Cari Kategori

Showing posts with label skripsi pgtk. Show all posts
Showing posts with label skripsi pgtk. Show all posts

PENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK

PENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK DI RAUDLATUL ATHFAL (PGTK) 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan pada anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat penting karena pendidikan anak usia dini merupakan pijakan dasar pendidikan selanjutnya. Raudhatul Athfal (RA) merupakan bagian dari pendidikan anak usia dini pada jalur formal di bawah naungan Departemen Agama dengan sasaran usia 4-7 tahun. Menurut Froebel, 'masa anak adalah masa emas (golden age) bagi penyelenggara pendidikan' (Solehuddin, 2000 : 33) karena mengalami perkembangan yang pesat. Orangtua dan pendidik haruslah menjadi fasilitator bagi perkembangan anak yang sedang pesat dengan cara memberikan stimulus yang tepat sesuai dengan tahap perkembangannya. Namun, kurangnya pengetahuan orangtua atau pendidik mengenai tahapan perkembangan anak, maka dalam memberikan stimulus pada anak terkadang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Ada beberapa aspek perkembangan dalam setiap perkembangan anak dan salah satunya adalah aspek perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif merupakan mental atau pikiran yang berperan penting dan mendasar bagi studi-studi psikologi manusia. Salah satu pembelajaran yang dapat merangsang aspek perkembangan kognitif anak usia Raudhatul Athfal (RA) yaitu pembelajaran matematika atau daya pikir. Pembelajaran Matematika di Raudhatul Athfal (RA) sudah sering dilaksanakan dengan tujuan agar anak memiliki kesiapan untuk mempelajari matematika pada tahap selanjutnya melalui pemberian stimulus pada anak dalam kemampuan berpikir untuk mengembangkan aspek perkembangan kognitif anak.
Kegiatan untuk pembelajaran matematika di RA X yang biasa digunakan yaitu melalui Lembar Kegiatan Anak (LKA) yang telah disediakan oleh seksi pendidikan di IGRA (Ikatan Guru Raudhatul Athfal). Sebenarnya, kegiatan yang ada dalam buku LKA tersebut sudah sesuai dengan kurikulum di RA namun karena tuntutan Sekolah Dasar di sekitar RA X dan orangtua murid yang menyekolahkan anaknya di RA X menginginkan anaknya jika masuk Sekolah Dasar dapat menguasai keterampilan matematika yang seharusnya anak dapatkan di Sekolah Dasar sehingga pihak sekolah dan guru menambahkan pembelajaran matematika yaitu pelajaran tambahan (les) dan menekankan calistung yang seharusnya disampaikan di Sekolah Dasar. Padahal, kegiatan matematika seperti itu tidak diperbolehkan untuk diterapkan pada anak usia Raudhatul Athfal (RA). Hal tersebut dipertegas oleh pernyataan dari Ace Suryadi yang mengungkapkan bahwa : 
Pembelajaran membaca, menulis dan berhitung (calistung) pada anak usia dini merupakan salah satu bentuk kesalahan terbesar yang diterapkan sistem pendidikan nasional Indonesia. Pada usia dini, pengajaran calistung justru akan membatasi interaksi siswa dengan lingkungan. Meskipun begitu, keinginan belajar calistung datang dari diri anak secara langsung hal itu sah-sah saja" (Sriningsih, 2008 : 2).
Kegiatan penguasaan keterampilan matematika di RA X telah berlangsung sejak awal didirikannya RA X pada tahun 1998 dan memang terbukti bahwa lulusan dari RA X dapat meraih juara dalam bidang akademik di tingkat Sekolah Dasar. Namun, ada beberapa anak yang mengalami kejenuhan belajar pada saat kelas IV (empat) SD. Padahal, menurut Sriningsih (2008 : 8) bahwa "pembelajaran untuk anak usia dini memegang peranan yang sangat penting bagi pembentukan kemampuan dan sikap belajar pada tahap yang lebih lanjut sehingga keberhasilan belajar pada tahap awal sangat menentukan keberhasilan belajar pada tahap berikutnya dan kegagalan belajar pada tahap awal merupakan penyebab paling besar terhadap kegagalan belajar pada tahap berikutnya".
Di RA X, guru hanya menekankan keterampilan berhitung pada anak didiknya terlebih lagi pada anak kelompok A. Padahal dalam pembelajaran matematika yang telah direkomendasikan oleh The National Council of Teacher of Mathematic (NCTM) bahwa : 
Ada sepuluh standar pembelajaran untuk anak usia dini meliputi standar isi dan standar proses pembelajaran matematika antara lain yaitu bilangan dan operasional bilangan, aljabar, geometri, pengukuran, analisis data dan probabilitas, problem solving, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi dan representasi" (Sriningsih, 2008 : 5).
Pembelajaran pengukuran yang disampaikan oleh guru kelompok A di RA X yaitu melalui kegiatan mengerjakan LKA. Dalam LKA tersebut, anak hanya membandingkan panjang-pendeknya gambar dan besar-kecilnya gambar kemudian anak mewarnai gambar tersebut. Kurang variatifnya kegiatan dan media yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam pengukuran menjadikan kemampuan anak masih rendah. Padahal "pemahaman anak terhadap konsep hampir sepenuhnya tergantung pada pengalaman-pengalaman yang bersifat langsung (hand-on experiences) " (Solehuddin, 2000; Sriningsih, 2008).
Tepat kiranya apabila upaya pengembangan kecerdasan logika-matematika untuk anak usia dini dijadikan sebagai salah satu upaya pemberian rangsangan pendidikan yang dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas bermain bukan melalui metode pembelajaran klasik yang menekankan pada penguasaan fakta dengan menggunakan kegiatan drill yang bersifat instan dan berdampak negatif terhadap perkembangan anak. (Sriningsih, 2008 : 3).
Kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuan anak dalam mengukur adalah salah satunya melalui kegiatan memasak. Hal ini sesuai dengan pendapat Griffiths (1992 : 105) bahwa "anak-anak dapat belajar tentang pengukuran melalui berbagai aktifitas yang menyenangkan, seperti bermain dengan air, memasak, mengukur tinggi badan dan lain-lain". Kegiatan memasak mempunyai manfaat untuk keterampilan anak yang dapat digunakan seumur hidup mereka karena kegiatan memasak merupakan kegiatan yang tidak lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Selain itu, kegiatan memasak dapat membantu mengembangkan semua aspek perkembangan anak termasuk aspek perkembangan kognitif.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis terdorong untuk menulis skripsi dengan judul "MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK DI RAUDHATUL ATHFAL (RA)”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif proses belajar mengajar di RA X dalam mengenalkan konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A ?
2. Bagaimana kondisi objektif kemampuan anak kelompok A di RA X dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) ?
3. Bagaimana implementasi kegiatan memasak untuk meningkatkan kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A di Raudhatul Athfal (RA) ?
4. Bagaimana kemampuan anak dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) setelah diterapkan kegiatan memasak di RA X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan memasak untuk meningkatkan kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak usia Raudhatul Athfal (RA).
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kondisi objektif proses belajar mengajar di RA X dalam mengenalkan konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A.
b. Untuk mengetahui kondisi objektif kemampuan anak kelompok A di RA X dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku).
c. Untuk mengetahui implementasi kegiatan memasak untuk meningkatkan kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A di Raudhatul Athfal (RA).
d. Untuk mengetahui kemampuan anak dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) setelah diterapkan kegiatan memasak di RA X.

D. Manfaat Hasil Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dapat diperoleh manfaat atau pentingnya penelitian. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, selain itu juga dapat memberikan pemahaman psikologis terhadap guru-guru mengenai kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) melalui kegiatan memasak di Raudhatul Athfal (RA).
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan berbagai sarana dalam menerapkan pembelajaran matematika khususnya pengenalan konsep pengukuran non standar (tidak baku) di Raudhatul Athfal (RA).
b. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada pihak sekolah, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memacu belajar siswa di Raudhatul Athfal (RA).
c. Bagi Prodi Pendidikan Anak Usia Dini
Dapat digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan pengetahuan serta bahan perbandingan bagi pembaca yang akan melakukan penelitian, khususnya tentang kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) untuk anak usia Raudhatul Athfal (RA) yang dipadukan dalam kegiatan belajar mengajar.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:24:00

UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING

UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa usia prasekolah adalah merupakan masa yang sangat menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya. Di usia ini sangat penting untuk meletakan dasar-dasar kepribadian anak yang akan menjadi pembentukan kepribadian anak di masa dewasa. Oleh karena itu masa usia prasekolah disebut juga masa keemasan bagi anak (golden age) dimana perkembangan otak pada anak sangat berkembang pesat yaitu sekitar 50% pada usia 0-5 tahun, sehingga dapat menerima berbagai masukan dari lingkungan sekitarnya dan sangat terbuka dalam menerima berbagai macam pembelajaran dan stimulasi yang diberikan (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2004).
Pada tahap perkembangan usia prasekolah ini, anak mulai menguasai berbagai keterampilan fisik, bahasa, dan anak pun mulai memiliki rasa percaya diri untuk mengeksplorasi kemandiriannya (Hurlock, 1997).
Dalam pemerolehannya, anak tentu memerlukan orangtua atau orang dewasa serta lingkungan yang mendukung untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Seiring dengan berjalannya waktu serta bertambahnya usia, anak perlahan-lahan akan melepaskan ketergantungannya pada orang tua atau orang lain di sekitarnya dan belajar untuk mandiri.
Salah satu tahapan penting dalam masa perkembangan anak adalah fase otonomi. Fase ini ditandai dengan antusiasme anak untuk melakukan segala sesuatunya sendiri dan munculnya hasrat untuk mandiri (Erikson dalam Hadis, 37).
Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu diajarkan pada anak sejak usia dini, apabila anak tidak belajar mandiri sejak usia dini akan sangat memungkinkan anak merasa bingung bahkan tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Sartini (1992) mengungkapkan bahwa kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang tidak dapat berdiri sendiri, hal ini berarti bahwa kemandirian terkait dengan aspek kepribadian yang lain dan harus dilatihkan pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak selanjutnya.
Ketika kemampuan-kemampuan yang seharusnya sudah dikuasai oleh anak pada usia tertentu pada kenyataannya anak belum mau dan belum mampu melakukan, maka dapat dikategorikan bahwa anak tersebut belum mandiri (Nakita, 2005). Sebagai contoh nyata yang sering ditemukan adalah ketika anak usia SD atau anak usia 6-9 tahun yang masih dibantu dalam kegiatan yang seharusnya dapat dilakukan sendiri seperti memakai baju, kegiatan makan, dan memakai sepatu. Kemampuan motorik anak usia 6-9 tahun ini pada umumnya sudah matang dan kemandirian anak pada usia ini seharusnya sudah berkembang lebih baik dibandingkan ketika usia anak berusia 2-4 tahun. Hal ini senada dengan apa yang diuraikan oleh Hurlock (1980 : 111) yaitu : 
Awal masa kanak-kanak dapat dianggap sebagai saat belajar untuk belajar keterampilan. Apabila anak tidak diberi kesempatan mempelajari keterampilan tertentu, dimana perkembangan kemampuannya sudah memungkinkan untuk melakukan berbagai hal, dan berkembangnya keinginan pada diri anak untuk mandiri, maka anak tidak saja akan kurang memiliki dasar keterampilan yang telah dipelajari oleh teman-teman sebayanya tetapi juga akan kurang memiliki motivasi untuk mempelajari pelbagai keterampilan pada saat diberi kesempatan.
Istichomah (2009) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kebiasaan mengompol pada anak dibawah usia 2 tahun masih dianggap wajar karena anak belum mampu mengontrol kandung kemih secara sempurna. Tetapi disamping itu kebiasaan mengompol tersebut tidak jarang masih terbawa sampai anak berusia 4-5 tahun, bahkan di Indonesia kasus anak yang masih mengompol hingga di usia 6 tahun mencapai 12%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran orang tua dan orang dewasa dalam mengajarkan toilet training kepada anak sejak usia dini. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Istichomah, Hidayat (Faidah, 2009) mengatakan bahwa kemandirian toilet training yang tidak diajarkan sejak dini akan membuat orang tua semakin sulit untuk mengajarkan kepada anak ketika anak bertambah usianya.
Vygotsky dalam teori pembelajaran konstruktivismenya (dalam Isabella, 2007) menyebutkan bahwa pada pendidikan anak usia dini anak memerlukan scaffolding, yaitu bantuan yang tepat waktu dan ditarik kembali tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi. Pemberian scaffolding ini dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher) atau orang yang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang seharusnya dicapai oleh anak usia dini.
Scaffolding itu sendiri dapat diberikan oleh guru sebagai orang yang lebih dahulu tahu atau orang dewasa dengan memberikan dukungan maupun fasilitas kepada anak dalam proses perkembangannya hingga anak dapat melakukan aktivitasnya sendiri secara mandiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Olson & Part (Stuyf, 2002) :
"In scaffolding instruction a more knowledgeable other provides scaffolds or supports to facilitate the learner's development. The scaffolds facilitate a student's ability to build on prior knowledge and internalize new information. The activities provided in scaffolding instruction are just beyond the level of what the learner can do alone".
Kebalikan dari pemberian scaffolding adalah interferensi (gangguan atau campur tangan yang tidak dikehendaki). Sering kali orang dewasa baik guru maupun orangtua mengambil tindakan secara spontan atau langsung datang untuk membantu anak menyelesaikan tugas perkembangannya. Akibatnya, bantuan yang diberikan akan menginterferensi proses pembelajaran anak. Keinginan tersebut sesungguhnya wajar dan natural, karena selain ungkapan kasih sayang, juga merupakan ungkapan kekhawatiran orang dewasa terhadap anak (Isabella, 2007). Akan tetapi apabila interferensi terus dilakukan kemungkinan besar anak akan selalu tergantung pada orang lain karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu sendiri. Akibatnya, ketika ia menghadapi masalah, anak akan mengharapkan bantuan orang lain, begitupun dalam mengambil keputusan dan dalam memecahkan masalah (problem solving).
Isabella (2007) telah melakukan observasi pada daily plan sebuah playgroup di Surabaya dengan mengambil tema "My Vegetable" dengan sub tema "Cauliflower" hal yang diobservasi adalah kemampuan anak untuk memetik kuntum bunga kol paling sedikit 8 kuntum. Dalam 5-10 menit pertama anak mengalami kesulitan karena jari-jari tangan belum terbiasa memetik bunga kol, disini guru tidak langsung memberikan bantuan, sampai pada akhirnya anak sendiri yang meminta bantuan. Guru menerapkan scaffolding dengan memegang jari anak dan memberi kekuatan tertentu untuk memetik kuntum bunga kol bersama (scaffolding action), setelah itu guru memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba memetik sendiri dan pada waktu bersamaan guru menarik scaffolding secara bertahap. Setelah anak dapat memetik 8 kuntum bunga kol maka anak telah mencapai level of potential development. Dalam observasi tersebut juga terlihat anak yang berusaha menolong temannya untuk memetik kuntum bunga kol, membagikan keterampilan yang baru saja dikuasai yang merupakan bentuk internalisasi konsep pengetahuan baru ke dalam dirinya. Berdasarkan hasil observasi Isabella tersebut, maka scaffolding memiliki peran yang sangat penting pada setiap aspek menuju pada pencapaian perkembangan anak.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, kemandirian anak-anak yang belum berkembang secara optimal diantaranya yaitu kemandirian untuk memakai sepatu sendiri tanpa bantuan dari orangtua atau pengasuh, mencuci tangan sendiri, toilet training (membuka celana, memakai celana, membersihkan diri, dan menyiram kloset secara mandiri), membersihkan tumpahan makanan secara mandiri, serta membereskan mainan setelah selesai bermain. Guru berpendapat bahwa ketika anak memasuki playgroup maka itu menjadi tahap awal pada anak dalam mengenal lingkungan yang baru di luar lingkungan rumah dan merupakan hal pertama kali bagi anak dalam mengenal lingkungan sekolah, hal ini menjadikan setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda sesuai dengan stimulus yang diperoleh sebelumnya di lingkungan rumah atau di lingkungan terdekat dengan anak selain lingkungan sekolah, sehingga guru memandang perlunya untuk memfasilitasi hal tersebut agar setiap anak dapat mengoptimalkan kemampuan kemandiriannya sesuai dengan perkembangan usia dan kebutuhannya.
Hal di atas senada dengan apa yang dikatakan oleh Siskandar (2003) bahwa program kegiatan di prasekolah seharusnya menanamkan dan menumbuhkan pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik sejak dini agar anak tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri. Oleh karena itu maka, pendidik dapat mengembangkan kemandirian anak dengan intensitas yang sering karena aktivitas tersebut pun dilakukan oleh anak pada setiap harinya, maka pendidik dapat mengajarkan secara bertahap dan berkesinambungan serta konsisten dilakukan, sehingga pendidik dapat mengevaluasi level bantuan yang diberikan kepada anak dengan mempertimbangkan tingkat kemajuan hasil belajar anak pada setiap harinya.
Melalui kegiatan pengembangan kemandirian, pendidik diharapkan dapat menerapkan scaffolding yang sesuai bagi setiap individu anak, hal ini dikarenakan setiap anak dalam setiap situasi membutuhkan scaffolding yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pendidik seyogyanya memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai tahapan dan perkembangan anak serta memiliki kemampuan untuk mengenal karakteristik setiap individu anak, sehingga dapat menerapkan scaffolding pada pelaksanaan aktivitas di sekolah untuk mencapai kemandirian anak sesuai dengan perkembangan usianya.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dibahas, maka untuk selanjutnya perlu dilakukan penelitian mengenai proses scaffolding yang tepat dalam mengembangkan kemandirian anak. Oleh karena itu penelitian ini diberi judul "UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING".

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan masalah secara umum adalah "bagaimana proses scaffolding pada pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak usia playgroup".
Adapun secara lebih khusus mengenai rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah kondisi awal perkembangan kemandirian anak di Playgroup X sebelum diberikan scaffolding ?
2. Bagaimanakah proses scaffolding dalam pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak Playgroup X ?
3. Bagaimanakah kemandirian anak di Playgroup X setelah diberikan scaffolding ?
4. Kendala-kendala apa saja yang dialami oleh guru dalam menerapkan scaffolding di Playgroup X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Memperoleh gambaran kondisi yang sebenarnya mengenai kemandirian yang dimiliki oleh anak Playgroup X sebelum diberikan scaffolding dan memperoleh gambaran mengenai perkembangan kemandirian yang seyogyanya dimiliki oleh anak Playgroup X.
2. Memperoleh gambaran mengenai bagaimana proses scaffolding dalam pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak.
3. Memperoleh gambaran mengenai perkembangan kemandirian yang dimiliki anak setelah diberikan scaffolding.
4. Mengetahui kendala-kendala yang dial ami oleh guru dalam upaya mengembangkan kemandirian anak dengan scaffolding.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:24:00

KREATIVITAS GURU DALAM MENGAJAR ANAK USIA DINI DI PAUD

KREATIVITAS GURU DALAM MENGAJAR ANAK USIA DINI DI PAUD



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernahkah kita bayangkan bahwa jumlah anak putus sekolah di Indonesia mencapai puluhan juta orang ? Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 kantor komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 mencapai 11,7 juta jiwa. Dan jumlah itu pasti akan bertambah.
Pendidikan memang begitu penting dalam kehidupan kita. Apalagi pendidikan anak di usia dini yang merupakan gerbang awal memasuki pendidikan. Para orang tua harus dibekali pengetahuan mengenai pendidikan ini yang dapat diikuti melalui program pemerintah yang ada di daerahnya masing-masing. Dengan adanya pendidikan anak usia dini ini maka orang tua akan menyadari bahwa pendidikan itu begitu penting dilaksanakan. Pendidikan juga merupakan investasi masa depan yang mampu merubah nasib manusia. Dengan pendidikan kita dapat mengejar segala cita-cita kita dibidang yang kita inginkan. Tanpa adanya pendidikan tentunya apa saja yang kita inginkan akan bagaikan mimpi yang tidak menjadi kenyataan.
Dengan latar belakang rendahnya pendidikan bangsa Indonesia maka pemerintah berinisiatif untuk melakukan program non formal sebelum usia enam tahun. Sebab menurut para ahli psikologi perkembangan usia 0-6 tahun adalah masa the golden age atau masa emas dalam tahapan perkembangan hidup manusia seutuhnya. Artinya jika anak mendapatkan rangsangan yang maksimal maka potensi tumbuh kembang anak akan terbangun secara maksimal.
Gambaran diatas membuktikan bahwa pendidikan anak usia dini yang sedang digalakkan oleh pemerintah sangat penting diikuti oleh para warga masyarakat. Selain pendidikan ini tidak dipungut biaya, pendidikan ini merupakan peluang emas bagi masyarakat yang kurang mampu dalam hal finansial.
Mengingat pentingnya pendidikan pada anak usia dini, maka pemerintah memberikan perhatiannya melalui undang-undang pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun. 2008 tentang pendidikan anak usia dini pada pasal 1 ayat 14 bahwa : 
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 
Dalam Al-Qur'an pendidikan anak usia dini seperti contoh dalam surat al-Luqman ayat 14, yaitu sebagai berikut : 
Artinya : dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Salah satu yang mempengaruhi dalam proses belajar mengajar pada anak usia dini adalah guru yang merupakan faktor eksternal sebagai penunjang pencapaian hasil belajar yang optimal. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kreativitas guru dalam proses belajar mengajar. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan adalah menumbuhkan kreativitas guru.
Kreativitas guru dalam proses belajar mengajar mempunyai peranan yang sangat penting sekali dalam mendidik peserta didik, karena pada zaman sekarang pandai saja tidak cukup, tetapi harus cerdas dalam mengembangkan keterampilan, kreativitas dan mencari bahan ajar yang betul-betul sesuai dengan peserta didik. Namun kenyataan yang ada di lokasi PAUD Roudhatul Jannah X dari hasil pengamatan peneliti anak-anak PAUD kurang berminat dalam belajar, terutama dalam mengenal simbol-simbol Agama Islam. Selain itu anak-anak juga sering bermain sendiri tanpa menghiraukan arahan dari guru, hal ini dikarenakan kurangnya kreativitas-kreativitas yang digunakan oleh guru sehingga banyak anak-anak yang kurang berminat dan termotivasi dalam belajar. 
Dengan adanya deskripsi tersebut, maka peneliti sangat tertarik untuk meneliti tentang "Kreativitas Guru Dalam Mengajar Anak Usia Dini di PAUD Roudhotul Jannah X". Penelitian ini memang sangat perlu dilakukan guna untuk meningkatkan minat belajar anak dan juga untuk para guru agar lebih kreatif dalam membangkitkan minat belajar anak dengan menggunakan berbagai macam kreativitas dalam mengajar.

B. Rumusan Masalah
Agar penelitian dilaksanakan dapat terarah dan mencapai hasil yang diinginkan maka diperlukan rumusan masalah yang menjadi dasar dan acuan dalam pelaksanaan penelitian, adapun rumusan masalah ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana bentuk kreativitas guru dalam mengenalkan simbol-simbol agama Islam di PAUD Roudhotul Jannah X ? 
2. Apakah kreativitas guru dalam mengenalkan simbol-simbol agama Islam dapat meningkatkan minat belajar anak usia dini di PAUD Roudhotul Jannah X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengungkap sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian pada isi dan rumusan masalah dimana kita mampu menjabarkan lebih lanjut dari pemahaman yang hendak diteliti : 
1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk kreativitas guru dalam mengenalkan simbol-simbol agama Islam di PAUD Roudhotul Jannah X
2. Untuk mengetahui apakah kreativitas guru dalam mengenalkan simbol-simbol agama Islam dapat meningkatkan minat belajar anak usia dini di PAUD Roudhotul Jannah X. 

D. Manfaat Penelitian
Sebenarnya dengan adanya suatu tujuan yang ingin dicapai, maka tentunya penelitian ini bisa memberikan suatu manfaat bagi beberapa pihak, antara lain yaitu sebagai berikut : 
1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan atau referensi dan kajian untuk meningkatkan kreativitas guru dalam mengajar anak usia dini.
2. Bagi Lembaga Pendidikan
Peneliti ini diharapkan dapat menjadi kontribusi positif mengenai kreativitas guru dalam mengajar anak usia dini agar dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran atau sebagai bahan masukan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan judul tersebut.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan secara praktis maupun teoritis mengenai kreativitas guru dalam mengajar anak usia dini PAUD.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:06:00

HUBUNGAN ANTARA KUALIFIKASI AKADEMIK GURU DENGAN POLA MANAJEMEN KESISWAAN DI TAMAN KANAK-KANAK

HUBUNGAN ANTARA KUALIFIKASI AKADEMIK GURU DENGAN POLA MANAJEMEN KESISWAAN DI TAMAN KANAK-KANAK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan yang bermutu merupakan salah satu dari indikator keberhasilan dalam pembangunan sumber daya manusia. Untuk mewujudkan hal tersebut guru memegang peran sangat strategis. Sebagai agen pembelajaran guru dituntut untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran dengan baik. Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 4 mengisyaratkan bahwa guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pernyataan yang tertuang pada pasal tersebut membawa konsekuensi bahwa "setiap guru" (tanpa memandang tempat tugas) dituntut untuk dapat menyalurkan wawasan pengetahuan dan ilmunya kepada siswanya sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan jati dirinya masing-masing. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka diperlukan keahlian khusus agar para guru dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, dan lancar sehingga tujuan pendidikan dapat segera tercapai. Ali (2005 : 629) menyebutkan keahlian yang dimiliki seseorang dengan istilah kualifikasi.
Kualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu, atau menduduki jabatan tertentu. Jadi kualifikasi mendorong seseorang untuk memiliki suatu "keahlian atau kecakapan khusus". Kualifikasi guru dapat dipandang sebagai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan yang mumpuni. Bahkan kualifikasi dapat dilihat dari segi derajat lulusannya.
Menurut Yasin (2006 : 78) untuk mengukur kualifikasi guru dapat ditilik dari tiga hal. Pertama memiliki kemampuan dasar sebagai pendidik. Kualitas seperti ini tercermin dari pendidik. Kedua, memiliki kemampuan umum sebagai pengajar. Ketiga, mempunyai kemampuan khusus sebagai pelatih.
Dari sudut pandang kualifikasi akademik, indikator kompetensi diukur berdasarkan sertifikat/ijazah yang dimiliki oleh guru yang bersangkutan. Dalam kompetensi pedagogik tersebut dapat ditunjukkan secara fungsional, yaitu kemampuannya mengelola kegiatan pembelajaran. Keterangan ini mengandung arti bahwa kualifikasi pendidikan seorang guru harus berbanding lurus dengan kemampuannya mengelola kegiatan belajar dan pembelajaran.
Secara historis, peningkatan kualifikasi akademik guru di Indonesia dilakukan secara bertahap. Tahun 1950, persyaratan bagi guru Sekolah Dasar (SD) adalah berijazah Sekolah Guru B (SGB), yaitu jenjang pendidikan setara SLTP plus (empat tahun setelah SD), sedangkan bagi guru SMP (SLTP) dipersyaratkan berijazah Sekolah Guru A (SPG) yaitu jenjang pendidikan setara SLTA. Tahun 1960 persyaratan kualifikasi ini meningkat. Guru SD dipersyaratkan berijazah Sekolah Pendidikan Guru (SPG), yang setingkat dengan SLTA, sedangkan guru SMP dipersyaratkan berijazah Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLTP). Tahun 1989, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Mendikbud Nomor 0854/U/1989, persyaratan untuk guru SD ditingkatkan menjadi setara Diploma II, sementara itu tuntutan kualifikasi guru SLTP dan guru SLTA juga meningkat, meskipun peraturan resmi tidak ada.
Sedangkan Standar kualifikasi pendidikan untuk guru di Indonesia secara tegas dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 29 ayat 1 pada PP tersebut menyatakan bahwa Pendidik pada pendidikan anak usia dini memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-4) atau sarjana (S1), latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain atau psikologi, dan sertifikat profesi guru untuk PAUD.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan kualifikasi pendidikan bagi guru tujuannya tidak hanya terbatas pada gelar kesarjanaannya saja, melainkan untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan dan ilmu yang terdapat pada diri guru, sehingga yang bersangkutan dapat mengelola kelas dengan baik. Pengelolaan kelas yang baik meliputi manajemen siswa, kurikulum, dan sarana prasarana pendidikan. Hal demikian juga berlaku secara umum mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Perbedaannya terletak pada kebijakannya yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswanya.
Sebagaimana yang disebutkan di atas bahwa salah satu unsur yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam mengelola kelas adalah manajemen kesiswaan. Hal ini diketahui dari beberapa sub yang terdapat dalam manajemen kesiswaan yang berhubungan dengan pengelolaan kelas di antaranya adalah : pengelompokan siswa, catatan kehadiran siswa, mutasi siswa dan layanan khusus siswa. Khusus pada Taman Kanak-kanak, pola manajemen kesiswaan yang dilakukan berorientasi kepada perencanaan kesiswaan, pola penerimaan siswa baru, pengelompokan siswa, catatan kehadiran siswa, mutasi siswa dan layanan khusus siswa. Bafadal (2006 : 30) menyebutkan secara rinci tujuan manajemen kesiswaan adalah untuk mengatur semua penyelesaian tugas-tugas yang berkenaan dengan siswa agar dapat berjalan dengan efektif, sehingga memperlancar pencapaian tujuan lembaga pendidikan.
Seperti diketahui bahwa pola manajemen kesiswaan yang diterapkan oleh para guru/kepala sekolah TK di Kecamatan X dapat dikatakan masih kurang baik. Kenyataan diketahui dari setiap kali diadakannya pertemuan Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI), sebagian besar para guru/Kepala Sekolah TK masih belum mengoptimalkan penerapan manajemen kesiswaan seperti apa yang terdapat di dalam teori. Pola manajemen kesiswaan yang diterapkan lebih dititik beratkan pada unsur Penerimaan siswa baru, absen, pelayanan khusus (misalnya peningkatan gizi melalui kegiatan makan bersama), pengelolaan pembelajaran, pengelompokan siswa berdasarkan usia, dan menentukan kelulusan. Sementara itu pola manajemen kesiswaan yang lain sebagian besar belum tersentuh sama sekali. Seharusnya tidak demikian. Sebab melalui berbagai kegiatan hampir semua manajemen kesiswaan telah disosialisasikan kepada para guru TK di Kecamatan X.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua sudut pandang yang saling bertolak belakang antara harapan dan kenyataan. Harapannya melalui berbagai kebijakan yang tertuang melalui undang-undang dengan segala konsekuensinya termasuk sertifikasi guru, diharapkan dapat meningkatkan kinerja guru dalam mengelola dan melayani masyarakat dalam bidang pendidikan. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Sebagian besar guru TK, khususnya di Kecamatan X kurang optimal dalam mengelola siswanya.

B. Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan peneliti ungkap yaitu bagaimanakah hubungan antara kualifikasi guru dengan pola manajemen kesiswaan di Taman Kanak-kanak Se-Kecamatan X ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara kualifikasi pendidikan guru dengan pola manajemen kesiswaan di Taman Kanak-kanak Se-Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini, maka manfaat penelitian ini antara lain : 
1. Bagi Guru
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola siswa Taman Kanak-kanak.
2. Bagi Siswa
Siswa akan mendapatkan pelayanan yang memadai seperti yang diharapkan dalam pola manajemen kesiswaan di Taman Kanak-kanak.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:05:00

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN KESEJAHTERAAN TERHADAP KINERJA GURU TK

STUDI KORELASI LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN KESEJAHTERAAN TERHADAP KINERJA GURU TK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber daya manusia merupakan aset paling penting dalam suatu organisasi karena merupakan sumber yang mengarahkan organisasi serta mempertahankan dan mengembangkan organisasi dalam berbagai tuntutan masyarakat dan zaman. Oleh karena itu, sumber daya manusia harus selalu diperhatikan, dijaga, dan dikembangkan. Sumber daya manusia perlu dikembangkan secara terus menerus agar diperoleh sumber daya manusia yang bermutu dalam arti sebenarnya yaitu pekerjaan yang dilaksanakan akan menghasilkan sesuatu yang dikehendaki. Bermutu bukan hanya pandai saja tetapi juga memenuhi syarat kualitatif yang dituntut dari pekerjaan sehingga pekerjaan benar-benar dapat diselesaikan sesuai rencana.
Adanya usaha peningkatan pembangunan, maka masalah penyiapan tenaga kerja yang mempunyai kemampuan dalam bidang ilmu. pengetahuan dan teknologi mutlak diperlukan. Di pihak lain sangat disadari permasalahan ketenagakerjaan kita masih dianggap memiliki mutu yang rendah.
Peningkatan mutu pendidikan tidak hanya ada pada faktor guru. Analisis terakhir menunjukkan bahwa "guru tetap merupakan faktor kunci yang paling menentukan, karena proses kegiatan belajar mengajar ditentukan oleh pendidik dan peserta didik" (Falah Yunus, 2005 : 3). Hal ini mencerminkan betapa pentingnya peran guru dalam meningkatkan mutu pendidikan, bahwa faktor utama yang menjamin sekolah lebih adalah apabila sekolah tersebut memiliki guru-guru yang baik, karena itu harapan untuk memiliki sekolah yang baik dalam arti berkualitas tinggi harus didahului dengan pembinaan terhadap gurunya.
Kualifikasi guru yang diharapkan dapat memperbaiki mutu pendidikan adalah mereka yang mampu dan siap berperan secara profesional dalam dua lingkungan besar yaitu sekolah dan masyarakat. Hal ini memberi arti bahwa guru yang profesional adalah guru yang mampu menunjukkan performansi mengajar yang tinggi dalam tugasnya, dan berinteraksi dengan anak didik, kepala sekolah, sesama guru, staf administrasi sekolah, dan masyarakat di luar sekolah. Di samping itu guru yang profesional juga diharapkan mampu berkomunikasi dengan orang tua anak didik, masyarakat sekitarnya, dan organisasi atau institusi terkait dengan lembaga pendidikan. Untuk dapat menghasilkan guru-guru yang performansi nya bagus, maka guru-guru harus memiliki kemampuan dalam bahan pelajaran, profesi, penyesuaian diri, sikap-sikap nilai dan kepribadian. Menurut Undang-undang tentang guru dan dosen nomor 14 tahun 2005 ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru yaitu : "1. kompetensi Pedagogik, 2. kompetensi kepribadian, 3. kompetensi profesional, dan 4. kompetensi sosial".
Kemampuan profesional adalah guru yang bertanggung jawab, mampu melaksanakan perannya, mampu bekerja untuk mencapai tujuan pendidikan dan mampu melaksanakan perannya dalam mengajar di kelas.
Studi tentang aspek pendidikan dan latihan guru, telah banyak dilakukan hal ini untuk membantu guru-guru baru mengembangkan kompetensinya ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, untuk mengetahui performansi guru dalam melaksanakan performansi nya adalah perlu. Bagi guru yang memiliki performansi mengajar yang kurang, sehingga menghasilkan siswa yang kurang bermutu, maka perlu ditanggulangi dengan upaya pengembangan staf atau pembinaan profesi guru. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar, pemerintah telah banyak melakukan upaya dengan jalan penataran, dan peningkatan pendidikan guru. 
Hal ini didasarkan pada program pengembangan pendidikan guru. Walaupun demikian masih banyak sorotan tentang rendahnya mutu guru. Sehingga dirasa perlu dilakukan upaya berkelanjutan (terus menerus) meningkatkan tingkat pendidikan para guru, diadakan kegiatan penataran, serta dapat memberikan motivasi para guru guna mendorong meningkatkan performansi mengajarnya. Sebagai seorang pengejawantah ilmu pengetahuan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini adalah tingkat pendidikan guru yang merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam pembelajaran atau mutu pendidikan.
Prestasi kerja (kinerja) guru tidak cukup hanya dicapai dengan peningkatan pendidikan dan pelatihan saja, tetapi juga bisa karena faktor kesejahteraan guru yang bersangkutan. Jika hal tersebut terpenuhi, maka guru akan giat bekerja sehingga prestasi kerja (kinerja) dapat meningkat. Kinerja (prestasi kerja) guru TK di Kecamatan X tentu dipengaruhi oleh kebutuhan seperti yang dimaksud di atas, dan mereka akan bekerja keras jika pekerjaannya dapat memenuhi kebutuhan. Faktor kesejahteraan sebagai guru ikut mempengaruhi kinerja dalam pelaksanaan tugas di sekolah. Seorang guru yang sudah sejahtera akan lebih fokus dan totalitas dalam bekerja dibandingkan dengan guru yang belum sejahtera.
Di Kecamatan X terdapat guru Taman Kanak-Kanak (TK) sebanyak 62 orang. Mereka mempunyai latar belakang pendidikan dan latar belakang ekonomi yang beragam. Dengan kondisi seperti itu secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kinerja mereka. Hal ini terlihat antara lain : masih banyak guru TK yang mempunyai pekerjaan lain (entah sebagai pekerjaan sampingan atau utama) selain mengajar, jam berangkat mengajar mereka lebih banyak terlambat. Dalam hal manajemen kelas dan administrasi kelas mereka terkesan asalan-asalan atau apa adanya, dan tidak kreatif.
Semua orang perlu kesejahteraan, demikian pula guru yang keseharian bergumul dan terikat dengan waktu dan tempat. Sebutan mulia yang sudah tersandang di pundak masing-masing sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka bekerja keras tanpa membedakan si kaya dan si miskin, lelaki atau perempuan, anak pejabat atau bukan, yang jelas semua anak didik dibinanya agar menjadi anak yang cerdas, berkualitas dan bertanggungjawab. Dengan tanggungjawab moral yang dipercayakan oleh Negara kepada mereka sesuai dengan amanah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa guru bertanggung jawab untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kinerja (prestasi kerja) guru TK di Kecamatan X tentu dipengaruhi oleh kebutuhan seperti yang dimaksud di atas, dan mereka akan bekerja keras jika pekerjaannya dapat memenuhi kebutuhan. Faktor kesejahteraan sebagai guru ikut mempengaruhi kinerja dalam pelaksanaan tugas di sekolah. Seorang guru yang sudah sejahtera akan lebih fokus dan totalitas dalam bekerja dibandingkan dengan guru yang belum sejahtera.
Secara hirarki sejahtera tidak dapat diukur, sejahtera berarti terpenuhi kebutuhan lahir maupun batin, sandang, pangan, dan papan. Dahulu orang sudah dapat makan pagi dan malam dan rumah serta pakaian seadanya sudah boleh dikatakan sejahtera. Lain hal dengan sekarang, ukuran sejahtera sudah berubah polanya. Tidak hanya cukup sandang, pangan, dan papan, akan tetapi lebih dari itu.
Atas dasar uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang "Studi korelasi latar belakang pendidikan dan kesejahteraan terhadap kinerja guru TK" di Kecamatan X.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 
1. Masih terdapatnya guru TK yang belum mempunyai kualifikasi pendidikan yang disyaratkan sehingga kinerja guru dalam perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, serta kinerja guru dalam disiplin tugas belum optimal.
2. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru TK sehingga kinerja yang dimiliki para guru sehingga loyalitas kerja guru kurang memuaskan.
3. Masih banyak guru TK yang mempunyai pekerjaan lain selain menjadi guru TK. Apakah pekerjaan itu sebagai pekerjaan utama atau pekerjaan sampingan.

C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini disusun dalam bentuk pertanyaan di bawah ini.
1. Bagaimana latar belakang pendidikan guru TK di Kecamatan X ?
2. Bagaimana keadaan dan tingkat kesejahteraan guru TK di Kecamatan X ?
3. Pekerjaan sampingan apa saja yang dilakukan oleh guru untuk memenuhi kesejahteraannya ?
4. Bagaimana kinerja guru TK di Kecamatan X ditinjau dari latar belakang pendidikan dan kesejahteraan ?
5. Adakah hubungan latar belakang pendidikan dan kesejahteraan terhadap kinerja guru TK di Kecamatan X ?

D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan batasan dan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan-tujuan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut.
1. Latar belakang pendidikan guru TK di Kecamatan X.
2. Keadaan dan tingkat kesejahteraan guru TK di Kecamatan X.
3. Pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh guru untuk memenuhi kesejahteraannya.
4. Kinerja guru TK di Kecamatan X ditinjau dari latar belakang pendidikan dan kesejahteraan.
5. Hubungan latar belakang pendidikan dan tingkat kesejahteraan terhadap kinerja guru TK di Kecamatan X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:05:00

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JAWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JAWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN DI TK


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan zaman modern saat ini dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya. Bahasa juga memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial
Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu masalah yang menuntut perhatian banyak pihak, karena pendidikan memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup manusia. Peningkatan mutu pendidikan sangat tergantung kepada kualitas guru dan praktik pembelajarannya.
Peningkatan kualitas pembelajaran dipengaruhi banyak faktor diantaranya faktor guru dan faktor siswa. Dalam pembelajaran guru memegang peranan utama karena materi pembelajaran dapat diterima, dipahami dengan mudah oleh siswa, jika guru dalam menyampaikan materi pelajaran menggunakan teknik-teknik pembelajaran yang disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
Proses pembelajaran guru memilih dan menggunakan beberapa teknik-teknik pembelajaran. Pemilihan teknik-teknik pembelajaran perlu memperhatikan beberapa hal seperti materi yang disampaikan, tujuan pembelajaran, waktu yang tersedia, jumlah siswa, fasilitas, kondisi lingkungan siswa, tingkat kemampuan yang dimiliki siswa, serta hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi. Komunikasi tersebut tentunya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra Indonesia.
Pemerolehan dan kompetensi bahasa yang meliputi tataran fonologis (bunyi), morfologis (kata), sintaksis (kalimat), dan semantis (makna) harus diintegrasikan ke dalam proses kegiatan belajar mengajar. Permainan-permainan yang disesuaikan dengan tataran kebahasaan tersebut. Permainan true or false misalnya digunakan untuk melatih tataran sintaksis, card sort untuk tataran semantis, dan lain-lain. Seperti pemerolehan pengetahuan yang lain, pemerolehan bahasa pun sebaiknya dilakukan bertahap dari tataran fonologis kemudian meningkat sampai ke tataran semantis, karena secara kognitif, manusia (dalam hal ini khususnya anak) mempelajari dan memproduksi bahasa dari bunyi yang dia dengar kemudian ditiru dan diucapkan, kemudian membentuk kata, menyusun kata menjadi kalimat, berlanjut menuju memaknai kata atau kalimat. Kompetensi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis harus terintegrasi dalam pengajaran bahasa.
Pengajaran bahasa merupakan salah satu bentuk pengajaran yang memiliki cara yang berbeda dalam metode pengajarannya dibandingkan dengan bidang-bidang yang lain. Bahasa sebagaimana kita ketahui didapatkan oleh seseorang melalui dua hal, yaitu melalui perolehan dan melalui pembelajaran. Didapatkan melalui perolehan di sini artinya yakni di mana seseorang untuk pertama kalinya memperoleh bahasa (masih murni, belum memiliki bahasa) dalam penjelasan hal ini yang dimaksud yakni anak usia dini. Sistem kehidupan inilah yang menyerap semua aspek-aspek tentang bahasa pertamanya dari orang tua, keluarga dan lingkungan sekitarnya tanpa harus belajar.
Pembelajaran bahasa Indonesia pada dasarnya bertujuan membekali peserta didik kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis. Perubahan atau pergantian kurikulum selalu menimbulkan masalah dan kebingungan bagi semua yang terlibat dalam kegiatan pendidikan, terutama guru. Apa pun kurikulumnya, guru bahasa Indonesia harus tetap berpegang pada tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. Guru perlu terus berusaha meningkatkan kemampuannya dan terus belajar untuk memberikan yang terbaik bagi peserta didik
Agar dapat berkomunikasi secara baik, seseorang perlu belajar cara berbahasa yang baik dan benar. Hal tersebut akan lebih baik jika diajarkan sejak dini dan berkesinambungan. Setiap peserta didik dituntut untuk mampu menguasai bahasa yang mereka pelajari terutama bahasa resmi yang digunakan oleh negara yang ditempati peserta didik serta bahasa daerah sebagai keragaman lokal adat istiadat nasional sebagai dasar untuk berkomunikasi anak usia dini.
Selanjutnya menilik keberadaan bahasa daerah merupakan salah satu kebanggaan Bangsa Indonesia yang menunjukkan keanekaragaman budayanya. Bahasa Jawa merupakan salah satu dari sekian banyak bahasa daerah di Indonesia yang keberadaannya ikut mewarnai keragaman budaya bangsa Indonesia. Sebagai orang Jawa yang lahir dan besar di Jawa, sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan bahasa Jawa. Menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan sesama pengguna bahasa Jawa adalah salah satu cara untuk melestarikan bahasa Jawa. Akan tetapi, ironisnya sekarang ini pengguna sekaligus pemilik bahasa Jawa sudah enggan menggunakannya, bahkan sudah ada yang mulai meninggalkannya.
Faktor yang paling dominan dari hal tersebut adalah kurangnya pendidikan berbahasa Jawa dengan baik di lingkungan keluarga. Orang tua tidak memperhatikan bahwa kurangnya pendidikan dalam keluarga akan mengakibatkan anak-anak tidak dapat menggunakan bahasa Jawa dengan benar, yang akhirnya kaum muda jika berkomunikasi dengan orang tua menggunakan bahasa Indonesia atau dengan bahasa Jawa yang sudah "rusak" (Widada 1993 : 37). Faktor lain adalah lingkungan. Lingkungan yang kurang mendukung mereka untuk selalu menggunakan bahasa Jawa ragam krama dalam mereka berkomunikasi. Yang kedua secara tidak kita sadari tingkat mobilitas penduduk yang semakin tinggi juga berpengaruh. Berpindahnya orang-orang kota ke wilayah pedesaan serta banyak dibangunnya perumahan di dekat atau di daerah pedesaan sehingga banyak pendatang yang latar belakangnya bukan orang Jawa juga berpengaruh terhadap menurunnya intensitas pemakaian bahasa Jawa. Pergaulan kita dengan orang yang tidak bisa berbahasa Jawa mau tidak mau memaksa kita untuk menyesuaikan dengan mereka dalam kita berkomunikasi.
Dimana TK X dan TK Y terletak di daerah pedukuhan dan memiliki basic bahasa yang digunakan adalah lebih banyak menggunakan bahasa ibu/bahasa Jawa sehari-hari, hal ini tentunya akan berefek pada proses pembelajaran di awal tahun pelajaran ketika anak bersekolah.
Hal yang menarik dari persoalan kebahasaan tersebut adalah dua bahasa yang memungkinkan digunakan/dipraktekkan sekaligus dalam proses pendidikan atau pembelajaran, terutama pada anak usia dini, sebab pada awal tahun pelajaran anak yang masuk di TK X dan TK Y masih ada yang menggunakan bahasa ibu/bahasa Jawa, ada yang menggunakan bahasa campuran, ada juga yang menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga akan memunculkan variasi penggunaan bahasa dalam fenomena di lapangan, di awal tahun pelajaran : 1. Berkomunikasi bahasa jawa daerah di mana pemakai tinggal yang di gunakan sebagai alat komunikasi dengan ciri bahasa tertentu. 2. Bahasa Indonesia di gunakan sebagai bahasa pengantar awal dalam proses pembelajaran yang masih harus di gabungkan dengan bahasa jawa. 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas peneliti berkeinginan melaksanakan penelitian yang berjudul "Penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa Dalam Proses Pembelajaran di TK”. Maka rumusannya adalah bagaimanakah guru menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sebagai pengantar pembelajaran di TK ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan ungkapan-ungkapan kata atau kalimat yang di gunakan guru sebagai pengantar bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sebagai pengantar dalam proses pembelajaran di TK X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang Bagaimanakah guru menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa sebagai pengantar pembelajaran di TK X, dominasi antara bahasa Indonesia atau bahasa Jawa yang digunakan guru sebagai bahan pengantar pembelajaran, hambatan yang dialami guru dalam menggunakan bahasa Indonesia bahasa Jawa sebagai bahan pengantar pembelajaran secara khusus maupun pelaku pendidikan Indonesia secara umum, sehingga nantinya dengan hasil penelitian ini diharapkan ada wacana baru pada diskursus mengenai fenomena penggunaan bahasa sebagai penguasaan bahasa dasar anak dalam pembelajaran dan juga diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu-ilmu pendidikan baik di tingkat akademis maupun di tingkat praktis. 
2. Kegunaan Terapan
Penelitian ini diharapkan akan berguna untuk memberikan gambaran dan masukan bagi pelaku pendidikan secara khusus dan juga bagi para pemerhati realitas pendidikan yang ada, agar ke depan wacana internalisasi pendidikan dalam ranah pola-pola pembelajaran bahasa dapat diejawantahkan pada sisi praktis pendidikan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:04:00

STUDI DESKRIPTIF TENTANG KINERJA GURU TK YANG TELAH MENDAPATKAN SERTIFIKASI DITINJAU DARI KOMPETENSI PEDAGOGIK, KEPRIBADIAN, PROFESIONAL DAN SOSIAL

STUDI DESKRIPTIF TENTANG KINERJA GURU TK YANG TELAH MENDAPATKAN SERTIFIKASI DITINJAU DARI KOMPETENSI PEDAGOGIK, KEPRIBADIAN, PROFESIONAL DAN SOSIAL



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru tidak hanya diwajibkan memiliki kualifikasi akademik, tetapi juga kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi professional. Sertifikasi menjadi terobosan untuk mendongkrak mutu pendidikan dan kesejahteraan guru.
Survei yang dilaksanakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi terhadap kinerja guru menyatakan bahwa kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi belum memuaskan. Hal ini terlihat pada guru TK Kabupaten X yang telah mendapatkan sertifikasi bekerja dengan pola lama.
Guru TK di Kabupaten X yang telah lolos sertifikasi rentang waktu 2007 sampai dengan 2010 sebanyak 17 orang. Dari sekian guru yang telah tersertifikasi ternyata masih ada guru yang belum melaksanakan pekerjaan dengan professional. Hal ini terlihat (dari hasil pengamatan dan diskusi kecil dengan rekan-rekan guru) masih ada guru yang sering terlambat dalam menunaikan kewajibannya. Begitu juga dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah masih banyak guru yang asal-asalan dalam membimbing dan mengarahkan para siswanya. Pembelajaran pun masih monoton dan tidak kreatif.
Hasil survei itu memperkuat dugaan sebagian masyarakat bahwa program ini bisa berkecenderungan menjadi "proyek" formalitas. Sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standarisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekedar formalitas dengan menunjukkan portofolio yang mereka dapat dengan cara cepat.
Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukkan guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi. Harapan mereka adalah segera lolos sertifikasi berikut memperoleh uang tunjangan profesi (http://suaraguru.wordpress.com). Hasil survei tersebut memperkuat dugaan sebagian besar masyarakat yang menyebut "proyek" program sertifikasi guru itu sekadar formalitas. Para guru yang belum tersertifikasi terlihat bekerja keras (dengan berbagai cara sampai pada cara-cara instan) demi mendapatkan sertifikasi guru. Lebih dari itu, tujuan lainnya adalah memperoleh tunjangan profesi yang jumlahnya lumayan besar.
Kerja keras guru tersebut ternyata hanya berlaku saat akan mengikuti sertifikasi. Tapi, pasca sertifikasi, kemampuan dan kualitas guru sama saja. Dengan kata lain, ada atau tanpa sertifikasi, kondisi dan kemampuan guru sami mawon atau sama saja. Tidak ada perubahan dan peningkatan signifikan pada kualitas diri dan pembelajaran di sekolah. Mengapa itu terjadi ?
Jika merujuk pedoman yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sertifikasi merupakan upaya peningkatan kualitas guru yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Diharapkan, program itu meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Bentuk peningkatan kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi (TP) sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik. Tunjangan itu berlaku bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun yang bukan atau non-PNS.
Namun, ada beberapa catatan kritis yang perlu terus dikemukakan sebagai pengingat. Pertama, sertifikasi berpotensi menjadi komersialisasi sertifikat. Para guru hanya berorientasi pada selembar sertifikat/portofolio. Bahkan, para guru berani membayar berapa pun untuk ikut kegiatan seminar atau workshop pendidikan, meski hasilnya tak sesuai dengan harapan. Tujuan asasi sertifikasi, yakni meningkatkan kualitas dan kompetensi guru, akhirnya memudar.
Kedua, bermunculan berbagai lembaga penyedia jasa seminar atau workshop awu-awu. Mereka mencari para guru yang "gila" akan sertifikat sebagai lampiran dalam portofolio. Bahkan, tidak sedikit lembaga penyedia sertifikasi instan yang memanfaatkan antusiasme guru yang berorientasi pada selembar sertifikat. Tapi, kegiatan riil nya tidak jelas. Makelar-makelar pendidikan pun tumbuh subur di tengah kebutuhan para guru mendapatkan sertifikat atau portofolio. Kegiatan yang dilakukan penyedia jasa tersebut hanya formalitas, bahkan berorientasi materi. Bagi penyelenggara, yang penting dapat memberikan sertifikat yang dibutuhkan para guru.
Ketiga, selama ini sertifikasi guru hanya didominasi dan dimonopoli guru PNS. Sedangkan guru swasta cenderung dianaktirikan. Seharusnya, pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam kebijakan sertifikasi. Guru swasta mempunyai hak sama untuk mendapatkan sertifikasi guna meningkatkan kualitas dan kompetensi, juga tunjangan.
Keempat, ternyata kebijakan sertifikasi bagi guru cenderung berorientasi pada harapan kenaikan tunjangan, bahkan sekadar formalitas yang ditunjukkan dengan sebuah portofolio. Kadang portofolio itu juga bermasalah dalam pengajuannya (manipulasi dan instanisasi). Portofolio bisa saja dipermainkan oleh guru yang hanya mengejar kenaikan tunjangan. Dengan begitu, tujuan awal sertifikasi, yaitu menghasilkan standardisasi dan kualifikasi guru yang kapabel dan kredibel, pudar. Penilaian terhadap kualitas dan kompetensi guru yang diwujudkan dalam portofolio tersebut berpotensi subjektif.
Kelima, sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan saja. Sudah beberapa kali gaji tunjangan guru dinaikkan, tapi hasil dan kinerja mereka masih rendah saja. Uang miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk program sertifikasi itu bisa sia-sia karena tak berbekas pada peningkatan kualitas pendidik dan pengajaran.
Berdasar data Depdiknas, sampai 2010 sudah ada sekitar 400.450 guru yang masuk program sertifikasi. Di antara jumlah tersebut, yang sudah dinyatakan lulus 361.460 guru. TP tidak serta-merta bisa dimiliki semua guru. Meski, pemberian TP tidak dihentikan -dalam hal ini Depdiknas berencana tetap mengevaluasi secara ketat program tersebut. Tahun ini Depdiknas bakal mengeluarkan standar operasional prosedur (SOP) yang digunakan untuk memantau kinerja guru seiring dengan dilaksanakannya sertifikasi (http://suaraguru.wordpress.com).
Dalam implementasinya, dinas pendidikan kabupaten/kota bertanggung jawab penuh dan akan langsung memantau kinerja peserta sertifikasi. Jika memang guru tak memenuhi kewajiban, TP bisa dihentikan. Selain itu, bila dalam pemantauan guru tersertifikasi memiliki kinerja rendah, tidak tertutup kemungkinan TP-nya dihentikan. Dengan kata lain, TP bakal terus diberikan kepada guru tersertifikasi dengan kinerja yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Sekjen Depdiknas Dodi Nandika, nanti TP diberikan berdasar kinerja (http://suaraguru.wordpress.com).
Akhirnya, dinas pendidikan didorong untuk memperbaiki dengan lebih maksimal agar program sertifikasi mampu melahirkan kualitas dan profesionalitas guru yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan, tak sekadar guru memperoleh tunjangan materi.
Kebijakan dan program sertifikasi guru itu perlu diawasi lebih ketat agar tidak menjadi formalisme atau sekadar ajang mendapatkan TP. Apalagi, terjadi manipulasi dokumen ataupun portofolio. Karena itu, para guru yang telah mendapatkan sertifikasi perlu dipantau terus-menerus, apakah memiliki kapasitas dan kompetensi yang sebenarnya dalam mengajar. Yang lebih penting lagi adalah peningkatan nilai produktivitas guru dalam mengajar dan berkarya sehingga sertifikasi benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas guru dan pendidikan (http://suaraguru.wordpress.com).
Ada satu hal yang mungkin terabaikan-untuk tidak mengatakan terlupakan-pasca sertifikasi. Entah disadari atau tidak yang jelas bahwa proses ini sangat penting untuk keberlanjutan dan keberlangsungan profesionalitas masing-masing guru. Proses itu bernama evaluasi kinerja pasca guru disertifikasi.
Penulis menganggap bahwa sertifikasi bukanlah akhir dari pencapaian tertinggi seorang guru dalam pengajarannya. Ia hanyalah sarana bagi guru agar senantiasa secara konsisten menjaga dan meningkatkan kecakapan seorang pendidik, dan pemerintah memberi maslahat tambahan berupa penghasilan di atas rata-rata.
Bolehlah ini disebut penghargaan atas jasa-jasa seorang guru, namun itu saja tidak cukup karena jika kita kembali pada konsep awal mengenai sertifikasi, kita mesti tahu bahwa hal ini dimaksudkan agar guru bisa tenang dan profesional dalam proses transfer of knowledge dan pemahaman moralitas bagi anak-anak didiknya. Karena boleh jadi, bagi sebagian guru, sertifikasi adalah garis finis sehingga tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas personal masing-masing guru setelahnya.
Sertifikasi bukan hadiah, ia adalah penghargaan atas integritas kedirian seorang pendidik, dan ada tanggung jawab moral untuk memacu diri pasca sertifikasi. Sebagai penutup ada baiknya dicamkan perkataan Vina Barr, seorang guru teladan di Florida yang berucap "Kami bukan hanya guru, kami adalah seniman pendidikan, kami melukis pikiran orang-orang muda" (http://edukasi.kompasiana.com).
Dari berbagai uraian diatas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian, untuk mengetahui kompetensi kinerja guru TK yang telah mendapatkan sertifikasi di Kabupaten X, khususnya pada proses kegiatan belajar mengajar.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 
1. Masih terdapatnya persoalan dimana kinerja guru yang telah mendapatkan sertifikasi dalam perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi pembelajaran, serta kinerja guru dalam disiplin tugas belum optimal.
2. Rendahnya kinerja yang dimiliki para guru yang telah mendapatkan sertifikasi sehingga loyalitas kerja guru kurang memuaskan. 

C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan tidak terlalu luas, maka perlu adanya pembatasan masalah. Untuk itu penulis membatasi masalah pada kinerja guru ditinjau dari kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi professional, kompetensi sosial.

D. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, penulis menganggap perlu adanya perumusan masalah agar pembahasannya terarah dan tidak meluas. Dengan demikian perumusan masalahnya adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana Kinerja Guru TK Di Kabupaten X yang telah tersertifikasi ?
2. Bagaimana Kompetensi Guru TK Di Kabupaten X yang telah tersertifikasi ?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang ada maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja guru TK yang telah mendapatkan ditinjau dari kompetensi di Kabupaten X.

F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana kinerja guru TK yang telah tersertifikasi di Kabupaten X. Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 
1. Universitas Negeri X, khususnya program Sarjana, Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Guru PAUD sebagai wujud pelaksanaan dari salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan.
2. Sebagai langkah terapan dari ilmu yang diperoleh peneliti dari bangku kuliah, untuk dijadikan masukan dalam menyelesaikan skripsi. 
3. Pemerintah, hasil penelitian ini akan memberikan masukan pada pemerintah untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan kualitas kebijakannya.
4. Hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan, sehingga dapat membantu guru dalam melangsungkan pelaksanaan kebijakan sertifikasi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:04:00

IMPLEMENTASI PENDEKATAN SELARAS PERKEMBANGAN (DAP) DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA 4 SAMPAI 6 TAHUN

IMPLEMENTASI PENDEKATAN SELARAS PERKEMBANGAN (DAP) DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA 4 SAMPAI 6 TAHUN


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masa kanak-kanak awal merupakan masa emas perkembangan anak atau sering disebut dengan the golden age, dimana potensi anak dari manapun dia berasal berdasarkan riset terkini diyakini sangat luar biasa dan menakjubkan (sarwa potensi). Gambaran tentang potensi anak yang diyakini terpercaya, secara sederhana saat ini salah satunya ditunjukkan dengan teridentifikasi beberapa ragam kecerdasan anak. Hurlock (1978) menyatakan bahwa sedikitnya terdapat enam tugas perkembangan pada masa kanak-kanak awal ini, namun yang paling sulit bagi anak adalah belajar untuk berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara-saudara kandung dan orang lain. Hal ini berkaitan dengan ciri-ciri atau karakteristik anak yang bersangkutan. Seorang guru anak usia dini sewajarnya memahami bahwa komponen anak merupakan komponen terpenting dalam proses pengajaran. Karenanya proses pengajaran itu harus diciptakan atas dasar pemahaman siapa dan bagaimana anak tumbuh dan berkembang.
Dengan kata lain kegiatan pembelajaran yang secara praktis dikembangkan guru di TK dituntut untuk berorientasi pada perkembangan anak (DAP) secara tepat, merujuk pada pemahaman yang mendalam (philosophy) tentang pentingnya pengejawantahan pengetahuan mengenai perkembangan anak ke dalam setiap keputusan pengembangan program dan praktek pembelajaran. Pendekatan selaras perkembangan mendasarkan pada pemahaman baik dimensi umur anak maupun dimensi individunya. Dengan pendekatan selaras perkembangan pembelajaran berorientasi pada apa yang anak sukai, anak harapkan atau anak inginkan. Pendekatan selaras perkembangan menghendaki pembelajaran menjadi lebih bersifat "child initiated, child-directed" dan "teacher-supported". Ketiganya sebagai komponen esensial dalam pendekatan selaras perkembangan (Carol, 1995).
Agar dapat mengintegrasikan tujuan, kegiatan dan perkembangan anak, guru harus (mutlak) memahami kebutuhan dan karakteristik perkembangan anak. Jadi, kriteria utama bagi seorang guru jika ingin sukses menyandang gelar sebagai guru Taman Kanak-Kanak profesional adalah dengan membekali diri berupa kemampuan (kompetensi) untuk menyelami perkembangan dan karakteristik anak. Guru juga harus mampu menyediakan arahan dan bimbingan yang tepat bagi anak agar mereka dapat mengeksplorasi lingkungannya melalui setiap tahap perkembangan yang bermakna dan belajar dalam situasi yang menyenangkan, menarik, serta relevan dengan pengalaman mereka.
Salah satu keterampilan yang penting untuk dikuasai anak pada masa kanak-kanak awal (prasekolah) adalah keterampilan sosial. Dengan mengembangkan keterampilan sosial sejak dini akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga anak dapat berkembang secara normal dan sehat. Menurut teori Moeslichatoen (dalam http://docstoc.com yang diakses pada tanggal 24 Februari 2010) mengungkapkan keterampilan sosial pada anak usia prasekolah antara lain : membina dan menanggapi hubungan antar pribadi dengan anak lain secara memuaskan, tidak suka bertengkar, tidak ingin menang sendiri, berbagi kue dan mainan, juga sering membantu.
Perkembangan sosial anak dimulai dari egosentrik, individual ke arah interaktif, dan kelompok. Perkembangan sosial yang meliputi dua aspek penting yaitu kompetensi sosial dan tanggung jawab sosial (Kostelnik, Soderman, & Waren : 1993). Kompetensi sosial menggambarkan kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan sosialnya secara efektif. Sedangkan tanggung jawab sosial antara lain ditunjukkan oleh komitmen anak terhadap tugas-tugasnya, menghargai perbedaan individual, memperhatikan lingkungannya, dan mampu menjalankan fungsinya sebagai warga negara yang baik. Tentu saja perkembangan sosial tersebut berjalan secara bertahap.
Keterampilan sosial perlu dikuasai anak karena akan membekali anak untuk memasuki kehidupan sosial yang lebih luas baik di lingkungan rumah terlebih lagi di lingkungan sekolah yang akan segera dimasukinya. Lingkungan pertama tempat anak melatih keterampilan sosialnya selain di lingkungan keluarga adalah lingkungan sekolah dan pihak yang cukup berkompeten dalam mengenalkan bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan adalah guru TK. Oleh karena itu pembelajaran di TK pada tahap awal lebih dominan kegiatan individual dari pada kegiatan kelompok, akan tetapi kegiatan kelompok kecil dan klasikal juga penting untuk memperkenalkan kepada tentang keterampilan sosial. Adanya interaksi dengan anak yang lain, anak mulai mengenal adanya perbedaan pola pikir dan keinginan dari anak lainnya. Hal ini membuat egosentrismenya semakin berkurang, mengembangkan rasa empati dan melatih kerjasama.
Namun berdasarkan hasil penelitian Wisnu Sri Hertinjung, Pratini, dan Wiwin Dinar Pratisti dalam penelitiannya yang berjudul Keterampilan Sosial Anak Pra Sekolah ditinjau dari Interaksi Guru-Siswa Model Mediated Learning Experience di TK Aisyiyah Pabelan kelompok B tahun 2007 menyatakan bahwa yang terjadi adalah orang dewasa jarang memberikan penguatan yang memadai kepada anak, sehingga mengakibatkan kurang berkembangnya keterampilan sosial anak. Banyak guru mengeluh tentang bagaimana cara menerapkan keterampilan sosial pada awal masuk sekolah, dikarenakan ada permasalahan sosial yang sering dialami seperti tidak mau di tinggal sedangkan orang tua harus bekerja, anak bermain sendiri karena tidak mempunyai teman bermain yang dikenal dan atau bersikap menang sendiri. Hal tersebut terjadi disebabkan lingkungan Taman Kanak-Kanak merupakan lingkungan baru bagi anak. Begitu juga teman-teman bermain yang belum anak-anak kenal. Di pihak lain guru pun memiliki banyak target yang harus dicapai dan seringkali lebih banyak memberikan perangsangan kognitif.
Akan tetapi berbeda dengan keadaan di Taman Kanak-Kanak X dan TK Y di kabupaten X. Berdasarkan pengamatan peneliti dari 36 TK di X beberapa bulan sebelum penelitian di Taman Kanak-Kanak X dan TK Y dimana setiap hari sebagian besar anak tidak ditunggu oleh orang tuanya. Jadi orang tua hanya mengantar dan menjemput saja. Anak-anak bermain bersama-sama, mau diajak berkomunikasi dengan orang dewasa dan frekuensi bermusuhan yang sedikit. Selain dilihat Selain itu juga berdasarkan panduan pengembangan kegiatan selaras perkembangan guru yang berkualifikasi untuk bekerja menangani usia 4 sampai 6 tahun adalah guru yang berijazah sesuai program pendidikan anak-anak, dalam hal ini adalah S1 PAUD dan pernah mengikuti pelatihan tentang pendekatan selaras perkembangan.
Prestasi yang pernah diraih oleh kedua TK tersebut juga cukup banyak baik dari guru ataupun anak. Hal ini berkat pengembangan bakat dan minat anak didik yang dilakukan oleh guru sendiri sehingga tersalurkan dengan baik dan memperoleh prestasi. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat yang didukung dengan sarana dan prasarana sekolah. Kedua TK tersebut mempunyai karakter yang berbeda, terlihat dalam penyusunan program kegiatan untuk menunjang dan menambah pengetahuan anak di luar sekolah. TK X dalam melaksanakan kegiatan tanpa didampingi oleh orang tua sehingga anak mandiri, disiplin dan mempunyai hubungan sosial yang baik dengan teman yang lain. Komite juga berjalan dengan baik. Begitu juga dengan TK Y dimana setiap minggu sekali mendapat pembinaan dari kepolisian untuk pengenalan aturan lalu lintas sehingga anak sudah mengenal aturan dan disiplin baik di dalam kelas ataupun di jalan raya.
Berdasarkan dari hasil observasi tersebut diduga di TK X dan TK Y telah menggunakan pendekatan selaras perkembangan dalam pembelajaran keterampilan sosial.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian deskripsi ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana gambaran implementasi pendekatan yang selaras perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun pada TK X dan TK Y.
2. Apakah faktor yang menghambat implementasi DAP dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun pada TK X dan TK Y ?
3. Apakah faktor yang mendukung implementasi DAP dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun pada TK X dan TK Y ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Memberikan gambaran tentang implementasi pendekatan selaras dengan perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun TK X dan TK Y pada saat pembelajaran. 
2. Menjelaskan tentang faktor penghambat pelaksanaan penerapan pendekatan selaras dengan perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial.
3. Menjelaskan tentang faktor pendukung dari penerapan pendekatan selaras perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoretis
Pengembangan IPTEK, diharapkan memberikan kontribusi yang baik pada pengembangan ilmu pengetahuan berupa informasi tentang implementasi pendekatan selaras dengan perkembangan (DAP).
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru : dengan dilaksanakannya penelitian ini, menambah wawasan guru dan lebih memahami pendekatan selaras dengan perkembangan serta diharapkan dapat menerapkan ke anak didik.
b. Bagi peneliti : penelitian ini akan memberi pengalaman serta menambah wawasan dalam memahami pendekatan selaras dengan perkembangan untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.
c. Bagi institusi : hasil penelitian ini akan memberi sumbangan yang baik bagi sekolah dalam rangka perbaikan sistem pembelajaran dan sebagai bentuk inovasi model pendek.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:03:00

KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU TAMAN KANAK-KANAK

KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU TAMAN KANAK-KANAK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam memenuhi hak setiap warga negara memperoleh pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan Intelektual dan fisiknya kelihatannya masih belum dapat diatasi secara tuntas. Persoalan mutu Pendidikan Nasional juga masih belum sepenuhnya seperti yang diharapkan.
Menanggulangi masalah pemerataan dan perluasan akses memperoleh pendidikan dan peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing sekaligus di dalam waktu yang bersamaan merupakan hal yang rumit. Permasalahan pendidikan tidaklah berdiri sendiri tetapi terkait dengan aspek masukan, proses, dan keluaran. Masukan pendidikan mencakup antara lain peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan, kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, dana dan perangkat peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku serta lingkungan. Masing-masing komponen masukan ini memiliki karakteristik yang sangat majemuk dan sulit dapat distandarkan.
Salah satu komponen masukan yang sangat strategis adalah ketersediaan Guru TK yang secara kuantitas dan kualitas masih belum memenuhi kebutuhan khususnya di Kabupaten X.
Di samping jumlah dan kemampuan pendidik yang diperlukan beraneka ragam, karakteristik peserta didiknya juga sangat majemuk dilihat dari usia, latar belakang pendidikan sosial, ekonomi dan budaya. Rentang dan jangkauan Guru TK semakin meluas apabila dibawa ke konteks pendidikan sepanjang hayat yang berarti permasalahannya pun semakin kompleks termasuk berkaitan dengan Guru TK yang dibutuhkan.
Untuk menanggulangi masalah mutu pendidik itu program peningkatan mutu Guru TK di bertujuan untuk meningkatkan kecukupan jumlah Guru TK, meningkatkan kemampuannya, kemampuan melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan dan pembelajaran pada setiap satuan Pendidikan Anak Usia Dini.
Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu, berarti bahwa tanggung jawab penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional untuk menjamin warga negara Indonesia, siapapun dan dimanapun akan dapat memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk itulah dalam penyelenggaraan pendidikan Nasional dikenal Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan.
Berkaitan dengan pemahaman tentang pentingnya setiap peserta didik memperoleh pendidikan bermutu yang dapat dipertanggungjawabkan secara kependidikan dan profesional, upaya peningkatan kualitas Guru TK harus dipahami sebagai upaya meratakan mutu pelayanan Guru TK pada Pemerintah Kabupaten X. 
Seiring dengan meningkatnya tuntutan mutu pendidikan, lembaga pendidikan semakin berbenah diri. Salah satu komponen penyelenggaraan pendidikan yang banyak disorot adalah pendidik atau guru, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Disadari bahwa pendidik merupakan garda terdepan pendidikan yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Oleh karena itu tidak heran apabila mutu pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan.
Kondisi dan fakta yang dapat diamati di wilayah bahwa ketersediaan Guru TK yang secara kuantitas dan kualitas masih belum memenuhi kebutuhan, di samping itu adanya faktor yang sangat mempengaruhi mutu para Guru TK adalah faktor ekonomi sehingga belum dapat memenuhi standar kualifikasi pendidikan yaitu (S1) Sarjana. Hal lainnya adalah belum dibentuknya Peraturan Daerah yang di dalamnya membahas tentang peningkatan kualitas pendidik, khususnya Guru TK di sehingga upaya menuju profesionalitas Guru TK dirasakan masih banyak menemui hambatan, padahal profesionalitas Guru PAUD menjadi investasi berharga bagi kemajuan bangsa, karena berbagai studi telah membuktikan bahwa pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan investasi yang strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Perubahan dalam pengembangan sumber daya manusia yang terjadi sekarang ini, di wilayah dalam pendidikan khususnya dalam komponen tenaga Guru TK prosesnya menemui berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut baik bersifat klasikal maupun kontemporer seiring dengan perubahan yang berlangsung. Permasalahan memang tidak dapat dihindari dalam setiap interaksi. Akan tetapi bila tidak diupayakan solusinya dari permasalahan tersebut akan besar. Adapun permasalahan yang melekat dalam pengembangan tenaga Guru TK di yaitu pertama masalah tenaga pendidik yang belum memenuhi persyaratan dan kualifikasi sebagai pendidik atau Guru TK. Yang kedua masalah sistem dan manajemen, yaitu masih lemahnya dalam membangun sistem struktur kendali di Pemerintahan Daerah X, sehingga manajemen belum dapat berjalan sebagaimana mestinya.

B. Fokus Penelitian
Penelitian tentang Kebijakan Pemerintah ini akan difokuskan di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten (DIKPORA) berdasarkan tugas pokok dan fungsi DIKPORA.

C. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dikemukakan selaras dengan fokus penelitian seperti tersebut di atas : 
1. Bagaimana Kebijakan Pemerintah melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK ?
2. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK ?
3. Bagaimana Strategi dalam peningkatan kualitas Guru TK di Kabupaten Y ?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Kebijakan Pemerintah melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK.
3. Untuk mengetahui strategi dalam peningkatan kualitas Guru TK.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Mahasiswa
Sebagai wahana untuk melatih pemikiran dan penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh dalam penyusunan karya ilmiah.
2. Bagi Pemerintah Daerah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian dalam membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidik anak usia dini khususnya Guru Taman Kanak-Kanak.
3. Bagi Guru Taman Kanak-kanak
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang proses pendidikan dan pembelajaran pada setiap satuan pendidikan Taman Kanak-kanak.
4. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan yang telah ada.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:03:00

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Usia Prasekolah adalah usia yang rentan bagi anak, usia dini (0-6 tahun) adalah masa (Golden Age) dimana pada masa ini anak perlu dasar pengasuhan, ini tercermin dalam ungkapan "Belajar di masa kecil, bagai mengukir di atas batu" para ahli menyatakan bahwa mereka yang mendapatkan stimuli dan pengasuhan yang baik selama masa usia dini akan memiliki resiko rendah terkena stres dan gangguan mental. Pada masa ini anak mempunyai sifat meniru atau imitasi terhadap apapun yang dilihatnya, kenyataan yang terjadi di masyarakat tanpa disadari anak semua perilaku serta kepribadian orang tua yang baik dan tidak baik akan ditiru dan direkam oleh anak. Anak tidak tahu bahwa yang dilakukannya baik atau tidak bagi perkembangan selanjutnya bagi dirinya, karena anak Prasekolah belajar dari apa yang dia lihat, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak yang berpengaruh sangat besar bagi kelanjutan perkembangannya. Haryoko (1997 : 54) berpendapat bahwa lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai stimulus dalam perkembangan anak, orang tua adalah guru ataupun orang yang pertama dalam memberikan pengasuhan dasar tentang semua perkembangan baik yang berhubungan dengan peletakan dasar moral, psikomotor, bahasa, seni serta keterampilan yang telah dimiliki anak.
Setiap anak pada dasarnya dilahirkan dengan membawa sejumlah potensi yang diwarisi dari kedua orang tua biologisnya, potensi bawaan adalah berbagai kemampuan yang dimiliki anak, potensi tersebut dapat berkembang secara alamiah (by natural) bila diberikan rangsangan melalui stimulus orang tua sedari dini secara tepat sehingga potensi fisik, meliputi kekuatan, ketahanan, daya ledak, kecepatan, koordinasi, kelenturan, keseimbangan, ketepatan, kelincahan dan potensi fisik meliputi berbagai aspek kecerdasan intelektual, emosional, mental, sosial, moral dan spiritual yang berkembang terhadap pembentukan pribadi anak di masa datang (Sujiono, 2004 : 32). Dalam memberikan pembelajaran tentang semua potensi yang dimiliki anak sejak usia dini tak lepas hubungannya dengan faktor pola asuh orang tua. Pengasuhan yang diberikan orang tua sangat menjadi dasar bagi perkembangan anak yang akan menjadikannya kelak sebagai pribadi yang berkarakter baik bagi dirinya dan bagi lingkungan sosialnya. Pengasuhan yang diberikan orang tua pada anaknya sangat berbeda cara dan metodenya, sehingga kualitas pengasuhannya pun akan berpengaruh pada anak secara berbeda pula. Hal ini berhubungan dengan bagaimana kedekatan anak dan orang tuanya dalam keseharian dan faktor latar belakang yang mewarnai kehidupan orang tua itu sendiri, baik yang berhubungan dengan lingkungan keluarganya, agama, kebudayaan, ekonomi maupun latar belakang pendidikan orang tua itu sendiri.
Pengasuhan orang tua yang diberikan pada anaknya bukanlah pengasuhan yang sifatnya sementara dan singkat, akan tetapi pengasuhan yang sifatnya interaksi antara orang tua dan anak secara langsung, sesuai pendapat Riyanto (2002 : 67) dalam mengasuh orang tua bukanlah hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuannya saja, melainkan langsung membantu menumbuh kembangkan anak secara maksimal.
Dalam pelaksanaan pemberian pengasuhan seyogyanya orang tua tidak memaksakan kehendaknya, tetapi harus mengetahui apa yang dibutuhkan anak dan sesuai dengan usia perkembangan anak. Semua itu dimengerti oleh orang tua bila mereka mengerti dan peduli terhadap proses pengasuhan anak dalam keluarga. Kepedulian orang tua terhadap pengasuhan selain didasari faktor alami juga karena faktor latar belakang pendidikannya, peranan pendidikan masing-masing orang tua sangatlah berpengaruh pada pemberian pengasuhan. Anak akan menjadi tumbuh dan berkarakter karena peranan pengasuhan orang tua yang mendasarinya. Perbedaan pendidikan yang dimiliki orang tua akan dapat terlihat pada kualitas hasil proses pengasuhan.
Seiring dengan perkembangan kecerdasan emosional, seorang anak juga akan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini terbukti dengan bertambahnya tinggi dan berat badan, untuk pertumbuhan anak secara pesat dibutuhkan nutrisi dan gizi yang cukup namun untuk perkembangan kecerdasan emosional membutuhkan berbagai pengalaman dalam berhubungan sosial dengan lingkungan serta pemahaman tentang perasaan. Kecerdasan emosional itu sendiri terkait dengan faktor-faktor pemberian pola asuh terhadap anak oleh orang tua.
Bagi anak yang masih dalam rentang usia 0 hingga 6 tahun, biasanya sangat memiliki kedekatan dengan orang tua karenanya pada masa inilah bimbingan dan pola asuh orang tua sangat menentukan perkembangan anak baik untuk berhubungan sosial, perkembangan tingkah laku secara maksimal maupun penumbuhan rasa percaya diri yang sangat berguna untuk masa depannya.
Ketika anak masih dalam usia batita (bawah tiga tahun) kecenderungan kelekatan dengan ibunya begitu kuat hal ini karena pada masa itu seorang anak masih membutuhkan ASI dari ibunya, sementara dalam kemampuan motoriknya belumlah sempurna sehingga ia juga membutuhkan bantuan orang tua ketika hendak melakukan sesuatu.
Pada usia di bawah tiga tahun, seorang anak memiliki ciri tak berdaya dalam menghadapi sesuatu, mencoba sesuatu yang baru menyenangi sesuatu yang menarik, sampai kadang bersikap egois dan bandel dari ciri sikap yang menonjol tersebut, sebenarnya anak sudah memerlukan adanya dukungan, penghargaan, pengertian dan dorongan dan bisa juga pujian dari orang tuanya.
Sebagai orang tua, kita dapat mewujudkan perhatian pada anak tersebut melalui pemberian hadiah seperti contohnya ketika buah hati terampil menggunakan alat makan maka kita orang tua harus jeli, bagaimana bisa menempatkan posisi buah hati sebagai anggota baru dalam meja makan. Target yang diharapkan dalam pembelajaran ini adalah melatih kemandirian atau menumbuhkan rasa percaya diri bagi buah hati kita.
Dalam kondisi yang serba terampil dan mulai adanya kekritisan pada fokus perhatiannya inilah kita sebagai orang tua mulai memberikan batasan yang konsisten berupa hal yang dapat dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Kebutuhan anak yang utama adalah pujian pendampingan dan perhatian dimana semua kebutuhan itulah yang nantinya dapat diterapkan ketika berhubungan sosial dengan orang lain. Seorang anak tidak akan mengetahui perilaku sesuai dengan kelompok sosial dan memiliki sumber motivasi untuk mendorongnya berbuat sesuka hati.
Dalam hal ini jelas awalnya jalan sosial diperoleh dalam lingkungan keluarga anak belajar dari orang tua, saudara kandung dan anggota keluarga yang lain apa yang dianggap benar dan salah dalam hubungan bagi perilaku yang salah dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku yang benar, seorang anak akan memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang diterapkan anggota keluarga.
Dengan memahami hal tersebut, sebaiknya orang tua memberikan pendidik terbaik kepada anak tanamkanlah nilai-nilai kehidupan yang baik pada masa ini kepada anak, tanamkanlah nila-nilai kehidupan yang baik pada masa ini kepada anak. Perilaku, sikap dan komitmen orang tua akan menjadi teladan dan sumber yang akan ditiru oleh anak-anak.
Stimulasi dini adalah rangsangan-rangsangan atau stimulus yang diberikan kepada anak oleh lingkungan sekitarnya, terutama orang tuanya agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dengan stimulasi dini ini diharapkan perkembangan motorik anak berjalan baik sehingga dapat mengikuti pendidikan berikutnya.
Peranan orang tua di sini sangatlah penting pada aktifitas pemberian pola asuh pada anaknya pada dasarnya orang tua adalah pembentuk akhlak dan dasar tingkah laku yang nantinya akan berperan pada fase perkembangan selanjutnya, sehingga sangatlah penting wawasan dan pendidikan orang tua dalam upaya peletakan pola asuh di dalam keluarga. Adapun pendidikan tersebut, tidaklah harus dilihat dari pendidikan formal yang di peroleh, pendidikan non formal pun (pendidikan agama) sangatlah diperlukan dalam pemberian pola asuh yang sesuai dengan kebutuhannya pada masa fase perkembangannya.
Betapa banyak orang tua yang ingin anak-anaknya menjadi anak yang cerdas otak rasionalnya, cerdas emosionalnya juga kecerdasan jamak lainnya. Semua kecerdasan bisa didapat bila diasuh oleh orang tua yang pintar dalam membentuk semua itu, walaupun unsur kesiapan menerima kehadiran anak juga tak kalah pentingnya berperan dalam pengasuhan anak.
Kriteria untuk berperan sebagai orang tua ideal memang tidak sederhana baik bagi mereka yang berpendidikan rendah ataupun yang berpendidikan tinggi orang tua yang berperan ganda seperti ibu misalnya, tentu saja memiliki keterbatasan waktu dan tenaga untuk memberikan sentuhan fisik maupun psikologis bagi anak-anaknya sekalipun demikian ibu yang ideal untuk mencapai kriteria ideal, paling tidak, orang tua menunjukan semangat dan upaya untuk berusaha lebih baik dalam memenuhi kebutuhan anaknya di berbagai sisi, baik fisik, psikologis maupun sosial anak.
Erikson (1993 : 98), seorang ahli dalam bidang perkembangan menjelaskan pentingnya peran orang tua dalam mengembangkan aspek psikososial anak orang tua yang memberikan kehangatan, kenyamanan, cinta dan kasih sayang pada anak sejak usia dini, akan memungkinkan anak mengembangkan rasa percaya pada lingkungannya bila bisa melalui tahap-tahap ini dengan baik, anak akan lebih mudah mengembangkan percaya diri dan inisiatif pada dirinya dengan kata lain anak tidak akan di dominasi oleh rasa ragu ataupun cemas dalam mengeksploitasi lingkungannya.
Uraian di atas fokusnya ada pada orang tua sebagai sentralnya dalam keluarga, hal ini menjadi suatu rujukan dari beberapa pemikiran yang mendasari penelitian tentang pola asuh dan pendidikan orang tua.
Dari segi ini jelaslah pula adanya perbedaan pola asuh yang diberikan pada anaknya kita tahu pada umumnya jelaslah bisa dilihat bagaimanakah peranan seorang suami/istri yang pendidikannya lebih tinggi dari pasangannya, betapa akan sangat terlihat mereka lebih tertata dalam penanaman pola asuh pada anaknya baik dari segi bahasa ataupun teladan yang lain dalam penerapan dalam peletakan pengasuhan berwawasan lebih luas akan lebih terarah pola asuh dalam penerapan keseharian, mereka yang berpendidikan lebih tinggi pastinya akan menggunakan pola asuh yang penuh dengan keakraban (demokratis) orang tua dan anaknya, mereka sadar akan pentingnya pemberian pola asuh yang tepat akan berdampak positif pada belahan jiwanya. Hal ini pun tak lepas dari faktor karakter dari masing-masing orang tua, hanya saja suami atau istri yang lebih tinggi pendidikannya akan lebih dominan dalam mewarnai pola asuh yang diterima anak-anak pada umumnya.
Wujud kasih sayang seseorang memang beragam bentuknya ada yang dinyatakan secara lisan, tulisan. Adapula yang terlihat dalam sikap dan perilaku, demikian pula wujud kasih sayang orang tua kepada anak bisa di nyatakan dengan cara yang berbeda, sesuai dengan keyakinan atau prinsip, wawasan atau pengetahuan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor kondisi atau situasi.
Namun demikian, penerimaan anak tentang sayang tidaknya orang tua terhadap mereka tentu saja berbeda jika di lihat dari segi usia. Kualitas dan kuantitas interaksi yang diberikan orang tua akan sangat berpengaruh terhadap ikatan emosi yang terjalin diantara mereka. Dengan demikian untuk anak usia dini, kuantitas pertemuan tidaklah cukup sebagai bukti kasih sayang.
Kualitas harus diiringi dengan kuantitas anak usia dini perlu sentuhan baik fisik maupun psikologis yang intensif. Kebersamaan dengan orang tua dalam rumah sangat memungkinkan anak bisa mengungkapkan perasaannya di kala sedih dan suka. Mendapatkan jawaban tentang berbagai hal yang ingin diketahuinya, mendapatkan perhatian dan pujian serta, serta hal positif lainnya di saat yang dibutuhkan kebersamaan anak dengan orang tuanya selama sekian waktu dalam sehari tentu saja menumbuhkan ikatan emosi mereka akan merasa saling kehilangan jika tidak bersama. Berkaitan dengan hal ini tentu saja ekstra tenaga dan kesabaran orang diperlukan untuk meminimalkan masalah yang mungkin terjadi. Green (2005 : 89) mengatakan jika para ibu yang ingin bekerja atau harus bekerja di luar rumah menjalankan segala kehidupannya dan berhenti merasa bersalah, tetapi hidup mereka akan lebih bahagia walaupun secara kuantitas waktu ibu bekerja tidak bisa memberikan terbaik untuk anak, paling tidak mereka bisa mengoptimalkan kualitas kebersamaan dengan anak dalam waktu yang terbatas untuk meminimalkan masalah yang mungkin terjadi.
Hal ini seharusnya disadari lawan pasangan masing-masing karena sudah ada kesepakatan diantara keduanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulannya hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.
Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Semua jelas sangatlah dipengaruhi oleh faktor latar belakang pendidikan orang tua, orang tua dalam memberikan pengasuhan tentang pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab, yang semua penerapannya pun pasti dari pengalamannya dalam keluarganya ataupun lingkungannya, baik lingkungan sosial lingkungan pendidikan maupun lingkungan budayanya. Manakala suami istri di masa kalanya menerima penerapan pola arah yang baik niscaya mereka pun akan memberikan pelayanan pola asuh yang lebih baik pula ke anaknya ataupun generasi selanjutnya, secara sadar pun bilamana dulu orang tua mendapatkan pengalaman pola asuh yang kurang baik pun, dengan sendirinya orang tua akan membuangnya jauh-jauh dan tidak ingin semuanya terulang pada anak-anaknya.
Pengasuhan sosial yang diberikan orang lain akan sangat bermanfaat bagi anak kita, karena dengan pengasuhan etika dan moral pada anak, anak akan memiliki keterampilan ber sosial dan juga akan lebih bisa menahan diri, mengontrol emosi dan menghargai peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Etika dan sistem nilai adalah sesuatu yang dipandang paling dan di junjung tinggi (Guhardja, Harroyo, Puspitawati & Hastuti, 1994).
Dari semua fenomena tentang pengasuhan orang tua diatas, membuka inisiatif peneliti untuk lebih jelas dalam memahami dan mendalami tentang hubungan perbedaan pendidikan orang tua dengan pola pengasuhan. Peneliti mengambil sampel langsung dari masyarakat desa X yang mempunyai anak usia dini dengan mengambil batasan pendidikan orang tua dari SMP sampai dengan yang berpendidikan sarjana.

B. Identifikasi Masalah
Pendidikan orang tua merupakan pondasi bagi pendidikan anak di kemudian hari, semakin baik pendidikan orang tua maka dimungkinkan akan lebih memberikan peluang pendidikan, peluang orientasi, peluang ketahanan dan kekebalan hidup. Selanjutnya Tingkat pendidikan orang tua akan saling melengkapi dalam menata kehidupan di keluarganya, asumsi kemanusiaan seorang yang berpendidikan tinggi maka akan mencari pasangan yang minimal pendidikannya setara atau satu tingkat diatas atau di bawahnya, walaupun masih bisa ditemukan Tingkat pendidikan yang jauh tetapi dalam prosentase sedikit.
Selanjutnya bahwa tingkat pendidikan tetap saja memberikan pengaruh yang besar terhadap pola asuh yang dilakukan dan diberikan kepada anak di keluarganya, hal ini tentunya akan memberikan gambaran tentang pengaruh perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak.

C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini membatasi masalah sangat penting untuk memberikan arah yang jelas terhadap masalah yang akan diteliti. Peneliti menjadi terarah dan dapat memberikan nilai praktis bagi peneliti. Hal penting dalam keluarga adalah pola asuh bagi anak yang dilatarbelakangi berbagai faktor, diantaranya lingkungan, sosial budaya serta pendidikan orang tua. Dalam penelitian ini yang di kaji adalah pola asuh yang didasari oleh pendidikan orang tua.
Salah satu cara untuk mencapai kemajuan pada suatu sekolah adalah adanya gaya kepemimpinan kepala sekolah. Penulis membatasi masalah dalam penelitian ini yaitu sejauh mana Tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas peneliti berkeinginan melaksanakan penelitian yang berjudul hubungan antara tingkat pendidikan orang tua terhadap orientasi pola asuh, selanjutnya untuk mengetahui : 
(1) Menganalisis dan mendeskripsikan hubungan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak usia dini ?
(2) Apa dampak dari perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola Asuh anak usia dini ?

E. Tujuan Penelitian
(1) Untuk mengetahui pengaruh perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak usia dini.
(2) Untuk mengetahui dampak dari adanya perbedaan tingkat pendidikan keluarga terhadap pola asuh anak usia dini.

F. Manfaat
(1) Manfaat Teoritis.
Diharapkan dapat memberikan manfaat dan untuk menambah dan mengembangkan dalam kecakapan pengetahuan terutama mengenai pola asuh.
(2) Manfaat Praktis.
1) Bagi orang tua.
Dapat digunakan sebagai acuan atau masukan dalam pendidikan pola asuh anak di keluarga.
2) Bagi sekolah.
Dapat digunakan sebagai masukan dalam penanganan pola asuh di lingkungan pendidikan.
3) Bagi Peneliti.
Dapat menerapkan pola asuh yang benar khususnya bagi anak sendiri dan bagi lingkungan masyarakat pada umumnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:02:00