Suatu bangsa dikatakan telah memiliki kebudayaan yang maju jika masyarakatnya telah membiasakan diri dalam kegiatan literasi (baca-tulis). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Alwasilah (2003) mengungkapkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menulis. Menulis dapat dipersepsi sebagai bagian literasi yang dapat dijadikan media pengembangan diri. Namun, kondisi objektif yang terjadi pada masyarakat Indonesia hingga saat ini adalah masih membudayanya aliterasi yaitu masyarakat yang dapat membaca dan menulis, tetapi tidak suka membaca dan menulis. Oleh karena itu, keterampilan menulis tampaknya masih sangat sedikit mendapat perhatian. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kegiatan menulis merupakan kegiatan yang paling sedikit dilakukan jika dibandingkan dengan kegiatan menyimak, berbicara, dan mambaca. Sebagaimana hasil penelitian Rankin (dalam Cahyani, 2002:84) terhadap keterampilan berbahasa, memperlihatkan perbandingan yang cukup signifikan yaitu keterampilan menyimak 45%, berbicara 30%, membaca 16%, dan menulis 9%.
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap siswa kelas VII SMPN X, siswa pada umumnya kurang menguasai bahkan tidak tahu sama sekali tentang karangan narasi. Siswa masih bingung membedakan berbagai jenis karangan. Untuk memulai menulis pun siswa masih kesulitan. Banyak alasan yang muncul mulai dari sulit menemukan ide sampai bingung harus memulai tulisan dari mana.
Memang disadari bahwa keterampilan menulis sangat diperlukan dalam kehidupan modern, tetapi pada kenyataannya masih banyak siswa yang belum menguasai keterampilan menulis. Hal ini dikemukakan pula oleh Iis Handayani (2007:2) dalam skripsinya yang berjudul Pembelajaran Menulis Karangan Narasi Sugestif dengan Strategi Field-Trip (karyawisata) Berdasarkan Pengalaman Pribadi Siswa Kelas VII SMP Negeri Z menunjukkan berdasarkan pengamatan di SMPN tersebut, masih banyak siswa yang belum menguasai keempat keterampilan berbahasa terutama keterampilam menulis. Siswa merasakan kesulitan menuangkan ide-ide karena keterbatasan penguasaan kosakata, siswa juga merasakan situasi pembelajaran menulis yang membosankan. Pembelajaran menulis yang sering diterapkan pada siswa sekadar teori saja dan selalu terfokus di dalam kelas. Hal ini mengakibatkan siswa tidak mau berlatih dan malas menulis.
Berdasarkan hasil angket awal observasi yang dilakukan oleh Iis Handayani kepada siswa kelas VII SMP, pada umumnya mereka lebih menyukai jenis karangan narasi, tetapi setelah diberikan tes awal mengenai pengertian karangan serta unsur-unsur karangan narasi diperoleh data yaitu hanya 13% siswa yang mengetahui pengertian karangan, jenis-jenis karangan serta unsur-unsur karangan narasi selebihnya yaitu 87% mereka masih belum mengetahui pengertian karangan, jenis-jenis karangan, serta unsur-unsur karangan narasi. Keterampilan menulis memang tidak mudah, untuk itu minat menulis pada siswa hams selalu ditanamkan. Kondisi ini secara jujur diakui oleh para guru dan sekaligus merupakan tantangan baginya.
Novel Linda H.P. (2007:2) dalam skripsinya yang berjudul Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan Menggunakan Media Flash Card (Penelitian pada Siswa Kelas XI SMK Y) menunjukkan bahwa banyak siswa yang menganggap keterampilan menulis itu sulit. Masalah yang sekarang dilontarkan dalam pembelajaran mengarang adalah siswa menggunakan diksi yang tepat dan judul yang sejalan dengan tema dan jalan cerita, terutama untuk menulis karangan narasi. Adapun hambatan yang berhubungan dengan kurangnya minat siswa dalam hal tulis-menulis, yaitu sebagai berikut.
1) Mereka kesulitan mengungkapkan pendapatnya ke dalam sebuah bentuk tulisan.
2) Pada umumnya mereka sangat miskin dengan bahan yang akan mereka tulis.
3) Kurang memadainya kemampuan kebahasaan yang mereka miliki.
4) Kurang pengetahuan tentang kaidah-kaidah menulis.
5) Kurang kesadaran akan pentingnya latihan menulis.
Dalam kenyataannya, siswa selalu disibukkan dengan struktur kalimat yang baik dan benar. Hal ini menyebabkan siswa mengalami hambatan dalam menulis. Tulisan siswa menjadi kaku dan kurang santai untuk sebuah tulisan. Jarangnya melakukan latihanpun dapat mengakibatkan siswa kurang terampil dalam menulis. Padahal, menulis merupakan suatu proses yang tidak langsung menghasilkan sebuah produk yang bagus.
Selain itu juga, menurut Leni Mariana Kartiwi (2008:3) dalam skripsinya yang berjudul Penggunaan Teknik Wawancara dalam Pembelajaran Menulis Karangan Narasi pada Siswa Kelas XII SMPN W menjelaskan di dalam KTSP 2006 tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. Ini berarti bahwa keterampilam bahasa Indonesia harus menghasilkan siswa-siswa yang terampil menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi. Terampil berbahasa berarti terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Untuk mewujudkan hal itu, keempat aspek keterampilan berbahasa perlu diajarkan secara terpadu.
Dalam dunia pengajaran bahasa ada suatu ungkapan yang patut diperhatikan oleh seorang guru bahasa. Ungkapan itu berbunyi: "Teach not about the language." Semboyan ini cocok dan relevan dengan pengajaran keterampilan berbahasa. Mengajarkan bahasa atau berbahasa sangat berbeda dengan mengajarkan tentang bahasa. Mengajarkan berbahasa cocok untuk tujuan keterampilan berbahasa sedang mengajarkan tentang bahasa sesuai dengan tujuan pengajaran yang bersifat pengetahuan.
Menurut Beeby yang dituliskan oleh Tarigan (1986:98), salah satu kelemahan pengajar dalam kelas di Indonesia terletak pada komponen metode. Guru-guru cenderung mengajar secara rutin. Kurang variasi dalam penyampaian materi.
Cara guru mengajar mempengaruhi cara siswa belajar. Bila guru mengajar hanya dengan metode ceramah maka siswa pun belajar dengan cara mengahafal. Bila guru mengajar dengan memberikan banyak latihan maka siswa belajar melalui pengalaman. "Inti dari seluruh proses pendidikan dan hasil akhir dari seluruh rencana pendidikan letaknya dekat dengan hal ini jika bukan pada metode mengajar sendiri maka pada cara belajar yang lahir mengikutinya". (Beeby, 1979:85). Guru keterampilan berbahasa hendaknya jangan sampai tenggelam dalam penyakit lama, yakni, mengajar secara rutin, monoton, tanpa variasi.
Guru keterampilan yang mengetahui aneka ragam teknik pengajaran keterampilan berbahasa dan dapat mempraktikkannya sangat membantu yang bersangkutan dalam mengajarkan keterampilan berbahasa. Pendek kata, pemilihan dan penggunaan teknik pengajaran yang tepat, termasuk pengajaran keterampilan berbahasa, memberikan keuntungan bagi pelaksanaan proses belajar mengajar. Suasana yang menarik, merangsang, menimbulkan gairah belajar yang tinggi. Gairah belajar yang tinggi dapat menimbulkan prestasi belajar yang tinggi pula.
Pembelajaran dengan menggunakan teknik yang menarik memang lebih efektif. Seperti pada penelitian yang telah dilakukan oleh Dini Guswati pada tahun 2006 dengan judul Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan menggunakan teknik Reka Cerita Gambar. Pada penelitiannya dihasilkan sebuah simpulan bahwa pembelajaran menulis narasi dengan menggunakan teknik reka cerita gambar cukup efektif meningkatkan kemampuan siswa menulis karangan narasi.
Bertolak dari permasalahan di atas peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul Peningkatan Keterampilan Menulis Karangan Narasi dengan Menggunakan Metode Konstruktivisme (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas VII SMPN X).
Post a Comment