Cari Kategori

MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING /CTL)

Pembelajaran Kontekstual mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat.

Melalui pemaduan materi yang dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.


Pembelajaran Kontekstual merupakan satu konsepsi pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan bahan subjek yang dipelajari dengan situasi dunia sebenarnya dan memotivasikan pembelajar untuk membuat kaitan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan harian mereka sebagai ahli keluarga, warga masyarakat, dan pekerja.

Pembelajaran Kontekstual adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Elaine B. Johnson, 2007:14).

Dalam Pembelajaran Kontekstual, ada delapan komponen yang harus ditempuh, yaitu:

1.   Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna,
2.   Melakukan pekerjaan yang berarti,
3.   Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri,
4.   Bekerja sama,
5.   Berpikir kritis dan kreatif,
6.   Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang,
7.   Mencapai standar yang tinggi, dan
8.   Menggunakan penilaian otentik (Elaine B. Johnson, 2007: 65-66).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Pembelajaran Kontekstual adalah mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya.

Pembelajaran Kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Pembelajaran Kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan meraka (Sanjaya, 2005:109).

Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami :

Pertama, Pembelajaran Kontekstual menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Kedua, Pembelajaran Kontekstual mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.

Ketiga, Pembelajaran Kontekstual mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya, Pembelajaran Kontekstual tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.

Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan Kontekstual:

a.   Dalam Pembelajaran Kontekstual pembelajaran merupa kan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya, apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
b.   Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya.
c.   Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) berarti pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan diyakini.
d.   Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). Artinya, pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
e.   Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.

Di sisi lain, Hernowo (2005:93) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan strategi pebelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning:

1.   Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata pelajaran tersebut.
2.   Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
3.   Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
4.   Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
5.   Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang diterimanya secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar alamiah yang cocok dengan dirinya. f. Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka mengekspresikannya dengan bebas. g. Bimbing mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga anak didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 01:41:00

Makalah Perubahan Fisika dan Perubahan Kimia (Sifat Fisika dan Sifat Kimia)

Makalah Perubahan Fisika dan Perubahan Kimia (Sifat Fisika dan Sifat Kimia)

Daftar Isi :
A. PERUBAHAN FISIKA, 1. Beberapa Perubahan Fisika di Sekitar Kita, 2. Sebab-sebab Terjadinya Perubahan Fisika, B. PERUBAHAN KIMIA, 1. Beberapa Perubahan Kimia di Sekitar Kita, a. Pembentukan gas, b. Pembentukan endapan, c. Perubahan warna, d. Perubahan energi, 2. Sebab-sebab Terjadinya Perubahan Kimia, C. CIRI-CIRI PERUBAHAN FISIKA DAN KIMIA, D. SIFAT MATERI : SIFAT FISIKA DAN SIFAT KIMIA.


Sekilas Isi :
A. PERUBAHAN FISIKA
Perubahan fisika dapat diamati pada lingkungan di sekitar kita. Apa contoh perubahan fisika tersebut? Untuk mendapatkan jawabannya, mari kita simak pembahasan berikut :

1. Beberapa Perubahan Fisika di Sekitar Kita
Mungkin di daerahmu terdapat sungai yang memiliki batuan dari berbagai ukuran. Batuan tersebut ada yang besar, ada pula yang kecil. Arus sungai yang deras menerpa dan menghanyutkan batuan tersebut sehingga pecah menjadi batuan-batuan yang lebih kecil. Pecahan-pecahan batuan ini memiliki sifat yang sama dengan batuan semula. Sebagai contoh, pecahan batuan dan batuan semula tetap keras, serta bahan penyusunnya pun sama. Peristiwa pecahnya batuan tergolong perubahan fisika.

Udara yang kita hirup setiap hari merupakan hasil perubahan fisika. Udara terdiri dari berbagai macam gas, misalnya gas oksigen, nitrogen, dan argon. Gas-gas ini bercampur secara fisika membentuk udara. Udara yang telah terbentuk dapat diuraikan menjadi zat penyusunnya melalui proses destilasi.

Ketika kamu menjemur pakaian juga terjadi perubahan fisika. Pakaian yang semula basah lama-kelamaan kering karena mendapat panas matahari. Panas matahari menguapkan air yang terdapat pada pakaian. Perubahan dari air menjadi uap air tergolong perubahan fisika.

Ketika kita membuat minuman teh juga terjadi perubahan fisika. Pada saat itu kita mencampur gula dengan air teh. Setelah diaduk beberapa lama, butiran gula menghilang dan timbul rasa manis. Adanya rasa manis menunjukkan bahwa zat gula sebenarnya tidak hilang, melainkan masih terdapat dalam air teh.

Perubahan fisika juga dapat diamati ketika kita merebus air, membuat es batu, air mengalami perubahan wujud dari cairan menjadi padatan. Ketika kita menggoreng masakan dengan margarine, terjadi perubahan wujud dari padatan menjadi cairan.

2. Sebab-sebab Terjadinya Perubahan Fisika
Perhatikan kembali beberapa contoh perubahan fisika yang sudah dibahas di atas. Ternyata, perubahan fisika dapat diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, perubahan fisika berupa perubahan wujud. Kedua, perubahan fisika karena pencampuran benda. Ketiga, perubahan fisika karena benda dipotong atau dibelah.
Perubahan wujud mencakup perubahan dari padat ke cair (disebut mencair atau meleleh), cair ke gas (menguap), gas ke cair (mengembun), cair ke padat (membeku), dan padat ke gas (menyublim). Semua perubahan wujud ini terjadi karena benda menerima atau melepaskan panas. Mencair (misalnya, es menjadi air), menguap (air menjadi uap air), dan menyublim (kapur barus menjadi gas) terjadi karena benda menerima panas. Sebaliknya, membeku (air menjadi es batu) dan mengembun (uap air menjadi air) terjadi karena benda melepaskan panas.


Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 14:15:00

TIM PENILAI DAN LEMBAR CATATAN FAKTA PENILAIAN KINERJA GURU

Diinformasikan perihal Tim Penilai PKG, sebagaimana tertulis di Buku 2 Pedoman PK Guru dengan ikhtisar, sebagai berikut:

a.   Kepala Sekolah otomatis sebagai penilai yang dibatasi maksimal 10 guru.
b.   Apabila jumlah Guru di sekolah > 10 orang, maka perlu tambahan petugas Penilai.
c.   Setiap satu orang penilai dibatasi minimal 5 dan maksimal 10 guru yang dapat dinilai per tahun.
d.   Khusus PK Kepala Sekolah dilakukan oleh Pengawas Sekolah.
e.   Berlaku kriteria - kriteria khusus sebagai penilai.
f.    Berlaku sanksi - sanksi bagi penilai dan guru jika melanggar prinsip penilaian kinerja guru.

Detil penjelasan sebagai berikut:

 Penilaian kinerja guru dilakukan di sekolah oleh Kepala Sekolah. Apabila Kepala Sekolah tidak dapat melaksanakan sendiri (misalnya karena jumlah guru yang dinilai > 10 Guru), maka Kepala Sekolah dapat menunjuk Guru Pembina atau Koordinator PKB sebagai penilai.  Penilaian kinerja Kepala Sekolah dilakukan oleh Pengawas Sekolah.
A. Kriteria Penilai

Penilai harus memiliki kriteria sebagai berikut:

1.   Menduduki jabatan/pangkat paling rendah sama dengan jabatan/pangkat guru/kepala sekolah yang dinilai.
2.   Memiliki Sertifikat Pendidik.
3.   Memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dan menguasai bidang kajian
4.   Guru/Kepala Sekolah yang akan dinilai.
5.   Memiliki komitmen yang tinggi untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
6.   Memiliki integritas diri, jujur, adil, dan terbuka.
7.   Memahami PK GURU dan dinyatakan memiliki keahlian serta mampu untuk menilai kinerja Guru/Kepala Sekolah.

Dalam hal Kepala Sekolah, Pengawas, Guru Pembina, dan Koordinator PKB memiliki latar belakang bidang studi yang berbeda dengan guru yang akan dinilai maka penilaian dapat dilakukan oleh Kepala Sekolah dan/atau Guru Pembina/ Koordinator PKB dari Sekolah lain atau oleh Pengawas dari kabupaten/kota lain yang sudah memiliki sertifikat pendidik dan memahami PK GURU. Hal ini berlaku juga untuk memberikan penilaian kepada Guru Pembina.

B. Masa Kerja Penilai

Masa kerja tim penilai kinerja guru ditetapkan oleh Kepala Sekolah atau Dinas Pendidikan paling lama tiga (3) tahun. Kinerja penilai dievaluasi secara berkala oleh Kepala Sekolah atau Dinas Pendidikan dengan memperhatikan prinsip-prinsip penilaian yang berlaku. Untuk sekolah yang berada di daerah khusus, penilaian kinerja guru dilakukan oleh Kepala Sekolah dan/atau Guru Pembina setempat. Jumlah guru yang dapat dinilai oleh seorang penilai adalah 5 sampai 10 guru per tahun.

C. Sanksi Penilai dan Guru

Penilai dan guru yang dinilai akan dikenakan sanksi apabila yang bersangkutan terbukti melanggar prinsip-prinsip pelaksanaan PK GURU, sehingga menyebabkan Penetapan Angka Kredit (PAK) diperoleh dengan cara melawan hukum. Sanksi tersebut adalah sebagai berikut:

1.   Diberhentikan sebagai Guru atau Kepala Sekolah dan/atau Pengawas.
2.   Bagi penilai, wajib mengembalikan seluruh tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan semua penghargaan yang pernah diterima sejak yang bersangkutan melakukan proses PK GURU.
3.  Bagi guru wajib mengembalikan seluruh tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan semua penghargaan yang pernah diterima sejak yang bersangkutan memperoleh dan mempergunakan PAK yang dihasilkan dari PK GURU.

Lembar Catatan Fakta PKG

Fitur unggah laporan hasil PKG (S22a LAMPIRAN A dan LAMPIRAN B) yang dijadwalkan rilis minggu ini ditunda hingga minggu depan (tanggal akan diumumkan lebih lanjut). Penundaan ini berkaitan dengan adanya penyempuraan sistem dan tambahan kelengkapan dokumen lain yang perlu diunggah juga nantinya, yaitu:

Lembar Catatan Fakta : Hasil Pengamatan dan Pemantauan Proses Pembelajaran (ditulis tangan manual oleh Kepala Sekolah/Tim Penilai).

Fomat Lembar Catatan Fakta silakan unduh di:

Dipersilahkan kepada Kepala Sekolah/Tim Penilai untuk unduh formulir Lembar Catatan Pengamatan dan melengkapinya dengan tulis tangan manual untuk setiap guru yang dinilai, selanjutnya dipindai (scan) sebagai kelengkapan berkas tambahan selain S22a LAMPIRAN A dan LAMPIRAN B.

Salam Padamu Negeri Indonesiaku - Admin Pusat - BPSDMPK PMP Kemdikbud

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:42:00

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 Tahun Di Desa X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 Tahun Di Desa X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia masih dijumpai masalah kesehatan reproduksi yang memerlukan perhatian semua pihak. Masalah-masalah kesehatan reproduksi tersebut muncul dan terjadi akibat pengetahuan dan pemahaman serta tanggung jawab yang rendah. Akses untuk mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung jawab mengenai alat-alat dan fungsi reproduksi (Bambang, 2005). Secara garis besar periode daur kehidupan wanita melampaui beberapa tahap diantaranya pra konsepsi, konsepsi, pra kelahiran, pra pubertas, pubertas, reproduksi, klimakterium dan senium/lansia (Manuaba,1998).
Sepanjang daur kehidupan seorang wanita akan mengalami satu masa yang sifatnya fisiologis, sebagai fase dimana proses penuaan wanita ditandai dengan perpindahan dari masa reproduksi ke masa non produksi yang dinamakan periode klimakterium (Fiedman, 1998). Dalam periode ini ± 75% wanita akan mengalami perubahan-perubahan yang dapat menimbulkan gangguan (Mustopo, 2005). 25% wanita dalam masa ini ditemukan keluhan yang cukup berat (Wiknjosastro, 1999).
Berdasarkan perhitungan statistik, diperkirakan di tahun 2020 jumlah penduduk indonesia akan mencapai 262,6 juta jiwa dengan jumlah perempuan yang hidup dalam usia menopause adalah sekitar 30,3 juta jiwa dari jumlah lakilaki (Fadilah, 2005).
Jumlah dan proporsi penduduk perempuan yang berusia diatas 50 tahun dan diperkirakan memasuki usia menopause dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 jumlah perempuan berusia diatas 50 tahun baru mencapai 15,5 juta orang atau 7,6% dari total penduduk, sedangkan tahun 2020 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 30,3 juta atau 11,5% dari total penduduk. Untuk X, jumlah penduduknya mencapai 35 juta. Dari jumlah itu, sekitar 60% perempuan, artinya, jumlah wanita menopause di X sekitar 1,5 juta orang (Winarsi, 2005).
Dari hasil studi pendahuluan diketahui bahwa jumlah wanita usia 40-60 tahun di Desa X mencapai 357 orang (25%) dari jumlah penduduk wanita yang berjumlah 1435. Disamping itu juga belum terdapat program kesehatan yang terkait dengan menopause, program kesehatan yang ada masih terbatas pada pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan dan pelayanan KB. Dari hasil wawancara terhadap beberapa wanita menopause, diketahui bahwa mereka masih belum mengetahui tentang menopause dan gejala-gejala yang menyertainya sehingga mereka tidak mengetahui penyebab keluhan-keluhan yang mereka alami hal ini disebabkan karena kurangnya informasi tentang sindrom klimakterium, antara lain ibu sulit tidur pada malam hari/insomnia, jantung berdebar-debar, haid sudah tidak teratur bahkan haid benar-benar berhenti, vagina terasa kering sehingga tidak dapat menikmati hubungan seksual, hot flash/terasa panas pada muka dan leher, nyeri pada pinggang, mudah marah dan tersinggung, sulit konsentrasi.
Guna mengetahui gambaran mengenai pengetahuan wanita usia 40-60 tahun tentang sindrom klimakterium, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian “Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 tahun di Desa X Kecamatan X Kabupaten X”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengetahuan wanita usia 40-60 tahun mengenai sindrom klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran Pengetahuan Wanita usia 40-60 tahun Mengenai Sindrom Klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan wanita usia 40-60 tahun tentang perubahan fisik sindrom klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
b. Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan wanita usia 40-60 tahun mengenai perubahan psikologis sindrom klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Menambah karakteristik pengetahuan wanita usia 40-60 tahun mengenai sindrom klimakterium
2. Manfaat praktis
a. Bagi Pemerintah/institusi kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan masukan dalam perencanaan dan pelaksanaan program Kesehatan reproduksi wanita terutama pada wanita menopause.
b. Bagi pembaca
Sebagai bahan informasi mengenai gejala-gejala perubahan baik secara fisik maupun secara psikologis yang dialami.
c. Bagi penulis
Memperdalam pengetahuan mengenai sindrom klimakterium pada wanita usia 40-60 tahun.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:46:00

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini angka kematian perinatal di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 40/1000 kelahiran hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut antara lain penyakit dan semua hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan baik langsung maupun tidak langsung. Faktor yang berhubungan langsung pada bayi baru lahir adalah penyakit. Penyakit tersebut sangat beresiko tinggi pada bayi, oleh karenanya perlu mendapat penatalaksanaan yang cepat sehingga angka kematian dan kesakitan dapat diturunkan. Bayi-bayi yang beresiko tinggi salah satunya yaitu kuning atau ikterus (Nuchsan, 2000).
Penelitian di dunia kedokteran menyebutkan bahwa 70% bayi baru lahir mengalami kuning atau ikterus, meski kondisi ini bisa dikategorikan normal namun diharapkan untuk tetap waspada (Anonim2, 2006). Sehingga tidak sampai terjadi hiperbilirubinemia pada keadaan dimana terjadi peningkatan kadar hiperbilirubin serum yang dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah (SDM) dan resorpsi lanjut dari bilirubin yang terkonjugasi dari usus kecil (Doenges, 2001). Salah satu penyebab ikterik adalah Inkompatibilitas ABO atau ketidakcocokan golongan darah. Kejadian ini ditemukan pada ibu dengan golongan darah O yang melahirkan bayi bergolongan darah A atau B, sekitar 20-40% dari seluruh kehamilan (Noortiningsih, 2003). Kondisi ini terjadi pada perkawinan yang inkompatibel dimana darah ibu dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum darah ibu bertemu dengan antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga tidak jarang embrio hilang pada sangat awal secara misterius, sebelum ibu menyadari bahwa ia hamil. Namun apabila janin yang dilahirkan hidup, maka dapat terjadi ikterus yang dapat mengarah pada ikterus patologis atau hiperbilirubinemia. Apabila hal ini tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan kematian atau kelainan perkembangannya seperti gangguan perkembangan mental, tuli, lambat bicara dan lain-lain (Suryo, 2005).
Survey pendahuluan yang di lakukan di RSU X menyebutkan jumlah persalinan pada tahun 2006 sebanyak 1527 persalinan, dimana untuk angka kejadian ikterus sebanyak 60 dalam tahun 2006 baik ikterus fisiologis maupun ikterus patologis (Rekam Medik RSU X, 2006), untuk yang diakibatkan karena Inkompatibilitas ABO yang juga memegang peranan penting dalam terjadinya Hiperbilirubinemia, angka kejadiannya tidak dihitung dengan pasti.
Berdasarkan hal di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai “Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO di RSU X“

B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian difokuskan pada:
1. Berapa persentase golongan darah ABO dari ibu yang melahirkan, suaminya dan bayi yang dilahirkan yang mengalami hiperbilirubinemia di RSU X?
2. Berapa persentase angka kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO di RSU X?
3. Bagaimana Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum.
Untuk mengetahui Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X.
2. Tujuan Khusus.
a. Memaparkan persentase golongan darah ABO dari ibu yang melahirkan, suaminya dan bayi yang dilahirkan yang mengalami hiperbilirubinemia di RSU X.
b. Memaparkan persentase angka kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO di RSU X Tahun XXXX.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Mendapatkan informasi dan tambahan ilmu pengetahuan mengenai Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi RSU X
Hasil penelitian dapat memberikan masukkan atau tambahan ilmu pengetahuan untuk membuat rencana penatalaksanaan yang tepat dalam kasus hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO.
b. Bagi Institusi Pendidikan Kebidanan.
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
c. Bagi Penulis
Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam melaksanakan penelitian ilmiah.
d. Bagi Pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi khususnya mengenai Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO.
e. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pertimbangan melakukan skrening pasangan suami istri pada perbedaan golongan darah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:45:00

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Formal Ibu Dengan Ketepatan Jadwal Imunisasi Dasar Bayi Di Polindes X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Formal Ibu Dengan Ketepatan Jadwal Imunisasi Dasar Bayi Di Polindes X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia masih mengalami banyak masalah kesehatan yang cukup serius terutama dalam bidang kesehatan ibu dan anak. Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003 Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 35 per 1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKABA) 46 per 1000 kelahiran hidup (Anonim2, 2007).
Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) adalah dengan program imunisasi. Banyak penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian seperti dipteri, tetanus, hepatitis B dan masih banyak penyakit lainnya (Anonim2, 2006).
Berdasarkan Depkes RI (2001) insidensi penyakit menular pada tahun 2000 yang dapat mematikan anak yaitu dipteri sebanyak 23 kasus, pertusis sebanyak 142 kasus, tetanus neonaturum sebanyak 466 kasus, polio sebanyak 48 kasus dan campak sebanyak 56 kasus. Beberapa penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian seperti tuberkulosis, hepatitis B, dipteri, tetanus, pertusis, polio, dan campak sebagaian dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Cakupan imunisasi meliputi seluruh propinsi di Indonesia hampir 97% dari 302 kabupaten telah mencapai target Universal Child Immunization (UCI). Hal ini berarti bahwa cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B, mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten bahkan di setiap desa, sedangkan jumlah sasaran bayi di Indonesia per tahun 4,6 juta (Ranuh dkk, XXXX).
Berdasarkan data subdit Imunisasi Ditjen PPM dan PLP Depkes tahun 2004 cakupan imunisasi di Indonesia adalah cakupan perantigen yaitu 1 dosis BCG mencapai target 99,6%, untuk 3 dosis DPT mencapai target 90,6%, untuk 4 dosis polio mencapai target 85%, sedangkan 3 dosis hepatitis B hanya mencapai 62% dan 1 dosis campak mencapai target 91,7%. Dari data tersebut diketahui hampir semua jenis imunisasi mencapai cakupan yang ditargetkan oleh Universal Child Immunization (UCI) minimal 80% (Ranuh dkk, XXXX).
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam imunisasi adalah ketepatan jadwal imunisasi. Apabila ibu tidak tepat dalam mengimunisasikan bayinya akan berpengaruh terhadap kekebalan dan kerentanan bayi terhadap suatu penyakit. Sehingga bayi harus mendapatkan imunisasi tepat waktu agar terlindung dari berbagai penyakit berbahaya. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketepatan jadwal imunisasi adalah tingkat pendidikan formal ibu. Tingkat pendidikan formal akan mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang imunisasi. Pengetahuan tentang imunisasi akan mempengaruhi motivasi ibu untuk mengimunisasikan bayinya dengan tepat sesuai jadwal yang telah ditentukan (Basuki dan Parwati, 2001).
Berdasarkan hasil evaluasi dari Penyakit Menular yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) di Kecamatan X masih ditemukan beberapa insidensi penyakit menular. Insidensi penyakit campak ditemukan sebanyak 7 kasus dan hepatitis B sebesar 4 kasus namun tidak ditemukan jumlah insidensi dipteri, pertusis, tetanus dan polio (Pemerintah Kabupaten X, XXXX).
Setelah dilakukan pengamatan pada 10 ibu yang mempunyai bayi berumur 9-12 bulan di Polindes X Kecamatan X didapatkan 6 orang (60%) sudah mengimunisasikan bayinya dengan tepat sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan 4 orang (40%) belum mengimunisasikan bayinya dengan tepat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Selain itu tingkat pendidikan formal ibu yang mengimunisasikan bayinya juga bervariasi yaitu 1 orang (10%) lulus SD, 3 orang (30%) lulus SLTP, 4 orang (40%) lulus SLTA dan 2 orang (20%) lulus Akademi/Perguruan Tinggi.
Bertolak dari pemikiran tersebut diatas serta mengingat pentingnya pendidikan untuk membentuk pengertian dan penerimaan program imunisasi, maka peneliti ingin mengetahui adanya hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi di Polindes X Kecamatan X.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah : “Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi di Polindes X Kecamatan X ?“

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pendidikan formal ibu yang mengimunisasikan bayinya di Polindes X Kecamatan X.
b. Untuk mengetahui ketepatan jadwal imunisasi dasar pada bayi di polindes X Kecamatan X.
c. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi di Polindes X Kecamatan X.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Polindes X Kecamatan X Diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan mutu pelayanan program imunisasi di Polindes X Kecamatan X.
2. Bagi Institusi Pendidikan
a. Sebagai bahan refrensi ilmu kesehatan anak khususnya imunisasi.
b. Diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya.
3. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti tentang hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi.
4. Bagi Responden
Diharapkan dapat bermanfaat dalam merumuskan cara peningkatan kesadaran ibu untuk mengimunisasikan bayinya sesuai jadwal yang telah ditetapkan khususnya di Polindes X Kecamatan X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:45:00

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Sindrom Premenstruasi Pada Mahasiswi D-IV Kebidanan X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Sindrom Premenstruasi Pada Mahasiswi D-IV Kebidanan X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ciri khas kedewasaan manusia ialah perubahan-perubahan siklik pada alat kandungannya sebagai persiapan untuk kehamilan. Hal ini adalah suatu proses yang kompleks dan harmonis meliputi serebrum, hipotalamus, hipofisis, alat genital, kortek adrenal, grandula tireoidea dan kelenjar-kelenjar lain (Prawirohardjo, 2005). Menurut Manuaba (1999), sebagai puncak kedewasaan wanita mulai mengalami perdarahan rahim pertama ‘menarche’ Sekitar 85% wanita yang sudah haid mengalami gangguan fisik dan psikis menjelang menstruasi, saat, ataupun sesudah menstruasi. Biasanya berlangsung antara satu minggu sebelum dan sesudah menstruasi. Gejala ini disebut dengan Sindrom Premenstruasi (Anonim, 2005)
Gejala ini dapat beragam dari gejala yang belum pasti dengan rasa sakit yang ringan sampai dengan serangkaian gejala yang sangat berat. Sejumlah banyak gejala dapat terjadi dan ini dapat tetap sama atau bervariasi dari bulan ke bulan. Pada umumnya adalah manifestasi dari produksi hormon progesteron di bagian akhir dari siklus haid. Lebih cepat masa haid datang, biasanya gejala-gejala ini dirasakan (Knight, 2000). Sebuah hasil penelitian mengungkapkan, satu dari tiga perempuan berusia reproduktif mengalami Sindrom Premenstruasi dan satu dari 20 perempuan mengalami kesakitan yang berlebihan hingga mempengaruhi aktifitas sehari-hari (Anonim, 2005).
Tubuh dan pikiran mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Gangguan mental dapat menimbulkan gejala-gejala pada fisik (Ragawaluya, 1997). Gejala ini meliputi depresi, mudah marah, tegang, sakit kepala, tidak dapat memusatkan pikiran, diare, konstipasi, buah dada nyeri, cepat lelah, gelisah, kebiasaan makan berubah, tidak dapat tidur waktu malam dan bedebar-debar (Colemon, 2000)
Menurut Llewellyn (2001), gangguan alam perasaan (mood) negatif dan gangguan fisik pada fase luteal berlangsung cukup berat, sehingga menganggu kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Prawirohardjo (2005), Faktor kejiwaan, masalah dalam keluarga, masalah sosial dan lain-lain juga memegang peranan penting. Yang lebih mudah menderita Sindrom Premenstruasi ialah wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormon dalam siklus haid dan terhadap faktor psikologis.
Ansietas atau kecemasan merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan berlebihan dari susunan saraf atonomik (SSA) (Kaplan and Sadock, 1999). Menurut Sanders (1996), bila mengalami stress dan tekanan lain, Sindrom Premenstruasi itu bisa berlangsung lebih lama.
Seseorang yang mengalami stressor psikososial yang ditangkap melalui panca indra akan diteruskan ke susunan saraf pusat yaitu bagian saraf otak yang disebut limbic system melalui transmisi saraf dan selanjutnya melalui susunan saraf outonom akan diteruskan ke kelenjar hormonal yang merupakan system imunitas tubuh dan organ-organ tubuh yang dipersarafinya (Hawari, 2006)
Berdasarkan studi pendahuluan pada hari Jum’at, 16 Maret XXXX terhadap 6 mahasiswi DIV Kebidanan semester II jalur reguler, didapatkan hasil bahwa 6 mahasiswi tersebut mengalami Sindrom Premenstruasi. Gejala yang sering dialami antara lain payudara terasa nyeri, perut kembung, perubahan nafsu makan, mudah tersinggung, mudah marah dan sukar berkonsentrasi. Tiga dari 6 mahasiswi merasa terganggu kegiatannya dengan adanya Sindrom Premenstruasi ini.
Agar gejala-gejala Sindrom Premenstruasi tidak mengganggu kegiatan belajar mahasiswi dan hubungan dengan lingkungannya, maka peneliti ingin meneliti hubungan antara tingkat kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi pada Mahasiswi DIV Kebidanan X?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi Pada Mahasiswi DIV Kebidanan X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat kecemasan mahasiswa DIV Kebidanan.
b. Untuk mengetahui gejala Sindrom Premenstruasi yang dialami mahasiswi DIV Kebidanan.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritik : Menambah pengetahuan tentang tingkat kecemasan yang berkaitan dengan Sindrom Premenstruasi.
2. Maanfaat Praktis:
a. Bagi pemberi pelayanan kesehatan, hasil penelitian diharapkan bisa menjadi acuan dalam pemberian penyuluhan kesehatan reproduksi remaja.
b. Perlu tidaknya intervensi psikiatrik pada mahasiswi dengan Sindrom Premenstruasi yang disebabkan oleh kecemasan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:44:00