(Kode : PASCSARJ-0007) : TESIS STRATEGI KEPALA MADRASAH DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU (STUDI KASUS DI MTs X)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kepala madrasah adalah sebagai pengelola institusi atau pelembagaan pendidikan tentu saja mempunyai peran yang teramat penting karena ia sebagai desainer, pengorganisasian, pelaksana, pengelola tenaga kependidikan, pengawas, pengevaluasi program pendidikan dan pengajaran di lembaga yang dipimpinnya. Secara operasional kepala madrasah memiliki standar kompetensi untuk menyusun perencanaan strategis, mengelola tenaga kependidikan, mengelola kesiswaan, mengelola fasilitas, mengelola sistem informasi manajemen, mengelola regulasi atau peraturan pendidikan, mengelola mutu pendidikan, mengelola kelembagaan, mengelola kekompakan kerja (teamwork), dan mengambil keputusan.
Selain kepala madrasah, guru pun juga mempunyai peran yang sangat penting, yaitu sebagai ujung tombak pelaksana proses kegiatan belajar mengajar. Di lapangan guru berperan sebagai transformator (orang yang memindahkan) ilmu pengetahuan, teknologi, menanamkan keimanan, ketaqwaan dan membiasakan peserta didik berakhlakul karimah serta mandiri. Peran itu dilaksanakan sebagai upaya untuk mencapai tujuan pendidikan yang diamanatkan dalam GBHN, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, dan produktif, sehat jasmani dan rohani. Tujuan yang hampir tidak berbeda dikemukakan dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa : Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Agar tercapai tujuan pendidikan seperti yang disebutkan diatas, tentu diperlukan sistem kerjasama yang baik antara kepala madrasah, guru, staf tata usaha dan semua pihak yang berkepentingan (stake holder) dengan pendidikan di madrasah. Kepala madrasah dengan wewenang, kekuasaan dan fungsinya dapat mempengaruhi, memotivasi dan mengarahkan sumber daya yang ada di lembaga yang dipimpinnya. Dalam hal kekuasaan (power), Stone (1988 : 4) mengatakan bahwa semakin banyak sumber kekuasaan yang tersedia bagi pimpinan (kepala madrasah), maka akan semakin besar pula potensi kepemimpinannya menjadi efektif. Peran kepala madrasah yang efektif tentu akan mempengaruhi kinerja guru, sehingga guru menjadi bersemangat dalam menjalankan tugasnya dan mampu menunjukkan prestasi kerja. Hal ini disebabkan guru merasa mendapat perhatian, rasa aman, dan pengakuan atas prestasi kinerjanya, yang pada akhirnya membawa pekerjaannya dapat dilakukan secara baik dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan dan juga memuaskan (accountable and satisfied). Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Maslow dalam Sahertian (1981 : 248-249), memerinci kebutuhan manusia dalam berorganisasi sebagai berikut : manusia butuh rasa aman, hidup layak, kondisi kerja yang menyenangkan, rasa keikutsertaan yang wajar, rasa mampu, pengakuan dan penghargaan atas sumbangan yang diberikan, rasa keterlibatan (keikutsertaan) dalam pembuatan kebijakan, dan mempertahankan self respect. Selain itu tugas guru adalah membantu murid/siswa dalam memperbaiki proses belajar mengajar di madrasah dilihat sebagai suatu sistem. Proses belajar mengajar akan berjalan dengan lancar apabila guru berhasil mengelola kelas. Pengelolaan kelas akan berhasil jika tugas itu mendapatkan kontribusi (sumbangan) dari berbagai faktor manajemen pendidikan di madrasah, dan guru memperoleh kebutuhannya sebagaimana layaknya.
Kepala madrasah diharapkan mampu memberikan motivasi (dorongan) kinerja guru terutama menyangkut tugas pokoknya (guru) seperti : 1) mengenal sebanyak mungkin masing-masing murid; 2) mempunyai ilmu pengetahuan dan ketrampilan mengorganisasi kelas; 3) mempunyai kemampuan mengenal problem kelas; 4) dapat menciptakan dan memelihara lingkungan belajar; 5) dapat menangani problem pengelolaan kelas secara efektif, sebab teknik mengajar dan mengelola kelas (waktu mengajar) sama-sama memegang peranan penting dalam mensukseskan murid dalam belajar; 6) guru yang tidak dapat mendidik atau mengajar adalah guru yang tidak dapat mengelola kelas. (Pidarta, 1970 : 45)
Menurut Mantja (1999 : 3) :
… siswa dan guru merupakan komponen yang menjadi titik perhatian manajemen pendidikan. Pada bagian lain diungkapkan bahwa : ketersediaan sumber daya manusia betapapun lengkapnya tidaklah dengan sendirinya berfungsi secara optimal kearah pencapaian tujuan pendidikan. Karena itulah diperlukan keterpaduan dan penggerakan melalui cara-cara yang efektif dan efisien karena kompleksnya tugas pendidikan dan pengajaran yang diemban oleh guru di sekolah tidak akan mencapai hasil yang optimal.
Menurut pengamatan peneliti secara sekilas bahwa : kepala madrasah Madrasah Tsanawiyah X telah berupaya membedayakan guru-guru di madrasah tersebut, agar berkinerja dalam menjalankan tugas kependidikan dan mendorong mereka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara bertanggung-jawab. Sebagai indikatornya adalah dapat dicontohkan disini, bahwa guru telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab, seperti : membuat program pengajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, melaksanakan penilaian, melaksanakan analisis hasil evaluasi dan lain sebagainya. Kepala madrasah juga memberikan arahan tenang rencana kegiatan (action plan) madrasah secara garis besar maupun secara detail dengan melibatkan guru dalam membuat keputusan strategis.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, penelitian difokuskan pada :
1. Strategi apa saja yang dilakukan oleh kepala madrasah dalam meningkatkan profesionalisme guru ?
2. Bagaimana kinerja guru dalam merespon dan mengimplementasikan strategi kepala madrasah ?
3. Bagaimana hubungan antara strategi kepala madrasah dengan peningkatan profesionalisme guru di Madrasah Tsanawiyah X ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut :
1. Mengetahui strategi apa saja yang dilakukan oleh kepala madrasah dalam meningkatkan profesionalisme guru.
2. Mengetahui bagaimana kinerja guru dalam merespon dan mengimplementasikan strategi kepala madrasah.
3. Mengetahui bagaimana hubungan antara strategi kepala madrasah dengan peningkatan profesionalisme guru di Madrasah Tsanawiyah X.
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian akan selalu membawa manfaat, dan diharapkan hasil penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi kepala madrasah dalam perannya sebagai pengelola institusi pendidikan (manajer).
2. Sebagai bahan masukan bagi kepala madrasah untuk membina profesionalisme guru maupun stafnya.
3. Sebagai bahan masukan bagi kepala madrasah dalam menetapkan planning dan kebijakan strategi pendidikan.
4. Bagi penulis sebagai peneliti, untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman dibidang manajemen pendidikan khususnya tentang strategi kepala madrasah dalam upaya membina dan meningkatkan profesionalisme guru.
E. Definisi Operasional
Untuk lebih jelas dan terhindar dari kesalahan dalam memahami istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka dibawah ini akan dirumuskan dan dijelaskan definisi dari istilah-istilah tersebut.
1. Strategi adalah : 1) siasat perang; 2) ilmu siasat perang; 3) tempat yang baik menurut siasat perang (Surayin, 2003 : 573 ); 4) rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus (Dep. Diknas, 2001:1092). Yang dimaksud disini adalah cara dan seni yang dipakai kepala madrasah dalam merumuskan rencana yang cermat dan menetapkan kebijakan madrasah khususnya dalam membina dan meningkatkan profesional guru dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.
2. Kepala madrasah sama dengan kepala sekolah adalah seorang guru yang memimpin suatu sekolah (berdasarkan agama Islam) (Surayin, 2003:309). Kepala madrasah pada MTs X berperan sebagai manajer, sebagai leader, sebagai administrator, sebagai supervisor (pengawas utama), sebagai climate maker (pembina iklim kerja), sebagai educator (pendidik) dan sebagai entrepreneur atau wiraswastawan (Dit. Dasmen. Standar Kompetensi, 2002:8).
3. Profesionalisme guru
Profesional adalah : 1) bersangkutan dengan profesi; 2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankanya (Surayin, 2003:457); 4) pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau suatu norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU sistem Pen. Nasional. Guru dan Dosen, 2007:85).
Guru adalah : 1) orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar (Surayin, 2003:155); 2) pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU Sistem Pen. Nas Guru dan Dosen, 2007:85).
Maksudnya adalah kemampuan guru untuk mengaktualisasikan tugasnya dalam proses dan hasil kerjanya sesuai dengan profesinya sebagai pendidik.
Jadi yang dimaksud dengan judul tesis : STRATEGI KEPALA MADRASAH DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU (STUDI KASUS DI MTs X) adalah ikhtiar dan tindakan nyata yang dilakukan oleh kepala madrasah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya untuk mendesain dan menetapkan kebijakan-kebijakan dalam rangka membina dan meningkatkan profesional guru, mengingat posisi guru sebagai ujung tombak dalam keberhasilan proses pendidikan di MTs X tersebut.
Home » All posts
STRATEGI KEPALA MADRASAH DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU (STUDI KASUS DI MTs X)
JUDUL TESIS PROGRAM PASCASARJANA
This summary is not available. Please click here to view the post.
TESIS PEMANFAATAN DANA INPRES DESA TERTINGGAL PASCA PROGRAM STUDI DI DESA X
(Kode : PASCSARJ-0005) : TESIS PEMANFAATAN DANA INPRES DESA TERTINGGAL PASCA PROGRAM STUDI DI DESA X (PRODI : MAGISTER MANAJEMEN)
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan hipotesis.
A. Latar Belakang Masalah.
Kemiskinan seringkali dipahami sebagai gejala rendahnya tingkat kesejahteraan semata padahal kemiskinan merupakan gejala yang bersifat kompleks dan multidimensi. Rendahnya tingkat kehidupan yang sering sebagai alat ukur kemiskinan pada hakekatnya hanya merupakan salah satu mata rantai dari munculnya lingkaran kemiskinan.
Kemiskinan menjadi masalah negara khususnya di negara-negara dunia ketiga sebagaimana dalam kutipan publikasi Bank Dunia dalam Kuncoro (1995 : 104) tentang klasifikasi negara berdasarkan kelompok penghasilannya. Negara berpenghasilan rendah dan menengah yang seringkali disebut negara berkembang (developing countries) memiliki karakteristik yang relatif sama yaitu antara lain : a) tingkat kehidupan yang rendah yang berdampak pada tingkat produktivitas rendah; b) pertumbuhan penduduk dan tingkat ketergantungan yang tinggi; c) tingkat pengangguran dan setengah pengangguran tinggi cenderung meningkat; d) ketergantungan terhadap produksi pertanian dan ekspor produk primer demikian signifikan; e) dominan tergantung dan rentan terhadap hubungan internasional.
Kemiskinan memiliki wujud yang beraneka ragam termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber produktif yang menjamin kehidupan yang berkesinambungan, kelaparan, kekurangan gizi, rendahnya tingkat kesehatan, keterbelakangan, kurang akses kepada pendidikan serta layanan-layanan pokok lainnya. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.
Gambaran kemiskinan tersebut di atas memenuhi kriteria kemiskinan sebagian besar di Indonesia. Kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tak dapat ditunda lagi dengan dalih apapun dan menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam paradigma pembangunan kebijaksanaan dan strategi penanggulangan kemiskinan ditempuh dengan strategi tidak langsung melalui kebijaksanaan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Sebagai indikator berhasil tidaknya pembangunan semata-mata hanya dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional sehingga berbagai program penanggulangan kemiskinan lebih bersifat dari atas.
Setelah bertahun-tahun penerapan kebijaksanaan dan strategi melalui pertumbuhan ekonomi ini ternyata belum mencapai hasil yang diharapkan tetapi justru muncul kantong-kantong kemiskinan sebab program ini cenderung disusun dengan asumsi bahwa orang miskin belum mampu menolong dirinya sendiri sehingga perlu bantuan dari pihak luar dan cenderung bias birokrasi sebagai inspirator program akibatnya kebijaksanaan ini hanya dinikmati oleh segelintir orang terutama para pemilik modal dan kelompok elit nasional. Tanpa disadari munculnya kesenjangan sosial, dan ekonomi. Dengan demikian pendekatan pembangunan yang bertujuan mengurangi dan menghapus kemiskinan memerlukan kajian yang mendalam sebab pada dasarnya konsep tentang kemiskinan itu sendiri bersifat dinamis dan tidak statis. Menyadari bahwa pendekatan pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi kurang memberikan akses yang tepat untuk pemerataan pembangunan, pendapatan, partisipasi dan kreativitas masyarakat, serta distribusi kekayaan sehingga diupayakan penanggulangan kemiskinan secara langsung yang lebih substansial. Penanganan kemiskinan lebih mendasar melalui upaya peningkatan sumber daya manusia, peningkatan upaya permodalan, pengembangan usaha, peluang kerja dan penguatan kelompok penduduk miskin.
Bertitik tolak pada permasalahan tersebut diatas, maka munculah Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan melalui program IDT yang bertujuan :
1. Memadukan gerak langkah semua instansi, lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk mendukung pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan;
2. Membuka peluang bagi penduduk miskin di desa tertinggal untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya dengan cara menciptakan dan memperluas lapangan kerja produktif melalui peningkatan berbagai kegiatan pembangunan di desa tertinggal;
3. Mengembangkan dan memantapkan kehidupan ekonomi penduduk miskin melalui penyediaan bantuan khusus;
4. Meningkatkan kesadaran, kemauan, tanggung jawab, harga diri, rasa kebersamaan dan rasa percaya diri masyarakat.
Kelahiran IDT tidak saja menunjukkan tekad pemerintah mengentaskan kemiskinan tetapi juga sebagai bagian perwujudan bahwa masyarakat tidak lagi sebagai obyek tetapi sebagai subyek pembangunan yang mengambil peran dalam setiap upaya penanggulangan kemiskinan artinya mereka berkuasa membuat dan menjalankan programnya sendiri sehingga pemanfaatan dana IDT pada dasarnya diserahkan kepada penduduk miskin itu sendiri. Mereka yang paling mengetahui sesuatu yang harus diusahakan dan kebutuhan yang paling mendesak dengan bimbingan pemerintah dan tenaga pendamping.
Sasaran dari IDT adalah kelompok miskin di desa tertinggal. Program IDT mengandung tiga pengertian dasar yaitu sebagai berikut :
1. Sebagai pendorong masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan;
2. Sebagai strategi dalam pemerataan pembangunan;
3. Sebagai pengembangan ekonomi rakyat melalui pemberian dana bergulir untuk modal usaha bagi penduduk miskin.
Batasan kelompok penduduk miskin menurut Aisyah mengutip pendapat Sajogya (1997 : 153) bahwa kemiskinan dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu sebagai berikut :
1. Miskin apabila tingkat pendapatannya lebih kecil dari 320 kg nilai tukar beras per kapita per tahun untuk pendesaan dan 480 kg untuk perkotaan;
2. Miskin sekali bila seseorang mempunyai pendapatan 240 kg nilai tukar beras perkapita per tahun untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk perkotaan;
3. Melarat dengan pengeluaran sebesar 180 kg nilai tukar beras per kapita per tahun untuk pedesaan dan 270 kg beras untuk perkotaan.
Menurut Mubyarto (1998 : 84) di Jawa Tengah cara menentukan penduduk miskin dengan kriteria sebagai berikut :
1. Tidak mampu makan setara 2.100 kalori per orang per hari;
2. Tingkat pengetahuan, ketrampilan, dan derajat kesehatan rendah;
3. Tidak mempunyai mata pencaharian yang tetap;
4. Pendapatan per kapita per hari kurang dari Rp 500,-;
5. Partisipasi dalam pembangunan rendah;
6. Kondisi perumahan dan lingkungan minimal;
7. Kepemilikan perlengkapan rumah tangga terbatas;
8. Kepemilikan lahan sangat sempit dan tidak produktif.
Berdasarkan Mubyarto (1998 : 8) selama tiga tahun pelaksanaan program IDT di propinsi Jawa Tengah telah menerima dana sebesar Rp 148,94 M :
1. Tahun anggaran 1994/1995 sebesar Rp. 48,78 milyar untuk 443.358 KK dalam 17. 461 pokmas di 2.439 desa;
2. Tahun anggaran 1995/1996 sebesar Rp. 50,48 milyar diperuntukkan 17.398 pokmas di 2.564 desa dan 336.199 KK;
3. Tahun anggaran 1996/1997 sebesar Rp. 49,68 milyar diperuntukkan 2.484 desa.
Dana IDT yang diberikan kepada masyarakat sebagai pancingan bagi kelompok penduduk miskin untuk menumbuhkan, memperkuat kemampuan, dan membuka kesempatan berusaha agar dapat meningkatkan taraf hidup serta memberikan manfaat yang berkelanjutan, tidak berhenti, terus bergulir sebagai dana yang abadi milik masyarakat desa. Keberhasilan program yang sebelumnya di bawah bimbingan teknis pemerintah dan tenaga pendamping diharapkan tetap bisa berjalan dan dikelola dengan baik oleh pokmas.
Keberhasilan program IDT yang sebelumnya diwarnai campur tangan pemerintah yang sangat dominan dan keberadaan para tenaga pendamping IDT untuk membantu pelaksanaan program masih terdapat hambatan apalagi bila tanpa bantuan pemerintah dan tenaga pendamping.
Dana IDT diharapkan memberi manfaat berkelanjutan kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat miskin pedesaan sebagian besar hidup dalam lingkaran yang serba terbatas, tidak berdaya, rentan terhadap penyakit, kurang pendidikan, berpendapatan rendah, dan terisolasi secara fisik maupun mental. Keterbatasan ini memberikan pengaruh bagi kelangsungan program IDT pasca pemberian kredit IDT maka perlu dikaji apakah dana ini terus bergulir. Hambatan lain dalam pelaksanaan program IDT ini adalah hambatan internal dari kelompok sasaran miskin antara lain hambatan struktural, kultural, alamiah, yang bersifat ketidakberdayaan dan hambatan yang bersifat eksternal bersumber pada aspek kelembagaan dan adminitrasi birokrasi pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan program IDT di desa X tidak lepas dari hambatan internal maupun eksternal.
Dugaan sementara dana tidak berkembang adalah disebabkan karena kegiatan usaha yang dilakukan pokmas memiliki jangka waktu lama untuk menghasilkan uang tunai dan kesulitan dalam memasarkan hasil produksi. Anggota pokmas enggan menerima dana untuk dikembangkan karena takut mengalami kegagalan atau kemacetan dana pada suatu kelompok atau anggota pokmas.
Berdasarkan serangkaian data maupun fakta tentang seputar pelaksanaan program IDT di desa X menarik untuk dikaji lebih lanjut apakah dana bergulir dari program IDT yang dialokasikan di desa tersebut selama tiga tahun anggaran itu masih bergulir sebagai dana abadi masyarakat setelah tidak ada lagi program pemberian bantuan IDT dari pemerintah.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sampai berapa jauh faktor jenis usaha, besar dana yang diterima dan partisipasi pokmas mempengaruhi terhadap keberlanjutan pemanfaatan dana bergulir IDT;
2. Seberapa jauh harapan anggota pokmas dalam memanfatkan dana bergulir IDT pasca program setelah tidak ada dana IDT lagi.
C .Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejauh mana faktor jenis usaha, besar dana yang diterima, dan partisipasi anggota pokmas mempengaruhi terhadap keberlanjutan pemanfaatan dana bergulir IDT;
2. Untuk mengetahui sejauh mana harapan anggota pokmas memanfaatkan dana bergulir IDT pasca program setelah tidak ada lagi dana IDT bagi pokmas.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tesis ini diharapkan bermanfaat :
1. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang berkepentingan dalam membuat kebijaksanaan untuk memilih strategi pelaksanaan program sejenis di masa yang akan datang sehingga lebih efektif dan efesien;
2. Memberikan kontribusi secara aplikatif kepada masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan;
3. Sebagai bahan acuan dalam penelitian sejenis di tempat lain dan memberikan kesempatan untuk menerapkan teori ke dalam praktek yang sesungguhnya.
E. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. "Jenis usaha yang dilakukan, besar dana diterima, dan partipasi anggota pokmas memiliki pengaruh yang positif terhadap keberlanjutan pemanfaatan dana bergulir IDT"
2. "Diduga anggota pokmas tetap berharap tentang keberlanjutan pemanfaatan dana IDT pasca program"
TESIS KUALITAS PROSES DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI MELALUI PENGAJARAN DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW PADA MADRASAH ALIYAH X
(Kode : PASCSARJ-0003) : TESIS KUALITAS PROSES DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI MELALUI PENGAJARAN DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW PADA MADRASAH ALIYAH X (PRODI : PENDIDIKAN SAINS)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada saat ini dihadapkan pada tuntutan tujuan yang semakin canggih, semakin meningkat baik ragam, lebih-lebih kualitasnya (Tilaar, 1997). Di sisi lain, berdasarkan hasil evaluasi dengan kurikulum 1994 yang berbasis kontent (Karim, 2000), diketahui bahwa siswa belum mencapai kemampuan optimalnya. Siswa hanya tahu banyak fakta tetapi kurang mampu memanfaatkannya secara efektif. Sementara itu, pemerintah dan masyarakat berharap agar lulusan dapat menjadi pemimpin, manajer, inovator, operator yang efektif dan yang mampu beradaptasi dengan perubahan. Oleh sebab itu, beban yang diemban oleh sekolah, dalam hal ini adalah guru sangat berat, karena gurulah yang berada pada garis depan dalam membentuk pribadi anak didik. Dengan demikian sistem pendidikan di masa depan perlu dikembangkan agar dapat menjadi lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat dan tantangan yang akan dihadapi di dunia kerja di masa mendatang.
Dewasa ini, banyak jalur pendidikan yang diupayakan, baik oleh pemerintah berupa sekolah umum maupun yang dikembangkan oleh swasta atau sekolah masyarakat, misalnya sekolah yang dikembangkan di dalam pondok-pondok pesantren. Seluruh jalur pendidikan yang dikembangkan pada hakikatnya mempunyai tuntutan dan tanggung jawab moral yang sama terhadap lulusan atau terhadap kelanjutan peserta didik.
Sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945, tidak sedikit pesantren menerapkan pendidikan dengan sistem madrasah, dan kini terus berkembang sejalan dengan perkembangan sosial yang ada. Sejak tahun 1970-an sejumlah pesantren bahkan membuka sekolah-sekolah umum yaitu SD, SLTP, SMU, dan SMK. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran di lingkungan pengasuh pesantren, bahwa tidak semua alumni pondok pesantren ingin menjadi ulama, ustaz, ataupun dai. Mereka justru kebanyakan ingin menjadi warga biasa, yang tidak terlepas dari kebutuhan melanjutkan pendidikan dan mencari pekerjaan yang tentu saja memerlukan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Bahkan sejak tahun 1970-an banyak pesantren memberikan pembekalan dan keterampilan ekonomi bagi santrinya, serta terlibat dalam upaya pemberdayaan ekonomi bagi rakyat di lingkungannya (Azizy, A., 2002).
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memberi pengajaran agama Islam. Menurut Muhtarom (2002), tujuannya tidak semata-mata memperkaya pikiran santri atau siswa dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan yang Islami, tetapi juga untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Dari uarian di atas, jelas bahwa pendidikan pada Madrasah Aliyah Pondok Pesantren dihadapkan pada dualisme tuntutan. Di satu sisi, lulusan harus dipersiapkan dengan kemampuan akademis yang memadai agar bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi atau perguruan tinggi, di sisi lain, lulusan dituntut harus mempunyai moralitas yang tinggi atau yang lebih dikenal dengan berakhlak mulia sesuai dengan tuntutan Qur'an dan sunnah Rasulullah agar nantinya setelah kembali ke masyarakat dapat menjadi contoh dan teladan yang baik bagi masyarakat. Bahkan jauh dari itu, lulusan diharapkan bisa menjadi seorang dai yang akan menyebarkan nilai-nilai Ilahiyah kepada seluruh lapisan masyarakat.
Kemampuan akademis yang diharapkan adalah sama dengan yang dituntut pada sekolah menengah umum, meliputi kemampuan bidang umum antara lain biologi, fisika, kimia, matematika dan sebagainya dan ditambah dengan kemampuan akademis bidang agama Islam dan kepondokan antara lain Aqidah Akhlaq, Fiqih, Ilmu Hadis, dan sebagainya. Tuntutan akademis bidang agama Islam dan kepondokan inilah yang membedakan pendidikan pada Madrasah Aliyah Pondok Pesantren dengan bidang akademis pada sekolah menengah umum (SMU). Sedangkan tuntutan moralitas atau akhlak mulia antara lain; sikap menghormati dan menghargai sesama manusia, menghargai pendapat orang lain, menghargai adanya perbedaan antar pribadi dalam segala aspek, demokratis, dan sikap-sikap positif lainnya. Dengan demikian, upaya inovasi pengajaran yang mengarah kepada pencapaian kedua tujuan tersebut mutlak diperlukan pada madrasah pondok pesantren.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa inovasi pendidikan pesantren terasa urgen dan mendesak untuk dilakukan. Dalam kaitan ini Sudirman Tebba, seorang peneliti pesantren yang dikutip dalam Magfurin (2002) mengemukakan alasannya, yaitu (a) Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, dakwah, dan sosial dirasakan oleh banyak pihak memiliki potensi besar untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan dan pengembangan masyarakat, (b) Jumlah pesantren potensial terbukti pula melaksanakan usaha kreatif yang bersifat rintisan. Upaya inovasi pembelajaran dalam lingkup madrasah pondok pesantren perlu dikembangkan sambil terus melakukan upaya pembenahan terhadap masalah utama yang dihadapi pesantren, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal.
Jika ditelaah lebih mendalam pola pengajaran yang dilakukan pada madarasah pondok pesantren, seperti pada Madrasah Aliyah Pondok Pesantren X berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, maka masih kurang adanya kesesuaian pola pengajaran yang dilakukan dengan dualisme tuntutan pendidikan. Pengajaran bidang-bidang akademis masih dilakukan secara konvensional yang hanya membuahkan kemampuan yang bersifat kognitif semata bagi siswa. Padahal salah satu titik tumpu untuk mencapai dualisme tuntutan di atas adalah melalui pengajaran bidang akademis tersebut. Pola pengajaran yang ada menuntut siswa berakhlak mulia atau bermoralitas tinggi hanya melalui penanaman pemahaman (kognitif) atau pengkajian terhadap ayat-ayat Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis pada hampir seluruh bidang keagamaan atau kepondokan seperti mata pelajaran aqidah akhlak, fiqih, ilmu hadis, dan sebagainya.
Jika dianalisis lebih mendalam, bahwa hampir semua sikap positif yang terkandung dalam istilah "akhlak mulia" atau "bermoral" adalah sama halnya dengan keterampilan. Keterampilan tersebut agar bisa mendarah daging pada peserta didik harus dilatihkan secara terus-menerus dan terintegrasi pada semua hidang studi. Jadi tidak cukup dengan pemahaman dan pengkajian saja yang, akan membuahkan hasil yang sifatnya kognitif bagi siswa.
Pada Madrasah Aliyah Ponpes X, sebagaimana sekolah menengah umum, pengajaran IPA, khususnya biologi disesuaikan dengan kurikulum IPA biologi yang berlaku, baik tujuan maupun struktur materi. Tetapi pengajaran biologi hanya terbatas pada produk atau fakta, konsep dan teori saja. Padahal IPA itu sendiri terdiri dari tiga komponen yaitu produk, proses, dan sikap.
Adanya pola pengajaran yang dilakukan pada Madrasah Aliyah Pondok Pesantren X tersebut, di antaranya disebabkan karena kurangya pengetahuan dan pengalaman guru terhadap model pembelajaran yang tepat, dan kurang tersedianya perangkat pembelajaran yang sesuai. Model pembelajaran dan perangkat pembelajaran yang dimaksud adalah, yang bisa meningkatkan kemampuan akademik, melatihkan keterampilan berbicara, sekaligus menanamkan moralitas kepada siswa. Secara teoritis, untuk mengatasi permasalahan tersebut di antaranya dengan mengembangkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Tersedianya perangkat pembelajaran merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang proses pembelajaran berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nur (1999a), bahwa perangkat pembelajaran memberikan kemudahan dan dapat membantu guru dalam mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas.
Perangkat ini menyediakan sejumlah strategi untuk mendorong siswa menggunakan gaya-gaya belajar berbeda. Sehingga dengan perencanaan yang seksama, kebutuhan untuk seluruh siswa dapat dipenuhi dalam kelas Sains.
Pola pengajaran seperti yang telah diuraikan di atas, menjadi salah satu penyebab rendahnya prestasi akademik mata pelajaran biologi lulusan Madrasah Aliyah Ponpes X, seperti yang tertera pada tabel 1.1. Sekarang ini, sudah menjadi animo bagi masyarakat umum, bahwa lulusan Pondok Pesantren setelah berada dalam lingkungan masyarakat, mempunyai pola tingkah laku yang tidak jauh berbeda dengan lulusan SMU, karena tujuan yang menuntut lulusan berakhlak mulia atau bermoral tinggi hanya ada pada otak siswa atau lulusan sebagai pengetahuan kognisi.
Tabel 1.1
** TABEL SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **
Data tersebut menunjukkan masih rendahnya prestasi akademik lulusan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren X untuk mata pelajaran biologi. Harus disadari bahwa banyak parameter yang mempengaruhi hasil pendidikan, seperti; intelegensi siswa, ketersediaan sarana dan prasarana belajar, latar belakang pendidikan guru, kemampuan guru dalam mengorganisasikan pembelajaran, dan lain sebagainya. Tetapi yang sangat penting dilakukan sekarang ini adalah mengembangkan perangkat pembelajaran, sekaligus melatihkan kepada guru suatu model pembelajaran yang diharapkan bisa mewujudkan dualisme tujuan tersebut.
Tugas guru tidak hanya sekedar mengupayakan para siswanya untuk memperoleh berbagai pengetahuan produk dan keterampilan. Lebih dari itu, guru harus dapat mendorong siswa untuk dapat bekerja secara kelompok dalam rangka menumbuhkan daya nalar, cara berpikir logis, sistematis, kreatif, cerdas, terbuka, dan ingin tahu. Oleh sebab itu dalam kegiatan belajar mengajar perlu dikembangkan pengalaman-pengalaman belajar melalui pendekatan dan inovasi model-model pembelajaran yang sesuai.
Pembelajaran IPA khususnya diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang mendorong siswa belajar secara aktif, baik fisik, mental-intelektual, maupun sosial (kelompok) untuk memahami konsep-konsep IPA, khususnya biologi. Dalam mengembangkan pembelajaran biologi di kelas, yang diharapkan adalah keterlibatan aktif seluruh siswa dalam kegiatan pembelajaran, menemukan sendiri pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Intinya pembelajaran biologi yang dikehendaki menurut kurikulum SMU/MA 1994 adalah pembelajaran yang tidak mengabaikan hakikat IPA dan mencerminkan sifat IPA sebagai ilmu pengetahuan alam. Hakikat IPA yang dimaksud adalah mencakup produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah melalui pendekatan keterampilan proses yaitu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang menekankan pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan pemerolehannya.
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman penulis, bahwa dalam kegiatan belajar mengajar biologi yang ada pada Madrasah Aliyah Ponpes X Putri selama ini sebenarnya guru bidang studi biologi sudah menerapkan pembelajaran berkelompok untuk menyampaikan konsep-konsep biologi. Beberapa tugas yang harus dikerjakan siswa secara kelompok seperti mengerjakan praktikum di laboratorium, tugas mengerjakan soal-soal latihan, tugas membaca, dan masih banyak lagi tugas lainnya. Tetapi kalau dicermati, kegiatan kelompok tersebut bukan pembelajaran kooperatif. Tujuan dari kerja kelompok hanya menyelesaikan tugas. Kegiatan belajar mengajar tersebut biasanya hanya didominasi oleh siswa yang pandai, sementara siswa yang kemampuannya rendah kurang berperan dalam mengerjakan tugas kelompok. Di samping itu juga siswa tidak dilatihkan untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan menghargai pendapat orang lain. Akibat cara kerja kelompok seperti ini menyebabkan siswa yang kemampuannya kurang memperoleh hasil belajar biologi yang tetap rendah dan adanya kesenjangan yang terlalu jauh antara hasil belajar siswa yang pandai dengan hasil belajar siswa yang kurang pandai.
Pada mata pelajaran biologi SMU/MA kelas I semester 2, terdapat pokok bahasan "Aksi Interaksi". Pokok bahasan Aksi Interaksi membahas tentang hubungan timbal balik antar komponen biotik dengan biotik, dan hubungan komponen biotik dan abiotik dalam ekosistem. Pokok Bahasan Aksi Interaksi terdiri dari tiga subpokok bahasan, yaitu subpokok bahasan pola-pola aksi interaksi, subpokok bahasan suksesi, dan subpokok bahasan macam-macam ekosistem. Setiap subpokok bahasan bukan merupakan materi persyaratan untuk materi yang lain. Berdasarkan tuntutan GBPP Bidang Studi Biologi Kurikulum 1994, pembelajaran yang dianjurkan adalah pembelajaran dengan pendekatan kelompok yang berbasis pada keterampilan proses dan aktivitas siswa yang berorientasi pemecahan masalah berdasarkan pengamatan dan diskusi dengan menggunakan metode ilmiah untuk memahami prinsip dan pola interaksi dalam ekosistem. Dengan demikian, pembelajaran yang mungkin dilakukan adalah pembelajaran yang berorientasi pemecahan masalah berdasarkan hasil pengamatan dan diskusi kelompok yang identik dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Pengajaran pokok bahasan Aksi Interaksi pada MA Ponpes X biasanya dilakukan dengan metode diskusi. Untuk mengarahkan diskusi guru memberikan sejumlah pertanyaan kepada kelompok yang memuat hampir seluruh isi materi yang ada dalam konsep tersebut. Hasil evaluasi pengajaran konsep ini juga tetap menunjukkan adanya perbedaan yang terlalu jauh antara hasil belajar siswa yang pandai dan hasil belajar siswa yang kurang pandai.
Di sisi lain, berdasarkan hasil wawancara dengan guru bidang studi biologi juga menunjukkan bahwa, selama ini guru bidang studi jarang melakukan kegiatan remedial terhadap siswa yang mempunyai daya serap kurang dan hasil belajar rendah. Kegiatan yang biasa dilakukan adalah memantapkan pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan atau membahas soal-soal biologi menjelang ulangan catur wulan.
Sebagai bagian dari upaya menyikapi adanya dualisme tuntutan pendidikan dan kenyataan yang terjadi pada Madrasah Aliyah Pondok Pesantren X tersebut, maka salah satu yang perlu dilakukan antara lain berupa pengembangan perangkat pembelajaran. Dalam pengembangan perangkat pembelajaran yang diperlukan saat ini adalah pembelajaran yang inovatif dan kreatif yaitu antara lain mengembangkan pembelajaran yang berorientasi model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Dewasa ini telah banyak digunakan model pembelajaran kooperatif. Bahkan pembelajaran kooperatif ini merupakan suatu model pembelajaran yang banyak dikembangkan. Beberapa ahli menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tidak hanya unggul dalam membantu siswa untuk memahami konsep-konsep, tetapi juga membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerja sama, berpikir kritis dan mengembangkan sikap sosial siswa. Di samping itu, keterampilan kooperatif menjadi semakin penting untuk keberhasilan dalam menghadapi tuntutan lapangan kerja yang sekarang ini berorientasi pada kerja sama dalam tim. Karena pentingnya interaksi dalam tim, maka penerapan strategi pembelajaran kooperatif dalam pendidikan menjadi lebih penting lagi.
Dalam pembelajaran kooperatif terdapat bermacam-macam tipe, salah satunya adalah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Lie A. (1994) menyatakan bahwa, jigsaw merupakan salah satu tipe metode pembelajaran kooperatif yang fleksibel. Sejumlah riset telah banyak dilakukan berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dengan dasar jigsaw. Riset tersebut secara konsisten menunjukkan bahwa siswa yang terlibat dalam pembelajaran semacam itu memperoleh prestasi yang lebih baik, dan mempunyai sikap yang lebih baik pula terhadap pembelajaran.
Dari uraian di atas, perlu untuk melakukan penelitian dengan mengembangkan perangkat pembelajaran yang bercirikan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahan pembelajaran biologi pada Madrasah Aliyah Ponpes X. Penelitian ini berjudul 'Kualitas Proses dan Hasil Belajar Biologi Melalui Pengajaran dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Madrasah Aliyah Ponpes X NTB."
Pada dasarnya penelitian yang dilakukan ini adalah mengembangkan perangkat pembelajaran yang berorientasi pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, yang meliputi; Materi Ajar, Rencana Pembelajaran, Lembar Kegiatan Siswa, dan Instrumen Tes Hasil Belajar.
B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah "Bagaimana kualitas proses belajar mengajar dan kualitas hasil belajar biologi siswa pokok bahasan Aksi Interaksi melalui pengajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada Madrasah Aliyah Ponpes X ?"
Rumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
(1) Bagaimanakah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe jigsaw?
(2) Bagaimanakah aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw?
(3) Bagaimanakah aktivitas guru dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw?
(4) Bagaimanakah keterampilan kooperatif siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw?
(5) Bagaimanakah respon siswa terhadap penerapan perangkat pembelajaran dan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw?
(6) Bagaimanakah kesan guru terhadap penerapan perangkat pembelajaran dan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang diterapkan?
(7) Bagaimanakah hasil belajar siswa berupa produk dan proses pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
(1) Mengembangkan perangkat pembelajaran Biologi SMU/MA yang bercirikan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pokok bahasan Aksi Interaksi.
(2) Mengetahui kualitas proses dan hasil belajar biologi pokok bahasan Aksi Interaksi melalui penerapan perangkat dan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada siswa kelas I Madrasah Aliyah Ponpes X
2. Tujuan Khusus
Tujuan umum penelitian nomor dua dapat dirinci menjadi tujuan khusus sebagai berikut :
(1) Mendeskripsikan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
(2) Mendeskripsikan aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
(3) Mendeskripsikan aktivitas guru dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
(4) Mendeskripsikan keterampilan kooperatif yang dilakukan siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
(5) Mendeskripsikan respon siswa terhadap penerapan perangkat pembelajaran dan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
(6) Mendeskripsikan kesan guru terhadap penerapan perangkat pembelajaran dan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang diterapkan.
(7) Mendeskripsikan hasil belajar siswa berupa produk dan proses pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
D. Asumsi dan Pembatasan Penelitian
1. Asumsi
(1) Siswa yang menjadi subjek penelitian mempunyai ciri perkembangan pribadi yang setara.
(2) Adanya pengamat selama KBM berlangsung tidak menimbulkan pengaruh psikologis yang berarti terhadap guru mitra dan siswa.
(3) Siswa bekerja secara mandiri dan sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal tes hasil belajar.
(4) Siswa dalam mengisi angket respon siswa sesuai dengan pendapatnya sendiri.
(5) Pengamat dalam memberikan penilaian bersifat objektif.
2. Pembatasan Penelitian
(1) Sasaran penelitian terbatas pada siswa MA kelas I Ponpes X
(2) Model pembelajaran kooperatif yang diterapkan adalah kooperatif tipe jigsaw.
(3) Keterampilan kooperatif yang dilatihkan, yaitu menghargai kontribusi, mengambil giliran dan berbagi tugas, mengajukan pertanyaan, mendengarkan secara aktif, dan memeriksa ketepatan.
(4) Pokok bahasan yang digunakan adalah Aksi Interaksi, kelas I semester 2.
E. Manfaat Penelitian
(a) Tersedianya perangkat pembelajaran yang bercirikan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw untuk pengajaran siswa Madrasah Aliyah kelas I, semester II, pokok bahasan Aksi Interaksi.
(b) Memberikan kemudahan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran kooperatif.
(c) Memperluas wawasan pengetahuan guru tentang model pembelajaran.
F. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari perbedaan pemahaman beberapa istilah yang digunakan dalam judul dan pertanyaan penelitian, perlu diberikan penjelasan sebagai berikut. a. Kualitas Proses Belajar Mengajar adalah kualitas pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pokok bahasan Aksi Interaksi dengan penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw yang dideskripsikan melalui (1) kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe jigsaw; (2) aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw; (3) aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe jigsaw; (4) keterampilan kooperatif siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw; dan (5) respon siswa dan kesan guru terhadap pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
b. Kualitas Hasil Belajar merupakan gambaran ketuntasan belajar siswa yang meliputi ketuntasan TPK, ketuntasan individual, dan ketuntasan klasikal terhadap TPK yang dianalisis dari skor hasil tes siswa.
c. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw yaitu model pembelajaran yang menuntut siswa belajar secara kelompok dengan anggota 4 sampai 6 orang siswa yang mempunyai kemampuan heterogen. Dalam penelitian ini, satu kelompok terdiri dari lima sampai enam orang yang merupakan campuran antara siswi yang mempunyai kemampuan beragam. Masing-masing anggota kelompok asal bertemu dalam kelompok ahli untuk membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok. Setelah pembahasan selesai kemudian kembali ke kelompok asal dan menjelaskan pada teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan materi.
d. Perangkat pembelajaran adalah sekumpulan sumber belajar yang terdiri dari; Materi Ajar, Lembar Kegiatan Siswa, encana Pembelajaran, Instrumen Tes Hasil Belajar, dan lembar panduan pembelajaran bercirikan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw bagi guru.
TESIS PENGARUH WIRAUSAHA TERHADAP PENGEMBANGAN KARIR INDIVIDU PADA DISTRIBUTOR MULTI LEVEL MARKETING X
(Kode : PASCSARJ-0002) : TESIS PENGARUH WIRAUSAHA TERHADAP PENGEMBANGAN KARIR INDIVIDU PADA DISTRIBUTOR MULTI LEVEL MARKETING X (PRODI : PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA)
BAB 1
PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia sejak tahun 1996 tidak saja melumpuhkan dunia usaha, tetapi juga menggoyahkan sendi-sendi kesejahteraan masyarakat luas. Dunia kerja menjadi kian sempit, sementara masyarakat yang membutuhkan kerja terus meningkat. Adanya penganguran dalam anggota keluarga berarti masalah bagi anggota keluarga yang lain. Sebab, mereka terpaksa menanggung beban hidup anggota keluarga yang menganggur. Secara luas, ini juga berarti pengangguran yang disebabkan ketiadaan lapangan kerja akhirnya menjadi beban tanggungan masyarakat juga. Pengangguran ini bukanlah hasil sebuah pilihan untuk tidak bekerja, tetapi akibat dari semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan, terutama dikota-kota besar.
Masyarakat yang tinggal di perkotaan sering mengharapkan mendapat pekerjaan formal di kantor-kantor, baik pemerintah maupun swasta. Namun, justru sektor seperti itulah yang pada masa -masa ini paling merasakan dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan. Konsekwensinya adalah efisiensi tenaga kerja dengan sedikit menyerap tenaga kerja baru.
Pada tahun 1996 tingkat pengangguran masih 4,9 persen, dua tahun setelah krisis naik menjadi 6,3 persen, lalu naik lagi menjadi 8,1 persen pada tahun 2001. Setahun kemudian angka pengangguran merangkak naik menjadi 9,1 persen yang berarti jumlah penganggur telah lebih dari 10 juta orang atau 9,9 persen dari angkatan kerja. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga memperkirakan pada tahun 2004 jumlah angkatan kerja akan mencapai 102,88 juta orang, termasuk angkatan kerja baru 2,10 juta orang (Sukernas-BPS 2002).
Penciptaan lapangan kerja yang tak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja baru itu menyebabkan angka pengangguran terbuka tahun 2004 meningkat menjadi 10,88 juta orang (10,32 persen dari angkatan kerja), dari tahun sebelumnya 10,13 juta orang (9,85 persen dari angkatan kerja). Terjadinya over-supply tenaga yang tidak diimbangi oleh demand yang memenuhi standar. Sementara tuntutan kualitas sumber daya manusia makin lama makin tinggi dan menuntut kekhususan yang lebih sulit lagi untuk dipenuhi. Dengan melihat kondisi tersebut maka sektot informal merupakan alternatif dapat membantu menyerap orang -orang yang menganggur, tetapi kreatif dan menjadi peredam di tengah pasar global.
Lapangan kerja yang terbatas membuat orang mencari jalan untuk bertahan hidup agar dapat hidup layak. Oleh karena itu untuk menumbuhkan perilaku wirausaha pada masyarakat luas khususnya para pencari kerja akan sangat penting dan strategis bagi pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang bermutu, memiliki kejelian dalam menciptakan peluang usaha sendiri yang kreatif dan tetap proaktif mengembangkan usaha tanpa meninggalkan potensi lokal dalam menghadapi pasar global.
Berwirausaha merupakan satu alternatif jalan keluar terbaik. Wirausaha adalah orang yang memiliki dan mengelola serta menjalankan usahanya. Wirausaha didefinisikan sebagai orang yang memiliki gagasan (idea man) dan manusia kerja (man of action) sering dikaitkan orang yang inovatif atau kreatif (Holt, 1992 : 85). Orang yang mendorong perubahan sangat penting dalam menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Wirausaha adalah orang yang suka mengambil resiko dan mampu mengembangkan kreatifitasnya.
Terdapat berbagai macam penggolongan mengenai wirausaha. Gartner (1988 : 268) menggolongkan tipe kewirausahaan berdasarkan bagaimana aktifitas kewirausahaan yang dilaksanakan. Ada 8 tipe, yaitu (1) pelarian terhadap sesuatu yang baru, (2) membuat berbagai jaringan (network) dalam transaksinya, (3) trsanfer keterampilan yang diperoleh dari situasi pekerjaan terdahulu, (4) membeli perusahaan, (5) mengungkit keahlian, (6) mengamalkan pelatihan dan memproduksi produk, (7) mengejar ide yang unik, dan (8) aktifitas bisnis yang berbeda dari pengalaman sebelumnya.
Schermerhorn (1996 : 125) mengatakan terdapat ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan seorang wirausaha (entrepreneur) yaitu mampu menentukan nasipnya sendiri, pekerja keras dalam mencapai keberhasilan, selalu tergerak untuk bertindak secara pribadi dalam mewujudkan tujuan menantang, memiliki toleransi terhadap situasi yang tidak menentu, cerdas dan percaya diri dalam mengunakan waktu yang luang.
Salah satu bentuk wirausaha yang dapat menjawab permasalahan di atas adalah berusaha sendiri sebagai distributor Multilevel Marketing (MLM). Konsep MLM merupakan salah satu metode pemasaran dengan membuat jaringan (network). Distributor MLM dalam menjalankan strategi pemasaran secara bertingkatbdituntut memiliki kejelian berimprovisasi untuk mempengaruhi orang lain agar mau bergabung bersama-sama dalam menjalankan usaha MLM.
Sama halnya seperti cara berdagang yang lain, strategi MLM harus memenuhi rukun jual beli serta akhlak (etika) yang baik, di samping itu komoditas yang dijual harus halal (bukan haram maupun syubhat), memenuhi kualitas dan bermanfaat. MLM tidak boleh memperjual belikan produk yang tidak jelas status halalnya. Atau menggunakan modus penawaran produksi promosi tanpa mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.
Secara kondusif Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi dan inovasi mengenai sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan. Karena sistem MLM dinilai oleh Islam memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah, dan tarbiyah, sebagaimana sistem tersebut pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah pada awal-awal diangkat sebagai ulil amri. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat yang lainnya. Sampai pada satu ketika Islam dapat diterima oleh masyarakat. Sebagaimana disebutkan dalam (QS Ar Ra'd : 11) " Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri".
Perusahaan MLM biasa memberi reward atau insentif pada mereka yang berprestasi. Islam bisa membenarkan seseorang mendapatkan insentif lebih besar dari yang lainnya disebabkan keberhasilannya dalam memenuhi target penjualan tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif dalam memperluas jaringannya. Kaidah ushul fiqh mengatakan, "Besarnya ijrah (upah) itu tergantung pada kadar kesulitan dan pada kadar kesunguhan". Penghargaan kepada distributor yang mengembangkan jaringan di bawahnya (down line) dengan cara bersungguh-sungguh, memberikan pembinaan (tarbiyah), pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah) memang patut dilakukan, karena ini selaras dengan sabda Rasulullah :
"Barang siapa di dalam Islam berbuat suatu kebajikan maka kepadanya diberi pahala, serta pahala dari orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun..."(hadist).
Penting disadari, pemberian penghargaan dan cara menyampaikan hendaknya tetap dalam koridor tasyakur, untuk menghindarkan penerimanya dari takabur, kufur nikmat, apalagi melupakan Tuhan. Perusahaan MLM harus membuat kebijakan sedemikian rupa agar penghargaan itu memberi manfaat positif bagi penerimanya.
Dalam hal menetapkan insentif ini, sejumlah syarat syariah harus dipenuhi, yakni : adil, terbuka, dan insentif seorang distributor tidak mengurangi hak distributor lain (mitra kerja), sehingga tidak ada yang dizalimi.
Kewajaran dalam memperoleh keuntungan juga merupakan suatu masalah yang diperhatikan oleh Islam. Dalam kaitan ini sebagian masyarakat melihat, ada kecenderungan pada perusahaan MLM tertentu yang menjual produk dengan harga sangat mahal karena menganggap produknya eksklusif. Ini jelas akan memberatkan konsumen. Hal ini sepatutnya dihindari karena ini bisa dikatakan sebagai mengambil keuntungan secara batil. Prinsipnya kita memang bisa merasakan MLM ini sebagai satu strategi yang memberikan peluang usaha (rezeki).
Menurut Asosiasi Penjual Langsung Indonesia (APLI) di Indonesia saat ini sekitar 70 perusahaan MLM, seperti Central Nusa Insan Cemerlang atau CNI, Amway, Foreverindo Insanabadi atau Forever Young, Herbalife merupakan suatu konsep pendistribusian produk langsung kepada konsumen melalui distributor mandiri.
Keunggulan bisnis ini adalah modal kecil dengan peluang yang besar, masa depan ditentukan oleh distributor itu sendiri, tidak ada resiko kredit macet, jam kerja bebas, dapat mencapai impian lebih awal. MLM merupakan suatu metode penjualan barang secara langsung kepada pelanggan melalui jaringan yang dikembangkan oleh distributor secara berantai dan berjenjang. Setiap distributor merekrut atau mensponsori orang lain disebut mitra kerja (downline) yang selalu dikaitkan dengan bonus dan komisi.
Setiap perusahaan MLM memiliki metode perhitungan sendiri. Tenaga penjual atau distributor MLM adalah pengusaha mandiri yang mendapat penghasilan dari aktifitasnya penjualan produk dan menjaring mitra kerja (downline). Cara kerja pengusaha MLM dilakukan tanpa jam kerja yang teratur seperti pada sebuah kantor. Banyak dari mereka melakukan di luar jam kerja untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Dalam banyak kasus, seorang distributor mempunyai pendapatan yang tidak kecil, bahkan melebihi pendapatan dari pekerjaan formalnya. Karena itu, banyak orang tertarik untuk bergabung menjalankan model bisnis ini. Semakin banyak mitra kerja (downline) yang direkrut atau semakin besar jaringan yang dibangun maka semakin besar bonus yang akan diterima oleh distributor. Jadi apabila distributor benar-benar bekerja keras, maka bonus yang diperoleh bisa sampai puluhan bahkan ratusan juta per bulan. Sebagaimana dalam rangking 10 profesi termahal di Indonesia, distributor MLM menempati posisi pertama dengan pendapatan tertinggi yang diperoleh pengusaha (distributor) MLM sebesar Rp 280.940.284,- per bulan. (Warta Ekonomi edisi 26 Maret 2001)
MLM merupakan cara berbisnis yang sah, etis, sukses, dan senantiasa berkembang dimana setiap distributor dapat memperoleh hasil banyak atau sedikit sebagaimana dikehendakinya, dengan sedikit resiko finansial, selama 6 atau 60 jam seminggunya. Di Amerika konsep tersebut telah dikembangkan jauh lebih luas selama berpuluh-puluh tahun, hampir setiap barang dan jasa dapat diperoleh melalui MLM.
Ini merupakan bisnis multinasional, menyangkut jutaan dollar, dan melibatkan jutaan orang. Konsep MLM pertama kali dicetuskan oleh Nutrilite di AS pada tahun 1939, menerapkan sistem bonus sebesar 2 % kepada setiap penjual yang berhasil merekrut penjual baru (Harefa, 1999 : 14).
Koen Verheyen, mantan anggota tim manajemen Oriflame, mengatakan bahwa sampai November 1999 perusahaan yang melakukan penjualan langsung yang tercatat sebagai anggota APLI hanya 28 dari 180 perusahaan. Dari jumlah tersebut, sampai Desember 1997 sekitar 1.400.000 orang tergabung dalam jaringan perusahaan MLM anggota APLI. Total penjualan yang tercatat oleh APLI akhir tahun 1997 berkisar Rp 700 milyar, suatu jumlah yang tidak kecil. Sementara yang tidak tergabung membukukan penjualan Rp 800 milyar, sehingga total penjualan yang dilakukan oleh perusahaan MLM sekitar Rp 1,5 triliyun. Sekitar 40 % dari omset tersebut merupakan pendapatan perusahaan dan 60 % merupakan pendapatan distributor dalam bentuk keuntungan eceran, komisi, bonus, dan lain-lain ( Harefa, 1999 : 17)
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu untuk menganalisis lebih mendalam suatu penelitian tentang " Pengaruh Wirausaha Terhadap Pengembangan Karir Individu. Pada Distributor MLM ".
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
Masalah Umum :
Apakah ada pengaruh wirausaha terhadap pengembangkan karir individu pada distributor Multi Level Marketing ? Masalah Khusus
1. Apakah ada pengaruh Kreatif terhadap pengembangan karir individu pada distributor Multilevel Marketing ?
2. Apakah ada pengaruh Inovatif terhadap pengembangan karir individu pada distributor Multilevel Marketing ?
3. Apakah ada pengaruh Berani terhadap pengembangan karir individu pada distributor Multilevel Marketing ?
4. Variabel manakah di antara kreatif, inovatif, dan berani yang berpengaruh dominan terhadap pengembangan karir individu pada distributor MLM
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini terbagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu :
Tujuan Umum
Menganalisis pengaruh wirausaha terhadap pengembangan karir individu pada distributor MLM.
Tujuan Khusus
1. Untuk menganalisis pengaruh Kreatif terhadap pengembangan karir individu pada distributor Multilevel Marketing.
2. Untuk menganalisis pengaruh Inovatif terhadap pengembangan karir individu pada distributor Multilevel Marketing.
3. Untuk menganalisis pengaruh Berani terhadap pengembangan karir individu pada distributor Multilevel Marketing.
4. Untuk mengetahui variabel yang dominan di antara kreatif, inovatif, dan berani berpengaruh terhadap pengembangan karir individu
I.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai informasi ilmiah mengenai pengembangan karir melalui MLM.
2. Memberikan gambaran mengenai manfaat MLM dalam membentuk jiwa wirausaha.
3. Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai data untuk mengembangkan peran dan fungsi MLM sebagai cara pengembangan karir.