SMA Negeri X sebagai salah satu sekolah dengan keunggulan layanan pendidikan terbaik di kabupaten Y. Hal ini bisa dilihat dari trend pendaftar ketika Penerimaan Siswa Baru (PSB) dari tahun ketahun.Sudah berperan aktif dalam mempersiapkan sumberdaya manusia yang mempunyai keunggulan global dengan cara merintis pengembangan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (R-SMA-BI).

Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SMA Negeri X diselenggarakan dengan landasan :
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 4 : "Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus".

2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 50 ayat 3 : "Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional".

3. Surat Keputusan Direktorat Pembinaan SMA Dirjen Mandikdasmen Depdiknas nomor : 697/C4/MN/2007 tentang Penetapan Penyelenggara Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional (SMABI).

4. Surat Diretorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah nomor 622/C4/MN/2007 tangal 29 Juni 2007 perihal keikutsertaan SMAN X pada worshop penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional.

5. Pernyataan dukungan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat cq Kasubdis Dikmenti melalui surat nomor 008/82-Dikmenti/2007.

6. Pernyataan dukungan penyelenggaraan program rintisan SBI dari komite SMA Negeri X nomor : 004/Komite-SMA.BE/2007.

Penunjukan dari pemerintah baik pusat maupun daerah dan dukungan komite sekolah adalah suatu penghargaan yang cukup prestise yang besar bagi sekolah. Sebab tidak semua sekolah mendapatkan kesempatan tersebut, bahkan hanya satu-satunya sekolah di kabupaten Y yang memiliki kesempatan dari 25 SMA Negeri dan 74 SMA Swasta yang ditunjuk menjadi sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (R-SMA-BI). Penunjukan itu bukan tanpa alasan bagi pemerintah sebab nama besar SMA Negeri X dengan prestasinya, baik akademik maupun non akademik di tingkat kabupaten maupun propinsi sudah sering diraihnya. Misalnya dalam prestasi keikutsertaan pada olimpiade MIPA, bahasa Inggris, seni, olahraga, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya.

Berdasarkan hasil studi awal melalui observasi penunjukan itu menjadi tantangan yang sangat berat bagi sekolah, sebab penunjukan itu tidak didasarkan pada studi kelayakan yang ketat dan akurat yang merujuk pada standar yang harus dipenuhi oleh R-SMA-BI. Sebagaimana syarat yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan R-SMA-BI, sebagaimana dalam panduan penyelenggaraan R SMA BI yaitu : bebarapa syarat sudah terpenuhi namun ada yang belum terpenuhi. Adapun syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Sekolah menengah atas negeri atau swasta yang telah memenuhi standar Nasional dan terakrediatasi A.
2. Kepala sekolah memenuhi standar nasional pendidikan berkompeten dalam pengelolaaan manajemen mutu pendidikan serta mampu mengoperasikan komputer dan dapat berkompetensi dalam bahasa inggris
3. Memiliki tenaga pengajar, fisika, kimia, biologi, matematika dan mata pelajaran lainnyayang berkompeten dalam menggunakan ICT dan pengantar bahasa Inggris.
4. Tersedia sarana prasarana yang memenuhi standar untuk menunjang proses pembelajaran bertaraf internasional. Antara lain :
a. Memiliki tiga laboratorium IPA (Fisika, Kimia, Biologi)
b. Memiliki perpustakaan yang memadai
c. Memiliki laboratorium komputer
d. Tersedia akses internet
e. Memiliki Web sekolah
f. Memiliki kultur sekolah yang kondusif (bersih, bebas asap rokok, bebas kekerasan, indah dan rindang)
5. Memiliki dana yang cukup untuk membiayai pengembangan program rintisan SMA bertaraf internasional.
6. Penyelenggaraan sekolah dalam satu shift (tidak double shift)
7. Jumlah rombongan belajar pada satu satuan pendidikan minimal 9 (sembilan) atau setara dengan 288 siswa.
8. Memiliki lahan minimal 10.000m2.
9. Memiliki jalan akses masuk yang mudah dilalui oleh kendaraan roda empat

Merujuk buku panduan tantangan yang dihadapi oleh SMA Negri X ini antara lain adalah :
Pertama, Masih lemahnya kemampuan guru menyusun kurikulum sekolah menyebabkan terbatasnya ketersediaan dokumentasi kurikulum panduan pelaksanaan kegiatan pembelajaran (kurikulum sekolah) secara lengkap untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negarayang demokratis serta bertanggung jawab.

Kedua, kurangnya alat penunjang sarana prasarana pendidikan seperti buku pegangan guru, buku pegangan siswa dan buku referensi lainnya termasuk kelengkapan laboratorium, baik laboratorium IPA, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, laboratorium IPS, pusat pengembangan akhlak mulia, kebun botani dan multimedia berdampak pada peningkatan mutu pembelajaran yang sangat berat untuk mencapai sekolah yang unggul dan mandiri. Pesatnya perkembangan media masa elektronik dan media cetak selain mengandung dampak positip dalam meningkatkan pengetahuan juga berdampak negatip yang dapat mempengaruhi moralitas yang tidak sesuai dengan moral bangsa, sehingga perlu dijaga moralitasnya dengan baik .

Ketiga, Kondisi guru dalam penguasaan teknologi informasi berdasarkan angket yang dialakukan oleh sekolah adalah 75% guru SMAN X masih kurang mengenal dengan baik terhadap teknologi informatika, 20% mengenal teknologi informatika dengan baik dan 5% menguasai informatika dengan baik.

Keempat, rendahnya penghasilan orangtua dalam mendukung pelaksanaan program kurikulum dalam menjadikan SMA Negeri X sebagai sekolah yang unggul dalam prestasi dan berbudaya untuk menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berlandaskan nilai-nilai religius, kultural dan berwawasan lingkungan sangatlah berat membutuhkan kemampuan guru untuk mendorong peserta didik menjadi mandiri dan bangga terhadap bangsanya,

Kelima, beratnya beban kurikulum yang harus ditempuh oleh siswa karena banyaknya mata pelajaran yang harus diterima siswa. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan dalam mensiasati kesulitan siswa, sehingga siswa tidak merasa terlalu berat dalam menyelesaikan pembelajaran.

Dari uraian di atas nampak jelas ada ketidak sesuaian antara konsep penyelenggaraan R SMA BI dengan kenyataan di lapangan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat masalah ini menjadi bahan atau obyek penelitian. Sebab esensi dari kebijakan penyelenggaraan R SMA BI adalah untuk peningkatan mutu pendidikan supaya bisa bersaing di tingkat internasional. Akan tetapi dalam proses peningkatan mutu pendidikan itu harus berdasarkan pada konsep atau terori yang jelas dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah atau akademis. Seperti yang dikemukakan oleh Husaini Usman ada tiga faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. .Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Kedua pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Dengan kata lain bahwa kompleksitas cakupan permasalahan pendidikan seringkali tidak dapat dipikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat; Ketiga peran serta masyarakat khususnya orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim.

Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya mutu lulusan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah merupakan permasalahan pendidikan yang harus segera dicarikan solusi.

Merujuk Tilaar bahwa pengelolaan Pendidikan Nasional mengemukakan bahwa "manajemen sistem pendidikan nasional merupakan suatu proses sosial yang direkayasa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional secara efektif dan efisien dengan mengikutsertakan, kerjasama dan partisipasi seluruh masyarakat, dan dari sinilah konsep MBS lahir. MBS merupakan suatu model kebijakan yang ditempuh oleh pendididkan Indoneia pada maing-masing satuan pendidikan sehingga tercermin MBS sebagai model manajemen pendidikan yang otonomi, lebih besar kepada sekolah memberikan fleksibiitas (keluwesan) kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung setakeholders untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Menyimak gambaran proses penyelenggaraan R SMA BI di SMA Negeri X maka penulis tertraik untuk diangkat menjadi kajian dalam bentuk penelitian, Oleh sebab tesis ini diberi judul EVALUASI IMPLEMENTASI STANDAR SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI) (Studi Kasus di SMA Negeri X Kabupaten Y)

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka Peneliti memfokuskan penelitian ini
pada evaluasi kesiapan sekolah untuk menjadi Sekolah yang Bertaraf Internasional (R-SMA-BI). Fokus tersebut dijabarkan dalam beberapa sub fokus sebagai berikut :
1. Perubahan apa yang penting dilakukan SMA Negeri X dalam upaya menuju RSMABI.?
2. Bagaimankah tingkat ketercapaian program R-SMA-BI di SMA Negeri X?
3. Faktor apa yang menjadi hambatan program R-SMA-BI di SMA Negeri X?
4. Bagaimankah Strategi SMA Negeri X dalam mempercepat pencapaian SBI?

C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan fokus Penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan perubahan yang dilakukan oleh SMA Negri X untuk menuju sekolah yang bertaraf internasional
2. Mendeskripsikan tingkat ketercapaian RSMABI di SMA Negeri X
3. Mendeskripsikan berbagai hambatan Implementasi standar SBI di SMA Negeri X
4. Mendeskripsikan strategi SMA Negeri X dalam mempercepat pencapaian SBI

D. Manfaat Penelitian
Sebagai suatu kegiatan, maka sudah barang tentu penulisan ini mempuyai kegunan. Adapun kegunaannya sebagai berikut :
a. Kegunaan Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu tambahan hazanah ilmu pengetahuan khususnya yang menyangkut tentang penyelenggaraan manajemen rintisan sekolah bertaraf internasional
2. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian mengenai pentingnya manajemen penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasiona (RSBI) dalam meningkatkan mutu pendidikan.
b. Kegunaan Praktis
1. Penelitian ini akan dapat memberikan konstribusi bagi lembaga yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai secara maksimal.
2. Menjadi sumber informasi bagi peneliti lain dari sernua pihak yang berkepentingan.
3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi pengelola pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
c. Kegunaan bagi Peneliti.
1. Menmabah ilmu dan pengalaman penulis dalam mengembangkan R-SMA-BI
2. Menumbuhkan motivasi dalam keikutsertaan peneliti dalam mengembangkan R-SMA-BI di SMA Negeri X.
3. Untuk menyelesaikan studi MPI.

E. Sitimatika Pembahasan
Dalam penulisan tesis ini penulis menyusun sistematika pembahsan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang, konteks penelitian, fokus masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, originalitas penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan.
Bab II. Kajian Pustaka, yang berisi kajian teori yang berkaitan dengan, Konsep tenatang penyelenggaraan R SMA BI. Evaluasi Rintisan Sekolah Bertarap Internasional (R-SMA-BI),teori tentang evaluasi dan teori dan kebijakan Standar Nasional Pendidikan.
Bab III. Metode penelitian yang berisi tantang, pendekatan dan jenis penelitian, Data dan sumber data, metode, Strategi pengurupulan data, analisis data dan pengecekan keabsahan temuan.
Bab. IV. Papaparan data dan hasil temuan, yang meliputi, Perubahan yang telah dilakukan sekolah dalam upaya menuju R-SMA-BI, Tingkat Ketercapaian R-SMA-BI di SMA Negeri X, Hambatan yang dihadapai dalam penyelenggaraan R-SMA-BI dan perumusan strategis dalam mempercepat ketercapaian Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Bab V. Pembahsan hasil Penelitian, yang meliputi, Pembahasan perubahan yang telah dilakukan sekolah dalam upaya menuju R-SMA-BI, Analisis tingkat Ketercapaian R-SMA-BI di SMA Negeri X, Pembahasan hambatan yang dihadapai dalam penyelenggaraan R-SMA-BI dan Perumusan strategis dalam mempercepat ketercapaian Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Bab VI. Kesimpulan dan Saran-Saran.yang meliputi perubahan yang penting dilakukan, tingkat ketercapaian standar R-SMA-BI, Faktor yang menjadi penghambat dan strategi sekolah dalam mempercepat pencapaian SBI. Adapun saran-saran ditujukan kepada manajemen sekolah, komite sekolah dan pemerintah kabupaten Y.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:00:00

PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN BLUD

1.1 Latar Belakang
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan suatu komitmen internasional dalam meningkatkan pembangunan di berbagai negara. Komitmen ini menjadi suatu acuan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam menyusun rencana pembangunan. Terdapat delapan tujuan dari ditetapkannya MDGs (BPK, 2009). Pembangunan dibidang kesehatan termasuk di antara kedelapan tujuan yang ingin dicapai tersebut. Kedelapan tujuan MDGs tersebut, yaitu :
(i) Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem;
(ii) Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua;
(iii) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
(iv) Menurunkan angka kematian anak;
(v) Meningkatkan kesehatan ibu;
(vi) Memberantas HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya;
(vii) Memastikan kelestarian lingkungan;
(viii) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Seperti terlihat di atas, tujuan ke (iv) sampai dengan (vi) merupakan tujuan yang langsung berkaitan dengan bidang kesehatan. Menurunkan angka kematian anak harus dicapai melalui peningkatan kesehatan anak. Semakin sehat seorang anak, semakin kecil peluang untuk meninggal dini. Peningkatan kesehatan ibu, di samping berkaitan dengan semakin kecil peluang para ibu meninggal ketika melahirkan, juga semakin besar peluang untuk melahirkan anak-anak yang sehat, yang akan berusia panjang. Memberantas HIV, AIDS, malaria dsb (penyakit-penyakit menular) berkaitan dengan upaya untuk mencegah kematian secara masal.

Penyediaan pelayanan kesehatan, baik oleh pihak swasta maupun pemerintah, merupakan salah satu bagian dari pembangunan dibidang kesehatan. Karena pelayanan kesehatan ini di Indonesia kini masih jauh dari kebutuhan untuk mencapai tujuan MDGs tadi maka penyediaannya mesti didorong (Saraswati, 2009).

Data BPS tahun 2009, hingga bulan Maret, mencatat bahwa sebanyak 32,5 juta penduduk Indonesia adalah miskin. Semua penduduk miskin ini tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan secara memadai. Kemiskinan (rendahnya pendapatan) menyebabkan mereka tidak mampu membiayai seluruh ongkos yang diperlukan untuk memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana yang diperlukan. Para penduduk miskin ini, apabila mereka sakit, seringkali lebih memilih pengobatan alternatif yang murah (dukun) daripada ke tempat-tempat pelayanan kesehatan yang formal; atau berusaha mengobati sendiri dengan membeli obat-obat tradisional ataupun illegal, yang tidak diuji oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (www.bps.go.id). Menurut data BPS tahun 2008, sebanyak 65,59% penduduk melakukan pengobatan sendiri dan sebanyak 22,26% menggunakan obat tradisonal.

Kondisi seperti yang dikemukakan ini membuat pemerintah Indonesia memandang perlu untuk memberi subsidi kesehatan bagi mereka yang miskin. Pada tahun 2009 subsidi itu dianggarkan sekitar Rp 4,5 trilliun. Tahun 2010 direncanakan subsidi ini akan berjumlah sekitar Rp 4,6 trilliun. Alokasi tersebut untuk pembiayaan Jamkesmas bagi 76,4 juta penduduk miskin dan hampir miskin yang masuk kuota pemerintah pusat (Antara, 2010). Sedangkan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin yang tidak masuk kedalam kuota Jamkesmas pemerintah pusat ditanggung pemerintah daerah melalui program-program Jamkesda.

Komitmen pemerintah untuk memberi subsidi pelayanan kesehatan bagi mereka (masyarakat) yang miskin --yang seringkali disingkat dengan sebutan "maskin" diwujudkan melalui berbagai program. Puskesmas dan rumah sakit secara langsung ditunjuk oleh pemerintah sebagai agen utama bagi pemberi pelayanan kesehatan kepada maskin itu.

Program pemberian subsidi pelayanan kesehatan untuk maskin tersebut bermula pada tahun 1998-2001, yaitu melalui Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Program ini kemudian dilanjutkan dengan program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PDPSE-BK) pada tahun 2001-2002. Selanjutnya pada tahun 2002-2004 program PDPSE-BK ini diubah menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS BBM-BK). Pada periode ini dilaksanakan pula uji coba Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) di tiga provinsi dan 13 kabupaten. Pada akhir tahun 2004, dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (SK Menkes RI) No. 1241/Menkes/SK/XI/2004 Tanggal 12 November 2004, diberlakukan program baru yaitu Program Jaminan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT. Askes (persero) merupakan lembaga keuangan yang ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana penyalur dana program PJKMM. PT. Askes (persero) mengelola sepenuhnya dana penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan bagi maskin, baik untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di RS.

Sebagaimana dikemukakan oleh BPK (2009), sejumlah permasalahan telah muncul dalam pengelolaan PJKMM ini. Permasalahan tersebut antara lain : terjadinya perbedaan data jumlah maskin yang dicatat oleh BPS dengan data maskin yang sebenarnya di tiap daerah, minimnya SDM PT. Askes (persero), minimnya biaya operasional dan manajemen di Puskesmas, dll. Adanya permasalahan-permasalahan ini membuat pemerintah kemudian merubah lagi mekanisme penyelenggaraan program pemberian subsidi pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin (BPK, 2009).

Penyelenggaraan PJKMM, sebagaimana yang dikemukakan di atas, dikelola dengan mekanisme asuransi. Dengan kata lain pembayaran klaim dan verifikasi dilakukan oleh PT. Askes. Sehingga program ini kemudian dikenal dengan nama program Askeskin. Program ini berjalan hingga hingga tahun 2007. Pada tahun 2008, setelah pemerintah mengetahui adanya permasalahan-permasalahan di atas, PT Askes (persero) tidak lagi secara penuh mengelola dana penyelenggaraan program ini. Menurut keterangan pemerintah, hal ini untuk mengatasi keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang ada pada PT.Askes (persero), terutama untuk memonitor pelaksanaan program (BPK, 2009). Terjadi pemisahan fungsi antara fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran. Pemisahan fungsi ini diimplementasikan dengan menempatkan tenaga verifikator disetiap RS. Program ini selanjutnya disebut dengan Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sumber dana Jamkesmas berasal dari APBN dan APBD.

Pada tahun 2009, provinsi Bali menerima luncuran dana Jamkesmas sebesar Rp 75,4 miliar. Dana tersebut dialokasikan kepada RS yang ada di kabupaten maupun kota di provinsi Bali (8 kabupaten dan 1 kota). Sampai dengan bulan November 2009, artinya setelah 9 bulan bulan provinsi ini menerima luncuran dana, sebesar Rp 62,9 miliar belum juga dilaporkan dan dipertanggungjawabkan (Rekapitulasi Laporan Klaim Jamkesmas, November 2009). Menurut Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2009 penggunaan dana harus dilaporkan oleh tim pengelola Jamkesmas Povinsi kepada Departemen Kesehatan adalah setiap tanggal 20 bulan berjalan. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan dana yang diterimanya maka sebesar 83,4% dana tersebut belum dilaporkan dan dipertanggungjawabkan. Angka ini relatif lebih besar di bandingkan dengan daerah lain seperti : Jatim (58,7%), Jateng (61,6%), Jabar (49,1%).

Menurut hasil evaluasi kinerja yang dilakukan secara tahunan oleh rumah sakit tahun 2009, ditemukan empat kelemahan terkait organisasi dan SDM di BLUD X ini (RBA BLUD X, 2010). Keempat kelemahan yang diungkapkan dalam RBA tersebut adalah : (i) jumlah tenaga kurang memadai khususnya perawat, (ii) tingkat ketrampilan staf masih kurang, (iii) disiplin pegawai masih kurang dan (iv) komitmen staf belum optimal. Kelemahan tersebut telah mempengaruhi kinerja BLUD X (termasuk mutu pelayanan). Berdasarkan Rencana Bisnis dan Anggaran BLUD X 2010, peningkatan mutu pelayanan akan menjadi target yang utama. Untuk menempuh target itu maka : peningkatan kompetensi SDM -melalui pendidikan dan latihan—akan dilakukan; selain itu juga sistem pelayanan dengan ukuran standar pelayanan minimum akan diterapkan; dan sarana serta prasarana medis dan non medis akan ditingkatkan ketersediaannya maupun pemeliharaannya.

Informasi tentang kurang memadainya pelayanan kesehatan BLUD X sering diberitakan di media masa, terutama media lokal. Pelayanan yang kurang memadai ini bukan hanya dirasakan oleh pasien peserta (penerima) program Jamkesmas saja, tetapi juga pada pasien non-Jamkesmas. Ketua Fraksi Demokrat DPRD X, dalam harian Radar tanggal 28 November 2009, menyatakan bahwa sarana, fasilitas dan SDM BLUD X memang masih kurang. Kemudian juga salah satu anggota Komisi D DPRD X, sebagaimana dimuat Antara tanggal 12 Januari 2010, menyatakan bahwa BLUD X belum mampu memberikan pelayanan maksimal. Akibatnya, munculah keluhan-keluhan warga (pasien).

Hasil polling yang dilakukan secara online oleh BLUD X pun menunjukkan bahwa sebesar 54% responden menganggap pelayanan BLUD X masih belum sesuai dengan keinginan (www.Xkota.go.id). Sementara studi Razak (2007), meskipun dua tahun telah lewat, menyimpulkan bahwa waktu tunggu pasien untuk mendapatkan pelayanan terlalu lama.

Berdasarkan prioritas BLUD X dan informasi dari berbagai sumber diatas, maka penting untuk diketahui aspek-aspek apa saja yang harus diatasi untuk meningkatkan mutu pelayanan RSUD X. Menurut konsep SERVQUAL yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry terdapat lima determinan (dimensi) kualitas pelayanan terkait dengan persepsi pelanggan. Kelima dimensi tersebut adalah (Rosjid, 1997) :
(i) Tangible, atau bukti langsung yang bisa dilihat dan dirasakan oleh pelanggan, sperti keadaan gedung dan fasilitas.
(ii) Reliability, kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara handal dan akurat.
(iii) Responsiveness, kemauan dan daya tanggap untuk selalu siap membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat.
(iv) Assurance, jaminan pengetahuan dan kemampuan petugas, keamanan, kesopanan dan dapat dipercaya.
(v) Emphaty, perhatian secara pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan.
Kelima dimensi tersebut merupakan variabel mutu pelayanan untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan (pasien). Pengukuran dilakukan dengan cara membandingkan ekspektasi dan persepsi pasien atas kelima dimensi tersebut. Dengan demikian dapat diketahui dimensi-dimensi mana saja yang menimbulkan kepuasan maupun ketidakpuasan pasien dalam pelayanan. Informasi yang didapat juga digunakan untuk menentukan dimensi mana yang perlu dikoreksi untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang hendak dikaji adalah :
1. Bagaimanakah kualitas pelayanan kesehatan BLUD X menurut pasien Jamkesmas?
2. Aspek-aspek apa saja yang menyebabkan pasien merasa kualitas pelayanan BLUD X tidak memuaskan?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui persepsi pasien terhadap masing-masing determinan kualitas pelayanan (kelima dimensi SERVQUAL).
2. Mengetahui dimensi apa yang perlu segera diperbaiki oleh RSUD X untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dimensi-dimensi mana saja yang masih kurang dalam pemberian pelayanan kesehatan oleh RSUD X.
2. Menentukan langkah perbaikan yang diperlukan berdasarkan informasi gap yang diperoleh.

1.5 Sistematika Penulisan
Tesis ini akan tersusun dalam lima bab. Hal-hal yang akan diuraikan dalam masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab pertama menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, lingkup penelitian dan sistematika penyajian.
Bab II : Penilaian Kualitas Jasa (Pelayanan) : Tinjauan Literatur
Bab kedua berisi teori-teori yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.
Bab III : Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Meningkatkan Akses Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin
Bab ketiga berisi tentang berbagai kebijakan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap maskin. Dalam bab ini juga akan dipaparkan perihal perkembangan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD X.
Bab IV : Persepsi Pasien Jamkesmas Terhadap Pelayanan BLUD X
Bab keempat akan menguraikan analisa dan evaluasi data. Analisa tersebut mencakup pemberian skor berdasarkan kuisioner. Analisa juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan (gap) antara persepsi dan ekspektasi pasien.
Bab V : Penutup
Bab kelima berisi kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang diperlukan dalam upaya mengatasi gap yang terjadi. Dalam bab ini juga disebutkan mengenai keterbatasan studi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:56:00

PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENYUSUNAN RENCANA KERJA ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA DENGAN PENDEKATAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DI DEPARTEMEN KEUANGAN

1.1. Latar Belakang
Pada masa periode Hindia Belanda ketentuan-ketentuan yang terkait dengan Pengelolaan Keuangan Negara tentang pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara mengacu kepada Indische Comptabiliteits Wet (ICW) dan Regelen voor he Administratief Beheer (RAB). ICW lebih kurang merupakan ketentuan yang mengatur tentang tata pembukuan yang harus dilakukan oleh para pejabat yang melakukan pengurusan keuangan baik di tingkat Departemen Keuangan maupun di Departemen teknis, dan secara khusus mengatur kewenangan di sisi kebendaharaan. Pencatatan atau pembukuan yang didasarkan pada ketentuan ICW diharapkan akan mampu menghindari penggelapan/penipuan yang berhubungan dengan keuangan (financial fraud) yang mungkin dilakukan oleh para pejabat pada saat itu. Mengacu kepada perkembangan konsepsi pengelolaan keuangan yang baik, pada tahun 1933 ditetapkanlah RAB yang mengatur sebagian kewenangan pengelolaan keuangan, khususnya dibidang pengelolaan administratif yang ada ditangan para administrator atau yang lebih dikenal dengan kewenangan otorisasi dan ordonansering.

Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 membawa perubahan yang signifikan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu lahirnya lembaga politik, terutama lembaga Legislatif, sebagai kelengkapan sebuah negara dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Aspek pengelolaan keuangan negara mulai mendapat porsi sebagaimana diharapkan dalam setiap negara. Sejak saat itu, APBN merupakan kesepakatan antara dua pihak yaitu pihak Eksekutif dan Legislatif dalam sistem politik, yang pada hakekatnya merupakan rencana kerja pemerintah yang dimanifestasikan dalam bentuk angka/uang. Gagasan ini pun walau tidak secara rinci dinyatakan, dituangkan dalam UUD 45 Pasal 23 ayat (1).

Aspek pengelolaan keuangan negara sejak kemerdekaan mengalami suatu perubahan yang sangat mendasar, sedangkan aspek administratif yang terkait dengan pelaksanaan anggaran tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Konsep dasar pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara, khususnya pada pembagian kewenangan antara para pejabat pengelola anggaran dalam kelompok pengelolaan administratif terdiri dari kewenangan otorisasi dan kewenangan ordanansering, serta kewenangan pengelolaan kebendaharaan7 tetap dipertahankan. Berbagai ketentuan yang mengatur mengenai pengelolaan tersebut, seperti ICW, RAB dan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) yang mengatur tentang tugas dan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta ketentuan turunan lainnya dimungkinkan untuk digunakan melalui Aturan Peralihan UUD 45. Dalam konsep pembagian kewenangan yang dikembangkan, Departemen teknis hanya memiliki sebagian kewenangan pengelolaan administratif, yaitu kewenangan otorisasi, sedangkan Departemen Keuangan memegang kewenangan pengelolaan administratif lainnya yaitu kewenangan ordonansering, disamping juga memegang kewenangan pengelolaan kebendaharaan. Pembiasan terhadap konsep dasar yang tidak diikuti dengan perubahan ketentuan dasar selama ini telah menimbulkan ketidaksesuaian (mismatch) dalam implementasinya, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakkonsistenan berbagai ketentuan yang dikeluarkan kementerian keuangan dalam pengelolaan keuangan negara.

Konsekuensi dari Fenomena Global atau Global phenomenon sebagai akibat dari adanya tuntutan demokratisasi adalah mengedepankan pentingnya aspek transparansi dan akuntabilitas pada bidang pemerintahan dan politik, termasuk pula pada bidang pengelolaan keuangan negara. Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara yang dimotori oleh Komite Penyempurnaan Manajemen Keuangan (KPMK) Departemen Keuangan dimulai dengan meletakkan landasan hukum (legal basis) dalam bentuk Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara, yang pada hakekatnya melakukan pembenahan pada dua aspek pengelolaan keuangan negara sekaligus, yaitu aspek politis dan aspek administratif. Paket perundang-undang bidang Keuangan Negara mencakup Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan, Peraturan Pemerintah Nomor 20 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Peraturan Pemerintah Nomor 21 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

Pembenahan aspek pengelolaan keuangan negara, yang difokuskan pada pengaturan hubungan hukum antar lembaga Legislatif dan lembaga Eksekutif dalam penetapan UU APBN dituangkan dalam UU Nomor 17 tahun 2003 dan UU Nomor 15 tahun 2004 tersebut. Dalam UU Nomor 17 dimaksud antara lain memperjelas peran lembaga Legislatif maupun Eksekutif dalam penyusunan dan penetapan APBN menjadi UU, kejelasan peran tersebut merupakan suatu keharusan untuk dapat menjamin terselenggaranya transparansi di bidang penganggaran. Sementara itu pengaturan hubungan hukum antar instansi dalam lembaga Eksekutif dalam rangka pelaksanaan UU APBN yang merupakan aspek administratif pengelolaan keuangan negara dituangkan dalam UU Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.

Lahirnya berbagai Undang-undang dan peraturan tersebut telah menjadikan perubahan yang mendasar dalam sistem perencanaan dan penganggaran. Perubahan pertama diawali dengan pola pengelolaan keuangan negara yang sebelumnya menekankan pada Public Financial Administration (Pengadministrasian Keuangan Negara) menjadi Public Financial Management (Pengelolaan Keuangan Negara). Perubahan-perubahan yang terjadi pada pengelolaan keuangan negara adalah perubahan dalam hal perencanaan dan penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, termasuk akuntansi dan pelaporannya, serta sampai dengan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara oleh pemeriksa eksternal (BPK). Perubahan-perubahan tersebut didorong oleh beberapa faktor antara lain perubahan yang berlangsung begitu cepat di bidang politik, desentralisasi, dan berbagai tantangan pembangunan yang dihadapi pemerintah, yang membutuhkan dukungan sistem penganggaran yang lebih responsif, yang dapat memfasilitasi upaya memenuhi tuntutan peningkatan kinerja dalam artian dampak pembangunan, kualitas layanan efisiensi pemanfataan sumberdaya.

Secara umum Pemerintah Republik Indonesia melakukan reformasi dibidang penganggaran (Budget Reform) yang meliputi reformasi struktur penganggaran (Budget Structure Reform) dan reformasi proses penganggaran (Budget Process Reform). Reformasi struktur penganggaran dilakukan pemerintah dengan (a) merubah penggunaan penganggaran ganda (dual budgeting) dengan penganggaran terpadu (unified budgeting), (b) menyusun dan menetapkan anggaran yang ditegaskan dengan prinsip anggaran kinerja, serta (c) struktur anggaran sesuai dengan manual Statistik Keuangan Pemerintah atau Government Finance Statistics (GFS).

Perubahan dalam hal perencanaan dan penyusunan anggaran sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang dan peraturan terkait lainnya ditetapkan bahwa dalam rangka penyusunan rancangan APBN, dan khususnya yang terkait dengan penyusunan rancangan belanja kementerian negara/lembaga, seluruh Menteri atau Pimpinan lembaga dalam kabinet selaku pengguna anggaran atau pengguna barang menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tahun berikutnya. Rencana Kerja dan Anggaran yang disusun Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai dan disertai prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun, yang selanjutnya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, yang selanjutnya disebut RKA-KL adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu Kementerian Negara/Lembaga yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis Kementerian Negara/lembaga yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.

RKA-KL terdiri dari rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga dan anggaran yang diperlukan, didalam rencana kerja tersebut diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan, kegiatan, keluaran yang diharapkan, sedangkan dalam anggaran yang diperlukan dimaksud diuraikan biaya untuk masing-masing program dan kegiatan untuk tahun anggaran yang direncanakan yang dirinci menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan sasaran pendapatan Kementerian Negara /Lembaga yang bersangkutan. RKA-KL disusun dengan beberapa pendekatan yaitu Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah, Penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasis kinerja.

Pendekatan penganggaran terpadu diperlukan sebagai bagian dari reformasi keuangan, mengingat selama lebih dari 32 tahun Pemerintah telah menyelenggarakan anggaran yang terpisah antara pengeluaran Rutin dan Pengeluaran pembangunan atau dikenal dengan sistem "dual budget" untuk mendanai Belanja Pemerintah Pusat. Maksud dari pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas rutin pemerintahan dan kegiatan operasional pemerintah pusat, didalamnya meliputi (i) Belanja Pegawai, (ii) Belanja Barang, (iii) Pembayaran bunga atas utang dalam negeri dan utang luar negeri, (iv) Pembayaran subsidi dan (v) pengeluaran rutin lainnya.

Selanjutnya yang dimaksud dengan pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang dibebankan pada anggaran belanja pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan sasaran pembangunan nasional, baik sasaran fisik maupun non fisik, didalamnya terdapat jenis belanja (i) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah yang berasal dari dana dalam negeri dan luar negeri dalam bentuk pinjaman program dan (ii) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pinjaman proyek, yang pendanaannya bersumber dari luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek. Pemisahan ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan akan pentingnya pembangunan yang berkaitan dengan slogan pembangunan yang dicanangkan Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang.

Dual Budget pada awalnya digunakan pemerintah untuk memisahkan kegiatan yang bersifat konsumtif dengan kegiatan produktif, pemisahan ini sebenarnya akan memudahkan pemerintah dalam menyusun rencana pendanaan kedepan. Pemerintah berharap, pengeluaran-pengeluaran yang bersifat pembangunan dapat diprediksikan output dan outcome yang diperoleh sehingga sebagian dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan operasional, namun dalam pelaksanaannya prinsip dual budget mengalami distorsi yang pada akhirnya memunculkan peluang penyalagunaan keuangan negara. Kelemahan-kelemahan sistem dual budget adalah pertama, pemanfataan anggaran untuk pengeluaran rutin dengan anggaran untuk mendanai pengeluaran pembangunan sering tercampur, sehingga terjadi tumpang tindih atau duplikasi pembiayaan. Kedua, efek dari duplikasi pendanaan menyebabkan sulitnya mengukur kinerja kegiatan, terutama bila dikaitkan antara cost dan benefit nya atau input dengan output, sehingga tolok ukur kesuksesan suatu kegiatan tidak dapat ditetapkan secara aktual dan pasti. Ketiga, sulitnya menilai tingkat kesuksesan suatu kegiatan berdampak psikologis bagi penyelenggara negara, dimana muncul mainframe anggaran harus dihabiskan yang menyebabkan perilaku peyelenggara anggaran yang cenderung menghabiskan

anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang kurang prioritas. Keempat, sistem dual budget menyebabkan dualisme dalam menentukan perkiraan Mata Anggaran Keluaran (MAK). Hal ini dimungkinkan karena untuk satu jenis belanja dapat memiliki MAK yang masuk kriteria Pengeluaran Rutin dan juga MAK yang dalam kategori Pengeluaran Pembangunan. Kelima, Proyek yang mendapat dana dari Pengeluaran Pembangunan bersifat sementara namun secara entitas akuntansi diperlakukan sama seperti satuan kerja (satker). Keenam, dampak perlakuan dari perlakuan sebagaimana diuraikan pada point kelima, menyulitkan pemerintah untuk mencari keterkaitan antara output/outcome yang dicapai oleh proyek tersebut dengan penganggaran organisasi sehingga memungkinkan timbulnya inefisiensi pembiayaan kegiatan pemerintah. Ketujuh, dualisme atau perbedaan yang ada antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan dapat mengalihkan fokus dari kinerja secara keseluruhan.

Dalam sistem anggaran terpadu, Pemerintah tidak lagi memisahkan pendanaan kegiatan kedalam pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Keunggulan-keunggulan melalui sistem anggaran terpadu tersebut adalah pertama, pengintegrasian jenis pengeluaran rutin dan pembangunan, maka distorsi pembiayaan yang muncul pada sistem "dual budget" dapat dihindarkan. Kedua, dalam jangka panjang, dengan asumsi man behind the system nya memiliki performance dan berintegritas tinggi karena mendorong terciptanya transparansi penganggaran. Ketiga, penganggaran terpadu memudahkan penyusunan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Keempat, tujuan dan indikator kinerja Kementerian Negara/Lembaga dapat diperjelas. Kelima, dapat menghindarkan Pemerintah dalam mengalokasikan anggaran yang terbatas pada kegiatan atau proyek yang kurang bermanfaat dan tingkat prioritasnya rendah. Keenam, dalam menyusun perkiraan MAK, kasus dualisme seperti dalam sistem dual budget dapat dihindarkan. Ketujuh, sistem anggaran terpadu dengan medium term expenditure framework akan menjaga kesinambungan kegiatan yang tahun jamak (multi years). Kedelapan, Pengawasan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban, pengintegrasian anggaran rutin dan anggaran pembangunan akan menjadi mudah dilaksanakan dan lebih intens.

Pendekatan penganggaran terpadu harus diwujudkan terlebih dahulu karena merupakan unsur yang paling mendasar bagi pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran jangka menengah. Dengan adanya pendekatan penganggaran terpadu tersebut diharapkan dapat mewujudkan diantaranya yaitu satuan kerja sebagai satu-satunya entitas akuntansi yang bertanggung jawab terhadap aset dan kewajiban yang dimilikinya, alokasi dana untuk kegiatan dasar/operasional organisasi mendukung kegiatan penunjang dan prioritas dalam rangka pelaksanaan fungsi, program dan kegiatan satuan kerja yang bersangkutan, adanya akun standar untuk jenis belanja dipastikan tidak ada duplikasi penggunaannya, sehingga satu jenis belanja hanya untuk satu jenis pengeluaran tertentu. Berikut disampaikan diagram perubahan format penganggaran dual budget menjadi unified budget dalam Dokumen Anggaran (Budget Documents) sebagai berikut : 

Pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah perlu dilaksanakan pula dalam penganggaran, hal tersebut mengingat proses penganggaran selama ini dilaksanakan secara tahunan untuk menyusun kebutuhan anggaran bagi implementasi kebijakan selama satu tahun anggaran. Perspektif tahunan menyebabkan proses penganggaran hanya memberi fokus perhatian terhadap kebutuhan dana untuk implementasi kebijakan pada tahun yang bersangkutan, dan kurang atau hampir tidak memberi perhatian terhadap kebutuhan dana untuk mendukung kelanjutan rantai implementasi kebijakan tersebut di tahun-tahun berikutnya.

Perspektif tahunan mengandung beberapa kelemahan, pertama, penganggaran cenderung kurang disiplin dalam mengkaitkan alokasi anggaran dengan kebijakan. Biaya yang dibutuhkan pada tahun-tahun mendatang bagi kebijakan yang diputuskan sekarang sering tidak diketahui secara akurat, bahkan penetapan prioritas suatu kebijakan serta implikasi kegiatannya (assignment of priority to a certain policy and its implied activities) tidak secara eksplisit terkait dengan pemetaan dalam horison yang lebih panjang, yang sangat relevan bagi kebijakan dan kegiatan yang implementasinya membutuhkan lebih dari satu tahun anggaran (multi years activity). Perbedaan persepsi mengenai relevansi dan pentingnya suatu kebijakan yang disebabkan oleh perbedaan perspektif atau horison waktu berpotensi menyebabkan inefisiensi alokasi anggaran. Kedua, persepktif tahunan tidak bisa memberikan tingkat kepastian ketersediaan anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang pelaksanaannya membutuhkan lebih dari satu tahun anggaran. Ketidak pastian tersebut akan berpotensi menurunkan kinerja kebijakan dan kegiatan yang bersangkutan, dan berpotensi menimbulkan inefisiensi operasional (operational inefficiency). Ketiga, penganggaran tahunan secara teori memulai proses dari titik nol setiap awal siklus anggaran. Proses politik yang terjadi dalam penyusunan anggaran tahunan seperti ini bila dikombinasikan dengan ketidakpastian dukungan anggaran bagi kegiatan multi years, akan berpotensi mempengaruhi disiplin fiskal. Hal ini bisa terjadi karena persepsi mengenai terbatasnya dana bagi kebijakan-kebijakan baru tidak mengemuka karena pada dasarnya dana yang tersedia belum terikat sama sekali dengan komitmen untuk membiayai kebijakan yang telah diputuskan tahun-tahun sebelumnya dan yang masih perlu kelanjutan atas implementasinya.

Perkembangan di berbagai belahan dunia menunjukan bahwa pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah bekerja lebih efektif dalam memfasilitasi upaya menghubungkan kebijakan, perencanaan, dan penganggaran. Pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)/Medium Term Expenditure Framework (MTEF) adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.

Konsep KPJM merupakan strategi reformasi fiskal yang diterapkan oleh banyak lembaga multinasional, utamanya Bank Dunia, yang secara resmi menyakini bahwa akan meningkatkan disiplin fiskal, memperkuat dan mempertajam efektivitas alokasi anggaran dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas sebuah kebijakan. Berikut dapat diilustrasikan dalam diagram perubahan format penganggaran yang sebelumnya menggunakan perspektif tahunan menjadi perspektif jangka menengah dalam Dokumen Anggaran (Budget Documents) sebagai berikut : 

Selanjutnya pendekatan penganggaran berbasis kinerja merupakan penyusunan anggaran yang dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Indikator kinerja (performance indicator) dan sasaran (targets) merupakan bagian dari sistem penganggaran berbasis kinerja dalam rangka mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya dan memperkuat proses pengambilan keputusan.

Penerapan anggaran berdasarkan kinerja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pelaksanaan penyempurnaan lainnya dibidang manajemen keuangan, yang bertujuan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik serta efektifitas dari rencana kerja yang ditetapkan. Dalam penyempurnaan manajemen keuangan tersebut hal yang paling mendasar adalah adanya kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar bagi kementerian negara/lembaga dalam mengelola program dan kegiatan yang ada dalam lingkup kerjanya dimana penganggaran berdasarkan kinerja akan sangat membantu dalam penerapannya.

Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan sistem tradisional dimana anggaran disusun berdasarkan line item. Penganggaran berbasis kinerja pada dasarnya bertujuan meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan anggaran dengan menghubungkan antara beban kerja dan kegiatan terhadap biaya, dimana akan mendorong pengalokasian anggaran kepada program dan kegiatan yang lebih prioritas. Sistem ini terutama berusaha untuk menghubungkan antara keluaran (outputs) dengan hasil (outcomes) yang disertai dengan penekanan terhadap efektifitas dan efisiensi terhadap anggaran yang dialokasikan.

Dengan adanya pendekatan penganggaran berbasis kinerja tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu teridentifikasinya ouput dan outcome yang dihasilkan dari setiap program (aktivitas) dan pelayanan yang dilakukan, diketahuinya dengan jelas target tingkat pencapaian output dan outcome, terkaitnya biaya atau input yang dikorbankan dengan hasil yang diinginkan dan proses perencanaan strategis yang sebelumnya dilakukan, diketahuinya urutan prioritas untuk setiap jenis pengeluaran yang dilakukan oleh unit kerja, setiap unitnya atau satuan kerja dapat diminta pertanggungjawaban atas hasil yang dicapainya.

Dalam pengamatan pendahuluan terhadap pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja, dan untuk mendukung memperoleh gambaran awal mengenai pelaksanaan kebijakan tersebut, telah dilakukan wawancara pendahuluan kepada anggota tim perancang salah satu paket perundang-undangan, seperti yang diungkapan oleh Tim Kelompok Kerja penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Kerja dan Anggaran Instansi Pemerintah, yang melalui ketua Tim Kelompok Kerja tersebut diungkapkan bahwa : 

"Sebetulnya lampiran yang digunakan pada PP 21/2004 kami sadari betul sebagai langkah antara (untuk mengisi masa transisi) dalam rangka penyusunan RAPBN TA 2005, oleh karena itu masih kental penggunaan sistem lama (input based budgeting). Pada saat penyusunan RPP sebetulnya diharapkan akan dilakukan penyempurnaan secara bertahap dan diharapkan pada TA 2008 sudah menggunakan sistem yang sesuai dengan amanat UU No. 17/2003 dan PP 21/2004. Sayang ternyata sampai sekarang belum ada perubahan yang berarti terhadap lampiran-lampiran dan petunjuk teknisnya."

sementara itu oleh anggota sekretariat tim juga diungkapkan hal sebagai berikut :
”pemisahan secara jelas dan tegas antara perencanaan dan penganggaran sebagaimana dimaksudkan dalam ide awal pengaturan melalui peraturan pemerintah tersebut tidak terlaksana dalam pelaksanaannya, hal tersebut terlihat bahwa masih adanya pemisahan anggaran dimana sampai dengan saat ini dikenal istilah belanja mengikat dan belanja tidak mengikat24 yang mengakibatkan penerapan unified budget menjadi sia-sia, dan secara tidak langsung sulit mengukur serta menghubungkan/mengkaitkan penganggaran dan kinerja yang dilakukan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga."

Sementara itu juga dilakukan pengamatan pendahuluan kepada pihak sebagai pelaksana kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga itu sendiri seperti yang diungkapkan oleh kepala bagian penganggaran Biro Perencanaan dan Keuangan, Departemen Keuangan, yang berkewenangan terhadap perencanaan penganggaran semua unit organisasi di lingkungan Departemen Keuangan, dalam wawancara pendahuluan dikatakan sebagai berikut : 

"harapannya tentunya semuanya ingin baik-baik saja (maksudnya mengenai pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja), namun harus kembali kepada teorinya, dimana penganggaran berbasis kinerja penekanannya kepada output bahkan lebih jauh kepada outcomes baru dananya mengikuti, hal ini tidak sederhana mengingat keterbatasan anggaran sehingga perlu adanya penyesuaian-penyesuaian target. Pendefinisian pengukuran dan formulasi kinerja tidak secara jelas diatur, dan lebih jauh pengukuran hasilnya pun (outcomes) juga tidak jelas karena variabelnya begitu luas sehingga model penganggaran berbasis kinerja pun menjadi tidak jelas. Hambatan kelembagaan antara Bappenas sebagai perencana (planning) dan Direkorat Jenderal Anggaran sebagai penganggaran (budgeting) masih menjadi kendala, masing-masing masih mempunyai kewenangan daerah abu-abu (grey area) sehingga saling tumpang tindih. Untuk itu diperlukan pembentukan suatu tim kerja yang betul-betul concern terhadap penganggaran berbasis kinerja, mandiri (independent) serta mampu menggerakan secara nasional semua kementerian negara/lembaga, agar maksud dari kebijakan tersebut dapat terlaksana sesuai dengan yang diinginkan."

Berdasarkan pengamatan dan wawancara pendahuluan serta uraian-uraian diatas, kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan anggaran terpadu dan pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) telah dapat diterapkan dan dilaksanakan secara bertahap (meskipun masih menyisakan beberapa permasalahan), selanjutnya pelaksanaan kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) sebagaimana diamanatkan dalam UU nomor 17 tahun 2003 dan PP nomor 21 tahun 2004 tersebut sampai dengan saat ini telah dikembangkan format penganggaran sebagai hasil dari kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan penganggaran berbasis kinerja, dimana sebagai percontohan (piloting) telah dikembangkan untuk 6 (enam) Kementerian Negara/Lembaga yaitu Departemen Keuangan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan dan Bappenas, dikatakan piloting karena format penganggaran yang dihasilkan dari kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan penganggaran berbasis kinerja tersebut bukan merupakan dokumen anggaran sebagai dokumen pelaksanaan anggaran melainkan hanya bersifat sebagai percontohan. Format penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja yang dikembangkan di masing-masing 6 (enam) Kementerian Negara/Lembaga tersebut diatas berbeda satu dengan yang lainnya karena dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsinya. Khusus untuk format penganggaran yang dikembangkan di Departemen Keuangan adalah mengembangkan format yang telah mengakomodasi keterkaitan yang erat antara output kegiatan dan sasaran program serta kepastian penanggungjawab keberhasilan sebuah program.
Format penganggaran dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja sebagai suatu hasil dari pelaksanaan kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga atau 'piloting’ yang dikembangkan untuk Departemen Keuangan tersebut menarik untuk dilakukan pengamatan dan pengkajian mulai dari awal penganggaran sampai dengan penerapannya, dan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai anggaran berbasis kinerja itu sendiri dengan membandingkannya teori performance budgeting dan kaitannya dengan negara-negara di dunia yang telah berhasil menerapkan dan mengaplikasikan performance based budgeting dalam sistem pengelolaan keuangan di negaranya.

1.2. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, pertanyaan yang muncul dan menjadi fokus perhatian adalah "Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja di Departemen Keuangan?".

1.3. Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan pertanyaan penelitian sebagaimana disebutkan diatas, maka tujuan penelitian adalah mendeskripsikan dan menganalisa pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja di Departemen Keuangan.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat mengungkapkan dan menganalisa hambatan atau kendala dalam pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga melalui pendekatan penganggaran berbasis kinerja dengan mencoba menghubungkan dengan teori dan konsep-konsep yang ada, yang selanjutnya diharapkan di masa mendatang dapat menjadi acuan atau bahkan menjadi inspirasi kajian yang lebih mendalam dan lebih mendetil.
Penelitian yang dilakukan juga diharapkan dapat memunculkan beberapa saran ataupun rekomendasi yang dapat dipertimbangkan oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia khususnya kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk menuju penganggaran yang sehat, dapat dipercaya (credible) dan berkelanjutan (sustainable).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:54:00

PERSEPSI KARYAWAN MENGENAI PENGARUH SISTEM INFORMASI MANAJEMEN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PIMPINAN DI PDAM

PERSEPSI KARYAWAN MENGENAI PENGARUH SISTEM INFORMASI MANAJEMEN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PIMPINAN DI PDAM

A. Latar Belakang Penelitian
Pengambilan keputusan merupakan fungsi utama dari seorang pimpinan, mulai dari level bawah sampai level atas dalam suatu organisasi posisi pengambilan keputusan tersebut sangat menentukan akan berhasil atau tidaknya suatu organisasi. Hal ini disebabkan keputusan yang telah dibuat akan mengikat seluruh komponen dalam organisasi untuk melaksanakan keputusan tersebut. Keputusan merupakan permulaan dari semua tindakan manusia yang sadar dan terarah, baik secara individu atau kelompok. Barang siapa yang menghendaki adanya tindakan tertentu, ia harus mampu dan berani mengambil keputusan yang bersangkutan dengan hal tersebut secara cepat dan tepat. Kecepatan dan ketepatan setiap tindakan yang diambil sangat menentukan terhadap mutu keputusan yang diambilnya dan kemungkinan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Kebutuhan akan proses pengambilan keputusan secara cepat dan tepat dalam organisasi nampaknya tidak bisa diabaikan, mengingat persaingan yang semakin ketat. Hal ini cukup bisa disadari karena suatu organisasi yang tidak bisa mewujudkan kemajuan bagi dirinya sendiri, maka lambat laun dia akan tenggelam dalam ketatnya persaingan.

Salah satu ledakan yang paling dirasakan kuatnya dewasa ini adalah ledakan informasi. Ledakan tersebut timbulnya sebagai akibat dari pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Jika proporsi ledakan informasi itu terus meningkat maka kiranya dapat dibuat suatu asumsi bahwa di masa-masa yang akan datang pengaruh dan peranan informasi dalam suatu organisasi akan semakin terasa pula.

Sesungguhnya pentingnya informasi bagi pimpinan organisasi bukanlah merupakan hal yang baru. Sejak adanya manusia yang hidup berorganisasi, sejak saat itu pulalah informasi telah selalu diperlukan oleh pimpinan organisasi untuk membantu melakukan tugas-tugasnya selaku pimpinan organisasi.

Proses pengambilan keputusan tidak akan berjalan dengan baik tanpa ketersediaan informasi. Informasi adalah sumber daya yang vital bagi sebuah organisasi. Tanpa kehadiran informasi, sulit untuk menghasilkan keputusan yang baik. Bahkan kelalaian organisasi dalam mengatur arus informasi secara akurat, efektif dan efisien akan menghambat kegiatan operasional yang pada akhirnya tujuan organisasi tidak dapat tercapai dengan maksimal.

Kecepatan penyajian informasi dan akses data merupakan salah satu media pendukung suatu organisasi untuk memenangkan persaingan. Karenanya, perancangan dan pengembangan suatu sistem informasi yang tepat dan optimal yang dapat membantu organisasi dalam melakukan pengambilan keputusan secara baik sangat diperlukan.

Sistem Informasi Manajemen dipandang sebagai suatu total sistem dengan mana pimpinan organisasi akan mengetahui apakah unit-unit organisasi bekerja sebagaimana diharapkan. Akan tetapi, lebih penting lagi daripada itu, Sistem Informasi Manajemen akan memungkinkan pimpinan organisasi merencanakan ke arah mana organisasi hendak dibawa. Tegasnya suatu Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang baik adalah sistem yang berorientasi ke masa depan.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) adalah sebuah perusahaan daerah yang bergerak di dalam bidang usaha, yaitu menyediakan air minum yang memadai bagi kepentingan umum, menghasilkan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan, serta berpartisipasi aktif dalam menunjang pelaksanaan program pemerintah di bidang sektor ekonomi dan pembangunan. Tujuannya adalah seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota X No. 7/PD/1974 yaitu untuk mewujudkan dan meningkatkan pelayanan umum dalam wilayah Kotamadya X, kemudian dengan masuknya pengelolaan air kotor sebagai tugas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), maka tujuannya tidak hanya pelayanan dalam bidang air bersih saja tetapi juga termasuk pelayanan terhadap sarana air kotor dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menyangkut aspek sosial, kesehatan dan pelayanan umum.

Berdasarkan pengamatan awal penulis, di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X terutama di Bagian Pengolahan Data dan Hubungan Langganan, pimpinan masih mendapat kesulitan dalam mengambil keputusan karena banyaknya keluhan masyarakat yang masuk serta masalah yang belum diatasi dengan segera sehingga terjadi keterlambatan dalam penyelesaian masalah.

Adapun jenis keluhan yang diadukan kepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X diantaranya adalah Golongan tarif, tidak ada air, kebocoran pipa persil atau pipa dinas, meteran air (mati, kotor, hilang, segel putus, kaca pecah), tidak ada penagihan, tidak ada pencatatan meter, tunggakan rekening, pembuangan air kotor dan kualitas air.

Hal ini terlihat dari rekapitulasi data selama satu periode tahun 2007 yang di dapat penulis dari seksi pengaduan Bagian Hubungan Langganan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X. 

Berdasarkan rekapitulasi pengaduan tahun 2007 menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan jumlah pengaduan. Jumlah pengaduan yang paling tinggi adalah pada bulan Mei yaitu sebanyak 2.004 dan yang terselesaikan yaitu sebanyak 1.855 pengaduan. Dari rekapitulasi pengaduan tahun 2007 pengduan yang telah diselesaikan adalah 92,35 % atau sebanyak 16.624 pengaduan dan yang belum terselesaikan adalah sebanyak 7,65 % atau sebanyak 1377 pengaduan. Dengan jumlah pengaduan yang relatif tinggi ini menunjukkan bahwa penyelesaian masalah di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X rendah sehingga mengakibatkan banyaknya pengaduan yang belum diselesaikan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Syarif Hidayat (Kepala Seksi Pengaduan) yang penulis temui pada tanggal 8 April 2008 mengatakan bahwa: "Masih terdapat pelanggan yang mengadukan lebih dari dua kali sehingga pada bulan berikutnya pelanggan tersebut akan mengadukan permasalahan yang sama". Berdasarkan permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa masih rendahnya prosentase penyelesaian masalah di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X.

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) memiliki tugas untuk mewujudkan dan meningkatkan pelayanan umum dan memenuhi kebutuhan air minum di wilayah Kota X. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) berusaha memberikan pelayanan yang optimal bagi pelanggannya dengan cara meningkatkan kualitas pelayanannya. Menurut Bapak Drs. Syarif Hidayat (Kepala Seksi Pengaduan) yang penulis temui pada tanggal 8 April 2008 menyatakan bahwa "Peningkatan kualitas pelayanan tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan sistem informasinya baik dari segi hardware, software, dan brainwarenya"
Menurut Moekijat (2000: 102), "Pengembangan suatu sistem informasi manajemen merupakan keharusan mutlak apabila pimpinan organisasi ingin melakukan tugas-tugas kepemimpinannya dengan efektif" Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi akan dapat membantu pimpinan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dengan cara yang lebih ampuh daripada keampuhan yang dimiliki sebelumnya. Dengan Sistem Informasi Manajemen memungkinkan pimpinan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan sebelumnya.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X diketahui sudah menggunakan Sistem Informasi Manajemen, namun pada pelaksanaannya penyediaan informasi dengan menggunakan Sistem Informasi Manajemen tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Drs. Syarif Hidayat (Kepala Seksi Pengaduan) yang penulis temui pada tanggal 8 April 2008 mengatakan bahwa: "Kendala atau masalah yang dihadapi di PDAM Kota X ini antara lain keterlambatan dalam penyediaan informasi yang dibutuhkan, serta sarana dan prasarana penunjang seperti jumlah komputer yang kurang memadai". Jika Fenomena ini (pengaduan dan keluhan) tidak segera ditanggulangi dan jika keterlambatan dalam penyediaan informasi yang dibutuhkan terus berlanjut dikhawatirkan akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap PDAM Kota X yang tidak mencerminkan bahwa PDAM Kota X itu adalah sebuah perusahaan yang berorientasi kepada pelayanan publik.

Bertitik tolak dari uraian di atas, penulis merasa tertarik unuk mengangkat permasalahan tersebut dalam suatu penellitian dengan judul "Persepsi Karyawan mengenai Pengaruh Sistem Informasi Manajemen terhadap Pengambilan Keputusan Pimpinan".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka penulis menyederhanakan permasalahan dan memperjelas arah penelitian sesuai dengan judul yang telah dikemukakan di atas. Maka dapat dipaparkan rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran Sistem Informasi Manajemen pada Bagian Pengolahan Data dan Hubungan Langganan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X?
2. Bagaimana Proses Pengambilan Keputusan Pimpinan pada Bagian Pengolahan Data dan Hubungan Langganan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X?
3. Seberapa besar pengaruh Sistem Informasi Manajemen terhadap Pengambilan Keputusan Pimpinan pada Bagian Pengolahan Data dan Hubungan Langganan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang akan digunakan dalam penulisan skripsi sebagai salah satu syarat menempuh ujian tingkat Sarjana Strata 1 pada program Manajemen Perkantoran pada Universitas X.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui gambaran tentang Sistem Informasi Manajemen yang diterapkan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X khususnya pada bagian pengolahan data dan hubungan langganan.
2. Mengetahui gambaran Pengambilan Keputusan yang dilakukan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X khususnya Bagian Pengolahan Data dan Hubungan Langganan.
3. Mengetahui adakah Pengaruh Sistem Informasi manajemen terhadap Pengambilan Keputusan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X.

D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu manajemen khususnya sistem informasi manajemen. Sehingga dapat memberikan warna baru bagi ilmu tersebut.
2. Secara praktis, diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi dan masukan bagi Perusahaan Daerah Air Minum Kota X mengenai bagaimana pelaksanaan sistem informasi manajemen dengan pengambilan keputusan pimpinan, sehingga pengambilan keputusan dapat berjalan dengan baik.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:57:00