Cari Kategori

UPAYA KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN SARANA PRASARANA PENDIDIKAN

UPAYA KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN SARANA PRASARANA PENDIDIKAN DI SMA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan bidang pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat dalam rangka pengejawantahan salah satu cita-cita yang sangat mulia dan luhur, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi keinginan itu belum sepenuhnya terwujud. Dalam upaya tersebut, masyarakat dan pemerintah seharusnya bahu-membahu dalam upaya mencerdaskan seluruh komponen bangsa melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah SAW adalah suatu keharusan bagi setiap muslimin dan muslimah, sebab pendidikan sangat penting perannya bagi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya di tengah kehidupan global. Dengan berpendidikan, manusia mampu mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran yang tersusun dan terprogram. Kegagalan dunia pendidikan dalam menyiapkan masa depan umat manusia, merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mengandung pembinaan kepribadian. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan ialah melalui proses pembelajaran. Pembelajaran bisa dilaksanakan secara formal maupun non formal, baik melalui sekolah maupun luar sekolah, sehingga diharapkan seluruh komponen bangsa bisa mengenyam dan menikmati pendidikan sebagai kebutuhan primer masyarakat sebagaimana termaktub dalam UUD 45.
Pada tahun 1950-an, tepatnya setelah 5 tahun Indonesia merdeka, pemerintah telah melakukan suatu usaha-usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya generasi muda. Meskipun berjalan dengan apa adanya, beberapa lembaga pendidikan telah didirikan mulai tingkat Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi. Pada masa itu, peralatan, sistem penerangan, sistem persuaraan (mikrofon) sangat sederhana, sesuai dengan apa yang ada di tempat-tempat tersebut. Belum lagi tentang sistem visual, perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya. Semuanya serba terbatas. Tak ada rotan, akar pun jadi. Yang penting pendidikan harus tetap berjalan. Lain halnya dengan keadaan sekarang, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang dengan pesatnya, sehingga menuntut kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan itu sendiri.
Pengembangan, peningkatan dan perbaikan pendidikan harus dilakukan secara holistis dan stimulan. Diantaranya pengadaan fasilitas di sekolah seperti sarana dan prasarana pendidikan tidak bisa diabaikan dalam proses pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran. Dalam pembaharuan pendidikan tentu saja fasilitas merupakan hal yang dapat mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya inovasi pendidikan bisa dipastikan tidak berjalan dengan baik. Fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam mengadakan pembaharuan pendidikan. Oleh karena itu jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan maka fasilitas perlu diperhatikan.
Dewasa ini masih sering ditemukan banyaknya sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki oleh sekolah yang diterima sebagai bantuan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat yang penggunaannya tidak optimal dan bahkan tidak dapat lagi digunakan sesuai dengan fungsinya. Penyebab hal tersebut terjadi antara lain karena kurangnya kepedulian terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki serta tidak adanya pengelolaan yang memadai. Seiring dengan perubahan pola pemerintahan setelah diberlakukannya otonomi daerah, maka pola pendekatan manajemen sekolah saat ini berbeda pula dengan sebelumnya, yakni lebih bernuansa otonomi.
Mengoptimalkan penyediaan, pendayagunaan, perawatan dan pengendalian sarana dan prasarana pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan, diperlukan penyesuaian sarana dan prasarana yang mengacu kepada mutu. Masalah sarana dan prasarana pendidikan pada dasarnya cukup kompleks. Sekolah dituntut memiliki kemandirian untuk mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut kebutuhan dan kemampuan sendiri serta berdasarkan pada mutu, aspirasi dan partisipasi warga sekolah dengan tetap mengacu pada peraturan dan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Dalam UUSPN Nomor 20 tahun 2003 BAB XII Pasal 45 dijelaskan mengenai sarana dan prasarana : 
(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. 
(2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
UU di atas diperjelas dengan diturunkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam BAB I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 8 disebutkan sebagai berikut : 
"Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berekreasi dan berkreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi."
Secara spesifik standar sarana dan prasarana dijelaskan dalam PP No. 19 Tahun 2005 bab VII Pasal 42 dengan tegas disebutkan bahwa : 
1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. 
2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang atau tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Pada dasarnya sarana dan prasarana pendidikan di sekolah merupakan salah satu bidang kajian dari manajemen sekolah (school management) atau administrasi pendidikan (educational administration) dan sekaligus menjadi tugas pokok kepala sekolah. Kualitas suatu sekolah sangat ditunjang oleh sarana dan prasarana pendidikan.
Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Oleh sebab itu sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran. u Bagi sekolah yang mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana yang lengkap dapat menumbuhkan gairah dan motivasi dalam proses pembelajaran, hal ini tentu tidak terlepas dari peranan kepala sekolahnya.
Kepala sekolah sebagai top leader lembaga formal mempunyai peranan penting dan kekuasaan penuh pada lembaga yang dipimpinnya. Oleh sebab itu mau tidak mau harus bertanggungjawab atas keseluruhan prilaku manajemen yang terjadi di sekolah. Kontrol dan koreksi merupakan tanggungjawab yang harus dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap kondisi-kondisi ruangan sekolah beserta perlengkapannya termasuk halaman, toilet, dan tempat-tempat bermain. Hal sekecil apapun harus menjadi target pengawasan dan hal ini tidak terlepas dari tanggung jawab kepala sekolah beserta stafnya dalam mewujudkan lingkungan sekolah yang nyaman, efektif dan tentu saja harus menarik peserta didik untuk ber internalisasi di dalam sekolah tersebut, sehingga seorang manajer atau kepala sekolah harus bekerja seoptimal mungkin dan mempunyai komitmen terhadap proses dan hasil kerja yang bermutu selaras dengan ajaran Islam. 
Dalam praktek di Indonesia kepala sekolah adalah guru senior yang dipandang memiliki kualifikasi menduduki jabatan tersebut yang berfungsi memaksimumkan, mendayagunakan sumber daya yang tersedia secara produktif untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bagi unit kerjanya. Sebagai pemimpin di lembaga pendidikan, kepala sekolah bertanggungjawab menciptakan lingkungan belajar yang kondusif yang memungkinkan anggota sekolah mendayagunakan dan mengembangkan potensinya secara optimal.
Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer sarana dan prasarana, kepala sekolah mengelola semua yang terdapat di sekolah yang meliputi gedung, pekarangan, dan peralatan secara lebih berdaya guna. Segala sesuatu yang ada di sekolah sedapat mungkin dimanfaatkan sebagai pelayanan untuk menunjang proses belajar mengajar. Sebagai pengelola kantor, kepala sekolah berperan menentukan kelancaran jalannya administrasi dan ketertiban kerja di sekolah, karena kepala sekolah memegang peranan yang sangat penting sebagai penguasa di sekolah, kepala sekolah diharapkan mampu memelihara ketertiban sekolah.
Peranan kepala sekolah sebagai administrator pendidikan bertolak dari hakekat administrasi pendidikan sebagai pendayagunaan berbagai sumber (manusia, sarana dan prasarana serta berbagai media pendidikan lainnya) secara optimal, relevan, efektif dan efisien guna menunjang pencapaian tujuan pendidikan. Sebagai administrator ia bekerja sama dengan orang lain dalam lingkup pendidikan (sekolah). Dia melibatkan komponen manusia dengan berbagai potensinya dan juga komponen-komponen dengan berbagai jenisnya. Semua harus ditata dan dikoordinasikan atau didayagunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Administrasi pendidikan meliputi delapan subtansi sebagai bidang garapannya yaitu administrasi peserta didik, administrasi kepegawaian, administrasi kurikulum, administrasi sarana prasarana, administrasi anggaran atau biaya, administrasi tatalaksana atau tata usaha, administrasi organisasi, dan administrasi hubungan sekolah dengan masyarakat. Untuk mengelola seluruh substansi pendidikan tersebut, seorang pemimpin pendidikan yang berfungsi sebagai administrator hendaknya memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap terhadap fungsi-fungsi manajemen.
Kepala sekolah dalam melaksanakan peran fungsinya mengelola pendidikan tentang substansi administrator sekolah yang satu bidang garapannya adalah pengelolaan gedung sekolah hendaknya menyiapkan jadwal kegiatan penambahan gedung sekolah, mengkoordinir rencana-rencana untuk perubahan dan penambahan gedung sekolah, mengkoordinir kegiatan-kegiatan dari seksi-seksi, bidang-bidang, kelompok-kelompok untuk meningkatkan efisiensi dan keharmonisan. Kemampuan mengelola administrasi sarana dan prasarana harus diwujudkan dalam pengembangan, misalnya administrasi gedung, ruang, meubeler, buku, alat-alat labor dan sebagainya.
Dalam kaitannya penulisan tesis ini fungsi manajemen yang dapat dijangkau sesuai dengan kondisi di lapangan berfokus pada fungsi Upaya Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Sarana Prasarana Pendidikan serta memusatkan pada penerapan salah satu fungsi-fungsi manajemen yaitu penggerakan (actuating) yang substansinya adalah pada bidang sarana dan prasarana.
Substansi sarana dan prasarana oleh peneliti di SMAN X, sedangkan faktor pendorong peneliti memilih sekolah ini sebagai lokasi penelitian adalah menurut pengamatan sementara SMA Negeri 7 dalam kurun waktu ± 2 (dua) tahun terakhir sampai tesis ini ditulis di bidang sarana prasarana mengalami perubahan positif di lingkungannya dibandingkan dengan 2 (dua) tahun sebelumnya seperti yang dikemukakan oleh kepala sekolah. 
Merespon dari kondisi riil yang dijelaskan oleh kepala sekolah melalui wawancara pendahuluan tersebut di atas maka peneliti menetapkan bidang sarana dan prasarana pendidikan di sekolah sebagai pokok permasalahan yang hendak dikaji dan diteliti dalam penulisan tesis ini.
Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah sarana dan prasarana pendidikan dari semua benda bergerak atau tidak bergerak yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan proses kegiatan belajar mengajar baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selain dari hal tersebut dipilihnya bidang sarana dan prasarana pendidikan sebagai fokus kajian dan fokus penelitian karena kenyataan di lapangan dibidang ini menunjukkan kurang layaknya untuk sebagai faktor penunjang dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien serta kurang menunjukkan sekolah yang produktif secara kualitas maupun kuantitas.
Secara umum manajemen sarana prasarana memberikan layanan secara profesional di bidang sarana dan prasarana pendidikan dalam rangka terselenggaranya proses pendidikan secara efektif dan efisien. Bafadal telah menjelaskan melalui prinsip-prinsip manajemen sarana dan prasarana pendidikan bahwa semua fasilitas di sekolah harus dalam keadaan kondisi siap pakai dan semua kegiatan pengadaan sarana dan prasarana sekolah dilakukan dengan perencanaan yang hati-hati, sehingga bisa memperoleh fasilitas yang berkualitas baik dengan harga yang relatif murah.
Pendapat lain juga mengemukakan bahwa sarana prasarana pendidikan merupakan fasilitas yang berfungsi untuk tempat terselenggaranya proses pendidikan seperti gudang dan laboratorium beserta perlengkapannya.
Untuk itu dalam penelitian ini peneliti memberi judul "UPAYA KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN SARANA PRASARANA PENDIDIKAN", sedangkan dipilihnya SMAN X sebagai fokus penelitian karena sekolah ini dinilai belum meningkatnya jumlah siswa, prestasi akademik, non akademik dan fisik sekolah yang memprihatinkan.

B. Fokus Penelitian
Berangkat dari hasil data-data yang telah dikumpulkan di lapangan dan bertolak dari permasalahan umum serta memperhatikan kondisi khusus yang tergambar pada konteks penelitian. Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui dan memahami "Upaya Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Sarana Prasarana Pendidikan" serta memusatkan pada penerapan salah satu fungsi-fungsi manajemen yaitu penggerakan (actuating) yang substansinya adalah pada bidang "sarana dan prasarana".
Penanganan dan pengelolaan sarana prasarana di sekolah membutuhkan suatu proses yang tidak mudah, apalagi sarana prasarana merupakan hal mendasar bagi pelaksanaan pendidikan di sekolah atau madrasah. Berdasarkan fokus umum (general focus) penelitian yaitu Upaya Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Sarana Prasarana Pendidikan, serta supaya alur pikir dirasa sistematis dan mudah dipahami, maka jabaran fokus khusus (specific fokus) penelitian dirumuskan seperti berikut ini : 
1. Upaya apa yang dilakukan oleh kepala sekolah SMAN X Kecamatan Sangir Batang Hari dalam meningkatkan sarana prasarana pendidikan di lembaga yang dipimpinnya ?
2. Sarana prasarana apa saja yang menjadi prioritas untuk dikembangkan oleh kepala sekolah SMAN X ?
3. Bagaimana realisasi peningkatan sarana prasarana pendidikan di SMAN X ?
4. Bagaimana manfaat pengembangan sarana prasarana pendidikan bagi perkembangan akademik siswa SMAN X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah SMAN X dalam meningkatkan sarana prasarana pendidikan di lembaga yang dipimpinnya
2. Untuk mengetahui sarana prasarana yang dijadikan prioritas untuk dikembangkan kepala sekolah SMAN X 
3. Mengetahui realisasi peningkatan sarana prasarana pendidikan di SMAN X
4. Untuk mengetahui manfaat pengembangan sarana prasarana pendidikan terhadap perkembangan akademik siswa di SMAN X

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan kiranya dapat memberikan manfaat yang mendalam dan komprehensif tentang upaya kepala sekolah dalam meningkatkan sarana prasarana pendidikan. Idealnya penelitian ini secara praktis dan teoritis berarti bagi beberapa kepentingan, diantaranya : 
1. Secara Praktis yaitu memberikan informasi kepada sekolah atau lembaga atau yayasan tentang pentingnya upaya kepala sekolah dalam meningkatkan sarana prasarana pendidikan
2. Secara Teoritis
a. Pengembangan ilmu manajemen pendidikan terutama berkenaan dengan upaya kepala sekolah dalam meningkatkan sarana prasarana pendidikan, yang memberikan implikasi praktis bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga tujuan dapat tercapai
b. Diharapkan dapat menjadi pegangan, rujukan atau sebagai masukan bagi masyarakat
c. Sebagai bahan referensi bagi peneliti-peneliti lain yang akan melaksanakan penelitian serupa di masa yang akan datang 
3. Peneliti : Sebagai acuan utama dalam pendidikan khususnya terkait dengan upaya kepala sekolah dalam meningkatkan sarana prasarana pendidikan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:39:00

APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN TERPADU DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA SISWA

APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN TERPADU DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA SISWA (BAHASA INDONESIA KELAS I)



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan isi yang tertuang dalam pasal 1 dan 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 tahun 2006 dalam Muslich (2009 : 15) tentang pelaksanaan peraturan menteri pendidikan nasional tentang Standar isi dan standar kompetensi, mulai tahun 2006 semua tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah harus mengembangkan dan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi yang telah ditetapkan pemerintah secara kreatif dan sesuai dengan kebutuhan dengan memperhatikan panduan yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Chasmijatin 2008 : 6-8). Dalam kurikulum 2006, terdapat tugas guru sebagai pembuat tujuan pembelajaran. Tugas guru dalam membuat tujuan pembelajaran adalah menjabarkan kompetensi yang ada dalam kurikulum ke dalam indikator, yang diperkirakan dapat membawa siswa mencapai kompetensi dasar tersebut. Hal ini tidaklah mudah karena setiap mata pelajaran memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik mata pelajaran merupakan pertimbangan dalam penentuan tujuan pembelajaran, karena masing-masing mata pelajaran memiliki ciri-ciri yang berbeda satu sama lain (Chasmijatin 2008 : 7-9).
Karakteristik bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang menekankan pada keterampilan berbahasa dan belajar sastra. Belajar berbahasa adalah berkomunikasi. Sedangkan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Berdasarkan fungsi dan tujuannya maka pembelajaran bahasa diarahkan dalam ruang lingkup mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis (Chasmijatin 2008 : 7-9).
Menurut Zuchdhi dan Budiasih (2001 : 56) membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa tulis yang reseptif. Disebut reseptif karena dengan membaca, seseorang akan dapat memperoleh informasi, memperoleh ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman baru. Pembelajaran membaca mempunyai peranan penting dalam meningkatkan diri. Pembelajaran membaca di kelas I dan II merupakan pembelajaran membaca tahap awal. Keterampilan membaca ini disebut membaca permulaan. Keterampilan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap keterampilan membaca selanjutnya dan juga sangat berpengaruh dalam keberhasilan pembelajaran.
Keberhasilan pembelajaran selain ditentukan oleh faktor kemampuan, motivasi dan keaktifan peserta didik serta fasilitas belajar juga sangat tergantung dari keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh seorang guru sebagai fasilitator bagi siswa. Keterampilan mengajar yang dimaksud meliputi keterampilan menjelaskan, bertanya, menggunakan variasi, memberi penguatan, membentuk kelompok kecil dan besar, membuka dan menutup pelajaran, mengelola kelas dan keterampilan memimpin diskusi (Sumantri dan Permana 2001 : 229).
Salah satu keterampilan guru adalah keterampilan penggunaan variasi. Keterampilan penggunaan variasi adalah kemampuan guru menggunakan bermacam kemampuan untuk mewujudkan tujuan belajar peserta didik sehingga mengatasi kebosanan dan menimbulkan minat, gairah serta aktivitas belajar yang efektif. Salah satu contoh keterampilan penggunaan variasi adalah variasi dalam penggunaan media dan penggunaan model pembelajaran yang sesuai dengan siswa (Sumantri dan Permana 2001 : 237).
Dalam proses belajar mengajar di kelas terdapat keterkaitan yang erat antara guru, siswa, sarana dan prasarana. Guru mempunyai tugas untuk memilih model dan media yang tepat sesuai dengan materi yang disampaikan (Muslich 2009 : 221). Menurut Rifa'i dan Anni (2010 : 238) menyatakan bahwa salah satu landasan pemikiran dari pendekatan kontekstual adalah pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta yang tak terpisah, namun menerapkan keterampilan yang dapat diterapkan.
Menurut Joys (dalam Trianto 2007 : 5) setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Dengan menguasai berbagai model pembelajaran maka seorang guru mendapat kemudahan dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga tujuan yang akan dicapai sesuai dengan yang diharapkan (Trianto 2007 : 10).
Adanya keterbatasan-keterbatasan seperti keterbatasan fisik, psikologis, kultural maupun lingkungan dapat menyebabkan proses pembelajaran menjadi tidak maksimal. Untuk meredam, memperkecil, mengatasi atau menghilangkan beragam keterbatasan tersebut dapat digunakan alat perantara yang disebut media pengajaran (Sumantri dan Permana 2001 : 156).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dantes, dkk. tahun 2004 (dalam Muslich 2009 : 6) menunjukkan bahwa pemahaman guru tentang kurikulum berbasis kompetensi masih rendah. Hanya 1,2 % sekolah yang menyatakan bahwa guru sudah sangat paham dengan kurikulum berbasis kompetensi. Hal tersebut berdampak pada tataran operasional. Selain itu ada penelitian dari Drost (2005) yang menyatakan bahwa di berbagai sekolah guru tidak siap dengan penerapan KBK. Dalam praktiknya, guru masih bingung mengajar dengan model KBK. Salah satu kesalahan adalah guru hanya mengartikan dengan apa adanya isi materi dari standar isi. Padahal seharusnya guru tersebut mengkaji terlebih dahulu isi materi dari standar isi mata pelajaran bahasa Indonesia. 
Guru melaksanakan materi dari standar isi tanpa mengembangkannya berdasarkan pembelajaran dan standar kompetensi selanjutnya. Pada akhirnya pula guru hanya menggunakan model yang menekankan keaktifan guru, sehingga pembelajaran tersebut menjadi kurang variatif, kreatif, dan inovatif. Pembelajaran yang dilakukan guru juga terkotak-kotak dalam mata pelajaran, padahal anak pada usia 7-11 yang masih belum bisa memisah-misahkan suatu mata pelajaran. Siswa menjadi kurang tertarik materi pada membaca, sehingga murid tidak tertarik pada pembelajaran secara keseluruhan.
Contoh pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di atas, merupakan gambaran yang sedang terjadi di SDN X. Berdasarkan refleksi awal yaitu dari observasi peneliti tentang keterampilan guru di SDN X, guru masih belum menggunakan 8 keterampilan mengajar dengan maksimal. Keterampilan yang sudah mereka terapkan adalah keterampilan menjelaskan berupa ceramah yang menuntut siswa diam dan mendengarkan penjelasan dari guru. Guru juga kurang dalam keterampilan menggunakan variasi dalam pembelajaran. Terlihat saat pembelajaran, siswa menjadi cepat bosan karena guru tersebut tidak menggunakan media atau model pembelajaran lain selain ceramah. Selain itu guru juga kurang dalam menggunakan keterampilan memberi penguatan, baik verbal maupun nonverbal. Lebih banyak memberikan hukuman terhadap siswa.
Ketidakmaksimalan penggunaan 8 keterampilan guru tersebut membuat aktivitas siswa menjadi tidak maksimal pula. Lebih dari 50% siswa melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan pembelajaran. Ada siswa yang berbicara dengan temannya dengan topik yang tidak sesuai pelajaran, ada siswa yang bermain sendiri di bangku belakang, ada siswa yang memperhatikan pada hal-hal yang di luar pembelajaran, ada siswa yang mengganggu siswa lain sehingga memecah konsentrasi siswa lainnya. Selain itu terdapat siswa yang memperhatikan namun saat diberikan pertanyaan yang sesuai pembelajaran tidak bisa menjawab.
Hal di atas yang akhirnya membuat nilai pembelajaran pada umumnya dan nilai pembelajaran bahasa Indonesia pada khususnya terutama keterampilan membaca menjadi kurang. Berdasarkan pengambilan nilai awal dari 39 siswa terdapat 57% siswa yaitu 22 siswa mendapat nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Yang dapat dirinci 33,6% yaitu 17 siswa nilainya di bawah 50, 6 siswa yaitu 15,4% mendapat nilai 50-64. Terdapat 5% yaitu 2 siswa yang mendapat nilai 65-85. Dan siswa yang mendapat nilai 86-100 ada 36% yaitu 16 siswa. Selain nilai awal juga terdapat data-data dokumen yang dimiliki guru sebelum dilakukan penelitian. Setelah dianalisis dari hasil penilaian membaca tersebut siswa sulit mengucapkan r, q, j, y, v, z. Ada pula yang tidak bisa membedakan huruf n dan m, huruf b, p, d,. Serta sering salah mengucapkan f, p, v.
Melalui diskusi serta pembahasan bersama bahwa keterampilan membaca siswa sangatlah kurang hal ini disebabkan media yang menarik serta kurang inovatifnya guru, sehingga siswa kurang aktif dan malas mendengarkan. Hal ini didukung dari data pencapaian hasil observasi dan evaluasi keterampilan membaca siswa kelas 1 masih di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) yang ditetapkan sekolah yaitu 65. Dengan melihat data hasil belajar dan pelaksanaan mata pelajaran bahasa Indonesia serta pembelajaran lainnya yang diadakan secara terpisah-pisah dan terkotak-kotak, maka perlu diadakan peningkatan kualitas proses pembelajarannya, agar siswa sekolah dasar dapat meningkatkan keterampilan membaca, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi pembelajaran bahasa Indonesia sebelumnya dari SDN X yang lebih dari 50% siswanya belum memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Untuk memecahkan masalah pembelajaran tersebut, tim kolaboratif menetapkan alternatif tindakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, yang dapat mendorong keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan meningkatkan kreativitas guru. Maka tim kolaboratif menetapkan salah satu model pembelajaran yang holistik. Yaitu dengan model pembelajaran terpadu dengan media audio visual. Pada pendekatan ini menekankan bahwa pembelajaran harus disajikan secara utuh atau tidak terpisah-pisah. Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan dan menyesuaikan pemberian konsep sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pendekatan ini menolak teori drill system sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual anak (Depdikbud dalam Trianto 2009 : 7). Pembelajaran terpadu dapat dilaksanakan dengan cara mengajarkan beberapa materi pelajaran disajikan tiap pertemuan. Pembelajaran terpadu sebagai suatu konsep dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman bermakna kepada anak didik. Anak akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengamatan langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang mereka pahami (Trianto 2009 : 7).
Selain model pembelajaran yang sesuai harus pula memilih media yang dapat mengaktifkan siswa. Media Audio Visual adalah media yang bukan hanya dapat dipandang ataupun diamati namun juga dapat didengar (Sumantri dan Permana 2001 : 161). Media ini memberikan pengalaman belajar secara visual dan audio sehingga daya tangkap siswa menjadi lebih tinggi.

B. Rumusan Masalah dan Pemecahan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah cara meningkatkan keterampilan membaca siswa kelas 1 SDN X ?
Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 
a. Apakah aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual dapat meningkatkan keterampilan guru dalam pembelajaran ?
b. Apakah aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran ?
c. Apakah aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual dapat meningkatkan keterampilan membaca siswa kelas 1 SDN X ?
2. Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah pembelajaran pada siswa kelas 1 SDN X maka dapat diterapkan model pembelajaran terpadu dengan media audio visual. Karena dalam merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, guru sekolah dasar perlu menekankan pada prinsip keterpaduan atau integrasi. Hal ini disebabkan anak-anak lebih mudah menguasai keseluruhan lebih dulu, baru kemudian memahami detail atau rincian. Keterpaduan tersebut meliputi keterpaduan dalam bidang studi itu sendiri ataupun keterpaduan antara bidang studi satu dengan yang lain (Sumantri dan Permana 2001 : 161).
Pada dasarnya langkah-langkah (sintaks) pembelajaran terpadu mengikuti tahap-tahap yang dilalui dalam setiap model pembelajaran yang meliputi tiga tahap yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, tahap evaluasi (Prabowo dalam Trianto 2009 : 15). Menurut Prabowo (Trianto 2009 : 17), langkah-langkah (sintaks) pembelajaran terpadu secara khusus dapat dibuat tersendiri berupa langkah-langkah baru dengan ada sedikit perbedaan sebagai berikut : 
a. Tahap Perencanaan
1) Menentukan Kompetensi Dasar
2) Menentukan Indikator dan Hasil Belajar
b. Langkah yang ditempuh Guru
1) Menyampaikan konsep pendukung yang harus dikuasai siswa.
2) Menyampaikan konsep-konsep pokok yang akan dikuasai oleh siswa.
3) Menyampaikan keterampilan proses yang akan dikembangkan.
4) Menyampaikan alat dan bahan yang dibutuhkan
5) Menyampaikan pertanyaan kunci
c. Tahap Pelaksanaan
1) Pengelolaan kelas
2) Kegiatan proses
3) Kegiatan pencatatan data
4) Diskusi
d. Evaluasi
1) Evaluasi proses
2) Evaluasi hasil
3) Evaluasi psikomotorik

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah : 
- Untuk meningkatkan keterampilan berbahasa siswa kelas I SDN X.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah : 
a. Meningkatkan keterampilan guru dengan aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual dalam pembelajaran
b. Meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran dengan aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual
c. Meningkatkan keterampilan membaca melalui aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan
b. Dijadikan sebagai salah satu acuan dalam kegiatan pembelajaran membaca permulaan
2. Manfaat Praktis
a. Siswa
Dengan penerapan model pembelajaran terpadu dengan media audio visual siswa dapat menerima pembelajaran bahasa yang utuh. Serta menerima pembelajaran yang bervariasi sehingga dapat meningkatkan keterampilan membaca siswa, meningkatkan aktivitas belajar siswa, meningkatkan hasil belajar siswa.
b. Guru
Dengan menerapkan model pembelajaran terpadu dan media audio visual adalah meningkatkan kreativitas guru, meningkatkan kemampuan guru dalam merancang pembelajaran dan meminimalisasi hambatan dalam pembelajaran, serta memberikan acuan terhadap masalah yang sama dengan yang dihadapi.
c. Lembaga
Dengan menerapkan model pembelajaran terpadu dengan media audio visual maka keterampilan membaca permulaan siswa meningkat dan juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Maka lembaga tersebut akan meningkat pula kredibilitasnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:00:00

PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN KOMPETENSI GURU TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN

PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN KOMPETENSI GURU TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kompetensi dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU. Nomor 20 Tahun 2003). Pendidikan adalah sebuah istilah yang penuh Misteri, Ia ibarat Samudera, semakin diarungi semakin menantang. Hanya Nakhoda yang tajam mata pikir dan mata hati yang mampu menaklukkannya. Kepala Madrasah sebagai manajer lembaga pendidikan adalah Nakhoda, di pundaknya lah segala harapan kualitas pendidikan ini ditambatkan.
Tuntutan era globalisasi mendudukkan pentingnya upaya peningkatan kualitas pendidikan sebagai wahana dalam membangun dan menempa kualitas sumber daya manusia. Kualitas manusia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, Kepala Madrasah mempunyai fungsi, peran dan kedudukan yang strategis. Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap Kepala Madrasah, dimana Kepala Madrasah harus diasah Kompetensinya dalam mengelola lembaga yang dipimpinnya.
Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh Kepala Madrasah dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2007 tentang Kepala Sekolah/Madrasah, dinyatakan bahwasanya kompetensi yang harus dimiliki oleh Kepala Madrasah meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial, yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi Kepala Madrasah tersebut bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mendukung. yang dimiliki.
Studi Pendahuluan dan observasi sementara kemampuan Manajerial Kepala Madrasah Aliyah Negeri dan Swasta di Kota X dalam kondisi kurang memuaskan. Kepemimpinannya berjalan apa adanya, belum ada usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan dan mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Standar kompetensi Kepala Madrasah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2007 tentang Kepala Madrasah hanya tertulis secara legal formal dan pemenuhan syarat administratif, belum dilaksanakan. Kepemimpinan berjalan berdasarkan kekuasaan, siapa yang berkuasa dan siapa yang mempunyai kewenangan, tidak berdasarkan atas musyawarah, dan kurang demokratis nampaknya. Kepala Madrasah belum menghayati sabda Rasulullah yang berbunyi : 
"Kamu semua adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya". (R. Bukhori Muslim) (Hadits Bukhori Muslim, 1997 : 123)
Selanjutnya, jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru. Kompetensi guru yang memadai akan mengangkat derajat dan kualitas guru itu sendiri. Sesuai dengan firman Allah : 
"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat (tingkatan) "(Q.S. Almujadalah, 11)
Penelitian ini akan memaparkan tentang kompetensi guru dan bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala madrasah. Dengan harapan kiranya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi para Kepala Sekolah dan Siswa maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam meningkatkan kualitas pendidikan Madrasah Aliyah Negeri dan Swasta di Kota X. 
Fenomena di lapangan, khususnya di Kota X menunjukkan bahwa terjadi kemerosotan prestasi belajar siswa MAN dan MAS Kota X. Hasil belajar siswa MAN dan MAS Kota X dalam Ujian Nasional prestasinya merosot dan stagnan, tidak mengalami peningkatan maupun perkembangan. Kondisi semacam ini tentu tidak terlepas dari peran Kepala MAN dan MAS di Kota X tersebut. Kepala Madrasah sebagai nakhoda dalam proses belajar mengajar dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai sebagai seorang manajer yang profesional. Kemampuan manajerial dan kompetensi guru yang baik akan dapat mendorong terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan efisien, yang pada gilirannya nanti akan menghasilkan output maupun out-come yang baik. Untuk itu penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang "PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA MADRASAH DAN KOMPETENSI GURU TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN DI MADRASAH ALIYAH KOTA X".

B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang akan diteliti adalah mengenai keterkaitan antara Peningkatan Kualitas Pendidikan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dengan dibatasi pada faktor Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah dan Kompetensi Guru. Adapun permasalahan yang ingin dikaji dapat dirumuskan sebagai berikut : 
1) Pengaruh Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah terhadap Peningkatan Kualitas Pendidikan di MAN dan MAS Kota X.
2) Pengaruh Kompetensi Guru terhadap Peningkatan Kualitas Pendidikan di MAN dan MAS Kota X.
3) Pengaruh Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah terhadap Kompetensi Guru MAN dan MAS Kota X.
4) Pengaruh Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah dan Kompetensi Guru kedua-duanya terhadap Peningkatan Kualitas Pendidikan di MAN dan MAS Kota X.

C. Tujuan
1) Tujuan umum
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui gambaran yang objektif Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah Aliyah dan Kompetensi Guru terhadap kualitas pendidikan di MAN dan MAS Kota X.
2) Tujuan Khusus
Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan khusus penelitian ini adalah : 
a) Untuk mengetahui Bagaimana Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah, Kompetensi Guru dan Peningkatan Kualitas Pendidikan di MAN dan MAS Kota X.
b) Untuk mengetahui sejauh mana Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah berpengaruh terhadap Peningkatan Kualitas Pendidikan di MAN dan MAS Kota X.
c) Untuk mengetahui sejauh mana Kompetensi Guru berpengaruh terhadap Peningkatan Kualitas Pendidikan di MAN dan MAS Kota X.
d) Untuk mengetahui sejauh mana Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah berpengaruh terhadap Kompetensi Guru di MAN dan MAS Kota X.
e) Untuk mengetahui sejauh mana Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah dan Kompetensi Guru secara bersama-sama berpengaruh terhadap Peningkatan Kualitas Pendidikan di MAN dan MAS Kota X.

D. Manfaat
a) Dari segi akademik.
Ingin mengungkap dan mengkaji secara empiris tentang sebagian faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran di kelas, dimana hasil penelitiannya nanti diharapkan dapat berguna, baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis. Untuk itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berdasarkan bukti-bukti empiris tentang bagaimana peningkatan kualitas pendidikan dipengaruhi oleh faktor Kemampuan Manajerial Kepala Madrasah yang melatarbelakanginya dan juga dipengaruhi oleh faktor Kemampuan Guru.
b) Dari segi praktis.
Penelitian ini nanti diharapkan dapat memberi masukan bagi pihak-pihak yang berwenang sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan, serta peningkatan Kompetensi guru dalam mengelola kelas

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:36:00

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DG TEKNIK INVENTARISASI KESULITAN DAN PEMBERIAN MOTIVASI SERTA BELAJAR MANDIRI BERBASIS PORTOFOLIO

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DG TEKNIK INVENTARISASI KESULITAN DAN PEMBERIAN MOTIVASI SERTA BELAJAR MANDIRI BERBASIS PORTOFOLIO


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembelajaran bahasa Indonesia dititikberatkan kepada empat keterampilan berbahasa. Keempat keterampilan itu adalah mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Substansi dari keterampilan itu adalah bahasa dan sastra. Pemilahan bahasan antara substansi bahasa dengan sastra bukan dimaksudkan untuk membuat garis pemisah antara keduanya. Akan tetapi, pemilahan ini dimaksudkan supaya bahasan substansinya lebih spesifik. Bahasan substansi bahasa dititikberatkan kepada penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasan substansi sastra selain untuk penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, juga untuk meningkatkan kemampuan peserta didik mengapresiasi karya sastra.
Pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Oemarjati (1992) mengatakan bahwa pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai baik dalam konteks individual, maupun sosial. Berdasarkan uraian tersebut dapat diungkapkan bahwa pembelajaran sastra sangatlah diperlukan.
Pembelajaran menulis puisi merupakan salah satu keterampilan bidang ekspresi sastra yang harus dikuasai siswa SMP. Di dalam kurikulum bahasa Indonesia, kompetensi menulis kreatif puisi terdapat pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VIII, yakni mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas dengan kompetensi dasar menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai.
Pembelajaran menulis puisi ini banyak menemui hambatan sehingga cenderung dihindari atau tidak diajarkan. Mereka menganggap menulis puisi merupakan kegiatan yang sangat sulit karena mereka harus memperhatikan pilihan kata yang digunakan, irama, rima, dan ide. Minimnya kosakata dan pengalaman yang dimiliki siswa untuk juga menjadi penghambat dalam menulis puisi. Selain itu, rendahnya kemampuan siswa dalam menulis puisi juga disebabkan oleh ketidaktahuan siswa tentang manfaat yang akan mereka peroleh setelah mampu menulis puisi.
Sementara itu, di sekolah kurang efektifnya pembelajaran juga menjadi penyebab rendahnya kemampuan siswa menulis puisi. Ketidakefektifan ini disebabkan oleh kurang tepatnya model pembelajaran yang digunakan. Model pembelajaran yang diterapkan tidak mampu mengembangkan potensi yang dimiliki siswa. Situasi sekolah yang tidak menyenangkan. Cara guru mengajar yang membosankan juga ikut andil menyumbang terkuburnya potensi alami siswa. Suparno dan Nurjanah (2004) mengungkapkan bahwa para guru belum memahami benar arah pembelajaran bahasa Indonesia pada siswa SMP sehingga data menunjukkan (1) masih banyak guru yang dominan memberi penjelasan tentang bahasa dan penggunaannya, (2) sebagian besar guru kurang menguasai taksonomi kemahiran berbahasa Indonesia yang terlibat pada pembelajaran dan evaluasi belajar tidak menekankan atau memfokuskan pada aspek-aspeknya, (3) kreativitas guru dalam meyajikan materi pembelajaran rendah, guru hanya memanfaatkan materi di dalam buku ajar, (4) pembelajaran cenderung "gramatika sentris", (5) guru hanya membelajarkan materi yang sesuai soal ujian, (6) guru merasa kekurangan waktu karena kurikulum terlalu padat. Senada apa dengan apa yang diungkapkan di atas, pembelajaran menulis kreatif puisi cenderung bersifat teoretis informatif bukan apresiatif produktif. Belajar hanya sebatas memberikan informasi pengetahuan tentang sastra sehingga kemampuan siswa menciptakan dan mengapresiasi sastra kurang mendapat perhatian. Siswa kurang memperoleh kesempatan untuk melakukan konstruksi pengetahuan dan melakukan pengembangan pengetahuan itu menjadi sebuah produk pengetahuan baru.
Di sekolah, guru hanya mengajarkan materi atau melakukan pembelajaran tanpa memperhatikan siswa dan lingkungan. Guru hanya menjalankan perannya sebagai pengajar dan cenderung mengabaikan perannya sebagai pendidik. Guru tidak berusaha mencari tahu apa yang ada pada diri siswa, minat, dan bakat yang dimilikinya. Guru kurang dapat memberi motivasi pada siswa untuk aktif turut serta dalam pembelajaran. Hal demikian inilah yang membuat pembelajaran menjadi monoton dan membosankan.
Budiono (dalam Sutikno 2009 : 174) mengatakan bahwa salah satu usaha yang dapat dilakukan guru untuk memotivasi belajar siswa adalah menggunakan model pembelajaran inovatif sehingga siswa menikmati kegiatan pembelajaran. Guru dapat memberikan stimulus terlebih dahulu agar siswa lebih termotivasi dalam belajar menulis puisi karena motivasi merupakan unsur yang ikut menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan sesuatu. Intensitas motivasi seseorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.
Oleh karena itu, guru harus dapat mengupayakan optimalisasi unsur-unsur dinamis tersebut dengan jalan : (1) pemberian kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan hambatan belajar yang dialaminya, memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar; (2) meminta kesempatan pada orang tua atau wali agar memberi kesempatan kepada siswa unutk beraktualisasi diri dalam belajar dengan memanfaatkan unsur lingkungan yang mendorong belajar dan menggunakan waktu secara tertib; (3) guru selalu memberikan rangsangan dengan penguat dan terus membangkitkan rasa percaya diri siswa.
Para pendidik di sekolah harus mempunyai keyakinan bahwa tiap anak mempunyai kecepatan dan waktu tersendiri dalam mempelajari atau menguasai sesuatu. Dengan cara itu diharapkan kita akan mewariskan generasi pembelajar yang mampu untuk belajar dan mengembangkan diri mereka sendiri sepanjang hidup mereka. Hal itu bisa dicapai dengan cara menghindarkan setiap kondisi yang membuat mereka justru berhenti atau bahkan membenci proses pembelajaran itu sendiri.
Permasalahan lain yang dihadapi dalam pembelajaran menulis puisi adalah kurang tersedianya waktu. Siswa dituntut menulis puisi dalam waktu yang relatif singkat dan tema yang ditentukan dengan satu kali proses (sekali jadi). Tentunya ini bukan hal yang mudah bagi anak usia SMP. Padahal pembelajaran menulis puisi di SMP berkaitan erat dengan latihan-latihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian, guru dan kurikulum telah membatasi kreativitas siswa. Akibatnya, siswa tidak menulis puisi secara maksimal, minat dan bakat yang dimiliki tidak berkembang. Bahkan mereka merasa bahwa kegiatan menulis puisi merupakan sebuah beban. Pada akhirnya kegiatan pembelajaran sastra itu bertentangan dengan tujuan pembelajaran sastra itu sendiri yakni membawa anak menikmati kraya sastra (mengapresiasi sastra). Akibat yang lebih fatal lagi adalah anak tidak suka dan cenderung menghindari pembelajaran sastra.
Bertolak dari kenyataan itulah perlu dikembangkan model pembelajaran penulisan puisi yang mampu mengatasi atau meminimalkan masalah-masalah yang selama ini melingkupi pembelajaran menulis puisi. Diperlukan model pembelajaran yang dapat memberi peluang kepada siswa untuk lebih aktif, kreatif, dan inovatif. Model pembelajaran tersebut diharapkan mampu membuat siswa mempunyai keyakinan bahwa dirinya mampu belajar dan dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki seluas-luasnya. Maka, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada dikembangkanlah model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio.
Pertama, teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi. Teknik inventarisasi kesulitan merupakan sebuah teknik untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis puisi. Secara garis besar teknik inventarisasi kesulitan ini dilakukan dengan cara mendata kesulitan yang dialami siswa dalam menulis puisi. Pendataan kesulitan itu akan mempermudah guru membimbing siswa.
Sementara itu, Menurut Djaali (2008 : 103) motivasi merupakan kondisi fisiologis dan psikologis yang mendorong siswa untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan tertentu (berprestasi setinggi mungkin). Jadi motivasi ikut menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Motivasi ini diberikan melalui teknik pemberian motivasi untuk menumbuhkan rasa percaya diri siswa dan meyakinkan bahwa ia mampu menulis puisi. Melalui teknik ini anggapan menulis puisi merupakan kegiatan yang sulit sedikit demi sedikit dapat terkikis.
Kedua, belajar mandiri. Kemandirian belajar itu merupakan keharusan dalam pembelajaran dewasa ini sejauh pembelajaran itu diarahkan kepada hari depan pelajar yang dengan nyata dapat dilihat dalam keluarga dan masyarakat (Holstein 1986 : 1). Pelaksanaan belajar mandiri ini dilakukan berkaitan dengan perbedaan kemampuan yang dimiliki masing-masing siswa, perbedaan motivasi, dan keterbatasan waktu di sekolah. Kemampuan siswa dalam menulis antara yang satu dengan yang lain tentunya berbeda. Siswa yang tertarik dengan sastra dan memiliki pengetahuan luas tentunya akan lebih mudah jika disuruh menulis puisi.
Sebaliknya, siswa yang kurang tertarik dengan sastra dan kurang berpengetahuan akan mengalami kesulitan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama. Teknik belajar mandiri juga digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu di sekolah karena kurikulum yang padat. Menulis puisi merupakan kegiatan yang membutuhkan latihan secara terus menerus. Berdianti (2008 : 19) mengatakan bahwa kemampuan menulis puisi akan semakin berkembang jika sering berlatih. Siswa perlu sering berlatih untuk dapat menulis puisi dengan baik. Namun, alokasi waktu di sekolah sangatlah terbatas. Maka, perlu diterapkan belajar mandiri agar siswa dapat terus berlatih. Dengan demikian siswa akan berlatih secara mandiri, menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan dimana ia belajar. Keuntungan lain yang diperoleh dari pelaksanaan belajar mandiri ini adalah siswa akan berlatih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, siswa menyadari tujuannya belajar, dan siswa mengetahui manfaat yang akan dia peroleh.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Keegan (1990) yang mengatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari tiga aspek (1) kemandirian dalam menentukan tujuan : apakah tujuan belajar ditentukan oleh guru atau pebelajar, (2) kemandirian dalam menentukan meto belajar : apakah pemilihan dan penggunaan sumber belajar dan media lain keputusannya ditentukan oleh guru atau pebelajar, (3) kemandirian dalam menentukan evaluasi. Belajar mandiri ini tidak tanpa campur tangan guru. Guru berfungsi sebagai pendamping, fasilitator, motivator, dan penilai. Penilaian ini dapat dilakukan melalui portofolio yang disusun siswa. Guru bisa mamantau sejauh mana perkembangan siswa dalam menguasai kompetensi menulis puisi.
Ketiga, portofolio. Model pembelajaran portofolio merupakan salah satu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu siswa memahami teori secara mendalam melalaui pengalaman praktik empirik. Model pembelajaran berbasis portofolio mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran. Prinsip tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif, kelompok belajar kooperatif, pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang reaktif (Budimansyah 2002 : 8).
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan model pembelajaran diharapkan mampu mengatasi masalah kurangnya penghargaan atas hasil karya siswa dan terlaksananya penilaian proses. Penilaian proses dapat dilakukan karena portofolio berisi kumpulan pengetahuan, tugas-tugas, dan bukti belajar mandiri siswa. Jadi, melalui penerapan model pembelajaran ini guru dapat melakukan penilaian proses dan produk.
Pengembangan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio diharapkan dapat menumbuhkan minat siswa dalam pembelajaran menulis puisi. Melalui model pembelajaran ini diharapkan siswa mampu mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki dengan seluas-luasnya tanpa terhalang alokasi waktu belajar di sekolah. Selain itu, hasil karya mereka pun akan mendapatkan apresiasi. Bagi guru, mereka akan mendapatkan penilaian dalam proses maupun hasil (produk) dengan mudah. Dengan demikian penilaian akan lebih adil dan valid.

1.2 Identifikasi Masalah
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah meliputi substansi bahasa dan sastra. Namun selama ini pembelajaran sastra cenderung diabaikan. Salah satu kompetensi sastra adalah menulis puisi. Menulis puisi merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa SMP. Namun dalam pembelajarannya di sekolah banyak menemui hambatan sehingga cenderung dihindari atau tidak diajarkan.
Pembelajaran menulis kreatif puisi cenderung bersifat teoretis informatif dan bukan apresitif produktif. Di sekolah-sekolah guru biasanya hanya mengajarkan teori atau pengetahuan tentang puisi. Misalnya, pengertian puisi, unsur-unsur puisi, dan cara menulis puisi. Siswa tidak diajak untuk berekspresi menulis puisi sehingga pembelajarannya tidak mencapai kompetensi yang diharapkan. Selain itu, sebagian siswa menganggap menulis puisi merupakan kegiatan yang sangat sulit karena siswa tidak terbiasa mengemukakan perasaan, pemikiran, dan imajinasinya ke dalam puisi.
Masalah lain yang muncul dalam pembelajaran menulis puisi adalah rendahnya minat siswa dalam belajar menulis puisi. Hal ini karena siswa belum mengetahui tujuan, manfaat menulis puisi, dan guru kurang kreatif dalam membelajarkan kompetensi ini. Model pembelajaran yang digunakan guru cenderung monoton dan tidak mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.
Selain masalah-masalah di atas, masalah lain yang muncul adalah guru hanya mengajarkan materi atau melakukan pembelajaran tanpa memperhatikan siswa dan lingkungannya. Guru hanya menjalankan perannya sebagai pengajar dan cenderung mengabaikan perannya sebagai pendidik. Guru kurang dapat memberi motivasi pada siswa untuk aktif turut serta dalam pembelajaran. Padahal motivasi merupakan unsur penting yang menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan sesuatu.
Kurang tersedianya waktu juga menjadi masalah yang harus dihadapi guru dan siswa dalam pembelajaran menulis puisi. Siswa dituntut menulis puisi dalam waktu yang relatif singkat (sekali jadi) dengan tema yang sudah ditentukan. Tentunya ini bukan perkara mudah bagi anak usia SMP apalagi bagi anak yang belum terbiasa menulis puisi. Pada akhirnya mereka merasa terbebani dan cenderung malas berlatih menulis puisi.
Masalah-masalah dalam pembelajaran menulis puisi harus diatasi sehingga siswa dapat mencapai kompetensi sesuai yang diharapkan. Guru harus mampu menciptakan model pembelajaran yang dapat mengatasi masalah-masalah di atas. Model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah dalam pembelajaran menulis puisi.

1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian banyak terdapat permasalahan. Akan tetapi, peneliti hanya membatasi permasalahan pada model pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran menulis kreatif puisi pada siswa SMP kelas VIII, yaitu pengembangan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio.

1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana kebutuhan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio yang dibutuhkan siswa dan guru di SMP kelas VIII ?
2. Bagaimana bentuk pengembangan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII ?
3. Bagaimana hasil penilaian dan perbaikan prototipe buku model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII ?

1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan kebutuhan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio yang dibutuhkan siswa dan guru di SMP kelas VIII.
2. Mendeskripsikan bentuk model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII.
3. Mendeskripsikan hasil penilaian dan perbaikan prototipe buku model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII.

1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.6.1 Manfaat teoretis
Penelitian ini dirancang untuk menghasilkan model pembelajaran yang dapat membantu siswa belajar mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam menulis puisi bebas menggunakan pilihan kata yang sesuai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi model pembelajaran menulis puisi di sekolah-sekolah.
1.6.2 Manfaat Praktis
Melalui model pembelajaran ini diharapkan siswa mampu mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki dengan seluas-luasnya tanpa terhalang alokasi waktu belajar di sekolah. Selain itu, hasil karya mereka pun akan mendapatkan apresiasi karena hasil karya mereka dikumpulkan dalam wujud portofolio yang nantinya akan menjadi salah satu bahan penilaian guru. Bagi guru, mereka dengan mudah akan mendapatkan penilaian dalam proses maupun hasil (produk). Dengan demikian penilaian akan lebih adil dan valid.
Pengembangan model pembelajaran ini juga diharapkan dapat menjembatani jarak yang tercipta antara guru dan siswa melalui kegiatan pemberian motivasi yang terus dilakukan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pemberian motivasi ini diharapkan dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa.
Selain itu, model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio dapat dijadikan alternatif dalam mengembangkan kompetensi ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik siswa dalam pembelajaran menulis puisi pada khususnya dan pembelajaran sastra pada umumnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:58:00

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KREATIF DAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KREATIF DAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN


BAB 1 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupannya, manusia tidak terlepas dari penggunaan bahasa. Dalam dunia pendidikan bahasa memiliki peran yang sangat penting terutama dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu siswa mengembangkan kemampuannya untuk mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, serta berpartisipasi aktif dalam masyarakat pengguna bahasa tersebut. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesusasteraan manusia Indonesia (Depdiknas, 2006 : 260). Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan adanya suatu layanan pendidikan yang mampu memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya. Soedijarto (1993) menyatakan pemberian layanan pendidikan tidak terlepas dari peran guru sebagai orang yang berpengaruh dalam kegiatan proses belajar mengajar. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki kemampuan profesional, di antaranya dapat merencanakan program belajar mengajar, melaksanakan dan memimpin kegiatan belajar dan mengajar, menilai kemajuan kegiatan belajar mengajar, dan menafsirkan atau memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar mengajar serta informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan kegiatan belajar mengajar.
Untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan dan memimpin kegiatan belajar dan mengajar, diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat agar materi yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh siswa. Subana (2009) mengatakan bahwa penggunaan model pembelajaran yang tepat akan membantu proses belajar mengajar dan memperbaiki ketepatgunaan pengajaran. Oleh karena itu, model pembelajaran yang tepat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak pernah menjabarkan model pembelajaran secara rinci. Oleh karena itu, guru dituntut untuk lebih kreatif menentukan model pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan. Dengan demikian, diharapkan tujuan pengajaran bahasa Indonesia dapat tercapai.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, menulis merupakan salah satu keterampilan dari keempat keterampilan berbahasa. Berdasarkan hierarkinya, menulis menduduki urutan keempat setelah keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca. Menurut Nurgiyantoro (1988 : 270) kemampuan menulis lebih sulit dikuasai dibandingkan dengan ketiga keterampilan berbahasa lain. Hal tersebut disebabkan dalam menulis dituntut sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang kompleks baik yang berkenaan dengan persyaratan unsur kebahasaan maupun unsur di luar kebahasaan yang mendukung suatu tulisan, sebagaimana yang dikemukakan Suzanna Alwasilah (2007 : 43) bahwa menulis pada dasarnya bukan hanya sekadar menuangkan bahasa ujaran ke dalam sebuah tulisan, tetapi merupakan mekanisme curahan ide, gagasan atau ilmu yang dituliskan dengan struktur yang benar, berkoherensi dengan baik antarparagraf dan bebas dari kesalahan-kesalahan mekanik seperti ejaan dan tanda baca. Menulis adalah sebuah kemampuan, kemahiran, dan kepiawaian seseorang dalam menyampaikan gagasannya ke dalam sebuah wacana agar dapat diterima oleh pembaca yang heterogen baik secara intelektual maupun sosial.
Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan menulis. Akhaidah (Vismaia, 1992 : 2) mengemukakan bahwa dengan menulis seseorang dapat mengenali potensi, mengembangkan gagasan, menguasai informasi, mengorganisasi gagasan, menilai gagasan secara objektif, mendorong seseorang belajar aktif, serta membiasakan berpikir dan berbahasa secara tertib.
Mengingat betapa pentingnya arti kemampuan menulis bagi masyarakat terutama siswa, maka pembelajaran menulis di sekolah-sekolah hendaknya diperhatikan dan dibina secara intensif. Kemampuan menulis bisa dikembangkan lewat latihan-latihan. Dengan latihan yang intensif, siswa berlatih dan terus berlatih dan tanpa mereka sadari mereka telah memiliki kemampuan menulis. Proses menulis lebih dititikberatkan pada pengembangan gagasan yang dicurahkan untuk mendapatkan hasil gagasan yang optimal.
Kenyataan di lapangan, guru seringkali mencekoki siswanya dengan berbagai teori menulis dibandingkan dengan latihan-latihan menulis. Padahal, menurut Tarigan (1994 : 4) bahwa keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang diperoleh melalui proses praktik dan latihan secara teratur. Pembelajaran menulis bisa diawali dengan penggunaan bahasa secara ekspresif dan imajinatif seperti menulis karya sastra (cerpen). Siswa diberi kebebasan untuk menuangkan ide-ide yang diperoleh dari pengalamannya sendiri, lingkungan, fenomena sosial masyarakat, maupun dari hasil membaca karya-karya sastra yang sudah ada ke dalam bahasa tulisan.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Syifa Amalia Fajari (2008), Rafika Nur Sugiharti (2002), dan Dra. Nunung Kuraesin menunjukkan bahwa kemampuan menulis siswa khususnya menulis cerpen masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1) Faktor guru yang lebih menitikberatkan pada teori menulis dibandingkan denganaplikasinya dalam bentuk latihan-latihan yang intensif.
2) Minimnya ketersediaan buku-buku bacaan di sekolah terutama buku-buku kesusastraan.
3) Kurangnya motivasi membaca dari guru terhadap siswanya, padahal membaca dan menulis memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Dengan banyak membaca akan melahirkan inspirasi yang cemerlang untuk kemudian dituangkan dalam tulisan.
4) Kegiatan Belajar Mengajar yang monoton. Selama ini guru hanya menggunakan metode ceramah dan penugasan dalam pembelajaran menulis. Guru hanya menugasi siswa untuk menulis dan mengumpulkannya sebagai bukti telah mengerjakan tugas.
5) Siswa mengalami kesulitan dalam menulis khususnya dalam mengawali tulisan, mencari ide cerita, mencari bahan kata yang tepat, dan mengembangkan cerita.
Berdasarkan hal tersebut, guru hendaknya memiliki teknik, metode, media/model pembelajaran yang tepat dan menarik untuk menumbuhkan minat dan kemampuan dalam menulis cerpen pada diri siswa. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran pada hakekatnya adalah untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa, melalui berbagai interaksi dan berbagai pengalaman belajar. Namun, dalam pelaksanaannya seringkali kita sebagai seorang guru tidak sadar, bahwa masih banyak kegiatan pembelajaran yang kita laksanakan justru menghambat aktivitas siswa. Kondisi ini dapat dilihat di dalam proses pembelajaran di kelas, umumnya guru lebih menekankan pada aspek kognitif. Kemampuan intelektual yang dipelajari sebagian besar berpusat pada materi pelajaran yang bersifat ingatan. Guru lebih sering menggunakan komunikasi satu arah, yakni dengan menggunakan metode ceramah. Dalam situasi yang demikian, biasanya siswa dituntut untuk menerima apa-apa yang dianggap penting oleh guru dan menghafalnya. Siswa diibaratkan sebagai kaset kosong yang siap dijejali dengan berbagai rekaman informasi, tanpa siswa banyak mengetahui tentang siapa, mengapa , bagaimana, dan untuk apa materi itu diberikan (Budiwati, 2010). Dengan kondisi yang demikian maka aktivitas dan kreativitas siswa terhambat atau tidak berkembang secara optimal.
Hal lain yang cukup penting yang perlu diperhatikan oleh guru adalah bagaimana menciptakan suatu kondisi belajar yang nyaman, santai dan menyenangkan ketika pembelajaran sedang berlangsung. Menurut Deporter (2007 : 68), suasana belajar yang nyaman, santai, dan menyenangkan dapat membuat siswa lebih berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar dengan sangat mudah. Dengan demikian, siswa akan lebih leluasa untuk menuangkan ide dan gagasannya sehingga melahirkan suatu tulisan (cerpen) yang lebih kreatif dan produktif.
Maka dari itu, peneliti akan mencoba menerapkan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam pembelajaran menulis khususnya menulis cerpen. Pembelajaran Kreatif dan Produktif adalah model yang dikembangkan dengan mengacu kepada berbagai pendekatan pembelajaran yang diasumsikan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, antara lain belajar aktif, kreatif, konstruktif, serta kolaboratif dan kooperatif. Pembelajaran ini berpijak kepada teori konstruktivistik yang menganggap bahwa belajar adalah usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya, dengan demikian dalam pembelajaran ini para siswa diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri konsep atau materi yang mereka dapatkan. Menurut model ini, pembelajaran tidak harus selalu dilakukan di dalam kelas akan tetapi dapat pula dilakukan di luar kelas (out door learning) (Joko, 2010). Potensi siswa akan lebih berkembang dengan baik jika guru mampu menyiapkan kondisi dan tempat belajar yang kondusif.
Pembelajaran dengan model seperti ini diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang lebih santai dan menyenangkan, melahirkan ide-ide yang lebih banyak, kreatif, dan produktif yang bisa didapatkan dari lingkungan sekitar dibandingkan dengan pembelajaran yang terbatas pada lingkungan kelas. Namun, dalam hal ini pemilihan lokasi pembelajaran harus disesuaikan dengan materi pembelajaran agar tujuan pembelajaran menulis, khususnya menulis cerpen dapat terealisasi dengan baik.
Berdasarkan pertimbangan di atas, peneliti memberi judul penelitian ini Penerapan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam Pembelajaran Menulis Cerpen (Penelitian Eksperimen Semu terhadap Siswa Kelas IX SMPN X).

1.2 Identifikasi Masalah Penelitian
Identifikasi permasalahan yang akan menjadi bahan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling kompleks. Oleh karena itu, memerlukan proses latihan yang intensif.
2) Pemilihan model/metode pembelajaran menulis selama ini kurang bervariasi sehingga kurang menarik motivasi siswa.
3) Penggunaan model/metode pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan kualitas hasil belajar.

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian
1.3.1 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam sebuah penelitian diperlukan untuk menentukan arah penelitian dan menetapkan langkah-langkah yang dibutuhkan dalam memecahkan masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada penerapan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam pembelajaran menulis cerpen siswa kelas IX SMPN X.
1.3.2 Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut.
1) Apakah model pembelajaran Kreatif dan Produktif efektif digunakan dalam meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa ?
2) Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dan tanpa menggunakan model pembelajaran Kreatif dan Produktif ?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan :
1) keefektifan model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam pembelajaran menulis cerpen.
2) perbedaan tingkat kemampuan menulis cerpen dengan menggunakan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dan tanpa menggunakan model pembelajaran Kreatif dan Produktif ?
1.4.2 Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian eksperimen ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, di antaranya :
1) Bagi Peneliti
Sebagai calon guru bahasa Indonesia peneliti menjadi lebih berwawasan dan peka terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran menulis, khususnya menulis cerpen, sehingga menuntut peneliti untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran dengan berbagai model metode pembelajaran yang lebih bervariatif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan guna meningkatkan keterampilan berbahasa.
2) Bagi Guru
Penelitian ini memberikan kontribusi dalam menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan anak didiknya dalam bidang menulis, khususnya menulis cerpen dengan cara memilih model pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran menulis cerpen yang lebih kreatif dan menyenangkan, serta dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran.
3) Bagi Siswa
Hasil penelitian ini sangat bermanfaat dalam menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas, bakat, serta ide terhadap pembelajaran menulis cerpen. Selain itu, penelitian ini juga memberikan pengalaman kepada siswa untuk menulis cerita pendek dengan lebih kreatif dan produktif, sehingga mampu meningkatkan kemampuan menulis siswa.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:56:00

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI



BAB 1 
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Imunisasi dalam sistem kesehatan nasional adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak atau balita, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi (Ranuh dkk, 2008).
Imunisasi merupakan pemberian kekebalan pada bayi dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga bayi dan anak tumbuh dalam keadaan sehat (Hidayat, 2008). Pemberian imunisasi merupakan tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit infeksi tertentu seperti tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio dan tubercoluse. atau seandainya terkenapun, tidak memberikan akibat yang fatal bagi tubuh (Rukiyah & Yulianti, 2010).
Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya imunisasi global yang disebeut dengan Extended Program on Immunization (EPI) cakupan terus meningkat (Ranuh dkk, 2008). Tanpa imunisasi kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, sebanyak 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan, satu dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus, dan dari setiap 200.000 anak, satu akan menderita penyakit polio (Proverawati & Andhini, 2010).
Dari tahun 1977, World Health Organization (WHO) mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global dengan Expanded Program on Immunization (EPI), yang diresolusikan oleh World Health Assembly (WHA). Ini menempatkan EPI sebagai komponen penting pelayanan kesehatan. Pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982 imunisasi campak, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan. Pada akhir tahun 1988 diperkirakan bahwa cakupan imunisasi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan beberapa Negara berkembang lainnya (Proverawati & Andhini, 2010).
Di Indonesia, cakupan bayi di imunisasi pada tahun 2009 menunjukkan bahwa dari jumlah sasaran 4.851.942 jiwa bayi, cakupan imunisasi Hepatitis B (HB) usia O bulan atau kurang dari 7 hari (65,7%), imunisasi Bacillus Celmette Guerin (BCG) (90,3%), imunisasi Polio 1 (97,7%), imunisasi Difteri, Pertusis dan Tetanus/Hepatitis B (DPT/HB) 1 (96,1%), imunisasi Polio 2 (94,2%), imunisasi DPT/HB 2 (93,0%), imunisasi Polio 3 (92,8%), imunisasi DPT/HB 3 (91,8%), imunisasi Polio 4 (89,9%), dan imunisasi Campak (89,2%). Dari data tersebut cakupan yang paling rendah yaitu pada imunisasi campak (89%) (Buletin data surveilans PD3I & imunisasi, 2009).
Cakupan imunisasi pada bayi di provinsi ini pada tahun 2009 menunjukkan bahwa dari jumlah sasaran bayi sebanyak 323.846 jiwa, cakupan imunisasi (HB) usia 0 bulan atau kurang dari 7 hari (48,5%), imunisasi BCG (68,3%), imunisasi Polio 1 (91,2%), imunisai DPT/HB 1 (88,4%), imunisasi Polio 2 (86,9%), imunisasi DPT/HB 2 (85,6%), imunisasi Polio 3 (85,0%), imunisasi DPT/HB 3 (82,9%), imunisasi Polio 4 (82,0%), dan imunisasi campak (81,6%). Terlihat bahwa cakupan imunisasi yang paling rendah yaitu imunisasi hepatitis B (HB) usia O bulan atau kurang dari 7 hari dan imunisasi BCG (68,3%), dimana target cakupan untuk setiap imunisasi adalah 100% (Buletin data surveilans PD3I & imunisasi Provinsi Sumut, 2009).
Data di Puskesmas X pada November 2010, berdasarkan hasil survey peneliti bahwa sasaran imunisasi di daerah tersebut sebanyak 87 jiwa bayi, cakupan imunisasi Bacillus celmette Guerin (BCG) sebanyak 40 jiwa bayi (45,97%), imunisasi DPT 1 sebanyak 28 jiwa bayi (32,18%), imunisasi DPT 2 sebanyak 20 jiwa bayi (22,98%), imunisasi DPT 3 sebanyak 6 jiwa bayi (6,89%), imunisasi Polio 1 sebanyak 50 jiwa bayi (57,47%), imunisasi polio 2 sebanyak 44 jiwa bayi (50,57%), imunisasi Polio 3 sebanyak 30 jiwa bayi (34,48%), imunisasi Polio 4 sebanyak 15 jiwa bayi (17,28%), dan imunisasi campak sebanyak 33 jiwa bayi (37,93%). Dari data tersebut menunjukkan bahwa seluruh jenis imunisasi belum mencapai target cakupan, dan cakupan yang paling rendah adalah pada imunisasi DPT 3 sebanyak 6 jiwa bayi (6,89%) dan imunisasi polio 4 sebanyak 15 jiwa (17,24%) (Laporan Tahunan Puskesmas X, 2010).
Dari data diatas cakupan imunisasi belum memenuhi UCI (Universal Coverage Imunization) yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010 (Proverawati & Andhini, 2010). Walaupun sudah diberikan gratis oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan dengan berbagai alasan seperti pengetahuan ibu yang kurang tentang imunisasi dan rendahnya kesadaran ibu membawa anaknya ke Posyandu atau Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi yang lengkap karena takut anaknya sakit, dan ada pula yang merasa bahwa imunisasi tidak diperlukan untuk bayinya, kurang informasi/penjelasan dari petugas kesehatan tentang manfaat imunisasi ,serta hambatan lainnya (Ranuh dkk, 2008).
Data dan uraian diatas menunjukkan bahwa cakupan pelayanan yang berdampak pada penurunan angka kesehatan bayi di Puskesmas X masih menunjukkan nilai yang masih rendah, salah satu penyebabnya adalah pengetahuan ibu tentang imunisasi yang masih kurang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan ibu dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada anak di Kelurahan X.

1.2 Tujuan Umum
1.2.1.Mengidentifikasi hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar pada anak di kelurahan X.

1.3 Tujuan Khusus
1.3.1 Mengidentifikasi pengetahuan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar pada anak di Kelurahan X.
1.3.2 Mengidentifikasi kelengkapan imunisasi dasar pada anak di Kelurahan X.

1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Pendidikan Keperawatan.
Diharapkan akan dapat menjadi sumber informasi tambahan bagi pendidikan keperawatan dalam meningkatkan Ilmu pengetahuan dan pendidikan khususnya yang berkaitan dengan kelengkapan imunisasi dasar pada anak.
1.4.2 Praktek Keperawatan.
Diharapkan akan dapat digunakan untuk praktek keperawatan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga menjadi tambahan informasi dalam memahami kelengkapan imunisasi dasar pada anak.
1.4.3 Penelitian keperawatan.
Diharapkan akan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi peneliti, dan dapat digunakan sebagai informasi awal untuk penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:54:00

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (STUDI KASUS PADA BMT X)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dengan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian, maka akan dirasakan perlu adanya sumber-sumber penyediaan dana untuk membiayai segala macam kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat. Sumber-sumber penyediaan dana masyarakat seperti perbankan pada umumnya dirasakan masih membebani masyarakat menengah ke bawah. Hal ini selain dikarenakan tingkat suku bunga yang relatif tinggi dan tidak stabil juga prosedur yang diajukan bank umum dalam memberikan pinjaman tergolong rumit.
Pembiayaan dibutuhkan masyarakat selain untuk konsumsi juga untuk mencukupi modal usaha. Salah satu ciri umum yang melekat pada masyarakat Indonesia adalah permodalan yang lemah. Padahal modal merupakan unsur pertama dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat. Di daerah pedesaan banyak dijumpai pengusaha kecil yang mempunyai prospek bagus tetapi terhambat oleh modal sehingga kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Untuk menghindari akan terdesaknya kebutuhan permodalan usaha tersebut masih banyak dijumpai pengusaha atau pedagang ekonomi lemah, khususnya pengusaha kecil di daerah mengambil jalan pragmatis yaitu mencari permodalan dari rentenir.
Melihat gambaran umum masyarakat yang sampai saat ini masih sangat membutuhkan pembiayaan sebagai tambahan dana baik untuk modal usaha, konsumsi, investasi maupun membeli barang-barang yang dibutuhkan, maka keberadaan lembaga keuangan sangat membantu masyarakat. Lembaga keuangan berbasis syariah diharapkan bisa menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Karena lembaga keuangan syariah selain mampu menjangkau masyarakat menengah ke bawah yang membutuhkan pinjaman, lembaga keuangan syariah juga bebas dari bunga.
Dalam Widodo (1999) menjelaskan bahwa lahirnya lembaga keuangan syariah termasuk "Baitul Maal wa Tamwil” yang biasa disebut BMT, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh pelarangan riba secara tegas dalam Al Qur'an. Sebagian besar umat Islam yang hati-hati dalam menjalankan perintah dan ajaran agamanya menolak menjalin hubungan bisnis dengan perbankan konvensial yang beroperasi dengan sistem bunga. Realita tersebut merupakan faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan syariah seperti BMT. Tujuan yang ingin dicapai para penggagasnya tidak lain untuk menampung dana umat Islam yang begitu besar dan menyalurkannya kembali kepada umat Islam terutama pengusaha-pengusaha muslim yang membutuhkan bantuan modal untuk pengembangan bisnisnya dalam bentuk pemberian fasilitas pembiayaan kepada para nasabah berdasarkan prinsip syariah, seperti murabahah, mudharabah, musyarakah, qardl dan lain-lain.
BMT merupakan pengembangan dari konsep ekonomi dalam Islam terutama dalam keuangan. Istilah BMT adalah penggabungan dari Baitul Maal dan Baitul Tamwil. Baitul Maal adalah lembaga penerima zakat, infaq, sadaqoh dan menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang berorientasi bisnis dengan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat terutama dengan usaha skala kecil. Dalam perkembangannya BMT juga diartikan sebagai Balai-usaha Mandiri Terpadu yang singkatannya juga BMT. (Sholahuddin, 2008 : 202-203)
Dengan terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 sebagai penopang hukum perbankan dengan sistem syariah, menjadikan keberadaan perbankan syariah menjamur. Tumbuhnya perbankan syariah diikuti dengan tumbuhnya kesadaran umat Islam untuk membebaskan diri dari riba. Hal ini akan berimbas pada makin maraknya sektor moneter di tingkat bawah. Ini terbukti pada berkembangnya BPR Syariah dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sampai di desa-desa. Pesatnya pekembangan lembaga keuangan mikro yang berlandaskan syariah seperti BMT menunjukkan bahwa keberadaan lembaga keuangan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah. (Awaly Rizki dalam Bambang sugeng 2007)
Belakangan ini Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memang mulai popular diperbincangkan oleh insan perekonomian terutama dalam perekonomian Islam. Sejak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1997, BMT telah mulai tumbuh menjadi alternatif pemulihan kondisi perekonomian di Indonesia. Pada tahun 2000, BMT terdaftar sebanyak 2.938 di 26 provinsi.
Dari jumlah itu, 637 (21,68%) di Jawa Barat, 600 (20,42%) di Jawa Timur, 513 (17,46%) di Jawa Tengah, dan 165 (5,61%) di DKI Jakarta. Menurut data Asosiasi BMT seluruh Indonesia (ABSINDO), hingga akhir Desember 2006 ada 3500 BMT yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah aset mencapai 2 triliun rupiah. Bahkan PINBUK, ICMI dan ABSINDO punya target mengembangkan 10.000 BMT di tahun 2010. (Pikiran-Rakyat.com)
Keberadaan lembaga keuangan mikro seperti BMT ini sangat penting mengingat keterbatasan akses masyarakat pada sumber-sumber pembiayaan formal, seperti perbankan. Kehadiran BMT sebagai pendatang baru dalam dunia pemberdayaan masyarakat melalui system simpan-pinjam syariah dimaksudkan untuk menjadi alternatif yang lebih inovatif dalam jasa keuangan. kehadiran BMT di harapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan dana untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih, karena didasarkan pada kemudahan dan bebas riba. Selain itu mampu memperbaiki/meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah. BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan bebas riba/bunga, Lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan produktivitas
Salah satu aktivitas yang penting dalam manajemen dana BMT adalah pelemparan dana (lendingfinancing). Istilah ini dalam keuangan konvensional dikenal dengan sebutan kredit dan dalam keuangan syariah sering disebut pembiayaan. Pembiayaan sering digunakan untuk menunjukkan aktivitas utama BMT, karena berhubungan dengan rencana memperoleh pendapatan. Sebagai upaya memperoleh pendapatan yang semaksimal mungkin, aktivitas pembiayaan BMT juga menganut azas syariah, yakni dapat berupa bagi hasil, keuntungan maupun jasa manajemen. Upaya ini harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan likuiditas dapat terjamin dan tidak banyak dana yang menganggur. (Ridwan, 2004 : 163-164)
Dalam Muhammad (2002) menjelaskan bahwa peran BMT dalam memberikan kontribusi kepada perekonomian nasional sangat jelas, sementara perbankan sulit untuk menyalurkan dana pihak ketiga kepada masyarakat menengah ke bawah, BMT dapat langsung menyentuh serta memfokuskan perhatiannya terhadap masyarakat menengah ke bawah. Nilai strategis BMT lainnya adalah lembaga ini mempunyai peran yang sangat vital dalam menjangkau transaksi syariah di daerah yang tidak bisa dilayani oleh bank umum maupun bank yang membuka unit syariah. BMT sebagai salah satu lembaga keuangan mikro tentu menjadi harapan baru bagi masyarakat untuk mendapatkan pembiayaan. Pembiayaan yang dimaksud adalah suatu fasilitas yang diberikan bank Islam kepada masyarakat yang membutuhkan untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh bank Islam dari masyarakat yang surplus dana.
Sementara itu pemilihan BMT Y karena selain BMT ini merupakan bagian dari program pemerintah melalui kebijakan Departemen Sosial untuk menumbuhkembangkan lembaga keuangan mikro sebagai upaya menyediakan permodalan bagi masyarakat menengah ke bawah, BMT ini juga memiliki basis pada daerah pedesaan sehingga lebih mewakili masyarakat Jawa Tengah yang sebagian besar berada di daerah pedesaan. BMT Y yang mempunyai cukup banyak nasabah khususnya nasabah pembiayaan (1160 orang pada Maret 2009) dinilai mampu memberikan lebih banyak variasi responden sehingga hasil penelitian bisa lebih baik. Selain itu lokasi BMT Y di X yang relatif dapat dijangkau baik dari segi dana, waktu, tenaga dan sebagainya juga dijadikan pertimbangan dalam pemilihan objek penelitian.
Berawal dari kondisi tersebut, merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti dan dicermati faktor apa saja yang mempengaruhi para nasabah dalam meminta pembiayaan pada BMT Y di Kabupaten X. Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini merupakan suatu "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (Studi Kasus Pada BMT Y di X)". Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi permintaan pembiayaan, maka dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi permintaan pembiayaan dibatasi pada variabel pendapatan, pendidikan, serta persepsi anggota terhadap pelayanan BMT. Sedangkan untuk variable lain seperti : umur, jenis kelamin, jumlah tanggungan keluarga, maupun jenis pekerjaan akan dijelaskan dalam sebuah analisis deskriptif terkait pembiayaan yang responden minta.
Dari hasil penelitian ini diharapkan agar pengelola BMT mampu mengetahui preferensi nasabahnya dalam meminta pembiayaan sehingga diharapkan BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah mampu berupaya meningkatkan performa dan mengoptimalkan kinerjanya sebagai lembaga intermediasi dan mampu meningkatkan peranannya bagi perekonomian nasional.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah variabel pendapatan anggota berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X ?
2. Apakah variabel pendidikan anggota berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X ?
3. Apakah variabel persepsi anggota terhadap pelayanan BMT berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X ?
4. Apakah tujuan anggota atas pembiayaan yang diperoleh dari BMT Y di X ?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui pengaruh variabel pendapatan anggota terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X
2. Untuk mengetahui pengaruh variabel pendidikan anggota terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X
3. Untuk mengetahui pengaruh persepsi anggota terhadap pelayanan BMT terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X
4. Untuk mengetahui deskripsi dari tujuan pembiayaan masing-masing anggota BMT Y di X

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi penulis, untuk memperluas khasanah pemikiran mengenai ekonomi syariah, khususnya gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemintaan pembiayaan pada lembaga keuangan mikro syariah seperti BMT
2. Bagi lembaga keuangan mikro syariah seperti BMT, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam upaya pengembangan kinerja di kelak kemudian hari
3. Bagi pemerintah, sebagai referensi untuk pengambilan keputusan dalam peningkatan kinerja pengembangan lembaga keuangan syariah
4. Bagi kalangan akademisi, sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya khususnya penelitian mengenai ekonomi Islam
5. Bagi semua pihak, sebagai landasan dalam melakukan langkah perbaikan dan optimalisasi lembaga keuangan syariah sehingga dapat memberikan manfaat yang sebaik-baiknya bagi semua pihak.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:53:00