Cari Kategori

PENGARUH ARAHAN PENDIDIKAN OLEH KELUARGA DAN KOMPETENSI GURU THD PEMBENTUKAN KARAKTER (CHARACTER BUILDING) SISWA

PENGARUH ARAHAN PENDIDIKAN OLEH KELUARGA DAN KOMPETENSI GURU THD PEMBENTUKAN KARAKTER (CHARACTER BUILDING) SISWA

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa. Peningkatan taraf hidup, status sosial dan martabat manusia dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Hal ini sangat mungkin karena salah satu fungsi pendidikan adalah proses memanusiakan manusia dalam rangka mewujudkan budayanya. Ishomuddin (1996 : 11) menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fithrah. Fithrah dalam al-Qur'an pada dasarnya memiliki arti kesiapan manusia untuk menerima kondisi yang ada di sekelilingnya dan mampu menghadapi tantangan serta dapat mempertahankan dirinya untuk survive dan berkembang selaras dengan al-Qur'an dan al-Sunnah.

Naquib Al-Attas (dalam Wan Muh Noor Wan Dawud, 2003 : 163) menegaskan bahwa secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama lebih berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik. Pandangan kedua lebih berorientasi kepada pembentukan individu. Pandangan ini menganggap bahwa pendidikan sangat efektif dalam rangka membentuk pribadi seutuhnya pada setiap peserta didik.

Secara spesifik, pendidikan Islam mengharuskan terjadinya proses intemalisasi nilai ketuhanan (ilahiah) pada diri manusia secara bertahap sesuai tugas perkembangannya. Pada tujuan inilah semestinya akan terbentuk kepribadian manusia yang utuh secara lahir dan batin, yang menampakkan corak wataknya dalam amal perbuatan dan tingkah laku. Ini adalah suatu pola kehidupan ideal yang hendak dibentuk melalui proses pendidikan yang islami.

Dengan demikian, baik secara mikro maupun makro posisi pendidikan Islam menduduki tempat yang sangat strategis dalam membentuk kepribadian individu yang pada akhirnya akan memberi warna pada karakter suatu bangsa.

Namun demikian cita-cita mulia yang terkandung pada setiap konsep pendidikan di negeri ini ternyata masih belum mampu menunjukkan hasil yang membanggakan. Dalam kajian nasional tentang mutu pendidikan di Indonesia masih didapatkan data yang menunjukkan bahwa mutu pendidikan di negeri ini belum mampu memenuhi target yang diinginkan. Banyak indikator yang mengarah pada kesimpulan tersebut.

Situs www.salimow.com merilis sebuah deskripsi kuantitatif berupa laporan UNDP (United Nations Development Programme) pada lima tahun terakhir tentang posisi Indonesia dalam aspek Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia yang masih mengkhawatirkan. Pada tahun 2005, dari 177 negara yang diteliti, Indonesia berada di peringkat 100. Posisi ini masih jauh apabila dibandingkan dengan negara Malaysia (urutan 61) dan Thailand (urutan 73).

Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2006, Indonesia berada di posisi 108, setingkat dengan negara Vietnam yang berada di posisi 109. Pada pencapaian ini Indonesia berada di level menengah. Sedangkan pada saat itu negara-negara berkembang lainnya sudah berada di level atas. Singapura di peringkat 25, Brunei di peringkat 34 dan Malaysia di peringkat 61.

Kondisi yang hampir sama terjadi pada tahun 2007, pada tahun tersebut berdasarkan laporan UNDP yang dikeluarkan tanggal 27 Nopember 2007, Indonesia masih di peringkat 108. Hasil penelitian ini kemudian menempatkan usia harapan hidup bangsa Indonesia di peringkat 100, tingkat pemahaman aksara (melek huruj) orang dewasa di posisi 56 dan tingkat pendaftaran pada sekolah lanjutan di posisi 100.

Kondisi tersebut di atas setidaknya merupakan gambaran nyata tentang kualitas dan daya saing sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Apabila salah satu tujuan pendidikan yang disepakati adalah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, artinya deskripsi tersebut men-visual-kan sebuah keadaan yang bertolak belakang dari harapan yang diinginkan.

Pada skala mikro mutu pendidikan di Indonesia juga selalu dipertanyakan. Dengan jumlah sekolah yang sedemikian besar ternyata tidak sebanding dengan keberhasilan dalam membentuk moral dan karakter bangsa. Fakta yang ada akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan merebaknya dekadensi moral di segenap lapisan masyarakat. Kemajuan sains-teknologi yang diharapkan mampu membawa keberkahan, ternyata membawa efek negatif yang sukar dikendalikan. Anak-anak muda yang seharusnya menjadi aset umat di masa depan, secara mencolok terseret berbagai gaya hidup hedonis-materialistik yang dikampanyekan lewat piranti-piranti canggih. Nilai-nilai religius dan etis yang dianut generasi terdahulu, pelan-pelan diremehkan, untuk kemudian dilupakan samasekali. Dan harus diakui bahwa hal itu merupakan salah satu akibat penerapan sistem pendidikan yang salah.

Keberadaan lembaga pendidikan yang sebenarnya sangat strategis dalam membentuk sumber daya manusia, dewasa ini cendemng berorientasi pada materi. Pekerjaan mendidik anak bangsa yang demikian mulia menjadi ternodai oleh penerapan sistem yang salah, yaitu cendemng materialistik. Sistem tersebut sesungguhnya terbukti telah gagal melahirkan manusia sholih yang sekaligus mampu menguasai iptek dan mandiri. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama.

Pengajaran yang berorientasi pada nilai-nilai agama sangat tidak berimbang bila dibandingkan dengan muatan pendidikan ilmu-ilmu umum. Kalaupun ada hanyalah etika (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Proses pembelajaran hanya sebatas transfer ilmu pengetahuan saja. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan agar tumbuh menjadi manusia yang ideal menumt pandangan agama, justm kurang tergarap secara serius.

Banyak hal yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi. Terlalu dini apabila justifikasi kegagalan tersebut hanya ditujukan pada aspek tertentu saja. Secara mendasar barang kali perlu dikaji tentang kurikulum yang disajikan, sistem yang digunakan, visi dan misi tentang pendidikan, lingkungan asal anak didik dan tentunya sumber daya tenaga pengajarnya.

Sebagai agama yang sempurna, Islam memberikan konsep yang utuh tentang tatanan ideal proses pendidikan. Abdurrahman An-Nahlawi (2004 : 19) menyatakan, sistem pendidikan dalam Islam amat sempurna mencakup sumber, landasan, metode, sarana, sejarah hingga persoalan yang kerap melanda manusia.

Ajaran Islam menempatkan keluarga pada tempat yang utama dalam proses transfer nilai-nilai asasi dalam hidup. Pusat aktivitas sehari-hari segenap anggotanya, tempat pemenuhan perlindungan dan kasih sayang, tempat penguatan jati diri dan penghargaan, dan proses pembiasaaan dan tauladan bagi segenap anggotanya. Uraian tadi mengungkap betapa dalam keluarga banyak tanggung jawab dan peran yang harus dijalankan

Orang tua secara syar'i yang harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Bukan orang lain. Karena tugas tersebut dibebankan oleh Allah kepada setiap orang tua. Sehingga setiap orang tua wajib menyadari bahwa dirinya berfungsi sebagai pendidik bagi diri mereka sendiri dan bagi anak-anak yang menjadi tanggung jawab mereka.

Menurut Al-Ghazali (dalam Zainuddin, 1991 : 88), tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak muncul karena 2 (dua) alasan, yaitu :
1. Anak lahir dalam keadaan bersih, suci dan sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa anak lahir dalam keadaan tidak berdaya dan belum dapat berbuat apa-apa sehingga sangat menggantungkan kepada orang lain yang lebih dewasa. Orang tua adalah tempat menggantungkan diri dan tempat berlindung anak secara wajar berdasarkan atas adanya hubungan keduanya sebagai anak dan orang tua.
2. Kelahiran anak di dunia ini merupakan akibat langsung dari perbuatan kedua orang tuanya. Oleh karena itu orang tua sebagai orang yang telah dewasa harus menanggung segala resiko yang timbul akibat perbuatannya, yaitu bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan anaknya sebagai amanat Tuhan yang wajib dilaksanakan.
Banyak hal yang diasumsikan mampu membentuk karakter seorang anak. Dari pandangan umum difahami bahwa tanggung jawab pendidikan berada pada diri orang tua. Dengan demikian perlu terus diadakan penelitian seberapa besar pengaruh orang tua dalam membentuk karakter siswa.

Dalam kajian tentang peran keluarga dalam membentuk karakter siswa, Islam memandang bahwa tanggung jawab pendidikan pada awalnya sesungguhnya berada di pundak orang tua. Allah membebankan tanggung jawab tersebut seiring dengan besarnya peranan do'a yang diberikan oleh anak kepada orang tua ketika sudah meninggal.

Selain orang tua, yang perlu disoroti dalam kaitannya dengan proses pembelajaran di lembaga pendidikan adalah sumber daya manusia, khususnya guru. Guru dalam sebuah lembaga pendidikan merupakan ujung tombak bagi tercapainya tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, penempatan seorang gum dalam kelas tidak bisa dilakukan dengan main-main.

Dalam hubungan ini Mohamad Athiyah al-Abrasyi (dalam Abuddin Nata, 2001 : 112) mengatakan bahwa seorang gum harus bersifat zuhud, berpenampilan bersih lahir batin, ikhlas dalam bekerja, pemaaf, berkepribadian sebagai bapak, dan mengetahui tabiat murid. Dalam hubungan ini Abuddin Nata (2001 : 112) juga mengutip pendapat Crow and Crow yang mengatakan bahwa seorang pendidik harus memiliki sepuluh ciri sebagai berikut : (1) memiliki perhatian dan kesenangan pada subjek didik; (2) memiliki kecakapan dalam merangsang subjek didik untuk belajar dan mendorong berpikir; (3) berpenampilan simpatik; (4) bersikap jujur dan adil terhadap para siswanya; (5) dapat menyesuaikan diri dan memperhatikan pendapat orang lain; (6) menampakkan kegembiraan dan antusiasme; (7) luas perhatiannya; (8) adil dalam tindakan; (9) menguasai diri; (10) menguasai ilmu yang diajarkannya.

Menumt perspektif keagamaan, secara khusus seorang gum agama harus pula memiliki sifat-sifat sebagai berikut : (1) senantiasa menyayangi murid-muridnya; (2) mau memberi nasihat; (3) bertujuan ibadah dalam mengajar; (4) lemah lembut; (5) tidak merendahkan pelajaran lain; (6) menyesuaikan dengan kemampuan muridnya; (7) mengamalkan ilmu yang diajarkannya; (8) mendorong para murid agar berpikir; (9) mengajarkan ilmu dimulai dari yang rendah; (10) bersikap adil terhadap semua murid.

Dengan menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada siswa, dapat menyampaikan dan mengaj arkan ilmu pengetahuan tersebut secara efektif dan efisien serta memiliki budi pekerti dan kepribadian yang luhur dan sifat-sifat lainnya sebagaimana disebutkan di atas, maka seorag guru dapat dikatakan sebagai petugas profesional.

Asumsi bahwa orang tua dan guru mampu membentuk karakter siswa berlaku pada setiap sekolah. Di lingkungan SMP X, cerminan pribadi siswa dalam bentuk tampilan lahiriah, misalnya cara berpakaian, beribadah, berorganisasi, kepemimpinan, pergaulan dengan lawan jenis, sikap terhadap orang tua, guru dan teman dan sebagainya untuk sementara dapat dijadikan sebagai tolok ukur karakter yang sudah terbentuk.

Penampilan (performance) lahiriah para siswa SMP X diukur berdasarkan pengamatan dan penilaian yang dilakukan oleh para guru, pengasuh, karyawan, maupun antarteman. Hasil penilaian tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah laporan perkembangan prestasi belajar (raport) setiap individu yang berisi kumpulan hasil evaluasi secara menyeluruh pada setiap aspek perkembangan termasuk kepribadian siswa, dan disampaikan kepada siswa dan orang tua pada setiap akhir semester.

Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana signifikansi peranan pendidikan yang telah diupayakan oleh keluarga dan kompetensi yang dimiliki guru dalam membentuk karakter (character building) siswa di SMP X.

Penelitian ini dilakukan dalam konteks manajemen pendidikan Islam. Sehingga diharapkan hasilnya nanti bermanfaat sebagai referensi bagi para praktisi dan pengelelola lembaga pendidikan Islam, khususnya pada aspek manajemen. Meski tidak mengkaji secara menyeluruh tentang manajemen pendidikan sebagai sebuah kerangka ilmu pengetahuan, penelitian ini mengkaji secara lebih detail bagian-bagian penting yang ada dalam proses pengelolaan dan pengembangan sebuah lembaga pendidikan.

Minimal ada 3 (tiga) bagian penting dari konsep manajemen sekolah yang dikaji dalam penelitian ini. Pertama, konteks manajemen kesiswaan. Dalam hal ini penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangan tentang pentingnya memberi perhatian terkait pembentukan karakter siswa. Kedua, manajemen sumber daya manusia dalam pendidikan, yaitu identifikasi tentang posisi penting seorang guru dalam proses pembentukan karakter siswa. Ketiga, manajemen hubungan masyarakat dalam pendidikan. Dalam hal ini berhubungan dengan keniscayaan sekolah menjalin kerja sama dengan para orang tua untuk bersama-sama membimbing dan mengembangkan karakter anaknya.

B. Rumusan Masalah
Penelitian ini berangkat dari konsep bahwa pendidikan yang dikelola secara profesional dengan memperhatikan setiap aspek yang berhubungan dengan pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Adakah pengaruh positif signifikan arahan pendidikan oleh keluarga terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?
2. Adakah pengaruh positif signifikan kompetensi guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?
3. Seberapa besar pengaruh arahan pendidikan oleh keluarga dan kompetensi guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis :
1. Pengaruh arahan pendidikan yang telah diberikan oleh keluarga terhadap pembentukan karakter siswa SMP X.
2. Pengaruh kompetensi kepribadian guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X.
3. Seberapa besar pengaruh arahan pendidikan yang telah diberikan oleh keluarga dan kompetensi guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan proses pendidikan, antara lain :
1. Bagi para guru, penelitian ini diharapkan memberi gambaran bagaimana pentingnya menempatkan diri sebagai seorang pendidik yang mampu memberi teladan dalam rangka memaksimalkan setiap potensi yang dimiliki para siswanya.
2. Bagi orang tua, penelitian ini menyajikan sebuah kajian mendalam dan bermanfaat tentang arti penting keluarga, khususnya kedua orang tua yang bagi perkembangan kepribadian seorang anak.
3. Bagi para praktisi dan pengelola lembaga pendidikan, penelitian ini setidaknya dapat dijadikan sebagai referensi untuk mengembangkan manajemen lembaganya masing-masing
4. Bagi para peneliti, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi untuk melakukan penelitian di tempat lain.
5. Khusus bagi pengelola SMP X, hasil yang tersajikan dalam penelitian ini nantinya merupakan kondisi nyata yang ada pada lembaga bersangkutan. Sehingga diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan pengelolaan lembaga ke depan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:37:00

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK USIA TK MELALUI METODE BERNYANYI HURUF DAN KATA

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK USIA TK MELALUI METODE BERNYANYI HURUF DAN KATA

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia, khususnya Taman Kanak-kanak telah diselenggarakan sejak lama, yaitu sejak awal kemerdekaan Indonesia. Pada jenjang ini, anak usia empat - lima atau enam tahun mendapat tempat untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya dalam berbagai bentuk kegiatan belajar sambil bermain. Bentuk kegiatan ini diwujudkan dalam berbagai ekspresi diri secara kreatif (Jamaris, 2005 : 3). Masa usia Taman Kanak-kanak (TK) mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga sering disebut masa keemasan (Golden Age) dalam perkembangan kehidupan anak.

Masa-masa emas inilah merupakan masa pendidikan bagi anak, sebagaimana tertulis dalam pasal 1 Butir 14 Undang -Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa :

Pendidikan Anak Usia Dini merupakan suatu upaya yang ditujukan kepada anak sejak lahir hingga usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan untuk memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut.

Solehuddin (1997 : 2-3), memandang bahwa pentingnya pendidikan prasekolah tidak perlu diragukan lagi. Baik para ahli maupun masyarakat umum lazimnya sudah mengakui akan betapa esensialnya pendidikan bagi anak usia prasekolah. Pedulinya para ahli pendidikan dan masyarakat terhadap pendidikan prasekolah adalah sesuatu yang berdasar. Berikut ini merupakan alasan utama yang mendukung kepedulian mereka terhadap pentingnya pendidikan prasekolah, yaitu :

1. Dilihat dari kedudukan usia prasekolah bagi perkembangan anak selanjutnya. Sejak lama banyak ahli yang memandang usia prasekolah atau balita sebagai fase yang sangat fundamental bagi perkembangan individu. Freud (Santrock & Yussen, 1992) misalnya, memandang usia balita sebagai masa terbentuknya kepribadian dasar individu. Santrock & Yussen (1992) juga menganggap usia prasekolah sebagai masa yang penuh dengan kejadian-kejadian penting dan unik (a highly eventful and unique period of life) yang meletakkan dasar bagi kehidupan seseorang di masa dewasa.

2. Mendukung pandangan para ahli tersebut, temuan Sperry, Hubel, dan Wiesel (Witdarmono, 1996) menjelaskan bahwa perkembangan potensi untuk masing-masing aspek memiliki keterbatasan waktu yang sebagian besar diantaranya terjadi pada masa usia dini. Batas kesempatan untuk perkembangan bahasa sampai sepuluh tahun, untuk matematika adalah sampai empat tahun, dan untuk musik 3-10 tahun.

3. Lebih lanjut, penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa konstruksi jaringan otak ternyata hanya akan hidup bila diprogramkan melalui berbagai rangsangan. Tanpa dirangsang atau dipergunakan, otak manusia tidak akan berkembang. Karena pertumbuhan otak memiliki keterbatasan waktu, maka rangsangan otak di usia dini ini menjadi sangat penting. Penundaan yang terjadi akan membuat otak itu tetap tertutup sehingga tidak dapat menerima program-program baru.

Ebbeck dalam (Masitoh, 2004 : 2.11) mengemukakan bahwa :
Anak mulai berkembang pesat pada usia 3-6 tahun, dimana pada usia tersebut anak mengalami masa pertumbuhan yang paling hebat sekaligus paling sibuk, memiliki keterampilan dan kemampuan walaupun belum sempurna atau disebut juga fase fundamental yang akan menentukan kehidupan anak dimasa yang akan datang.

Untuk meningkatkan kemampuan anak sesuai dengan tugas dan perkembangan anak seperti yang dikemukakan oleh Havigurst dalam (Riyanto Handoko, 2004 : IX) adalah belajar berbicara dan belajar mempersiapkan diri untuk membaca. Kemampuan-kemampuan akademik dasar di atas dapat dikembangkan dengan cara-cara yang tidak memaksa, bahkan sebaliknya dapat menyenangkan anak. Cara tersebut dapat diperoleh melalui bernyanyi, bermain dan bercerita.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dipaparkan, maka guru TK dan orangtua perlu mencermati aspek-aspek kepribadian yang ada dalam perkembangan anak, diantaranya aspek bahasa, aspek kecerdasan, aspek motorik, aspek sosial, dan aspek emosi (Kamtini & Tanjung, 2005). Kelima aspek tersebut dapat mempengaruhi pemikiran anak, dan ini sangat bergantung pada kemampuan setiap individu. Oleh karena itu, anak perlu mendapatkan stimulasi yang baik dan tepat untuk mengoptimalkan aspek-aspek perkembangannya.

Salah satu kegiatan yang dapat menstimulasi otak anak dengan baik adalah membaca. Membaca bukan sekedar bisa mengucapkan apa yang dibaca, tetapi juga perlu diperhatikan apakah anak mengerti apa yang dibaca. Membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia. Selain itu, fungsi paling penting dalam hidup dan dapat dikatakan bahwa semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Semakin muda usia anak ketika dia belajar membaca, maka semakin mudah untuk lancar membaca. Mengenal kalimat dapat mempengaruhi perkembangan bahasa dan pemikiran anak, dan ini sangat tergantung pada kemampuan setiap individu (Olivia & Ariani, 2009 : xii).

Membaca dapat dikatakan kemampuan awal yang dilewati anak dalam proses menguasai keterampilan membaca secara menyeluruh. Membaca biasa dilakukan atau didapatkan oleh anak Taman Kanak-kanak yaitu sekitar 4-6 tahun. Anak-anak yang memperoleh keterampilan membaca akan lebih mudah menyerap informasi dan pengetahuan pada waktu-waktu selanjutnya dalam kehidupan anak itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Durkin dalam Dhieni (2007 : 5.3) yang menyatakan bahwa "tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah diajar membaca sebelum masuk sekolah dasar pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-anak yang belum pernah memperoleh membaca dini."

Kemudian Steinberg dalam Dhieni (2007 : 5.3) berpendapat serupa mengenai keuntungan mengajarkan anak membaca dini, yaitu :
a. Belajar membaca akan memenuhi rasa keingintahuan anak.
b. Situasi akrab dan informal di dalam rumah atau di sekolah (TK) merupakan faktor yang kondusif bagi anak untuk belajar.
c. Anak-anak yang berusia dini pada umumnya sangat perasa dan mudah terkesan serta mudah diatur.
d. Anak-anak yang berusia dini dapat mempelajari sesuatu dengan mudah dan cepat.
Membaca dini adalah kemampuan membaca anak dalam merangkaikan huruf menjadi kata yang bermakna serta melancarkan teknik membaca pada anak-anak (Purwanto dalam Muthiani, 2007 : 7).
Ada 5 prinsip dalam pokok pengajaran membaca, yaitu :
a. Materi bacaan harus terdiri dari kata-kata, frosa dan kalimat.
b. Membaca, terutama harus didasarkan pada kemampuan memahami bahasan lisan dan bukan kemampuan berbicara.
c. Membaca bukan mengajarkan aspek-aspek bahasa atau konsep-konsep (tata bahasa).
d. Membaca tidak harus bergantung kepada pengajaran menulis.
e. Mengajarkan membaca harus menyenangkan bagi anak.

Melihat dan menimbang 5 prinsip membaca dini yang dikemukakan di atas, maka pembelajaran membaca pada anak Taman Kanak-kanak berbeda dengan pembelajaran membaca pada tingkat sekolah dasar. Pada anak Taman Kanak-kanak belum ditekankan pada aspek tata bahasa dan prosesnya melalui kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna.

Membaca pada dasarnya adalah kegiatan memaknai pesan yang tertuang dalam sebuah tulisan. Lebih jauh lagi membaca dapat dijabarkan sebagai keterampilan bahasa tulis yang bersifat represif juga mempakan kegiatan mengenali humf dan kata-kata, menghubungkannya dengan bunyi, maknanya dan menarik kesimpulan mengenai maksud bacaan (Dhieni, 2007 : 5, 5)

Membaca adalah kegiatan yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dengan membaca kita memperoleh berbagai macam ilmu pengetahuan. Semakin banyak ilmu yang didapat semakin luas pula wawasannya. Agar anak memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya, orangtua harus menemukan minat baca pada anak sedini mungkin. Dalam menumbuhkan minat baca anak sejak dini diperlukan metode yang baik agar hasil yang diperoleh memuaskan. Metode ini harus sesuai dengan kondisi anak, yaitu usia dan kemampuan anak.

Seperti diketahui masih banyak guru TK yang kurang memperhatikan kemampuan dan keterampilan dasar belajar membaca anak, sehingga dalam pelaksanaannya tidak optimal dengan menggunakan beberapa metode yang biasa digunakan di TK, seperti bercerita, pemberian tugas, praktek langsung, tanya jawab, deklamasi, peragaan, karyawisata, demonstrasi dan bermain peran. Rifa'at (Tantranurandi, 2008 : 24) mengungkapkan bahwa metode belajar yang digunakan seorang guru harus sesuai dengan kebutuhan belajar siswanya. Satibi (2005) pun berpendapat bahwa metode bernyanyi ialah suatu metode yang melakukan pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan gembira melalui ungkapan kata dan nada.

Mengacu pada beberapa metode yang telah diuraikan di atas, salah satu metode yang sangat erat kaitannya dengan anak yaitu metode bernyanyi. Ruswandi (2004) berpendapat bahwa bernyanyi bagi anak mempakan kegiatan yang menggunakan instmmen suara yang dapat menambah wawasannya mengenai hal-hal yang belum ia ketahui. Anak-anak akan banyak memperoleh kata-kata baru sehingga dapat memperkaya perbendaharaan kata mereka dan lebih terampil dalam menggunakannya.

Anak usia TK pada umumnya senang bernyanyi atau diajak bernyanyi, bahkan kegiatan awal anak masuk TK pun banyak dilakukan menyanyi bersama-sama, maka akan sangat tepat bila dalam mengembangkan kemampuan membaca dini anak menggunakan metode bernyanyi huruf dan kata.

Berpijak dari uraian tadi, seyogyanya mengajarkan nyanyian pada anak bukan sekedar menambah perbendaharaan lagu, lebih dari itu membantu anak untuk mengembangkan bahasanya, meletakkan dasar untuk perkembangan anak selanjutnya khusunya pada kemampuan membaca dini. Dengan demikian, memilih nyanyian yang tepat dan bermakna bagi anak adalah sangat penting.

Sebagaimana Masitoh (2004), mengatakan bahwa dengan bernyanyi akan menambah perbendaharaan kata anak melalui kata-kata dari nyanyian anak. Suhartono (2005), mengatakan :
Untuk mengembangkan bahasa anak dapat diawali dengan melakukan pengenalan bunyi-bunyi bahasa, mulai dari bunyi bahasa yang mudah diucapkan dilanjutkan ke bunyi bahasa yang sulit. Pengenalan dapat dilakukan secara bertahap dari peniruan bunyi vokal, dilanjutkan dengan peniruan bunyi konsonan.

Beberapa kemampuan-kemampuan mendasar yang dapat ditingkatkan melalui nyanyian/musik ialah kemampuan mendengar, kemampuan meragakan dan kemampuan beraktifitas. Kemampuan mendengar tumbuh melalui ungkapan pikiran atau pesan nyanyian melalui nada. Kemampuan meragakan berkembang melalui kegiatan bernyanyi dan bermain musik. Kemampuan kreatif muncul melalui ekspresi nyanyian dengan gerak, permainan musik yang sifatnya kreatif.

Melihat dari fenomena yang terjadi di lapangan khususnya di Kelompok A TK X, proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan membaca anak kurang variatif dan menyenangkan sehingga anak terlihat kurang merespon, karena dalam meningkatkan kemampuan membaca anak lebih menggunakan metode membaca langsung. Kondisi seperti ini dirasakan kurang menyenangkan, karena anak usia TK pada umumnya senang bernyanyi dan diajak bernyanyi.

Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan kemampuan membaca dini anak usia Taman Kanak-kanak melalui metode bernyanyi huruf dan kata. Untuk itu dalam penelitian ini penulis mengajukan judul "Peningkatan Kemampuan Membaca Dini Anak Usia Taman Kanak-Kanak Melalui Bernyanyi Metode Huruf dan Kata ."

B. Rumusan Masalah
Permasalahan utama dalam penelitian ini difokuskan pada pembahasan "Apakah metode bernyanyi huruf dan kata dapat meningkatkan kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X ?". Permasalahan tersebut diuraikan ke dalam bentuk rincian pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X sebelum menggunakan metode bernyanyi huruf dan kata ?
2. Bagaimana kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X setelah menggunakan metode bernyanyi huruf dan kata ?
3. Apakah metode bernyanyi huruf dan kata dapat meningkatkan kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X ?".

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai Peningkatan kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X melalui metode bernyanyi huruf dan kata. Adapun secara lebih khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai Peningkatan kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X melalui metode bernyanyi huruf dan kata..
2. Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X sebelum menggunakan metode bernyanyi huruf dan kata.
b. Untuk mengetahui kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X setelah menggunakan metode bernyanyi huruf dan kata.
c. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X melalui metode bernyanyi huruf dan kata.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada berbagai pihak, diantaranya :
1. Manfaat Teoretis
Bagi bidang keilmuan pendidikan anak usia dini, dapat memberikan sumbangan ilmiah untuk meningkatkan kemampuan berbahasa terutama dalam kemampuan membaca dini anak melalui penggunaan metode bernyanyi huruf dan kata.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini memberikan pengalaman dan wawasan pribadi dalam mengembangkan program pengembangan bahasa khususnya kemampuan membaca dini anak usia Taman Kanak-kanak melalui penggunaan metode bernyanyi huruf dan kata.
b. Bagi orang tua
Hasil temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para orangtua bahwa menyanyi bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca dini anak.
c. Bagi guru dan pihak sekolah
Para guru dan pihak sekolah dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk mengoptimalkan kegiatan menyanyi dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca dini anak.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:23:00

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG ANAK MELALUI KEGIATAN BERMAIN ALAT MUSIK PERKUSI (PGTK)

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG ANAK MELALUI KEGIATAN BERMAIN ALAT MUSIK PERKUSI (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Usia prasekolah merupakan masa peka untuk menerima rangsangan baik fisik maupun psikis. Pada masa ini, anak perlu diberikan rangsangan yang tepat sesuai dengan tahapan usianya, sehingga aspek perkembangannya dapat berkembang secara optimal. Salah satu aspek perkembangan anak prasekolah yang akan dikaji disini adalah aspek perkembangan kognitif. Menurut Dariyo (2007 : 92) : 
Seorang individu tentu menggunakan kemampuan kognitif untuk memecahkan suatu masalah dalam hidupnya, seperti berpikir, merenung, berkonsentrasi, mengingat, mempertimbangkan suatu keputusan, merupakan jenis-jenis aktivitas yang melibatkan kapasitas kognitif untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan diri secara optimal.
Hakikat dari pembelajaran anak prasekolah khususnya RA (Raudlatul Athfal) adalah untuk menstimulasi seluruh aspek perkembangan anak agar berkembang secara optimal sesuai dengan tahapan usianya. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya kegiatan pembelajaran matematika untuk anak, sebaiknya tidak hanya menstimulasi kemampuan logika matematika saja, tetapi harus dapat menstimulasi bidang pengembangan lain. Menurut Sriningsih (2008 : 25) "kegiatan pembelajaran matematika terpadu dapat menstimulasi potensi-potensi lain di luar potensi kecerdasan logika-matematika."
Kemampuan anak untuk berpikir abstrak masih belum sempurna dan akan terus berkembang seiring dengan tingkat usianya, begitu juga dengan kemampuan berhitungnya. Oleh karena itu, tahapan pembelajaran matematika hendaknya disesuaikan dengan tahapan perkembangan kognitif anak.
Berhitung bagi anak diharapkan tidak hanya berkaitan dengan kemampuan kognitif saja, tetapi juga kesiapan mental, sosial dan emosional. Oleh karena itu pembelajaran matematika di RA bukan berarti anak harus pintar berhitung sebagai sarat masuk SD, tetapi lebih kepada untuk menstimulasi kemampuan berpikir anak, agar anak siap untuk belajar matematika dan tidak asing lagi dengan pembelajaran matematika di tahap selanjutnya.
Praktek-praktek pembelajaran matematika untuk anak prasekolah sudah sering kita lihat pelaksanaannya di berbagai lembaga pendidikan anak prasekolah baik itu jalur formal maupun non formal. Di dalam kurikulum istilah-istilah tersebut sering kita sebut sebagai bidang pengembangan kognitif, daya pikir, atau ada juga yang menyebutnya sebagai pengembangan kecerdasan logika-matematika. Menurut Piaget, Lorton (Cruikshank, 1980 : 23) "ada tiga tahapan pemahaman anak terhadap konsep matematika, yaitu pemahaman konsep (intuitive concept level), masa transisi (connecting), dan tingkat lambang (symbolic level)." Tahap pertama, pemahaman anak terhadap konsep matematika dapat dibangun anak melalui benda-benda kongkrit yang digunakan pada saat bermain. Tahap ke dua, setelah anak memahami konsep, baru anak dikenalkan dengan lambang konsep yang sesuai dengan benda-benda tersebut. Tahap ke tiga, anak dikenalkan dengan berbagai lambang yang ada di dalam matematika.
Dewasa ini sebagaimana dapat kita saksikan bersama tuntutan berbagai pihak agar anak menguasai konsep dan keterampilan matematika semakin gencar, hal ini didorong beberapa lembaga pendidikan anak usia dini untuk mengajarkan pengetahuan matematika secara sporadis dan radikal. 
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan penulis di RA X mengenai proses pembelajaran matematika khususnya aspek kemampuan berhitung anak, pada pelaksanaannya guru menggunakan berbagai cara, baik secara klasikal, individu, melalui olah raga dan bernyanyi. Media yang digunakan guru untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak secara klasikal diantaranya, gambar lambang bilangan dari satu sampai sepuluh yang sudah ditempel di dinding kelas, papan panel, dan bentuk angka-angka.
Capaian perkembangan yang diambil untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak di kelompok A RA X adalah menghitung banyak benda dari 1 sampai 10, menyebutkan urutan bilangan dari 1-10, menunjuk 2 kumpulan benda yang lebih banyak dan lebih sedikit, menghubungkan atau memasangkan lambang bilangan dengan benda.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, dengan melihat catatan perkembangan anak, wawancara yang dilakukan terhadap guru, serta dokumentasi aktivitas anak pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung, maka dapat terlihat bahwa tujuan dari peningkatan kemampuan berhitung melalui metode atau media yang digunakan belum mencapai hasil perkembangan yang diharapkan. Pertama, untuk indikator menghitung banyak benda dari 1 sampai 10, kategori anak berkembang baik ada 12 orang, untuk anak yang berada pada tahap dalam proses ada 3 orang, untuk anak yang perlu stimulus ada 1 orang. Ke dua, untuk indikator menyebutkan urutan bilangan dari 1-10 anak berada pada tahap berkembang dengan baik ada 11 anak, tahap dalam proses 3 orang, perlu stimulus 1 orang. Ke tiga untuk indikator menunjuk 2 kumpulan benda yang lebih banyak, anak berada pada kategori berkembang dengan baik ada 12 orang, dalam proses ada 1 orang. Ke empat, untuk indikator menunjuk 2 kumpulan benda yang lebih sedikit kategori anak berkembang baik ada 12, dan tahap dalam proses 1 orang. Ke lima, untuk indikator menghubungkan atau memasangkan lambang bilangan dengan benda dari 1-10, anak berada pada kategori berkembang baik ada 5 orang, sedangkan dalam proses ada 9 orang dan perlu stimulus 1 orang.
Guru merasa perlu untuk merencanakan kegiatan dan merancang media yang dapat membantu meningkatkan kemampuan berhitung anak, dengan media tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak, juga dapat mengembangkan aspek perkembangan lain di luar kemampuan berhitungnya.
Di RA pembelajaran seni pada umumnya meliputi seni rupa, seni musik dan seni tari. Seni musik merupakan pembelajaran yang selalu diterapkan dalam proses belajar mengajar di RA, seperti bernyanyi. Bermain alat musik merupakan bagian dari pembelajaran seni musik.
Pembelajaran matematika untuk anak RA pada prakteknya membutuhkan suatu media kongkrit untuk membantu pemahaman konsep dasar matematikanya. Media yang akan digunakan untuk menunjang pembelajaran berhitung bagi anak di dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan media alat musik perkusi. Melalui alat musik perkusi ini diharapkan anak dapat mengembangkan kemampuan berhitungnya dan aspek-aspek perkembangan lain di luar kemampuan berhitungnya.
Memainkan alat musik ternyata lebih banyak manfaatnya bagi anak daripada hanya mendengarkannya saja. Menurut Sheppard (2007 : 96-129) selain dapat membantu membuka kemampuan koordinasi tingkat lanjut, alat musik juga dapat membantu memfokuskan perhatian, mengembangkan pemahaman secara abstrak, dan berpengaruh terhadap daya ingat, dan yang lebih penting lagi alat musik dapat memberikan wadah bagi anak untuk mengekspresikan diri dengan percaya diri.
Permainan yang melibatkan aktifitas fisik akan membantu anak untuk meningkatkan kemampuan motoriknya, selain dapat melatih motorik, memainkan alat musik juga akan melatih rasa percaya diri anak untuk tampil di depan orang lain. Bermain musik juga memberikan pengalaman langsung tentang gampang tidaknya memainkan alat musik, dan bisa mengembangkan minat anak untuk mendalaminya.
Bermain merupakan cara bagi anak untuk belajar dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Bermain musik juga sangat menyenangkan bagi anak, karena dengan bermain musik anak merasa rileks dan bersemangat. Lynn C.C. Siba (2007) mengemukakan pendapatnya tentang pengaruh musik terhadap tubuh manusia sebagai berikut.
Musik dapat merangsang gelombang otak, dengan pukulan/beat yang cepat akan membuat otak terjaga, siaga dan tajam. Sebaliknya, musik yang lambat, menenangkan otak dan membuat relaks. Musik juga mempengaruhi sistem saraf otonom yang dapat memperlambat pernafasan dan detak jantung, sehingga membawa badan ke keadaan relaks. Dengan badan dan jiwa raga yang relax, perasaan tertekan dan depresi akan berkurang.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka penelitian ini akan memfokuskan kepada kajian tentang "MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG ANAK USIA DINI MELALUI KEGIATAN BERMAIN ALAT MUSIK PERKUSI."

B. Rumusan Masalah
kegiatan bermain alat musik perkusi dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak" permasalahan tersebut dijabarkan ke dalam sub pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimana gambaran kemampuan berhitung anak kelompok A di RA X ?
2. Bagaimana implementasi bermain alat musik perkusi untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak RA X ?
3. Bagaimana kemampuan berhitung anak kelompok A di RA X sesudah mengikuti kegiatan bermain alat musik perkusi ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran bagaimana bermain alat musik perkusi dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak RA X. Adapun secara lebih khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 
1. Mengetahui gambaran kemampuan berhitung anak kelompok A di RA X.
2. Mengetahui implementasi kegiatan bermain alat musik perkusi untuk mengembangkan kemampuan berhitung anak RA X.
3. Mengetahui gambaran kemampuan berhitung anak kelompok A di RA X setelah menggunakan alat musik perkusi.

D. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak di RA X, melalui kegiatan bermain alat musik perkusi.

E. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab pertama menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua memaparkan tentang landasan teoritis mengenai konsep kemampuan berhitung dan bermain alat musik perkusi anak RA. Landasan teoritis ini didapat dari uraian teori-teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan masalah
Bab ketiga berisi tentang penjabaran lebih rinci tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian kelas. Semua prosedur serta tahap-tahap penelitian mulai dari persiapan hingga penelitian berakhir.
Bab keempat merupakan bagian analisis pembahasan mengenai hasil temuan peneliti di lapangan. Pada bab ini penulis mencoba mengungkap bagaimana kemampuan berhitung anak dapat meningkat melalui kegiatan bermain alat musik perkusi.
Bab kelima memaparkan penafsiran atau pemaknaan peneliti berupa kesimpulan terhadap semua hasil penelitian yang diperoleh dan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian. Rekomendasi yang dibuat akan bermanfaat bagi peneliti berikutnya, yang berminat untuk melakukan penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:46:00

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan Kabupaten X sebagai salah satu bagian upaya pembangunan kesehatan nasional diarahkan untuk mencapai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititik beratkan pada upaya penyembuhan penderita secara berangsur-angsur telah berkembang ke arah upaya kesehatan promotif dan preventif (Profil Kesehatan Kabupaten X Tahun 2007)
Dalam mewujudkan cita-cita di bidang kesehatan Pemerintah Kabupaten X telah meletakkan visi pembangunan kesehatan X Sehat 2010. Makna dari visi tersebut mengandung harapan terhadap masyarakat Kabupaten X pada tahun 2010 hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya yang sejajar dengan kawasan maju di sekitarnya (Profil Kesehatan Kabupaten X Tahun 2007).
Untuk mewujudkan visi tersebut, ditetapkan empat misi utama pembangunan kesehatan Kabupaten X yaitu : 
1. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang prima, merata dan terjangkau.
2. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya.
4. Menggerakkan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
Pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Kabupaten X membangun rumah sakit umum daerah (RSUD) dengan sarana dan prasarana cukup memadai dengan tujuan untuk memenuhi sarana kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan untuk mewujudkan Visi kesehatan Kabupaten X. Pada tahun 2003, rumah sakit tersebut mulai operasional, dan pada tahun 2004 Pemerintah Daerah Kabupaten X menetapkan Rumah Sakit X dengan status Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dengan nama RSUD Kabupaten X
Rumah sakit memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Paradigma baru pelayanan kesehatan mensyaratkan rumah sakit memberikan pelayanan berkualitas sesuai kebutuhan dan keinginan pasien dengan tetap mengacu pada kode etik profesi dan medis. Dalam perkembangan teknologi yang pesat dan persaingan yang semakin ketat, maka rumah sakit dituntut untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanannya.
Kualitas merupakan inti kelangsungan hidup sebuah lembaga. Gerakan revolusi mutu melalui pendekatan manajemen mutu terpadu menjadi tuntutan yang tidak boleh diabaikan jika suatu lembaga ingin hidup dan berkembang, Persaingan yang semakin ketat akhir-akhir ini menuntut sebuah lembaga penyedia jasa/layanan untuk selalu memanjakan pelanggan/konsumen dengan memberikan pelayanan terbaik. Para konsumen akan mencari produk berupa barang atau jasa dari perusahaan yang dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepadanya (Assauri, 2003 : 25).
Masalah utama sebagai sebuah lembaga jasa pelayanan kesehatan adalah semakin banyaknya pesaing. Oleh karena itu, rumah sakit dituntut untuk selalu menjaga kepercayaan konsumen dengan meningkatkan kualitas pelayanan agar kepuasan konsumennya meningkat. Pihak rumah sakit perlu secara cermat menentukan kebutuhan konsumen sebagai upaya untuk memenuhi keinginan dan meningkatkan kepuasan atas pelayanan yang diberikan (John, J., 1992; 57).
Memberikan pelayanan dengan kualitas terbaik, bukanlah sesuatu yang mudah bagi pengelola rumah sakit karena pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit menyangkut kualitas hidup para pasiennya sehingga bila terjadi kesalahan dalam tindakan medis dapat berdampak buruk bagi pasien. Dampak tersebut dapat berupa sakit pasien bertambah parah, kecacatan bahkan kematian (Jacobalis, S. 1995; 68).
Rumah Sakit sebagai bagian dari sistem kesehatan nasional dituntut untuk meningkatkan kualitas penyediaan fasilitas, pelayanan dan kemandirian. Dengan demikian rumah sakit merupakan salah satu pelaku pelayanan kesehatan yang kompetitif harus dikelola oleh pelaku yang mempunyai jiwa wirausaha yang mampu menciptakan efisiensi, keunggulan dalam kualitas dan pelayanan, keunggulan dalam inovasi serta unggul dalam merespon kebutuhan pasien (Jacobalis, S. 1995; 77).
Dalam menerima dan melayani pasien rawat inap sebagai konsumen dengan berbagai karakteristik, rumah sakit harus melengkapi diri supaya senantiasa mendengarkan suara konsumen, dan memiliki kemampuan memberikan respon terhadap setiap keinginan, harapan konsumen dan tuntutan pengguna jasa sarana pelayanan kesehatan. Hal ini erat berhubungan dengan tenaga kesehatan yang senantiasa mendampingi dan melayani pasien sebagai konsumennya. Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Waworuntu (1997 : 19) bahwa : 
Seseorang yang profesional dalam dunia administrasi negara menguasai kebutuhan masyarakat dan mengetahui cara memuaskan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat perlu dipuaskan melalui pemenuhan kebutuhannya. Sehingga masyarakat merasa sebagai seorang raja, maka harus dilayani dengan baik.
Faktor manusia sebagai pemberi pelayanan terhadap publik dalam organisasi dianggap sangat menentukan dalam menghasilkan pelayanan yang berkualitas. Menurut Thoha (2002 : 181) "kualitas pelayanan kepada masyarakat sangat tergantung pada individual aktor dan sistem yang dipakai". Dokter, perawat, dan tenaga penunjang medis serta nonmedis yang bertugas di rumah sakit harus memahami cara melayani konsumennya dengan baik terutama kepada pasien dan keluarga pasien, karena pasien dan keluarga pasien adalah konsumen utama di rumah sakit.
Kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pasien dapat diukur dari tingkat kepuasan pasien. Pada umumnya pasien yang merasa tidak puas akan mengajukan komplain pada pihak rumah sakit. Komplain yang tidak segera ditangani akan mengakibatkan menurunnya kepuasan pasien terhadap kapabilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut Kepuasan konsumen telah menjadi konsep sentral dalam wacana bisnis dan manajemen. Konsumen umumnya mengharapkan produk berupa barang atau jasa yang dikonsumsi dapat diterima dan dinikmatinya dengan pelayanan yang baik atau memuaskan (Assauri, 2003 : 28). Kepuasan konsumen dapat membentuk persepsi dan selanjutnya dapat memposisikan produk perusahaan di mata konsumennya.
Dalam hubungannya dengan kepuasan konsumen/pasien dan kualitas pelayanan RSUD Kabupaten X, masyarakat Kabupaten X beberapa kali menyampaikan keluhan terhadap pelayanan RSUD Kabupaten X melalui media masa lokal, khususnya terhadap kualitas pelayanan rawat inap kelas III. Keluhan atas pelayanan rumah sakit juga disampaikan melalui kotak saran yang ada di RSUD Kabupaten X. Hal demikian memberikan indikasi bahwa RSUD Kabupaten X yang dibangun dengan sarana dan prasarana cukup memadai belum mampu memberikan pelayanan yang sesuai harapan, keinginan dan tuntutan dari masyarakat sebagai konsumen
Bertitik tolak dari uraian di atas, perlu adanya penelitian berkaitan dengan kajian ilmu administrasi publik terhadap kualitas pelayanan rawat inap Kelas III di RSUD Kabupaten. Adapun judul yang ditetapkan dalam penelitian ini yang sesuai dengan hal tersebut di atas adalah Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap kepuasan Pasien rawat inap Kelas III di RSUD Kabupaten X.

B. Perumusan Masalah
Di dalam penelitian, masalah dapat didefinisikan sebagai pertanyaan-pertanyaan yang akan dicari jawabannya melalui kegiatan penelitian. Dari fenomena yang telah diuraikan pada latar belakang penelitian dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 
1. Sejauh mana pengaruh kualitas pelayanan terhadap tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X ?
2. Sejauh mana kualitas pelayanan dan tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X ?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk : 
1. Mengkaji dan menganalisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X.
2. Mengkaji dan menganalisis kualitas pelayanan dan tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X.
3. Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat akademik : penelitian ini diharapkan dapat memperkuat teori-teori yang mengenai kualitas pelayanan, kepuasan pasien, dan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan pasien serta dapat dimanfaatkan untuk penelitian selanjutnya, khususnya di bidang yang sesuai.
2. Manfaat praktis : hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah khususnya bagi RSUD Kabupaten X, berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan rawat inap kelas III yang diberikan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:41:00

STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDIKATOR KELUARGA SADAR GIZI

STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDIKATOR KELUARGA SADAR GIZI (KADARZI) DI KELURAHAN X (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memiliki anak yang sehat dan cerdas adalah dambaan setiap orang tua. Untuk mewujudkannya tentu saja orangtua harus selalu memperhatikan, mengawasi, dan merawat anak secara seksama, khususnya memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya. Meskipun proses tumbuh kembang anak berlangsung secara alamiah, proses tersebut sangat bergantung kepada orang dewasa atau orangtua. Masa lima tahun pertama (masa balita) adalah periode penting dalam tumbuh kembang anak dan merupakan masa yang akan menentukan pertumbuhan fisik, psikis maupun intelengensinya (Sulistijadi dkk, 2001).
Menurut Depkes (2005) dapat disimpulkan bahwa balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya kekurangan gizi. Kurang gizi pada masa balita dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Kekurangan gizi juga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan, keterlambatan perkembangan otak, dan dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan terhadap penyakit infeksi.
Berdasarkan pendapat Berg A (1986) dapat disimpulkan gizi kurang dapat mengakibatkan terpengaruhnya perkembangan mental, perkembangan jasmani, produktivitas. Anak-anak yang gizi buruk memiliki otak yang lebih kecil dari ukuran rata-rata otak. Jumlah sel-sel otak anak-anak yang gizi buruk 15-20 persen lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak yang cukup makan. Anak yang pernah satu kali terkena gizi kurang, akan kurang berkemampuan dalam tes mental di belakang hari dibandingkan dengan anak yang gizi baik, dan anak yang gizi kurang menjadi terbelakang, sampai ia tidak sanggup lagi menyesuaikan diri dengan situasi sekolah.
Menurut laporan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) tahun 2006 jumlah balita gizi buruk di Indonesia berjumlah 2,3 juta jiwa, kasus gizi buruk meningkat sekitar 500.000 jiwa dibandingkan dengan data tahun 2004/2005 sejumlah 1,8 juta jiwa. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke 111 untuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) dari 177 negara yang dinilai. Angka ini jauh lebih rendah dari pada Malaysia (59), Thailand (76), atau Filipina (73). Rendahnya HDI mencerminkan bahwa tingkat pendidikan, kesehatan, dan pendapatan per Kapita penduduk Indonesia masih rendah, Masalah ini sangat erat kaitannya dengan keadaan gizi penduduk.
Menurut pendapat (Panji; 2004, UNICEF; 2006 dan Ikayana; 2008) dapat disimpulkan pada tahun 2000 diperkirakan ada 25% anak Indonesia mengalami gizi kurang, 7% diantaranya gizi buruk, sekitar 50% ibu hamil menderita anemia gizi, sementara itu masih terdapat kecamatan endemik berat meskipun prevalensinya sudah dapat diturunkan menjadi 9,8%. Pada tahun 2003 lima juta balita (27,5%) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2%) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3%) sisanya mengalami gizi buruk. Pada tahun 2004 dari 17.983.244 balita di Indonesia 5.119.935 (28,47%) balita termasuk gizi kurang dan buruk. Pada tahun 2006 kasus gizi kurang menjadi 4,2 juta (944.246 diantaranya kasus gizi buruk) dan pada tahun 2007 kasus gizi buruk berkurang menjadi 4,1 juta (755.397 diantaranya kasus gizi buruk).
Wilayah kerja Puskesmas X meliputi lima kelurahan. Berdasarkan data yang diperoleh dari operasi timbang Puskesmas (Desember 2008) diketahui Kelurahan Y merupakan kelurahan yang banyak terdapat kasus gizi buruk yaitu dari 1.742 balita yang ditimbang terdapat 36 balita gizi buruk dan 187 balita gizi kurang, di kelurahan Paya Pasir dari 708 balita di timbang terdapat 56 balita gizi kurang dan 11 balita gizi buruk, di kelurahan Rengas Pulau dari 1.240 balita yang ditimbang terdapat 37 balita gizi kurang dan 7 balita gizi buruk, di kelurahan X dari 738 balita yang ditimbang terdapat 54 balita gizi kurang dan 6 balita gizi buruk (Puskesmas X, 2008).
Masalah gizi berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia yang sangat diperlukan dalam pembangunan, maka tujuan jangka panjang program perbaikan gizi diarahkan untuk tercapainya keadaan gizi yang optimal bagi seluruh penduduk yang dicerminkan dengan semakin meningkatnya jumlah keluarga yang berperilaku gizi seimbang. Keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalah cerminan keluarga gizi yang mendukung terciptanya keadaan gizi yang optimal anggota keluarganya (Panji, 2004)
Tahun 1998 telah dicanangkan Program Kadarzi yang dimotori oleh Depkes. Kadarzi merupakan sasaran program perbaikan gizi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah gizi. Dengan adanya program keluarga sadar gizi diharapkan dapat menurunkan prevalensi gizi kurang setinggi-tingginya 20% (Dinkes, 2005)
Menurut Depkes (2007) untuk mengatasi masalah gizi salah satunya adalah melalui keluarga sadar gizi (Kadarzi). Keluarga sadar gizi merupakan keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi di tingkat kelurahan atau rumah tangga melalui : Memantau berat badan secara teratur, makan beraneka ragam, mengkonsumsi garam beryodium dalam masakan, hanya memberikan ASI saja sampai bayi berusia enam bulan dan memberikan kapsul vitamin A kepada balita.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Kesehatan 2005-2009 menetapkan 4 (empat) sasaran pembangunan kesehatan, satu diantaranya adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 20%. Guna mempercepat pencapaian sasaran tersebut, di dalam Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009 telah ditetapkan 4 strategi utama, yaitu Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, dan meningkatkan pembiayaan kesehatan. Selanjutnya dari empat strategi utama tersebut telah ditetapkan 17 sasaran prioritas, satu diantaranya adalah seluruh keluarga menjadi Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) (Depkes, 2007)
Program Kadarzi bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan ibu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga dan di dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan di dalam visi Indonesia Sehat 2010, ditetapkan bahwa 80% keluarga menjadi Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi), karena keluarga mempunyai nilai yang amat strategis dan menjadi inti dalam pembangunan seluruh masyarakat, serta menjadi tumpuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (Panji, 2004).
Kelurahan Y merupakan salah satu dari lima kelurahan yang termasuk dalam wilayah kerja puskesmas X. Berdasarkan survei awal yang di lakukan pada tahun 2007 telah berjalan program Kadarzi. Kegiatan pelaksanaan program Kadarzi ini meliputi pemetaan Kadarzi dan konseling Kadarzi yang di lakukan setiap enam bulan sekali. Meskipun program Kadarzi sudah berjalan selama satu tahun namun berdasarkan hasil penimbangan balita (BB/U) bulan Desember 2008 di kelurahan Y masih banyak terdapat kasus gizi buruk yaitu dari 1.742 balita yang ditimbang terdapat 187 balita gizi kurang dan 36 balita gizi buruk.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merasa perlu mengetahui hubungan tingkat Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dengan status gizi balita di kelurahan Y, sehingga di peroleh suatu strategi penanggulangan gizi buruk yang tepat berdasarkan keadaan yang sesungguhnya di lapangan dan diharapkan dapat menjadi masukan untuk membuat prioritas program yang tepat dan efektif sesuai kemampuan daerah.

B. Permasalahan
Apakah tingkat Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) berhubungan dengan status gizi balita di Kelurahan Y.

C. Tujuan penelitian
Mengetahui status gizi balita berdasarkan indikator keluarga sadar gizi (Kadarzi) di Kelurahan Y.

D. Hipotesis
Ada hubungan signifikan status gizi balita dengan indikator keluarga sadar gizi (memantau berat badan, makan makanan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, memberikan ASI eksklusif, memberikan kapsul vitamin A pada balita)

E. Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan kepada Dinas Kesehatan dalam membuat suatu rencana strategi penanggulangan gizi buruk menuju keluarga sadar gizi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak Puskesmas untuk membuat prioritas dan lebih intensif dalam pembinaan keluarga dalam meningkatkan kesadaran gizi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:36:00

POLA PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK MELALUI PENDIDIKAN RAMAH ANAK DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

POLA PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK MELALUI PENDIDIKAN RAMAH ANAK DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A. Latar Belakang Masalah
Masalah seputar kehidupan anak telah menjadi perhatian sejak lama. Apalagi di era globaliasasi saat ini, seiring dengan pergeseran pranata sosial yang mengakibatkan maraknya tindakan asusila dan kekerasan, maka diperlukan adanya perlindungan terhadap hak-hak anak khususnya anak-anak Indonesia.

Akhir-akhir ini sering sekali kita mendengar terjadinya kekerasan terhadap anak. Kekerasan dapat terjadi di mana saja, termasuk di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan UNICEF (2006) di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru. Di televisi juga pernah marak diberitakan mengenai siswa yang melakukan kekerasan pada siswa lainnya, contohnya kasus IPDN, dan lain-lain. Hal ini, tentu mengejutkan bagi kita. Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat yang aman bagi siswa. Namun ternyata di beberapa sekolah masih banyak terjadi kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh sesama siswa, guru atau pihak lain di dalam lingkungan sekolah. Tidak hanya di sekolah, di lingkungan rumah pun kekerasan dapat terjadi, hal itu dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan anak-anak yang selalu menjadi korbannya. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak seperti contoh, anak akan berkarakter keras, acuh tak acuh, penakut dan masih banyak lagi.

Menurut Rini (2008), di sekolah perlu di kembangkan pembelajaran yang humanistik yaitu model pembelajaran yang menyadari bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi yang otomatis namun membutuhkan keterlibatan mental, dan mengubah suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dengan memadukan potensi fisik dan psikis siswa. Tidak hanya di sekolah, di lingkungan rumah maupun masyarakat pun perlu diciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.

Hal itu selaras dengan pasal 54 UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang berbunyi : "Anak di dalam dan dilingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lenmbaga pendidikan lainnya".

Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan anak baik dalam lingkungan pendidikan formal, informal maupun non formal sangatlah diperhatikan oleh pemerintah utamanya oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia. Dimana anak harus merasa aman dan nyaman selama proses pembelajaran. Salah satunya dengan menciptakan lingkungan pendidikan yang ramah anak, yaitu membuat suasana yang aman, nyaman, sehat dan kondusif, menerima anak apa adanya, dan menghargai potensi anak. Dengan demikian anak bukan lagi sebagai obyek dalam pendidikan namun sebagai subyek, anak bebas berkreasi dalam belajar dengan suasana lingkungan pendidikan yang penuh kasih sayang.

Minimal ada 5 (lima) indikasi sebuah kawasan hidup yang berada dalam kategori ramah anak :
1. Anak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang masa depan diri, keluarga, dan lingkungannya.
2. Kemudahan mendapatkan layanan dasar pendidikan, kesehatan dan layanan lain untuk tumbuh kembang.
3. Adanya ruang terbuka untuk anak dapat berkumpul, bermain, dan berkreasi dengan sejawatnya dengan aman serta nyaman.
4. Adanya aturan yang melindungi anak dari bentuk kekerasan dan eksploitasi.
5. Tidak adanya diskriminasi dalam hal apapun terkait suku, ras, agama, dan golongan.
Dari 5 (lima) aspek tersebut dapat tercipta Pendidikan Ramah Anak dengan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan penuh kasih sayang sebab hubungan yang terjalin dengan rasa cinta dan kasih sayang antara anak dengan guru, orang tua, maupun teman sebayanya sangat berpengaruh dalam perkembangan dan pembentukan karakter anak yang baik. Karena pendidikan sebagai hak anak adalah kewajiban pertama ada pada pundak orang tua yang bekerjasama dengan guru sebagai pembimbing dan pengarahnya.

Dalam pendidikan Islam, pendidikan ramah anak itupun diterapkan. Sebab dalam pendidikan Islam anak merupakan sejuta energi yang akan menguatkan ikatan cinta, ikatan asa, dan ikatan-ikatan lain. Dalam Islam anak juga memiliki hak yang di tuntut dari orang tua. Diantara hak anak dari orangtua adalah :
1. Hak memperoleh kasih sayang dan perhatian.
2. Hak memperoleh bimbingan.
3. Hak mengutarakan dan di dengarkan pendapatnya.
Sebagaimana firman Allah SWT :
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kamudian apabila kamu telah membulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa kepada-Nya." (QS. Ali-Imran : 159)

Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengangkat judul 

"POLA PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK MELALUI PENDIDIKAN RAMAH ANAK DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ".

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini, adalah :
1. Bagaimana pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak ?
2. Bagaimana tinjauan pendidikan Islam dalam pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak?
3. Adakah perbedaan pola pendidikan ramah anak secara umum dengan pendidikan agama Islam?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak.
2. Mengetahui pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak dalam perspektif pendidikan agama Islam.
3. Mengetahui ada dan tidaknya perbedaan dan persamaan pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak secara umum dengan pendidikan agama Islam.

D. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas, maka manfaat yang diharapakan, yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat akademis adalah :
a. Khazanah ilmiah bagi Fakultas Tarbiyah.
b. Salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan agama Islam.
2. Manfaat teoritis adalah : menambah pengetahuan dan wawasan peneliti khususnya dalam masalah pendidikan ramah anak.
3. Manfaat praktis adalah :
a. Sebagai bahan acuan dalam pola asuh anak bagi orang tua.
b. Sebagai panduan bagi para calon pendidik maupun pendidik dalam melaksanakan proses balajar mengajar.
c. Sebagai bahan acuan bagi anak dalam bersosialisasi dalam masyarakat.

E. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis mengorganisasikan sistimatika pembahasan sebagai berikut :
Bab pertama adalah pendahuluan, meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian terdiri dari; jenis dan pendekatan penelitian, sumber data, teknik penelitian data, dan teknik analisis data, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah landasan teori, meliputi; pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak, terdiri dari : pengertian anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, konsep karakter anak meliputi : pengertian karakter, ciri-ciri karakter anak dan pola pembentukan karakter anak. Dan konsep pendidikan ramah anak meliputi; pengertian pendidikan ramah anak, dan pola pendidikan ramah anak.
Bab ketiga adalah landasan teori meliputi; pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak dalam pendidikan Islam, meliputi : pengertian anak dalam Islam, konsep karakter dalam pendidikan Islam, terdiri dari; pengertian karakter anak dalam Islam dan pola pembentukan karakter anak dalam pendidikan Islam. Dan konsep ramah anak, terdiri dari; pengertian pendidikan ramah anak dalam pendidikan Islam dan pola pendidikan ramah anak dalam pendidikan Islam.
Bab keempat analisis data meliputi; analisis pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak secara umum, pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak dalam perspektif pendidikan agama Islam, dan analisis konsep pendidikan ramah anak secara umum dengan pendidikan Islam.
Bab kelima adalah penutup meliputi : kesimpulan dan saran-saran. Dan dilengkapi dengan daftar pustaka serta lampiran-lampiran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:38:00

SISTEM PEMIDANAAN EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

SISTEM PEMIDANAAN EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan.
Mental anak yang masih dalam tahap pencarian jati diri, kadang mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Sehingga jika lingkungan tempat anak berada tersebut buruk, dapat terpengaruh pada tindakan yang dapat melanggar hukum. Hal itu tentu saja dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat. Tidak sedikit tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan dengan aparat penegak hukum.
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap Negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari perspektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi ini pun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum internasional maupun hukum nasional, yang secara universal pun dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International on Civil and Political Rights (ICPR). Pembedaan perlakuan terhadap hak asasi anak dengan orang dewasa, diatur dalam konvensi-konvensi internasional khusus. Sebagaimana diutarakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak : 
"...the child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth... " Deklarasi Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), kembali menekankan prinsip "First Call for Children", yang menekankan pentingnya upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan hak-hak anak atas "survival protection, development and participation." 
Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.
Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa Negara sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Namun sayangnya dalam pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor internal maupun faktor eksternal.
Salah satunya adalah dalam sistem pemidanaan yang sampai sekarang terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa dan berlaku di Indonesia.
Padahal pemidanaan itu sendiri lebih berorientasi kepada individu pelaku atau biasa disebut dengan pertanggungjawaban individual/personal (Individual responsibility) dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan/perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Tanpa disadari hal tersebut tentu saja dapat menimbulkan dampak psikologis yang hebat bagi anak yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari si anak tersebut. Oleh sebab itu dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang dewasa maka dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari orang-orang yang ada di dekatnya.
Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Delinquency, dibahas dalam Badan Peradilan Amerika Serikat dalam usaha untuk membentuk suatu Undang-Undang Peradilan Anak. Ada dua hal yang menjadi topik pembicaraan utama yaitu segi pelanggaran hukumnya dan sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku dan melanggar hukum atau tidak.
Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda. 
Ketentuan kejahatan anak atau disebut delikuensi anak diartikan sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan anak dalam title-titel khusus dari bagian KUHP dan atau tata peraturan perundang-undangan. 
Pengadilan anak dibentuk karena dilatarbelakangi sikap keprihatinan yang melanda Negara-negara Eropa dan Amerika atas tindakan kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Namun perlakuan terhadap pelaku tindak kriminal dewasa, sehingga diperlukan tindakan perlindungan khusus bagi pelaku kriminal anak-anak. Pengadilan anak dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan yang kurang menguntungkan bagi anak-anak, dan dalam pelaksanaan proses peradilan pidana anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa.
Di Indonesia sendiri dalam rangka mewujudkan suatu peradilan yang benar-benar memperhatikan kepentingan anak perlu diwujudkan peradilan yang terbatas bagi anak untuk menjamin kepentingan anak melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang disahkan oleh Pemerintah pada tanggal 3 Januari Tahun 1997. Peradilan khusus bagi anak diadakan guna mengatasi permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang masih termasuk golongan anak-anak, semuanya wajib disidangkan dalam peradilan bagi anak yang ada pada pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak. Selain itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang ditujukan sebagai perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum maupun penegakan hak-hak anak dan hukum anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child). Ketentuan yang ada dalam UU No. 3 tahun 1997 mengenai Pengadilan anak telah sebagian mengacu pada rambu-rambu semacam ini. Perampasan kemerdekaan misalnya, haruslah dilakukan hanya sebagai measure of the last resort, hal mana berkenaan dengan hak anak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya.
Anak sebagai individu yang belum dewasa perlu mendapatkan perlindungan hukum/yuridis (legal protection) agar terjamin kepentingannya sebagai anggota masyarakat. Masalah penegakan hak-hak anak dan hukum anak, pada dasarnya sama dengan masalah penegakan hukum secara keseluruhan. Oleh karena itu, masalah pengimplementasian hukum anak dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor : 
1. Peraturan hukumnya, yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum tertentu. Dalam hal ini, masalah peraturan hukum tentang hak-hak anak berkenaan dengan : 
a. Cara pembentukan dan persyaratan yuridis pembentukannya.
b. Materi hukum tersebut apakah telah sesuai dengan semangat, nilai, asas, atau kaidah hukumnya maupun sanksi hukumnya.
c. Peraturan pelaksanaan yang dikehendaki perlu dipersiapkan untuk mencegah kekosongan hukum.
Aparat penegak hukum, yakni para petugas hukum atau lembaga yang berkaitan dengan proses berlangsungnya hukum dalam masyarakat. Dalam hal penegakan hukum di Indonesia, aparat yang bertugas menegakkan hukum dikenal dengan
2. catur wangsa yang meliputi kepolisian (lembaga penyidik), kejaksaan (penuntut), hakim (peradilan), dan pengacara atau advokat. Untuk menegakkan hak-hak anak dan menegakkan hukum anak, menghadapi permasalahan umum yang melanda Indonesia yakni keterbatasan kemampuan para penegak hukum yang memahami hukum anak dan hak-hak anak, kualitas, pendidikan dan keahlian masing-masing aparat penegak hukum, dan kemampuan organisasi dalam menegakkan hukum anak dan hak-hak anak.
3. Budaya hukum masyarakat, yakni struktur sosial dan pandangan kultural yang berlangsung dan diyakini masyarakat dalam menegakkan hukum sebagai sebuah pedoman tingkah laku sehari-hari. Masalah budaya hukum merupakan masalah penting dalam menegakkan hukum di Indonesia yang menyangkut keyakinan masyarakat pada hukum dan para penegak hukum.
4. Masyarakat hukum, yakni tempat bergeraknya hukum dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup dengan sejauh mana kepatuhan masyarakat kepada hukum, kepedulian masyarakat untuk menegakkan hukum untuk menuju ketertiban dan kedamaian. Dalam hal penegakan hak-hak anak dalam praktek kehidupan sehari-hari. Hukum anak hanya pedoman yang bisa dijadikan acuan untuk mengarahkan bagaimana masyarakat bertindak jika masih anak ditemukan.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 22, terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah : 
(1) Pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah : 
a. Pidana penjara
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda
d. Pidana pengawasan 
(3) Selain Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ada pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana dalam penjatuhan pidananya ditentukan paling lama dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam Undang-undang juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah berusia 12 sampai 18 tahun baru dapat dijatuhi pidana.
Untuk terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat diadakan sanksi. Sanksi tersebut dibentuk dari suatu sistem atau lembaga yang berwenang untuk menanganinya.
Semua masyarakat mempunyai sistem kelembagaan dalam menangani kejahatan dan kenakalan, yang merupakan reaksi terhadap terjadinya kejahatan dan kenakalan Sistem kelembagaan yang dimaksud adalah Kepolisian, Pengadilan, Custodial Institutions, dan berbagai metode supervise dan pembinaan petindak pidana dalam masyarakat (misalnya, probation dan parole). Tujuan dari reaksi terhadap kejahatan dan kenakalan adalah untuk pencegahan terhadap kejahatan dan kenakalan, serta resosialisasi petindak pidana.
Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia hanya bertumpu pada sifat pemidanaannya saja tanpa memperhatikan bagaimana dapat merubah si anak tersebut menjadi lebih baik. Diberikannya sistem pemidanaan yang bersifat edukatif, yaitu suatu sistem pemidanaan yang tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara.
Hal ini dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Pasal 17 ay at (1), yaitu setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : 
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, misalnya bimbingan sosial dari pekerjaan sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater atau bantuan dari ahli bahasa.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam bidang tertutup untuk umum.
Seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak akan lebih mudah pengendaliannya dan perbaikannya daripada seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan karena taraf perkembangan anak itu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, pada usia bayi, remaja dewasa dan usia lanjut akan berlainan psikis maupun jasmaninya. Sistem pemidanaan dengan pemberian sanksi pidana yang bersifat edukatif/mendidik selama ini jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia khususnya oleh hakim. Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua/wali atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik misalnya dimasukkan ke pondok pesantren bagi pelaku tindak pidana yang beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau dianutnya.
Sistem pemidanaan individual (individual responsibility) yang digunakan selama ini adalah upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat fragmentair yaitu hanya melihat upaya pencegahan tersebut dari segi individu/personalnya saja. Padahal dalam menangani masalah anak ini tidak hanya dilihat dari penanggulangan individu si anak saja melainkan dilihat dari banyak faktor, salah satunya adalah membuat bagaimana si anak tidak lagi mengulangi perbuatannya namun juga memberikan teladan dan pendidikan yang baik kepada si anak.
Hal ini dimaksudkan agar mental spiritual si anak itu lebih terdidik sehingga perilaku yang menyimpang dari si anak inipun menjadi lebih baik. Dengan dimasukkannya si anak sebagai pelaku kejahatan ke Lembaga Pemasyarakatan bukannya tidak menjamin bahwa si anak tersebut dapat berubah, namun di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut tidak ada masukan yang lebih bagi perbaikan mental spiritual anak karena mereka diasingkan bersama-sama dengan para pelaku tindak pidana lain hal ini mengakibatkan proses pemulihan perilaku si anak untuk menjadi lebih baik sering kali terhambat yang disebabkan lingkungan dari dalam LP itu sendiri yang kurang kondusif.
Tentunya hal ini akan berbeda jika menempatkan si anak pada suatu lingkungan dimana dia tidak merasa diperlakukan sebagai seorang pelaku tindak pidana, namun lebih memperlakukan si anak sebagai seorang manusia yang belum dewasa yang masih belum tahu apa-apa sehingga masih perlu diberikan bimbingan, pengarahan serta pengajaran mana yang disebut dengan tindakan baik dan mana yang disebut dengan tindakan buruk. Tentu saja perlakuan yang diberikan kepada mereka yang terlibat tindak pidana, selama dalam proses hukum dan pemidanaannya menempatkan mereka sebagai pelaku tindak kriminal muda yang mempunyai perbedaan karakteristik dengan pelaku tindak kriminal dewasa.
Sebenarnya sistem pemidanaan yang bersifat edukatif seperti ini bukan sesuatu yang baru. Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak sistem pemidanaan yang bersifat mendidik telah jelas tersirat, namun pada pengaplikasiannya hal ini jarang sekali dilakukan, bahkan tidak jarang anak-anak tersebut ditangani oleh penegak hukum yang belum begitu professional untuk menangani kasus-kasus di bidang anak dan terkadang juga penempatan anak-anak terpidana dicampur dengan orang dewasa.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ada dua alternatif tindakan yang dapat diambil apabila anak yang berumur dibawah 8 tahun melakukan tindak pidana tertentu, yaitu pertama diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina. Kedua, diserahkan kepada Departemen Sosial jika anak tersebut tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
Namun dalam hal memperhatikan kepentingan anak, hakim dapat menghendaki diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama si anak yang bersangkutan (Pasal 24 UU No. 3 Th. 1997).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas masalah perlindungan terhadap anak-anak sangatlah luas, maka disini penulis membatasi masalah tersebut khususnya bagi anak sebagai pelaku tindak pidana, dengan motif dan berbagai saran yang digunakan. Sehingga masalah pokok tersebut dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia saat ini ?
2. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ?

C. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan penelitian, agar diperoleh data-data yang benar-benar diperlukan dan diharapkan, sehingga penelitian dapat dilakukan secara terarah. Penulis sebelumnya telah menentukan tujuan-tujuan dalam melaksanakan penelitian, yaitu : 
1. Untuk mengetahui sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia pada saat ini.
2. Untuk mengetahui sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dan masukan bagi pelaksanaan penelitian di bidang yang sama untuk masa mendatang pada umumnya dan masukan serta sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya pada Hukum Pidana.
2. Kegunaan Praktis
Memberikan informasi secara ilmiah bagi masyarakat umum sehingga diharapkan dapat lebih mengetahui dan mengerti tentang sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, dan dengan adanya informasi tersebut diharapkan juga dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:36:00