Cari Kategori

Makalah Perkembangan Pendidikan Pesantren dan Madrasah

Judul : Makalah Perkembangan Pendidikan Pesantren dan Madrasah

Daftar Isi :
Kata Pengantar, Daftar Isi, BAB I PENDAHULUAN, A. Sejarah Kemunculan Pesantren dan Madrasah, B. Perkembangan Pendidikan Pesantren dan Madrasah, C. Persamaan dan Perbedaan Pesantren dan Madrasah, BAB II KESIMPULAN, REFERENSI.

Sekilas Isi :
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi antara Kyai atau Ustadz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok) untuk mengaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu (kitab kuning). Dengan demikian unsur terpenting bagi sebuah pesantren adalah adanya Kyai, para santri, masjid, tempat tinggal (pondok) serta buku-buku atau kitab-kitab teks.

Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa pesantren merupakan hasil adopsi dari model perguruan yang diselenggarakan orang-orang Hindu dan Budha. Sebagaimana diketahui, sewaktu Islam datang dan berkembang di Pulau Jawa telah ada lembaga perguruan Hindu dan Budha yang menggunakan sistem biara dan asrama sebagai tempat para pendeta dan bhiksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada para pengikutnya. Bentuk pendidikan seperti ini kemudian menjadi contoh model bagi para wali dalam melakukan kegiatan penyiaran dan pengajaran Islam kepada masyarakat luas, dengan mengambil bentuk sistem biara dan asrama dengan merubah isinya dengan pengajaran agama Islam yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren.

Di samping berdasarkan alasan terminologi yang dipakai oleh pesantren, persamaan bentuk antara pendidikan pesantren dan pendidikan milik Hindu dan Budha di India ini dapat dilihat juga pada beberapa unsur yang tidak dijumpai pada sistem pendidikan Islam yang asli di Mekkah. Unsur tersebut antara lain seluruh sistem pendidikannya berisi murni ilmu-ilmu agama, Kyai tidak mendapatkan gaji, penghormatan yang tinggi kepada guru serta letak pesantren yang didirikan di luar kota. Data ini oleh sebagian penulis sejarah pesantren dijadikan sebagai alasan untuk membuktikan asal-usul pesantren adalah karena pengaruh dari India.

Pada permulaan berdirinya, bentuk pesantren sangatlah sederhana. Kegiatan pengajian diselenggarakan di dalam masjid oleh seorang Kyai sebagai guru dengan beberapa orang santri sebagai muridnya. Kyai tadi biasanya sudah pernah mukim bertahun-tahun untuk mengaji dan mendalami pengetahuan agama Islam di Mekkah atau Madinah. Atau pernah berguru pada seorang Wali atau Kyai terkenal di nusantara. Kemudian ia bermukim di suatu desa dengan mendirikan langgar yang dipergunakan sebagai tempat untuk shalat berjamaah.

Pada awalnya jamaah hanya terdiri dari beberapa orang saja. Pada setiap menjelang atau selesai shalat berjamaah, sang Kyai biasanya memberikan ceramah pengajian sekedarnya. Isi pengajian biasanya berkisar pada soal rukun Iman, rukun Islam serta akhlak yang lebih banyak menyangkut kehidupan sehari-hari. Berkat caranya yang menarik dan keikhlasannya yang tinggi serta perilakunya yang saleh, lama kelamaan jamaahnya bertambah banyak. Yang datang tidak lagi hanya dari penduduk desa tersebut, tetapi juga orang-orang dari jauh, dari luar desanya. Sebagian dari mereka yang ikut mengaji itu ingin tinggal menetap, dekat dengan Kyai atau Ustadz dan bahkan mulai ada beberapa orang tua yang ingin menitipkan anaknya kepada Kyai tadi. Untuk menampung semua itu dibentuklah pondok atau asrama. Dengan demikian, terbentuklah sebuah pesantren yang di dalamnya terdapat pondok, masjid, Kyai serta santri.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:02:00

Makalah Gaya Bahasa Personifikasi

Judul : Makalah Gaya Bahasa Personifikasi


Daftar Isi :
HALAMAN JUDUL, KATA PENGANTAR, DAFTAR ISI, BAB I PENDAHULUAN, 1.1. Latar Belakang Masalah, 1.2. Rumusan Masalah, 1.3. Tujuan Penelitian, 1.4. Manfaat Penelitian, 1.5. Ruang Lingkup Penelitian, 1.6. Metode Penelitian, 1.7. Batasan Istilah, BAB II LANDASAN TEORI, 2.1. Beberapa Pendapat Tentang Gaya Bahasa Personifikasi, 2.1.1. Pendapat Dick Hartoko dan B. Rahmanto, 2.1.2. Pendapat Gorys Keraf, 2.1.3. Pendapat Panuti Sujiman, 2.1.4. Penjelasan Rachmat Djoko Pradopo, 2.2. Landasan Teori, 2.3. Pendekatan Penelitian, BAB III PEMBAHASAN, 3.1. Ciri-ciri Gaya Bahasa Personifikasi, 3.1.1. Pengertian dan Ciri-ciri Suatu Gaya Bahasa, 3.1.2. Pengertian dan Ciri-ciri Istilah Personifikasi, 3.2. Cara Membentuk dan Mempergunakan Gaya Bahasa Personifikasi, 3.2.1. Cara Membentuk Gaya Bahasa Personifikasi, 3.2.2. Cara Penggunaan Gaya Bahasa Personifikasi, 3.3. Fungsi yang Dikandung oleh Gaya Bahasa Personifikasi, 3.4. Batasan-batasan yang Perlu Diperhatikan, 3.5. Pengertian Gaya Bahasa Personifikasi, BAB IV PENUTUP, DAFTAR PUSTAKA.


Sekilas Isi :

Pengertian dan Ciri-ciri Suatu Gaya Bahasa

Pengertian dari suatu gaya bahasa diungkapkan oleh Sujiman dalam bukunya Kamus Istilah Sastra yaitu suatu ungkapan yang mengungkapkan makna kiasan (Sujiman, 1986 : 48). Dengan melihat pengertian di atas jelaslah diungkapkan bahwa ungkapan yang disebut gaya bahasa ini yaitu semua jenis ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan segala sesuatu dengan makna kias.

Dengan melihat pengertian tersebut di atas kita dapat menarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang dikandung oleh suatu ungkapan yang disebut gaya bahasa ini. Suatu gaya bahasa mempunyai ciri umum bahwa suatu gaya bahasa digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan makna kias. Selain itu suatu gaya bahasa tentu saja harus berupa suatu ungkapan bahasa yang bergaya.

Ciri-ciri dan Pengertian Istilah Personifikasi

Sebelum berbicara tentang ciri-ciri yang dikandung oleh ungkapan personifikasi ini alangkah lebih baiknya bila terlebih dahulu kita tilik pengertian istilah personifikasi itu. Istilah personifikasi ini diturunkan dari suatu kata dari bahasa Latin yang melewati adaptasi di dalam bahasa Inggris dengan kata person yang mempunyai makna pribadi manusia. Oleh karena itu istilah personifikasi tentu saja tidak terlepas dengan pembicaraan tentang manusia yang disebut sebagai pribadi atau person itu.

Pengertian tentang istilah personifikasi itu diungkapkan oleh Dick Hartoko sebagai suatu bentuk kias yang menampilkan benda-benda atau konsep abstrak sebagai pribadi (person) manusiawi dengan sifat-sifat manusiawi (Hartoko, 1986 : 108). Dengan melihat pengertian tentang gaya bahasa personifikasi di atas kiranya kita dapat mendeskripsikan ciri-ciri yang dikandung oleh pengertian di atas yaitu bahwa sifat-sifat manusia menjadi ciri umumnya. Sifat-sifat manusia disini tentu saja mencakup tingkah laku, kebiasaan, kecenderungan, gerak-gerak, serta segala sesuatunya yang berhubungan dengan pribadi manusia sebagai makhluk hidup.

Oleh sebab itu pengertian gaya bahasa personifikasi yaitu suatu ungkapan yang menggambarkan sesuatu hal baik yang bernyawa selain manusia, maupun yang tak bernyawa seperti laut, api, udara, perasaan dan lain-lain dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia. Dengan pengertian di atas kita dapat menentukan ciri-ciri yang dimiliki oleh gaya bahasa personifikasi ini yaitu terkandungnya sifat-sifat manusia yang diterapkan pada benda-benda atau konsep yang tak bernyawa seperti manusia. Benda-benda atau hal-hal tersebut bisa berupa benda mati maupun benda hidup seperti batu, gunung, angin serta semut, anjing, burung dan lain sebagainya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:00:00

PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN KINERJA DOSEN TETAP YAYASAN

PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN KINERJA DOSEN TETAP YAYASAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia pendidikan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini ditandai dengan banyaknya temuan dan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi tersebut menuntut para praktisi pendidikan untuk meningkatkan kontribusinya dalam upaya menghasilkan sumber daya yang bermutu dan mampu bersaing yaitu manusia yang memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan. Namun demikian untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia tersebut ada tantangan dan masalah bangsa yang harus dihadapi, yaitu : (1) perlunya peningkatan mutu dan nilai tambah; (2) perubahan struktur masyarakat; (3) persaingan global yang semakin ketat; dan (4) dominasi negara-negara maju dalam penguasaan ilmu dan teknologi; (Djojonegoro, 1995 : 5-7). 
Dalam membangun sektor pendidikan, pencapaian tujuan akhir yang sempurna dan final tentunya selalu berkembang. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan selalu dinamik, berubah dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Terlebih-lebih dalam era informasi seperti saat ini, keterbukaan di hampir semua aspek dan sistem kehidupan manusia tidak dapat dicegah lagi oleh kekuatan apapun. Hal ini membawa dampak pada cepat usangnya kebijakan maupun praksis pendidikan.
Begitu pula parameter kualitas pendidikannya, baik dilihat dari segi input, process, product, maupun outcome selalu berubah dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, kualitas pendidikan nasional secara terus-menerus perlu ditingkatkan melalui sebuah pembaharuan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada para stakeholders agar dari sektor pendidikan itu kita mampu mempersiapkan generasi penerus yang memiliki unggulan kompetitif dalam menjawab dan memecahkan tantangan masa depan bangsa. Keberhasilan bangsa ini menghadapi tantangan masa depan abad 21 sangat tergantung pada keberhasilan memperbaiki dan memperbaharui pembangunan sektor pendidikan saat ini. Dengan kata lain, sistem pendidikan nasional selalu menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan secara terarah dan berkesinambungan agar dapat ditingkatkan kinerjanya dalam pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi serta manajemen pendidikan. Lembaga pendidikan dalam mewujudkan layanan pendidikan yang berkualitas harus mampu mengelola sistem yang ada di lembaganya dengan baik, yaitu dengan mewujudkan produktivitas pendidikan yang berkualitas. Pihak lembaga harus mampu mengembangkan sikap dan prilaku kerja para personilnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa lembaga pendidikan dituntut untuk mampu menata dan memberdayakan seluruh sumber daya yang ada dalam sistem pengelolaan yang efektif dan efisien, sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. 
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) menyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan jalur sekolah sebagai kelanjutan dari pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Penyelenggaraan pendidikan tinggi dalam bentuk Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, dan Politeknik. Penjenjangan pendidikan tinggi terdiri dari pendidikan Diploma (S0), Sarjana (S1), Magister (S2), dan Doktor (S3).
Sesuai dengan asas otonomi perguruan tinggi, pemerintah menyiapkan standar nasional kemampuan akademik dan profesional yang menjadi acuan bagi perguruan tinggi dalam menyusun kurikulum sesuai kepentingan pembangunan wilayah regional dan nasional serta tantangan kehidupan global. Mengingat perbedaan potensi wilayah serta perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dalam era globalisasi, maka program studi dan mata kuliah yang ditawarkan oleh perguruan tinggi kepada masyarakat harus bervariasi dan luwes. Penerapan teknologi digital dan networking dalam setiap aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum perlu mendapatkan prioritas dalam pengembangan kurikulum pendidikan di perguruan tinggi. 
Bertolak dari keyakinan bahwa perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan penghasil calon pemimpin bangsa di masa depan, proses pembelajaran yang menekankan aspek kreativitas dan inovasi dalam pemecahan masalah dan rekonstruksi sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum merupakan metode pembelajaran utama yang perlu ditumbuhkembangkan dan diterapkan di perguruan tinggi. Implikasi dari metode pembelajaran tersebut adalah penerapan sistem penilaian hasil belajar yang bertumpu pada pengerjaan tugas-tugas akademik individual dan kelompok, praktikum, penelitian, kerja lapangan, seminar dan ujian yang mencerminkan kemampuan peserta didik merespon terhadap masalah sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum tersebut secara profesional. 
Menurut Pasal 22 dan 23 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) disebutkan bahwa pendidikan tinggi bertujuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah jenjang pendidikan menengah yang diselenggarakan melalui jalur sekolah oleh lembaga yang disebut perguruan tinggi.
Dapat dikatakan bahwa selama sejarah peradaban manusia, dunia akademik memainkan peran sentral sebagai konservator nilai-nilai dominan yang berlaku dan sebagai nilai-nilai baru bagi dinamika masyarakat. Yang terpenting, dunia akademik memainkan peranannya yang sejati sebagai sumber ide bagi peningkatan hidup dan makna kehidupan manusia (Tilaar, 1994).
Pendidikan tinggi, menurut Poespowardjojo (dalam Tilaar, 1994), tidak dapat hanya menjadi penonton atau mungkin sebagai pengeritik kejadian-kejadian sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa perguruan tinggi mengemban peran penting dalam konteks dinamika sosial kemasyarakatan. Perguruan tinggi dengan otonomi dan pengembangan kebebasan berpikir adalah kekuatan inti bagi perubahan dan demokrasi kehidupan masyarakat.
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 Pasal 3 merinci tugas pendidikan tinggi sebagai berikut : 
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Lebih lanjut, dalam GBHN diuraikan peran perguruan tinggi di Indonesia. Peran perguruan tinggi menurut amanat GBHN adalah sebagai berikut : 
1. Pusat Pengembangan Ilmu dan Sumberdaya Manusia. Pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi serta pemeliharaan, pembinaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian. Kampus sebagai masyarakat ilmiah yang bercita-cita luhur, masyarakat berpendidikan yang gemar belajar dan mengabdi kepada masyarakat serta melaksanakan penelitian yang menghasilkan manfaat bagi peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai lembaga pendidikan tinggi diharapkan pula menjadi pusat pengembangan sumberdaya manusia yang memiliki kualitas akademik maupun profesional yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat dan pembangunan yang semakin kompleks dan meningkat.
2. Pusat Sumberdaya Penelitian Wilayah. Hampir semua kampus perguruan tinggi merupakan konsentrasi para sarjana yang cukup banyak, yang memiliki potensi untuk membantu pembangunan wilayah melalui penelitian, pengumpulan dan pengolahan data sesuai dengan keahliannya. Dengan demikian perguruan tinggi, baik bersama-sama perguruan tinggi lain setempat maupun masing-masing, dapat berperan sebagai pusat informasi ilmiah maupun pusat sumberdaya dan kegiatan tentang wilayah tersebut.
3. Pusat Kebudayaan. Tujuan pokok pembinaan kebudayaan di Indonesia menurut Majelis Umum PBB (1986) adalah (1) semakin kuatnya penghayatan nilai-nilai budaya nasional agar mampu menyongsong masa depan bangsa yang ditandai oleh makin canggihnya teknologi dan makin kuatnya tata perekonomian global; (2) semakin kokohnya kesadaran bangsa akan jati dirinya yang ditandai baik oleh pewarisan nilai-nilai luhur, kesadaran sejarah maupun daya cipta yang dimilikinya.
Untuk menghadapi berbagai tantangan yang disebabkan oleh perkembangan global, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah menetapkan konstitusi tujuan pengembangan pendidikan tinggi melalui kebijakan Penataan Sistem Pendidikan Tinggi agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Tersirat di sana bahwa kebijakan tersebut mengandung kehendak untuk mengembangkan suatu pola manajemen yang akan digunakan sebagai pedoman dasar untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, maupun pelaksanaan pembangunan dan pengembangan masing-masing perguruan tinggi di Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (1996) menegaskan bahwa manajemen perguruan tinggi bertumpu pada unsur-unsur : (1) Evaluasi; (2) Akreditasi; (3) Otonomi; dan (4) Akuntabilitas, yang ditujukan pada peningkatan Mutu secara berkelanjutan.
Tersirat di sini bahwa perguruan tinggi wajib menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Adapun penyelenggaraannya dilaksanakan dengan sistem terbuka, dengan program akademik, vokasional, dan profesi.
Posisi dan peran Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pada dasarnya tidak berbeda dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Yang membedakan PTN dan PTS adalah dalam hal sektor pengelolaan dan sumber pembiayaannya. Dalam perkembangannya sekarang, perguruan tinggi dapat berbentuk badan hukum milik negara (BHMN) atau badan hukum milik swasta apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dalam pengelolaannya, perguruan tinggi dapat menggali dana dari masyarakat yang dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. Menurut Jalal dan Supriadi (2001 : 366), dinyatakan bahwa paradigma baru pendidikan tinggi bertumpu kepada tiga pilar utama, yaitu kemandirian dalam pengelolaan atau otonomi, akuntabilitas (accountability), dan jaminan mutu (quality assurance).
Otonomi pengelolaan pendidikan tinggi diartikan sebagai otonomi yang seluas-luasnya, tidak terbatas pada pengelolaan secara manajerial, melainkan juga dalam hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka menyesuaikan dengan dunia kerja atau tuntutan kebutuhan pasar kerja. Oleh karena itu, pendidikan tinggi dalam hal ini harus mampu meningkatkan kualitas SDM yang dapat menguasai dan mengembangkan sains dan teknologi sehingga perguruan tinggi tersebut memiliki kebebasan untuk berkembang dan bersaing secara sehat.
Istilah akuntabilitas dalam hal ini diartikan bahwa tanggung jawab perguruan tinggi tidak hanya terhadap pemerintah saja sebagai pembina atau pemberi sumber dana dan sumberdaya lainnya, melainkan juga terhadap masyarakat luas pengguna hasil lulusan dan hasil pengembangan sains dan teknologi. Di sini terkait pula akuntabilitas terhadap dunia profesi yang ada. jaminan mutu (quality assurance) digunakan untuk menentukan standar kriteria yang lebih dinamis untuk menyesuaikan kemampuan perguruan tinggi dengan lapangan kerja dan perdagangan bebas. 
Sebagai pranata sosial yang profesional setiap satuan perguruan tinggi harus menyediakan buku pelajaran, perpustakaan, laboratorium, dan sarana ibadah sebagai sarana dan penunjang kegiatan pendidikan. Dalam menghadapi tuntutan kehidupan global, peserta didik diharapkan untuk menguasai salah satu bahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Untuk menjamin efektivitas proses pembelajaran, penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi minimal adalah 60 jam per minggu dari pukul 8 : 00 sampai 21 : 30 sehingga memberikan kesempatan bagi peserta didik yang telah bekerja untuk belajar pada sore dan malam hari. Seandainya perguruan tinggi telah memiliki fasilitas pembelajaran melalui jaringan komunikasi elektronik, penyelenggaraan pendidikan dapat dilaksanakan selama 24 jam.
Perguruan tinggi sebagai salah satu bentuk satuan pendidikan yang memberikan pengetahuan akademik dan atau profesional harus mampu memberikan layanan dan menghasilkan keluaran yang berkualitas melalui program-program strategis. Lulusannya diharapkan mampu mengatasi masalah di atas. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi mutu perguruan tinggi seperti dosen, sarana prasarana, kurikulum dan proses belajar mengajar, serta sistem penilaian. Walaupun demikian, faktor dosen tidak dapat disamakan dengan faktor-faktor lainnya. Dosen adalah sumber daya manusia yang diharapkan mampu mengerahkan kemampuannya dan mendayagunakan faktor-faktor lainnya sehingga tercipta proses belajar yang bermutu. Tanpa mengabaikan peran faktor-faktor lain, dosen dapat dianggap sebagai faktor utama yang paling menentukan terhadap meningkatnya mutu perguruan tinggi. 
Bila dikaitkan dengan peran tenaga pengajar di perguruan tinggi, Jalal dan Supriadi (2001 : 395) menyatakan bahwa : “sehat tidaknya perguruan tinggi banyak tergantung pada stafnya, apakah itu staf pengajar, profesional (peneliti), maupun administrative. Ada kepedulian di kalangan staf perguruan tinggi tersebut bahwa saat ini mereka tidak cukup mendapatkan pengakuan, kesempatan untuk mengembangkan diri, dan imbalan yang wajar atas pengabdiannya. Perlu diakui bahwa kontribusi staf pengajar merupakan faktor penting bagi pengembangan perguruan tinggi di Indonesia.
Perguruan tinggi dituntut untuk meningkatkan profesionalisme dosennya yang mencakup antara lain komponen-komponen penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan tugasnya, komitmen dan pengabdian yang tinggi pada bidang pendidikan. Untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan, kualifikasi pendidikan tenaga pengajar/dosen pada perguruan tinggi minimal memiliki ijazah S2. 
Kegiatan pokok dibidang penataan sistem pendidikan tinggi salah satunya adalah meningkatkan kemampuan sivitas akademika dalam melakukan evaluasi diri untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran, kinerja staf dan perencanaan pengembangan perguruan tinggi (Propenas 2000-2004 : 172).
 Produktivitas perguruan tinggi bukan semata mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak banyaknya, melainkan kualitas unjuk kerja juga penting diperhatikan, seperti diungkapkan Laehan dan Wexley (dalam Mulyasa, 1992 : 2), bahwa : 
“performance appraisals are crucial to the effective management of an organization’s human resources, and the proper management of human resources, and the proper management of human resources is a critical variable effecting an organization’s productivity”. 
Produktivitas dosen dapat dinilai dari apa yang dilakukan oleh dosen tersebut dalam kerjanya, yakni bagaimana ia melakukan pekerjaan atau unjuk kerjanya. Dalam hal ini produktivitas dapat ditinjau berdasarkan tingkatannya dengan tolak ukur masing-masing yang dapat dilihat dari kinerja dosen tersebut.
Sesuai dengan Tri Dharma perguruan tinggi, dosen mengemban tiga tugas pokok, yaitu : (1) melaksanakan Pendidikan (proses belajar mengajar); (2) melakukan penelitian; dan (3) mengabdikan ilmunya kepada masyarakat (Hanafiah et.al, 1994 : 64). 
Sebagai salah satu perguruan tinggi dengan status swasta, STKIP X juga dituntut untuk selalu meningkatkan profesionalisme dosennya, seperti yang diuraikan di atas. Namun berdasarkan pengamatan, sistem penilaian kinerja tenaga pengajar tampaknya belum diterapkan secara optimal. Kurangnya pemahaman mengenai penilaian kerja yang efektif juga diduga mempengaruhi proses tersebut. Selain itu, diduga bahwa kemampuan STKIP X dalam menetapkan kebijakan pengembangan sumber daya manusianya belum optimal. Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan profesionalisme adalah bagaimana menilai produktivitas kerja para dosen tersebut. Untuk melihat bagaimana menilai produktivitas kerja dosen-dosen tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti sistem penilaian kinerja dosen yang diterapkan dan dilakukan oleh perguruan tinggi tersebut yang dituangkan dalam judul : “PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN KINERJA DOSEN TETAP YAYASAN

B. Identifikasi Masalah
Melihat kenyataan bahwa tenaga pengajar atau dosen merupakan faktor yang paling penting dalam pembelajaran di suatu lembaga perguruan tinggi, mutu dan kinerja dosen tentunya perlu mendapatkan lebih banyak perhatian dari pengelola perguruan tinggi. Operasional penyelenggaraan perguruan tinggi swasta tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek yang berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan Tri dharma perguruan tinggi. Salah satu aspek tersebut adalah berkenaan dengan penilaian kinerja dosen. 
Sistem penilaian kinerja dosen dapat melihat apakah kinerja seorang dosen itu baik atau kurang baik dan pada gilirannya hal tersebut akan terkait dengan kebijakan pengembangan sumberdaya manusia.

C. Manfaat Penelitian 
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 
1. Manfaat Teoritis
Dalam tataran teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian mengenai urgensi kemampuan kerja dosen tetap yayasan dalam keseluruhan pengembangan profesionalisasi tenaga kependidikan. Terungkapnya temuan empiris yang menjelaskan kondisi penilaian kinerja dosen tetap yayasan merupakan hal sangat penting untuk dijadikan dasar pemikiran bagi upaya pengembangan konsep-konsep manajemen sumber daya manusia.
2. Manfaat Praktis
Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 
a. Memberikan masukan kepada pengelola pendidikan tinggi khususnya STKIP X tentang pengembangan penilaian kinerja dosen tetap yayasan yang efektif.
b. Dengan mengetahui model penilaian kinerja dosen tetap yayasan, maka memungkinkan adanya usaha untuk pengembangan profesionalisasi para dosen ke arah yang lebih baik.
c. Memberikan masukan kepada pemerintah tentang kemungkinan pengembangan penilaian kinerja dosen tetap yayasan yang lebih tepat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan perguruan tinggi swasta.

D. Sistematika Penulisan
Tesis ini menjabarkan isi secara keseluruhan menjadi sistematika tesis tersebut, sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, pada bab ini dibahas latar belakang masalah, Identifikasi masalah, fokus telaah, pertanyaan penelitian, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka berfikir, asumsi penelitian, definisi operasional, lokasi dan subyek penelitian, dan sistematika tesis. Bab II, Konsep Administrasi pendidikan, Konsep Administrasi Personil/SDM, Konsep Penilaian Kinerja, Desain Sistem Penilaian Kinerja dan hasil penelitian yang terdahulu yang masih relevan. 
Kemudian Bab III menjelaskan masalah prosedur penelitian, dalam hal ini yang dibahas adalah bentuk dan sifat penelitian, metode penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, langkah-langkah penelitian, analisis data, dan metode dan instrumen penelitian. Sedangkan Bab IV membahas masalah hasil temuan penelitian, yang terdiri dari temuan hasil penelitian yang diuraikan mengenai : deskripsi hasil penelitian dan pembahasan penelitian berupa, sistem penilaian kinerja yang dilakukan saat ini pada STKIP X, pemanfaatan hasil penilaian kinerja tersebut, kajian model penilaian kinerja yang efektif bagi dosen tetap yayasan pada STKIP X. Sedangkan yang terakhir Bab V ini mengemukakan tentang kesimpulan, implikasi dari penelitian dan rekomendasi terhadap hasil penelitian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:48:00

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN BISNIS)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Salah satu program guna mewujudkan kesejahteraan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia karena sumber daya manusia merupakan asset yang potensial dan strategis di dalam menjalankan roda organisasi, yang pada akhirnya akan mendukung tujuan organisasi.
Untuk meningkatkan kinerja pegawai dan perbaikan efisiensi organisasi, manajemen sumber daya manusia selalu memegang peran aktif dan dominan dalam setiap kegiatan perusahaan. Tingkat kinerja pegawai yang tinggi akan dapat memperkuat perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaan.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan tenaga-tenaga kepemimpinan yang terampil yang bertanggung jawab serta mau mengerti keinginan bawahannya. Seorang pemimpin harus mampu mengarahkan, menggerakkan dan mempengaruhi bawahannya untuk bekerjasama dengan memberikan dorongan dan bekerja keras dalam menjalankan tugas pekerjaannya. Untuk melaksanakan aktivitas organisasi dalam pencapaian tujuan, maka dalam mengarahkan dan memotivasi kelompok manusia dituntut adanya bentuk kepemimpinan tertentu yang sesuai pada situasi dan kondisi yang ada.
Manajemen dalam suatu perusahaan akan sulit merealisasikan tujuan tanpa adanya pemimpin. Oleh karena itu seorang pemimpin dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memimpin suatu bidang pekerjaan, dan pemimpin merupakan dasar dan faktor penentu yang akan mempengaruhi maju mundurnya atau naik turunnya suatu perusahaan.
Selain aspek kepemimpinan salah satu faktor yang sangat berperan dalam meningkatkan kinerja pegawai adalah motivasi kerja. Pegawai yang memiliki motivasi kerja tinggi, selalu mempunyai dorongan untuk bekerja lebih baik untuk mencapai prestasi yang istimewa. Apabila terbuka kesempatan untuk berprestasi maka akan mendorong psikologis untuk meningkatkan jiwa dedikasi serta pemanfaatan potensi yang dimilikinya untuk meningkatkan kinerja pegawai. Hasibuan (2002 : 194) menyatakan "bahwa pada dasarnya faktor dominan yang mempengaruhi tingkat kinerja pegawai suatu organisasi adalah kepemimpinan suatu organisasi".
Fenomena di kantor PT. X menunjukan bahwa kondisi yang menggerakkan pegawai ke arah pencapaian tujuan organisasi relatif masih kurang optimal yang mengakibatkan kinerja pegawai mengalami penurunan yang ditandai dengan produktivitas perusahaan yang cenderung merosot.
Penurunan kinerja pegawai ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, karena akan dapat menyebabkan perusahaan mengalami kerugian, bahkan kemungkinan yang paling buruk adalah gulung tikarnya perusahaan. Oleh karena itu perlu segera mengantisipasi dengan menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Dalam hal ini secara teoritis faktor yang paling berpengaruh terhadap kinerja pegawai adalah faktor kepemimpinan dan motivasi kerja.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai kepemimpinan dan motivasi kerja dengan kinerja pegawai dengan mengangkat sebuah judul : "Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada PT. X".

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Kepemimpinan sangat berhubungan erat dengan manusia sebagai salah satu faktor dalam organisasi, karena manusia lah yang dapat membuat berfungsi atau merupakan titik sentral kegiatan organisasi. Cepat atau lambatnya kegiatan organisasi tergantung kepada keterampilan pemimpin dalam mengarahkan langkah dan kebijaksanaan perusahaan sebagai usaha memperoleh kinerja pegawai yang tinggi. Seorang pemimpin yang berhasil akan mampu mempengaruhi orang lain dan dianggap sebagai panutan untuk bawahannya dalam melaksanakan tujuan organisasi.
Dalam penelitian ini penyusun mencoba menitikberatkan terhadap masalah kepemimpinan untuk meningkatkan kinerja pegawai yang tinggi. Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah-masalah penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah tingkat efektivitas kepemimpinan Direktur Utama PT. X berdasarkan persepsi responden ?
2. Bagaimanakah tingkat motivasi kerja pegawai PT. X ?
3. Bagaimanakah tingkat kinerja pegawai PT. X ?
4. Apakah tingkat efektivitas kepemimpinan Direktur Utama mempengaruhi tingkat kinerja pegawai PT. X ?
5. Apakah tingkat motivasi kerja pegawai mempengaruhi tingkat kinerja pegawai PT. X ?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud melakukan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan sebagai bahan pelengkap dalam penyusunan tesis yang merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar magister manajemen pada Program Studi Magister Manajemen Bisnis.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas kepemimpinan Direktur Utama PT. X berdasarkan persepsi responden.
2. Untuk mengetahui tingkat motivasi kerja PT. X. 
3. Untuk mengetahui tingkat kinerja pegawai PT. X.
4. Untuk mengetahui tingkat efektivitas kepemimpinan mempengaruhi tingkat kinerja pegawai PT. X.
5. Untuk mengetahui tingkat motivasi kerja mempengaruhi kinerja pegawai PT. X.

D. Kegunaan Penelitian 
1. Kegunaan Akademik
Memberikan sumbangan positif terhadap pengembangan ilmu bidang Manajemen Sumber Daya Manusia yang terkait dengan masalah kepemimpinan, motivasi kerja dan kinerja pegawai.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi perusahaan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran dan masukan mengenai pengaruh kepemimpinan dan motivasi kerja terhadap peningkatan kinerja pegawai .
b. Bagi penulis penelitian ini sebagai syarat menyelesaikan studi program S-2.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:44:00

PENGARUH STRUKTUR DAN IMPLEMENTASI ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN SKPD

PENGARUH STRUKTUR DAN IMPLEMENTASI ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN SKPD (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara, peranan negara dan pemerintah bergeser dari peran sebagai pemerintah (government) menjadi kepemerintahan (governance). Pergeseran peran tersebut cenderung menggeser paradigma klasik yang serba negara menuju paradigma yang lebih memberikan peran kepada masyarakat dan swasta. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 disebutkan bahwa dalam paradigma kepemerintahan yang baik (good governance) terdapat prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, dan supremasi hukum. Dalam bahasa yang lebih sederhana, terdapat tiga prinsip utama yang berlaku universal dalam kepemerintahan yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Perkembangan wacana di tingkat global tentang new public management (NPM) juga berpengaruh pada perkembangan wacana good governance di Indonesia. Hal ini ditambah lagi dengan pelajaran yang dapat diambil dari krisis ekonomi yang dimulai dari krisis keuangan tahun 1997. Berkaitan dengan krisis tersebut, Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, banyak diceramahi tentang kurangnya transparansi dan pentingnya tata pemerintahan yang baik. Meningkatnya utang luar negeri dari tahun ke tahun merupakan salah satu bukti yang mencerminkan bahwa kinerja pemerintah dalam mengelola keuangan negara sangat buruk.
Krisis moneter dan resesi ekonomi yang berkepanjangan, kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi dan lebih jauh lagi menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah, terutama bagi Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara paling korup di dunia, telah menimbulkan berbagai gejolak dan tuntutan perubahan di masyarakat berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.
Tuntutan yang lebih besar dari masyarakat untuk dilakukan transparansi dan akuntabilitas publik, telah menuntut setiap organisasi pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya agar lebih berorientasi pada terciptanya good public dan good governance.
Untuk merespon tuntutan reformasi tersebut, maka dilakukan serangkaian langkah-langkah konkrit melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan seperti UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, dan PP sebagai pelaksanaan dari UU tersebut, yaitu PP No. 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah, serta tata cara penyusunan APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan APBD.
Dalam prakteknya, penyelenggaraan otonomi daerah bagi sebagian daerah malah menjadi beban tersendiri. Otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan tiap-tiap daerah, dan seringkali dikaitkan dengan prinsip auto money. Artinya kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dari kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri. Implikasi dari penerapan prinsip auto money ini kemudian mendorong daerah-daerah untuk giat meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), salah satunya dengan menciptakan berbagai bentuk pajak dan retribusi daerah.
Meskipun kini paradigma penyelenggaraan otonomi daerah telah mengalami pergeseran dan tidak lagi berpangkal pada prinsip auto money, namun pada kenyataannya kapasitas keuangan daerah masih dititik beratkan pada kemampuan menggali PAD dari sektor pajak dan retribusi daerah, yang justru menimbulkan beban baru, antara lain menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan memberatkan bagi masyarakat yang bersangkutan.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong berkembangnya wacana mengenai perlunya dilakukan reformasi anggaran, agar pengalokasian anggaran lebih berorientasi pada kepentingan publik. Sistem anggaran yang selama ini digunakan adalah sistem line item dan incremental (sistem anggaran tradisional) yang ternyata dalam penerapannya memiliki berbagai kelemahan dan cenderung memberikan bobot yang lebih besar pada anggaran rutin (biaya aparatur), bukan pada anggaran pembangunan, sehingga pada akhirnya telah memberi peluang terjadinya pemborosan dan penyimpangan anggaran. Adapun kelemahan dari sistem anggaran tradisional tersebut seperti : 
Orientasi pada pengendalian pengeluaran dan cenderung mengabaikan outcome, adanya dikotomi rutin dan pembangunan yang tidak jelas, basis alokasi yang tidak jelas yang hanya berfokus pada ketaatan anggaran, dan akuntabilitas terbatas pada pengendalian anggaran, bukan pada pencapaian hasil. (Sjahruddin Rasul, 2002 : 45).
Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah merupakan salah satu bukti dari orientasi anggaran pada pengendalian pengeluaran, bukan pada pencapaian hasil. Kinerja instansi hanya diukur dari kemampuan dalam menyerap anggaran, bukan dari tingkat kinerja yang dicapai. Pemborosan uang negara sebagai akibat dari adanya dikotomi rutin dan pembangunan yang tidak jelas, tingginya rata-rata pengeluaran instansi pemerintah dan adanya penumpukan kegiatan pada beberapa instansi sebagai bukti dari basis alokasi anggaran yang tidak jelas.
APBD pada era otonomi daerah sekarang ini, disusun dengan pendekatan kinerja, artinya sistem anggaran yang mengutamakan pada pencapaian hasil/kinerja dari perencanaan alokasi biaya yang telah ditetapkan. Jika dibandingkan dengan sistem anggaran tradisional, sistem anggaran kinerja memiliki beberapa keunggulan seperti : "fokus pada hasil, lebih fleksibel, lebih dapat dievaluasi dan mempermudah pengambilan keputusan". (Sjahruddin Rasul, 2002 : 51).
Melalui penerapan anggaran berbasis kinerja, instansi dituntut untuk membuat standar kinerja pada setiap anggaran kegiatan sehingga jelas tindakan apa yang akan dilakukan, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh (fokus pada hasil). Klasifikasi anggaran yang dirinci mulai dari sasaran strategis sampai pada jenis belanja dari masing-masing program/kegiatan memudahkan dilakukannya evaluasi kinerja. Dengan demikian, diharapkan penyusunan dan pengalokasian anggaran dapat lebih disesuaikan dengan skala prioritas dan preferensi daerah yang bersangkutan.
Secara normatif, penerapan anggaran berbasis kinerja ini ditetapkan melalui UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, dan PP No. 105 tahun 2000, tepatnya pada pasal 8, yang isinya "APBD disusun dengan pendekatan kinerja".
Pada dasarnya, anggaran berbasis kinerja merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja yang harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Beberapa daerah, kini telah menerapkan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan APBD. Salah Satunya Pemerintah Daerah Kabupaten X yang telah menerapkan anggaran berbasis kinerja sejak tahun 2004.
Permasalahan pokok yang dihadapi Pemerintah Daerah Kabupaten X sekarang ini adalah otonomi menuntut setiap unit kerja untuk meningkatkan kinerja ekonomi, efisiensi dan efektivitas {value for money). Penelitian ini mengambil 23 Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten X. Alasan utama pemilihan di Pemda Kabupaten X disebabkan oleh permasalahan yang berkenaan dengan kinerja keuangannya yang dinilai kurang efisien mengingat instansi pemerintah daerah memegang peranan penting dalam meningkatkan pembangunan di Kabupaten X.
Bertolak dari uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Struktur dan Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja terhadap Kinerja Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten X".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut : 
1. Bagaimana pengaruh struktur anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X ?
2. Bagaimana pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui pengaruh struktur anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut : 
1. Secara teoretis
Sebagai tambahan wawasan mengenai implementasi anggaran berbasis kinerja dan pengukuran kinerja keuangan.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten X dalam meningkatkan kinerja keuangannya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:42:00

PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI

PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat membutuhkan adanya manusia-manusia yang unggul dan siap berkompetisi. Untuk menjadi manusia yang unggul, salah satu syaratnya adalah memiliki kecerdasan. Dengan kecerdasan ini, manusia dapat menggali ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya maupun bagi orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Bila hal ini tidak dimiliki, maka dengan sendirinya manusia itu akan tersingkir dan terbawa oleh arus globalisasi itu sendiri.
Untuk menjadi cerdas, seseorang harus meningkatkan ilmu pengetahuannya. Membaca merupakan salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan itu. Membaca tidak bisa dilepaskan dari proses memiliki pengetahuan. Dengan banyak membaca, maka wawasan dan pengetahuan seseorang akan semakin bertambah. Oleh sebab itu, tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan bahwa membaca itu adalah jembatan ilmu. Makin banyak seseorang membaca, maka akan semakin bertambah ilmunya. Dengan demikian, kecerdasan seseorang menjadi semakin bertambah pula.
Membaca menjadi demikian penting mengingat berbagai informasi dan pengetahuan tidak hanya tersaji melalui media elektronik, tetapi juga banyak terdapat pada media cetak seperti buku, koran, majalah, tabloid, dan sebagainya. Penguasaan ilmu pengetahuan melalui media elektronik mungkin bisa dilakukan.
Akan tetapi, cara seperti ini memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya ialah tidak semua orang bisa menyerap dengan cepat informasi yang disajikan itu. Bagi beberapa orang, mungkin informasi tersebut bisa langsung ditangkap. Namun, bagi sebagian orang lagi, butuh waktu untuk mengendapkan informasi tersebut sebelum kemudian memahaminya. Lain halnya dengan membaca, seseorang dapat menyerap informasi dari apa yang dibacanya sesuai dengan kecepatan pemahamannya masing-masing.
Kelemahan selanjutnya dari informasi yang tersedia pada media elektronik ialah ketersediaan media itu sendiri. Beberapa daerah yang mungkin masih terisolir masih sulit memperoleh informasi melalui media tersebut. Lagi pula, informasi atau pun ilmu pengetahuan itu lebih banyak dan lebih mudah diperoleh melalui media cetak. Dengan demikian, membaca merupakan kunci utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Oleh sebab itu, membaca hendaknya sudah menjadi kebiasaan bagi kita. Jika sudah terbiasa membaca, maka kegiatan ini akan menjadi kebutuhan bagi setiap individu. Kebiasaan membaca ini harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak yang mengembangkan kebiasaan membaca yang baik, akan menjadi pembaca yang baik pula di kemudian hari. Kebiasaan membaca akan lebih mudah dilakukan ketika anak sudah memiliki kemampuan membaca.
Namun, kemampuan membaca pada anak-anak saat ini menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak Indonesia memiliki kemampuan membaca yang sangat rendah bila dibandingkan dengan anak-anak di negara lain. Penelitian lembaga internasional tentang kemampuan membaca pada murid sekolah dasar menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia hanya menduduki peringkat kedua dari bawah dari 30 negara yang diteliti (Prasetyono, 2008 : 27). Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar anak senang membaca dan mengembangkan minat bacanya.
Mengingat demikian pentingnya membaca bagi kehidupan seseorang, maka lebih cepat seseorang memiliki kemampuan membaca akan semakin baik. Untuk itu, banyak di antara orang tua dan guru yang mulai mengajarkan anaknya agar mampu membaca di usia dini. Namun, keterbatasan pengetahuan dari orang tua mau pun guru serta warisan dari cara-cara lama (sewaktu belajar membaca mereka diajari seperti itu), menyebabkan mereka mengajarkan membaca dengan cara-cara yang kurang menyenangkan bagi anak. Misalnya dengan cara menghafal huruf-huruf alfabet, mengeja, dan sebagainya. Cara-cara seperti itu kini dipandang sudah tidak sesuai lagi, karena cara seperti itu dinilai membebani anak dan kurang mengembangkan proses berpikir anak.
Berkaitan dengan hal tersebut, kini bermunculan berbagai macam metode yang ditujukan bagi penguasaan kemampuan membaca bagi anak usia dini khususnya. Ada yang mengajarkan membaca dengan memperkenalkan huruf satu persatu, kemudian membaca dengan suku kata-suku kata yang membentuk suatu pola, misalnya ba, bi bu, be, bo atau ma, mi, mu, me, mo, dan sebagainya. Lalu, ada pula yang mengajarkan membaca lewat pengenalan kata secara utuh. Salah satu dari ketiga metode itu tidak lebih baik daripada metode yang lainnya. Metode-metode mengajarkan membaca tersebut memiliki kelebihan atau pun kelemahannya masing-masing. Namun, yang paling penting pada saat mengajarkan anak membaca, apa pun metodenya, pastikan anak senang dan menyukai kegiatan membaca tersebut. Sehingga anak secara alami akan mampu membaca dan menyukai membaca sepanjang hidupnya.
Dewasa ini, mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) bagi anak usia dini menjadi sebuah polemik. Sebagian pihak menuding bahwa hal itu dapat merampas kebebasan anak. Anak dipandang belum memiliki kesiapan untuk mempelajari calistung, oleh sebab itu calistung belum boleh diperkenalkan. Pendapat ini dilandasi oleh adanya sejumlah ahli yang mengatakan bahwa anak usia prasekolah tidak boleh belajar dan diajari membaca. Hal ini disebabkan usia anak adalah usia bermain dan anak secara mental belum siap membaca hingga usia enam tahun. Orang tua diingatkan untuk tidak mengajari anak membaca sebelum anak mencapai usia tersebut. Para ahli berpendapat, ketika anak diajari membaca mereka akan cenderung tertekan karena belum siap menerima pengajaran yang diberikan.
Di lain pihak, ada pula pendapat para ahli yang mengatakan bahwa mengajarkan membaca pada anak usia prasekolah bisa saja dilakukan. Calistung merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki anak agar dapat memperoleh berbagai keterampilan selanjutnya. Semakin awal seorang anak menguasainya akan semakin baik. Kemampuan membaca khususnya, dapat memperkaya dan memperluas kemampuan berpikir anak. Pendapat ini diperkuat dengan berbagai penelitian oleh para ahli. Team Dafa Publishing (2010 : 12-13) merinci beberapa hasil penelitian tersebut seperti yang dipaparkan sebagai berikut.
1. Penelitian mengenai otak oleh Diamond menyimpulkan bahwa pada umur berapa pun sejak lahir hingga mati adalah mungkin untuk meningkatkan kemampuan mental melalui rangsangan lingkungan. Ungkapan use it or lose it menunjukkan bahwa semakin banyak otak terangsang oleh aktivitas intelektual dan interaksi lingkungan, maka akan semakin banyak sambungan yang dibuat oleh sel-sel otak. Dalam hal ini, potensi otak dianggap tidak terbatas. Hal ini mengindikasikan bahwa jika otak semakin jarang digunakan, maka otak tidak akan berkembang.
2. Dilihat dari sisi perkembangan anak, perkembangan pada aspek bahasa terjadi dengan pesat pada usia prasekolah. Terdapat hubungan antara bahasa dan membaca. Sebenarnya, kesiapan anak untuk membaca sudah dimulai sejak lahir. Sejak bayi ia sudah dimulai diajak berbicara. Anak belajar mengenal bahasa dari lingkungannya. Artinya, belajar membaca merupakan kelanjutan dari bahasa berbicara atau mengenal bahasa yang sudah dikenal anak.
3. Anak usia prasekolah mulai mengenal hubungan tulisan, bunyi, dan maknanya, sehingga ia memahami fungsi tulisan dan bacaan. Ia mungkin senang membolak-balik buku, berpura-pura membacanya, serta mulai bertanya mengenai kata-kata tertentu yang tidak diketahuinya.
4. Menurut Hainstock, anak-anak usia prasekolah boleh diajari membaca, apalagi usia mereka adalah masa puncak alamiah menyerap berbagai kemampuan dan keterampilan. Termasuk menyerap kecakapan-kecakapan membaca.
Terlepas dari kontroversi di atas, mengajarkan calistung pada anak usia dini, khususnya membaca dapat dilakukan asalkan dengan cara yang menyenangkan. Cara tersebut sesuai dengan bakat dan minat anak, serta tidak menuntut hasil yang instan pada anak. Sehingga diharapkan anak akan menyukai membaca dan memiliki minat baca sejak dini.
Menumbuhkan minat baca pada anak tidaklah mudah. Namun, aktivitas ini harus ditumbuhkan sejak lahir hingga dewasa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari University of Leicester, bahwa pengalaman membaca anak sejak dini sangat penting untuk mengembangkan kemampuan membaca di kemudian hari. Lebih lanjut menurut hasil penelitian ini menegaskan bahwa : 'Usia saat seseorang belajar kata-kata adalah kunci untuk memahami bagaimana seseorang mampu membaca di kemudian hari' (Olivia, 2009 : 3).
Menurut Prasetyono (2008 : 12), "Masa awal kehidupan anak hingga usia prasekolah, merupakan masa dimana anak memiliki rasa keingintahuan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa". Masa ini merupakan kesempatan emas bagi kita untuk menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak, tidak terkecuali kemampuan membaca. Oleh sebab itu, orang tua maupun guru hendaknya dapat memanfaatkan masa emas ini dengan sebaik mungkin.
Berbagai upaya mungkin telah dicoba oleh orang tua maupun guru agar anak bisa membaca. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak dapat mengikuti metode standar yang bagi anak lain bukan masalah. Beberapa di antara mereka masih saja mengalami kesulitan dalam membaca. Menurut Olivia (2009 : 13), "Kesulitan membaca pada anak secara umum bersumber pada beberapa hal antara lain kejenuhan, keterbatasan daya ingat (memori), serta lemahnya konsentrasi anak".
Membaca merupakan kegiatan yang menuntut adanya ketekunan, sehingga hal ini terkesan membosankan bagi anak. Anak akan lebih tertarik pada aktivitas lain yang lebih menyenangkan, misalnya menggambar atau bermain. Ini sangat mungkin terjadi karena pada saat belajar membaca, yang dihadapi anak adalah huruf, huruf, dan huruf. Kejenuhan yang dialami anak ini sangatlah mungkin terjadi karena otak mereka mengalami kelelahan dalam menerima materi dalam suasana yang monoton.
Selain itu, tidak semua anak memiliki memori (daya ingat) yang baik. Sehingga mereka merasa bahwa belajar membaca merupakan suatu beban yang berat. Anak-anak juga terkenal dengan konsentrasinya yang pendek. Oleh sebab itu, tidak sedikit anak yang mengalami masalah kurangnya konsentrasi, begitu pula dalam belajar membaca. Untuk itulah guru maupun orang tua hendaknya memiliki strategi yang tepat ketika mengajarkan anak, tidak hanya membaca tetapi juga kemampuan lain.
Selain kecerdasan yang salah satu cara memperolehnya melalui kegiatan membaca, arus globalisasi juga membutuhkan adanya manusia-manusia yang kreatif. Kehidupan yang kita nikmati saat ini, yang penuh dengan hasil-hasil kemajuan teknologi merupakan buah dari pemikiran kreatif sebelum kita. Mereka berhasil mewujudkan mimpi yang oleh sebagian besar orang merupakan sesuatu yang mustahil.
Arus transportasi dan komunikasi berkembang demikian pesatnya, sehingga jarak yang dulu hanya bisa ditempuh dalam jangka berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan kini hanya ditempuh dalam jangka waktu beberapa menit saja. Demikian pula dalam komunikasi, jarak yang jauh bukan lagi menjadi masalah. Kemajuan-kemajuan itu tidak lain adalah hasil dari kreativitas manusia yang didahului dengan adanya mimpi atau khayalan. Namun, adanya kecenderungan dalam masyarakat yang menilai bahwa bermimpi dan berkhayal merupakan sesuatu yang negatif, menyebabkan kreativitas menjadi tidak berkembang.
Kecenderungan yang ada saat ini di kalangan pelajar maupun mahasiswa ialah sulitnya membuat atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat melalui ide-ide kreatif. Hal ini merupakan manifestasi dari pendidikan yang telah kita diterima sebelumnya. Sistem pendidikan kita kurang memperhatikan pengembangan kreativitas dari siswa itu sendiri. Di sekolah, siswa mempelajari sesuatu sebatas yang diajarkan gurunya. Sementara itu, kecenderungan yang terjadi di lapangan, para guru hanya mengajar apa yang diharapkan dan digariskan oleh kurikulum. Mereka kurang memiliki keberanian dalam mengambil keputusan untuk membuat insiatif-inisiatif yang memungkinkan siswa mengembangkan kreativitasnya. Yang menjadi tujuan bagi sebagian besar guru adalah ketercapaian target kurikulum.
Sistem pendidikan seperti ini telah menghambat proses kreativitas anak, sehingga yang muncul hari ini adalah anak-anak yang miskin dengan ide-ide kreatif, anak yang takut tampil beda dengan ide kreatif tersebut. Padahal, seharusnya pendidikan itu hendaknya dapat mengembangkan segala potensi yang dibawa manusia sejak lahir. Potensi-potensi tersebut merupakan bekal bagi setiap individu untuk menjalani rentang kehidupannya. Terutama potensi kreativitas yang memungkinkan kita menemukan berbagai alternatif solusi ketika menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, peran pendidikan sebagai salah satu elemen yang turut serta dalam mengembangkan potensi anak perlu terus ditingkatkan.
Belum lagi di rumah, orang tua sering tanpa disadari telah mematikan daya kreativitas anak. Persepsi orang tua tentang bermain, ketidaktahuan tentang makna bermain bagi anak seringkali membuat orang tua melarang anaknya bermain. Hal ini justru dapat mematikan daya kreativitas anak, karena salah satu sarana mengembangkan kreativitas adalah melalui bermain.
Dari beberapa definisi kreativitas dari para ahli dapat diketahui bahwa pada intinya kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Gordon & Brown. Menurut Gordon & Browne (Moeslichatoen, 2004 : 19), 'Kreativitas merupakan kemampuan anak mencipta gagasan baru yang asli dan imajinatif, dan juga kemampuan mengadaptasi gagasan baru dengan gagasan yang sudah dimiliki'. Bila guru ingin mengembangkan kreativitas anak, guru harus membantu mereka mengembangkan kelenturan, dan menggunakan imajinasi, kesediaan untuk mengambil resiko, menggunakan diri sendiri sebagai sumber dan pengalaman belajar.
Menurut Moeslichatoen (2004 : 11), "Anak TK cenderung mengekspresikan diri bila harus menanggapi sesuatu situasi". Misalnya bila ditanyakan kepada anak TK apakah mereka menyukai adik kecilnya ? Ia tidak menjawab ya atau tidak, melainkan : "Saya suka bila adik nyanyi bintang kecil dan tidak rewel". Hal ini mengindikasikan jawaban yang benar-benar terjadi dalam diri anak. Jadi, ia menambahkan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya dengan perkataan lain. Oleh sebab itu, ia dikatakan telah menciptakan sesuatu. Bila anak mengemukakan sesuatu yang diwarnai oleh kepribadiannya dan diperkaya dengan gagasan-gagasan sendiri inilah suatu kreativitas.
Pada dasarnya setiap manusia telah dikaruniai potensi kreatif sejak ia dilahirkan. Potensi kreatif ini dapat kita amati melalui keajaiban alamiah seorang bayi yang mampu mengeksplorasi sesuatu yang ada di sekitarnya. Jika bayi saja bisa memanfaatkan potensi kreatif dengan segala keterbatasannya, apalagi anak-anak maupun orang dewasa yang sudah memiliki fasilitas yang lengkap untuk mengembangkan potensi kreatif tersebut. Oleh sebab itu, kreativitas perlu dipupuk dan dikembangkan sejak usia dini.
Namun, pada kenyataannya perlakuan yang diterima anak usia dini baik di rumah maupun di lembaga prasekolah pada kenyataannya belum sepenuhnya dapat mengembangkan kreativitas pada anak usia dini. Kebanyakan di antara mereka dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi anak yang manis dan penurut, duduk manis dan tidak banyak bicara. Belum lagi di rumah, kesibukan orang tua telah menyita waktu mereka dalam menjawab keingintahuan anak. Hal-hal inilah yang disinyalir dapat menghambat berkembangnya kreativitas pada diri anak.
Supriadi (Rahmawati dan Kurniati, 2003 : 8-9) memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jellen dan Urban pada tahun 1987 berkenaan dengan tingkat kreativitas anak usia 10 tahun di berbagai negara termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang mengejutkan. Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari sembilan negara yang diteliti. Tingkat kreativitas anak Indonesia ternyata berada jauh di bawah Filipina, Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Bahkan di bawah negara India, RRC, Kamerun dan Zulu. Berbagai faktor diperkirakan menjadi penyebab rendahnya kreativitas anak Indonesia.
Beberapa faktor tersebut diantaranya ialah pola asuh orang tua yang otoriter dan sistem pendidikan yang kurang mendukung.
Dewasa ini, di Indonesia berkembang suatu bentuk pendidikan yang ditujukan bagi anak usia dini. Lahirnya bentuk pendidikan ini dilandasi oleh semangat pendidikan untuk semua {education for all) sebagai hasil dari konferensi Dakkar. Hasil konferensi ini memberikan kesadaran bagi semua pihak dalam dunia pendidikan, khususnya orang tua, guru, dan pemerintah. Bahwa pendidikan itu sebaiknya dimulai sejak usia dini. Kesadaran ini juga ditunjang oleh adanya penemuan para ahli neurolagi yang menyatakan bahwa kemampuan otak anak berkembang pesat justru pada saat mereka berusia 0-8 tahun, dan mencapai titik kulminasi pada usia 18 tahun. Oleh karena itu, masa yang sering disebut sebagai masa emas ini {golden age) merupakan masa yang paling tepat untuk menstimulasi perkembangan anak dalam berbagai aspek.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Sistem Pendidikan Nasional, 2003 : Pasal 1 ayat 14).
Oleh sebab itu, pendidikan untuk usia dini perlu menyediakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan yang meliputi kognitif, bahasa, sosial, emosi, fisik dan motorik. Untuk itu, perlu diupayakan suatu proses pembelajaran yang menyenangkan bagi anak usia dini untuk memfasilitasi pengembangan berbagai aspek tersebut. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Pada hakekatnya, semua anak senang bermain. Mereka menggunakan sebagian besar waktunya untuk bermain, baik sendiri, dengan teman sebayanya, maupun dengan orang dewasa di sekitarnya. Oleh karena itu, kegiatan bermain merupakan faktor penting dalam kegiatan pembelajaran dan esensi bermain harus menjadi jiwa dari setiap kegiatan pembelajaran anak usia dini.
Bermain merupakan bagian dari perkembangan kognitif anak. Piaget (Suyanto, 2005 : 116) menyatakan 'Bermain dengan objek yang ada di lingkungannya merupakan cara anak belajar'. Berinteraksi dengan objek dan orang, serta menggunakan objek itu sendiri untuk berbagai keperluan membantu anak memahami tentang objek, orang, dan situasi tersebut. Sementara itu, Erikson (Suyanto, 2005 : 116) seorang penganut teori psikoanalis berpendapat 'Bermain juga mengembangkan rasa percaya diri'. Bermain juga merupakan tuntutan dan kebutuhan yang esensial bagi anak. "Melalui bermain, anak akan dapat memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif, kreativitas, bahasa, emosi, sosial, nilai, dan sikap hidup" (Moeslichatoen, 2004 : 32). Melalui kegiatan bermain pula, anak dapat melatih kemampuan bahasanya dengan berbagai cara, seperti : mendengarkan beraneka bunyi, mengucapkan suku kata atau kata, memperluas kosa kata, berbicara sesuai dengan tata bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Saat ini berbagai bentuk lembaga pendidikan anak usia dini mulai bermunculan di tengah masyarakat. Apalagi setelah perhatian pemerintah terhadap pendidikan ini mulai dirasakan cukup baik. Lembaga-lembaga tersebut tergolong menjadi tiga bagian, PAUD formal, nonformal dan informal. Yang tercakup dalam PAUD formal antara lain Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA), sedangkan PAUD nonformal ialah Kelompok Bermain (KB) dan Busthanul Athfal (BA). Sementara itu, PAUD informal meliputi pendidikan keluarga dan masyarakat.
Sebagai salah satu bentuk pendidikan anak usia dini, TK mengemban sejumlah tugas mulia untuk membantu mengembangkan segenap aspek perkembangan anak. Tugas-tugas tersebut tercantum dalam tujuan pendidikan TK. Salah satu dari tujuan pembelajaran di TK adalah meningkatkan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa sangat diperlukan sebagai sarana untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis melalui interaksi dengan lingkungan. Pengalaman berbahasa anak yang diperoleh melalui proses interaksi baik dengan teman sebaya, orang tua, maupun dengan orang dewasa lainnya dapat menambah perbendaharaan kata anak. Dengan banyaknya perbendaharaan kata tersebut, anak akan menjadi mudah dan lancar dalam berkomunikasi. Sehingga ia dapat menyampaikan maksud, tujuan atau pun keinginannya tanpa kesulitan. Pengalaman berbahasa yang telah diperoleh anak ini diperlukan untuk membangun dan menjadi dasar untuk meningkatkan kemampuan membaca dini.
Berbagai macam metode dan teknik dapat diterapkan untuk membantu anak agar bisa membaca dan sekaligus mengembangkan kreativitasnya. Belakangan ini ditemukan suatu teknik untuk belajar membaca, yakni pemetaan pikiran atau lebih dikenal dengan mind mapping. Mind mapping sendiri adalah suatu metode visualisasi pengetahuan secara grafis untuk mengoptimalkan eksplorasi seluruh area kemampuan otak. Mind mapping diperkenalkan oleh Buzan dan telah digunakan oleh jutaan orang pintar di dunia. Pada dasarnya mind mapping dihasilkan dari perpaduan antara pola berpikir lurus dan pola berpikir memencar.
Pola berpikir lurus dilakukan dengan menentukan kata atau objek, dilanjutkan dengan mencari kata yang berkaitan dengan objek sebelumnya. Setiap kata akan dihubungkan dengan tanda panah yang berarti kata tersebut akan mengarah pada persepsi kata berikutnya. Sedangkan pola berpikir memencar adalah mencari segala sesuatu yang ada hubungannya dengan tema yang diberikan, yang dalam pemetaan akan muncul sebagai cabang-cabang. Pola berpikir memencar akan membantu anak untuk belajar menghubungkan serta melihat gambaran secara menyeluruh tentang sebuah objek.
Pada peta pikiran terdapat unsur kata-kata, gambar serta warna. Huruf dan kata-kata melibatkan kerja otak kiri dapat digunakan untuk memperkenalkan sebanyak mungkin kata kepada anak usia dini. Sedangkan gambar dan warna melibatkan otak kanan, yang lebih cenderung mengasah kreativitas pada diri anak. Dengan demikian, terjadilah sinergi antara kedua belahan otak. Sehingga kerja otak menjadi lebih rileks dan tidak mudah mengalami kejenuhan. Makin banyak sambungan antara kedua belahan otak, akan semakin terasah kecerdasan anak. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Semiawan (Olivia, 2009 : 1) bahwa 'Otak anak yang berbakat juga mampu menghasilkan sinyal-sinyal dalam jumlah besar serta lebih tinggi lalu lintas antara belahan otak kiri dan kanannya'. Pada akhirnya akan dirasakan manfaat dari belajar dengan mind mapping, yakni mengoptimalkan pengembangan ide dan kreativitas serta meningkatkan daya nalar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca dan kreativitas adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Mengingat demikian pentingnya kedua hal tersebut, maka semakin dini seseorang memiliki kemampuan tersebut tentu akan semakin baik. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan oleh guru maupun orang tua agar anak memiliki kedua keterampilan tersebut.
Oleh karena itu, penulis merasa tertarik melakukan penelitian untuk dapat mengetahui sejauh mana penerapan mind mapping ini dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan membaca dini pada anak. Maka penulis memfokuskan judul tesis ini, yaitu : "Penerapan Mind mapping dalam Rangka Menstimulasi Kreativitas dan Meningkatkan Kemampuan Membaca Anak Usia Dini". 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimanakah guru menerapkan prinsip-prinsip mind mapping dalam rangka menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca anak usia dini di TK X ?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan membaca antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol) ?
3. Apakah terdapat perbedaan kreativitas antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol) ?

C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya, yang merupakan tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah penerapan mind mapping itu dapat menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca pada anak usia dini. Oleh sebab itu, maka berbagai kegiatan dalam penelitian ini diarahkan untuk menemukan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan tadi. Adapun tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui bagaimana guru menerapkan prinsip-prinsip mind mapping dalam rangka menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca anak usia dini di TK X. 
2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kemampuan membaca antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol).
3. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kreativitas antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol).

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait di dalamnya, seperti : guru, siswa, dan peneliti sendiri. Khususnya bagi para praktisi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam praktik pendidikan sehari-hari. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut.
1. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai teknik yang dapat digunakan dalam rangka mengembangkan kreativitas dan kemampuan membaca dini pada anak TK. Guru-guru mungkin telah memiliki banyak pengetahuan, khususnya berkenaan dengan peningkatan kemampuan membaca dini dan pengembangan kreativitas pada anak. Namun, melalui penelitian ini guru dapat memperkaya wawasannya tentang mengajarkan membaca dini melalui cara-cara yang lebih menyenangkan dan disukai oleh anak, serta dapat menstimulasi perkembangan otak kiri dan otak kanan anak secara seimbang.
2. Bagi Siswa
Anak-anak yang pada umumnya (sering ditemukan di lapangan) belajar membaca dengan cara-cara yang konvensional dimana guru memperkenalkan huruf satu persatu, kemudian mereka diminta menghafalkannya. Kegiatan ini sama sekali tidak bermakna bagi siswa, sehingga mereka akan merasa terbebani.
Melalui penelitian ini, siswa akan mendapat manfaat terutama dalam pengembangan kemampuan membaca yang diperoleh melalui kegiatan yang menyenangkan. Dengan demikian, anak akan cenderung mampu membaca dan akan menyukai kegiatan ini seumur hidupnya. Selain itu, mereka juga dapat mengembangkan kreativitasnya, terutama dalam kegiatan membaca. Perkembangan otak kiri dan otak kanan anak juga akan menjadi seimbang dengan penerapan mind mapping ini, karena dalam mengajarkan membaca, kedua wilayah otak ini akan dirangsang atau distimulasi secara seimbang. 
3. Bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti sendiri ialah memperoleh pengetahuan lebih dalam, khususnya mengenai pembelajaran membaca dini bagi anak, sehingga penulis juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat bagi peneliti khususnya mengenai pengembangan kreativitas anak usia dini. 

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:28:00

PENINGKATKAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA INDONESIA MELALUI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

A. Latar Belakang Masalah
Bahasa dalam kehidupan sehari-hari sangat memegang peranan penting terutama dalam pengungkapan pikiran seseorang atau merupakan sarana untuk berflkir, menalar dan menghayati kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari tidak ada seorangpun yang dapat meninggalkan bahasa karena selain sebagai sarana berflkir bahasa juga digunakan sebagai alat komunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gorys Keraf (Husain Junus,1996:14) menyatakan bahwa "Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat yang berupa bunyi suara atau tanda atau lambang yang dikeluarkan oleh manusia untuk menyampaikan isi hatinya kepada manusia lainnya". Dalam hal ini yang dimaksud dengan bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat adalah Bahasa Indonesia.
 
Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat ini tidak lepas dari penguasaan kosakata, karena dengan penguasaan kosakata yang cukup akan memperlancar siswa dalam berkomunikasi dan mempermudah siswa untuk memahami bahasa yang terdapat dalam buku-buku pelajaran. Seperti diungkapkan oleh Burhan Nurgiantoro (1988:154) "untuk dapat melakukan kegiatan komunikasi dengan bahasa diperlukan penguasaan kosakata dalam jumlah yang cukup atau memadai". Penguasaan kosakata yang lebih banyak memungkinkan kita untuk menerima dan menyampaikan informasi yang lebih luas dan kompleks". Lebih lanjut Burhan Nurgiantoro (1988:196) mengatakan "Kosakata merupakan alat utama yang harus dimiliki seseorang yang akan belajar bahasa, sebab kosakata berfungsi untuk membentuk kalimat dan mengutarakan isi pikiran serta perasaan dengan sempurna baik secara lisan maupun tulisan".
 
Penguasaan kosakata pada usia sekolah dasar sangatlah penting dan merupakan dasar yang kuat untuk penguasaan kosakata pada usia selanjutnya. Anak pada saat itu diisi dan dibimbing dengan teratur dan sistematik dalam proses menyadari dunia dan alam sekitarnya, bahkan keluar dunia alam sekitarnya yang disebut proses belajar. Sesuai dengan tujuan pembelajaran yang termuat dalam kurikulum Bahasa Indonesia tahun 2004 menyatakan bahwa pengajaran Bahasa Indonesia ditujukan pada pengembangan kemampuan berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia meliputi ketrampilan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara seimbang. Tujuan sebagaimana diatas pada hakikatnya disesuaikan dengan kebutuhan saat ini.
 
Seiring dengan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia, maka siswa pada tingkat dasar diharapkan mampu atau dapat menguasai keempat ketrampilan bahasa secara aktif dan integratif dengan menggunakan komponen bahasa yang komunikatif dan benar, sehingga secara tidak langsung kemampuan dan penguasaan bahasa ini dapat menjawab tantangan di era globalisasi ini. Siswa dituntut mampu untuk mengikuti perkembangan teknologi setaraf dengan kemampuannya yang disesuaikan dengan tingkat usia dan tingkat perkembangan mental anak. Pendidikan bahasa sebagai alat komunikasi sangatlah penting dan harus dipahami oleh siswa pada umumnya dan anak tunagrahita pada khususnya. Bagi anak tunagrahita itu sendiri bahasa yang dimiliki belum cukup untuk berkomunikasi secara lancar, itu semua disebabkan karena kondisi ketunaan yang disandangnya.
 
Kondisi anak tunagrahita seperti yang diungkapkan oleh Moh Amin (1995:11) yaitu:
"Anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada dibawah rata-rata. Di samping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit dan yang berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan atau dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti: mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung, dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang atau terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan".
 
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil pembelajaran Bahasa Indonesia pada anak tunagrahita umumnya masih rendah, khususnya kemampuan dalam penguasaan kosakata. Pernyataan ini diperkuat oleh seorang guru kelas III di SLB Negeri X bahwa sebagian besar siswa kelas III di SLB Negeri X Kabupaten X mempunyai sebuah permasalahan yang serius, yaitu belum terciptanya kebiasaan berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Siswa pada umumnya lebih suka menggunakan bahasa ibu (Bahasa Jawa) atau bahasa dialog dalam berkomunikasi baik dengan teman sekolah maupun dengan gurunya. Beberapa pedoman yang harus diperhatikan dalam penggunaan bahasa pengantar yang termuat dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional sebagai berikut:
1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
2. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan bila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau ketrampilan tertentu.
Terkait dengan peristiwa tersebut, beberapa faktor yang menjadi penyebab belum tercapainya tujuan yang diharapkan guru dengan kondisi siswa tunagrahita sebagai berikut:
1. Guru belum dapat menyajikan model pembelajaran Bahasa Indonesia secara aktif, kreatif dan integratif sesuai dengan kondisi anak dilapangan.
2. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru kurang bervariasi, sehingga siswa tunagrahita kurang termotivasi untuk menerapkan apa yang telah disampaikan.
3. Kurangnya kosakata yang dimiliki oleh siswa tunagrahita.
4. Buku pelajaran kurang porposional artinya belum mempunyai porsi yang cukup untuk mengembangkan ketrampilan salah satunya berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
 
Berbagai faktor penyebab di atas dapat diatasi dengan menggunakan suatu metode pembelajaran baru. Pembelajaran yang dimaksud adalah dengan pelaksanaan bermain peran (roleplay). Bermain peran adalah pentas pertunjukan yang dimainkan sejumlah orang. Saat bermain peran (role play) dibuatkan pembagian peran dan deskripsi setiap peran, selebihnya para pemain melakukan improvisasi untuk mengembangkan perannya masing-masing. Selesai permainan, kemudian fasilitator mengajak peserta menarik kesimpulan dari permainan. Bermain peran ini dapat menambah kosakata yang dimiliki anak lewat peran yang dimainkannya. Di samping anak akan menyukai peran yang akan dimainkan, anak akan berusaha untuk menjiwai setiap perannya. Melalui peran yang dimainkannya, dapat menambah perbendaharaan kosakata, selain itu bermain peran tidak terikat pada jadwal, mengingat anak-anak sering mogok tidak mematuhi rencana dikelas. Sutratinah Tirtonegoro (1987:17) mengemukakan bahwa:
 
"Mengajar di SLB harus fleksibel secara informal dramatisasi menarik perhatian anak, dan tidak boleh terikat pada jadwal mengingat anak-anak tersebut sering mogok tidak mematuhi rencana dikelas. Sehingga dengan demikian aspek-aspek kejiwaan anak akan terangsang begitu pula daya visual auditif motorik anak tertarik. Akibat dari stimulasi dan asosiasi yang berturut-turut dan terus menerus akan menumbuhkan mental yang tinggi".
 
Bermain peran adalah salah satu metode pembelajaran yang menyajikan hal-hal yang konkret dan melatih anak dalam penguasaan kosakata lewat peran yang dimainkannya. Melihat kondisi dilapangan bahwa anak tunagrahita lemah dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia maka metode bermain peran ini perlu untuk diterapkan. Berdasarkan kenyataan dan permasalahan sebagaimana di atas, maka peneliti mencoba mengadakan penelitian tindakan kelas yang setidaknya mampu mendapatkan formula baru dalam mengatasi permasalahan yang selama ini dihadapi, khususnya dalam ketrampilan berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia melalui peningkatan penguasaan kosakata yang dimiliki anak. Oleh karena itu peneliti mengajukan penelitian tindakan kelas sebagai berikut "Peningkatkan Penguasaan Kosakata Bahasa Indonesia melalui Metode Bermain Peran pada Anak Tunagrahita Ringan di SLB Negeri X".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Seberapa besar peningkatan metode bermain peran dalam meningkatkan penguasaan kosakata Bahasa Indonesia pada anak tunagrahita ringan yang berlangsung di SLB Negeri X".

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan penguasaan kosakata Bahasa Indonesia dengan menggunakan metode bermain peran pada anak tunagrahita ringan yang berlangsung di SLB Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Mengetahui peranan penggunaan metode bermain peran untuk meningkatkan penguasaan kosakata Bahasa Indonesia pada anak tunagrahita ringan kelas III SLB Negeri X tahun pelajaran XXXX/XXXX.
2. Manfaat Praktis
a. Menemukan alternatif untuk meningkatkan kemampuan penguasaan kosakata Bahasa Indonesia
b. Mencari solusi permasalahan yang dialami siswa yang mengalami kesulitan dalam penguasaan kosakata dalam Bahasa Indonesia

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:11:00