Cari Kategori

TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN

TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan merupakan proses perubahan yang terjadi pada anak secara fungsional. Perkembangan anak meliputi beberapa aspek perkembangan. Salah satu aspek yang penting dalam perkembangan anak adalah perkembangan bahasa dimana perkembangan bahasa ini berkaitan dengan perkembangan lainnya (Halida, 2011 : 27).
Perkembangan bahasa memerlukan beberapa kemampuan, yaitu berbicara, menyimak, membaca, menulis, dan menggunakan bahasa isyarat. Keterampilan berbicara merupakan hal yang paling kodrati dilakukan oleh semua orang, termasuk anak-anak. Keterampilan berbicara selalu dibutuhkan setiap hari mulai kita bangun tidur hingga akan tidur kembali sebagai sarana untuk berkomunikasi.
Bicara adalah bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Menurut Hurlock (1978 : 185) belajar berbicara mencakup tiga proses terpisah, tetapi saling berhubungan satu sama lain, yaitu mengucapkan kata, membangun kosakata, dan membentuk kalimat. Kegagalan menguasai salah satunya akan membahayakan keseluruhan pola bicara. Oleh karena itu, Peraturan Menteri No. 58 (2009 : 10) menyebutkan bahwa tingkat pencapaian perkembangan anak usia 5-<6 data-blogger-escaped-bahasa="" data-blogger-escaped-banyak="" data-blogger-escaped-berhitung="" data-blogger-escaped-berkomunikasi="" data-blogger-escaped-bunyi="" data-blogger-escaped-cerita="" data-blogger-escaped-dalam="" data-blogger-escaped-dan="" data-blogger-escaped-dengan="" data-blogger-escaped-diperdengarkan.="" data-blogger-escaped-dongeng="" data-blogger-escaped-gambar="" data-blogger-escaped-ide="" data-blogger-escaped-kalimat-predikat-keterangan="" data-blogger-escaped-kalimat="" data-blogger-escaped-kata-kata="" data-blogger-escaped-kata="" data-blogger-escaped-kelompok="" data-blogger-escaped-kompleks="" data-blogger-escaped-lain="" data-blogger-escaped-lebih="" data-blogger-escaped-lengkap="" data-blogger-escaped-lingkup="" data-blogger-escaped-lisan="" data-blogger-escaped-melanjutkan="" data-blogger-escaped-meliputi="" data-blogger-escaped-membaca="" data-blogger-escaped-memiliki="" data-blogger-escaped-mengekpresikan="" data-blogger-escaped-mengenal="" data-blogger-escaped-mengungkapkan="" data-blogger-escaped-menjawab="" data-blogger-escaped-menulis="" data-blogger-escaped-menyebutkan="" data-blogger-escaped-menyusun="" data-blogger-escaped-orang="" data-blogger-escaped-p="" data-blogger-escaped-pada="" data-blogger-escaped-perbendaharaan="" data-blogger-escaped-perkembangan="" data-blogger-escaped-persiapan="" data-blogger-escaped-pertanyaan="" data-blogger-escaped-pokok="" data-blogger-escaped-sama="" data-blogger-escaped-sebagian="" data-blogger-escaped-secara="" data-blogger-escaped-sederhana="" data-blogger-escaped-serta="" data-blogger-escaped-simbol-simbol="" data-blogger-escaped-struktur="" data-blogger-escaped-tahun="" data-blogger-escaped-telah="" data-blogger-escaped-untuk="" data-blogger-escaped-yang="">
Kemampuan berkomunikasi pada awal masa kanak-kanak masih dalam taraf rendah, sehingga masih banyak kosakata yang harus dikuasai untuk dapat berkomunikasi dengan baik (Hurlock, 1990 : 109). Hal ini dapat dilihat berdasarkan pengamatan di lapangan, masih terdapat anak yang belum mampu mengekspresikan ide pada orang lain. Sebagai contoh, pada saat guru meminta anak maju untuk menceritakan pengalaman anak, anak belum mampu menceritakan secara rinci. Permasalahan ini perlu diatasi melalui peningkatan kemampuan komunikasi pada anak yang dapat dilakukan melalui metode bermain.
Bermain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) diartikan sebagai berbuat sesuatu untuk menyenangkan hati (dengan menggunakan alat-alat tertentu atau tidak). Bermain memiliki fungsi memberikan efek positif terhadap perkembangan anak. Hal ini sejalan dengan pendapat Montessori, sebagaimana dikutip oleh Sudono dalam buku "Manajemen PAUD" (Suyadi, 2011) bahwa ketika anak sedang bermain, anak akan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, anak yang bermain adalah anak yang menyerap berbagai hal baru di sekitarnya seperti kosakata. Pemilihan jenis permainan yang cocok sesuai dengan perkembangan anak menjadi penting agar pesan edukatif dari permainan dapat ditangkap anak dengan mudah dan menyenangkan. Jenis permainan yang dapat dipilih untuk mengembangkan keterampilan berbicara anak adalah bermain peran. Hal ini disebabkan pada saat anak memilih peran dan memainkan perannya, kosakata baru yang dimiliki anak bertambah (Arriyani & Wismiarti, 2010).
Metode bermain peran merupakan pembelajaran yang menyenangkan. Menurut buku Metodik di Taman Kanak-kanak (Depdiknas, 2003 : 41) dalam Maghfiroh (2011) salah satu tujuan dari bermain peran adalah melatih anak berbicara dengan lancar. Berdasarkan pengamatan di lapangan pelaksanaan bermain peran belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari intensitas bermain peran yang masih rendah. Guru memberikan bermain peran hanya pada tema-tema tertentu. Salah satu tema yang biasa digunakan untuk bermain peran adalah tema profesi.
Dilihat dari jenisnya bermain peran terdiri dari bermain peran makro dan bermain peran mikro. Bermain peran makro adalah bermain yang sifatnya kerja sama lebih dari 2 orang bahkan lebih khususnya untuk anak usia taman kanak-kanak, sedangkan bermain mikro adalah awal bermain kerja sama dilakukan hanya 2 orang saja bahkan sendiri. Perbedaan konsep antara bermain peran makro dan bermain peran mikro akan memberikan perbedaan tingkat keterampilan berbicara pada anak.
Bermain peran makro dapat melatih kerja sama pada anak dalam kelompok. Dengan adanya kerja sama tersebut akan terjadi interaksi antara anak dengan teman mainnya sehingga dapat menambah kosakata yang dimiliki anak. Sedangkan pada bermain peran mikro dimana bermain peran ini merupakan awal bermain kerja sama, sehingga peluang anak untuk bekerjasama lebih sedikit. Hal ini disebabkan lawan main anak pada bermain peran mikro lebih sedikit dibandingkan pada bermain peran makro yang dilakukan secara berkelompok. Berdasarkan pertimbangan tersebut, tidak menutup kemungkinan penambahan kosakata melalui bermain peran mikro lebih sedikit.
Anak bertindak sebagai dalang dalam bermain peran mikro, sehingga anak merupakan otak penggerak yang menghidupkan alat main untuk memainkan suatu adegan, serta peran-peran dalam skenario main peran (Arriyani & Wismiarti, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa pada bermain peran mikro anak dapat memainkan lebih dari satu peran. Sedangkan pada bermain peran makro anak hanya memainkan satu peran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan jika dilihat dari kerjasama yang terjadi, bermain peran makro memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Sedangkan dilihat dari segi peran yang dimainkan, bermain peran mikro yang memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Smilansky (1968) dalam Arriyani & Wismiarti (2010) mengungkapkan bahwa anak yang memiliki sedikit pengalaman main peran terlihat mendapatkan kesulitan dalam merangkai kegiatan dan percakapan mereka. Sejalan dengan Smilansky (1968), Levy, et.al. (1992) dalam Shim (2007) mengungkapkan adanya hubungan positif antara bermain pura-pura dengan peningkatan kemampuan bahasa pada anak usia taman kanak-kanak.
Metode bermain peran makro memiliki pengaruh yang baik terhadap kualitas bermain peran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shim (2007) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kuantitas bermain peran adalah rendahnya keterlibatan teman sebaya, kemampuan bahasa anak, serta media yang digunakan. Sejalan dengan Shim, hasil penelitian yang dilakukan Fitriani (2010 : 89) di TK Lab. School UPI bahwa "Terdapat perbedaan secara signifikan antara kosakata bahasa Indonesia pada anak kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diterapkannya metode bermain peran (role play) makro."
Metode bermain peran makro untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada anak ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halida (2011) bahwa bermain peran makro merupakan metode yang tepat dalam menjembatani anak untuk lebih leluasa dalam berbicara. Hal ini disebabkan dalam melakonkan tokoh dari sebuah cerita, anak dituntut untuk melakukan percakapan dengan lawan mainnya. Hal yang sama diungkapkan oleh Yulia Siska (2011) yang membuktikan bahwa penerapan metode bermain peran makro cukup berhasil dilaksanakan karena bagi guru dan anak metode ini belum pernah digunakan dan sangat menarik. Dalam bermain peran makro ini, anak dapat terlibat aktif untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak melalui tokoh yang dipilih untuk diperankan.
Hasil penelitian lain diungkapkan oleh Andresen (2005) bahwa bermain peran makro sebagai bentuk tindakan pada ZPD, termasuk perkembangan bahasa dimana bahasa memegang peranan penting sebagai sarana pembentukan daya khayal anak. Dengan adanya komunikasi yang terjadi secara verbal dalam bermain, anak dapat bertukar ide mengenai maksud dari permainan.
Sejalan dengan pendapat Andresen (2005), hasil penelitian yang dilakukan oleh Bergen (2002) menunjukkan hubungan yang jelas antara keterampilan sosial dan kompetensi bahasa dengan tingginya kualitas daya khayal anak. Sehingga bermain peran makro dimana anak bermain dengan teman sebaya dapat membantu perkembangan bahasa anak. Hal yang sama diungkapkan oleh Anderson (2010) bahwa bermain peran makro dapat memperluas daya imajinasi anak dimana anak menggunakan kosakata baru untuk mengekspresikan cerita yang dimainkan. Anak dapat meningkatkan keterampilan berbicara dengan meniru anak yang lain maupun orang dewasa sebagai modelnya.
Berbeda dengan hasil penelitian mengenai bermain peran makro, hasil penelitian tentang pengaruh bermain peran mikro pada perkembangan bahasa sangat terbatas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Li (2012) menunjukkan bahwa perkembangan bahasa anak dapat dikembangkan melalui pendekatan bermain peran di rumah dimana daya khayal anak secara individual dapat terlihat melalui bermain peran mikro. Hasil penelitian lain dikemukakan oleh Maryatun (2010) yang membuktikan bahwa pemanfaatan wayang damen dapat meningkatkan moral behavior pada anak melalui metode bermain peran mikro. Selain hasil penelitian dari Maryatun, penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2012) membuktikan bahwa secara umum keterampilan sosial anak meningkat dengan baik melalui metode bermain peran mikro.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Lilis (2012) memperoleh hasil bahwa penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kompetensi dasar komunikasi menggunakan telepon. Penelitian tersebut dilakukan pada siswa kelas XI AP 2 SMK N X. Hal ini menunjukkan bahwa bermain peran tidak hanya dapat diterapkan pada anak usia dini, namun dapat diterapkan juga pada anak usia sekolah menengah atas. Dengan demikian bermain peran merupakan metode pembelajaran yang tepat untuk mendukung perkembangan bahasa.
Penelitian ini dilakukan di Taman Kanak-kanak X Kota Y yang merupakan TK inti sebagai TK percontohan di kota Y. Dengan demikian berdasarkan hasil survey yang dilakukan, ketersediaan media pembelajaran sudah mencukupi, sedangkan pada TK non Pembina ketersediaan media kurang mencukupi terutama pada area drama.
Model pembelajaran di Taman Kanak-kanak X Kota Y masih menggunakan model area. Model area merupakan model pembelajaran dimana dalam satu hari membuka tiga area, sehingga intensitas bermain drama lebih rendah dibandingkan dengan intensitas bermain drama dengan menggunakan model pembelajaran sentra. Hal ini tidak seimbang dengan ketersediaan media pembelajaran pada area drama yang sudah mencukupi. Dengan demikian penerapan metode bermain drama dalam kegiatan pembelajaran belum maksimal. Jika ditinjau dari segi keterampilan berbicara, anak TK X memiliki keterampilan berbicara yang masih kurang. Hal ini dapat dilihat pada laporan perkembangan anak yang menunjukkan bahwa masih terdapat indikator-indikator pada aspek bahasa terutama pada lingkup perkembangan mengungkapkan bahasa yang belum tercapai dengan baik, diantaranya indikator menyebutkan nama orang tua, alamat rumah dengan lengkap; berkomunikasi dengan bahasanya sendiri (sesuai anak); serta bercerita tentang gambar yang disediakan dengan bahasa yang jelas. Oleh karena itu diperlukannya metode pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak. Hal ini dapat dilakukan karena TK X terbuka dengan saran dari pihak luar sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti melakukan penelitian di Taman Kanak-kanak X Kota Y.
Berdasarkan beberapa pertimbangan yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN". Dalam hal ini apakah ada perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan, maka dapat dirumuskan permasalahan adakah perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan memberikan pengalaman serta pengetahuan yang lebih mendalam terutama pada tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
b. Bagi pembaca
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai penelitian yang berkaitan dengan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada anak usia 5-6 tahun.
b. Bagi guru
Dari hasil penelitian ini guru dapat : 
1) Mengetahui pentingnya metode bermain peran untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada anak.
2) Menciptakan proses belajar mengajar yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara melalui metode yang tepat bagi anak.
3) Meningkatkan intensitas pelaksanaan bermain peran dalam kegiatan pembelajaran.
c. Bagi Lembaga Taman Kanak-kanak (TK)
Hasil penelitian ini dapat lebih meningkatkan kualitas proses belajar mengajar melalui metode yang tepat untuk anak usia 5-6 tahun.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:43:00

Unsur-Unsur Disiplin


Unsur-Unsur Disiplin

indeksprestasi.blogspot.com - Knoff (Unaradjan, 2003:11) menyatakan, untuk membuat seseorang menjadi disiplin maka dilakukan suatu intervensi disiplin. Pendisiplinan berhubungan erat dengan tingkah laku siswa yang menyimpang atau salah. Tingkah laku yang menyimpang adalah tingkah laku seperti yang terlihat dan dinilai oleh orang lain, seperti guru ataupun petugas administrasi sekolah yang biasanya berada dalam posisi yang lebih otoriter. Terdapat beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan dalam memberikan pelatihan untuk mendisiplinkan anak, Hurlock (1978: 84) mengemukakan empat unsur pokok disiplin, yaitu:

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:50:00

CARA TERMUDAH UPLOAD PHOTO PROFIL AKUN PTK PADAMU NEGERI

Sahabat PTK di manapun berada, berikut tutorial menambah (upload) gambar / photo profil akun masing-masing PTK Padamu Negeri tahun 2014. Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2014, Layanan PADAMU NEGERI merilis fitur baru yang telah dipublikasikan melalui akun Facebook Padamu Negeri, salah satunya adalah : PTK dapat menambah profil foto diri masing-masing sebagai persiapan untuk Kartu Digital PTK. Silakan login dengan akun PTK personal untuk unggah foto dirinya.

Terkait hal tersebut di atas, berikut saya share cara menambah photo profil PTK Padamu Negeri tersebut :

1.  Login ke https://paspor.siap-online.com/cas/login, masukkan Peg. Id, Email, NUPTK dan Pasword dengan benar, lalu klik Masuk.


2.  Kemudian, klik “Akunku”.


3.  Pada halaman edit ini, silahkan dilakukan perubahan data pada “Informasi Personal” dan “Detil Kontak”, apabila diperlukan.


4.  Siapkan photo persegi dengan size 200 x 200 pixels dengan menggunakan aplikasi editing gambar Anda. Untuk selanjutnya file foto inilah yang akan diupload menjadi gambar profil PTK Padamu Negeri.


5.  Untuk melanjutkan proses upload / menambahkan foto PTK klik pada menu Gambar Profil ==> Pilih File ==> Unggah Foto.


6.  Jika berhasil, maka akan muncul teks validasi “Berhasil! Data Gambar Profil berhasil diperbaharui”. Setelah berhasil, silahkan cek pada Dashbor PTK Padamu Negeri Anda.



Demikian tutorial singkat mengenai cara mengganti gambar profil pada akun PTK Padamu Negeri 2014 melalui fitur baru upload foto dari seluruh PTK Padamu Negeri. Untuk unduh / download panduan menambah gambar untuk photo profil akun PTK Padamu Negeri ini, silahkan klik pada links berikut. Semoga bermanfaat dan terimakasih...


Sumber : dadangjsn.blogspot.com

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:09:00

RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI

RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI (STUDI DI PONDOK PESANTREN X) (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)


BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, telah membuat perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan manusia. Beberapa kemudahan telah dapat dirasakan oleh manusia, baik itu dalam bidang transportasi, komunikasi serta kemudahan mengakses berbagai informasi dari segala penjuru dunia dengan berbagai fasilitas teknologi yang canggih. Fenomena tersebut merupakan beberapa ciri dari era globalisasi yang telah menghilangkan sekat pemisah bagi umat manusia di segala penjuru dunia.
Globalisasi merupakan sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa era globalisai merupakan suatu masa dimana terjadi pengglobalan dalam segala aspek kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga interaksi antar belahan dunia menjadi semakin mudah.
Kondisi ini telah mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Perubahan masyarakat Indonesia terjadi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat informatif yang bertumpu pada teknologi informatika.
Masyarakat muslim di Indonesia, mau tidak mau juga merasakan dampak dari globalisasi ini, walaupun sebenarnya fenomena ini menurut Azyumardi Azra bukanlah fenomena baru sama sekali. Jika pada akhir abad 19 dan awal abad 20 globalisasi yang bersifat religio-intelektual telah dirasakan oleh bangsa Indonesia yaitu bersumber dari Timur Tengah, maka proses globalisasi dewasa ini, bersumber dari Barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Dengan melihat sumber globalisasi saat ini, maka bisa dipastikan bahwa dalam proses globalisasi ini ada nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Dalam era ini, kehebatan suatu negara-bangsa tidak lagi didasarkan atas sumber daya alam yang melimpah dan alat-alat produksi masal, tetapi sandaran terpenting yang akan menentukan keberlangsungan hidup dan kemajuan negara-bangsa adalah mutu sumber daya manusia yang dimiliki. Dari sini dapat dilihat betapa pentingnya pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Allah SWT. Berfirman : bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (al-Anbiya' : 105)
Kata ash-Shalihuun juga bisa diartikan sebagai SDM yang berkualitas. Ayat di atas menunjukkan bahwasnya Allah mewariskan dunia ini kepada hamba-hambanya yang saleh (SDM yang berkualitas), karena pada realitasnya yang memakmurkan bumi ini adalah manusia-manusia yang mempunyai kualitas yang baik. Sebagaimana di ungkapkan di atas, bahwasanya kehebatan suatu bangsa adalah ditentukan oleh kualitas SDM yang dimilikinya. Dan perlu juga di garis bawahi kualitas SDM yang dimiliki harus mampu menyeimbangkan kemampuan IPTEK dan IMTAQ-nya, sehingga benar-benar siap dalam menghadapi berbagai tantangan termasuk tantangan dari era globalisasi ini.
Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia sebenarnya mempunyai peluang dalam menciptakan SDM yang berkualitas dengan catatan pondok pesantren mampu beradaptasi dengan globalisasi yang sedang terjadi dengan tanpa meninggalkan watak kepesantrenannya. Menurut Edy Supriyono, minimal ada tiga alasan mengapa pesantren peluangnya lebih besar dibandingkan lembaga pendidikan yang lain.
Pertama, pesantren yang ditempati generasi bangsa (mulai anak-anak hinggga pemuda), dengan pendidikan yang tidak terbatas oleh waktu sebagaimana pendidikan umum. Kedua, pendidikan pesantren yang mencoba memberikan keseimbangan antara pemenuhan lahir dan batin, Ketiga, paparan Nur Cholish Madjid yang memberikan contoh masyarakat yang terkena "dislokasi", yaitu kaum marginal atau pinggiran di kota-kota besar, seharusnya menyadarkan pesantren.
Adapula pendapat yang mengatakan bahwa pondok pesantren yang ada saat ini kurang dapat memainkan peran dengan apik, baik peran sosial di tengah masyarakat, maupun perannya dalam bidang pendidikan, dengan artian alumni yang dihasilkan oleh pondok pesantren kurang mampu bersaing dengan lembaga penidikan non pesantren dalam era globalisasi. Pendapat tersebut tampak dalam pernyataan yang dikutip dari situs sidogiri.com yang mengatakan bahwa banyak yang menaruh rasa kecewa atas eksistensi pendidikan pesantren. Mencuatnya opini keterkungkungan kultural maupun pemikiran untuk kalangan pesantren merupakan penilaian publik yang sebetulnya tidak terlalu jauh dengan kondisi nyatanya. Hal ini diperkuat oleh Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa :
Reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas sosial. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara dunia pesantren dengan dunia modern. Sehinggga kadang-kadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Nurcholish Madjid yang menyatakan :
Kalau kita tinjau secara agak mendalam anatara dunia pesantren dengan pangggung dunia global abad ke XX, sebenarnya terjadi kesenjanagan atau "gap". Di satu sisi dunia global sekarang ini masih di dominasi oleh pola budaya Barat dan sedang di atur mengikuti pola-pola itu. Sedang di sisi lain pesantren-pesantren kita, disebabkan faktor-faktor historisnya, belum sepenuhnya menguasai pola budaya itu (yang sering dikatakan sebagai budaya "modern"), sehingga kurang memiliki kemampuan dalam mengimbangi dan menguasai kehidupan dunia global. Bahkan untuk memberikan responsi saja sudah mengalami kesulitan.
Namun sejak dasawarsa terakhir sebagian pondok pesantren mulai mengambil langkah-langkah tertentu guna meningkatkan kualitas SDM yang mampu menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat yang terus berubah seiring perkembangan zaman. Dalam hal ini Imam Suprayogo mendeskripsikan sebagai berikut :
1. Masa lampau, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah sebagai wahana membina ruh/praktek keagamaan/keislaman, sehingga kegiatan pendidikan yang ada di pesantren lebih banyak di dominasi dengan kegiatan-kegiatan mengaji al-Qur'an, al-Hadits, kitab-kitab kuning, dan praktek-praktek keagamaan.
2. Masa kini, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah memperkokoh keberadaannya sebagai lembaga pendidikan jalur pesantren (kurikulum pesantren) dan pendidikan jalur sekolah (mengikuti kurikulum pemerintah Depag dan Depdikbud). Pada jalur pendidikan pesantren dituntut untuk menghasilkan lulusan yang mampu memahami dan mengkaji kitab-kitab keagamaan terutama yang berbahasa Arab dan memiliki kedalaman spiritual dan keagungan akhlak.
3. Masa yang akan datang, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah mampu menjawab tantangan masa depan. Sehingga masyarakat berharap agar pendidikan pesantren membuat kurikulum muatan lokal atau kegiatan ekstra kurikuler yang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman.
Jika melihat realitas yang ada, tampaknya masyarakat saat ini telah sampai pada masa yang oleh Suprayogo disebut masa yang akan datang, sehingga pondok pesantren pada saat ini dituntut untuk mampu mengadakan berbagai inovasi pendidikan. Menurut Sulthon dan Khusnuridlo, inovasi pendidikan tersebut diperlukan agar pelayanan yang diberikan pesantren tetap up-to-date. Allah berfirman dalam surat ar-Ra'du : "Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa perubahan ke arah perbaikan (inovasi) merupakan salah satu perintah Allah, dimana manusia memiliki potensi yang dinamis dalam memperbaiki keadaannya sebaik mungkin. Tentunya jika pesantren melakukan inovasi pendidikan maka pada hakikatnya pesantren telah konsisten dengan ajaran Islam.
Inovasi pendidikan dapat menyangkut berbagai bidang baik itu hardware maupun software pondok pesantren. Kurikulum sebagai salah satu bagian dari software merupakan salah satu aspek yang cukup urgen untuk di perbaharui agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Kurikulum merupakan salah satu instrumen pendidikan yang penting keberadaannya, karena dengan kurikulum segala bentuk aktivitas pendidikan akan terarah dalam rangka pencapain tujuan pendidikan. Dalam UU SISDIKNAS di jelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dalam Islam, kurikulum dipandang sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan dan keterampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk menjalankan hak-hak dan kewajiban, memikul tanggung jawab terhadap diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Adapun karakteristik kurikulum Islami, menurut Abdurrahman An-Nahlawi adalah :
1) Kurikulum islami harus memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan manusia, memeliharanya dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia sebagaimana di isyratkanhadits qudsi berikut ini :
"Hamba-hambaku diciptakan dngan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu setan menyesatkannya."
"Setiap anak dilahirkan secara fitrah. Maka orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
2) Kurikulum islami harus dapt mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang fundamental : memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah.
3) Tingkatan setiap kurikulum islami harus sesuai dengan tingkatan pendidikan, baik dalam hal karakteristik, usia, tingkat pemahaman, jenis kelamin, serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dicanangkan dalam kurikulum.
4) Aplikasi, kegiatan, contoh, atau teks kurikulum islami harus memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut kehidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal, seperti merasa bangga menjadi umat Islam dan lain-lain.
5) Sistem kurikulum islami harus terbebas dari kontradiksi, mengacu kepada kesatuan Islam, dan selaras dengan integritas psikologis yang telah Allah ciptakan untuk manusia serta selaras dengan kesatuan pengalaman yang hendak diberikan kepada anak didik, baik yang berhubungan dengan sunnah, kaidah, sistem, maupun realitas alam semesta.
6) Kurikulum islami harus realistis sehingga dapat diterpkan selaras dengan kesanggupan negara yang hendak menerapkannya sesuai dengan kondisi dan tuntutan negara itu sendiri.
7) Kurikulum islami harus memilih metode yang elastis sehingga dapat diadaptasikan ke dalam berbagai kondisi, lingkungan, dan keadaan tempat ketika kurikulum itu diterapkan.
8) Kurikulum islami harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik, dan tidak meninggalkan dampak emosional yang meledak-ledak dalam diri generasi muda.
9) Setiap kurikulum islami harus sesuai dengan berbagai tigkatan usia anak didik.
10) Kurikulum islami harus herus memperhatikan pendidikan tentang segi-segi perilaku islami yang bersifat aktivitas langsung, seperti berjihad, dakwah Islam serta pembangunan masyarakat muslim dalam lingkungan persekolahan sehingga kegiatan itu dapat mewujudkan rukun Islam dan syiarnya, metode pendidikan dan pengajarannya, srta etika dalam kehidupan siswa secara individual dan sosial.
Dari paparan di atas dapat dilihat betapa pentingnya fungsi kurikulum dalam pendidikan, sehinggga dari sinilah peneliti tertarik untuk meneliti penerapan kurikulum pondok pesantren dalam era globalisasi. Adapun alasan pemilihan lokasi di Pondok Pesantren X karena setelah melakukan survey pendahuluan, pondok pesantren yang telah berdiri pada tahun 1948 ini, sejak masa-masa awal berdirinya tampak telah mampu menjawab tuntutan masyarakat pada zaman tersebut. Fakta ini diperoleh dari dokumen yang menyatakan bahwa selain melaksanakan kurikulum salafiyah seperti model bandongan, sorogan dan takhassus, pesantren ini juga melaksanakan kurikulum khalafiyah yaitu dengan berdirinya lembaga formal yaitu MIA (Madrasah Ibtidaiyah Agama) yang menggunakan sistem klasikal.

B. Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui posisi dari penelitian ini maka perlu dipaparkan beberapa kajian terdahulu, baik itu berupa penelitian lapangan maupun kajian literatur. Ada beberapa kajian yang telah membahas tentang pondok pesantren X ini antara lain :
1. Umi Mahmuda, Kepemimpinan Kyai Zaini dalam Pengembangan Pondok Pesantren X, (Skripsi; 1994).
2. Nur Ali, Strategi Pembelajaran Kitab-kitab Islam Klasik di Pesantren (Studi Kasus Pondok Pesantren X) (Tesis; 1996).
3. Eni Halimiyah, Peranan K.H. Zaini Mun'im dalam Pembinaan Masyarakat X. (Skripsi; 1997)
4. M. Irfan, Pengelolaan Pendidikan Keterampilan di Pondok Pesantren X. (Tesis; 1997)
Adapun penelitian yang berkaitan dengan tema, penulis menemukan antara lain :
1. Mujamil Qomar, Politik Pendidikan Pesantren Melacak Transformasi Institusi, dan Metode (Tesis; 1996) kemudian dicetak menjadi buku dengan judul Pesantren : Dari Transformasi metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa kurikulum pesantren itu jika diamati dengan melihat kondisi pada dua kutub secara ekstrim (masa permulaan dan keadaan sekarang) memang menunjukkan perubahan yang sangat fundamental, tetapi ketika perubahan itu dilihat secara setahap demi setahap, ternyata hanya terjadi perubahan yang amat lamban. Perubahan yang terjadi lebih imitatif daripada upaya pembuatan model sendiri.
2. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsusr dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Desertasi; 1983) kemudian oleh INIS diterbitkan pada tahun 1994. Penelitian yang mengambil 6 pesantren sebagai situsnya mengemukakan bahwa jenis pendidikan di pesantren ada yang bersifat formal dan non formal. Untuk yang bersifat non formal, hanya mempelajari agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Kurikulum pada jenis pendidikan ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Sedangkan untuk pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) berlaku kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah (Depag dan Depdikbud).
Dari beberapa penelitian di atas, dapat dilihat bahwa penelitian yang mengkaji kurikulum pondok pesantren secara khusus masih belum peneliti temukan, terutama jika dikaitkan dengan era globalisasi.

C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan kajian terdahulu di atas, maka akan diuraikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana struktur kurikulum pondok pesantren X ?
2. Apa landasan pengembangan kurikulum di pondok pesantren X ?
3. Apakah kurikulum yang diterapkan di pondok pesantren X relevan dengan era globalisasi ?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui struktur kurikulum di pondok pesantren X.
2. Mengetahui landasan pengembangan kurikulum di pondok pesantren X
3. Mengetahui relevansi kurikulum di pondok pesantren X dengan era globalisasi.

E. Manfaat Penelitian
Diharapkan dari penelitian ini, dapat memberikan manfaat kepada dua hal :
1. Teoritis
a. Diperoleh pemikiran tentang model kurikulum yang baik bagi pendidikan di Indonesia umumnya dan pendidikan di pondok pesantren pada khususnya dalam menghadapi era globalisasi.
b. Sebagai bahan kajian dan rujukan bagi penelitian di bidang yang serupa.
2. Praktis
a. Sebagai bahan perbandingan bagi Pondok Pesantren X dalam mengembangkan kurikulum yang lebih baik.
b. Sebagai salah satu model percontohan bagi lembaga pendidikan lain khususnya pondok pesantren.

F. Definisi Operasional
Kurikulum : rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, metode dan evaluasi yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pondok Pesantren : lembaga pendidikan Islam yang mempunyai ciri-ciri antara lain : masjid/mushala, pondok, kyai, santri, dan literatur yang khas. Era globalisasi : suatu masa dimana terjadi pengglobalan seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, iptek, sosial dan budaya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:51:00

KONTRIBUSI BUDAYA MASYARAKAT DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SOSIAL SISWA

KONTRIBUSI BUDAYA MASYARAKAT DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SOSIAL SISWA DI SMAN X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya pendidikan berperan untuk meningkatkan kualitas manusia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, mandiri, maju, kreatif, trampil, bertanggung jawab, produktif serta sehat jasmani dan rohani, sehingga mampu menghadapi segala pembahan era globalisasi yang menuntut kesiapan sumber daya manusia bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga harus mampu sebagai pelaku. Konsekuensi dari masuknya budaya asing, pelaku bisnis, politik, ekonomi, dan sebagainya, bahkan nilai-nilai budaya asing, seperti perilaku free sex, pergaulan bebas tanpa batas dan bertolak belakang dengan budaya bangsa Indonesia, yang mampu menggeser budaya bangsa Indonesia. Untuk itu, yang mampu menghadapi masalah dan perubahan zaman adalah pemahaman budaya masyarakat perlu ditanamkan pada siswa sehingga mampu memilah dan memilih yang terbaik untuk menentukan sikap perilaku yang terbaik bagi diri sendiri dan bangsa Indonesia.
Kegiatan interaksi belajar mengajar harus selalu ditingkatkan efektifitas dan efisiensinya. Dengan banyakya kegiatan pendidikan di sekolah, dalam usaha meningkatkan mutu dan frekuensi isi pembelajaran, maka sangat menyita waktu siswa untuk mengatasi keadaan tersebut, guru perlu memberikan tugas-tugas di luar jam pelajaran. Disebabkan bila hanya menggunakan seluruh jam pelajaran. Disebabkan bila hanya menggunakan seluruh jam pembelajaran yang ada untuk tiap mata pelajaran hal itu tidak akan mencukupi tuntutan di dalam kurikulum. Dengan demikian perlu diberikan tugas-tugas, sebagai selingan untuk variasi teknik penyajian ataupun dapat berupa pekerjaan nimah. Tugas semacam itu dapat dikerjakan di luar jam pelajaran, di rumah maupun sebelum pulang, dan atau kegiatan ekstrakurikuler, sehingga dapat dikerjakan bersama temannya.
Seperti yang berlangsung pada kegiatan ekstrakurikuler yang berupa seni budaya yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian, menanamkan kesadaran, dan membina mental siswa serta menumbuhkembangkan sikap perilaku siswa agar sanggup menerima, memahami, dan mengerti tentang kebudayaan, baik budaya tradisional, budaya masyarakat maupun budaya asing yang bersifat selektif.
Apakah budaya ? Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang telah ditanyakan dan dicari jawabnya sejak era Ibnu Khaldun sampai saat ini. Seolah-olah jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah ada, atau mungkin ketika ditemukan jawabannya oleh seseorang, maka yang didefinisikan itu (budaya) lantas berubah. Oleh karenanya orang tak pernah sampai pada keputusan final yang disepakati oleh semua orang. Apalagi budaya dilihat dari kacamata berlainan tergantung yang melihatnya. Alhasil konsep budaya berbeda-beda tergantung siapa yang mendefinisikan konsep tersebut. Dalam buku-buku pengantar antropologi selalu disebutkan hasil temuan Kroeber & Kluckhon yang mengidentifikasi definisi budaya. Mereka mencatat sekurang-kurangnya terdapat 169 definisi berbeda. Hal itu menunjukkan betapa beragamnya sudut pandang yang digunakan untuk melihat budaya. Masing-masing disiplin ilmu memiliki sudut pandangnya sendiri. Bahkan di dalam satu disiplin ilmu terdapat perbedaan karena pendekatan yang digunakan berbeda. Dalam disiplin ilmu psikologi misalnya, mungkin saja mereka yang tertarik dengan persoalan emosi akan mendefinisikan berbeda dengan mereka yang tertarik pada persoalan kesehatan mental (Mendatu, 2007. "Apakah Budaya". www.psikologi.omline.co.id.)
Kemampuan beradaptasi atau penyesuaian diri merupakan bentuk perilaku pada umumnya yang didasarkan atas keseimbangan kemampuan akal (kognisi) dan kemampuan rasa (afeksi), dan psikomotor, karena manusia tidak hanya memiliki otak tetapi juga mempunyai emosi dan keterampilan, baik keterampilan berkomunikasi maupun keterampilan fisik jasmaniah. Oleh karena itu, kesadaran terhadap perbedaan daya pikir, emosi, dan keterampilan manusia merupakan aspek penting keberhasilan penyesuaian diri. Mengingat manusia tidak hanya berperilaku atas dasar kemampuan akal semata, tetapi juga didasarkan pada kemampuan rasa, yakni kemampuan menilai perasaan kepuasan diri sendiri dan orang lain dalam masa perkembangan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.
Keseimbangan antara komponen kognisi, afeksi, dan psikomotor mutlak diperlukan. Seseorang yang terlalu mengagungkan kecerdasan akalnya tanpa diimbangi dengan kemampuan emosional atau sikap, dan psikomotor diprediksikan bahwa dia akan dapat mengalami kegagalan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kecakapan emosi bukan berarti memanjakan perasaan dan mengistimewakan sikap, dalam arti memuaskan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain, tetapi mengelola perasaan, sikap, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.

B. Identifikasi Masalah
Kemampuan beradaptasi atau penyesuaian diri merupakan bentuk perilaku pada umumnya yang didasarkan atas keseimbangan kemampuan akal (kognisi) dan kemampuan rasa (afeksi), dan psikomotor, karena manusia tidak hanya memiliki otak tetapi juga mempunyai emosi dan keterampilan, baik keterampilan berkomunikasi maupun keterampilan fisik jasmaniah.
Perbedaan daya pikir, emosi, dan keterampilan manusia merupakan aspek penting keberhasilan penyesuaian diri. Mengingat manusia tidak hanya berperilaku atas dasar kemampuan akal semata, tetapi juga didasarkan pada kemampuan rasa, yakni kemampuan menilai perasaan kepuasan diri sendiri dan orang lain dalam masa perkembangan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Keseimbangan antara komponen kognisi, afeksi, dan psikomotor mutlak diperlukan.
Seseorang yang mengagungkan kecerdasan akalnya tanpa diimbangi dengan kemampuan emosional/sikap, dan psikomotor diprediksikan dia akan dapat mengalami kegagalan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kecakapan emosi bukan berarti memanjakan perasaan dan mengistimewakan sikap, dalam arti memuaskan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain, tetapi mengelola perasaan, sikap, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga secara tepat memungkinkan bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.
Aktivitas bebajar siswa, baik yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah, rumah atau tempat lain, senantiasa perlu memperhatikan kemampuan beradaptasinya, sehingga diperoleh hasil belajar yang optimal, yaitu menguasai mated yang dipelajari dan mampu berprestasi dengan baik.

C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah budaya masyarakat, pergaulan teman sebaya, dan perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X.

D. Rumusan Masalah
1. Adakah kontribusi budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ?
2. Adakah kontribusi budaya masyarakat terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ?
3. Adakah kontribusi pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan tentang budaya masyarakat, pergaulan teman sebaya, dan perilaku sosial siswa. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini ingin mendeskripsikan tentang kontribusi budaya masyarakat terhadap perilaku sosial siswa, kontribusi pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa, dan kontribusi budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dapat digunakan sebagai referensi dan penelitian berikutnya yang sejenis.
2. Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis bagi siswa, memberikan informasi arti pentingnya budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X, bagi masyarakat, memberikan masukan bahwa budaya masyarakat dapat membentuk perilaku sosial dan membangun nilai-nilai pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:45:00

KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanana undang-undang tersebut. Peraturan Pemerintah yang telah dikeluarkan dan harus segera dilaksanakan penyesuaian-penyesuaian aturan dibawahnya adalah Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan mengatur tentang stndar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, stadar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Dalam aturan tersebut ditetapkan pula kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan/akademik yang berlaku dalam satu tahun pelajaran.
Sejatinya, sekolah adalah sebuah masyarakat kecil (mini society) yang menjadi wahana pengembangan siswa. Aktifitas didalamnya adalah proses pelayanan jasa. Murid datang ke sekolah untuk mendapatkan pelayanan, sementara kepala sekolah, guru dan tenaga lain adalah para profesional yang terus menerus berinovasi memberikan pelayanan yang terbaik untuk kemajuan sekolah.
Mengembangkan model pembaharuan adalah tugas yang sulit karena proses pembaharuan adalah usaha yang multidimensional. Tidak ada satu model pun yang dapat menjelaskan dengan sempurna betapa rumitnya pengembangan sekolah. Yang akan diusulkan oleh para konsultan adalah kerangka kerja yang memberi pedoman pada proses pembaharua. Dalam mengkaji-ulang data pada model "pengembangan sekolah" yang telah dipilih, dua proses utama telah diidentifikasi. Pertama, keinginan kepala sekolah untuk meningkatkan intensitas komunikasi di antara para pemegang peran merupakan alat untuk mengundang mereka untuk menjadi mitra dalam transformasi sekolah. Kesadaran yang lebih tinggi tentang berbagai masalah dan pandangan para pemegang peran dapat menciptakan peluang untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh sekolah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan. Kedua, dalam menggambarkan tanggung jawab pengambilan-keputusan oleh para pemegang peran mengakibatkan pemecahan masalah yang lebih cepat dan membebaskan kepala sekolah untuk berfungsi sebagai fasilitator dalam pengembangan sekolah. Kedua proses tersebut menyebabkan adanya tanggung jawab yang lebih besar bagi para pemegang peran. Hal ini meningkatkan motivasi dan jati diri para pemegang peran. Pemegang peran menggunakan berbagai istilah, misalnya kemitraan dan suasana kekeluargaan untuk menggambarkan adanya hubungan yang baru di sekolah (Depdiknas. 2007. "Model Pembaharuan pada Sekolah Menengah Umum : Pengalaman Indonesia"). (www.school.development.com).
Sebagaimana sekolah dipahami sebagai suatu organisasi, kepemimpinan dan manajemen menjadi menarik untuk diperdebatkan. Sebagai suatu organisasi, sekolah memerlukan tidak hanya seorang manajer untuk mengelola sumberdaya sekolah, yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan administratif lainnya, melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan sebuah visi dan mengilhami staf dan semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. Wacana ini mengimplikasikan bahwa baik pemimpin maupun manajer diperlukan dalam pengelolaan sekolah.
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi (Dharma, 2003. "Manajemen Berbasis Sekolah". www.depdiknas.go.id).
MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah. Keterbukaan ini telah meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk menunjang dan meningkatkan pemberdayaan mutu pendidikan sekolah.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di tingkat yang paling operasional, yaitu sekolah

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian
Era desentralisasi seperti saat ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, praksis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Manajemen sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management (manajemen berbasis sekolah/MBS).
Segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional adalah sebagai berikut : (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan. Dalam era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung. Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan, antara lain, sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan NEM (nilai ebtanas murni) secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaruan dan inovasi. (Suyanto, 2007. "Kepemimpinan Kepala Sekolah". www.diknas.go.id ) Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru ?
2. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam pengelolaan sarana prasarana ?
3. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam hal pengelolaan dana pendidikan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan tentang kinerja kepala sekolah dalam manajemen berbasis sekolah, dan tujuan khusus ingin mendiskripsikan kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru. pengelolaan sarana prasarana, dan pengelolaan dana pendidikan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dapat digunakan sebagai referensi dan pengembangan penelitian berikutnya yang sejenis. Sedangkan manfaat praktis, bagi kepala sekolah, dapat meningkatkan kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru. pengelolaan sarana prasarana, dan pengelolaan dana pendidikan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:43:00

IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH

IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH (PROGRAM STUDI : HUKUM EKONOMI SYARIAH)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupan senantiasa berinteraksi antara satu dengan yang lain. Masing-masing individu saling bergantung satu sama lain dalam memenuhi hajat hidupnya. Tidak ada satu orang pun di dunia yang dapat hidup dengan sempurna tanpa jasa orang lain.
Dari sifat kehidupan manusia yang saling bergantung satu sama lain ini, muncullah berbagai problematika kehidupan baik yang meliputi aspek ritual maupun sosial. Problem kehidupan ini tentunya harus segera direspon dengan serangkaian garis-garis hukum yang mampu memecahkan setiap permasalahan yang timbul dalam kehidupan manusia.
Dalam menjawab pemasalahan yang timbul nampaknya peranan hukum lslam dalam konteks kekinian dan kemoderenan dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat dihindarkan. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan jaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik dan bisa memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.
Mendasarkan pada kemaslahatan tersebut maka Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk saling bantu membantu, yang kaya membantu yang miskin.
Bentuk saling membantu ini dapat berupa pemberian tanpa ada pengembalian dari yang diberi (karena berfungsi sosial), seperti infaq, zakat dan shodaqoh, ataupun berupa pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang memberi pinjaman minimal mengembalikan pokok pinjamannya. Syari'at Islam juga memerintahkan umatnya supaya saling tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk tolong menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman.
Dalam konteks pinjam-meminjam hukum Islam membolehkan baik melalui individu maupun melalui lembaga keuangan, Mengenai Pembiayaan didalam Hukum Islam, Kepentingan Kreditur sangat diperhatikan dan dijaga jangan sampai dirugikan. Oleh sebab itu, dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Dalam Dunia Finansiil barang itu dikenal dengan obyek jaminan (collateral) atau barang agunan. Konsep tersebut dalam fikih Islam dikenal dengan istilah rahn. Kontrak gadai yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan rahn sebenarnya bukan hal baru dalam praktek perekonomian. Kontrak gadai sudah ada dalam tradisi bangsa Arab sebelum Islam. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Sabiq bahwa : Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab, bahwa apabila orang yang menggadaikan barang tidak mampu melunasai utangnya maka barang gadai itu dikeluarkan dari miliknya.
Sampai Islam datang, ternyata perjanjian gadai masih berlaku, tentunya dengan batasan syarat dan rukun tertentu, bahkan mendapat legitimasi hukum sebagai perbuatan jaiz atau dibolehkan, baik menurut ketentuan al Qur'an, Sunnah maupun ijma' Ulama.
Dalam al Qur'an (QS al Baqoroh 283) disebutkan : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis. maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berepiutang) akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhan-nya ;dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang berdosa hatinya ; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 283).
Kalimat "Hendaklah ada barang tanggungan" dapat diartikan sebagai "gadai". Sedangkan dalam Sunnah Rasulullah SAW dapat ditemukan dalam ketentuan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Aisyah r.a. berkata :
Artinya : "Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau." (HR. Bukhori Muslim).
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur Ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih. Dalam Islam gadai mempunyai pengertian yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara' sebagai jaminan uang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang, atau bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.
Menurut aturan dasar pegadaian, bahwa barang-barang yang dapat digadaikan di lembaga ini hanyalah berupa barang-barang bergerak padahal mempunyai berbagai resiko yang tinggi.
"Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Namun pada kcnyataannya dalam masyarakat konsep tersebut dinilai tidak adil. Dilihat dari segi komersial, yang meminjamkan uang merasa dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan berlarut-larut,sementara barang jaminan tidak laku."
Seiring dengan kemajuan zaman dan tuntutan masyarakat Muslim di Indonesia yang sangat merindukan bertransaksi berdasarkan prinsip -prinsip Islam dalam berbagai aspek termasuk di bidang Pegadaian, kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, Undang-undang memberikan peluang untuk diterapkan praktek perekonomian sesuai Syariah dibawah perlindungan hukum positif, sebagaimana termuat pada pasal 1 ayat 12 dan 13 :
"Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan dengan imbalan atau bagi hasil.
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara Bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudhorobah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarokah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murobahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (Ijarah), atau adanya pilihan pemindahan kepemilikan barang atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (Ijarah wa iqtina).
Berdasarkan Undang-undang tersebut kemudian terwujudlah lembaga keuangan syariah, pada awalnya Perbankan Syariah, Asuransi Syariah kemudian Pegadaian Syariah dan lain-lain, dari sekian banyak lembaga keuangan Syariah yang sudah mempunyai payung Hukum Positif adalah Perbankan Syariah, sedangkan lembaga keuangan syariah yang lainnya belum mempunyai payung hukum tersendiri, seperti Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah dan Pegadaian Syariah.
"Pegadaian Syariah adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang jasa keuangan non bank dengan kegiatan utama menyalurkan pinjaman kepada Masyarakat berdasarkan hukum gadai, fidusia dan usaha lain yang menguntungkan".
Pegadaian Syariah Cabang X beberapa produknya telah dibeli oleh masyarakat, nasabah di Pegadaian Syariah belum tentu orang Islam yang tau dan taat menjalankan Syariatnya bahkan non muslim boleh bertransaksi di Pegadaian Syariah, Pada bidang transaksi bisnis Agama bukan suatu keharusan non muslim boleh menundukkan diri pada Hukum Islam darisitulah tergambar Islam rohmatan HI alamin, mereka kebanyakan dari kalangan bawah yang amat sangat terpaksa kekurangan uang untuk kebutuhan hidup sehari hari sehingga tidak tau prinsip Syariah atau bukan Syariah yang penting datang bawa barang pulang bawa uang, lain lagi bagi kalangan menengah keatas, bukan karena kekurangan uang untuk kebutuhan sehari-hari, akan tetapi kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya sehingga mereka mengetahui ada pilihan yang tepat untuk mencari modal yang Islami.
Adapun landasan hukum operasional Pegadaian adalah diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2000 yaitu :
a. Penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai.
b. Penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam mulia dan batu adi, unit toko emas, dan insutri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan.
Disamping berdasarkan ketentuan tersebut di atas untuk penerapan prinsip Syariah. mendasarkan pada :
a. Pasal 1 ayat 12 dan 13 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 9 /DSN-MUI/IV/2000. Tentang Pembiayaan Ijarah
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor Nomor : 29/DSN-MUI/IV/2002. Tentang Rahn.
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murobahah
Pegadaian Syariah masih menggunakan kebijakan gadai konvensional, disisi lain harus menerapkan prinsip-prinsip syariah, dan pengawasannya secara kolektif dari pusat, hal yang demikian itulah yang menarik untuk dikaji dan dievaluasi secara kritis.
Lembaga tersebut mengklaim dirinya mengatasi masalah tanpa masalah, apakah hal itu betul atau justru tidak mengatasi masalah tetapi membuat masalah.
Pada zaman sekarang ini banyak bermunculan lembaga keuangan baik bank atau bukan bank yang yang mengklaim dirinya sebagai lembaga keuangan Syariah dan banyak juga yang hanya kulitnya saja tapi prakteknya tidak Syariah.
Perum Pegadaian Syariah Cabang X berdiri pada tahun 2004 dan mulai efektif bekerja melayani gadai yang sesuai Syariah, sampai sekarang sudah berusia lima tahun berjalan, perkembangan gadai syariah tersebut tidak sepesat Perbankan Syariah yang memang diminati banyak nasabah kelas menengah keatas, karena kesan gadai adalah hanya diminati oleh masyarakat kelas bawah yang bersifat konsumtif, hal ini terlihat dari produk yang ditawarkan oleh gadai Syariah X belum banyak karena peminatnya masih relatif didominasi oleh kalangan bawah yang dengan terpaksa lari ke Pegadaian karena kebutuhan yang mendesak, hal ini penulis ketahui ketika berada di Pegadaian dan mencoba wawancara dengan nasabah yang datang di Pegadaian Syariah. Sepintas yang menarik adalah Pegadaian mengatasi masalah tanpa masalah, hal ini terlihat dari kredit pinjaman yang ditawarkan oleh Pegadaian dengan garis batas minimal Rp. 20.000 sampai dengan Rp 150.000,- dengan proses yang amat sederhana dan cepat cukup dengan waktu lima belas menit uang sudah bisa diterima, dari sinilah sepintas benar-benar mengatasi masalah tanpa masalah, akan tetapi dari sisi lain yang terkait dengan sewa modal dan akad yang dibuat oleh nasabah dengan Pegadaian apakah tidak akan menimbulkan masalah, terkait dengan barang agunan yang tidak mempunyai setandar pasar yang pasti seperti barang-barang elektronik dan kendaraan bermotor, dari sinilah yang mendorong penulis untuk mengkaji hal-hal yang terkait dengan akad Rahn Ijarah di Pegadaian Syariah, apakah gadai Syariah menggunakan konsep Islami yang sesuai dengan al Qur'an dan al Hadits yang di Implemntasikan oleh Ulama Imam Mazhab dalam Kitab-kitab Fiqih, ataukah hanya sekedar merobah akad konvensional menjadi akad Syariah akan tetapi sistemnya tetap sama seperti konvensional.
Berdasarkan klaim Perum Pegadaian dan uraian tersebut diatas Penulis tertarik untuk meneliti dan mengevaluasi tentang Implementasi akad ijarah pada Pegadaian Syariah Cabang X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kajian ini hanya dibatasi pada masalah :
Apakah Implementasi akad ijarah pada Perum Pegadaian Syariah Cabang X sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan bagian pokok Ilmu Pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis dan praktis.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui sistem gadai dengan akad Ijarah pada Perum Pegadaian Syariah Cabang X.
2. Mengetahui sejauhmana penerapan prinsip Syariah pada akad Ijarah di Perum Pegadaian Syariah Cabang X.

D. Manfaat Penelitan
Dari hasil penelitian dapat diharapkan memberi manfaat penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi berbagai pihak, yang senantiasa antusias dengan sebuah sistem yang Islami, terutama sekali kepada segenap Penegak Hukum, Penasehat Hukum, Konsultan Hukum, Ekonom dan para Mahasiswa Fakultas Hukum untuk dapat memahami dan mendalami sistem ekonomi Syariah (di bidang Pegadaian) yang kini berkembang pesat.
2. Manfaat Praktis
Sebagai tambahan pengetahuan, sehingga masyarakat mengetahui tentang mekanisine aktivitas perjanjian gadai yang sesuai dengan prinsip Syariah, sehingga gadai Syariah menjadi pilihan utama bagi masyarakat Muslim khususnya di sekitar wilayah X dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk bertransaksi yang benar-benar Islami.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:36:00