BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah kalam Allah SWT., yang diturunkan kepada hambanya khusus umat Islam, yang di dalamnya terkandung aturan-aturan baik yang berhubungan dengan Allah SWT., yang disebut dengan hablum min Allah dan yang berhubungan dengan sesama makhluk khususnya manusia yang disebut dengan hablum min al-nas, dengan tujuan kemaslahatan manusia dalam menjalani roda kehidupan menuju ke tujuan akhir yang hakiki yaitu akhirat kelak.
Segala sesuatu yang dilakukan manusia di atas dunia ini tergolong pada dua golongan besar ada kalanya bersifat 'ubudiyah dan ghair ubudiyah yaitu muamalah (muamalah ijtimaiyah dan muamalah taaqudiyah). Perbuatan manusia yang bersifat 'ubudiyah semuanya telah dijelaskan dalam al-Quran dan hadith dengan tafsil (gamblang dan terperinci) sehingga kecil kemungkinan terdapat lowongan bagi pemikir hukum Islam untuk berijtihad.
Berbeda dengannya, perbuatan manusia yang bersifat muamalah khususnya ta'aqudiyah aturan-aturannya bersifat ijmali (global), sedang perinciannya diserahkan (tergantung) kepada manusia sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan pada masanya. Sehingga, kaidah usuliyah "al-Hukm yaduru ma'a illatih wujudan wa adaman"1 sangat berperan sekali dalam muaamalah ta 'aqudiyah.
Salat adalah salah satu rukun Islam yang diwajibkan kepada segenap umat Islam di manapun ia berada, kapanpun ia berada dan dalam keadaan apapun aturan yang bersangkutan dengan pelaksanaan salat sudah diatur secara gamblang dalam kitab fiqh berdasarkan dalil al-Quran dan al-Sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh 'ulama' fiqh bahwa salah satu rukun salat adalah salat harus dilakukan dengan berdiri berdasarkan hadith fi'li (perilaku) dan qauli (perkataan) dari Rasul SAW. Akan tetapi, kalau salat tidak bisa dilakukan dengan berdiri bukan berarti kewajiban salat gugur, namun harus dikerjakan dengan cara lain selain berdiri seperti duduk dan kalau tidak bisa dilakukan dengan duduk maka harus dilakukan dengan keadaan berbaring.
Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW:
“Imran bin Husayn RA., terkena penyakit beser kemudian ia bertanya kepada Nabi SAW., tentang salat (cara salat, pen). Nabi SAW., berkata : Salatlah kamu dengan berdiri, kalau tidak bisa dengan duduk, dan kalau (juga) tidak bisa maka dengan berbaring" (HR. al-Bukhari).
Begitu juga telah disepakati oleh 'ulama' fiqh bahwa pelaksanaan salat sebagaimana yang diwajibkan oleh shari' kepada hambanya ada hal-hal yang harus dilaksanakan baik sebelum melaksanakan salat sampai selesai salat dan (maupun) ketika salat berlangsung.3 Di antara hal-hal yang harus dilakukan sebelum salat berlangsung sampai salat selesai adalah suci dari hadath kecil (kencing, keluar angin dan lain-lain) dan hadath besar (jinabah, haid dan nifas).4 Oleh karenanaya, barang siapa yang akan melakukan salat ia harus dalam keadaan suci dari dua hadath.
Alat bersuci dari dua hadath sebagaimana disepakati 'ulama' fiqh adalah air. Sebagai ganti dari air apabila air tidak didapati atau ada air tetapi ada hal-hal yang menyebabkan tidak mungkinnya memakai air sebagai ganti dari air atau memakai air untuk menghilangkan hadath adalah bertayamum dengan debu.5
Al-Baghawi dalam tafsirnya Ma'alim al-Tanzil6 mengatakan bahwa tayamum adalah salah satu khususiyat (spesial) yang diberikan Allah SWT., kepada umat Muhammad SAW., sebagaimana diceritakan oleh Hudhayfah :
"Nabi SAW., bersabda : Saya diberi 3 kelebihan atas manusia lain (pen, para utusan) : Allah menjadikan barisanku (umatku) sebagaimana barisan para Malaikat, dan dijadikan bumi bagiku semuanya masjid, dan tanahnya (bumi) sebagai alat suci ketika tidak ada (ditemukan) air" (HR. Muslim).
Kata tayamum dalam al-Quran penulis temukan terdapat 3 ayat di 3 tempat (surat) yang berbeda, yaitu :
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" al-Qur'an, 2 (al-Baqarah): 267.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); usaplah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun" al-Qur'an, 4 (al-Nisa'): 43.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur" al-Qur'an, 5 (al-Maidah): 6.
Ayat nomor 2 dan nomor 3 menjelaskan kapan (waktu) tayamum boleh dikerjakan berikut tatacara pelaksanaannya dan hikmah dishariatkannya tayamum sebagaimana penjelasan akhir al-Qur'an, 5 (al-Maidah): 6. Sementara ayat yang pertama sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Kathir dalam tafsirnya Tafsir al-Quran al-'Azim bahwa kalimat "wa la tayammamu " dalam ayat tersebut bermakna al-qasd (menyengaja) dan ada yang mengatakan bermakna al-'udul (berpaling). u Jadi ayat pertama itu tidak menjelaskan tayamum menurut istilah sebagaimana ayat kedua dan ketiga.
Al-Qurtubi pengikut al-Malikiyah mengatakan berdasarkan ijma' 'ulama' bahwa tayamum bagi musafir boleh.12 Ibn Rushd pengikut al-Malikiyah mengatakan bahwa orang yang dibolehkan melaksanakan tayamum, menurut kesepakatan 'ulama', adalah orang sakit dan musafir, jika kedua kelompok orang ini tidak mendapatkan air.
Namun, para 'ulama' berbeda pendapat mengenai empat kelompok orang :
1. Orang yang sakit yang mendapatkan air tetapi khawatir terhadap sakitnya jika menggunakan air.
2. Orang muqim (bukan musafir) jika tidak mendapatkan air.
3. Orang sehat yang sedang dalam keadaan musafir dan mendapatkan air, namun karena diliputi perasaan takut ia tidak bisa menggunakan air.
4. Orang yang khawatir menggunakan air lantaran terlalu dingin.13
Al-Nawawi pengikut madhhab al-Shafii dalam kitabnya Minhaj al-Talibin menjelaskan bahwa tayamum boleh dilakukan oleh muhdith (orang yang dalam keadaan hadath) kecil dan besar apabila terdapat padanya sebab-sebab, di antaranya :
1. Tidak ada air di sekitar. Apabila yakin bahwa air tidak ada di sekitar maka seketika itu boleh bertayamum tanpa berusaha dahulu mencari air. Akan tetapi, kalau ragu-ragu akan ada dan tidak adanya air maka harus mencari air dulu di sekitarnya kurang lebih jarak 184 M.
2. Ada air, namun keberadaannya dibutuhkan seperti untuk minum walaupun butuhnya tidak langsung.
3. Ada air, namun untuk memakainya tidak memungkinkan karena sakit dikhawatirkan dengan memakai air tersebut bertambah parah atau lambatnya sembuh.14
Senada dengan al-Nawawi, Sayyid Sabiq tentang sebab-sebab yang memperbolehkan bertayamum, menurutnya sebab-sebab yang memperbolehkan orang melakukan tayamum baik untuk menghilangkan hadath kecil maupun besar ada enam golongan, tiga golongan sebagaimana dijelaskan di atas sedang yang tiga lagi ialah :
1. Apabila air yang ada sangat dingin dan tidak memungkinkan untuk di panaskan, sedang memakainya (air dingin) akan menimbulkan bahaya.
2. Ada air di sekitarnya akan tetapi untuk mengambilnya tidak memungkinkan lantaran akan mengganggu keselamatan jiwa, harga diri atau harta.
3. Ada air namun apabila menggunakan air untuk berwudu' atau mandi besar khawatir waktu salat habis maka dalam hal ini diperbolehkan tayamum dan salat.15
Al-Jaziri mengatakan sebenarnya sebab-sebab yang membolehkan tayamum itu kembali (berpangkal) pada dua perkara :
1. Tidak adanya air, baik tidak ada air sama sekali atau ada akan tetapi tidak cukup digunakan menghilangkan hadath kecil atau besar.
2. Ada air yang mencukupi untuk digunakan menghilangkan hadath akan tetapi untuk memakai air tersebut tidak memungkinkan di karenakan mendatangkan bahaya atau di karenakan dibutuhkan (airnya) untuk keselamatan misalnya minum.16
Pada masa modern jasa transportasi sangat beragam mulai dari yang berjalan di atas darat hingga di lautan bahkan di udara. Pengguna jasapun juga bermacam-macam ada yang hanya menggunakan jasa transportasi tersebut selama 1 jam saja ada pula yang sampai 5 jam bahkan ada yang sampai satu hari satu malam. Fasilitas yang disediakan dalam jasa transportasi juga berbeda dari satu transportasi ke transportasi yang lain. Misalnya, ada sebagian jasa transportasi yang menyediakan full fasilitas seperti kamar kecil dan musalla (tempat salat) dan sebagian lain transportasi hanya menyediakan kamar kecil tanpa tempat salat sebagian lain lagi tidak ditemukan fasilitas kamar kecil dan musalla.
Bagi pengguna jasa transportasi yang full fasilitas baginya perjalanan adalah menyenangkan tidak ada yang menghalangi untuk melakukan rutinitas setiap hari sebagaimana layaknya orang muslim lainnya yaitu melakukan perintah-perintah agama seperti salat dan anjuran agama seperti membaca al-Quran bi al-nazar (melihat). Namun bagi pengguna jasa lainnya yang non fasilitas seperti tidak adanya kamar kecil dan musalla baginya adalah suatu rintangan untuk bisa melakukan rutinitasnya selaku pemeluk Islam karena dia dihadapkan pada masalah yaitu sulitnya untuk bersuci baik dengan air maupun dengan pengganti air yaitu tayamum ditambah lagi tempat salat yang tidak tersediakan dalam tumpangannya.
Dalam keadaan seperti ini ada beberapa pandanagan 'ulama' fiqh berkenaan dengan penafsiran ayat tayamum di atas khususnya mengenai sarana tayamum.
Madhhab al-Shafiiyah mengatakan bahwa tayamum hanya bisa dilakukan dengan menggunakan debu. Senada dengan al-Shafiiyah, imam Ahmad, Ibn al-Mundhir dan Dawud. Berkata al-Azhar dan al-Qadi Abu al-Tib pendapat ini adalah pendapat mayoritas fuqaha' (ahli fiqh).
Abu Hanifah dan Malik tayamum bisa (sah) dilakukan dengan menggunakan sesuatu yang menyambung dengan bumi seperti kayu.17
Ini semua, menurut al-Tabari dalam tafsirnya Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an berakar dari penta'wilan kalimat al-sa'id dalam ayat di atas yang berbeda-beda, misalnya ada yang mengatakan bahwa al-sa'id adalah tanah yang tidak ditumbuhi pepohonan dan tanaman, tanah datar, tanah, dataran bumi dan dataran bumi yang berdebu.18
Al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma'ani mengatakan bahwa al-sa'id menurut kesepakatan ahli bahasa adalah dataran bumi.19
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang singkat di atas penulis akan melakukan rumusan masalah untuk dijadikan pokok bahasan pada tulisan ini, yaitu :
1. Bagaimana hukum bertayamum dengan sesuatu yang ada di sekitar seperti besi, kayu, plastik dan lain lain ?.
2. Bagaimana cara tayamum untuk salat pada transportasi yang tidak terdapat air untuk digunakan sebagai sarana bersuci ?.
3. Bagaimana hukum tayamum dalam transportasi tersebut ?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui apa yang harus dilakukan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan dengan menggunakan jasa transportasi sedang dalam jasa transportasi tersebut tidak ditemukan sarana untuk menghilangkan hadath seperti air atau debu. Apakah kewajiban salat baginya gugur dan beralih ke salat li hurmat al-waqt (untuk menghormati masuknya waktu salat) dengan mengqada' (mengganti) setelah mendapatkan air atau debu. Atau mungkin (boleh menurut shara') melakukan tayamum dengan menggunakan sesuatu atau barang yang ada di sekitarnya.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis bagi peneliti hukum Islam terkait dengan metode pembahasan permasalahan-permasalahan hukum Islam kontemporer yang belum dibahas secara detail oleh para pakar hukum Islam terdahulu.
Manfaat praktis, penelitian ini memberikan solusi bagaimana seorang muslim yang menggunakan jasa transportasi sedang dalam jasa transportasi yang ditumpanginya tidak terdapat air dan debu.
E. Kerangka Teoritik
Sebagai pisau analisis dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan ilmu ikhtilaf al-Fuqaha' (perbedaan para pakar hukum Islam) dalam dalalah al-Nas. Apakah ayat tayamum yang digunakan sebagai dasar (dalil) alat tayamum oleh para 'ulama' fiqh multi tafsir atau tidak dengan melihat teks al-Quran dari segi bahasanya (kalimat) yang dipakai.
Kalau masih belum memadai adanya pendekatan-pendekatana ilmu tafsir, maka sebagai penunjang dalam memecahkan masalah terkait penulis akan menggunakan kaidah al-fiqhiyah sebagaimana termaktub (tercantum) dalam kitabnya al-Suyuti al-Ashbah wa al-Nazair20:
"Suatu yang mudah tidak (bisa) gugur dengan suatu yang sulit" Kaidah ini lanjut al-Suyuti berdasarkan hadith Nabi SAW.,
"Suatu yang aku perintah maka kerjakanlah selagi mampu (bisa)"
F. Penelitian Terdahulu
Kiranya masalah "Konsep Tayamum Dalam Masalah Kontemporer" ini perlu adanya buku khusus yang membahas dan mengkajinya khususnya menurut 'ulama' fiqh, karena sejauh yang penulis ketahui di perpustakaan X belum penulis jumpai hasil tesis dan disertasi yang membahas tentang "Konsep Tayamum Dalam Masalah Kontemporer".
Keterangan sementara tentang masalah terkait yang telah penulis pelajari adalah keterangan yang terdapat dalam kitab klasik seperti Minhaj al-Talibin karya Abu Zakariya Yahya al-Nawawi seorang tokoh hukum Islam dari madhhab al-Shafii abad VI H., yang dikenal dengan sebutan shaykh al-Madhhab. Al-Nawawi mengatakan bahwa tayamum dilakukan berdasarkan tiga sebab, yaitu : tidak adanya air di sekitar, ada air akan tetapi keberadaan air tersebut dibutuhkan dan yang terakhir sakit, yang apabila memakai air akan bertambah sakit.
Lanjut al-Nawawi, barangsiapa yang terdapat padanya salah satu tiga sebab di atas maka ia diperbolehkan bertayamum dengan menggunakan debu yang suci atau pasir yang berdebu.21
Berbeda dengan madhhab al-Shafiiyah, sebagaimana diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhayli yaitu madhhab al-Malikiyah dan al-Hanafiyah bahwa tayamum bisa dilakukan dengan segala sesuatu yang ada di bumi. Namun lanjut al-Zuhayli dalam madhhab al-Malikiyah mengecualikan emas dan perak baik masih berada di bumi atau sudah dikeluarkan dari bumi, tayamum dengannya tidak sah. 22
Dalam penelitian ini penulis akan mengoreksi tentang konsep tayamum dan argumen yang digunakan oleh ulama' fiqh beserta penafsirannya berikut latar belakang perbedaan penafsiran terhadap argumennya masing-masing.
G. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan bahan-bahan tertulis dalam bentuk buku (kitab), majalah, jurnal, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang relevan dengan pembahasan. Sifat penelitian adalah deskriptif-analitis, yakni penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara utuh dan jelas tentang konsep tayamum dalam pemikiran hukum Islam serta memberikan analisisnya berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi terhadap bahan-bahan pustaka yang sesuai dengan objek penelitian. Sumber data yang dipergunakan dalam hal ini dikategorikan dalam dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berupa buku-buku fiqh al-madhahib al-arba'ah. Adapun sumber data sekunder digunakan untuk menunjang pemahaman terhadap sumber data primer, berupa sumber buku-buku tafsir dan sharh hadith yang membahas tentang konsep tayamum.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan tehnik analisis isi (content analysis)23. Dalam analisis data ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan tentang konsep ikhtilaf al-fuqaha ' dan komparatif. pendekatan konsep ikhtilaf al-fuqaha ' digunakan untuk melihat cara intinbat al-fuqaha ' sehingga terjadi perselisihan hasil istinbat. Sementara pendekatan komparatif digunakan untuk membandingkan pemikiran fuqaha' dengan pemikiran para ahli hukum Islam dalam bidang lain (fiqh).
H. Sistematika Bahasan
Sistematika bahasan dalam tulisan ini penulis susun sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan. Memuat latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika bahasan.
Bab II memuat pengertian tayamum lintas madhhab yang berkaitan dengan definisi, dalil, sebab yang memperbolehkan bertayamum, bahan (sarana), cara, dan batalnya tayamum. Juga, memuat tentang sebab khilafiyah di kalangan 'ulama' fiqh dalam hal ini al-madhahib al-arba'ah (al-Hanafiyah, al-Malikiyah, al-Shafiiyah dan Hanabilah).
Bab III Memuat masalah yang menggambarkan kondisi masa kini misalnya musafir dengan menggunakan jasa transportasi pesawat, kereta api, bus dan kapal api yang tidak dijumpai di dalam jasa transportasi tersebut air dan debu untuk menghilangkan hadath (kecil dan besar) sedang pengguna jasa akan melakukan aktifitasnya sebagai layaknya orang muslim yaitu salat lima waktu dan barangkali akan membaca al-Quran bi al-nazar (melihat) dalam keadaan seperti itu apa yang harus dilakukan bagi pengguna jasa itu.
Bab IV Analisis. Memuat analisis terhadap pendapat 'ulama' madhhab khususnya permasalahan yang jadi fokus pembahasan di penelitian ini tentang sarana tayamum pada masa kini :
1. Bagaimana hukum bertayamum dengan sesuatu yang ada di sekitar seperti besi, kayu, plastik dan lain lain ?.
2. Bagaimana cara tayamum untuk salat pada transportasi yang tidak terdapat air untuk digunakan sebagai sarana bersuci?.
3. Bagaimana hukum tayamum dalam transportasi tersebut ?.
Bab V Penutup. Yang berisi tentang kesimpulan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya dan saran penulis
Bab VI Daftar Pustaka. Memuat daftar kitab, buku dan lainnya yang penulis nuqil (ambil) keterangannya untuk dijadikan bahan penelitian.