(Kode PSIKOLOG-0005) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DENGAN KONFORMITAS TERHADAP TEMAN SEBAYA PADA REMAJA MADYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa dimana individu mulai tertarik dengan masalah-masalah seksualitas. Pada awalnya, ketertarikan remaja terhadap seksualitas bersifat self-centered, yaitu fokus pada perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Kemudian, secara bertahap, remaja mulai tertarik dengan lawan jenis dan mulai melakukan bentuk-bentuk dari perilaku seksual dengan lawan jenisnya tersebut (Rice, 1993). Perilaku seksual merupakan segala bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk dari perilaku seksual ini bermacam-macam, dari berkencan, bercumbu, dan bersenggama (Sarwono, 2007).
Perilaku seksual yang terjadi pada remaja ini merupakan topik yang menarik untuk diteliti karena di Indonesia sendiri telah diketahui bahwa resiko dari perilaku seksual pada remaja telah semakin mengkhawatirkan. Hal ini terbukti dari hasil survei BKKBN (2008) yang menyebutkan bahwa setiap harinya 100 remaja Indonesia telah melakukan aborsi. Ini berarti setiap tahun ada 36 ribu janin dibunuh. Selain itu, sebuah penelitian menyebutkan bahwa lebih dari 80% anak usia 9 -12 tahun telah mengakses pornografi (Ali, 2007). Oleh karena itu, banyak ahli yang telah meneliti mengenai perilaku seksual pada remaja.
Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan perilaku seksual remaja tampak pada penelitian Sarwono (2001) kepada siswa-siswi kelas II SLTA di Jakarta dan Banjarmasin. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa di atas 93% remaja pernah berpegangan tangan dengan pacarnya. Jumlah yang pernah berciuman adalah 61.8% untuk remaja laki-laki dan 39.4% untuk remaja perempuan. Remaja yang pernah meraba payudara pasangannya tercatat 2.32% untuk remaja laki-laki dan 6.7% untuk remaja perempuan. Selain itu, terdapat 7.1% remaja laki-laki dan 1.0% remaja perempuan yang pernah memegang alat kelamin pasangannya. Terakhir, diketahui bahwa 2.0% dari remaja laki-laki tersebut sudah berhubungan seksual.
Hasil penelitian serupa mengenai perilaku seksual remaja, juga dikemukakan oleh Damayanti (2007), dalam disertasinya yang berjudul Peran Biopsikososial Terhadap Perilaku Berisiko Tertular HIV pada Remaja SLTA di Jakarta. Penelitian tersebut memperoleh hasil mengenai sebelas jenis perilaku seksual dalam berpacaran yang dilakukan oleh remaja. Perilaku seksual ini diukur secara bertingkat mulai dari mengobrol atau saling mencurahkan isi hati hingga melakukan hubungan seksual. Tabel di bawah ini menggambarkan macam-macam perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja
* tabel sengaja tidak ditampilkan *
Penelitian Sarwono dan Damayanti menunjukkan bahwa perilaku seksual dilakukan remaja bersama pacarnya. Rice (1993) mendefmisikan pacaran atau dating sebagai hubungan antara dua individu lawan jenis disertai adanya kedekatan, kelanggengan, serta melibatkan cinta dan komitmen. Menurut Santrock (2003), melakukan bentuk-bentuk dari perilaku seksual merupakan salah satu fungsi dari berpacaran, yaitu sebagai sarana eksperimen dan penggalian hal-hal seksual.
Kedua hasil penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa remaja di kota besar, terutama Jakarta, telah melakukan jenis-jenis perilaku seksual yang cukup luas, mencakup dari mengobrol hingga hubungan seksual. Hal ini mereka lakukan karena adanya peningkatan sikap permisif terhadap perilaku seksual pada remaja (Dusek, 1996; Steinberg, 2002). Adapun yang dimaksud dengan sikap permisif adalah sikap positif terhadap perilaku seksual yang ditunjukkan dalam gaya berpacaran yang "serba boleh", mulai dari berciuman hingga akhirnya hubungan seksual, dan sikap tersebut disepakati oleh kedua belah pihak atau "mau sama mau" (Damayanti, 2007). Dalam Baron dan Byrne (2003) sikap terhadap perilaku seksual ini dibedakan mulai dari sikap sangat positif dan permisif (erotophilic) hingga sikap sangat negatif dan membatasi (erotophobic).
Pada tahun 1998, penelitian LDFEUI dan NFPCB (dalam Darwisyah, 2005) mengenai sikap remaja terhadap perilaku seksual, terutama hubungan seksual sebelum menikah, dilakukan di empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung). Penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat sikap yang sedikit berbeda dalam memandang hubungan seksual. Sebanyak 2.2% responden setuju bila laki-laki berhubungan seksual sebelum menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap perempuan yang berhubungan seksual sebelum menikah. Jika hubungan seksual dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8.6%. Kemudian, jika mereka berencana untuk menikah, responden yang setuju kembali bertambah menjadi 12.5%. Angka-angka di atas menunjukkan bahwa terdapat beberapa remaja yang menganggap perilaku seksual sebagai hal yang positif. Menurut Sarwono (2007), semakin tinggi sikap positif (permisif) terhadap perilaku seksual pada remaja mengakibatkan semakin besar kecendemngan remaja untuk melakukan hubungan fisik yang lebih jauh dengan lawan jenis. Penelitian Dariyo dan Setiawati (dalam Amiruddin, 2007) juga memperoleh hasil bahwa memang terdapat hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan intensi untuk melakukan hubungan seksual. Ini berarti semakin positif sikap remaja terhadap perilaku seksual maka semakin besar intensinya untuk melakukan perilaku seksual, sedangkan remaja yang memiliki sikap yang negatif terhadap perilaku seksual akan semakin kecil intensinya untuk melakukan perilaku seksual.
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai sikap terhadap perilaku seksual, terlebih dahulu diperlukan pemahaman mengenai sikap. Sikap merupakan reaksi evaluatif dalam kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap sesuatu atau seseorang, yang ditunjukkan di dalam kepercayaan, perasaan, dan kecendemngan tingkah laku seseorang (Myers, 1999). Individu dikatakan memiliki sikap ketika ia berespon evaluatif dengan melibatkan aspek kognitif, afektif, atau konatif (Myers, 1999). Oleh karena itu, Winkel (dalam Aswati, 1994) mengatakan bahwa sikap memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia karena dalam menghadapi pemilihan, seseorang mengutamakan sesuatu hal karena dipengaruhi sikapnya.
Kembali pada sikap terhadap perilaku seksual, Dusek (1996) mengatakan bahwa sikap remaja terhadap perilaku seksual, termasuk apa yang pantas dan kapan hal tersebut diharapkan terjadi, dibentuk dari pengaruh sosial. Pengaruh sosial adalah usaha yang dilakukan oleh satu orang atau lebih untuk mengubah sikap, kepercayaan, persepsi, atau tingkah laku orang lain (Baron & Byrne, 2003). Pada remaja, pengaruh sosial yang paling dominan adalah teman karena teman mampu mempengaruhi remaja dalam bersosialisasi dan pencarian identitas diri. Keberadaan teman membantu remaja untuk mengekplorasi minat dan ketidaktentuan dalam hidupnya, sehingga remaja memiliki perasaan sebagai bagian dari kelompok (Erikson; Hartup; Steinberg & Silverberg dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000).
Selain itu, menurut Loetan (dalam Miol, 2005), teman merupakan orang yang paling sering dan mudah untuk ditemui. Biasanya, sesama teman saling melindungi satu sama lain sehingga wajar bila mereka juga saling bercerita mengenai masalah-masalah seksual. Hal ini juga terlihat dalam penelitian Sarwono (2007) yang menunjukkan bahwa persentase remaja untuk bercerita mengenai hal-hal seputar seksual kepada teman cenderung lebih besar dibandingkan kepada guru, orangtua, teman, ahli, rohaniawan, dan media massa. Hasil penelitian Sarwono tersebut didukung pula oleh Synovate Research (dalam Kartika, 2005), yang menemukan bahwa remaja tidak mempunyai pengetahuan khusus serta komprehensif mengenai masalah seksual. Informasi utama mereka terima dari teman. Sebanyak 81% remaja tersebut mengaku lebih nyaman berbicara mengenai masalah seksual dengan kawan-kawannya. Informasi lain, perihal masalah-masalah seksual, mereka peroleh dari film porno sebanyak 35%, untuk sekolah dan orangtua masing-masing sebanyak 19% dan 5%. Salah satu contoh nyata dari perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja karena adanya keterlibatan teman terlihat pada kasus Killa.
"Nyaris semua anggota geng Killa kebetulan sudah pernah merasakan hubungan seksual. Cuma Killa yang belum. Saat masih kelas II SKIP, teman-teman Killa memaksa ia untuk berhubungan seksual dengan pacamya. Kemudian, pacar Killa mengajak ia ke kamar. Dihinggapi perasaan penasaran dan tidak enak dengan teman-temannya, Killa pun menerima tawaran pacamya tersebut. "
(Majalah Hai, XXVI dalam Sarwono, 2007)
Adanya kebutuhan terhadap sumber dari afeksi, simpati, pengertian, dan pengarahan moral; tempat untuk melakukan berbagai eksperimen; dan setting untuk memperoleh otonomi serta kebebasan dari orangtua pada remaja, maka muncullah suatu kelompok peers (kelompok teman sebaya) tertentu (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Peers atau teman sebaya merupakan anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2003). Bourne; Coleman dan Hendry; Erikson (dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000) mengatakan bahwa menjadi bagian dari sebuah kelompok teman sebaya merupakan salah satu tugas perkembangan remaja. Berkaitan dengan sikap terhadap perilaku seksual, Billy dan Udry (dalam Rice, 1993) mengatakan bahwa kecenderungan remaja untuk terlibat dengan perilaku seksual akan semakin besar saat teman sebayanya mempunyai sikap yang positif terhadap perilaku seksual. Sikap positif terhadap perilaku seksual dari teman sebaya ini akan ditiru oleh remaja sebagai bentuk dari loyalitas mereka terhadap kelompok teman sebayanya.
Fenomena ketika remaja meniru sikap dan tingkah laku orang lain, dalam hal ini teman sebaya, karena adanya tekanan yang nyata ataupun yang dibayangkan mereka disebut sebagai konformitas (Santrock, 2003). Konformitas merupakan cara bertingkah laku seseorang sesuai dengan hal yang dianggap dapat diterima atau pantas (norma) dalam kelompok mereka atau lingkungan sosial (Baron & Byrne, 2003). Secara umum, Baron dan Byrne (2003) menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang menyebabkan individu melakukan konformitas, yaitu saat ia memiliki keinginan untuk diterima {normative influence) atau karena kelompok menyediakan informasi yang penting untuknya {informational influence). Namun, terkadang individu juga tidak melakukan konformitas karena adanya kebutuhan untuk berbeda dari orang lain {individuation) dan keinginan untuk mempertahankan kontrol terhadap kehidupannya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya konformitas remaja terhadap teman sebaya dapat dilihat dari seberapa banyak tingkah laku, sikap, dan kepercayaan yang ditiru remaja dari kelompok teman sebayanya. Semakin tinggi tingkat konformitas seseorang maka akan semakin banyak tingkah laku, sikap, dan kepercayaan orang lain yang diikuti. Sebaliknya, semakin rendah tingkat konformitas seseorang maka semakin sedikit tingkah laku, sikap, dan kepercayaan orang lain yang ditiru olehnya. Atas dasar tersebut, Santor, Messervey, dan Kusumakar (2000) menyatakan bahwa konformitas terhadap teman sebaya dapat memprediksi secara efektif kesulitan remaja dalam masalah psikososial dan tingkah laku yang membahayakan, dalam hal ini adalah sikap terhadap perilaku seksual dalam berpacaran.
Melihat penjelasan-penjelasan di atas, peneliti memperoleh beberapa hal penting. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarwono (2007) dan Damayanti (2007), diketahui bahwa saat ini perilaku seksual remaja dalam berpacaran telah semakin meluas. Hal ini disebabkan oleh sikap remaja yang semakin positif terhadap perilaku seksual, yang kemudian berpengaruh terhadap meningkatnya intensi untuk melakukan perilaku seksual (Sawono, 2007). Pengaruh sosial, terutama kelompok teman sebaya, turut berperan dalam pembentukan sikap remaja terhadap perilaku seksual tersebut. Dengan adanya pengaruh yang kuat dari teman sebaya, maka akan timbul konformitas pada remaja. Selanjutnya, peneliti berpendapat bahwa sikap remaja terhadap perilaku seksual ini mungkin memiliki hubungan dengan konformitas terhadap teman sebaya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik dan merasa penting untuk melakukan penelitian yang bertujuan melihat hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya. Pentingnya penelitian ini disebabkan secara internal, remaja memang berada dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu hal yang baru, maka tak heran mereka tertarik untuk melakukan bentuk-bentuk perilaku seksual (Sarwono, 2007). Namun, secara eksternal, budaya di Indonesia adalah budaya kolektivis, dimana lingkungan sosial memiliki pengaruh yang kuat (Baron & Byrne, 2003). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah sikap terhadap perilaku seksual juga berhubungan dengan pengaruh sosial, dalam hal ini konformitas terhadap teman sebaya.
Penelitian ini akan mengambil partisipan remaja yang berusia 15 - 18 tahun. Pemilihan partisipan ini berdasarkan penelitian Sarwono (2007), bahwa pada rentang usia ini remaja sangat membutuhkan teman-temannya. Mereka senang jika banyak teman yang menyukai dirinya. Selain itu, disebutkan pula oleh Sarwono (2007) bahwa ketertarikan remaja di Indonesia terhadap seksualitas mulai muncul pada usia 13 hingga 18 tahun. Dengan pertimbangan tersebut, maka peneliti menggunakan sampel remaja yang berusia 15 - 18 tahun. Menurut Steinberg (2002), rentang usia 15 - 18 tahun merupakan rentang usia pada periode remaja madya. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Melalui pendekatan ini, peneliti dapat mengetahui data statistik dari hubungan antara kedua variabel tersebut sehingga dapat menggeneralisasikan hasil dari sampel ke dalam populasi (Poerwandari, 2001).
1.2. Masalah Penelitian
Masalah yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah "Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberi pengetahuan kepada para orangtua, staff pendidik, pemerhati remaja, dan konselor mengenai kecenderungan sikap remaja terhadap perilaku seksual. Agar ke depannya dapat melakukan intervensi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sehubungan dengan perilaku seksual remaja. Melalui penelitian ini juga diharapkan remaja, terutama remaja madya, yang memiliki tingkat konformitas yang tinggi dapat memilih kelompok teman sebaya yang baik dan lebih mengembangkan diri ke arah yang positif tanpa harus selalu mengikuti aturan yang berlaku di kelompok teman sebayanya.
1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan
Pada bab I ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan
Bab II Tinjauan Pustaka
Pada bab II ini dijelaskan mengenai teori sikap terhadap perilaku seksual, konformitas terhadap teman sebaya, dan remaja madya yang akan digunakan untuk menganalisis dan menjawab permasalahan.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab III ini dijelaskan mengenai metode yang digunakan dalam penelitian. Bab ini berisi tentang masalah penelitian, hipotesis, partisipan penelitian, alat pengumpulan data, dan diakhiri prosedur penelitian.
Bab IV Analisis dan Interpretasi Data
Pada bab IV ini dijelaskan mengenai data penelitian dan analisisnya serta interpretasi data yang telah dianalisis.
Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab V ini dijelaskan mengenai kesimpulan, diskusi, dan saran dari penelitian yang telah dilaksanakan.
Home » All posts
HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DENGAN KONFORMITAS TERHADAP TEMAN SEBAYA PADA REMAJA MADYA
GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PRIA GAY DEWASA MUDA YANG TELAH COMING-OUT
(KODE PSIKOLOG-0002) : SKRIPSI GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PRIA GAY DEWASA MUDA YANG TELAH COMING-OUT
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.
I.A. Latar Belakang Masalah
Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia, 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin wanita yang menyukai sesama jenisnya akan disebut lesbian, dan kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan menyukai sesama jenisnya akan disebut gay. Di Indonesia, homoseksualitas telah ada sejak dulu, misalnya di Ponorogo, Jawa-Timur, dimana banyak remaja-remaja yang berparas tampan, menjadi pasangan seksual para 'Warok' dan mereka disebut 'Gemblakan' (Sarwono, 2002).
Saat ini, di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sudah banyak terdapat perkumpulan komunitas homoseksual, yang bertujuan untuk memberi dukungan bagi sesama homoseksual, diantaranya seperti Yayasan Pelangi Kasih (YKPN), Arus Pelangi, LPA Karya Bakti, Gay Sumatra (GATRA), Abiasa-Bogor, GAYA PRIAngan-Bandung, Yayasan Gessang-Solo, Viesta-Jogjakarta, GAYa NUSANTARA-Surabaya, GAYA DEWATA-Bali dll. Banyak homoseksual telah menyadari orientasi seksualnya pada saat remaja yang secara tipikal dimulai dengan ketertarikan pada sesama jenis (Nevid, Fichner-Rathus, & Rathus, 1995). Keberadaan kaum homoseksual di tengah-tengah masyarakat dan dalam berinteraksi atau bersosialisasi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada hukum, norma, nilai-nilai, dan serta stereotip yang berlaku di masyarakat. Situasi tersebut berpotensi menghasilkan reaksi dan perlakuan yang bermacam-macam dari lingkungan di sekelilingnya. Ada yang bersikap biasa dan mampu menerima, ada yang memandang sebelah mata, ada pula yang mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dikucilkan, disisihkan, dijauhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan kerja, serta masyarakat. Gambaran diatas adalah resiko-resiko yang kerap dihadapi oleh kaum homoseksual ketika mereka berada di tengah-tengah masyarakat dan menjalin interaksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Kaum homoseksual di Indonesia jumlahnya tidak sedikit, mereka ada di sekitar kita namun seringkali kita memang tidak tahu karena umumnya mereka termasuk yang memilih untuk non coming-out karena takut akan ancaman sosial-agama dari masyarakat. Sebagai catatan dari suatu survei dari Yayasan Priangan beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa ada 21% pelajar SMP dan 35% SMU yang pernah terlibat dalam perilaku homoseksual. Data lain menyebutkan kaum homoseksual di tanah air memiliki sekitar 221 tempat pertemuan di 53 kota kota di Indonesia. Sampai saat ini, tidak ada angka pasti berapa jumlah homo di Indonesia. Tapi, pada tahun 2003 saja, klaim hasil survei Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) LSM yang bergerak dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS di kalangan homoseks menyebut adanya 4000 hingga 5000 orang homo di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Bahkan Dede Oetomo memperkirakan secara nasional jumlahnya telah mencapai sekitar 1 % dari total penduduk Indonesia. Hal di atas menggambarkan bahwa jumlah kaum homoseksual tidaklah sedikit.
Selain penerimaan dan penilaian dari masyarakat, faktor keluarga memiliki peranan yang besar. Orangtua yang mengetahui anaknya adalah seorang homoseksual seringkali merasa terpukul dan merasa bersalah, tidak jarang orangtua akan menghentikan bantuan finansial, mengusir anak dari rumah, atau mengucilkan anaknya (Walker, 1996; Nevid et. all, 1995). Penjelasan tersebut merupakan gambaran beberapa hambatan dan resiko yang dihadapi kaum homoseksual untuk menyatakan kepada orang lain atau publik tentang orientasi seksual yang dimilikinya. Kesadaran diri dan pengakuan seseorang kepada publik atau orang lain mengenai orientasi seksual yang dimiliki disebut dengan coming out.
Coming out merupakan hal yang sangat penting bagi seorang homoseksual, karena dengan melakukan coming out, seorang homoseksual dapat menerima identitas seksual mereka, yang merupakan bagian dari identitas keseluruhan diri mereka. Identitas personal dalam diri seseorang memiliki implikasi yang penting dalam seseorang memahami diri mereka dan juga dapat meningkatkan harga diri mereka. Hal tersebut menunjang terjadinya penyesuaian psikologis seseorang (Kelly, 2004). Bagi seorang homoseksual, melakukan coming out merupakan proses panjang dan beresiko menyakitkan (Nevid, 1995).
Menurut Greene (2000) isu-isu perkembangan yang dihadapi oleh kaum homoseksual dewasa muda adalah apakah ia akan melakukan coming out, akan menikah, atau akan hidup melajang. Berbagai isu perkembangan seputar kaum homoseksual dewasa muda tentunya menunjukkan adanya tantangan-tantangan khusus pada mereka. Hal itu kemudian juga memberi pengaruh tertentu pada kebahagiaan yang dimiliki. Berdasarkan uraian diatas, berdasarkan banyaknya jumlah gay di Indonesia, peneliti ingin mengupas lebih dalam mengenai kesejahteraan psikologis kaum gay di Indonesia pada umumnya, dengan rentang usia yang berada dalam tahap dewasa muda yang telah coming-out. Telah disampaikan diatas, bahwa kaum gay mendapat resiko yang begitu komplek. Peneliti akan menkhususkan penelitian untuk mengetahui kesejahteraan psikologis gay dewasa muda yang telah coming-out. Mengapa hal itu menjadi penting, karena setelah mengambil keputusan untuk coming-out, gay tersebut akan mulai mendapatkan berbagai penilaian dari masyarakat, termasuk didalamnya penilaian dari orangtua, keluarga dan kerabat. Seperti yang telah peneliti sampaikan sebelumnya, penilaian masyarakat terhadap keberadaan kaum gay sangat beragam, sehingga kaum gay akan beresiko mendapatkan penolakan dari masyarakat. Tentu penolakan dari masyarakat mengenai orientasi seksualnya menjadi tekanan yang cukup berat, apalagi jika penolakan tersebut datang dari orangtua dan keluarga. Penolakan dan tekanan yang dihadapi oleh kaum gay, akan semakin terlihat ketika kaum gay tersebut berada dalam tahap dewasa muda, dimana pada tahap tersebut, setiap individu mempunyai tugas perkembangan sebagai individu dewasa muda. Hal yang paling penting pada usia dewasa muda adalah pemenuhan kebutuhan akan intimacy. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan berdampak terhadap individu tersebut yaitu terisolasi dalam lingkungan atau mengalami kesepian. Kebutuhan akan intimacy pada dewasa muda juga berhubungan dengan tugas perkembangan dewasa muda. Individu dewasa muda sudah seharusnya memilih pasangan, menikah dan membangun kehidupan rumah tangga. Untuk memenuhi tugas perkembangan biasanya individu akan menjalin hubungan dengan lawan jenis atau berpacaran untuk menyeleksi dan memilih pasangan hidupnya. Jika individu dewasa muda kebutuhan intimacy-nya tidak terpenuhi, maka individu tersebut akan mengalami kesepian, cemas, dan tidak percaya diri. Hal itu menunjukkan bahwa ada hubungan antara intimacy dan kesejahteraan psikologis individu (psychological well-being). Maka pada kaum gay yang memasuki usia dewasa muda yang telah coming-out (dengan berbagai resiko dan hambatan yang telah diungkapkan sebelumnya) menimbulkan pertanyaan mengenai keadaan kesejahteraan psikologisnya (psychological well-being). Untuk mendapatkan gambaran kesejateraan psikologis pria gay, dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep psychological well-being yang dibuat oleh Ryff. Konsep psychological well-being dari Ryff ini terbagi ke dalam enam dimensi, yaitu: penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Penelitian ini akan melihat bagaimana gambaran psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out
I.B. Perumusan Masalah Penelitian
Beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah gambaran psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out ? Beberapa pertanyaan turunan spesifik sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran enam dimensi psychological well-being pria gay yang telah coming-out?
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out?
3. Bagaimana gambaran coming-out yang dilalui pria gay?
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui gambaran dimensi-dimensi, faktor-faktor yang berpengaruh pada psychological well-being pria gay dewasa muda setelah melalui coming out.
I.D. Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara praktis maupun teoritis.
Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil dari penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang psychological well-being pria dewasa muda yang telah coming-out
2. Memperkaya khasanah penelitian psikologi tentang kaum homoseksual dan kaitannya dengan kesadaran diri serta pengakuannya kepada orang lain mengenai orientasi seksual yang dimilikinya. Mengingat keberadaan kaum homoseksual banyak ditemukan di Indonesia dan masih menjadi pertentangan di masyarakat, tentang bagaimana gaya hidup homoseksual, dan pandangan masyarakat mengenai status identitas homoseksual.
3. Menjadi referensi bagi peneliti dengan bidang kajian serupa.
4. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi psychological well-being pada pria homoseksual.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:
1. Menjadi bahan masukan dan referensi bagi orang heteroseksual untuk memahami sahabat, teman, atau anggota keluarga yang memiliki orientasi homoseksual. Memberi masukan atau inspirasi kepada partisipan untuk menyingkapi kondisi dirinya dengan baik untuk menjalani penyesuaian dirinya dengan cara sehat dan adaptif
2. Bagi kaum homoseksual, pengetahuan ini bertujuan untuk memberi ilmu dan informasi dalam menyikapi persoalan yang dialami mereka secara bijaksana agar tercipta lingkungan yang lebih konstruksif bagi terbinanya jiwa dan mental yang lebih sehat.
I.E. Sistematika Penulisan
Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan teori atau studi literatur mengenai permasalahan dalam penelitian ini yang mencakup tentang teori-teori yang digunakan.
Metode Penelitian
Pada Bab ini penulis menjelaskan metode penelitian yang digunakan beserta alasan memilihnya, metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian, pemilihan sampel penelitian yang meliputi karakteristik sampel, serta urutan pelaksanaan prosedur penelitian.
Hasil dan Analisis Hasil Penelitian
Pada bab ini, penulis menganalisis hasil data yang diperoleh dari penelitian.
Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan hasil analisis penelitian serta menjelaskan diskusi yang berisi hal-hal menarik, yang ditemukan penulis selama penelitian dilakukan. Terakhir, penulis memberikan saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.
ATTACHMENT STYLES PADA GAY DEWASA MUDA
(Kode PSIKOLOG-0001) : SKRIPSI ATTACHMENT STYLES PADA GAY DEWASA MUDA
BAB I
PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran attachment styles yang dialami oleh gay yang berada pada rentang usia dewasa muda. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, dan sistematika penelitian.
I.1. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya jalan hidup setiap manusia berbeda-beda termasuk dalam hal orientasi seksualnya. Secara ekstrim, sebagian besar masyarakat pada umumnya memiliki pola pikir yang dikotomis, seperti hitam-putih, kaya-miskin atau pandai-bodoh. Dalam hal jenis kelamin dan orientasi seksual pun, masyarakat pada umumnya secara jelas dan nyata hanya mengakui jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan orientasi seksualnya hanya terhadap lawan jenis (Emka, 2004). Laki-laki yang menyukai sesama laki-laki, atau dikenal dengan sebutan gay sedangkan perempuan yang juga menyukai sesama perempuan, disebut dengan lesbian, merekalah yang disebut dengan kaum homoseksual (Emka, 2004). Menurut Neale, Davison, & Haaga (1996), ditegaskan bahwa homoseksual adalah hasrat atau aktivitas yang ditujukan terhadap orang yang memiliki jenis kelamin yang sama. Sebutan gay seringkali digunakan untuk menyebut pria yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis (pria homoseksual) (Nevid, Rathus & Rathus, 1995).
Selama berabad-abad, homoseksualitas selalu dipandang sebagai salah satu dari tindakan kriminal. Pada awal abad ke 20, homoseksualitas semakin dipandang sebagai suatu penyakit. Saat itu para ahli kedokteran mengambil alih kasus homoseksualitas yang dinilai negatif sebagai salah satu dari perilaku sosial menyimpang dari segi hukum dan agama dan homoseksualitas tetap dipandang sebagai suatu kondisi patologis yang harus diinvestigasi, diperhatikan, juga disembuhkan (Susan Moore & Doreen Rosenthal, 2006 dan Kelly, 2001). Selain itu homoseksualitas dianggap sebagai dosa, pelanggaran terhadap ajaran agama dan perintah Tuhan. Pada saat itu, homoseksualitas diklasifikasikan ke dalam gangguan jiwa. Pada tahun 1969 terjadi peristiwa Stonewall yang merupakan awal dari pergerakan pembebasan kaum gay di Amerika Utara untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil bagi kaum homoseksual (Susan Moore & Doreen Rosenthal, 2006 dan Kelly, 2001). Kemudian pada tahun 1973, dipengaruhi oleh tekanan politik dari pergerakan kaum gay, American Psychiatric Association (APA) mencabut status homoseksual sebagai gangguan jiwa dari daftar penggolongan dan diagnosis psikopatologi, karena pada kenyataannya kaum homoseksual tetap dapat berfungsi normal di dalam masyarakat dan tidak mengganggu lingkungannya. Sejak itu, homoseksualitas tidak lagi dipandang sebagai suatu penyakit (Susan Moore & Doreen Rosenthal, 2006 dan Kelly, 2001).
Pergerakan kaum gay di luar negeri secara tidak langsung memberi 'angin segar' pada kaum gay di Indonesia untuk mendapat perlakuan yang lebih baik sehingga keberadaan mereka diakui sepenuhnya oleh masyarakat pada umumnya di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta (The Jakarta Post, 2007). Disebutkan bahwa sebanyak 5,7 juta jiwa dari seluruh penduduk Indonesia mengaku dirinya adalah seorang homoseksual dan jumlah tersebut belum termasuk yang sampai saat ini masih menyembunyikan orientasi seksualnya (The Jakarta Post, 2007). Disebutkan pula, fenomena perkembangan homoseksualitas ini tidak dapat diredam lagi dan justru semakin berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari fenomena munculnya beberapa film layar lebar yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar karena dalam ceritanya walaupun sedikit, mengangkat isu homoseksualitas. Film-film tersebut merupakan karya insan perfilman Indonesia, seperti film Arisan, Pesan dari Surga, dan Coklat Stroberi.
Walaupun kaum homoseksual tetap dianggap berbeda karena tertarik dengan sesama jenis (lelaki dengan lelaki dan perempuan dengan perempuan) oleh masyarakat Indonesia, tetapi dengan semakin adanya keterbukaan pandangan masyarakat terhadap hal seksualitas dan homoseksualitas, keberadaan kaum homoseksual di tengah masyarakat tetap ada, semakin menunjukkan identitasnya dan menuntut hak-hak yang sama seperti masyarakat lainnya (Emka, 2004 dan Soffa Ihsan, 2008). Secara perlahan namun pasti pergerakan kaum gay di Indonesia bisa dikatakan sudah meningkat dengan cukup signifikan dan tampil menghiasi wajah sosialita dan memberi warna lain tersendiri dari seksualitas terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung (Emka, 2004 dan Soffa Ihsan, 2008).
Peneliti berasumsi bahwa fenomena homoseksualitas ini tidak hanya menarik untuk diteliti, tetapi sekaligus sebagai salah satu bentuk usaha untuk lebih mengangkat isu homoseksualitas, dalam hal ini gay untuk bisa lebih dikenal dan dihargai sebagai bagian dari masyarakat pada umumnya. Beberapa penelitian tentang homoseksualitas di Indonesia menggunakan fenomena gay sebagai topik utama penelitian mereka dan mengangkat topik-topik seperti proses coming out, self-concept dan hubungan intimasi. Salah satu aspek penting yang berperan dalam perkembangan manusia adalah attachment styles yang dialami. Karena itu, peneliti tertarik untuk melihat gambaran attachment styles pada gay dan bagaimana gambaran hubungan dengan figur attachmentnya.
Bowlby mengemukakan tentang ikatan emosional antara bayi dan significant person/figur attachment. Ikatan emosional antara orang yang mengasuh dan anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak tersebut, terutama dalam menangani emosi anak tersebut dengan orang-orang di luar lingkungan keluarga. Ikatan tersebut dikenal dengan sebutan attachment (Pistole & Arricale, 2003). Attachment adalah kecenderungan makhluk hidup dalam membentuk ikatan afeksi yang kuat dengan orang lain yang dianggap istimewa (Bowlby & Ainsworth, dalam Colin, 1996). Ikatan dengan figur tertentu ini bertahan dalam waktu yang lama, ditandai oleh adanya keinginan untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan figur tersebut, terutama pada saat-saat yang menekan, agar mendapatkan perasaan nyaman dan aman (Bowlby & Ainsworth, dalam Colin, 1996).
Attachment mempunyai berbagai manfaat, yakni menumbuhkan perasaan trust dalam interaksi sosial di masa depan, membantu individu dalam menginterpretasi, memahami, dan mengatasi emosi-emosi negatif selama individu berada dalam situasi yang menekan dan juga menumbuhkan perasaan mampu (Vaughan & Hogg, 2002 ; Blatt, 1996). Menurut Davies (1999), attachment memiliki empat fungsi utama yakni 1) memberikan rasa aman, sehingga ketika individu berada dalam keadaan penuh tekanan, kehadiran figur attachment dapat memulihkan perasaan individu untuk kembali ke perasaan aman; 2) mengatur keadaan perasaan (regulation of affect and arousal), apabila peningkatan arousal tidak diikuti dengan relief (pengurangan rasa takut, cemas atau sakit) maka individu akan menjadi rentan untuk mengalami stres dan kemampuan figur attachment untuk membaca perubahan keadaan individu dapat membantu mengatur arousal dari individu yang bersangkutan; 3) sebagai sarana ekspresi dan komunikasi, attachment yang terjalin antara individu dengan figur attachment-nya dapat berfungsi untuk mengekspresikan diri, berbagi pengalaman dan perasaan yang sedang dialami; 4) sebagai dasar untuk melakukan ekplorasi pada lingkungan sekitar.
Dalam penelitian ini subjek yang akan diteliti yakni gay dewasa muda, dimaksudkan karena pada usia ini pria telah mengalami akil balik, mempunyai kebutuhan afeksi tinggi dan telah mempunyai kesadaran akan orientasi seksualnya (Matlin, 1999). Menurut Erikson (dalam Papalia et.al., 2004), setiap individu akan mengalami delapan krisis dalam kehidupan sosial yang berlangsung di sepanjang kehidupannya. Usia dewasa muda merupakan tahap keenam dari tahapan perkembangan psikososial. Pada saat itu individu diharapkan sudah mencapai tahap yakni intimacy and solidarity vs isolation (Papalia et.al., 2004). Rosenbluth dan Steil (dalam Papalia et.al., 2004), menjelaskan bahwa intimacy adalah pengalaman yang dekat, hangat, serta komunikatif. Apabila seseorang gagal membentuk intimacy dengan orang lain, maka ia akan menuju apa yang dinamakan dengan isolation yaitu terbentuknya hubungan sosial yang hampa (Miller, 1993).
Bowlby menjelaskan bahwa kualitas hubungan pada masa kanak-kanak dengan significant others/figur attachment menghasilkan representasi internal atau working models terhadap diri pribadi dan orang lain yang menyediakan prototipe bagi hubungan sosial selanjutnya (Bowlby, 1978). Pada masa dewasa, attachment styles diklasifikasikan menjadi secure attachment dan insecure attachment (Ainsworth et al., 1978 dalam Dwyer, 2000). Perasaan secure dan insecure yang dimiliki seseorang tergantung dari internal working models of attachment yang dimilikinya ( Bowlby dalam Collins & Feeney, 2004 ). Working models of attachment adalah representasi umum tentang bagaimana orang terdekatnya akan berespon dan memberikan dukungan setiap kali ia membutuhkan mereka dan bahwa dirinya sangat mendapat perhatian dan dukungan. Working models of attachment ini memainkan peran dalam membentuk kognisi, afeksi, dan perilaku seseorang dalam konteks yang berhubungan dengan attachment (Collins & Allard; Collins & Read, dalam Collins & Feeney, 2004).
Working model dibentuk dari pengalaman masa lalu individu dengan figur attachment-nya, apakah figur attachment-nya adalah orang yang sensitif, selalu ada, konsisten, dapat dipercaya dan sebagainya. Pengalaman interaksi awal seseorang akan membentuk dasar kepercayaannya terhadap diri sendiri dan orang lain yang akan mempengaruhi kehidupan psikososialnya dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Attachment styles dapat mempengaruhi kehidupan psikososial individu sepanjang interaksi tersebut relevan dengan masalah interpersonal, seperti interaksi dengan figur attachment/significant others (Pietromonaco & Barrett, 1997 dalam Baron & Byrne, 2000).
Pada orang dewasa, model attachment disebut juga dengan adult attachment styles. Pengertian adult attachment sendiri adalah kecenderungan stabil yang dimiliki individu untuk melaksanakan suatu usaha penting dalam mencari dan mempertahankan kedekatan atau kontak dengan seseorang atau beberapa orang spesifik yang memberikan rasa aman secara fisik maupun psikologis (Sperling & Berman, 1994). Pada orang dewasa, model attachment styles didasari oleh dua dimensi yakni, dimensi anxiety dan avoidance. Pada dimensi pertama, anxiety, perasaan seseorang tentang keberhargaan dirinya (self-worth) berkaitan dengan seberapa tinggi individu merasa khawatir bahwa ia akan ditolak, ditinggalkan, dan tidak dicintai oleh figur attachment/significant others. Adapun dimensi yang kedua, avoidance, berkaitan dengan seberapa jauh individu membatasi intimasi dan ketergantungan pada orang lain (Brennan, Clark & Shaver, Fraley & Waller; Griffin & Bartholomew, dalam Collins & Feeney, 2004). Disimpulkan bahwa kedua dimensi tersebut menjelaskan cara pandang individu terhadap orang lain dan dirinya sendiri. Dalam teori attachment dari Bowlby, dimensi tersebut dikenal dengan istilah working models of self and attachment figures (Colin & Feeney, 2004).
Dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai attachment styles pada gay dewasa muda yang diklasifikasikan ke dalam empat kategori adult attachment styles yakni secure, preoccupied, dismissing-avoidant, dan fearful-avoidant. Individu yang secure percaya bahwa dirinya dicintai dan dihargai oleh orang lain dan mendapat perhatian penuh; menilai figur attachment sebagai responsif, penuh perhatian dan dapat dipercaya; serta merasa nyaman dalam sebuah kedekatan atau keintiman (Collins & Feeney, 2004). Individu yang preoccupied memiliki perasaan tidak berharga dan tidak dicintai. Mereka menginginkan kedekatan dan intimasi dengan orang lain namun kurang yakin bahwa orang lain akan selalu 'ada' untuk dirinya dan berespon terhadap keinginannya, mereka juga memiliki kekhawatiran akan ditolak dan ditinggalkan (Collins & Feeney, 2004 ). Individu yang dismissing-avoidant, cenderung merasa percaya diri dan melihat dirinya sendiri kebal terhadap perasaan negatif. Individu menilai negatif figur attachment yakni sebagai pihak yang secara umum tidak dapat dipercaya serta tidak bertanggung jawab (Erdman & Caffery, 2003). Sedangkan individu yang fearful-avoidant, cenderung merasa tidak percaya pada diri sendiri maupun orang lain, selalu membuat jarak seolah-olah ingin melindungi diri mereka dari ketakutan akan adanya suatu intimasi dan karena mempunyai perasaan akan ditolak yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam intimasi dan menghindari bentuk hubungan yang erat atau intimasi dengan orang lain (Erdman & Caffery, 2003).
Berdasarkan fenomena yang telah disebutkan dia atas, peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran attachment styles yang dialami oleh gay dalam hal ini dikhususkan pada gay yang berada pada tahap dewasa muda. Gay juga mempunyai masa-masa dimana mereka mencapai puncak keinginan untuk hubungan percintaan, afeksi, kematangan fisik dan pikiran (Matlin, 1999). Oleh karena itu, peneliti memfokuskan rentang usia dewasa muda yang akan diteliti yakni yang berada pada usia 20-40 tahun (Papalia et.al, 2004). Untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika attachment yang dialami dengan figur attachment dan gambaran adult attachment styles yang dialami pada masa dewasa ini, untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai hal tersebut yang dialami oleh gay dewasa muda, maka pendekatan yang dianggap tepat yakni pendekatan kualitatif. Dengan melakukan wawancara mendalam kepada subjek, diharapkan dapat memungkinkan munculnya data-data yang sesungguhnya tidak terbayangkan sebelumnya dan memungkinkan bagi responden untuk memberikan jawaban yang bebas dan bermakna baginya (Patton, dalam Poerwandari, 1998). Gay yang menjadi responden dalam penelitian ini khususnya mereka yang tinggal di X.
I.2. Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka permasalahan yang utama dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran attachment styles yang dialami gay dewasa muda ?
2. Secara lebih spesifik, bagaimana gambaran hubungan individu gay dengan figur attachment dari masa kanak-kanak hingga dewasa dan apa bentuk adult attachment styles yang dialami gay dewasa muda dan dikaitkan dengan perkembangan psikososialnya?
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran attachment styles yang dialami pria gay khususnya yang tinggal di X. Secara lebih spesifik, ingin mengetahui apakah ada perubahan figur attachment yang dimiliki dari masa kanak-kanak hingga dewasa dan bentuk adult attachment styles yang dialami oleh gay dewasa muda yang kemudian dikaitkan dengan perkembangan psikososialnya.
I.4. Signifikansi Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat positif bagi kaum gay sendiri maupun bagi masyarakat. Manfaat-manfaat tersebut antara lain :
1. Mengetahui secara lebih spesifik gambaran attachment styles yang dialami oleh gay yang diteliti, sehingga masyarakat umum dapat memahami gay secara objektif saat berinteraksi dengan gay.
2. Menambah wawasan dan masukan bagi keluarga dan masyarakat mengenai kaum gay.
3. Memperdalam pemahaman mengenai kehidupan gay yang memang sampai saat ini masih kurang diteliti secara ilmiah.
4. Menjadi tambahan bahan literatur psikologi yang membahas tentang gay sehingga dapat dijadikan sebagai data eksploratif yang dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.
5. Memberi inspirasi dan masukan untuk para gay lainnya untuk tidak perlu merasa rendah diri dan malu dengan orientasi seksualnya.
I.5. Isu Etis
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana attachment styles pada subjek yang dalam hal ini yakni gay. Penelitian ini sangat berhubungan dengan kehidupan subjek dan merupakan isu yang cukup sensitif dan kontroversial di kalangan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas subjek dengan menyamarkan/menggunakan inisial pada nama subjek. Selain untuk menjaga kerahasiaan, hal ini juga dilakukan agar subjek merasa aman dan nyaman selama proses pengambilan data berlangsung. Peneliti hanya menggunakan data subjek untuk penyusunan skripsi dan tidak digunakan untuk kepentingan lain.
I.6. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi "Attachment Styles pada Gay Dewasa Muda" ini tersusun dalam sistematika sebagai berikut :
BAGIAN I PENDAHULUAN
Menggambarkan secara garis besar mengenai latar belakang masalah penelitian, tujuan dan signifikansi penelitian, isu etis serta sistematika penulisan dari penelitian.
BAGIAN II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi pembahasan mengenai berbagai teori yang berhubungan serta menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan dengan gay, attachment styles dan dewasa muda .
BAGIAN III METODE PENELITIAN
Berisi penjelasan tentang metode yang digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data, partisipan penelitian, prosedur penelitian, prosedur analisis yang digunakan dan instrumen penelitian dalam melaksanakan penelitian.
BAGIAN IV TEMUAN DAN ANALISIS
Menjelaskan mengenai hasil dari proses analisis dan pemberian makna data yang telah didapatkan dari pelaksanaan wawancara.
BAGIAN V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Membahas ringkasan dari hasil penelitian, kelemahan atau kekurangannya dan beberapa saran perbaikan yang perlu dilaksanakan berdasarkan hasil tersebut.
TESIS PENGARUH PERSEPSI TENTANG MUTU PELAYANAN SPESIALISTIK EMPAT DASAR TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP
(KODE : PASCSARJ-0033) : TESIS PENGARUH PERSEPSI TENTANG MUTU PELAYANAN SPESIALISTIK EMPAT DASAR TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP (PRODI : KESEHATAN MASYARAKAT)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional untuk tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat menwujudkan derajat kesehatan yang optimal. Selaras dengan tujuan pembangunan kesehatan adalah terdapatnya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional, untuk itu perlu ditingkatkan upaya guna memperluas dan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau (Mulyadi, XXXX)
Rumah Sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan memberikan dua jenis pelayanan kepada masyarakat, yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan dan unit rawat inap. Rumah Sakit merupakan insitusi yang komplek, dinamis dan kompetitif, padat modal, padat karya yang multi disiplin, serta padat teknologi dan dipengaruhi lingkungan yang selalu berubah. Rumah Sakit secara konsisten tetap dituntut untuk menjalankan misinya sebagai institusi pelayanan sosial dengan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat (Muninjaya, XXXX).
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan, maka peningkatan sumber daya manusia menjadi tuntutan masyarakat, sehingga kinerja pelayanan dapat diandalkan, bermutu dan berorentasi kepada pelanggan yang dapat memberikan kepuasan pasien. Tata cara penyelenggaraanya harus juga sesuai dengan standar kode etik yang telah ditetapkan (Azwar, XXXX).
Mutu pelayanan yang diberikan tidak akan pernah sempurna, karena setiap pasien adalah pribadi yang unik, sehingga pelayanan tidak selalu dapat memuaskan, karena mutu pelayanan terhadap kepuasan pasien sangat ditentukan oleh pelaksana pelayanan (Rangkuti, XXXX).
SK Menteri Kesehatan RI No/983/Menkes/SK/X11/1992 menyebutkan bahwa Rumah Sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialis dan subspesialis. Rumah Sakit ini mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat. dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Rumah Sakit biasanya dibagi menurut kapasitas serta jenis pelayanan yang dilakukan. menjadi Rumah Sakit kelas A, B, dan C. Rumah Sakit tipe C merupakan Rumah Sakit yang memberikan pelayanan spesialis empat dasar, seperti kebidanan, penyakit dalam, bedah dan anak. Setiap kabupaten di tanah air pada umumnya mempunyai Rumah Sakit tipe C, sedang Rumah Sakit tipe B mempunyai pelayanan yang lebih lengkap dan Rumah Sakit tipe A merupakan Rumah Sakit yang paling lengkap dengan pelayanan spesialistik dan subspesialistik (Muninjaya, XXXX).
Mutu pelayanan Rumah Sakit dipengaruhi oleh sumber daya manusia, peralatan dan sistem kerjanya. Pelayanan diRumah Sakit salah satunya diberikan oleh dokter. Dalam memberikan pelayanan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dokter ini perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam hal pengetahuan, keterampilan, komunikasi dan perilaku dari dokter tersebut.
Di Indonesia penilaian mutu dan Quality Ansurance(QA) telah mendapat perhatian yang sejak tahun 1978. Rumah Sakit Gatot Subroto adalah yang pertama menerapkan upaya penilaian mutu, yang didasarkan atas derajat kepuasan pasien. Setelah itu beberapa Rumah Sakit juga menerapkan pengembangan kegiatan mutu pelayanan dengan cara yang berbeda. Rumah Sakit Husada Jakarta membuat penilaian mutu atas dasar kepuasan pasien sejak 1984, Rumah Sakit Adi Husada Surabaya membuat penilain mutu atas dasar penilaian perilaku dan pelaksanaan kerja (performan) perawat, serta RS dr. Sutomo Surabaya telah melaksanakan penilaian infeksi nosokomial (Jacobalis, XXXX).
Seiring dengan peningkatan pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka sistem nilai dan orientasi dalam masyarakat mulai berubah. Masyarakat mulai menuntut pelayanan umum yang lebih baik, lebih ramah dan lebih bermutu, termasuk juga pelayanan kesehatan ini. Dengan semakin banyaknya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan, maka fungsi pelayanan kesehatan termasuk pelayanan dalam Rumah Sakit secara bertahap perlu terus ditingkatkan, agar menjadi lebih efektif dan efisien, serta memberi kepuasan terhadap pasien, keluarga maupun masyarakat (Mulyadi, XXXX).
Dokter adalah andalan utama suatu Rumah Sakit, perlu disadari bahwa dokterlah yang dicari oleh pelanggan ekternal untuk kesembuhan dari penyakit yang diderinya. Dokter di Rumah Sakit adalah koordinator pelayanan medis bagi seorang pasien.meskipun dokter tidak dapat bekerja sendiri untuk tugasnya itu, dokter diakui memegang peran sentral dalam memberikan citra dan kinerja di Rumah Sakit (Suroso, XXXX).
Dokter spesialis empat dasar di Rumah Sakit dapat meningkatkan penerimaan rawat inap, terutama dokter bedah dan ahli penyakit dalam. Peningkatan pasien rawat inap pada pelayanan bedah dan penyakit dalam disebabkan kasus bedah memerlukan penanganan di Rumah Sakit, meningkatnya usia harapan hidup di masyarakat Indonesia, akan terjadi peningkatan prevalensi penyakit-penyakit degeneratif, untuk dokter spesialis kebidanan dan kandungan serta spesialis anak, kemungkinan mempunyai praktek pribadi atau klinik diluar Rumah Sakit (Trisnantoro, XXXX).
RSU X berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan No.069.A/Menkes/SK/I/1993 tanggal 9 Januari menjadi Rumah Sakit tipe C. RSU X merupakan Rumah Sakit tipe C dengan kapasitas 126 tempat tidur. RSU X tidak mempunyai pesaing dengan RS Swasta di kota X sehingga masyarakat mendapat pelayanan kesehatan di tingkat RS hanya di RSU X, tetapi banyak masyarakat berobat keluar daerah seperti X, setelah ada bencana gempa bumi dan gelombang Tsunami Desember XXXX, masyarakat banyak menggunakan pelayanan kesehatan ke RSU X, ini merupakan suatu peluang untuk melayani pasien dalam pelayanan kesehatan.
Hasil pengamatan di lapangan RSU X pada tahun XXXX Bed Ocupation Rate (BOR) 48,28% dan XXXX BOR 57,73%, terlihat jelas pada BOR Rumah Sakit masih dibawah 70%. RSU X merupakan tipe C yang memberi pelayanan pada pasien didasarkan pada empat dasar spesialis yaitu pelayanan spesialis penyakit dalam, pelayanan spesialis bedah, pelayanan spesialis kandungan dan pelayanan spesialis anak.
BOR di Rumah Sakit X dalam empat pelayanan dasar spesialistik pada tahun XXXX dan tahun XXXX, menggambarkan secara umum pelayanan spesialistik empat dasar yaitu pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan anak dan pelayanan kebidanan dan kandungan rata-rata BOR dibawah 70%. Dalam hal ini tampak rendah, BOR pelayanan spesilistik empat dasar pada tahun XXXX adalah 48,28% yang terdiri dari pelayanan penyakit dalam 60,2%, pelayanan bedah 40,27%, pelayanan anak 33,05%, dan pelayanan kebidanan 59,59 sedangkan tahun XXXX ada peningkatan BOR menjadi 57,75% tetapi masih tetap rendah yaitu pelayanan penyakit dalam 63,38%, pelayanan bedah 68,32%, pelayanan anak 36,12, dan pelayanan kebidanan 63,18% (BPK RS X).
Pada tahun XXXX terjadi peningkatan sedikit kunjungan pasien ke RSU X, sedangkan tahun XXXX kunjungan rendah. Hal ini disebabkan kondisi keamanan di daerah X khususnya di Kabupaten X tidak aman sehingga masyarakat enggan untuk keluar rumah.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah adalah bagaimana mutu pelayanan spesialistik empat dasar mempengaruhi kepuasan pasien rawat inap di BPK RSU. X.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis pengaruh persepsi tentang mutu pelayanan spesialistik empat dasar terhadap kepuasan pasien rawat inap di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.3.2. Tujuan khusus
1.3.2.1. Untuk menganalisis pengaruh pelayanan spesialistik empat dasar berdasarkan reliability terhadap kepuasan pasien rawat inap di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.3.2.2. Untuk menganalisis pengaruh mutu pelayanan spesialis empat dasar berdasarkan responsivines terhadap kepuasan pasien di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.3.2.3. Untuk menganalisis pengaruh pelayanan pelayanan spesialistik empat dasar berdasarkan tangible terhadap kepuasan pasien rawat inap di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi pimpinan BPK RSU X dapat memberikan masukan tentang mutu pelayanan dokter spesialistik empat dasar.
1.4.2. Bagi dokter spesialistik empat dasar di BPK RSU X dapat mengetahui tentang mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien.
1.4.3 Bagi peneliti berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperoleh ilmu pengetahuan setelah penelitian tentang mutu pelayanan kinerja dokter spesialistik.
TESIS DETERMINAN PARTISIPASI KELUARGA DALAM TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE
(KODE : PASCSARJ-0031) : TESIS DETERMINAN PARTISIPASI KELUARGA DALAM TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (PRODI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Denque Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menyerang penduduk dunia sampai saat ini. Berbagai serotipe virus Dengue endemis di beberapa daerah tropis. Di Asia virus Dengue endemis di daerah China Selatan, Hainan, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Myanmar, India, Pakistan, Sri Langka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura. Negara dengan endemisitas rendah di Papua New Guinea, Bangladesh, Nepal, Taiwan dan sebagian besar negara pasifik (Depkes, XXXX).
Menurut WHO (XXXX) jumlah penduduk dunia yang beresiko terinfeksi DBD lebih dari 2,5 sampai 3 milyar orang terutama penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Diperkirakan setiap tahunnya ada 300 juta kasus di Indonesia, dan 500.000 kasus DBD yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan minimal 12.000 diantaranya meninggal dunia, terutama anak-anak (Depkes RI, XXXX).
Di Indonesia, penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi (Hindra, XXXX). Penyakit DBD bahkan endemis hampir di seluruh propinsi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) (Depkes, XXXX).
Sejak pertama kali ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, tercatat 54 kasus dengan 24 kematian (CFR 41,5%). Sejak itu penyakit DBD tersebar di berbagai daerah, dan angka kejadian penyakit DBD meningkat. Pada tahun 1972 ditemukan DBD di luar Jawa yaitu X, X, dan X. Kejadian Luar Biasa penyakit DBD terjadi di sebagian besar daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan, di mana sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah perdesaan. Sampai dengan bulan November XXXX, kasus DBD di Indonesia telah mencapai 124,811 (IR: 57,51/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR: 1,02%) (Depkes, XXXX).
Secara teoritis peningkatan jumlah penderita DBD dipengaruhi oleh adanya mobilitas penduduk dan arus urbanisasi yang tidak terkendali, kurangnya jumlah dan kualitas SDM pengelola program DBD di setiap jenjang administrasi, kurangnya kerjasama serta komitmen lintas program dan lintas sektor dalam pengendalian DBD, sistim pelaporan dan penanggulangan DBD yang terlambat dan tidak sesuai dengan standar, perubahan iklim yang cenderung menambah jumlah habitat vektor DBD, infrastruktur penyediaan air bersih yang tidak memadai, serta letak geografis Indonesia di daerah tropik mendukung perkembangbiakan vector dan pertumbuhan virus serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan DBD (Depkes RI, XXXX).
Berdasarkan kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian DBD, maka Departemen Kesehatan telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam pengendalian penyakit DBD, yaitu menemukan kasus secepatnya dan mengobati sesuai prosedur tetap, memutuskan mata rantai penularan dengan pemberantasan vektor (nyamuk dewasa dan jentik-jentiknya), kemitraan dengan wadah Kelompok Kerja Operasional DBD (POKJANAL DBD), pemberdayaan masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan peningkatan profesionalisme pelaksana program (Depkes XXXX).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya peningkatan kasus, salah satu diantaranya adalah dengan memberdayakan masyarakat dalam kegiatan PSN melalui gerakan 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur). Kegiatan ini telah diintensifkan sejak tahun 1992 dan pada tahun XXXX dikembangkan menjadi 3M plus, yaitu dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan, abatisasi, menggunakan kelambu dan menggunakan penolak nyamuk. Sampai saat ini upaya tersebut belum menampakkan hasil yang diinginkan, karena setiap tahun masih terjadi peningkatan angka kematian (Depkes, XXXXb).
Hal ini disebabkan oleh upaya peningkatan peran serta masyarakat yang belum optimal. Meskipun telah disadari bahwa peran serta masyarakat sangat berperan besar dalam penanggulangan penyakit DBD, namun masyarakat masih sering dijadikan objek yang akan diintervensi, bukan sebagai subjek yang mampu untuk melakukan intervensi untuk dirinya sendiri. Tingkat partisipasi yang dapat diterjemahkan sebagai kemauan dan kemampuan belum sepenuhnya dioptimalkan. Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, adanya perbedaan status dan lain-lain (Siswono, XXXX).
Untuk meningkatkan daya dan hasil guna upaya pemberantasan penyakit DBD di tingkat desa/kelurahan dibentuk Kelompok Kerja Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (POKJA DBD) melalui Surat Keputusan Lurah/Kepala Desa dan Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL DBD) pada tingkat yang lebih tinggi. Ini merupakan forum koordinasi kegiataan pemberantasan DBD dalam wadah LKMD dan tujuan program adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata.
Pengumpulan data program P2 DBD untuk memperoleh gambaran tentang besarnya permasalahan DBD dan besarnya masalah diketahui dari jumlah desa/ endemis dan sporadis, jumlah penderita dan kematian penyakit DBD. Upaya penanggulangannya diketahui dari jumlah desa/kelurahan yang dilakukan tindakan pengasapan/fogging, abatisasi serta keberadaan Pokja DBD yang mengorganisasikan penggerakan masyarakat dalam PSN (Depkes RI, XXXX).
Di Provinsi X jumlah penderita penyakit DBD sudah melebihi indikator nasional sebesar 5 per 100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD pada tahun XXXX dilaporkan sebanyak 795 kasus dengan angka kesakitan/Incidence Rate (IR = 18,5 per 100.000 penduduk) dan kematian sebanyak 13 orang (CFR = 1,7%) (Profil Dinas Kesehatan Provinsi X, XXXX).
Kota X terdiri dari 12 kecamatan dan 58 kelurahan, salah satu kecamatan adalah X. Pada tahun XXXX di Kecamatan X terjadi KLB DBD dengan kasus 138 orang dan 2 kematian (CFR = 1,51%). Pada tahun XXXX jumlah penderita DBD sebesar 52 orang dan pada tahun XXXX di Kecamatan X jumlah kasus DBD sebanyak 57 orang. CFR di Kecamatan X adalah 2,35% dan IR = 87,66 sedangkan Kecamatan Sukajadi IR = 47,61, Senapelan IR = 24,09, X Kota IR = 31,78, Rumbai Pesisir IR = 29,78, Rumbai IR = 31,03, Sail IR = 73,68, Limapuluh IR = 45,34, Tenayan IR = 40,38, X IR = 87,66, Marpoyan Damai IR = 35,62, Tampan IR = 55,70, Payung Sekaki IR = 50,31 (IR per 100.000 penduduk) (Profil Dinas Kesehatan Kota X, XXXX)
Upaya penanggulangan yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota X berupa abatisasi dan pengasapan untuk memutuskan rantai penyebaran dan perkembangbiakan vektor. Namun karena tingginya biaya dan keterbatasan anggaran maka upaya tersebut kurang berkesinambungan. Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam upaya penanggulangan DBD tanpa biaya mahal adalah dengan PSN antara lain gerakan 3 M (menguras, menutup dan mengubur) yang berupa pengurasan dan penutupan tempat-tempat penampungan air, dan menimbun barang-barang tempat perkembangbiakan vektor di mana kegiatan ini merupakan tindakan yang praktis, murah, dan dapat dilakukan oleh siapapun dan di manapun (Depkes RI, XXXX).
Upaya meningkatkan peran serta masyarakat agar ikut berpartisipasi merupakan upaya pemberdayaan masyarakat khususnya keluarga. Partisipasi masyarakat menjadi faktor yang menentukan dalam pemberantasan DBD. Keberhasilan ini ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat, baik dalam menyumbangkan masukan (input) maupun dalam menikmati hasilnya.
Kenyataan di lapangan, program pemberantasan DBD kurang memperoleh parti sipasi masyarakat khususnya keluarga karena kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat. Di lain pihak juga dirasakan kurangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat mengenai kapan, dan dalam bentuk apa mereka dapat untuk berpartisipasi dalam pemberantasan DBD (Depkes, XXXX).
Dengan demikian diperlukan upaya pencegahan DBD melibatkan partisipasi keluarga. Keluarga adalah satu kesatuan unit terkecil dari masyarakat sehingga dengan tingginya kesehatan keluarga maka semakin baik kesehatan keluarga. Selain itu keluarga sebagai suatu kelompok dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah-masalah dalam kelompoknya. Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan. Dalam kehidupan sosial keluarga merupakan cara hidup yang didukung oleh masyarakat, jadi pembentukan keluarga tidak terlepas dari kondisi dan lingkungan yang terdapat di sekitarnya. Keluarga mempunyai fungsi di mana individu-individu itu pada dasarnya dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidupnya (Friedman, 1998).
Dari uraian di atas, maka dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimana determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, DBD merupakan masalah kesehatan yang masih memerlukan perhatian dan penanganan khususnya Kecamatan X di Kota X mengingat daerah ini merupakan daerah endemis, maka dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.
1.4. Hipotesis Penelitian
Ada determinan partisipasi keluarga (kesempatan, kemampuan dan kemauan berpartisipasi) dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota X sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan penyusunan program pengendalian DBD.
2. Bagi Puskesmas dan lintas sektor di Kecamatan X sebagai bahan pertimbangan untuk kebutuhan masyarakat setempat.
TESIS ANALISIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DALAM KAITANNYA DENGAN LOYALITAS PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT X
(KODE : PASCSARJ-0030) : TESIS ANALISIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DALAM KAITANNYA DENGAN LOYALITAS PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT X (PRODI : ILMU MANAJEMEN)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu upaya dalam mewujudkan Indonesia Sehat 2010, adalah meningkatkan kualitas pelayanan oleh pelaksana pelayanan kesehatan, seperti Puskesmas dan Rumah Sakit. Rumah Sakit sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan, hendaknya dikelola dengan baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan jumlah pasien.
Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin membaik sehingga menimbulkan kecederungan untuk menuntut pelayanan umum yang lebih baik dan lebih cepat. Keberadaan Rumah Sakit baik swasta maupun milik pemerintah serta munculnya klinik-klinik kesehatan di kota besar menyebabkan terjadi persaingan yang ketat dalam menyediakan jasa pelayanan kesehatan. Salah satu strategi yang digunakan oleh pengelola Rumah Sakit pada umumnya adalah dengan memberikan pelayanan yang berkualitas.
Kondisi sosial masyarakat yang semakin meningkat meyebabkan masyarakat semakin sadar akan kualitas. Peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kesehatan yang lebih berorientasi pada kepuasan pasien. Di dalam mencapai tujuan yang berorientasi pada kepuasan pasien yang meliputi aspek fasilitas rumah sakit, peranan dokter, perawat dan staf non medis Rumah Sakit menjadi sangat penting karena kinerja mereka akan menentukan persepsi pasien terhadap pelayanan yang diberikan.
Rumah Sakit (RS) X, merupakan Rumah Sakit yang memiliki VISI "Meningkatkan Mutu Pelayanan Rumah Sakit X yang unggul dan bernuansa Islami". Pada awalnya sistem nilai Rumah Sakit terutama berfungsi sosial, kemudian terjadi perubahan nilai-nilai tersebut dari fungsi sosial menjadi usaha bisnis yang surplus, "profit making" sehingga dari operasionalnya dapat dilakukan renovasi, reinvestasi, pengadaan peralatan modern, pengembangan sumber daya manusia secara berkesinambungan.
Rumah Sakit X adalah salah satu karya monumental masyarakat di X yang sangat bernilai dari segi material dan moral. Rumah Sakit X merupakan sebuah lembaga bisnis yang bergerak dibidang jasa pelayanan kesehatan dengan kriteria rumah sakit tipe C, berlokasi di Jalan Diponegoro No 4 X yang merupakan lokasi yang cukup strategis, dan dekat dengan daerah perkantoran dan pertokoan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PERMENKES) No. 262 tahun 1979 dengan standard rumah sakit tipe C sebagai berikut : tenaga medis sebanyak 20 orang, tenaga para medis perawatan sebanyak 95 orang, tenaga para medis non perawatan sebanyak 96 orang, tenaga non medis 140 orang. Berikut ini adalah perbandingan total tenaga pada rumah sakit tipe C :
- Tenaga medis dengan perbandingan 9: 1,
- Tenaga para medis perawatan dengan perbandingan 1: 1
- Tenaga para medis non perawatan dengan perbandingan 5: 1
- Tenaga non medis dengan perbandingan 4:3
Rumah Sakit ini mempekerjakan 145 karyawan tetap dengan rincian sebagai berikut: tenaga medis sebanyak 10 orang, tenaga para medis perawatan sebanyak 83 orang, tenaga para medis non perawatan sebanyak 11 orang, dan tenaga non medis sebanyak 54 orang. Berarti kriteria tenaga medis dan non medis masih belum memenuhi standar sebagai Rumah Sakit tipe C. Fasilitas pelayanan yang disediakan antara lain dokter Spesialis, Instalasi Gawat Darurat (IGD) 24 jam, Poli umum, Instalasi Rawat Inap, Rawat Inap Khusus (ICU), Persalinan 24 jam, KIA/KB, Laboratorium, Tindakan Medis Operatif, Radiologi, Elektro Medis, Rawat Jalan, Ambulance, Haemodialise (HD), Apotik.
Sarana dan prasarana Rumah Sakit X saat ini dari berbagai informasi masih dinilai sederhana dan pelayanannya sering terganggu karena pemeliharaan sarana yang kurang memadai, proporsi antara tenaga dan peralatan masih kurang seimbang, begitu juga dengan penempatan tenaga yang kurang sesuai. Catatan rekam medik pasien rawat inap masih sederhana.
Data pasien Rawat Inap yaitu BOR (Bed Occupancy Rate) tahun XXXX (39,50%), tahun XXXX (48,2 %), dan tahun XXXX (39,60%), ini menunjukkan bahwa jumlah setiap bulannya mengalami fluktuasi, kadang-kadang naik atau sebaliknya. Berdasarkan data tersebut di duga bahwa fluktuasinya BOR dari tahun ke tahun disebabkan oleh permasalahan adanya kemungkinan ketidakpuasan pasien dengan pelayanan yang diberikan.
Data pasien yang Rawat Inap di Rumah Sakit X menunjukkan masih kurangnya loyalitas pasien terhadap penampilan Rumah Sakit X secara keseluruhan. Mengembangkan loyalitas pasien Rawat Inap membutuhkan tantangan yang tidak terbatas, apalagi saat ini pasien dan keluarga pasien sudah lebih kritis dalam memilih Rumah Sakit sebagai fasilitas berobat, antara lain dapat membandingkan pelayanan Rumah Sakit satu dengan yang lainnya terutama dalam kualitas pelayanan.
Dalam kualitas pelayanan di Rumah Sakit X, diperoleh informasi dari beberapa pasien, bahwa Rumah Sakit X pelayanan yang diberikan masih kurang memuaskan dalam bidang pelayanan medis, para medis, kelengkapan peralatan dan kebersihannya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
a. Sejauhmana pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
b. Sejauhmana hubungan kepuasan pasien terhadap loyalitas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
b. Untuk menganalisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
c. Untuk mengetahui hubungan kepuasan pasien dengan loyalitas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
a. Bagi Sekolah Pascasarjana X, sebagai informasi dan menambah khasanah keilmuan untuk lembaga akademis sehingga dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
b. Yayasan Rumah Sakit X, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan mengenai pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit X sehingga kepuasan pelanggan tercapai.
c. Peneliti, sebagai pengembangan pengetahuan yang diperoleh penulis selama dibangku perkuliahan khususnya dibidang pemasaran.
d. Sebagai referensi bagi peneliti berikutnya dalam meneliti dan mengkaji masalah yang sejenis.
1.5 Kerangka Pemikiran
Menjadi organisasi yang fokus pada konsumen adalah pilihan strategis bagi industri Rumah Sakit dan dunia usaha umumnya agar mampu bertahan ditengah situasi lingkungan ekonomi yang memperlihatkan kecenderungan fluktuasi dan semakin meningkatnya kualitas hidup. Salah satu cara adalah dengan menciptakan kepuasan pelanggan melalui peningkatan kualitas, karena pelanggan adalah fokus utama.
Kualitas pelayanan yang prima akan memberikan dampak terhadap kepuasan pelanggan yang dapat menguntungkan perusahaan dan dapat membentuk hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan dan pelanggan
Menurut Lupiyoadi (XXXX) dalam menentukan tingkat kepuasan, seorang pelanggan seringkali melihat dari nilai lebih suatu produk maupun kinerja pelayanan yang diterima dari suatu proses pembelian produk atau jasa. Pencarian nilai oleh pelanggan terhadap produk (jasa) perusahaan, kemudian menimbulkan teori yang disebut dengan customer delivered value (nilai yang diterima oleh pelanggan) yaitu besarnya selisih nilai yang diberikan oleh pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan yang ditawarkan kepadanya dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelanggan untuk memperoleh produk tersebut.
Sedangkan menurut Groonroos dalam Ratminto dan Winarsih (XXXX) pelayanan adalah aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan, atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan konsumen/ pelanggan.
Pengukuran terhadap produk jasa yang sifatnya intangible. Menurut para peneliti, didapati bahwasanya para konsumen memiliki beberapa kriteria yang digunakan sebagai tolok ukurnya pengevaluasian dan pengukuran produk jasa tersebut, yaitu :
Bukti Langsung (tangibles) yang meliputi fasilitas fisik sarana prasarana, perlengkapan utama dan pendukung, pegawai internal (kantor) dan eksternal (dilapangan) serta sarana komunikasi.
Kehandalan (reliability) yang memberikan jasa pelayanan serta informasi seakurat dan sesegera mungkin dengan tingkat hasil memuaskan,
Daya Tanggap/Daya Serap (responsiveness) yang secara tanggap dan cepat memberikan pelayanan kepada pelanggannya serta dengan tingkat serap yang baik atas informasi yang diberikan,
Jaminan (assurance) yang mencakup lingkup dasar pengetahuan, kemampuan, kesopanan serta sifat pegawai/staf yang dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan dalam melaksanakan tugas serta tanggungjawab tanpa dengan adanya pengawasan yang sangat ketat, tetapi berdasarkan sadar disiplin,
Empati (emphaty) yang meliputi karakter personal yang dapat memudahkan melakukan hubungan atau komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan.
Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan, dan keperluan pelanggan dipenuhi, suatu pelayanan dinilai memuaskan bila ia dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelangganya. Ada beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan dalam menilai suatu pelayanan, yaitu : ketepatan waktu, dapat dipercaya, kemampuan teknis, diharapkan berkualitas dan harga yang sepadan (Sugito, XXXX).
Menurut Kotler (XXXX) bahwa orang yang sangat puas dan senang akan memiliki ikatan emosional dengan mereknya, bukan hanya preferensi rasional dan hal ini menyebabkan loyalitas pelanggan. Loyalitas memiliki dimensi yang berbeda dengan kepuasan. Kepuasan menunjukkan bagaimana suatu produk memenuhi tujuan pelanggan (Oliver, 1999). Kepuasan pelanggan senantiasa merupakan penyebab utama timbulnya loyalitas.
Loyalitas adalah respon perilaku/pembelian yang yang bersifat bias dan terungkap secara terus menerus oleh pengambil keputusan dengan memperhatikan satu atau lebih merek alternatif dari sejumlah merek sejenis dan merupakan fungsi proses psikologis. Orientasi perusahaan masa depan mengalami pergeseran dari pendekatan konvensional ke arah pendekatan kontemporer (Bhote,1996).
Menurut Schnaars dalam Tjiptono (XXXX), ada empat macam kemungkinan hubungan antara kepuasan pelanggan dengan loyalitas pelanggan : failures, forced loyalty, defectors, dan successes, sehingga kepuasan tidak lagi menjadi variabel intervening terhadap loyalitas pelanggan.
Untuk memperjelas teori dan dimensi yang dikemukakan diatas maka dibuat kerangka pikir sebagai berikut:
** GRAFIK SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **
1.6 Hipotesis
- Semakin baik kualitas pelayanan di Rumah Sakit X maka akan semakin puas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
- Semakin puas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X maka pasien akan semakin loyal.
SKRIPSI PROFESIONALITAS GURU MA X PASCA UJI SERTIFIKASI GURU
(Kode PEND-AIS-0031) : SKRIPSI PROFESIONALITAS GURU MA X PASCA UJI SERTIFIKASI GURU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan ditetapkannya guru sebagai jabatan professional maka guru dituntut memiliki kompetensi tertentu, yang terukur dan teruji melalui prosedur tertentu. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 dinyatakan bahwa sebagai pendidikan profesional guru mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sementara itu profesional dimaknai sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Guru sebagai suatu jabatan profesional yang ikut membentuk pribadi manusia dalam proses pertumbuhannya yang sangat penting itu, merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan 9 (sembilan) prinsip sebagai berikut :
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme.
Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.
3. Memiliki kualifikasi akademis dan latar belakang sesuai dengan bidang tungasnya.
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
5. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
7. Memiliki kesempatan untuk megembangkan keprofesionalan tugas secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Prinsip-prinsip profesionalitas tersebut menunjukkan bahwa guru sebagai jabatan profesional hanya bisa dimasuki atau dilaksanakan dengan baik oleh orang yang memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu. Dari sisi yang lain bagi siapapun termasuk para guru itu sendiri, apabila ingin menjadi guru yang profesional dituntut untuk meningkatkan kualifikasi (misalnya jenjang pendidikan formalnya) dan kompetensinya agar bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Adapun indikator dari profesionalitas guru adalah :
1. Guru menguasai bahan ajar.
2. Guru mempunyai kreativitas dalam pembelajaran
3. Guru mampu menggunakan media dan sumber belajar.
4. Guru melaksanakan evaluasi pembelajaran
5. Guru mampu melakukan penelitian kelas.
6. Guru mampu melaksanakan pembelajaran yang efektif.
Peningkatan karier seorang guru yang profesional ditentukan atau sangat berkaitan dengan kompetensi dan prestasi kerjanya. Dengan demikian maka kenaikan jenjang jabatan dan pangkat merupakan buah dari bertambahnya kompetensi dam prestasi kerja yang ditunjukkan dalam suatu kurun atau periode tertentu.
Pemerintah dan DPR telah mengesahkan dan memberlakukan UU No.20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Empat tahun sudah UU tersebut berlaku. Tidak lama kemudian pemerintah dan DPR mengesahkan dan memberlakukan UU tentang guru dan dosen, termasuk didalamnya tentang sertifikasi yang dijelaskan dalam PERMENDIKNAS No 18 Tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan
Dengan lahirnya UU tersebut, maka pemerintah dalam hal ini Depdiknas mulai menyusun strategi untuk melakukan sertifikasi profesi bagi para guru diseluruh Indonesia. Tidak lupa juga lembaga-lembaga pendidikan yang berhak melakukan uji sertifikasi bagi para guru. Tujuan dan latar belakang dari sertifikasi bagi guru ini sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan profesionalitas para guru, yang pada akhirnya nanti meningkatkan pula kualitas pendidikan di Indonesia. Sekolah tidak hanya meluluskan anak didiknya yang kemudian menjadi beban masyarakat, karena masih belum bekerja. Tetapi para lulusan yang mampu mandiri, mampu menciptakan lapangan kerja dan mampu pula untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang tinggi, serta mampu bersaing di era globalisasi.
Berdasarkan pagu yang ditetapkan oleh pemerintah ada isu bahwa tidak semua guru dengan serta merta mengikuti sertifikasi. Dengan kata lain bahwa sertifikasi guru akan dilakukan cara bertahap tergantung pada institusi yang bersangkutan tetapi yang jelas pendataan terhadap guru telah dilakukan oleh institusi pendidikan semisal Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional maupun departemen lain yang menaungi lembaga pendidikan dibawahnya.
Ada alasan logis mengapa sertifikasi perlu dilakukan pada profesi guru. Pertama, Meningkatkan kualitas dan kompetensi guru; Kedua, Meningkatkan kesejahteraan dan jaminan financial secara layak sebagai profesi. Adapun muara akhir yang menjadi targetnya adalah terciptanya kualitas pendidikan.
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional merupakan bagian dari pembaharuan system pendidikan nasional yang pelaksanaannya memperhatikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pendidikan, kepegawaian, ketenagakerjaan, keuangan dan pemerintah daerah.
Sehubungan dengan itu diperlukan pengaturan tentang kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dalam suatu undang-undang.
Untuk meningkatkan penghargaan terhadap tugas guru, maka perlu dikukuhkan dengan pemberian sertifikat pendidik. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan atas kedudukannya guru dalam melaksanakan tugas, guru harus memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya.
Demikian besar peranan seorang guru dalam menunjang keberhasilan pendidikan sehingga perlu kiranya mendapatkan perhatian yang cukup serius. Terutama dari pemerintah, sebagaimana guru akan bertanggung jawab kepadanya. Dengan adanya perhatian yang serius pada guru, akan menimbulkan sebuah ikatan emosional yang bisa meningkatkan kinerja sehingga juga akan meningkatkan produktifitas guru. Dengan kondisi yang demikian, maka tujuan dari pendidikan akan mudah untuk dicapai. Begitu pula sebaliknya, kinerja yang rendah akan menurunkan produktifitas guru yang akan bisa menghambat pencapaian tujuan pendidikan.
Madrasah Aliyah (MA) X merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan DEPAG memandang perlu adanya profesionalitas guru dengan makna sebagai proses pemenuhan standart mutu pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan.
Untuk memperoleh profesionalitas guru tersebut. Madrasah Aliyah X mengikut sertakan para guru untuk mengikuti uji sertifikasi guru. Yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan profesionalitas gur
Dari berbagai uraian diatas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian, untuk mengetahui bagaimana profesionalitas guru setelah mengikuti uji sertifikasi guru, khusunya pada proses kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu dalam ini penulis, ingin mengadakan penelitian di MA X. Dan hal ini menjadikan penulis untuk mengangkat judul "Profesionalitas Guru MA X pasca Uji Sertifikasi Guru".
B. Rumusan Masalah
" Bagaimana profesionalitas guru MA X pasca uji sertifikasi guru? "
Dari arti kata profesionalitas diatas sangatlah luas, maka dari itu penulis memberi batasan dalam penelitian ini. Khususnya dalam proses pembelajaran yaitu dalam hal :
1. Perencanaan pembelajaran.
2. Kemampuan melaksanakan pengajaran.
3. Kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi.
C. Tujuan Penelitian
" Untuk mengetahui profesionalitas guru MA X pasca uji sertifikasi guru. "
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana profesionalitas guru pasca uji sertifikasi MA X. Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Institut Agama Islam Negeri, khususnya program Sarjana, Fakultas Tarbiyah Jurusan Kependidikan Islam, Konsentrasi Manajemen Pendidikan sebagai wujud pelaksanaan dari salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam.
2. Sebagai langkah terapan dari ilmu yang diperoleh peneliti dari bangku kuliah, untuk dijadikan masukan dalam menyelesaikan skripsi.
3. Pemerintah, hasil penelitian ini akan memberikan masukan pada pemerintah untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan kualitas kebijakannya.
4. Hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan, sehingga dapat membantu guru dalam melangsungkan pelaksanaan kebijakan sertifikasi.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kemungkinan adanya salah tafsir atau salah persepsi dalam memahami judul skripsi ini, maka perlu penulis definisikan sebagai berikut : "Profesionalitas Guru MA X Setelah Mengikuti Uji Sertifikasi"
1. Profesionalitas Guru : Kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain, guru professional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas fangungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal atau orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya.
Dari uraian di atas, arti dari professionalitas sangatlah luas, maka dari itu disini penulis memberi batasan dalam penelitian ini. Khususnya dalam proses pembelajaran, yaitu dalam hal :
a. Perencanaan pengajaran
b. Kemampuan melaksanakan pengajaran
c. Kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi.
2. Sertifikasi guru : Surat keterangan (sertifikat) dari lembaga berwenang yang diberikan kepada jenis profesi dan sekaligus pernyataan terhadap kelayakan profesi untuk melaksanakan tugas.
Sebagaimana yang ada di Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi guru, tahap awal yang dilakukan dengan "portofolio", yaitu para gum rams melengkapi semua dokumen yang dimiliki mulai dari pertama (SK pertama) sampai dengan saat dilakukan uji sertifikasi. Bagi yang lolos dan lulus tahap pemberkasan, maka berhak mengikuti tahap selanjutnya. Sebagai pendorong ataupun motivator bagi para guru yang mengikuti uji sertifikasi maka pemerintah memberikan janji akan memberikan gaji sertifikasi sebesar satu bulan gaji bagi para guru yang lolos dan lulus sampai tahap akhir.
Jadi dapat disimpulkan judul skripsi Profesionalitas pasca Uji Sertifikasi Guru adalah kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan yang meliputi perencanaan pengajaran, kemampuan melaksanakan pengajaran kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi. Sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian tentang profesionalitas guru yang telah mengikuti uji sertifikasi, sedangkan pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan melakukan analisa yang bersifat kualitatif. Adapun makna dari metode deskriptif adalah metode penelitian yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesa atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian.
Sedangkan menurut Arif Furchan dalam bukunya "Pengantar Penelitian Pendidikan" penelitian deskriptif adalah penelitian yang melukiskan dan menafsirkan keadaan yang ada sekarang. Penelitian ini berkenaan dengan kondisi atau hubungan yang ada : praktek-praktek yang sedang berlaku, keyakinan, sudut pandang atau sikap yang dimiliki, proses-proses yang berlangsung, pengaruh-pengaruh yang sedang dirasakaan, atau kecenderungan-kecenderungan yang sedang berkembang.
1. Jenis Data dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu data yang tidak bisa diukur secara langsung atau data yang tidak berbentuk angka. Adapun yang dimaksud dalam jenis data dalam penelitian ini data tentang jumlah guru yang mengikuti uji sertifikasi guru dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.
b. Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah keseluruhan obyek penelitian yang dijadikan sasaran penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder.
1) Sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan yaitu melalui wawancara langsung dengan nara sumber, dalam hal ini yang dijadikan nara sumber adalah guru yang telah mengikuti uji sertifikasi guru.
2) Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data-data lain, misalnya :
a. Sumber Data Place yaitu sumber data yang bisa memberikan data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam dan bergerak. Dalam penelitian ini yang merupakan sumber data berupa place adalah lokasi penelitian
b. Sumber Data Paper yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, atau simbol-simbol lain yang cocok untuk penggunaan metode dokumentasi. Adapun yang maksud data paper seperti : gambaran obyek penelitian, keadaan guru.
2. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, prosedur yang digunakan adalah : a. Observasi
Yakni teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau tidak langsung terhadap gejala-gejala yang sedang berlangsung. Teknik ini, penulis gunakan untuk memperoleh gambaran secara umum tentang keadaan lingkungan sekolah MA X, misalnya : Mengenai letak sekolah, keadaan kelas, struktur organisasi, kondisi siswa, mengenai perencanaan pengajaran, proses pelaksanaan pengajaran, kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi guru bagi guru-guru yang sudah mengikuti uji sertifikasi guru,
b. Wawancara
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data denga jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data, komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog (tanya jawab) secara lisan baik langsung atau tidak langsung. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model wawancara bebas terpimpin yaitu gabungan dari wawancara bebas dan terpimpin. Wawancara bebas adalah proses wawancara dimana interview tidak secara sengaja mengarahkan tanya jawab pada pokok-pokok masalah yang akan diteliti.
Jadi wawancara hanya membuat pokok-pokok masalah yang akan diteliti. Selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi dan kondisi maka pewawancara harus pandai mengarahkan yang diwawancarai, apabila ternyata ia menyimpang. Pedoman interview berfungsi sebagai pengendali, jangan sampai proses wawancara kehilangan arah.
Teknik ini, penulis gunakan untuk memperoleh data mengenai pelaksanaan profesionalitas guru MA X pasca uji sertifikasi guru. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang :
1. Sejarah berdirinya MA X
2. Perencanaan pengajaran
3. Kemampuan melaksanakan pengajaran
4. Kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi
c. Dokumentasi
Tidak kalah penting dari teknik-teknik pengumpulan data yang lainnya, adalah dokumentasi. Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku-buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya.
Adapun teknik ini penulis gunakan untuk mendapatkan data tentang judul penelitian seperti : gambaran obyek penelitian dan menenai perencanaan pembelajaran, kemampuan melaksanakan pengajaran, kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi guru MA X yang telah mengikuti sertifikasi guru.
d. Analisa Data
Analisa data merupakan upaya untuk menelaah atau sistematika yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Kemudian data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan kerangka penelitian kualitatif deskriptif yang berupaya menggambarkan kondisi, latar penelitian secara menyeluruh dan sejarah data tersebut ditarik suatu temuan penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti memberikan gambaran secara menyeluruh tentang "Profesionalitas guru MA X pasca uji sertifikasi". Adapun gambaran hasil penelitian tersebut kemudian ditelaah, dikaji dan disimpulkan sesuai dengan tujuan dan kegunaan penelitian. Dalam memperoleh kecermatan, ketelitian dan kebenaran maka peneliti menggunakan pendekatan induktif.
Maksud umum dari pendekatan induktif yaitu memungkinkan temuan-temuan penelitian muncul dari "keadaan umum", tema-tema dominan dan signifikan yang ada dalam data, tanpa mengabaikan hal-hal yang muncul oleh struktur metodologisnya. Pendekatan induktif dimaksudkan untuk membantu pemahaman tentang pemaknaan dalam data yang rumit melalui pengembangan tema-tema yang diiktisarkan dari data kasar, pendekatan ini jelas digunakan dalam analisis data kualitatif.
Analisis data secara induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama, proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak seperti dalam data. Kedua, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjai eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel. Ketiga, analisis induktif lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima, analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.
Dengan langkah penelitian ini untuk mencari suatu kebenaran yang bersifat dari data yang diperoleh dilapangan dan kasus-kasus yang bersifat umum berdasarkan pengalaman nyata yang kemudian dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, preposisi, atau definisi yang bersifat khusus.
Adapun analisa data penelitian dilakukan dengan dua tahap yaitu pertama analisis data selama di lapangan dan analisis data setelah terkumpul. Analisis data selama dilapangan dalam penelitian ini tidak dikerjakan setelah pengumpulan data selesai melainkan selama pengumpulan data berlangsung dan dikerjakan terus-menerus hingga penyusunan laporan penelitian selesai. Sebagai langkah awal, data yang merupakan hasil wawancara bebas dengan key person, dipilah-pilah dan diberi kode berdasarkan kesamaan isu, tema dan masalah yang terkandung didalamnya. Bersamaan dengan pemilihan data tersebut, peneliti memburu data baru.
G. Sistematika Pembahasan
Di dalam sistematika pembahasan skripsi ini terdapat empat bagian (empat bab), pada masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun tujuan dan sistematika pembahasan ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam memahami skripsi, diantaranya yaitu :
BAB I PENDAHULUAN : Dalam pendahuluan dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II LANDASAN TEORI : Landasan teori, dalam hal ini Pertama membahas tentang profesionalitas guru, yang terdiri dari : Pengertian guru, pengertian profesionalitas, dan bentuk profesionalitas guru. Yang Kedua membahas tentang sertifikasi guru, yang terdiri dari : Pengertian sertifikasi guru, tujuan dan manfaat sertifikasi guru, prosedur dan mekanisme sertifikasi, pelaksanaan sertifikasi dan evaluasinya. Dan yang selanjutnya (Ketiga) membahas tentang Uji sertifikasi guru dalam meningkatkan profesionalitas guru.
BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN : Menyajikan tentang laporan hasil penelitian yang menjelaskan tentang gambaran umum obyek penelitian, penyajian data serta analisa data.
BAB IV PENUTUP : Bab empat ini merupakan bab akhir dari pembahasan skripsi yang berisi tentang kesimpulan laporan hasil penelitian, saran-saran yang merupakan hal-hal yang perlu ditindak lanjuti berdasarkan temuan di lapangan.